Kelas : X IS 1
Kelompok : 5 / Lima
Revolusi kemerdekaan 1945-1949 adalah salah satu periode terpenting dalam perjalanan
sejarah Bangsa Indonesia. Periode ini dimulai dari kekalahan bala tentara Jepang terhadap
sekutu, Proklamasi kemerdekaan hingga perlawanan terhadap pendudukan NICA yang
membonceng sekutu, baik perlawanan melalui jalur atau fisik. Didalamnya dibahas revolusi
kemerdekaan 1949-1950 yang secara detail mengulas dalam beberapa Babyaitu : Proklamasi
kemerdekaan Perjuanga merebut dan menegakan kedaulatan. Perjuangan diplomasi
memepertahankan kemerdekaan RIS.Pada periode ini terjadi sebuah konflik bersenjata dan
pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan
Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini
terjadi mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga
pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 29 Desember 1949.
Meskipun demikian, gerakan revolusi itu sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini
diperingati sebagai tahun dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.Selama sekitar empat
tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis. Selain itu, terdapat pula pertikaian
politik serta dua intervensi internasional. Dalam peristiwa ini, pasukan Belanda hanya
mampu menguasai kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatra, tetapi gagal mengambil alih
kendali di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta
perjuangan diplomatik, Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan
Indonesia.Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan
mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia; kekuasaan raja-raja mulai dikurangi
atau dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi sosial", yang terjadi di beberapa
bagian di pulau Sumatra. Republik Indonesia dimulai dengan masuknya Sekutu kempris
diboncengi oleh Belanda dalam hal ini Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA) ke
berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan
kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali
peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi
Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
Kembalinya Belanda bersama SekutuSunting
Latar belakang terjadinya kemerdekaanSunting
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk
mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-
masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Tentara Inggris
dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang
terjadi di antaranya adalah:
Pertempuran Selat Bali, di Selat Bali pada April, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Markadi.
Pertempuran Margarana, di Margarana, Tabanan, Bali pada 20 November 1946, dipimpin
oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang pada 1–5 Januari 1947, dipimpin oleh
Kolonel (TRI) Bambang Utojo.
Pertempuran Laut Cirebon, di Cirebon pada 7 Januari 1947, dipimpin oleh Kapten Laut
(TRI) Samadikun.
Pertempuran Laut Sibolga, di Sibolga pada 12 Mei 1947, dipimpin oleh Letnan II Laut (TRI)
Oswald Siahaan.
Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta pada 1 Maret 1949, dipimpin oleh Letkol
(TNI) Suharto.
Serangan Umum Surakarta, di Surakarta pada 7–10 Agustus 1949, dipimpin oleh Letkol
(TNI) Slamet Rijadi.
1946Sunting
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih
disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-
kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad
Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri
Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA).
[1] Karena itu pada tanggal 1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia
kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi
menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya
meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota;
meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi
dengan Belanda di Jakarta.[2] Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal
khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).
Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik
Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang biasa digunakan untuk Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA).[1]
[3] Rangakaian terdiri dari delapan kereta, mencakup satu kereta bagasi, dua kereta
penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas
2, satu kereta inspeksi untuk presiden, dan satu kereta inspeksi untuk wakil presiden.
[1] Masinis adalah Kusen, juruapi (stoker) Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei.
[1] Perjalanan diawali sore hari, dengan KLB rangsir dari Stasiun Manggarai menuju Halte
Pegangsaan (sekarang sudah dibongkar) dan kereta api berhenti tepat di belakang kediaman
resmi presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56.[1] Setelah lima belas menit embarkasi, KLB
berangkat ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api melanjutkan perjalanan ke
Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam. KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu
signal aman dari Stasiun Klender. Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan perjalanan dengan
lampu dimatikan dan kecepatan lambat agar tidak menarik perhatian pencegat kereta api yang
marak di wilayah itu.[1] Barikade gerbong kosong juga diletakkan untuk menutupi jalur rel
dari jalan raya yang sejajar di sebelahnya.
Selepas Setasiun Klender, lampu KLB dinyalakan kembali dan kereta api melaju dengan
kecepatan maksimum 90 km per jam. Pada pukul 20 KLB berhenti di Stasiun Cikampek.
Pada pukul 01 tanggal 4 Januari 1946 KLB berhenti di Stasiun Purwokerto, dan kemudian
melanjutkan perjalanan hingga tiba pada pukul 07 di Stasiun Yogyakarta.[1]
Diplomasi SyahrirSunting
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi
berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik
tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas
dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja
sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi
yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk
sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas
bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu.
Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama
teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat
itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24
Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat
dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia
bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu".
Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang
Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan
Sumatra.
Penculikan terhadap PM SyahrirSunting
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil
Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun
utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam
pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Syahrir, akan tetapi menurut sebuah
analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan
penculikan terhadap Syahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir, yang sudah
terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Syahrir diculik
di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia
dibawa ke Paras, desa dekat Boyolali, di rumah peristirahatan Pracimoharjo, peninggalan
Sunan Pakubuwono X, dan ditahan di sana dengan pengawasan komandan batalyon setempat.
Kembali menjadi PMSunting
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini
dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam
bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van
Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4
bagian;Jawa,Sumatera,Kalimantan,dan Timur raya
ANCAMAN MILITER DARI LUAR NEGARA
Agresi Militer adalah serangan militer yang dilakukan Belanda terhadap wilayah Jawa dan
Sumatera yang dikuasai oleh Republik Indonesia. Serangan ini terjadi antara 21 Juli sampai
4 Agustus 1947, yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I atau Operasi Produk.
Serangan ini dilancarkan dengan cara melanggar perjanjian Linggarjati antara Republik dan
Belanda. Melalui perjanjian ini, akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan
Belanda dan Indonesia. Namun, pada 20 Juli 1947, Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan perjanjian tersebut. Sejak saat
itu, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Pada Mei 1947, Belanda memutuskan untuk
melakukan penyerangan kepada Republik guna mengakses komoditas di daerah-daerah yang
dikuasai Republik. Khususnya, gula di Jawa dan minyak serta karet di Sumatera. Akhirnya,
pada 21 Juli, Belanda mengerahkan tiga divisi di Jawa. Belanda juga mengerahkan tiga
brigade di Sumatera. Operasi ini kemudian mengakibatkan pendudukan sebagian besar Jawa
dan Sumatera hanya memberi perlawanan lemah. Namun, TNI dan pasukannya tetap
melakukan operasi gerilya dari perbukitan di wilayah yang dikuasai Belanda. Belanda
membalas melalui serangan udara dan blokade wilayah yang dikuasai Republik. Pemerintah
Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda kepada Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) karena Belanda telah melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Linggarjati.
Sejak saat itu, gencatan senjata akhirnya tercipta, namun hanya untuk sementara. Belanda
kembali mengingkari janjinya dalam perjanjian berikutnya yang telah disepakati dengan
menggencarakan operasi militer yang lebih besar. Serangan ini dilakukan pada 19 Desember
1948 yang disebut Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang dilancarkan karena Belanda
merasa Indonesia telah mengkhianati isi Perundingan Renville. Kesepakatan dari
perundingan Renville telah disepakati pada 19 Januari 1948, tetapi masih terdapat perdebatan
pasca penandatanganan. Kedua belah pihak saling menuduh bahwa salah satu pihak sudah
mengkhianati perundingan. Alasan inilah yang kemudian membuat Belanda melancarkan
agresi militer keduanya. Serangan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal S.H. Spoor dan Engels.
Agresi dimulai saat Belanda menyerang Yogyakarta, ibukota Indonesia pada saat itu.
Terdengar letusan bom pertama dari Timur Yogyakarta, tepatnya di Wonocatur dan Maguwo.
Keesokan harinya, setelah Belanda menawan pemerintah RI, Soekarno, Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya, Belanda menghentikan penyerangannya. Pejabat
pemerintah RI pun mulai diberangkatkan ke tempat pengasingan. Tempat pengasingan
mereka, yaitu: Pulau Bangka Medan Brastagi dan Prapat Kampung Dul Pangkalpinang Bukit
Menumbing