Anda di halaman 1dari 10

Makalah

PKn
Perjanjian Indonesia - Belanda
(Perjanjian Linggarjati)

Oleh :
Sylvia Puri Lumban Tobing

Kelas
VIII A

SMP Negeri Sorek Du


KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah Perjanjian Linggarjati ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia. Kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
Perjanjian Linggarjati ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan
serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-
baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah Perjanjian
Linggarjati ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti
milik kita sebagai manusia. Semoga makalah Perjanjian Linggarjati ini dapat bermanfaat bagi
kita semuanya.

Sorek , November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
 KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI
 BAB I PENDAHULUAN
o A. Latar Belakang
o B. Rumusan Masalah
o C. Tujuan
 BAB II PEMBAHASAN
o A. Perundingan Awal di Jakarta
o B. Perundingan Hooge Veluwe
o C. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
o D. Konferensi Malino
 BAB III PENUTUP
o A. Kesimpulan
o B. Saran
 DAFTAR PUSTAKA
 Download Contoh Makalah Perjanjian Linggarjati.docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik


Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan
diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai
penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison
dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang
kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah
Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir.
Sebelum perundingan Linggarjati, sudah dilakukan beberapa kali perundingan baik di Jakarta
maupun di Belanda. Namun, usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi
harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami
kegagalan karena masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda.

Van Mook adalah orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia juga seorang
penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an. Ia termasuk kelompok pendorong gerakan orang
Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda. Mereka bertujuan untuk menjadikan Hindia
Belanda sebagai tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran. Atas pandangan itu suatu
saat nanti Indonesia menjadi bagiannya sesuai dengan makna politik dan sosialnya sendiri.
Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia.
Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Van Mook lebih siap
menghadapi perubahan situasi daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun, ia
mendapatkan situasi yang jauh dari perkiraannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan
segala konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat
menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam
makalah tentang Kewirausahaan Perjanjian Linggarjati ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses perundingan awal di Jakarta?


2. Bagaimana proses perundingan Hooge Veluwe?
3. Bagaimana proses pelaksanaan Perundingan Linggarjati?
4. Bagaimana proses Konferensi Malino?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Perjanjian Linggarjati ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk memahami proses perundingan awal di Jakarta.
2. Untuk memahami proses perundingan Hooge Veluwe.
3. Untuk memahami proses pelaksanaan Perundingan Linggarjati.
4. Untuk memahami proses Konferensi Malino.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perundingan Awal di Jakarta

Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan
pihak Republik Indonesia. Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto
terhadap Republik Indonesia. Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke
wilayah Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945
mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pemerintah RI menginginkan pengakuan
terhadap negara dan pemerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang
dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan semua milik asing
atau memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pemerintah RI.

Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia,
mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh karena itu,
Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark
Kerr, pada tanggal 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di
Jakarta. Dalam perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan usul-usul
antara lain sebagai berikut:

1. Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, memiliki


pemerintahan sendiri tetapi di dalam lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda);
2. masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani
oleh pemerintah Belanda;
3. sebelum dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama
sepuluh tahun; dan
4. Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.

Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya. Kebetulan situasi
Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka
melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa perundingan hanya dapat
dilaksanakan atas dasar pengakuan seratus persen terhadap RI. Ternyata mayoritas suara
anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh karena itu,
Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana
Menteri. Kabinet Syahrir II terbentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II
mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain
sebagai berikut:

1. RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda;
2. Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu; Mengenai urusan
luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya
terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda;
3. Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik;
4. Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota
PBB;
5. Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan. Usulan
Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook.
Sebagai jalan keluarnya Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan Republik Indonesia
sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal
yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir
memberikan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai
berikut:

1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra;
2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS; dan
3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi peserta dalam
ikatan kenegaraan Belanda.

Usulan tersebut ternyata sudah saling mendekati kompromi. Oleh karena itu, usaha
perundingan perlu ditingkatkan.

B. Perundingan Hooge Veluwe

Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok
pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta
oleh Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir
Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta,
yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama
Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.
Logeman, Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan
perundingan yang tidak tuntas saat di Jakarta. Perundingan mengalami deadlock sejak hari
pertama, karena masing-masing pihak sudah mempunyai harapan yang berbeda. Delegasi
Indonesia berharap ada langkah nyata dalam upaya pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia. Sementara pihak Belanda menganggap pertemuan di Hooge Veluwe itu hanya
untuk sekedar pendahuluan saja.

Pada akhir pertemuan dihasilkan, draf Jakarta yang sudah disiapkan. Sebagian dapat diterima
dan sebagian lagi tidak dapat diterima. Usulan yang diterima antara lain adalah pengakuan
kekuasaan RI atas Jawa, sementara Sumatra tidak diakui. Dari draf Jakarta, tidak ada satu pun
yang disetuju secara resmi, sehingga tidak dilakukan penandatanganan. Alasan utama
Belanda adalah Belanda tidak siap melakukan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia menolak bentuk perundingan di Hooge Veluwe sebagai
perjanjian internasional dua negara. Bagi Indonesia, menerima delegasi Republik Indonesia
sebagai mitra sejajar berarti menganggap negeri bekas jajahannya sebagai mitra sejajar yang
mempunyai kedudukan yang sama di dunia internasional. Sementara itu, Belanda masih
belum mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Di sisi lain, kondisi Belanda yang saat itu sedang mempersiapkan pemilihan umum pertama
pascaperang tidak siap untuk mengambil keputusan yang mengikat masalah Indonesia,
karena masalah Indonesia tergantung pada peta politik yang ada di Belanda. Satu di antara
partai politik yang menentang keras kebijakan perundingan adalah Partai Katolik, seperti
halnya dengan kelompok PP di Indonesia. Pada awal dimulainya perundingan Hooge
Valuwe, Romme pimpinan fraksi Partai Katholik di parlemen Belanda menulis di tajuk
Harian Volkskrant dengan nada keras anti negosiasi yang berjudul De week der Schande
(Minggu Yang Penuh Aib).
Kegagalan perundingan Hooge Veluwe bagi kedua negara membawanya untuk kembali
mengadakan perundingan. Bagi Indonesia perundingan Hooge Veluwe memperkuat posisi
Indonesia di depan Belanda. Perundingan itu juga menjadikan masalah Indonesia menjadi
perhatian dunia internasional. Perundingan itu pula yang mengantarkan pada diplomasi
internasional dalam Perjanjian Linggarjati pada kemudian hari.

C. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati

Kegagalan dalam perundingan Hooge Veluwe, pada April 1946, menjadikan pemerintah
Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu
melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan
Sumatra. Namun gencatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak
membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan
banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan
Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara
defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawanan dengan strategi perang defensif itu
lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih
banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan
dengan jalan diplomasi.

Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati.


Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11-15 November 1946. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo,
dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa
anggota, yakni Van Mook, F. de Boor, dan van Pool. Sebagai penengah dan pemimpin sidang
adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr.
Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di
dalam perundingan Linggarjati itu. Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang
terdiri atas 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut:

1. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas


wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau
Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI;
2. Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia
Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat;
3. Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin
oleh raja Belanda;
4. Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1
Januari 1949;
5. Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing;
6. Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara;
dan
7. Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan
masalahnya kepada Komisi Arbitrase.

Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta
(sekarang Istana Merdeka). Isi perundingan itu harus disyahkan dahulu oleh parlemen
masing-masing (Indonesia oleh KNIP). Untuk meratifikasi dan mensyahkan isi Perundingan
Linggarjati, kedua parlemen masih enggan dan belum puas. Pada bulan Desember 1946,
Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 tentang penambahan anggota KNIP. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbesar suara yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP.
Tanggal 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota baru KNIP. Akhirnya isi
Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada tanggal 25 Maret 1947, yang lebih dikenal
sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati.

Setelah Persetujuan Linggarjati disahkan, beberapa negara telah memberikan pengakuan


terhadap kekuasaan RI. Misalnya dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Birma
(Myanmar), Arab Saudi, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati itu mengandung prinsip-
prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak melalui serangkaian perundingan
lanjutan. Ketentuan dalam pasal (2) misalnya, menentukan bahwa RI dan Belanda akan
bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat sebagai pengganti Hindia Belanda.
Namun, perundingan lanjutan terhambat karena masing-masing pihak menuduh tentaranya
melanggar ketentuan gencatan senjata. Dokumen perjanjian itu pun akhirnya tidak membantu
untuk memecahkan masalah bagi kedua belah bangsa. Bahkan memperburuk keadaan.

Belanda kemudian mengadakan gencatan senjata operasi militer di Jawa dan Sumatra pada 21
Juli 1947. Belanda menyebut tindakan itu sebagai “actie politionel” (tindakan kepolisian).
Istilah itu berarti “pengamanan dalam negeri” atau yang dimaksud di sini adalah Indonesia.
Artinya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, seperti yang sudah
dinyatakan dalam dokumen Linggarjati. Belanda memberi sandi pada serangan umum itu
dengan “Operasi Produk” yaitu operasi yang ditujukan untuk wilayah-wilayah yang dianggap
penting secara ekonomi bagi Belanda.

Kondisi itu mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi.


Ada dua resolusi yang disampaikan oleh PBB. Pertama, menghimbau agar RI dan Belanda
segera menghentikan perang dan membentuk Negara Indonesia Serikat, seperti yang
diamanatkan dalam perjanjian Linggarjati. Kedua, adalah usulan Amerika agar kedua belah
pihak membentuk sebuah tim untuk membantu menyelesaikan masalah itu. Usulan itu
kemudian dikenal dengan istilah “Komisi Tiga Negara”.

Komisi Tiga Negara (KTN) itu terdiri atas Australia, yang diwakili oleh Richard C. Kirby
yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland. Amerika
diwakili oleh Frank P. Graham yang dipilih oleh Belgia dan Australia. Hasil dari KTN itu
adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia dan Belanda. Pihak Belanda
mengusulkan agar diadakan perundingan di tempat yang netral. Atas jasa Amerika Serikat,
maka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya, dengan nama USS Renville
didatangkan ke Teluk Jakarta dari Jepang. Tentang perjanjian Renville ini akan dibahas lebih
lanjut di bagian berikutnya.

D. Konferensi Malino

Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekanan politik
dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi
Malino. Penyelenggaraan konferensi ini bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di
daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Di samping
itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas.
Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 Juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal
Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam
pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya
memasuki Indonesia. Dengan demikian, kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin
meningkat. Namun usaha-usaha diplomasi terus dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14
Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus
diupayakan.

Setelah perjanjian Linggarjati, Van Mook mengambil inisiatif untuk mendirikan


pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia Belanda. Tindakan Van Mook itu
menimbulkan kegelisahan di kalangan negara-negara bagian yang tidak terwakili dalam
susunan pemerintahan. Pada kenyataannya pemerintah federal yang didirikan Van Mook itu
tidak beda dengan pemerintah Hindia Belanda. Untuk itulah negara-negara federal
mengadakan rapat di Bandung pada Mei-Juli 1948. Konferensi Bandung itu dihadiri oleh
empat negara federal yang sudah terbentuk yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra
Timur, Negara Pasundan, dan Negara Madura. Juga dihadiri oleh daerah-daerah otonom
seperti, Bangka, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, Riau, dan Jawa Tengah. Sebagai ketua adalah Mr. T. Bahriun dari Negara Sumatra
Timur.

Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk
Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, seorang
perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja, seorang perdana
menteri Negara Pasundan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik
yang genting akibat dari perkembangan politik antara Belanda dan RI yang juga berpengaruh
pada perkembangan negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk
menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal
Sementara buatan Van Mook.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun
ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Oleh karena itu, pada awal
kehadirannya Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah
Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook
bersedia bertemu dengan Sukarno dan “kelompok-kelompok Indonesia”. Ia tidak mau
menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui
pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa
NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan status Indonesia
menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”.

Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Cristison tetap
berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan
wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Sukarno dan Moh. Hatta yang
didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil
yang memuaskan bagi pihak Indonesia. Pihak Belanda masih menginginkan kebijakan
politiknya yang lama. Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan
konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi
itu menyebabkan pihak Sekutu ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika
aksi-aksi kekerasan terjadi di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di
Surabaya. Pihak Sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetapi tidak mungkin
melepaskan tanggung jawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk
menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.

B. Saran

Perjuangan bangsa Indonesia mencapai kedaulatan penuh mengajarkan kepada kehidupan


sekarang bagaimana pentingnya kemerdekaan penuh. Saat ini Indonesia sudah merdeka tetapi
ada sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang belum merdeka dan harus diperjuangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Margana, Sri dan Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan
Global. Yogyakarta: Ombak.

Tashadi. dkk. 1987. Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945–1949. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Tobing, K.M.L. 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Linggarjati. Jakarta: Gunung
Agung.

Anda mungkin juga menyukai