Anda di halaman 1dari 2

1.

Pertanyaan tentang apakah kecerdasan buatan (AI), yang mungkin nantinya


dikembangkan sebagai robot yang menyerupai manusia, dapat bertindak
sebagai subyek hukum merupakan isu yang kompleks dan menarik. Sebelum
menjawabnya, penting untuk memahami beberapa konsep kunci dalam hukum
dan kecerdasan buatan.

Pertama, sebagai subyek hukum, seseorang atau entitas memiliki kemampuan


untuk memiliki hak dan kewajiban, serta dapat dikenai tanggung jawab atas
tindakan atau kesalahannya. Subyek hukum ini umumnya merupakan individu
manusia, badan hukum, atau entitas lain yang diakui oleh hukum.

Kedua, kecerdasan buatan, termasuk AI yang canggih, pada dasarnya adalah


produk teknologi yang diciptakan oleh manusia. Meskipun AI dapat melakukan
tindakan yang kompleks dan menyerupai kemampuan manusia, mereka pada
akhirnya hanya merupakan algoritma dan kode yang dijalankan oleh mesin.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, ada beberapa pandangan yang


dapat diambil terkait dengan apakah AI dapat menjadi subyek hukum:

1. Pandangan yang Menyatakan AI Bukan Subyek Hukum: Beberapa


pendapat mungkin menganggap bahwa AI, sebagai produk teknologi, tidak
memiliki kapasitas untuk memiliki hak dan kewajiban sebagaimana yang
dimiliki oleh manusia atau badan hukum. Dalam konteks ini, AI dianggap
sebagai alat atau objek yang dimiliki dan dioperasikan oleh manusia.

2. Pandangan yang Mengakui AI sebagai Subyek Hukum: Seiring dengan


perkembangan kecerdasan buatan yang semakin kompleks, mungkin ada
argumen untuk mengakui AI sebagai subyek hukum. Namun, ini akan
melibatkan pertimbangan etis, moral, dan hukum yang mendalam tentang
hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang akan diberikan kepada AI. Hal ini
juga akan memunculkan pertanyaan tentang bagaimana AI dapat
bertanggung jawab atas tindakannya dan bagaimana keputusan hukum
terkait AI dapat diimplementasikan.

Dalam konteks robot yang menyerupai manusia, pandangan kedua


mungkin menjadi lebih relevan, karena robot semacam itu mungkin memiliki
kemampuan untuk bertindak dan berinteraksi dalam masyarakat seperti
manusia. Namun, implementasi pandangan tersebut akan memerlukan
kerangka kerja hukum yang jelas dan komprehensif untuk mengatur hak,
kewajiban, dan tanggung jawab AI sebagai subyek hukum.

Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-54197654
2. Ciri-ciri Pinjol ilegal adalah sebagai berikut:

1. Tidak Memiliki Izin dari OJK: Pinjol ilegal tidak memiliki izin resmi dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjalankan kegiatan pinjam-
meminjam uang secara daring. Izin dari OJK diperlukan untuk memastikan
bahwa platform pinjol telah memenuhi persyaratan dan standar yang
ditetapkan untuk melindungi kepentingan masyarakat.
2. Tidak Transparan dan Tidak Jelas dalam Syarat dan Ketentuan: Pinjol ilegal
cenderung tidak transparan dalam menyampaikan syarat dan ketentuan
pinjaman kepada nasabah. Mereka mungkin tidak memberikan informasi
yang cukup jelas tentang suku bunga, biaya tambahan, dan hak serta
kewajiban nasabah.
3. Menerapkan Suku Bunga yang Tidak Wajar: Pinjol ilegal sering kali
menerapkan suku bunga yang sangat tinggi dan tidak wajar, bahkan melebihi
batas yang diatur oleh OJK untuk mencegah eksploitasi terhadap nasabah.
4. Praktik Penagihan yang Kasar dan Intimidatif: Pinjol ilegal dapat melakukan
praktik penagihan yang tidak etis, termasuk mengancam, menakut-nakuti,
atau melakukan pelecehan verbal terhadap nasabah yang gagal membayar
pinjaman tepat waktu.
5. Tidak Terdaftar sebagai Badan Usaha Resmi: Pinjol ilegal tidak terdaftar
sebagai badan usaha resmi di bawah hukum Indonesia. Mereka mungkin
beroperasi secara ilegal tanpa memiliki identitas hukum yang jelas.

Langkah-langkah perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh


masyarakat terhadap Pinjol ilegal yang merugikan adalah sebagai berikut:

1. Melaporkan ke OJK: Masyarakat dapat melaporkan keberadaan Pinjol ilegal


kepada OJK melalui saluran pengaduan yang telah disediakan. OJK akan
melakukan tindakan pengawasan dan penindakan terhadap Pinjol ilegal
tersebut.
2. Menghentikan Kerjasama: Jika sudah terlibat dengan Pinjol ilegal,
masyarakat dapat menghentikan kerjasama dengan segera dan tidak
melanjutkan pinjaman atau pembayaran yang belum diproses.
3. Menggugat Hukum: Masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktik Pinjol
ilegal dapat mengajukan gugatan hukum terhadap Pinjol tersebut, baik itu
untuk mendapatkan ganti rugi maupun untuk menuntut keadilan.

Referensi:
Otoritas Jasa Keuangan. (2022). Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang
Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Diakses dari
https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Pages/Peraturan-OJK-Nomor-10-POJK.05-2022-
tentang-Layanan-Pendanaan-Bersama-Berbasis-Teknologi-Informasi.aspx

Anda mungkin juga menyukai