Anda di halaman 1dari 14

Rangkuman Materi IPS

BAB IV

Mata Pelajaran : IPS


Guru Mata Pelajaran : Pak Basyaruddin, M.PD

Nama Anggota Kelompok :


● Redy Noer Abyadhi
● Raditya Arifin H.
● M. Fathin A.

Kelas: IX A

Sekolah: MTs. Madarijut Thalibin


Jl.raya Lenteng Agung Gg.kancil I No.34
Masa Kemerdekaan (1945-1950)

Kembalinya Belanda bersama Sekutu

Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk
mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-
masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.

Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia
bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk
komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab
atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indochina. SEAC dengan panglima
Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti
bala tentara Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil
sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).

Perubahan sistem pemerintahan

Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang
memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini
sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu,
tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti
oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan
ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem
Presidensil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan
Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang
moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.

Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari
Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan
itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini,
sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya
menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.

Ibu kota pindah ke Yogyakarta

Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih
disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-
kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad
Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri
Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA).
[1] Karena itu pada tanggal 1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia
kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi
menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya
meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota;
meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi
dengan Belanda di Jakarta.[2] Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal
khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).

Diplomasi Syahrir

Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang


politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi
kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-
daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan
warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri
akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang
Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi
akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang
dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi
rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan
Indonesia dalam organisasi PBB.

Konferensi Malino – Terbentuknya "negara" baru

Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini
dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam
bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van
Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian;
Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.

Peristiwa Westerling

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil
di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale
Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-
Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Perjanjian Linggarjati

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan
menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam
perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak
diadakan pada bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi
khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah
mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan
tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
 Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling
lambat 1 Januari 1949.
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik
Indonesia.
 Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Proklamasi Negara Pasundan


Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil
membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara
Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar
benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi
dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.

Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu
memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung.
Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat
ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam
waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung
untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian
besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak
mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh
karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditas
dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatra (khususnya minyak dan karet).

Perjanjian Renvillesunting

Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas


desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1
Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri
dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat,
Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah
pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone
demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan
Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di
pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang
direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada
Indonesia Serikat.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta

Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara
secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di
wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah
sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan
kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan
cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam
perundingan yang sedang berlangsung di Dewan WALDEN Keamanan PBB dengan tujuan
utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada
dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade
X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Perjanjian Roem Royen

Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda,
terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya
kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding
dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik
Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.

Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik


Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2
November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
 Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

Penyerahan kedaulatan oleh Belanda

Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun
setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan
ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana
Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa
mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele
acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Sejarah demokrasi parlementer di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1950, ketika Natsir terpilih sebagai perdana
menteri, dengan menganut Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Masa demokrasi parlementer
berlanjut hingga sembilan tahun kemudian. Berikut ini sejarah demokrasi parlementer di Indonesia sejak masa
pemerintahan Kabinet Natsir hingga Kabinet Djuanda: 1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) Sejarah
politik masa demokrasi liberal bermula sejak negara dipimpin Kabinet Natsir. Kabinet ini berupaya sekuat
tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri
ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan. Natsir adalah tokoh Masyumi,
partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja
kandas. Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and
Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi. PNI bahkan
melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dikeluarkan Natsir. Sebagian besar
parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)


Sejarah politik masa demokrasi liberal bermula sejak negara dipimpin Kabinet Natsir. Kabinet ini berupaya sekuat tenaga
melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan
memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan. Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat
itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas. Remy Madinier dalam Islam and Politics
in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap
berseberangan pandangan dengan Masyumi. PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun
1950 yang dikeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri
dari jabatannya.

Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)


PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti
Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi. Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh
PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet
Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)


Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika
itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan,
Kabinet Wilopo gulung tikar.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)


Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia
Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15
Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo
bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)


Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu
pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis. Kendati begitu,
masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya.
Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)
Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini, dari persoalan Irian Barat, otonomi daerah, nasib buruh,
keuangan negara, dan sebagainya. Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk
menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuai kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)


Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan
Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu
permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain
keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya. Di samping itu, ada banyak
pemberontakan yang terjadi selama Djuanda menjabat perdana menteri, termasuk Tragedi Cikini, peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Soekarno.

Akhir Demokrasi Liberal di Indonesia


Kabinet Djuanda yang memerintah Indonesia pada periode 1957-1959 mengalami banyak masalah. Sejumlah
pemberontakan terjadi di daerah-daerah, termasuk Permesta, juga percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dalam
Tragedi Cikini. Singkatnya masa demokrasi parlementer, terutama saat dipegang Kabinet Djuanda, membuat keadaan politik
Indonesia tidak stabil. Itulah yang menjadi cikal bakal sekaligus latar belakang demokrasi parlementer dibubarkan. Hal
tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Merujuk dekrit
tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu,
dibentuk juga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Demokrasi liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan
dengan sistem demokrasi terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Masa demokrasi terpimpin merupakan masa ketika Indonesia menerapkan sistem pemerintahan
terpusat pada kepala negara Soekarno pada tahun 1959 hingga 1966. Jabatan kepala negara
dipegang sepenuhnya oleh Soekarno sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959. Munculnya Dekrit 5
Juli 1959 dikarenakan gejolak masa demokrasi liberal yang sangat sering berganti kabinet. Soekarno
melontarkan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bang Indonesia yang dijiwai
semangat gotong royong dan kekeluargaan.

Pembebasan Irian Barat

Irian Barat menjadi program kerja wajib pada kabinet masa demokrasi terpimpin. Hal ini
mengingat berdasarkan putusan Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, masalah Irian
Barat akan diselesaikan dalam jangka waktu setahun. Namun Belanda justru menunda
penyelesaian Irian Barat sehingga Indonesia harus kembali merebut wilayah NKRI
sepenuhnya. Ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh Soekarno dalam menyelesaikan
permasalahan Irian Barat yaitu konfrontasi politik, perjuangan diplomasi, konfrontasi
ekonomi, dan konfrontasi militer.

Konfrontasi Malaysia

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dipicu oleh rencana Singapura dan Malaysia
bergabung dan membentuk Federasi Malaysia yang dianggap Soekarno sebagai proyek
neokolonialisme Inggris untuk mengamankan kekuasaannya di Asia Tenggara. Indonesia dan
Filipina menolak dengan tegas rencana tersebut. Untuk menengahi permasalahan ini maka
dilakukanlah Konferensi Maphilindo (Malaysia, Filipina dan Indonesia) pada 31 Juli – 5
Agustus 1963 di Filipina. Hasil dari Konferensi Maphilindo adalah 3 resolusi penting yaitu
Komunike Bersama, Persekutuan Manila dan Deklarasi Manila.

Inti dari 3 resolusi hasil dari Konferensi Maphilindo bahwa Indonesia dan Filipina setuju
pembentukan Federasi Malaysia apabila hal tersebut adalah kemauan masyarakat Kalimantan
Utara. Indonesia dan Filipina pun meminta Sekjen PBB untuk menyelidiki terhadap kehendak
rakyat Sabah dan Serawak. Sayangnya, belum selesai penyelidikan Malaysia dan Singapura
mendeklarasikan Federasi Malaysia. Pada tanggal 17 September 1963 terjadi pemutusan
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia, disusul pada 21 September 1963
pemutusan hubungan ekonomi Singapura, Malaysia dan Serawak. Karena usaha diplomasi
mengalami kebuntuan, maka pada 3 Mei 1964 Soekarno menyerukan Dwi Kora dengan isi :

1. Meningkatkan ketahanan revolusi Indonesia


2. Membantu perjuangan revolusioner masyarakat Serawak , Sabah, Manila, Singapura dan
Berunei membubarkan negara boneka Malaysia
Penyimpangan kebijakan politik luar negeri pada masa demokrasi terpimpin adalah
pembentukan komando penyerangan yang disebut Komando Mandala Siaga berdasarkan
keputusan Dwikora. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif
Indonesia.
Politik Mercusuar

Politik Mercusuar bertujuan menonjolkan kemegahan Indonesia di mata dunia dan bukan
demi kesejahteraan rakyat. Demi mewujudkan tujuan tersebut Soekarno melaksanakan
proyek monumental diantaranya :

1. Pembangunan gedung Stadion Senayan Jakarta


2. Pembangunan icon kota Jakarta Monumen Nasional atau Monas
3. Menyelenggarakan Asian Games IV
4. Menyelenggarakan pesta olahraga Games of The New Emerging Force (Ganefo) tahun
1963
5. Pembangunan kawasan pertokoan Sarinah
Politik mercusuar menjadi salah satu penyebab mengapa demokrasi terpimpin mengalami
kegagalan karena proyek ini telah menghabiskan dana sangat besar.

Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin


Pada masa demokrasi terpimpin, dibentuk beberapa lembaga baru diantaranya :

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)


MPRS dibentuk didasarkan pada Dekrit 5 Juli 1955. Keanggotaan DPRS terdiri dari 281
anggota DPR Gotong Royong, 94 utusan daerah. serta 200 wakil Golongan Karya. DPRS
melaksanakan sidang pertama kali pada 10 November hingga 7 Desember 1950 dan sidang
kedua pada 15 – 22 Mei 1963.

b. Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)


Lembaga DPAS memiliki tugas memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan
usulan pada pemerintah. Pembentukan DPAS didasarkan pada Penetapan Presiden Nomor 3
Tahun 1959.

c. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)


DPR-GR dibentuk berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959 dengan anggota sebanyak 283 orang, yang
terdiri dari 153 wakil partai politik, dan 130 wakil golongan. Tugas DPR-GR adalah sebagai
dewan pembantu presiden menurut bidangnya.

d. Kabinet Karya
Kabinet Karya dibentuk pasca dibubarkannya Kabinet Djuanda. Kabinet Karya memiliki
tugas menstabilkan keamanan, memperbaiki keadaan ekonomi terutama sandang dan pangan,
serta tetap berjuang merebut Irian Barat.

e. Front Nasional
Pembentukan Front Nasional didasarkan pada Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959. Front
Nasional memiliki tugas untuk memperjuangkan cita – cita proklamasi, pembangunan dan
cita – cita yang terkandung dalam UUD 1945.

Penyimpangan Masa Demokrasi Terpimpin


 Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 oleh Soekarno berdasarkan Penetapan Presiden No. 3
Tahun 1960
 Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia seumur hidup berdasarkan
Sidang Umum MPRS pada tanggal 15-22 Mei 1963.
 Pimpinan lembaga tinggi dan tertinggi negara dimasukkan ke dalam kabinet yang dipimpin
oleh presiden.

Masa Orde Baru (1966-1998)

Masa jabatan Presiden Soeharto sebagai Presiden kedua Indonesia dikenal sebagai orde baru.
Rentang waktu kekuasan pemerintahan orde baru berlangsung selama 32 tahun. Diawali surat
perintah yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 hingga tahun 1998.

Melalui Tap MPR No. XXXIII/MPRS/1967, masa orde baru yang dipimpin Presiden
Soeharto mulai memimpin negara. Pemerintahan berusaha segera pulih usai berakhirnya era
kepemimpinan Presiden Soekarno.

Orde baru adalah tatanan kehidupan bangsa dan negara yang dikembalikan pada Pancasila
dan UUD 1945. Di orde sebelumnya sempat terjadi penyelewengan dan penyimpangan
prinsip utama.

Di masa pemerintahannya, Soeharto melakukan koreksi total sehingga penerapan Pancasila


semakin kuat. Lebih lengkapnya, simak latar belakang kelahiran, sistem pemerintahan,
hingga jatuhnya pemerintahan orde baru.

Latar Belakang Lahirnya Orde Baru


Lahirnya orde baru ditandai TRITURA atau Tri Tuntutan Rakyat yang merupakan ide
perjuangan Angkatan 66/KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). TRITURA terdiri
dari tiga tuntutan yaitu pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan
harga.

TRITURA semakin panas karena sikap Presiden Soekarno yang bertolak belakang dengan
aksi-aksi mereka. Hingga terjadi peristiwa G30S/PKI yang membuat rakyat Indonesia
menurunkan kepercayaannya terhadap pemerintahan Soekarno.

Peristiwa G30S/PKI adalah salah satu penyebab menurunnya kredibilitas Soekarno dan
membuatnya mengeluarkan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto yang disebut Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Dalam Surat Perintah tersebut Soekarno menunjuk Soeharto untuk melakukan segala
tindakan demi keamanan, ketenangan, dan stabilitas politik. Supersemar menjadi titik awal
berkembangnya kekuasaan Orde Baru.

Sistem Pemerintahan pada Masa Orde Baru


Pemerintahan orde baru menggunakan konsep Demokrasi Pancasila. Visi utama
pemerintahan orde baru adalah menerapkan nilai Pancasila dan UUD 1945, secara murni
serta konsekuen dalam aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Di masa orde lama, komunisme dan gagasan yang bertolak belakang dengan Pancasila
sempat meluas. Hal ini membuat Soeharto di masa jabatannya melakukan indoktrinasi
Pancasila. Beberapa metode indoktrinasi yang dilakukannya yaitu:

 Menerapkan pengajaran P4 (Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)


di sekolah
 Soeharto mengizinkan masyarakat membentuk organisasi dengan syarat menggunakan asas
pancasila
 Melarang kritikan yang menjatuhkan pemerintah dengan alasan stabilitas negara.

Sistem pemerintahan pada masa orde baru adalah presidensial dengan bentuk pemerintahan
Republik dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi yang berlaku. Dalam periode masa orde
baru, terjadi banyak perubahan-perubahan politik dan ekonomi.

Ekonomi Indonesia berkembang pesat walaupun dibarengi dengan praktik korupsi yang
merajalela. Lewat beberapa kebijakannya, politik dan ekonomi negara juga semakin kuat.
Namun kondisi ini menurun ketika di tahun 1997 saat terjadi krisis moneter.

Krisis inilah yang membuat pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat sehingga Soeharto
sebagai presiden mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 yang mengakhiri kekuasaan
Orde Baru.

Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru


Meski selama masa tersebut perekonomian Indonesia melaju pesat dan pembangunan
infrastruktur yang merata untuk masyarakat, namun perkembangan tersebut diikuti dengan
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Hal ini menyebabkan kurangnya kepercayaan terhadap Presiden Soeharto dan memicu aksi
demo mahasiswa dan masyarakat umum. Demonstrasi semakin gencar setelah pemerintah
menaikkan harga BBM di tanggal 4 Mei 1998.

Belum lagi terjadi Tragedi Trisakti yaitu tertembaknya 4 mahasiswa di depan Universitas
Trisakti yang semakin mendorong masyarakat menentang kebijakan pemerintah. Tahun
1997-1998 merupakan periode orde baru yang menjadi masa kelam bagi rakyat Indonesia.

Perekonomian yang tadinya melesat langsung mengalami penurunan disusul dengan


berakhirnya rezim orde baru. Besarnya gelombang demonstrasi di berbagai daerah, membuat
Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Setelah tiga dasawarsa lebih menjabat, orde
baru ambruk akibat krisis ekonomi yang melanda negeri sejak tahun 1997.
Masa Reformasi (1998-Sekarang)

Definisi Reformasi
Gerakan reformasi tahun 1998 merupakan gerakan untuk mengadakan pembaruan dan perubahan
terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum sebagai akibat dari ketidakadilan di
bidang-bidang tersebut serta penyimpangan dan penyelewengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Lahirnya Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa
menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden Prof. DR. B.J. Habibie. Saat ini lah masa orde
baru selesai dan mulailah masa reformasi. Hal–hal pokok yang mendorong lahirnya reformasi adalah
kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok, keadaan ekonomi dan politik di
indonesia yang semakin tidak terkendali. Sehingga dapat diketahui bahwa tujuan lahirnya reformasi
adalah untuk memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Perkembangan Politik
Pada masa reformasi muncullah kebijakan-kebijakan politik baru yang bertujuan membuat
perubahan. Hal-hal yang dilakukan untuk perkembangan politik pada masa reformasi antara lain:

A. Sidang Istimewa MPR 1998. Sidang Ini menghasilkan 12 ketetapan MPR yang di antaranya
memperlihatkan adanya upaya mengakomodasi tuntutan reformasi

1) ketetapan MPR nomor tahun 1998, yang memungkinkan UUD 1945 diamandemen

2) TAP MPR nomor xii tahun 1998, mengenai pencabutan ketetapan MPR nomor V tahun 1998,
tentang wewenang khusus presiden sebagai mandataris MPR

3) Ketetapan MPR nomor xviii tahun 1998, mengenai pencabutan Ketetapan MPR No 11 tahun 1978,
tentang P4

4) Ketetapan MPR nomor XIII tahun 1998, tentang Pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden

5) Ketetapan MPR nomor XV tahun 1988, tentang otonomi daerah

6) Ketetapan MPR nomor XI tahun 1998, pemerintahan yang bersih dari unsur KKN.
B. Otonomi gaya pada masa reformasi dilaksanakan secara lebih demokratis dari masa sebelumnya.

C. Pencabutan pembatasan partai politik.

D. Penghapusan dwifungsi ABRI secara bertahap sehingga ABRI berkonsentrasi pada fungsi
pertahanan dan keamanan. Polri memisah diri menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia
sedangkan ABRI berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia TNI.

Kebijakan politik yang baru ditetapkan pada masa reformasi memiliki kelebihan sebagai berikut :

1) Rakyat dibebaskan dalam berpendapat. Tidak ada lagi kekerasan bagi orang yang mengkritik
pemerintah.

2) Banyaknya pembentukan partai-partai baru.

3) Adanya perbaikan dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang sebelumnya banyak dilanggar pada masa
Orde baru.

4) Keadilan dalam masyarakat semakin terasa dan menyeluruh.

5) Otonomi daerah mulai diterapkan, hal ini dilakukan agar daerah memiliki kewenangan yang lebih
terhadap daerahnya.

Selain memiliki kelebihan, kebijakan pada masa reformasi juga menimbulkan kekurangan,

contohnya :

1. Meningkatnya kriminalitas akibat perlindungan HAM yang tidak seimbang

2. Maraknya teroris akibat melemahnya pertahanan dan keamanan negeri

3. Banyaknya demonstrasi dari para aktivis untuk menyalurkan aspirasi

Perkembangan Ekonomi
A. B. J. Habibie

1. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dapat dibawah Rp10.000.

2. Bekerja sama dengan IMF untuk memperbaiki ekonomi negara.

3. Melikuidasi bank, dan membuat lembaga pemantau ekonomi.

B. Abdurrahman Wahid

1. Kondisi ekonomi Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Namun, adanya ketidakstabilan
politik dan sosial ekonomi menurun. Dikarenakan para investor asing enggan menanamkan
modalnya.

2. Memburuknya hubungan kerja sama dengan IMF.


3. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar hingga menyentuh angka Rp 13,000,00.

C. Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri

1. Dapat menunda pembayaran hutang negara $5,8 miliar.

2. Mengalokasikan pembayaran hutang luar negeri sebesar Rp. 116,3 triliun.

3. Membuat kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

D. Masa Pemerintahan Soesila Bambang Yudhoyono

1. Mengurangi subsidi bahan bakar minyak, yang kemudian dialihkan ke subsidi sektor pendidikan
dan kesehatan.

2. Pemberian bantuan langsung tunai.

3. Pengurangan hutang luar negeri sebesar $ 3,1 miliar.

Kehidupan Masyarakat Pada Masa Reformasi


Beberapa kondisi kehidupan masyarakat pada masa reformasi adalah sebagai berikut:

• Kehidupan masyarakat mengalami berbagai konflik akibat lemahnya hukum dan kacaunya kondisi
ekonomi negara

• Terjadi krisis politik dan krisis hukum

• Terjadi krisis sosial sehingga terjadi beberapa konflik di berbagai daerah

• Banyak masyarakat yang menjadi pengangguran

• Sering terjadi berbagai konflik, seperti tawuran antar pelajar

• Sering terjadi tindak kriminal di masyarakat seperti perampokan, penculikan, dan terorisme

• Krisis hukum menyebabkan hukumyang ada menjadilemah, sehingga masyarakat berani melakukan
tidakan yang melanggar hukum

• Hutang luar negeri menumpuk

• Terjadi beberapa pemberontakan di berbagai daerah, seperti Aceh dan Papua yang ingin
memerdekakan dirinya dengan membentuk negara sendiri

• Terjadi konflik antar etnis, seperti Etnis Madura dengan Dayak

• Kurs rupiah terhadap dollar Amerika tidak stabil

• Dilakukannya peningkatan kualitas pendidikan dengan memperbarui kurikulum yang harus ditinjau
paling sedikit lima tahunan

• Dilakukannya upaya pelestarian budaya dengan mendaftarkan warisan budaya Indonesia ke United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organitation (UNESCO)

Anda mungkin juga menyukai