Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS PERATURAN PERTANGGUNGJAWABAN KECERDASAN BUATAN

SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Ataline Jeanethe Maya Hukubun


Jurusan Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Universitas Negeri Manado
Manado, Indonesia
ajmhdigital@gmail.com

ABSTRAK
Kecerdasan buatan sebagai hasil dari perkembangan dan kemajuan teknologi adalah
kecerdasan yang tidak wajar atau kecerdasan yang diciptakan oleh manusia sebagai hasil
dari teknologi yang dikembangkan dari kecerdasan manusia. Penulisan ini bertujuan untuk
memberikan informasi terkait pemahaman bagaimana pertanggungjawaban AI dalam
melakukan suatu tindak pidana yang kemudian disesuaikan dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian normatif dengan pendekatan konseptual. Hasil penulisan didapati bahwa
menurut hukum pidana, kecerdasan buatan bukanlah subjek hukum. Konsep dari
pertanggungjawaban pidana mensyaratkan bahwa subjek hukum harus memiliki kesadaran
dan dapat menghendaki perbuatannya, dan sebagaimana diketahui kecerdasan buatan tidak
memiliki kesadaran akan perbuatan yang dilakukannya dan juga kecerdasan buatan tidak
dapat mengharapkan kemungkinan terjadinya tindak pidana yang dilakukannya, dan dalam
perspektif hukum pidana terkait pertanggungjawaban dalam pemanfaatan kecerdasan
buatan, pencipta dan pengguna kecerdasan buatan dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan tersebut. Karena manusia adalah subyek
hukum mutlak dalam hukum pidana yang memiliki kesadaran dan unsur kesengajaan
terhadap perbuatan dan perbuatan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan.

Kata Kunci: Peraturan Pertanggungjawaban; Kecerdasan Buatan; Hukum Pidana.

ABSTRACT
Artificial intelligence as a result of technological developments and advances is unnatural
intelligence or intelligence created by humans as a result of technology developed from
human intelligence. This writing aims to provide information related to understanding how
AI's responsibility is in committing a crime which is then adjusted to the positive law that
applies in Indonesia. The type of research used in writing this law is normative research
with a conceptual approach. The results of the writing found that according to criminal
law, artificial intelligence is not a legal subject. The concept of criminal responsibility
requires that legal subjects must have awareness and be able to will their actions, and as it
is known that artificial intelligence does not have awareness of the actions it has
committed and also artificial intelligence cannot expect the possibility of a crime being
committed, and in the perspective of criminal law related to liability in the use of artificial
intelligence, creators and users of artificial intelligence can be held responsible for the
actions committed by artificial intelligence. Because humans are absolute legal subjects in
criminal law who have awareness and intentional elements of actions and actions
committed by artificial intelligence.
Keywords: Liability Regulations; Artificial intelligence; Criminal law.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecerdasan buatan sebagai hasil dari perkembangan dan kemajuan teknologi secara
etimologis adalah kecerdasan yang tidak wajar atau kecerdasan yang diciptakan oleh
manusia sebagai hasil dari teknologi yang dikembangkan dari kecerdasan manusia.
Kecerdasan buatan yang dibuat oleh manusia tentunya memiliki kelemahan dalam
melakukan aktivitas seperti yang dilakukan oleh manusia. Keterbatasan AI dalam
menjalankan tugasnya menggantikan tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam
aktivitas kesehariannya hanya berdasarkan kode-kode yang tercipta dari kemajuan
teknologi yang di dalamnya terdapat perintah untuk melakukan sesuatu. Berbeda halnya
dengan manusia yang melakukan tindakan dengan diatur oleh pikiran manusia secara
alami.1
Pengadilan Federal Australia menjadi yang pertama di dunia yang menetapkan AI
sebagai inventor dalam kasus Thaler versus Patent Commissioner of Patent (2021) FCA
dalam putusan yang tentu mengejutkan banyak pihak pada tanggal 30 Juli 2021
memutuskan bahwa kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi inventor. Ini juga sebagai
tonggak sejarah pertama kalinya selain orang atau individu manusia menjadi inventor
paten. Putusan ini membatalkan putusan Komisioner Kantor Paaten sebelumnya yang
menolak permohonan Stephen L Thaler 29 Februari 2021 application number 2019363177
yang diajukan oleh Stephen Thaler tentang DABUS (Device for the Autonomos
Bootstrapping of Unified Sentience), sistem AI yang dibuat oleh Thaler, sebagai inventor.
Pada akhir tahun 2018 DABUS membuat 2 invensi yakni wadah makanan dengan
interkonektivitas, cengkeraman, dan perpindahan panas yang unggul; dan metode untuk
memodulasi pulsa cahaya untuk membuat suara lebih mudah diindentifikasi.2
Selain itu sejak tahun 2017 di Tiongkok telah memanfaatkan perkembangan
teknologi kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI) sebagai hakim dalam persidangan
elektronik. Namun dalam implementasinya masih sangat terbatas dan masih dalam proses
pengembangan lebih lanjut. Pemanfaatan artificial intelligence dalam ranah hukum juga
telah diterapkan di Indonesia melalui platform Legal Intelligence Assistant (LIA) yang
dimiliki oleh Hukumonline. Platform yang dimiliki Hukumonline ini dirancang dengan

1
Widiartana, G., & Setyawan, V. P, 2023, “Prospects of Artificial Intelligence Criminal Liability Regulations in
Indonesian Criminal Law”. Jurnal Kewarganegaraan, Volume 7, Nomor 1, Juni, h. 325-331.
2
Purwaningsih, E., & Islami, I, 2023, “ANALISIS ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI) SEBAGAI INVENTOR
BERDASARKAN HUKUM PATEN DAN HUKUM ISLAM”. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Volume 11, Nomor 1,
Maret, h 1-15.
tujuan untuk membantu masyarakat dalam memberikan informasi terkait dunia penegakan
hukum dalam menangani berbagai permasalahan hukum. Selain itu, di Indonesia
penggunaan kecerdasan buatan juga telah diterapkan dalam pembuatan kontrak yang
disusun secara elektronik.
Adanya kecerdasan buatan sebagai hasil perkembangan teknologi tidak lepas dari
adanya peraturan hukum yang berlaku dalam bentuk hukum positif di suatu negara.
Mencermati perkembangan dan kemajuan teknologi yang diwujudkan dalam kecerdasan
buatan yang dapat memudahkan pekerjaan manusia, tentunya berpotensi menimbulkan
berbagai permasalahan hukum terkait dengan perbuatan yang dilakukannya. Kecerdasan
buatan sebagai buatan manusia ditambah dengan kemampuan teknologi memiliki
kemampuan yang terbatas untuk melakukan tindakan, terutama tindakan yang bersifat
tindakan hukum.
Indonesia belum memiliki peraturan yang secara khusus mengatur kecerdasan
buatan. Implikasi dari akibat perkembangan teknologi yang mempengaruhi dunia hukum
seharusnya memiliki landasan hukum yang normatif dan membatasi dalam perundang-
undangan hukum positif. Jika hal ini tidak dilakukan, maka dapat berpotensi menimbulkan
masalah di kemudian hari ketika kecerdasan buatan melakukan perbuatan yang sebenarnya
termasuk perbuatan hukum yang melanggar ketentuan hukum positif. Contohnya ketika
artificial intelligence melakukan tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum pidana
sehingga menyebabkan korbannya menderita kerugian materiil maupun immateriil.
Melihat praktik baik dari negara lain, beberapa negara telah menempatkan posisi
kecerdasan buatan sebagai subjek hukum. Kecerdasan buatan sebagai subjek hukum
tentunya memiliki konsekuensi yaitu tunduk pada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Hal ini tentunya juga berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dalam konteks hukum
pidana. Penulisan yang disajikan dalam jurnal ini bermaksud untuk membahas
pertanggungjawaban pidana untuk kecerdasan buatan dari perspektif hukum pidana.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana peraturan
pertanggungjawaban pidana terhadap kecerdasan buatan sebagai subjek hukum pidana di
Indonesia. Berdasarkan rumusan masalah tujuan penulisan ini yaitu untuk memberikan
informasi terkait pemahaman bagaimana pertanggungjawaban AI dalam melakukan suatu
tindak pidana yang kemudian disesuaikan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
C. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian
normatif dengan pendekatan konseptual. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Jenis
sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data yang diperoleh dikumpulkan
melalui teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan bahan dokumen hukum. Penulisan
yang dilakukan bersifat perspektif. Teknik analisis data preskriptif yaitu memberikan
pedoman bagaimana melakukan atau mengatur menurut hukum yang berlaku terhadap
masalah hukum yang dihadapi.

II. PEMBAHASAN
Kecerdasan buatan memiliki tujuan utama dalam penciptaannya yaitu untuk
membantu kegiatan manusia agar menjadi lebih mudah, lebih efektif dan efisien.
Kecerdasan buatan dirancang dengan kemampuan berpikir seperti manusia, sehingga dapat
mengambil keputusan untuk bertindak dan menyelesaikan pekerjaan manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Kecerdasan buatan dapat diartikan sebagai perlengkapan atau alat
untuk mendukung pekerjaan manusia yang memiliki kemampuan berpikir dan bernalar
seperti manusia. Proses kerja kecerdasan buatan didasarkan pada perintah manusia.
Kecerdasan buatan merupakan produk teknologi yang diciptakan oleh manusia yang dalam
hal tertentu memiliki kelebihan dalam kemampuan kerja dibandingkan dengan manusia.
Keunggulan proses kerja kecerdasan buatan dilihat dari kecepatan dan ketepatan kerjanya.
Kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan saat ini tidak menutup kemungkinan di
masa depan akan memiliki kemampuan yang melebihi manusia yang ada saat ini.
Berkaitan dengan kecerdasan buatan terhadap konsep pertanggungjawaban pidana
dalam pemanfaatannya, tentunya yang menjadi fokus adalah apakah AI dapat
dipertanggungjawabkan atasnya pidana tindakan yang dilakukan. Mengingat asas
pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu (Geen straf zonder schuld; Actus non
facit reum nisi mens sir rea) tidak berlaku pidana jika tidak ada kesalahan.3 Perlu
diketahui bahwa subjek hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah perseorangan

3
Haris, M. T. A. R., & Tantimin, T, 2022, “Analisis Pertanggungjawaban Hukum Pidana
Terhadap Pemanfaatan Artificial Intelligence Di Indonesia”. Jurnal Komunikasi Hukum
(JKH), Volume 8, Nomor 1, Februari, h. 307-316.
(Naturalijk Persoon) dan sesuai dengan perluasan subjek hukum pidana maka badan
hukum (korporasi) dapat menjadi subjek hukum pidana di Indonesia.
Undang-undang yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Harapan dari lahirnya undang-undang adalah mampu mengakomodir dan
membendung pesatnya perkembangan teknologi informasi. Namun, pada kenyataannya
tidak halnya dengan hadirnya kecerdasan buatan. Undang-undang tersebut belum secara
khusus dan terbatas mengatur pengaturan terkait kecerdasan buatan. Karena di Indonesia
sendiri belum ada peraturan secara khusus diatur dan dibentuk mengenai kecerdasan
buatan. Oleh sebab itu perlu penafsiran untuk menentukan apakah AI sebuah subjek
hukum atau tidak di Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah, yaitu ketika ada
permasalahan hukum terkait kecerdasan buatan, masih muncul berbagai interpretasi
hukum. Kondisi ini jika dibiarkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat
akibat kekosongan hukum di bidang kecerdasan buatan.
Menurut hukum positif Indonesia, kecerdasan buatan diartikan sebagai sistem
elektronik. Berdasarkan interpretasi ini, kita dapat menemukan beberapa kesesuaian
dengan karakteristik kecerdasan buatan. Proses kerja kecerdasan buatan adalah
mengumpulkan data yang diperoleh dari kode-kode yang telah disematkan manusia untuk
diolah dan kemudian dapat bekerja untuk melakukan pekerjaan manusia. Kecerdasan
buatan berdasarkan hukum positif di Indonesia, sampai saat ini hanya berfungsi sebagai
objek hukum dan belum diakui sebagai subjek hukum. Kecerdasan buatan dianggap
sebagai produk teknologi informasi yang dioperasionalkan oleh manusia, dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya sendiri. Menurut hukum positif Indonesia, operator kecerdasan
buatan disebut sebagai penyelenggara sistem elektronik. Tanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan oleh kecerdasan buatan menurut hukum positif berada di tangan
penyelenggara sistem elektronik, kecuali dalam keadaan force major.
Berdasarkan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik, kecerdasan
buatan termasuk dalam sistem elektronik yang dalam proses kerjanya memerlukan
instruksi dari manusia. Menurut undang-undang ini, pemberi perintah disebut sebagai
penyelenggara sistem elektronik yang dapat terdiri dari beberapa subjek hukum di
dalamnya. Berdasarkan pengertian tersebut, kecerdasan buatan bukan merupakan subjek
hukum, dan tidak dapat disamakan dengan badan hukum. Karena kecerdasan buatan tidak
dapat bertindak secara mandiri atau dengan sendirinya tanpa perintah dari manusia yang
mengoperasikannya. Ketika kecerdasan buatan tidak mampu bertindak, sebenarnya
manusialah yang tidak mampu mengoperasikannya. Ketika kecerdasan buatan mengalami
kesalahan sistem, manusia yang mengoperasikannya juga bertanggung jawab atas tindakan
yang dilakukan oleh kecerdasan buatan. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka AI
tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum yang mandiri atau disamakan dengan subjek
hukum lainnya. Karena konsep pertanggungjawaban pidana salah satunya ialah kecakapan
yang bersifat mandiri yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut, dan kecakapan yang
dimiliki oleh AI bukanlah kecakapan mandiri melainkan kondisi otomatis yang diciptakan
oleh manusia.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam penggunaan kecerdasan buatan dari
perspektif hukum pidana yang berlaku, apabila kecerdasan buatan melakukan perbuatan
melawan hukum dapat kembali kepada konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana,
yaitu yang bertanggung jawab adalah pencipta dan pengguna kecerdasan buatan itu sendiri.
Karena menurut Simons para pelaku tindak pidana harus sadar dan mengetahui serta dapat
menentukan kehendak atas perbuatannya, yang mana dalam hal ini kecerdasan buatan tidak
memiliki kesadaran dalam perbuatannya melainkan berdasarkan perintah dan terbatas
dalam menentukan kehendak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuatnya. Oleh karena
itu jika kecerdasan buatan melakukan suatu tindak pidana yang merugikan pihak lain maka
berdasarkan teori risk and liabilities, kecerdasan buatan tidak bertanggungjawab atas
kejadian dikemudian hari, baik secara perdata, administrasi bahkan pidana. Maka
pertanggungjawaban tersebut mutlak dibebankan kepada pengguna atau pencipta AI. Jadi,
kecerdasan buatan hanya merupakan kepanjangan tangan manusia sebagai subjek hukum,
yang bekerja sesuai program yang sudah disetting oleh manusia. Kecerdasan buatan tidak
mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana yang dimiliki seorang inventor tetapi
kecerdasan buatan dapat menjadi objek paten atau invensi dan berhak mendapatkan
perlindungan hukum.4

III. KESIMPULAN
Perkembangan regulasi artificial intelligence dalam hukum positif di Indonesia
membutuhkan regulasi yang lebih memadai. Peraturan perundang-undangan terkait
teknologi informasi di Indonesia belum cukup mengakomodir kecerdasan buatan sebagai
produk kemajuan teknologi. Selama ini kecerdasan buatan diibaratkan sebagai sistem
4
Atsar, A., & Sutrisno, B, 2022, “TANGGUNGJAWAB KECERDASAN BUATAN SEBAGAI SUBJEK HUKUM PATEN
DI INDONESIA”. In PROCEEDING JUSTICIA CONFERENCE, Volume. 1, Maret, h. 1-14.
elektronik, yang melakukan aktivitas berdasarkan perintah dari penyelenggara elektronik.
Jadi tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh kecerdasan buatan
terletak pada operator atau pengguna kecerdasan buatan.
Menurut hukum pidana, kecerdasan buatan bukanlah subjek hukum. Konse dari
pertanggungjawaban pidana mensyaratkan bahwa subjek hukum harus memiliki kesadaran
dan dapat menghendaki perbuatannya, dan sebagaimana diketahui kecerdasan buatan tidak
memiliki kesadaran akan perbuatan yang dilakukannya dan juga kecerdasan buatan tidak
dapat mengharapkan kemungkinan terjadinya tindak pidana yang dilakukannya, dan dalam
perspektif hukum pidana terkait pertanggungjawaban dalam pemanfaatan kecerdasan
buatan, pencipta dan pengguna kecerdasan buatan dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan tersebut. Karena manusia adalah subyek
hukum mutlak dalam hukum pidana yang memiliki kesadaran dan unsur kesengajaan
terhadap perbuatan dan perbuatan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Atsar, A., & Sutrisno, B, 2022, “TANGGUNGJAWAB KECERDASAN BUATAN


SEBAGAI SUBJEK HUKUM PATEN DI INDONESIA”. In PROCEEDING
JUSTICIA CONFERENCE, Volume. 1, Maret, h. 1-14.

Haris, M. T. A. R., & Tantimin, T, 2022, “Analisis Pertanggungjawaban Hukum Pidana


Terhadap Pemanfaatan Artificial Intelligence Di Indonesia”. Jurnal Komunikasi
Hukum (JKH), Volume 8, Nomor 1, Februari, h. 307-316.

Purwaningsih, E., & Islami, I, 2023, “ANALISIS ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI)


SEBAGAI INVENTOR BERDASARKAN HUKUM PATEN DAN HUKUM
ISLAM”. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Volume 11, Nomor 1, Maret, h 1-15.

Widiartana, G., & Setyawan, V. P, 2023, “Prospects of Artificial Intelligence Criminal


Liability Regulations in Indonesian Criminal Law”. Jurnal Kewarganegaraan,
Volume 7, Nomor 1, Juni, h. 325-331.

Anda mungkin juga menyukai