Anda di halaman 1dari 30

Kurikulum 2013 Revisi K

e
l
a
s

sejarah XI

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DARI SEKUTU [BAGIAN 3]

SEMESTER: 2, KELAS XI SMA/MA/SMK/MAK

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan
sebagai berikut.
1. Mampu menganalisis Perundingan Linggarjati dan dampaknya bagi
kedaulatan Indonesia.
2. Mampu menganalisis Perundingan Renville dan dampaknya bagi
kedaulatan Indonesia.
3. Mampu menganalisis Perundingan Roem-Roijen dan dampaknya bagi
kedaulatan Indonesia.
4. Mampu menganalisis Konferensi Inter-Indonesia dan dampaknya bagi
kedaulatan Indonesia.
5. Mampu menganalisis Konferensi Meja Bundar dan dampaknya bagi
kedaulatan Indonesia.

A. Perundingan Linggarjati
1. Rangkaian Perjanjian Linggarjati
Kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada Agustus 1945 membuat bangsa
ini menuju kehidupan yang baru sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan
yang selama ini dicita-citakan akhirnya benar-benar terwujud.
Kemerdekaan yang ada harus dipertahankan dari bangsa Belanda yang
kembali datang dengan mengatasnamakan NICA dan membonceng
Sekutu. Hal itu mendapat reaksi keras dari bangsa Indonesia sehingga
terjadilah pertempuran-pertempuran di berbagai daerah dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran antara Belanda dan pihak
Republik Indonesia mendapatkan perhatian Inggris, yang merupakan
penanggung jawab dari wilayah Indonesia saat itu. Untuk menyelesaikan
langkah itu, Inggris meminta kedua belah pihak untuk berunding.
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah yang diambil pemerintah
Republik Indonesia dalam rangka memeroleh pengakuan kedaulatan
dari pemerintah Belanda melalui jalan diplomasi. Perjanjian tersebut
melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta pihak Inggris sebagi
pihak penengah. Tokoh–tokoh yang terlibat dalam perundingan tersebut
adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison yang berasal dari Inggris,
sedangkan tokoh yang mewakili pemerintahan Belanda adalah Dr. H.J.
Van Mook. Dari Indonesia sendiri diwakili oleh Perdana Menteri Republik
Indonesia yang saat itu dijabat oleh Sutan Syahrir.
Sebelum perundingan Linggarjati diadakan, telah dilakukan beberapa
kali perundingan di Jakarta maupun di Belanda. Akan tetapi, upaya-
upaya untuk mencapai kesepakatan belum dapat memenuhi harapan
pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Akhirnya, perundingan tersebut
mengalami kegagalan karena kedua belah pihak memiliki pendapat dan
pendirian yang berbeda.
Van Mook adalah orang yang menginginkan terbentuknya persekutuan
Indonesia -Belanda sejak tahun 1930-an. Selain itu, Van Mook termasuk
kelompok pendorong gerakan orang Belanda di tanah jajahan Hindia
Belanda yang memiliki tujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai
tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran.
Kehadiran Van Mook di Jakarta pada awalnya mendapatkan tekanan
baik dari Sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner
Indonesia. Dengan adanya hal tersebut, Van Mook bersedia untuk
melakukan perundingan, walaupun pemerintah Belanda melarang Van
Mook untuk berunding dengan Soekarno atau Hatta. Pelarangan tersebut

2
dilakukan karena Soekarno dan Hatta pernah bekerja sama dengan Jepang
sehingga Belanda menganggap mereka adalah boneka Jepang. Namun,
Van Mook tetap bertemu dengan Soekarno dan “kelompok–kelompok
Indonesia” pada 14 Oktober 1945. Namun, ia tidak mau menyebut sebagai
Republik Indonesia karena pemerintah Belanda pada saat itu belum
mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Van Mook menyatakan
bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru
serta status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan
“Persemakmuran Uni-Belanda”.
Oleh karena tetap tidak ada titik temu antara pihak Indonesia dengan
pihak Belanda, Christison tetap berupaya untuk mempertemukan kedua
belah pihak lagi. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan wakilnya,
yaitu Charles O. van der Plas. Di sisi lain, Indonesia diwakili oleh Soekarno
dan Moh. Hatta yang juga didampingi oleh H. Agus Salim dan Achmad
Subardjo. Di dalam pertemuan tersebut tidak ada hasil yang memuaskan
juga bagi pihak Indonesia karena pihak Belanda masih menginginkan
kebijakan politiknya yang lama.
Pada minggu–minggu terakhir bulan Oktober 1945, berbagai kejadian
dan konfrontasi terjadi seiring makin banyaknya tentara NICA yang
datang ke Indonesia. Konfrontasi tersebut menyebabkan pihak Sekutu
ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika banyak
aksi kekerasan terjadi di kota besar di Indonesia terutama pertempuran
yang sengit di Surabaya. Hal itu menjadikan pihak Sekutu ingin segera
meninggalkan Indonesia. Akan tetapi, karena pihak sekutu tidak mungkin
melepas tanggung jawabnya maka jalan satu–satunya adalah dengan
melakukan perundingan.

a. Perundingan Awal di Jakarta


Pada 1 Oktober 1945 telah diadakan perundingan antara Christison
dari Inggris dengan pihak Republik Indonesia dan menghasilkan
suatu keputusan bahwa Christison mengakui secara de facto terhadap
Republik Indonesia. Hal ini membuat pihak sekutu memperlancar
gerak untuk masuk ke Indonesia. Lalu, pada 1 November 1945
pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat yang berisi

3
bahwa pemerintah RI menginginkan adanya pengakuan terhadap
negara dan pemerintahan RI oleh Inggris maupun oleh Belanda
seperti yang dibuat sebelum PD II. Di sisi lain, pemerintah RI juga
berjanji akan mengembalikan semua milik asing atau memberikan
ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pemerintah RI.
Inggris mendorong untuk segera diadakan perundingan antara
pihak Indonesia dan pihak Belanda. Inggris mengirim Sir Archibald
Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan perantaraan Kerr, pada 10
Februari 1946 dilaksanakan perundingan Indonesia dengan Belanda
di Jakarta. Dalam perundingan tersebut, Van Mook sebagai wakil dari
Belanda mengajukan beberapa usul berikut ini.
1.) Indonesia dijadikan negara persemakmuran yang berbentuk
federasi dan memiliki pemerintahan sendiri, tetapi di dalam
lingkungan Kerajaan Belanda.
2.) Masalah yang ada di dalam negeri di urus oleh Indonesia,
sedangkan segala hal urusan luar negeri ditangani oleh
pemerintah Belanda.
3.) Sebelum dibentuk menjadi persemakmuran akan dibentuk
pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
4.) Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.

Pihak Indonesia sendiri belum menanggapi serta mengajukan


usul-usulnya karena pada saat itu Kabinet Syahrir sedang mengalami
krisis. Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin oleh Tan Malaka
melakukan oposisi, PP mendesak pemerintah Indonesia bahwa
perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan
sepenuhnya terhadap RI.
Namun ternyata, suara anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) pada umumnya menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh
oleh Syahrir sehingga kabinet Syahrir pun jatuh. Akhirnya, Presiden
Soekarno menunjuk Syahrir kembali untuk menjabat sebagai Perdana
Menteri dan Kabinet Syahrir II terbentuk pada tanggal 13 Maret 1946.
Kabinet Syahrir II kemudian memberikan usul balasan atas usul–usul
yang diajukan oleh Van Mook antara lain sebagai berikut.

4
1.) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat
penuh atas wilayah Hindia Belanda.
2.) Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam waktu
tertentu dan segala sesuatu mengenai urusan luar negeri dan
pertahanan diserahkan kepada badan federasi yang anggotanya
terdiri atas orang–orang Indonesia sendiri dan orang–orang
Belanda.
3.) Tentara Belanda segera ditarik kembali dari RI.
4.) Keharusan pemerintah Belanda untuk membantu pemerintah
Indonesia menjadi anggota PBB.
5.) Selama perundingan berlangsung semua aksi militer harus
dihentikan.

Namun usulan Syahrir tersebut ditolak oleh Van Mook, dan sebagai
jalan keluarnya Van Mook memberikan usul tentang pengakuan
Republik Indonesia sebagai wakil Jawa guna mengadakan kerja
sama dalam usaha pembentukan negara federal yang bebas dalam
lingkungan Kerajaan Belanda. Syahrir pun memberikan jawaban atas
usulan tersebut pada tanggal 27 Maret 1946 dengan disertai konsep
persetujuan yang memiliki isi pokok:
1.) agar pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas
Jawa dan Sumatra;
2.) agar RI dan Belanda bersama – sama membentuk RIS; dan
3.) RIS bersama dengan Netherland, Suriname, dan Curacao menjadi
peserta dalam ikatan kenegaraan Belanda.

Usulan yang diajukan Syahrir tersebut ternyata susah saling


mendekati kesepakatan, untuk itu perundingan perlu ditingkatkan
kembali.

b. Perundingan Hooge Veluwe


Perundingan lanjutan diadakan di negeri Belanda, yaitu di Kota Hooge
Veluwe pada April 1946. Pokok dalam perundingan tersebut adalah
memutus pembicaraan yang diadakan di Jakarta oleh Van Mook

5
dan Syahrir. Sebagai pihak penengah dalam perundingan, Inggris
mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan tersebut, Syahrir
mengirim tiga orang delegasi dari Indonesia, yaitu Mr. W. Suwandi, dr.
Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama dengan
Kerr pada tanggal 4 April 1946. Dari pihak Belanda sendiri dihadiri
oleh lima orang, yaitu Van Mook, J.H. van Roijen, J.H. Logeman,
Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan yang diadakan
di Belanda tersebut untuk menyelesaikan perundingan yang belum
tuntas di Jakarta.
Perundingan mengalami jalan buntu sejak hari pertama
diadakan karena masing–masing pihak telah memiliki harapan yang
berbeda. Delegasi Indonesia berharap adanya langkah nyata dalam
upaya pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun, pihak Belanda menganggap bahwa pertemuan di Hooge
Veluwe hanyalah sebagai sekadar pendahuluan.
Pada akhir pertemuan, dihasilkan draf Jakarta yang sudah
disiapkan. Sebagian draf dapat diterima, tapi sebagian lagi tidak
dapat diterima. Usulan yang diterima antara lain pengakuan
Republik Indonesia atas Jawa, sementara Sumatra tidak. Draf Jakarta
tersebut tidak ada satupun yang diakui secara resmi sehingga tidak
dapat dilakukan penandatanganan. Alasan utama Belanda adalah ia
tidak siap mengakui kemerdekaan atas Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia menolak hasil perundingan Hooge Veluwe. Bagi Indonesia,
menerima wakil Indonesia sebagai mitra sejajar berarti menganggap
negeri bekas jajahannya sebagai relasi yang mempunyai kedudukan
sama di dunia internasional.
Kegagalan perundingan Hooge Veluwe mengakibatkan
diadakannya perundingan kembali. Indonesia menganggap
perundingan Hooge memperkuat posisi Indonesia di depan Belanda.
Perundingan tersebut pada akhirnya mengantarkan pada diplomasi
internasional dalam Perjanjian Linggarjati di kemudian hari.

6
c. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
Perundingan Hooge yang gagal, menjadikan pemerintah Indonesia
beralih kepada tindakan militer. RI beranggapan bahwa perlu
mengadakan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda
yang berada di Jawa dan Sumatra. Akan tetapi, gencatan senjata yang
dilakukan dengan cara yang kuno dan secara gerilya tidak membawa
perubahan yang signifikan. Dengan banyaknya korban yang
berjatuhan, risiko yang dihadapi Indonesia semakin tinggi. Untuk
mencegah bertambahnya korban yang berjatuhan, pada Agustus
sampai September 1946 Indonesia merencanakan konsep perang
secara defensif. Akan tetapi bagi Soekarno, Hatta, ataupun Syahrir
perlawanan dengan cara seperti itu lebih berisiko dibandingkan
dengan cara lama karena menurut mereka akan memakan korban
lebih banyak. Oleh karena itu, pengakuan kedaulatan RI lebih baik
dilakukan dengan jalan diplomasi.

Gambar 1. Penandatanganan Perundingan


Linggarjati
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Linggadjati_
Agreement

Awal November 1946, kembali diadakan perundingan. Kali ini


perundingan diadakan di Indonesia, yaitu di Linggarjati. Pelaksanaan
sidang-sidangnya berlangsung selama beberapa hari, yaitu pada
tanggal 11–15 November 1946. Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir
dengan anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan

7
A.K. Ghani. Sementara itu, di pihak Belanda dipimpin oleh Prof.
Schermerhorn dengan anggoatanya Van Mook, F. de Boor, dan Van
Pool. Pihak penengah dan pemimpin sidang ialah Lord Killearn,
yang disaksikan oleh beberapa saksi–saksi, yaitu Amir Syarifudin,
dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo.
Dalam perundingan kali ini ada pembahasan tentang kata ‘yang
merdeka’, diganti dengan kata ‘berdaulat’. Pergantian ini setelah
dibicarakan oleh Schermerhorn kepada Soekarno dan Hatta akhirnya
dapat diterima. Selebihnya tidak ada perdebatan yang sengit dalam
perundingan Linggarjati karena pokok-pokok yang dibahas sudah
dibicarakan terlebih dahulu di perundingan sebelumnya.

Berikut ini beberapa kesepakatan dalam Perundingan Linggarjati.


1.) Pemerintah Belanda mengakui wilayah Jawa, Madura, dan
Sumatra sebagai wilayah kekuasaan RI secara de facto dan
daerah–daerah yang diduduki sekutu akan dikembalikan
kepada RI secara perlahan–lahan.
2.) Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
3.) Akan membentuk Uni Indonesia–Belanda yang dipimpin
oleh Raja Belanda.
4.) Pembentukan Uni Indonesia–Belanda dan NIS diusahakan
selesai sebelum 1 Januari 1949.
5.) Pemerintah RI mengakui serta akan memulihkan dan
melindungi hak milik asing.
6.) Pemerintah RI dan Belanda sepakat mengurangi jumlah
tentara.
7.) Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan perundingan
maka masalah akan diserahkan kepada Komisi Arbitrase.

Naskah kesepakatan tersebut akhirnya ditandatangani oleh


kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta dan isi perundingan harus

8
disahkan terlebih dahulu oleh Indonesia dan KNIP. Pada 25 Maret
1947 akhirnya isi perundingan Linggarjati diratifikasi oleh KNIP.
Perjanjian Linggarjati mengandung prinsip-prinsip pokok
yang harus disetujui oleh kedua belah pihak melalui serangkaian
perundingan lanjutan. Akan tetapi, perundingan lanjutan terhambat
karena masing-masing pihak menuduh tentaranya melanggar
ketentuan gencatan senajata sehingga dokumen perjanjian itu pun
akhirnya tidak membantu, bahkan membuat keadaan semakin
buruk.

Gambar 2. Peta Indonesia Pasca-Linggarjati


Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Linggadjati_
Agreement

Perundingan Linggarjati juga membuat Kabinet Syahrir harus


menyerahkan mandatnya karena mendapatkan mosi tidak percaya
dari parlemen. KNIP yang saat itu berfungsi sebagai parlemen menilai,
Linggarjati sebagai kemunduran karena mempersempit wilayah
Indonesia dan pengakuan Belanda yang hanya sebatas de facto.

B. Perjanjian Renville
1. Komisi Tiga Negara (KTN)
Selama terjadi Agresi Militer Belanda I, Belanda terus berupaya
memperluas wilayahnya dan mendesak wilayah Republik Indonesia.
Aksi militer Belanda kepada Republik Indonesia ini mendapat tekanan
dari dunia Internasional. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar
Negeri, A.A. Maramis segera mengadukan operasi militer ini kepada PBB.

9
Atas permintaan dan desakan dari negara India dan Australia, pada 31 Juli
1947 masalah Indonesia ini masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan
PBB. Inggris yang pernah ikut sebagai penengah dalam perjanjian
Linggarjati, bereaksi keras dan menentang pengunaan militer dalam
penyelesaian masalah. PBB segera melakukan sidang dan mengeluarkan
resolusi untuk permasalahan Indonesia. Resolusi PBB no 27 tanggal 1
Agustus 1947, menyerukan Belanda untuk menghentikan konflik senjata.
Atas resolusi PBB dan desakan dunia internasional, Belanda akhirnya
bersedia untuk menerima resolusi Dewan Keamanan PBB pada 3 Agustus
1947 dan menghentikan operasi militernya.
Dewan Keamanan PBB segera membentuk Komisi Konsuler yang
berfungsi sebagai pengawas dari gencatan senjata antara Indonesia dan
Belanda. Komisi ini terdiri atas para Konsul Jenderal yang berada di
wilayah Indonesia. Komisi Konsuler ini diketuai oleh Konsul Jenderal dari
Amerika Serikat Dr. Walter Foote dan beranggotakan Konsul Jenderal
Prancis, Inggris, Tiongkok, Belgia, dan Australia.
Pada 14 Agustus 1947, sidang Dewan Keamanan PBB membuka sidang
untuk permasalahan Indonesia dan Belanda. Setelah mendengarkan
pandangan masing-masing negara, pada 17 Agustus 1947, pemerintah
Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda bersama-sama menerima
resolusi dan melakukan gencatan senjata. Pada sidang tersebut Indonesia
yang diwakili oleh, Sutan Syahrir meminta diadakannya sebuah komisi
pengawas dari PBB yang bertindak dalam mengawasi pelanggaran dan
gencatan senjata. Amerika Serikat juga mendorong agar dibentuknya
komisi yang bertugas menyelesaikan masalah Indonesia, akhirnya PBB
membentuk Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices
for Indonesia). Komisi ini dibentuk untuk melakukan perundingan lebih
lanjut dalam menyelesaikan pemerintah Indonesia.
Komisi Jasa Baik untuk Indonesia lebih dikenal dengan nama
Komisi Tiga Negara (KTN) karena terdiri tiga negara yang membantu
menyelesaikan sengketa konflik Indonesia dan Belanda. Belanda memilih
Belgia sebagai perwakilannya dan Indonesia memilih

10
Australia perwakilannya, dan Indonesia serta Belanda sepakat untuk
memilih Amerika Serikat sebagai penengah. Negara-negara KTN akhirnya
membentuk komisi ini yang terdiri dari dari Richard Kirby dari Austalia,
Paul Van Zeeland dari Belgia Belanda dan Frank Graham dari Amerika
Serikat.

Komisi Tiga Negara (KTN) terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika.
Australia mewakili Indonesia, Belgia mewakili Belanda, dan Amerika
pihak yang netral.

Campur tangan PBB dalam bentuk komisi konsuler dan KTN


ini sangat menguntungkan Indonesia karena dengan adanya komisi ini
Indonesia dapat menunjukkan pada dunia pelanggaran-pelanggaran
yang telah dilakukan oleh Belanda. Dengan adanya PBB, secara tidak
langsung PBB mengakui bahwa Republik Indonesia adalah negara yang
berdaulat. Hal ini terbukti dengan beberapa negara sudah mengakui
negara Indonesia secara de jure. Hal ini berkembalikan dengan Belanda,
kehadiran KTN tidak diharapkan oleh Belanda, hal ini karena Belanda
masih menilai bahwa Indonesia adalah urusan dalam negerinya.
Setelah komisi konsuler dibubarkan oleh PBB, pada 27 Oktober 1947
anggota KTN tiba di Indonesia untuk mengadakan pendalaman sebelum
diadakan perundingan lanjutan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia
dan Belanda meminta untuk perundingan lanjutan diselengarakan di
tempat yang netral. Untuk memenuhi permohonan tersebut, dipilihlah
kapal USS Renville sebagai tempat perundingan selanjutnya.

2. Perundingan Renville
Setelah KTN berhasil menemukan tempat yang netral bagi kedua belah
pihak, maka perundingan diselengarakan di atas kapal USS Renville
milik Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Tanjung Priok Jakarta,
perundingan ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Bagi Indonesia
tidak hanya untuk menahan aksi militer dari Belanda, akan tetapi

11
Indonesia ingin membuat Belanda patuh terhadap pengakuan de facto
yang telah diakuinya di perundingan Linggarjati.
Dalam Perundingan Renville tersebut, delegasi Indonesia dipimpin
langsung oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi
Belanda diwakili oleh Kolonel KNIL R. Abdulkadir Widjojoatmodjo.
Dengan mengutus Abdulkadir Widjojoatmodjo, Belanda mencoba
meyakinkan KTN bahwa rakyat Indonesia lebih menginginkan
pemerintahan berbentuk federal.

Tabel 1. Delegasi Indonesia dan belanda pada Perundingan Renville

Delegasi Indonesia Delegasi Belanda


Ketua: Amir syarifudin Ketua: R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo
Anggota: Anggota:
1. Ali Sastroamijoyo; 1. Mr. H.A.L. Van Vredenburg;
2. H. Agus Salim; 2. Dr.P.J. Koets; dan
3. Dr.J. Leimena; 3. Mr.Dr.Chr.Soumokil.
4. Dr. Coatik Len; dan
5. Nasrun.

Perundingan Renville membahas masalah status kedaulatan masing-


masing pihak yang bertikai. Hal ini menuntut pada rekapitulasi wilayah
kekuasaan dan penarikan pasukan. Indonesia menuntut untuk segera
kepada Belanda melakukan gencatan senjata karena Belanda masih
menduduki wilayah Indonesia dengan dalih keamanan. Indonesia
masih memegang teguh wilayah Indonesia berdasarkan perundingan
Linggarjati. Belanda menjawab tuntutan Indonesia dengan membuat
garis demarkasi yang dibuat oleh Van Mook. Usul ini tentu ditolak oleh
Indonesia karena tidak mempunyai dasar alasan yang jelas karena garis
Van Mook adalah hasil dari perluasan wilayah Belanda setelah melakukan
Agresi Militer I.

12
Gambar 3. Suasana Perundingan Renville
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Renville_Agreement

Dalam perundingan Renville, tuntutan Belanda yang paling sulit


diterima oleh Indonesia adalah pembentukan negara federal yang bernama
Negara Indonesia Serikat (NIS). Pembentukan NIS yang diinginkan Belanda
adalah berbentuk persemakmuran, dan Belanda sebagai negara induknya.
Permintaan Belanda ini sangat sulit bagi Indonesia karena tidak ada
rincian pasti tentang status kedaulatan Indonesia, sistem undang-
undang, bentuk pemerintahan, bentuk hubungan, dan hubungan dengan
luar negeri. Di sisi lain, Indonesia pasca perjanjian Lingarjati telah
mendapatkan pengakuan secara de facto dan de jure dari negara Inggris,
Amerika Serikat, Libanon, Mesir, Libanon, Suria, Afganistan, Burma,
Arab Saudi, Yaman, Rusia, dan India. Dengan pengakuan ini sebenarnya
sudah menempatkan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Pembentukan NIS merupakan cara Belanda untuk mempertahankan
wilayah Indonesia dalam pengaruhnya sekaligus dalam rangka
memperkecil wilayah dan kekuasan Republik Indonesia. Pembentukan
NIS ini didukung oleh mereka yang kecewa pada pemerintahan Republik
Indonesia dan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas sehingga
pemerintah Indonesia mengangap negara bagian yang telah dibentuk
Belanda tersebut adalah negara boneka. Akan tetapi, Belanda tetap
melakukan itu untuk menekan Indonesia, bahkan selama Perundingan
Renville Belanda membentuk Negara Sumatra Timur.

13
Alotnya perundingan Renville ini membuat KTN harus membuat
terobosan dalam menyelesaikan permasalahan. Pada 25 Desember 1947,
KTN mengajukan sebuah solusi permasalahan. Solusi tersebut terdiri dari
dua bagian, yaitu tentang gencatan senjata dan penghentian segala sesuatu
yang berhubungan dengan pembentukan negara bagian di Jawa, Sumatra,
dan Madura. Usul KTN yang juga dikenal dengan ‘pesan natal’ ini ditolak
Belanda. Belanda mengajukan tuntutan yang sesuai dengan kepentingan
dirinya. Menghadapi kebuntuan dalam perundingan itu, KTN mendekati
Indonesia untuk menerima perjanjian Renville dengan menjamin
eksistensi Indonesia dalam menjalankan hasil perundingan tersebut.

Gambar 4. Delegasi Indonesia dalam Perundingan


Renville
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_
Renville

Perundingan menemukan kata sepakat pada 17 Januari 1948. Proposal


perjanjian yang diajukan oleh Belanda diterima oleh Indonesia dengan
berat hati. Isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.

a. Belanda dan Indonesia sepakat untuk melakukan gencatan senjata.


b. Pengakuan Garis demarkasi van Mook dengan kewajiban
Indonesia menarik mundur tentaranya dari wilayah Jawa Barat
dan Jawa Timur.
c. Belanda hanya mengakui wilayah Republik Indonesia, yaitu
Yogyakarta, Jawa tengah, dan sebagian Sumatra.

14
Gambar 5. Wilayah Jawa Hasil Perundingan Renville
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Renville_
Agreement

Penerimaan pemerintahan Indonesia terhadap hasil perundingan


ini bukan tanpa alasan. Pemerintah terpaksa menerima ini dalam upaya
menghindari perang jika Indonesia menolak proposal yang diajukan
Belanda. Saat itu Presiden Soekarno mendapatkan laporan jika tentara
Indonesia kekurangan amunisi jika harus menghadapi militer Belanda
yang jumlahnya jauh lebih besar. Penerimaan terhadap garis demarkasi
Van Mook juga dikarenakan kepercayaan pemerintah Indonesia yang
bisa mendapatkan kembali wilayah itu setelah diadakan pemungutan
suara rakyat. Pemerintah Republik Indonesia yakin rakyat akan memilih
Republik Indonesia dari pada negara boneka bentukan Belanda.
Perjanjian ini untuk sementara memperkecil wilayah kedaulatan
Indonesia. Tentara Indonesia pun harus melakukan long march ke wilayah
yang dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia. Belanda pun perlahan
tetapi pasti mulai membentuk Negara Indonesia Serikat yang dicita-
citakannya. Hasil perundingan ini membawa kekecewaan dari pihak
Indonesia, S.M. Kartosuwiryo akhirnya mencoba mendirikan Negara
Islam di Jawa Barat dan akhirnya parlemen juga menjatuhkan mosi tidak
percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin. Setelah penyerahan mandat
Amir Syarifuddin, Moh. Hatta ditunjuk sebagai Perdana Menteri dan
melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda dalam rangka
menjalankan hasil Perjanjian Renville.

C. Perundingan Roem – Roijen


Agresi Militer Belanda II dilakukan oleh Belanda dalam rangka
melemahkan pemerintahan Republik Indonesia. Setelah melakukan

15
penyerbuan ke Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta, Belanda mulai
melakukan kampanye internasional bahwa pemerintahan Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi. Kampanye Belanda ini ternyata tidak
berjalan sesuai dengan yang direncanakan karena KTN yang bermarkas
di Kaliurang masih menganggap Presiden Soekarno dan Perdana Menteri
Moh. Hatta sebagai bagian dari pemerintah Republik Indonesia yang sah.
Selain itu, walaupun Belanda berhasil menduduki ibu kota dan menawan
pemimpin–pemimpin Republik Indonesia, tetapi Pemerintahan
Republik Indonesia telah berhasil mendirikan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Pemerintahan darurat yang
berkantor di hutan rimba ini nyatanya mampu berjalan efektif. Selain itu,
diplomasinya berhasil mengajukan protes kepada PBB atas aksi militer
Belanda yang melanggar Perjanjian Renville ini.
Dengan diplomasi internasional
di bawah A.A. Maramis, posisi Belanda
menjadi semakin dikucilkan oleh dunia
internasional. Aksi militer Belanda
hanya semakin membuat PBB terus
memperhatikan Indonesia. Untuk
aksi militer Belanda kali ini, DK-PBB
mengajukan sebuah resolusi pada 28
Gambar 6. Suasana Perundingan
Januari 1949 yang harus diterima oleh
Roem-Roijen
Belanda.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
Posisi Belanda menjadi dilematis Perjanjian_Roem-Roijen
atas keluarnya resolusi tersebut
karena penerimaan resolusi DK-PBB berarti mengubur mimpi untuk
mendapatkan wilayah Indonesia kembali, sedangkan jika menolak
resolusi tersebut akan berdampak pada pengucilan Belanda dari dunia
internasional. Posisi Belanda makin terdesak ketika dunia internasional
dikejutkan dengan aksi tentara Indonesia yang melakukan “Serangan
Umum 1 Maret”. Pendudukan Ibu kota Yogyakarta selama 6 jam yang
dilakukan oleh tentara RI membuat dunia internasional mendesak
Belanda untuk segera menerima resolusi. Propaganda Belanda bahwa

16
Republik Indonesia telah lenyap sirna dengan serangan yang dilakukan
oleh tentara Republik Indonesia.
Pada 23 Maret 1949 dibentuklah United Nations Commissionis for
Indonesia (UNCI) yang akan mengawal dan membantu pihak yang bertikai
untuk mencapai kesepakatan. PBB juga menetapkan keputusan yang
harus disepakati kedua belah pihak sebelum melakukan perundingan.
Pendekatan dilakukan UNCI kepada Presiden Soekarno dan Wakil Tinggi
Mahkota Belanda Dr. J.M.L. Beel dan sebagai penengah dari perjanjian
ini adalah UNCI. Perundingan pun dimulai pada 14 April 1949, delegasi
Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda dipimpin
Herman van Roijen sehingga perundingan ini lebih dikenal dengan
Perundingan Roem-Roijen. Perundingan ini merupakan perundingan
persiapan sebelum dilakukannya perundingan lanjutan, yaitu KMB.

Tabel 2. Delegasi Indonesia dan Belanda pada Perundingan Roem-Roijen

Delegasi Indonesia Delegasi Belanda


Ketua: Mohammad Roem Ketua: Herman van Roijen
Wakil Ketua: Anggota:
1. Ali Sastroamidjojo 1. N.S. Blom
Anggota: 2. A. Jacob
1. Dr. Leimena 3. Dr. J.J. Van der Velde
2. Ir. Joeanda 4. Dr. P.J. Koets Van Hoogstratendan
3. Prof. Soepomo 5. Dr. Geiben, Elink Schuurman
4. Johannes Latuharhary 6. Colonel Thompson
Penasehat:
1. Sutan Syahrir
2. M. Natsir
3. Dr. Darma Setiawan
4. Soemarto
5. Dr. A. Koesoemaatmadja
6. A.K. Pringgodigdo

17
Pada awalnya perundingan berjalan dengan alot karena kedua negara
meminta syarat sebelum perundingan ini dilakukan. Pihak Indonesia
meminta agar pemerintahan Republik Indonesia harus dikembalikan
terlebih dahulu ke Yogyakarta. Pihak Belanda meminta untuk
dihentikannya perang gerilya yang dilakukan oleh tentara republik.
Moh. Roem berbicara dengan lugas dan tegas dalam perundingan ini
karena Indonesia sedang dalam posisi di atas angin setelah Serangan
Umum 1 Maret.
Melihat kebuntuan ini Merle Cochran, anggota Komisi UNCI dari
Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk melanjutkan perundingan.
Jika tidak melanjutkan perundingan, pemerintah Amerika Serikat
akan menghentikan bantuan kepada Indonesia dalam bentuk apa pun.
Akhirnya, Indonesia bersedia untuk melanjutkan perundingan.
Perundingan dilanjutkan dengan mendatangkan Perdana Menteri
Hatta ke Jakarta untuk duduk dalam perundingan. Kedatangan Hatta
ini atas anjuran Cochran yang meminta Hatta menjelaskan batas-batas
wilayah Republik Indonesia jika kembali ke Yogyakarta. Hatta dijemput
dari pengasingan di Bangka tanggal 24 April dan 25 april 1949 hadir dalam
perundingan Roem-Roijen. Dalam perundingan ini Hatta menegaskan
bahwa Belanda harus mengembalikan wilayah Republik Indonesia yang
dikuasainya, terutama di wilayah Jawa. Daerah Jawa Barat yang saat
ini berdiri sebagai Negara Pasundan harus dikembalikan ke Republik
Indonesia. Hatta juga dengan tegas meminta agar Belanda terlebih dahulu
menarik pasukannya dalam rangka mewujudkan gencatan senjata.
Perundingan ini juga menghadirkan Sultan Hamengkubuwono
IX dari Yogyakarta. Kedatangan Sultan Yogya ini dalam rangka
menjelaskan posisi Yogyakarta dalam Pemerintahan Republik
Indonesia. Sultan Hamengkubuwono dengan tegas menyatakan bahwa
Yogyakarta merupakan wilayah Republik Indonesia. Pernyataan Sultan
Hamengkubuwono IX ini meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam
perundingan.
Kepiawaian Moh. Roem dan didukung pernyataan Hatta dan Sultan
Hamengkubuwono IX sangat berarti bagi kemenangan diplomasi

18
Indonesia. Belanda yang dalam posisi sulit akhirnya menyetujui tuntuan
Indonesia. Perundingan ini membawa Indonesia untuk mencapai
kedaulatan penuh dari Belanda. Perundingan ini akhirnya ditandatangani
pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Hasil perundingannya
adalah sebagai berikut.

a. Pendukung Republik Indonesia yang bersenjata akan


menghentikan aktivitas gerilya.
b. Pemerintah Republik Indonesia akan ikut serta dalam Konferensi
Meja Bundar.
c. Dikembalikannya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan operasi militer
dan akan membebaskan semua tahanan politik.

Berdasarkan kesepakatan, pada 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan


Perdana Menteri Moh. Hatta kembali dari pengasingannya ke Yogyakarta.
Pada 13 Juli 1949, Kabinet Hatta mengesahkan hasil perundingan Roem-
Roijen. Pada hari yang sama, Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno, setelah sebelumnya Sjafruddin
Prawiranegara menjabat sebagai presiden Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI).
Moh. Hatta setelah memerintah kembali segera mengangkat Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan. Dalam mengemban
tugas barunya Sultan Hamengkubuwono IX mencoba berunding dengan
Belanda tentang penarikan pasukan Belanda dari Yogyakarta. Gencatan
senjata antara Belanda dan Pemerintahan Republik Indonesia dilakukan
mulai 11 Agustus 1949 di Jawa dan 15 Agustus 1949 Sumatra.
Walaupun Perjanjian Roem-Roijen adalah langkah maju dalam
pencapaian perundingan Indonesia, tetapi hasil perundingan ini
mendapatkan pertentangan dari dalam negeri. Jenderal Besar Sudirman,
sebenarnya tidak mendukung dilaksanakannya perundingan karena posisi
Indonesia yang sedang diuntungkan pasca-Serangan Umum 1 Maret.

19
Jenderal Besar Sudirman tidak percaya pada komitmen Belanda dan
perundingan hanya akan membuat posisi tentara republik menjadi sulit.
Natsir dari Partai Masyumi sempat mengkritisi legitimasi Moh. Roem
sebagai ketua delegasi Indonesia. Hal ini karena mandat yang diterima
oleh Moh. Roem dari Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta
sebenarnya sudah tidak berlaku karena pemerintahan sah yang saat itu
adalah PDRI di bawah Sjafruddin Prawiranegara. Hal ini dilakukan oleh
Natsir karena memang beliau lebih condong pada pemerintahan PDRI.

D. Konferensi Inter-Indonesia
Upaya Belanda dalam mempertahankan wilayah Indonesia sebagai tanah
jajahanya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan strategi militer,
tetapi juga dengan kekuatan politik. Belanda dengan strategi politiknya
melakukan strategi devide et impera. Ketidakmungkinan Belanda
menguasai Indonesia seperti masa zaman Hindia Belanda membuatnya
mulai mencari bentuk baru dalam hubungan Kerajaan Belanda dan negara
jajahannya. Maka dijajakanlah bentuk negara persemakmuran bagi
negara jajahannya, dan untuk menerapkan pola ini Belanda melakukan
aksi militer dengan cara memerangi negara Republik Indonesia yang
baru terbentuk. Pendudukan Belanda di wilayah Indonesia ini mendapat
pertentangan dari tentara republik yang membuat banyak pertempuran.
Inggris yang menolak segala bentuk kekerasan ini akhirnya memaksa
Belanda dan Indonesia untuk berunding dalam perundingan Linggarjati.
Dalam perundingan ini, Belanda secara nyata ingin mewujudkan negara
federal.

1. Konferensi-Konferensi BFO
Di tengah situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda
melakukan tekanan politik dan militer. Tekanan politik dilakukan dengan
cara menyelenggarakan Konferensi Malino yang bertujuan membentuk
negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris
dan Australia kepada Belanda. Konferensi Malino sendiri diadakan pada
15–26 Juli 1946. Dalam konferensi ini Belanda mengajak daerah-daerah

20
lain di Indonesia untuk bersama-sama ikut serta dalam penyusunan
ketatanegaraan Indonesia dan perundingan-perundingan dengan
pemerintahan Belanda. Konferensi ini dilanjutkan dengan konferensi-
konferensi lainnnya, yaitu Konferensi Pangkal Pinang diselenggarakan
pada tanggal 1–12 Oktober 1946, konferensi ini diselengarakan untuk
golongan minoritas. Konferensi Denpasar diselengarakan pada tanggal
7–24 Desember 1946, dan Konferensi Jawa Barat yang berlangsung
sebanyak tiga kali, yaitu dimulai dari Oktober 1947 dan berakhir hingga
5 Maret 1948.
Di samping itu, Belanda juga terus-menerus mengirimkan pasukannya
untuk memasuki wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan permusuhan
kedua belah pihak semakin meningkat. Namun, di sisi lain usaha-usaha
diplomasi terus dilakukan. Pada bulan Desember 1946, Negara Indonesia
Timur dibentuk oleh Belanda. Negara bagian ini merupakan bagian dari
rencana pembentukan Negara Indonesia Serikat. Selanjutnya, Belanda
terus membantuk negara-negara bagian di wilayah yang didudukinya,
seperti Negara Pasundan, Negara Madura, Sumatra Timur, dan Negara
Sumatra Selatan. Selain negara federal tersebut Belanda juga membentuk
beberapa daerah otonomi.
Setelah adanya Perjanjian Linggarjati, Van Mook berinisiatif untuk
mendirikan pemerintahan federal sementara, tindakan ini menimbulkan
kegelisahan di kalangan negara-negara yang tidak terwakili dalam
susunan pemerintahan. Namun, pada kenyataannya pemerintahan
federal tersebut tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Hindia
Belanda. Karena itu pada bulan Mei – Juli 1948, negara-negara federal
mengadakan rapat di Bandung yang dihadiri oleh empat negara federal
yang telah terbentuk, yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra
Timur, Negara Pasundan, dan Negara Madura serta dihadiri oleh daerah-
daerah otonom seperti Bangka, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jawa Tengah. Rapat
tersebut diketuai oleh Mr. T. Bahriun dari Negara Sumatra Timur dan
diberi nama Bijeenkomst voor Overleg (BFO) yang artinya suatu pertemuan
untuk Musyawarah Federal. Sebagai pengambil inisiatif ialah Ida Agung
Gde Agung yang merupakan seorang Perdana Menteri Negara Indonesia

21
Timur, juga R.T. Adil Puradireja yang merupakan seorang Perdana Menteri
Negeri Pasundan.
Permusyawarahan negara-negara federal ini akhirnya resmi
dibentuk. Pada organisasi awal BFO diketuai oleh Tengkoe Bahriun dari
Negara Sumatra Timur, dan sebagai Wakil Ketua I Mohammad Hanafiah
dari daerah otonom Banjar, Wakil Ketua II Sultan Hamid II dari daerah
otonom Kalimantan Barat, serta sebagai Sekretaris Mr. A.J. Vleer.
BFO dimaksudkan untuk mencari penyelesaian dari situasi politik
yang genting akibat perkembangan politik antara Indonesia dan Belanda
yang berpengaruh pada perkembangan negara-negara bagian. BFO
diharapkan sebagai wadah permusyawarahan negara-negara bagian
dalam mengatasi kondisi sosial politik yang terjadi. Pertemuan ini juga
dirancang untuk menjadikan pemerintahan yang lebih baik dibandingkan
pemerintahan federal yang dibuat Van Mook.
Dari awal Belanda selalu menginginkan bahwa Indonesia berbentuk
federal sehingga dapat terus dikendalikan oleh Belanda. Negara-negara
bagian ini didorong untuk selalu berseberangan secara politik dengan
Republik Indonesia. Belanda melakukan propaganda terhadap dunia
internasional bahwa pemerintahan Indonesia adalah topeng dari
imperialisme Jawa yang ingin menguasai suku bangsa lain di Indonesia.
Di dalam negeri Indonesia, Belanda selalu melakukan propaganda bahwa
Republik Indonesia adalah para imperialis republican. Untuk melawan
propaganda itu, pemerintah Republik Indonesia menyebut negara bagian
sebagai negara-negara boneka.
Propaganda Belanda dalam memecah belah bangsa Indonesia
ternyata tidak berjalan dengan baik. Perdana Menteri Negara Indonesia
Timur, Anak Agung Gde Agung berharap bahwa ada persatuan diantara
bangsa Indonesia terutama dalam menghadapi pertikaian antara
Republik Indonesia dan Belanda. Untuk mewujudkan itu Anak Agung
Gde Agung bahkan membentuk Goodwill Mission NIT, pada tanggal 18
Februari 1948 dan mengirimnya ke Yogyakarta. Kedatangan Goodwill
Mission NIT ini disambut baik oleh pemerintah Republik Indonesia.
Selama berada di Indonesia Goodwill Mission NIT melakukan kunjungan
ke daerah kekuasaan Republik Indonesia, melakukan tukar pikiran

22
dengan para pemimpin Republik Indonesia. Misi Goodwill Mission NIT
berakhir hingga 29 Februari 1948, dan ini adalah sebuah langkah awal
kerjasama antara para kaum republikan dan federalis untuk melakukan
kerja sama.
Pada 15 Januari 1949, BFO membentuk sebuah komisi penghubung
untuk mengadakan perundingan-perundingan secara ‘informal’ dengan
Presiden Soekarno di pengasingan. Pertemuan informal ini terjadi
di Bangka, yaitu antara Anak Agung Gde Agung dengan perwakilan
Indonesia, yaitu Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan J. Leimena. Pertemuan
ini dilanjutkan dengan pertemuan kedua yang terjadi pada 2 Maret 1949.
Inti dari perundingan ini adalah untuk melakukan solusi dan kerja sama
yang erat di antara Republik Indonesia dan BFO agar tercipta konsensus
nasional demi terciptanya Negara Indonesia Serikat yang berdaulat
penuh.

2. Konferensi Inter-Indonesia
Pada 14 April 1949 BFO mengadakan rapat untuk membahas rencana
penyerahan kedaulatan Belanda dan hasil kerja dari komisi penghubung
dengan Republik Indonesia. Dalam rapat itu, Anak Agung Gde Agung
mengusulkan untuk membentuk konferensi antara BFO dan pemerintahan
Republik Indonesia dalam rangka mempersiapkan perundingan KMB.
Konferensi ini bertujuan untuk menyamakan pandangan dalam rangka
menghadapi Belanda dalam perundingan KMB. Perundingan ini nanti
akan dikenal dengan nama Konferensi Inter-Indonesia.
Untuk mengajak Republik Indonesia berparisipasi, ketua BFO
mengutus Mr. Kosasih Purwanegara ke Yogyakarta untuk membahas
rencana konferensi itu dengan pimpinan Republik Indonesia. Setelah
dilakukan kordinasi, disepakati bahwa konferensi akan dilaksanakan
sebanyak dua kali, yaitu pada pada 20–22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada
tanggal 31 Juli–2 Agustus di Jakarta.
Pada penyelengaraaan Konferensi Inter-Indonesia pertama,
konferensi dipimpin oleh Mr. Tadjuddin Noor dan berlangsung di
Bangsal Kepatihan. Pada konferensi yang pertama ini dibentuk peraturan

23
konferensi dan pembentukan panitia-panitia seperti, Panitia Pengarah
(Steering Committee), Panitia Ketatanegaraan, Panitia Keamanan, Panitia
Keuangan dan Ekonomi, serta Panitia Kebudayaan. Panitia-panitia
ini akan melakukan rapat dan membicarakan berbagai masalah yang
akan diajukan dalam perundingan KMB, hasil kerja panitia-panitia ini
akan dirumuskan oleh Steering Committee. Hal-hal yang belum dapat
diselesaikan dalam konferensi ini, akan diselesaikan oleh panitia teknis
dan akan kembali dibahas di Konferensi Inter-Indonesia yang kedua.

Gambar 7. Suasana Konferensi Inter-Indonesia


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
Berkas:Konferensi_inter-indonesia.jpg

Pada penyelengaraan Konferensi Inter-Indonesia yang kedua ini,


dilaksanakan di Gedung Indonesia Serikat, tempat BFO beraktifitas. Pada
konferensi kali ini Sultan Hamid II bertindak sebagai ketua konferensi.
Pada konferensi kedua ini, diumumkan panitia-panitia baru yang akan
menduduki Panitia Ketatanegaran, Panitia Keuangan dan Ekonomi, serta
Panitia Kebudayaan. Hasil rapat berupa rekomendasi akan dirumuskan
oleh Steering Committee sebagai hasil akhir dari konferensi. Berikut ini
keputusan-keputusan penting dari Konferensi Inter-Indonesia II.

a. Pada bidang ketatanegaraan RIS disepakati mengunakan bahasa


Indonesia, bendera Sang Saka Merah Putih, dan lagu kebangsaan
adalah Indonesia Raya.

24
b. Pada bagian ekonomi, disepakati menggunakan satu alat
pembayaran yang sah dan kegiatan impor-ekspor akan diatur
secara sentral.
c. Pada bagian keamanan disepakati untuk membentuk Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), dimana TNI sebagai
inti dari APRIS, pertahanan negara akan menjadi urusan
pemerintah pusat dan bukan negara bagian, sehingga negara
bagian tidak akan memiliki angkatan perang sendiri.

Konferensi Inter-Indonesia adalah sebuah wujud dari konsesus


dari nasional. Konsensus ini adalah sebuah wujud dari persatuan dan
persaudaraan bangsa Indonesia. Konferensi ini merupakan sebuah
langkah bersama bangsa Indonesia untuk menghadapi Belanda di
perundingan KMB dalam rangka memeroleh kedaulatan. Dengan
diadakan terlebih dahulu konferensi ini, alotnya perundingan KMB
karena perdebatan sengit terjadi hanya antara pemerintah Republik
Indonesia dan Belanda, antara BFO dan Republik Indonesia tidak terjadi
perdebatan karena sudah sepakat dalam konferensi Inter-Indonesia.

SUPER "Solusi Quipper"


Untuk memahami strategi Belanda dalam menghadapi Indonesia, bisa
dipakai tips pemahaman SUPER berikut.

Militer

• Agresi Militer I
• Agresi Militer II

Politik

• Pembentukan negara-negara federal

25
3. Konferensi Meja Bundar
Perjanjian Roem–Roijen membawa harapan baru bagi penyerahan
kedaulatan Indonesia. Hasil perjanjian ini memaksa Belanda untuk
mempercepat penyerahan kedaulatan kepada bangsa Indonesia. Resolusi
DK-PBB berhasil menekan Belanda dan memaksanya mengadakan
konferensi lanjutan di Den Haag, Belanda. Konferensi ini direncanakan akan
dihadiri oleh seluruh negara bagian Indonesia dan Republik Indonesia.
Kehadiran BFO dalam konferensi ini sejajar dengan Republik Indonesia.

Gambar 8. Suasana Konferensi Meja Bundar


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_
Meja_Bundar

Pemerintah Republik Indonesia diwakili langsung oleh Perdana


Menteri Moh. Hatta sebagai ketua delegasi. Selain itu, Indonesia
juga diwakili oleh Dr. J. Leimena, Moh. Roem, Mr. Supomo, Mr. Ali
Sastroamijoyo, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Dr. Sukiman, Ir. Juanda,
Mr. Suyono Hadinoto, TB. Simatupang, Mr. AK. Pringgodigdo, dan Mr.
Sumardi. BFO diketuai oleh Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak.
Delegasi Kerajaan Belanda diketuai oleh Mr. Van Maarseveen. Bertindak
sebagai moderator adalah UNCI yang dipimpin oleh Chritchley.
Konferensi digelar di Den Haag Belanda, dan dikenal dengan Konferensi
Meja Bundara atau Ronde Tafel Conferentie, yang dimulai pada tanggal
23 Agustus 1949.
Konferensi ini merundingkan penghentian sengketa antara
Indonesia dan belanda, selain itu juga dalam rangka menyepakati tata
cara penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda sehingga setelah

26
penyerahan kedaulatan hubungan kerja sama antara Belanda dan
Indonesia dapat tetap berjalan. Sebelumnya, antara pemerintahan
Republik Indonesia dan BFO telah menyepakati bentuk negara serikat
dan masalah ketatanegaraan lainnya dalam Konferensi Inter-Indonesia
sehingga antara BFO dan Republik Indonesia tidak terjadi perdebatan.
Perdebatan banyak terjadi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah
Belanda.
Perdebatan pertama terjadi untuk permasalahan Uni Indonesia-
Belanda, Pemerintah Indonesia menginginkan bentuk kerja sama
ini dalam bentuk yang longgar dan tidak mengikat sehingga tidak
memerlukan organisasi. Belanda yang menginginkan Indonesia sebagai
negara persemakmurannya menginginkan suatu hubungan yang terikat
dan permanen dan mencakup bidang yang luas. Bentuk Uni Indonesia-
Belanda ini adalah bentuk kolonialisme dan imperialisme baru yang
tentu saja tidak disetujui Indonesia. Akhirnya, disepakati hubungan Uni
Indonesia-Belanda yang longgar dan ratu Belanda sebagai pemimpin
simbolis.
Dalam Bidang Ekonomi, pemerintahan Indonesia menjamin tidak
ada diskriminasi terhadap perusahaan Belanda yang masih berada di
Indonesia. Perusahaan ini masih dipersilakan untuk beroperasi dengan
mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia. Indonesia juga bersedia
mengambil alih seluruh kesepakatan dagang yang sedang dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Permasalahan Hutang Hindia Belanda menjadi perdebatan yang
berlarut-larut. Belanda menginginkan Republik Indonesia Serikat akan
menanggung semua hutang milik pemerintah Hindia Belanda sampai
dengan penyerahan kedaulatan terjadi. Keinginan Belanda itu ditolak oleh
pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia mengingini pembayaran
hutang Hindia Belanda hanya sampai ketika Belanda menyerah pada
Jepang, 1942. Keberatan pemerintah Republik Indonesia ini bukan pada
jumlah uang yang harus ditanggung, tetapi pada pengunaan hutang
setelah tahun 1945 sampai penyerahan kedaulatan. Hutang pemerintah
Hindia Belanda setelah tahun 1945 lebih banyak dipergunakan untuk
membiayai operasi militer melawan pemerintah Indonesia, itu berarti

27
pemerintah Indonesia harus membayar setiap peluru yang ditembakkan
ke tentara republik sendiri. Awalnya pemerintah Republik Indonesia tidak
menerima permintaan Belanda, tetapi setelah dibujuk oleh perwakilan
Amerika Serikat, akhirnya menerima. Perwakilan Amerika meyakinkan
pemerintahan Republik Indonesia bahwa itu adalah harga yang harus
dibayar untuk memperoleh kedaulatan. Akhirnya, Indonesia harus
menangung 4,3 Milyar Gulden hutang Hindia Belanda.
Permasalahan Papua Barat atau Hollandia juga hampir menemui
jalan buntu dalam perundingan ini. Indonesia menginginkan luas wilayah
kekuasannya adalah sebesar bekas wilayah Hindia Belanda, tetapi
keinginan ini ditolak oleh Belanda. Belanda beragumentasi bahwa Papua
Barat tidak memiliki kedekatan ras, etnis, dan budaya dengan bangsa
Indonesia sehingga tidak dapat dimasukan dalam wilayah Indonesia.
Keinginan Indonesia ini sebenarnya didukung oleh opini rakyat Belanda,
tetapi pemerintah Belanda mempunyai kepentingan lain terhadap Papua
Barat sehingga masih mempertahankannya. Untuk mengatasi masalah
ini maka pada 1 November 1949 disepakati bahwa permasalahan Papua
Barat akan dibahas kembali paling lama 1 tahun setelah penyerahan
kedaulatan.
Setelah melalui perundingan yang panjang, pada 2 November
1949 di dalam gedung parlemen Belanda dari perundingan Konferensi
Meja Bundar ini disepakati beberapa kesepakatan sebagai berikut.
a. Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada
Republik Indonesia Serikat tanpa syarat dan tidak dapat dicabut lagi
sehingga Republik Indonesia Serikat adalah negara merdeka dan
berdaulat.
b. Republik Indonesia Serikat terdiri dari Republik Indonesia dan 15
negara bagian yang dibentuk oleh Belanda.
c. Penyerahan kedaulatan kepada Indonesia paling lambat pada
30 Desember 1949.
d. Wilayah Papua Barat akan dibahas dalam waktu satu tahun.
e. Republik Indonesia Serikat mengambil alih seluruh hutang
pemerintah Hindia Belanda hingga penyerahan kedaulatan.

28
Gambar 9. Penandatangan Hasil Konferensi Meja
Bundar
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_
Meja_Bundar

Delegasi Indonesia yang telah menyelesaikan perundingan


kembali ke Indonesia dengan hasil yang telah disepakati di Den Haag.
Hasil perundingan KMB diratifikasi oleh KNIP pada 6 Desember
1949. Selanjutnya para pemimpin negara bagian dan pemerintah RI
mengadakan pertemuan pada 14 Desember 1949 untuk menindaklanjuti
dan melakukan persiapan penyerahan kedaulatan. Pertemuan
berlangsung di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan no. 56. Pertemuan
ini berhasil mengesahkan rancangan Undang-Undang Dasar RIS.
Pada 16 Desember 1949, dilaksanakan pengangkatan Soekarno
sebagai Presiden RIS dan Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS.
Pada 20 Desember 1949 Kabinet Hatta dilantik sehingga terbentuklah
pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Dalam negara bagian Republik
Indonesia, dilantik juga Mr. Assaat yang saat itu menjabat sebagai ketua
KNIP sebagai Presiden Republik Indonesia. Pengangkatan ini untuk
menjaga keberlangsungan pemerintahan Republik Indonesia jika
pemerintahan RIS bubar.
Berbeda dengan Indonesia, parlemen Belanda menerima hasil
perundingan KMB dengan perdebatan. Hal ini dapat dipahami karena
hasil KMB merupakan kekalahan Belanda terhadap Indonesia. Akhirnya
parlemen Belanda meratifikasi hasil perundingan ini pada 21 Desember
1949. Setelah kedua negara meratifikasi hasil perundingan tersebut, pada
27 Desember 1949 dilaksanakan penyerahan kedaulatan Indonesia dari

29
Kerajaan Belanda kepada pemerintahan Republik Indonesia. Penyerahan
ini terjadi di dua tempat berbeda. Di Belanda, Pemerintah Belanda diwakili
oleh Ratu Juliana, Perdana Mentri Willem Drees, dan Menteri Seberang
Lautan Sasseu untuk menandatangani akta penyerahan kedaulatan,
Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Moh. Hatta. Di Indonesia
Penyerahan kedaulatan dilakukan oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanda
A.H.S. Lovink dan Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan penyerahan
kedaulatan ini, berakhir juga perselisihan Indonesia dan Belanda.

Gambar 10. Penyerahan Kedaulatan Indonesia


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pengakuan_
tanggal_kemerdekaan_Indonesia_oleh_Belanda

Perundingan ini membawa babak baru dalam sejarah bangsa


Indonesia. Pertama, bangsa Indonesia telah mendapat pengakuan
seutuhnya sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Kedua, bangsa
Indonesia akan menjalankan pemerintahan dengan sistem pemerintahan
federal dan menggunakan UUD RIS sebagai dasar hukumnya. Semua ini
harus dijalani sebagai sebuah upaya untuk mendapatkan kemerdekaan
sepenuhnya.

30

Anda mungkin juga menyukai