Anda di halaman 1dari 17

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjadi salah satu konsep yang dinilai akan

mendorong efek bola salju pada tren produk teknologi ke depannya. AI pada dasarnya, menurut
Richard E. Bellman, merupakan sistem automasi dari proses yang memerlukan pemikiran yang
direfleksikan dalam teknologi. Penerapannya dapat terjadi di berbagai sektor dan serangkaian
proses bisnis, mulai dari penentuan keputusan hingga pemecahan masalah.

kumparan Academy membahas mengupas tuntas Aplikasi AI di berbagai industri ini dikupas
tuntas dalam kegiatan kumparan Academy pada hari Senin (23/04) di Yogyakarta, bekerja sama
dengan Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Gajah Mada (UGM) dan didukung oleh DailySocial.id.

Setelah membawa pembahasan “Deep Learning vs Conventional Machine Learning from


Technical Perspective” di Jakarta, kumparan Academy kembali berbagi wawasan yang masih
beririsan dengan algoritma deep learning dan machine learning dalam skala yang lebih makro,
yakni Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan.

Pemahaman secara umum dijelaskan oleh Dessi Puji Letari, Ph.D sebagai Chief Speech Scientist
Prosa.ai—sebuah startup yang mengembangkan teknologi text dan speech recognition. “Salah
satu parameter AI adalah komunikasi, sehingga speech recognition menjadi sangat signifikan,”
ujar Dessi.

AI di industri dibahas dari sudut pandang praktikal dan teknis oleh Chief Data & Product
kumparan Thomas Diong dalam perspektif media, Kepala Lab Sistem Cerdas FMIP UGM dari
perspektif bioinformatika, dan Co-Founder Konvergen.ai Lintang Sutawika yang mewakili
pengembang produk AI.

Di bidang media, salah satu yang telah diterapkan di kumparan saat ini adalah big data. Hal ini
dikarenakan banyaknya informasi yang harus dikelola dan diproses sebagai sebuah industri
media. Terlebih kumparan juga menerapkan konsep User Generated Content (UGC).
“Pondasi big data di kumparan terdiri dari beberapa komponen. Mulai dari sistem
untuk tracking, data warehouse, lalu dilanjutkan otomasi proses yang dilakukan oleh algoritma
pintar yang diterapkan dalam sistem,” jelas Thomas.

Berbeda dengan bioinformatika yang pada dasarnya gabungan antara ilmu biologi dan
informatika. Biologi menyediakan data dan dari informatika memprosesnya. “Bioinformatic data
obtained from DNA to Cell Function, terdiri dari DNA Squencer, Animo Acid Squence, Protein,
3D Structure, Protein Function, Protein Function sampai Cell Activity,” ujar Afi.

Mengenai Seputar Kecerdasan Buatan “Artificial Intelligence”

19 Mei 2018adminArtikelTidak ada Komentar

Apa kalian pernah melihat robot yang memiliki kemampuan seperti manusia? Atau kalian pernah
melihat mobil yang memiliki teknologi komputer yang super canggih didalamnya? Ternyata itu
semua merupakan Artificial Intelligence (AI) atau dalam Bahasa Indonesianya yaitu Kecerdasan
Buatan.

Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) merupakan sesuatu yang dibuat atau tiruan
yang cerdas. Maksud dari kata cerdas disini adalah kepandaian atau ketajaman dalam berpikir,
misalnya otak manusia dalam menyelesaikan masalah. Kecerdasan sebenarnya merupakan
sebuah sistem saraf, sensor, atau otak yang diciptakan oleh mesin. Mesin ditujukan untuk dapat
berpikir, mengambil tindakan, dan mengambil keputusan sama halnya dengan manusia.

Kecerdasan buatan ini sebenarnya dibuat oleh manusia dan digunakan untuk mengganti manusia.
Bisa jadi teknologi ini dapat menjadi suatu ancaman. Meskipun teknologi ini dirasakan menjadi
sebuah ancaman tetapi tetap saja manusia untuk terus mengembangkan teknologi AI ini.
Terbentuknya AI ini disebabkan karena ada rasa ketidakpuasan manusia yang selalu ingin
mendapatkan yang lebih dengan mudah. Memang dalam diri manusia pasti ada keterbatasan
seperti otak. Otak manusia hanya mampu berpikir dengan frekuensi sekitar 100 Hz karena
manusia juga memiliki rasa dimana dirinya bisa merasa lelah. Sedangkan komputer, komputer
mampu mengolah data dengan frekuensi 4 GHz dan komputer juga tidak memiliki rasa lelah
serta dapat mengolah data secara berulang-ulang.

Perkembangan teknologi semakin hari semakin meningkat dan maju dengan pesat. Khususnya
AI ini. AI sudah mulai digunakan oleh manusia. Contohnya mobil. Mobil yang memiliki
teknologi komputer yang dapat mengolah data yang digunakan untuk memberikan peringatan
kepada pengendara mobi untuk menghindari terjadinya kecelakaan atau tabrakan

Kecerdasan Buatan: Perkembangan dan Dampak


By

Yasha

July 27, 2018

2945
Kecerdasan Buatan (dalam bahasa Inggris: Artificial Intelligence, disingkat AI), 10 tahun lalu
mungkin masih jadi bahan guyonan di masyarakat. Kini jika Anda menyadarinya, istilah AI
menjadi tren dan pionir di mana-mana. Istilah AI bisa dikatakan jadi kata kunci keren di
kalangan bisnis dan industri. Sementara bagi kawula muda, AI erat dikaitkan dengan film-film
fiksi sains semacam Ex Machina, dimana dalam film tersebut muncul sebuah robot berbentuk
menyerupai manusia.

Apa sebenarnya AI itu dan bagaimana cara kerjanya? Bagaimana sejarah serta perkembangannya
sejauh ini? Apakah AI bisa mengambil alih dunia kita? Apakah ada etika/aturan khusus dalam
pengembangan teknologinya? Mari simak penjelasan dan ulasan selengkapnya!
Apa itu Kecerdasan Buatan?

Kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan oleh manusia ke dalam suatu sistem
teknologi, diatur dan dikembangkan dalam konteks ilmiah, bentukan dari kecerdasan entitas
ilmiah yang ada.

Berikut ini adalah definisi kecerdasan buatan menurut para ahli:

 John McCarthy, 1956

Kecerdasan buatan adalah usaha memodelkan proses berpikir manusia dan mendesain mesin
agar dapat menirukan perilaku manusia.

 Herbert Simon, 1987

Kecerdasan buatan adalah tempat suatu penelitian, aplikasi dan instrusksi yang terkait dengan
pemrograman komputer dalam melakukan suatu hal yang menurut pandangan manusia ⎼ cerdas.

 Rich dan Knight, 1991

Kecerdasan buatan adalah suatu studi mengenai bagaimana membuat komputer mampu
melakukan hal-hal yang pada saat ini masih bisa dilakukan lebih baik oleh manusia.

Catatan:

Jadi intinya definisi AI dapat terus dikembangkan, namun poin utamanya adalah bagaimana
manusia menciptakan teknologi yang mampu berpikir seperti manusia itu sendiri. Apa saja
contoh kecerdasan buatan? Simak lebih lanjut!
Jenis-jenis Kecerdasan Buatan

(gambar cuplikan dari film Ex Machina)

AI tak melulu berbentuk robot yang menyerupai manusia. Anda perlu mengetahui apa saja jenis
teknologi yang tergolong AI. Pada dasarnya, ada 3 jenis, yaitu:

 Symbol-manipulating AI

AI yang satu ini bekerja dengan simbol abstrak. Symbol-manipulating AI termasuk jenis yang
paling banyak eksperimennya. Inti eksperimennya adalah manusia direkonstruksi pada tingkat
yang hierarkis dan logis. Informasinya diproses dari atas, lalu bekerjanya dengan simbol yang
dapat dibaca manusia/si pengembang, koneksinya abstrak dan hasil simpulannya logis.

 Neural AI

Jenis AI satu ini sangat populer di kalangan ilmuwan komputer pada akhir 80-an. Dengan Neural
AI, pengetahuan tidak direpresentasikan lewat simbol, tetapi lebih ke neuron buatan dan
koneksinya ⎼ semacam otak yang direkonstruksi. Pengetahuan yang terkumpul nantinya dipecah
menjadi bagian-bagian kecil (disebut neuron) dan kemudian dihubungkan serta dibangun
menjadi kelompok-kelompok. Nah, pendekatan ini dikenal sebagai metode bottom-up yang
bekerja dari bawah. Tidak seperti Symbol-manipulating AI yang pertama penulis jelaskan. Jadi,
sistem sarafnya harus dilatih dan distimulasi supaya jaringan saraf bisa mengumpulkan
pengalaman dan tumbuh supaya bisa mengumpulkan pengetahuan yang lebih besar.

 Neural Networks
Neural Networks diatur ke dalam lapisan yang terhubung satu sama lain lewat simulasi. Lapisan
paling atas adalah lapisan input, yang fungsinya seperti sensor. Sensor yang dimaksud adalah
penerima informasi yang akan memproses dan meneruskannya ke sistem. Ada setidaknya dua
sistem — atau lebih dari dua puluh lapisan dalam sistem besar — lapisan yang tersusun secara
hierarkis. Lapisan-lapisan itu yang mengirim dan mengklasifikasikan informasi lewat koneksi.
Di bagian paling bawah adalah lapisan output, yang umumnya sih punya jumlah neuron buatan
paling sedikit.

Apakah Anda kesulitan memahaminya? Penulis akan memberikan penjelasan sederhananya:

Pada intinya cara kerja AI berdasar pada fondasi machine learning . Arti machine learning apa?
Artinya, suatu sistem membangun pengetahuan dari pengalaman . Nah, proses itulah yang
membuat sistem punya kemampuan buat mendeteksi pola serta aturan, secara cepat dan akurat.

Sejarah dan Perkembangan

Pembahasan sejarah AI tak bisa dilepaskan dari sosok John McCarthy. Ia disebut-sebut sebagai
“Bapak AI”, walaupun eksperimen terkait telah ada sejak komputer diciptakan.

McCarthy mendapatkan gelar sarjana matematika dari California Institute of Technology


(Caltech) pada September 1948. Dari masa kuliahnya itulah ia mulai mengembangkan
ketertarikannya pada mesin yang dapat menirukan cara berpikir manusia. McCarthy kemudian
melanjutkan pendidikan ke program doktoral di Princeton University.

Sedari sekolah, ia memang dikenal memiliki kepintaran diatas rata-rata. Berdasarkan ulasan dari
The Guardian , diketahui bahwa saat remaja McCarthy bahkan bisa menguasai pelajaran
kalkulus tanpa bimbingan dari guru.
McCarthy kemudian mendirikan dua lembaga penelitian kecerdasan buatan. Kedua lembaga AI
itu adalah Stanford Artificial Intelligence Laboratory dan MIT Artificial Inteligence Laboratory.
McCarthy juga merupakan dosen di kedua universitas ternama tingkat internasional tersebut. Di
lembaga-lembaga inilah bermunculan inovasi pengembangan AI yang meliputi bidang human
skill, vision, listening, reasoning dan movement of limbs. Bahkan Salah satu lembaga yang
didirikan itu, Stanford Artificial Intelligence pernah mendapat bantuan dana dari Pentagon untuk
membuat teknologi-teknologi luar angkasa.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Walaupun belum ada ilmuwan Indonesia menghasilkan
temuan kecerdasan buatan yang benar-benar diakui di mata dunia, anak-anak muda semacam
Digital Nativ ini terus berinovasi dengan teknologi, bahkan memadukannya dengan unsur seni
dan alam. Ingin tahu siapa mereka dan apa saja yang mereka lakukan? Simak video berikut!

Dunia Diambil Alih oleh Kecerdasan Buatan (?)

Di bulan Juli tahun 2017 lalu, berita teknologi cukup dihebohkan dengan kabar bahwa Facebook
memberhentikan eksperimennya setelah salah satu staf menemukan dua buah program AI
mereka saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ciptaan mereka sendiri yang tak
dimengerti manusia. Hanya kedua program itulah yang saling mengerti pesan yang disampaikan
ke satu sama lain.

Kengerian bahwa pengembangan AI mungkin akan setara dengan kecerdasan manusia, bahkan
melebihi kecerdasan manusia itu sendiri, juga bahwa ada implikasi negatif AI terhadap
kemanusiaan di masa depan ⎼ sebenarnya tak hanya disuarakan orang awam. Ilmuwan yang
diakui di dunia seperti Stephen Hawking juga sempat berpendapat sama . Jadi, problematik dari
AI ini tak sekadar ide bikinan dalam film-film fiksi sains semacam The Matrix.

Anda dapat menonton TED Talk dari seorang neuroscientist ternama Sam Harris, berikut ini:
Dari video tersebut, kita mengetahui bahwa ada kemungkinan kita sebagai manusia ⎼
pengembang AI lepas kendali dan AI jadi menyebabkan kekacauan. Seperti yang Sam
sampaikan, ini hal yang cukup masuk akal untuk terjadi.

Mengapa? Anda tentunya sudah baca penjelasan penulis di bagian Jenis-jenis Kecerdasan Buatan
soal cara kerja AI. Dari situ kita mengetahui bahwa atom-atom dalam AI dapat berkembang
terus-menerus hingga menghasilkan suatu pengetahuan yang benar-benar komprehensif dan pada
akhirnya sanggup juga menjalankan suatu aksi yang dianggap AI perlu untuk dilakukan
(berdasarkan pengetahuan yang dihimpun tersebut).

Walaupun demikian, ilmuwan tentu dapat mengontrolnya dengan pengawasan super ketat. Nah,
yang menjadi masalah adalah bagaimana ilmuwan membatasi dirinya sendiri. Inilah mengapa
suatu konsensus terkait etika pengembangan AI perlu dipertimbangkan secara serius.

Jurnal Kecerdasan Buatan

Penulis menyarankan Anda untuk membaca kedua dokumen PDF berikut ini, untuk lebih
memahami soal etika pengembangan AI:

 The Etchics of Artificial Intelligence ⎼ Cambridge University Press

Ini adalah Draft untuk Cambridge Handbook of Artificial Intelligence yang ditulis oleh Nick
Bostrom Eliezer Yudkowsky. Walaupun jurnal ini dibuat pada tahun 2011, Anda bisa
mendapatkan sudut pandang kritis (dalam bahasa Inggris: insight) dari kalangan akademisi yang
ingin mewujudkan adanya konsensus soal etika pengembangan AI yang lebih jelas dan terukur.

 Artificial Intelligence, Robotics and ‘Autonomous’ Systems ⎼ European Technology


Commision
Tulisan ini dibuat sebagai hasil dari kesepakatan European Group on Ethics in Science and New
Technologies (EGE) pada bulan Maret tahun ini, 2018. Akan ada pertanyaan-pertanyaan kunci
yang akan dibahas, disertai dengan pembahasan soal kerangka pemikiran (framing) terkait etika
pengembangan AI.

Euforia AI di Sektor industri dan Nasib Tenaga Kerja

Seperti yang telah penulis sampaikan di pengantar artikel, sektor industri akhir-akhir ini diwarnai
dengan euforia menyambut AI. Berita-berita bisnis lumayan banyak diwarnai kebanggan
berbagai industri dalam memanfaatkan teknologi canggih AI. Kalangan pekerja ikut bereaksi
terhadapnya, ada yang optimis AI tidak akan mengambil alih lahan pekerjaan mereka, ada juga
yang pesimis dan cenderung panik.

Mengapa para pekerja sampai panik? Contoh sederhananya pabrik roti yang dahulu memakai
tenaga manusia dalam mengemas roti, kini sudah tentu bila produksi dalam jumlah besar
memakai tenaga mesin. Tujuan teknologi otomasi semacam itu memanglah akurasi dan efisiensi.
Tapi tak sampai di situ, dengan adanya pengembangan AI, robot-robot pintar mungkin
menggantikan pekerja di berbagai bidang pekerjaan.

Lalu kenapa? Ya dengan demikian, mata pencaharian manusia berkurang, sumber penghasilan
manusia juga berkurang. Tetapi, memang bisa saja manusia-manusia pekerja mengerjakan hal-
hal lain untuk mendapat penghasilan. Sayangnya, kemungkinan besar, pekerjaan penggantinya
bakal membosankan dan upahnya rendah. Begitulah skema yang tergambar sekilas.

Apa benar ini mungkin terjadi? Silakan cek Primer.ai . Pekerjaan sebagai peneliti saja sudah bisa
digantikan AI. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengandalkan pemerintah untuk pegang kendali
memang sering menjadi sikap para pekerja, menunggu kejelasan dan tanggapan dari otoritas.
Tapi kita harus menyadari sebagai pekerja dan sebagai manusia yang utuh, kita punya kuasa
dalam mengendalikan situasi jika berserikat untuk menyepakati pandangan yang benar, bahwa
sungguh, secanggih-canggihnya teknologi, manusia tidak tergantikan.

Pelaku utama atau bintang dari revolusi teknologi yang ada ⎼ bukanlah hasil temuannya,
melainkan kita sebagai manusia-manusia pekerja yang benar-benar hidup dengan kecerdasan dan
kreativitas murni. Kita tentu tidak boleh tunduk pada benda mati. Jangan sampai kita termakan
agenda para pemodal dan pebisnis yang ingin membuat kita merasa begitu tergantung nasibnya
pada kekuasaan/hasil-hasil temuan mereka. Teknologi canggih ini memang memudahkan
pekerjaan kita, tetapi tak bisa menggantikan semangat (passion) kerja kita yang mengandung
pula kreativitas tanpa batas serta nilai estetika tersendiri. Ini semua yang membuat kita disebut
hidup, bukan benda mati

Kedatangan ke indonesia

AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan merupakan istilah favorit di kalangan startup
Asia Tenggara. Mereka dengan tugas sebagai public relation mengenakan istilah AI sebagai
untuk semua cakupan teknologi seperti machine learning, pemrosesan bahasa, serta pengenalan
gambar.

Namun demikian, hal tersebut adalah pusat dari sebuah revolusi yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara dan dunia, dan AI sangat membantu bisnis-bisnis untuk menjadi lebih efisien,
menghasilkan pemasukan uang dari sumber baru, serta meningkatkan terhadap banyak akses
seperti transportasi, kesehatan, dan sumber edukasi.

Beruntungnya, Indonesia memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah wadah uji
coba yang sempurna bagi pelaku startup yang berniat untuk menjajal bidang revolusioner ini.

Utamakan Data

Elemen mendasar di segala tingkatan teknologi adalah data. Tanpa kumpulan banyak data yang
dapat dianalisa dan dipahami, bagian "pembelajaran" di machine learning tidak akan terwujud.

Menurut Sachin Chitturu, digital core leader untuk Asia Tenggara di perusahaan McKinsey &
Company, data lah yang menjadi kelemahan para pelaku startup di Asia Tenggara. Mereka kerap
menemui rintangan terbesar di bagian data.

Sitturu mengatakan, "data merupakan celah terbesar bagi startup," sebutnya tahun lalu di Tech in
Asia Jakarta 2017. "Pilihan untuk mereka adalah mengumpulkan data tersebut secara individual,
yang sudah pasti akan memakan waktu, atau berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan
besar."

Di dunia Barat serta Asia Timur, teknologi Artificial Intelligence (AI) sudah melaju kencang.
Bagaimana dengan Indonesia?

tirto.id - Sebuah panggung di Mountain View, California, Amerika Serikat (AS) pada Mei lalu
meriah oleh bunyi decak kagum. Di sana berdiri Chief Executive Officer (CEO) Google Sundar
Pichai yang tampak bergairah, memperkenalkan layanan Artificial Intelligence (AI) baru dari
perusahaannya yang memukau hadirin.

Apa yang Pichai tampilkan dalam layar besar di atas panggung adalah percakapan singkat antara
seorang dua orang wanita, satu adalah pegawai salon, yang lainnya adalah pelanggan yang ingin
melakukan pesanan slot waktu layanan terlebih dahulu.

Sepintas tak ada yang aneh, percakapan selama sekitar 55 detik itu tampak natural, seolah-olah
itu percakapan sehari-hari yang biasa terjadi antara pelanggan dan pegawai salon tersebut. Hanya
saja, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Sang pelanggan adalah Google Assistant yang
kini menggunakan teknologi AI yang disebut Duplex, sementara sang pegawai salon adalah
manusia sungguhan.

Respons Assistant terasa sangat “manusia,” menunjukkan betapa teknologi AI Google makin
mendekati batas-batas yang dulu seolah muskil dicapai oleh teknologi. Ketika sang pegawai
salon meminta Duplex untuk menunggu beberapa saat karena ia memeriksa jadwal yang kosong,
misalnya, Duplex merespons secara luwes dengan sahutan “Mm-hmm” layaknya respons
manusia pada umumnya. Sontak, tawa audiens pun memenuhi venue.

Dengan Duplex, orang kini dapat melakukan pemesanan meja pada restoran yang belum
memiliki teknologi digital yang memadai untuk pesanan online, atau menjawab telepon masuk
ketika rapat sedang berlangsung sembari mencatatkan pesan yang ingin disampaikan oleh sang
penelpon, layaknya memiliki asisten pribadi.

Pada November ini, sejumlah orang di Negeri Paman Sam yang memiliki ponsel pintar Pixel
buatan Google sudah mulai mencicipi bagaimana teknologi ini bekerja. Indonesia, sayangnya,
masih belum dapat merasakan kecanggihan teknologi Google tersebut, mengingat Pixel sendiri
tidak dijual resmi di negara ini.

Namun, AI sendiri sesungguhnya telah mulai merasuk di kehidupan masyarakat Indonesia, entah
disadari ataupun tidak.

Baca juga:

 Layanan Google Terganggu Karena Pembajakan Lalu Lintas Internet

AI di Indonesia

Teknologi AI di Indonesia jika dilihat dengan jeli tidak berada jauh dari genggaman tangan dan
memiliki pertumbuhan yang cukup menjanjikan, meski belum mencapai tingkatan seperti di AS
ataupun Cina. Hal ini diakui oleh CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Ia mengungkapkan bahwa perkembangan dan adopsi teknologi AI di Indonesia belum sepesat


yang terjadi di kedua negara tersebut, utamanya Cina.

“Cina itu masif sekali pertumbuhannya, apalagi kalau kita lihat gerak-geriknya Alibaba, Tencent,
Baidu,” jelas Irzan, Rabu (5/11). Sebagai catatan, Kata.ai merupakan start-up teknologi AI yang
fokus di bidang chatbot dan natural language processing.

Baca juga:

 Chatbot, Era Manusia Bercakap-cakap dengan Komputer

Ia memberikan contoh, pengaplikasian AI di Cina sudah berada pada tahap di mana teknologi
tersebut sudah terintegrasi di masyarakat. Ketika ingin berbelanja di gerai restoran cepat saji, ia
melanjutkan, masyarakat Cina sudah tidak perlu mengeluarkan ponsel pintar untuk melakukan
transaksi karena restoran tersebut sudah mengetahui identitas dari calon pembeli serta saldo yang
dimiliki mereka hanya dengan menggunakan pemindaian kamera.

“Kalau kita sekarang mungkin lagi heboh dengan QR Code ya dengan e-payment ... di Cina itu
sudah 8 tahun lalu,” sebut Irzan. “Pemerintah Cina sangat mendorong, mem-push, pertumbuhan
AI.”

Baca juga:

 Menengok Revolusi Gaya Baru Belanja Retail ala Cina

Di Indonesia, AI memang belum memiliki kompleksitas seperti di Cina. Salah satu penerapan
dari teknologi ini, namun demikian, sudah dirasakan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana,
salah satunya melalui teknologi chatbot yang mungkin sering dijumpai di aplikasi-aplikasi pesan
instan seperti Line, Telegram ataupun Whatsapp.

Chatbot adalah program komputer yang didesain untuk menstimulasi percakapan dengan
pengguna manusia dalam sebuah platform berbentuk teks ataupun audio.

Sales Director Line Indonesia Anchali Kardia mengatakan bahwa perkembangan AI di Indonesia
sesungguhnya cukup menjanjikan. Penggunaan chatbot dalam Line di Indonesia sendiri,
lanjutnya, cukup populer di kalangan milenial karena karakteristik mereka yang lebih menyukai
percakapan dalam bentuk teks.

“Kita pertambahannya year-on-year jumlah bot di Indonesia itu 25 persen, untuk di Line-nya
sendiri, di Line ecosystem,” sebut Kardia.

Apa yang dikatakan oleh Kardia terkait perkembangan AI sejalan dengan hasil survei mengenai
prospek AI di Asia Tenggara oleh SAS dan IDC Asia/Pacific pada 2018 ini. Survei tahunan
bertajuk “IDC Asia/Pacific Enterprise Cognitive/AI Survey” yang dirilis Juli 2018 tersebut
menemukan bahwa adopsi AI di Asia Tenggara memang tengah menanjak dengan Indonesia
memimpin tren positif.

Pada 2018, survei ini melibatkan total 502 eksekutif dan kepala lini bisnis IT di Asia Pasifik
(kecuali Jepang), termasuk 146 responden dari Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Indonesia,
Thailand).

Baca juga:

 Steve Jobs, Apple, dan Revolusi Pengoperasian Komputer

Tingkat adopsi AI di Asia Tenggara pada 2018 ini mencapai tingkat 14 persen, meningkat dari 8
persen di tahun sebelumnya, menandakan bahwa perusahaan mulai beradaptasi dengan AI dan
menanamkan sejumlah bentuk teknologi tersebut ke dalam operasional mereka.

Kemampuan AI untuk memberikan perusahaan-perusahaan tersebut pemahaman yang lebih


menyeluruh dan lebih baik menjadi alasan utama lebih dari setengah responden (52 persen)
untuk mengadopsi teknologi tersebut.

Sebanyak 24,6 persen organisasi di Indonesia telah mengadopsi AI. Thailand, sementara itu,
berada di posisi kedua (17,1 persen), disusul oleh Singapura (9,9 persen) dan Malaysia (8,1
persen). Menurut Irzan, setidaknya ada lima industri di Indonesia yang sudah mengadopsi AI,
yakni perbankan, telekomunikasi, healthcare, e-commerce, dan fast moving consumer
goods (FMCG). Di bidang telekomunikasi misalnya, adopsi teknologi AI diterapkan pada
layanan customer service dan lainnya.

“Kami memperkirakan investasi di AI akan terus meningkat, karena semakin banyak organisasi
mulai memahami manfaat dari menanamkan AI ke dalam bisnis mereka dan bagaimana data
serta analisis dapat membantu mengungkap wawasan baru,” sebut Global Research Director, Big
Data and Analytics and Cognitive/AI, IDC Asia/Pacific, Chwee Kan Chua dalam keterangan
resminya.

Survei ini juga mempertegas pernyataan Irvan mengenai bagaimana pertumbuhan teknologi AI
di Cina didukung oleh kepercayaan perusahaan-perusahaan di negeri tirai bambu itu bahwa AI
adalah masa depan. Survei ini menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen perusahaan di Cina dan
Korea Selatan percaya bahwa AI akan menjadi bagian krusial dari sukses dan daya saing
perusahaan di masa depan.

Tembok Besar Menghadang

Meski memimpin pertumbuhan adopsi di ASEAN, sayangnya, Indonesia juga memiliki


persentase paling tinggi (59 persen) terkait jumlah organisasi atau perusahaan yang tidak
memiliki rencana untuk mengadopsi teknologi AI dalam lima tahun ke depan, masih dari survei
yang sama.

Ini menandakan bahwa masih terdapat bisnis yang bersifat tradisional yang masih ragu untuk
melakukan lompatan pada operasional bisnis mereka.

Peter Sugiapranata, Country Manager SAS Indonesia, menyebutkan tantangan utama yang perlu
diatasi dalam beberapa tahun ke depan terkait perkembangan teknologi serta adopsi AI di
Indonesia adalah bagaimana Indonesia dapat menempatkan AI sebagai pembeda dalam
menjalankan bisnis.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa akses terhadap talenta sumber daya manusia juga dapat
menjadi hambatan lainnya.

Baca juga:

 10 Tahun Android: Besar karena Ponsel Pintar Cina

Irzan mengatakan bahwa kesediaan industri atau pemain-pemain bisnis lama untuk membuka
akses data mereka dan untuk bertransformasi digital memegang peranan penting terhadap
pertumbuhan teknologi AI di Indonesia.

“Tanpa ada data algaritma bot tidak akan jalan,” sebutnya.

Pemerintah Indonesia, lanjutnya, sedikit banyak juga dapat membantu pertumbuhan adopsi AI di
Indonesia ini dalam hal regulasi, utamanya dengan mempersiapkan roadmap untuk industri AI
seperti yang telah dilakukan pada industry e-commerce.

"Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk AI untuk berkembang. Dasar dari AI dan analitik
terletak pada ketersediaan data dan Indonesia memiliki volume serta skala [data] yang tepat
untuk menjustifikasi investasi pada AI,” kata Sugiapranata.

Hanya sebagian kecil dari perusahaan di Asia Tenggara yang memiliki dasar mengenai
pelanggan dalam skala besar yang dapat diujicobakan kepada algoritma AI. Menurut Chitturu,
biasanya hal serupa dimiliki oleh dua golongan: telcos dan bisnis yang bergerak cepat (FCMG).

Bekerjasama dengan perusahaan bergolongan tersebut merupakan awal yang baik bagi startup
berbasis AI, tambahnya.

Hal tersebut merupakan sebuah hal yang menguntungkan segala pihak atau virtuous circle. Jika
startup memiliki teknologi yang dapat memudahkan cara kerja perusahaan dengan meningkatkan
efisiensi atau membuat aliran pendapatan baru, maka mereka akan menjadi partner yang
menjanjikan. Sebagai partner, startup dapat mendapat keuntungan dengan mendapatkan akses ke
pusat konsumer dan banyak data berharga yang dikelolanya. Sebagai timbal balik, hal tersebut
juga mengasah dan meningkatkan kemampuan AI milik startup, membuatnya menjadi partner
yang lebih menjanjikan terhadap perusahaan-perusahaan yang berurusan langsung dengan
pelanggan.

Virtuous Circle
Sebuah kolaborasi serupa terjadi diantara Kata.ai sebuah developer chatbot asal Indonesia dan
Telkomsel, anak perusahaan Telkom, perusahaan telco terbesar di Indonesia.

"Kami dapat melihat jumlah data yang mereka kumpulkan.. dan bisnis mereka bertumbuh dalam
dua digit setiap tahunnya," ucap co-founder serta CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya berbicara di panggung Tech in Asia Jakarta 2017 |
Foto: Tech in Asia.
Dengan jumlah pelanggan yang begitu banyak seperti ini muncul lah kebutuhan interaksi dengan
mereka lebih besar, bertambah pula beban kerja admin - dan yang tidak dapat dihindarkan,
keluhan yang juga lebih banyak. AI chatbot milik Kata.ai dapat menangani beban kerja tersebut
untuk Telkomsel, membuat pegawai operator jaringan dapat lebih berfokus pada urusan yang
membutuhkan kemampuan manusia.

Indonesia Menjuarai

Cara lain memanfaatkan dataset yang lebih besar adalah dengan meluncurkan teknologi AI di
pasar besar. Dan Indonesia sangat cocok terhadap kebutuhan tersebut di Asia Tenggara, terhitung
sekitar separuh total populasi di Asia Tenggara dan dengan variasi demografik secara luas.

"Nilai meningkat seiring dengan meningkatnya skala," ucap Chitturu. "Jika dibandingkan
berusaha di Singapura dengan lima juta jiwa, dengan Indonesia dengan 260 juta jiwa - skala
ekonomi, biaya peningkatan sangatlah lebih baik."

Namun, masih ada beberapa rintangan signifikan untuk dapat diatasi sebelum Indonesia dapat
memulai mengkapitalisasi potensi tersebut.

Tantangan terbesar adalah, akses terhadap talent, sebut Chitturu, meski ia menambahkan
meskipun ini juga merupakan permasalahan global. "Bahkan perusahaan id Amerika pun juga
mengalaminya. Karena terbatasnya jumlah ilmuwan data, dan sekalipun ada untuk menggaji
mereka tidaklah murah."

Sansan - sebuah startup asal Jepang yang menggunakan fitur AI untuk mendigitalisasi kartu
bisnis dan membuat sebuah jaringan sosial dari data - mempekerjakan 10 hingga 15 ilmuwan
data tergantung bagaimana anda menyebutnya, sebut COO Rio "PopEye" Inaba. Ia menyarankan
para pelaku startup untuk melakukan usaha lebih dalam memahami para ilmuwan data tersebut
menyangkut hal yang mereka cari dalam pekerjaan jika ingin menggaet ahli AI dengan mudah

Anda mungkin juga menyukai