Anda di halaman 1dari 6

“Navigasi Karir Hukum di Era Teknologi: Meningkatkan Peluang di Era Society 5.

0”
TOPIK BAHASAN : “Pengaruh Perkembangan Teknologi
dengan Profesi Hukum pada Era Digitalisasi Society 5.0”
Yossi Istanto, S.H., M.Hum*

---------------------------------------------- Pendahuluan ----------------------------------------------

Gelombang besar inovasi berbasis Era Digitalisasi Society 5.0 telah tiba, dan siap merevolusi
cara manusia berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Makalah ini menyoroti beberapa
peluang yang muncul dari munculnya apa yang disebut teknologi Artificial Intelligence, serta
mendorong para pembuat kebijakan untuk membiarkan teknologi ini berkembang demi
kemanfaatan yang lebih luas. Namun, seperti halnya teknologi digital baru menimbulkan sifat
disruptif lainnya, kemunculan Artificial Intelligence, IoT, dan teknologi wearable lainnya akan
menjadi tantangan pada norma-norma sosial, ekonomi, dan hukum yang ada.

Disrupsi mengancam kemapanan profesi hukum seperti kantor-kantor advokat, notaris, dan
juga pengadilan. Jika sebelumnya, hukum terasa rumit bagi banyak orang awam sehingga
memerlukan konsultan hukum bagi yang berurusan dengan hukum, kini telah tersedia artificial
intelligence yang mampu memecahkan berbagai persoalan hukum sehingga orang tidak perlu
konsultasi ke kantor hukum. Pertanyaan mendasar, mengapa artificial inttelligence dapat
menggantikan profesi hukum manusia? Logika sederhana yang dapat disimpulkan yakni
teknologi yang lebih canggih akan menggantikan sesuatu yang bersifat konvensional, maka
profesi hukum yang cara berhukumnya masih konvensional akan digantikan oleh artificial
intelligence yang lebih cepat dan akurat.

Regulasi di Indonesia terhadap AI masih bersifat prematur dan terlalu kaku serta tidak
memungkinkan pemanfaatan teknologi tersebut secara massive dan cepat. Kendala seperti
ini sangat disayangkan karena teknologi tersebut mempunyai implikasi besar dalam mengatasi
permasalahan sosial dan ekonomi yang penting. Untuk itu pembuat kebijakan sebijaknya tidak
secara gamblang menerapkan pembatasan profilaksis terhadap penggunaan teknologi baru
termasuk didalamnya pemanfaatan Artificial Intelligence, namun bertindak Intermediate Actor
dalam memberikan pengawasan kedepannya.

--------------------- Golden Opportunity A.I. dalam Hukum & Teknologi ---------------------

Konferensi Internasional Pertama tentang AI dan Hukum diadakan di Boston pada bulan Mei
1987. Meskipun penelitian awal mengenai AI dan Hukum telah dilakukan, Konferensi ini dapat
dilihat sebagai permulaan dan kelahiran komunitas AI dan Hukum. Karena pentingnya dan
karakteristiknya, peran Konferensi di sektor AI dan Hukum tidak dapat tergantikan. Setiap
pertemuan yang diselenggarakan berfungsi sebagai platform untuk mengungkap ide-ide baru
dan kerja praktis yang telah dilakukan para peneliti dalam mengembangkan aspek hukum
untuk regulasi AI dan seterusnya.

Secara khusus, jalannya Konferensi hanya mencakup aspek dan regulasi hukum AI.
Pekerjaan awal telah dilakukan terhadap pengembangan AI, definisi istilah dan regulasi
lapangan. Publikasi tentang apa yang dianggap sebagai AI dan Hukum dapat ditelusuri

1/ 6
kembali ke awal tahun 1950 an. Namun, kami menetapkan bahwa permulaan komunitas
hukum AI ditandai dengan Konferensi Internasional, sebagaimana dikutip di atas.

Melalui regulasi hukum AI, tujuannya adalah untuk menciptakan kebijakan, peraturan atau
tindakan hukum yang menetapkan aturan konkrit tentang cara fungsi, penerapan, dan
perlindungan terhadap penggunaan AI. Perlunya regulasi hukum AI, selain dari
perkembangan pesat yang dialami bidang ini, juga terkait dengan kebutuhan untuk
mengendalikan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan tersebut. Beberapa
peneliti dan pemimpin teknologi memperingatkan bahwa AI sedang dalam perjalanan untuk
mengubah robot ke dalam kategori yang memungkinkan manusia untuk ditundukkan jika tidak
mampu beradaptasi dengan perkembangan.

Menurut laporan FinBold (4/5/23), AI akan menjadi pasar bernilai triliunan dolar dalam lima
tahun ke depan. Dengan kecerdasan buatan (AI) yang muncul sebagai teknologi yang
mengubah permainan dengan potensi untuk merevolusi hampir semua industri, masalah
kepercayaan dalam sistem terkait menjadi semakin penting.

Karena AI terus menunjukkan potensinya, tingkat kepercayaan terhadap sistem ini sangat
bervariasi di berbagai yurisdiksi, sehingga pangsa pasarnya diproyeksikan akan melonjak di
tahun-tahun mendatang.

Menurut data yang diperoleh


FinBold baru-baru ini, pada
tahun 2023, estimasi pangsa
pasar AI adalah $207,9 miliar,
dan nilai ini diproyeksikan
melonjak 788,64% hingga
mencapai $1,87 triliun pada
tahun 2030. Lebih lanjut,
pangsa pasar AI diperkirakan
akan melampaui ambang batas
$1 triliun untuk pertama kalinya
pada tahun 2028, yaitu $1,06
triliun.

---------------------Regulasi A.I. dalam Lingkup Global & Nasional ---------------------

1. Pengaturan Artificial Intelligence di Uni Eropa (UE)


Pada bulan April 2021, Komisi Eropa mengusulkan kerangka peraturan UE yang pertama
untuk AI. Dikatakan bahwa sistem AI yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi
dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan risiko yang ditimbulkannya terhadap pengguna,
sehingga terbit AI Act: aturan berbeda untuk tingkat risiko berbeda.
a.) Risiko yang Tidak Dapat Diterima
Sistem AI dengan risiko yang tidak dapat diterima adalah sistem yang dianggap sebagai
ancaman bagi manusia dan akan dilarang. Seperti manipulasi pengenalan wajah untuk
keamanan data maupun manipulasi perilaku kognitif terhadap orang atau kelompok rentan
tertentu (mis: pemalsuan terhadap identitas untuk kejahatan).

2/ 6
b.) Berisiko Tinggi
Sistem AI yang berdampak negatif terhadap keselamatan atau hak-hak dasar akan
dianggap berisiko tinggi dan akan dibagi menjadi dua kategori:
1) Sistem AI yang digunakan pada produk yang termasuk dalam undang-undang
keamanan produk UE . Ini termasuk mainan, penerbangan, mobil, maupun mesin
pendukung peralatan medis.
2) Sistem AI terbagi dalam delapan bidang spesifik yang harus didaftarkan dalam database
UE: Identifikasi biometrik dan kategorisasi orang perseorangan Pengelolaan dan
pengoperasian infrastruktur penting Pendidikan dan pelatihan kejuruan
Ketenagakerjaan, manajemen pekerja dan akses terhadap wirausaha Akses dan
kenikmatan layanan-layanan penting swasta dan layanan serta manfaat publik
Penegakan hukum Manajemen migrasi, suaka dan pengawasan perbatasan Bantuan
dalam penafsiran hukum dan penerapan hukum.
*Semua sistem AI yang berisiko tinggi akan dinilai sebelum dipasarkan.
c.) Risiko Terbatas
Sistem AI dengan Risiko terbatas harus mematuhi persyaratan transparansi minimal yang
memungkinkan diserahkan pengguna mengambil keputusan yang tepat. Ini termasuk
sistem AI yang menghasilkan atau memanipulasi konten gambar, audio, atau video
(document editing).

2. Pengaturan Artificial Intelligence di Indonesia


AI telah banyak digunakan di Indonesia, namun penggunaannya belum diatur dalam
peraturan khusus. Pemerintah Indonesia masih mengacu pada Dokumen Strategi Nasional
Kecerdasan Buatan sebagai acuan penggunaan AI. Namun sejak diterbitkannya dokumen
Strategi Nasional Kecerdasan Buatan 2020-2045, sebagai acuan awal pengembangan dan
pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia, belum ada peraturan khusus yang
mengatur teknologi baru tersebut.

Kedepannya, pemerintah diharapkan menerbitkan peraturan yang mengatur tentang


penggunaan, etika, dan keamanan AI, serta perlindungan terhadap pekerja. Selama
Indonesia belum memiliki aturan hukum khusus mengenai AI, maka pengembangan dan
pemanfaatan AI di Indonesia diatur melalui beberapa undang-undang, peraturan presiden,
dan peraturan pemerintah.

Dari segi hukum, AI masih diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Nomor 11 Tahun 2008 atau perubahannya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019. Dalam aturan tersebut, kecerdasan buatan
disamakan dengan suatu "Agen Elektronik", yang didefinisikan sebagai perangkat dari
sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi
elektronik tertentu yang secara otomatis dikelola oleh seseorang.

Artinya seluruh kewajiban hukum dan tanggung jawab hukum agen elektronik melekat pada
penyedia perangkat AI. Dari sisi pemanfaatan, teknologi AI masih diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik,
Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2020 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2021, dan Industri Pembuatan Dokumen. 4.0 yang dikeluarkan
Kementerian Perindustrian. Sebagai pendukung penerapan AI mengacu pada ketentuan

3/ 6
mengenai tata kelola data Indonesia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2019.

---------------------Tantangan Profesi Hukum terhadap A.I. ---------------------

Kemampuan manusia yang terbatas menjadi kurang relevan untuk bekerja secara
multitasking sehingga dalam beberapa hal dapat digantikan sistem algoritma. Sekarang
perlu dicari tahu, mengapa perangkat kecerdasan buatan lebih cerdas daripada profesi
hukum yang dijalankan manusia dan apakah peran profesi hukum dapat diganti dengan
peran perangkat kecerdasan buatan?
● Pertama, Big Data seperti digital documents, data processing, chatbots, flexible working,
dan predictive analytics, semakin mendorong percepatan disrupsi di bidang hukum. Alat-
alat teknologi canggih tersebut diprogram dapat menampung segala peraturan hukum
dan yurisprudensi, bahkan mampu memberikan berbagai opini hukum atas beragam
masalah hukum yang ditanyakan. Tentu, korban pertama yang tergilas oleh perangkat
AI adalah para sarjana hukum yang hanya mengandalkan hafalan peraturan perundang-
undangan dan prosedur hukum.
● Kedua, Automated Contract Drafting, dimana pekerjaan hukum yang bersifat teknis
seperti menyusun perjanjian akan digantikan AI. Para pihak yang berkontrak cukup
dengan bantuan mesin kecerdasan buatan, dapat menyusun kontrak bisnis secara
mandiri dalam aplikasi internet di depan komputer cukup dengan memproses input data
syarat dan ketentuan dari para pihak.
● Ketiga, Chat GPT sebagai alternatif pengganti Jasa Konsultan Hukum, sehingga
perannya dapat digantikan dengan AI. Dimana, dengan menggunakan Harvey AI (Chat
GPT), User cukup mengetikkan instruksi tentang tugas yang ingin mereka selesaikan,
dan Harvey menghasilkan hasil berbasis teks dalam hitungan detik dengan beragam
Bahasa.

● Keempat, Case Based Reasoning (CBR), sebagai mesin AI yang menjadi ancaman bagi
profesi hukum yang menjalankan hukum secara mekanis. Cara berhukum mekanis
dipopulerkan oleh Langdell yang menciptakan metode kasus (Case Method) yang
melatih kemahiran hukum mahasiswanya mengupas perkara yang diputus pengadilan.
Mesin AI bekerja berdasarkan program Case Based Reasoning (CBR), yakni suatu
pendekatan yang diprogram untuk mendapatkan solusi dengan menggunakan acuan
solusi problem-problem terdahulu untuk memecahkan problem yang baru. Jadi, CBR
memecahkan masalah baru dengan menggunakan solusi masalah yang pernah terjadi
sebelumnya yang serupa.

---------------------Dampak Luas A.I. atas Perkembangan Agroindustri ---------------------

Penerapan AI dalam efisiensi merupakan salah satu pencapaian dan perkembangan ilmu
pengetahuan terbesar saat ini. AI memungkinkan mesin belajar dari pengalaman, beradaptasi
dengan masukan baru, dan melakukan tugas seperti manusia (SAS, 2021). Dari ilmu ekonomi
dan hukum hingga istilah teknis, sains telah memungkinkan AI ditempatkan pada fungsi
masing-masing bidang untuk melakukan banyak tugas. Sistem pemrograman AI seperti itu
mewakili tingkat kecerdasan yang telah maju melampaui kecerdasan manusia.

4/ 6
Dalam beberapa dekade terakhir, akibat perubahan iklim yang signifikan, pengenalan
teknologi informasi dan komunikasi menjadi sangat penting untuk mendukung pertanian dan
mengoptimalkan produksi tanaman. Metode-metode baru telah disarankan dan diadopsi di
bidang pertanian sehingga memunculkan apa yang disebut Agriculture 5.0.

Tujuan utama dari revolusi yang sedang berlangsung ini terkait dengan pengenalan
otomatisasi dan teknologi digital di sektor pertanian yang memungkinkan transisi menuju
pertanian cerdas dan berkelanjutan. Teknologi yang memungkinkan transisi ini termasuk
Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Wireless Sensor Network (WSN),
penginderaan jauh dan aplikasi baru dalam kendali cerdas dan otomatisasi proses produksi
yang berdampak pada penghematan biaya, pengurangan emisi CO2 dan keuntungan
pemasaran bagi para petani sebagai penggerak utama hulu dari industri agribisnis.

Secara lebih rinci, pertanian kontemporer meminjam logika Industri 5.0 dengan
menggabungkan teknologi khas pertanian yang saling berhubungan dan pertanian presisi,
seperti Internet of Things, Internet of Farming, Big Data Analytics, dll., dimana aplikasi
pertanian bertugas untuk memberikan perbaikan yang signifikan pada sektor ini dengan
dampak ekonomi, lingkungan dan sosial yang kuat.

----------------------------------------- KESIMPULAN -----------------------------------------

Artificial Intelligence sangat diperlukan dalam profesi hukum dan bukan untuk menggantikan
profesi hukum, melainkan mereka yang tidak menggunakan AI akan digantikan oleh mereka
yang menggunakan AI. Dan mereka yang memanfaatkannya mungkin melakukan pekerjaan
legal dengan cara yang tidak dilakukan saat ini, sehingga memberikan peluang transformatif
profesi hukum yang lebih efisien dan efektif.

Semua pengacara, mulai dari penasihat internal dan firma hukum, hingga pengacara dan
hakim, perlu memaksimalkan pemanfaatan penggunaan Artificial Intelligence generatif
(AI). Mengapa? Karena ini akan menjadi alat produktivitas yang sangat diperlukan dalam
profesi hukum. Goldman Sachs memperkirakan bahwa 44% tugas pekerjaan legal saat ini
dapat diotomatisasi oleh AI (rata-rata semua industri adalah 25%). Hal ini tidak berarti bahwa
AI generatif menandakan matinya profesi ini, melainkan mereka yang tidak menggunakan AI
akan digantikan oleh mereka yang menggunakan AI. Dan mereka yang memanfaatkannya
mungkin melakukan pekerjaan legal dengan cara yang tidak dilakukan saat ini sehingga
memberikan peluang transformatif.

REFERENCES :
Abbott, R.; Sarch, A. Punishing Artificial Intelligence: legal fiction or science fiction. University
of California, Davis, v. 53, n. 1, 2020.
Adam D. Thierer, The Internet of Things and Wearable Technology: Addressing Privacy and
Security Concerns without Derailing Innovation, 21 Rich. J.L. & Tech 6 (2015). Available
at: http://scholarship.richmond.edu/jolt/vol21/iss2/4, Daniel F. Spulber, Unlocking
Technology: Antitrust and Innovation, 4 J. COMPETITION L. & ECON. 915, 965 (2008)
Albania. Constitution of the Republic of Albania. 21 July 2016. Available at: Available
at: https://www.venice.coe.int/webforms/documents/default.aspx?pdffile=CDL-
REF(2016)064-e. Access in: 17 Dec. 2021.

5/ 6
Alex Hawkinson, What Happens When the World Wakes Up, MEDIUM (Sept. 23, 2014),
https://medium.com/@ahawkinson/what-happens-when-the-world-wakes-up-
c73a5c931c17, archived at https://perma.cc/WY5Z-85X5.
Amy Collins, Adam J. Fleisher, D. Reed Freeman Jr. & Alistair Maughan, The Internet of Things
Part 1: Brave New World, MORRISON FOERSTER CLIENT ALERT, 1 (Mar. 18, 2014),
http://www.jdsupra.com/legalnews/the-internet-of-things-part-1-brave-new-23154,
archived at http://perma.cc/6G95-L8LU.
Bench-Capon, T.; Araszkiewicz, M.; Ashley, K. A history of AI and Law in 50 papers: 25 years
of the international conference on AI and Law. Artificial Intelligence and Law, v. 20, n. 3,
p. 215-319, 2012.
Darrell M. West, The State of the Mobile Economy, 2014: Its Impact and Future, CTR. FOR
TECH. INNOVATION RESEARCH PAPER (Brookings Institution), Sept. 10, 2014, at 10,
available at http://www.brookings.edu/research/papers/2014/09/10-state-mobile-
economy-2014west, archived at http://perma.cc/MEY3-Q394.
Kevin Ashton, That ‘Internet of Things’ Thing, RFID JOURNAL (June 22, 2009),
http://www.rfidjournal.com/articles/pdf?4986, archived at http://perma.cc/CS6G-9DYW.
Kevin D. Ashley, 2017, Artificial Intelligence and Legal Analytics New Tools for Law Practice
in the Digital Age, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 3-4.
Neil Gershenfeld & J. P. Vasseur, As Objects Go Online: The Promise (and Pitfalls) of the
Internet of Things, FOREIGN AFFAIRS, Mar.–Apr. 2014 available at
http://www.foreignaffairs.com/articles/140745/neil-gershenfeld-and-jp-vasseur/as-
objects-go-online, archived at http://perma.cc/2EMP-EXKL.
PricewaterhouseCoopers, “PwC announces strategic alliance with Harvey, positioning PwC’s
Legal Business Solutions at the forefront of legal generative AI” diakses pada laman:
https://www.pwc.com/gx/en/news-room/press-releases/2023/pwc-announces-strategic-
alliance-with-harvey-positioning-pwcs-legal-business-solutions-at-the-forefront-of-legal-
generative-ai.html
Steven Shavell, Foundations of Economic Analysis of Law 189 (Belknap Press of University
of Harvard Press, 2004).
Teng Hu, 2019 “Study on the Influence of Artificial Intelligence on Legal Profession”, Advances
in Economics, Business and Management Research, volume 110, 5th International
Conference on Economics, Management, Law and Education (EMLE 2019).

6/ 6

Anda mungkin juga menyukai