PKn
Perjanjian Indonesia - Belanda
(Perjanjian Linggarjati)
Oleh :
Sylvia Puri Lumban Tobing
Kelas
VIII A
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia. Kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
Perjanjian Linggarjati ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan
serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-
baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah Perjanjian
Linggarjati ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti
milik kita sebagai manusia. Semoga makalah Perjanjian Linggarjati ini dapat bermanfaat bagi
kita semuanya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
o A. Latar Belakang
o B. Rumusan Masalah
o C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
o A. Perundingan Awal di Jakarta
o B. Perundingan Hooge Veluwe
o C. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
o D. Konferensi Malino
BAB III PENUTUP
o A. Kesimpulan
o B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Download Contoh Makalah Perjanjian Linggarjati.docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Van Mook adalah orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia juga seorang
penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an. Ia termasuk kelompok pendorong gerakan orang
Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda. Mereka bertujuan untuk menjadikan Hindia
Belanda sebagai tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran. Atas pandangan itu suatu
saat nanti Indonesia menjadi bagiannya sesuai dengan makna politik dan sosialnya sendiri.
Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia.
Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Van Mook lebih siap
menghadapi perubahan situasi daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun, ia
mendapatkan situasi yang jauh dari perkiraannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan
segala konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat
menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam
makalah tentang Kewirausahaan Perjanjian Linggarjati ini adalah sebagai berikut:
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Perjanjian Linggarjati ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk memahami proses perundingan awal di Jakarta.
2. Untuk memahami proses perundingan Hooge Veluwe.
3. Untuk memahami proses pelaksanaan Perundingan Linggarjati.
4. Untuk memahami proses Konferensi Malino.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perundingan Awal di Jakarta
Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan
pihak Republik Indonesia. Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto
terhadap Republik Indonesia. Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke
wilayah Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945
mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pemerintah RI menginginkan pengakuan
terhadap negara dan pemerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang
dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan semua milik asing
atau memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pemerintah RI.
Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia,
mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh karena itu,
Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark
Kerr, pada tanggal 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di
Jakarta. Dalam perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan usul-usul
antara lain sebagai berikut:
Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya. Kebetulan situasi
Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka
melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa perundingan hanya dapat
dilaksanakan atas dasar pengakuan seratus persen terhadap RI. Ternyata mayoritas suara
anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh karena itu,
Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana
Menteri. Kabinet Syahrir II terbentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II
mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain
sebagai berikut:
1. RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda;
2. Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu; Mengenai urusan
luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya
terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda;
3. Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik;
4. Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota
PBB;
5. Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan. Usulan
Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook.
Sebagai jalan keluarnya Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan Republik Indonesia
sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal
yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir
memberikan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai
berikut:
1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra;
2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS; dan
3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi peserta dalam
ikatan kenegaraan Belanda.
Usulan tersebut ternyata sudah saling mendekati kompromi. Oleh karena itu, usaha
perundingan perlu ditingkatkan.
Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok
pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta
oleh Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir
Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta,
yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama
Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.
Logeman, Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan
perundingan yang tidak tuntas saat di Jakarta. Perundingan mengalami deadlock sejak hari
pertama, karena masing-masing pihak sudah mempunyai harapan yang berbeda. Delegasi
Indonesia berharap ada langkah nyata dalam upaya pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia. Sementara pihak Belanda menganggap pertemuan di Hooge Veluwe itu hanya
untuk sekedar pendahuluan saja.
Pada akhir pertemuan dihasilkan, draf Jakarta yang sudah disiapkan. Sebagian dapat diterima
dan sebagian lagi tidak dapat diterima. Usulan yang diterima antara lain adalah pengakuan
kekuasaan RI atas Jawa, sementara Sumatra tidak diakui. Dari draf Jakarta, tidak ada satu pun
yang disetuju secara resmi, sehingga tidak dilakukan penandatanganan. Alasan utama
Belanda adalah Belanda tidak siap melakukan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia menolak bentuk perundingan di Hooge Veluwe sebagai
perjanjian internasional dua negara. Bagi Indonesia, menerima delegasi Republik Indonesia
sebagai mitra sejajar berarti menganggap negeri bekas jajahannya sebagai mitra sejajar yang
mempunyai kedudukan yang sama di dunia internasional. Sementara itu, Belanda masih
belum mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Di sisi lain, kondisi Belanda yang saat itu sedang mempersiapkan pemilihan umum pertama
pascaperang tidak siap untuk mengambil keputusan yang mengikat masalah Indonesia,
karena masalah Indonesia tergantung pada peta politik yang ada di Belanda. Satu di antara
partai politik yang menentang keras kebijakan perundingan adalah Partai Katolik, seperti
halnya dengan kelompok PP di Indonesia. Pada awal dimulainya perundingan Hooge
Valuwe, Romme pimpinan fraksi Partai Katholik di parlemen Belanda menulis di tajuk
Harian Volkskrant dengan nada keras anti negosiasi yang berjudul De week der Schande
(Minggu Yang Penuh Aib).
Kegagalan perundingan Hooge Veluwe bagi kedua negara membawanya untuk kembali
mengadakan perundingan. Bagi Indonesia perundingan Hooge Veluwe memperkuat posisi
Indonesia di depan Belanda. Perundingan itu juga menjadikan masalah Indonesia menjadi
perhatian dunia internasional. Perundingan itu pula yang mengantarkan pada diplomasi
internasional dalam Perjanjian Linggarjati pada kemudian hari.
Kegagalan dalam perundingan Hooge Veluwe, pada April 1946, menjadikan pemerintah
Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu
melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan
Sumatra. Namun gencatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak
membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan
banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan
Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara
defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawanan dengan strategi perang defensif itu
lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih
banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan
dengan jalan diplomasi.
Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta
(sekarang Istana Merdeka). Isi perundingan itu harus disyahkan dahulu oleh parlemen
masing-masing (Indonesia oleh KNIP). Untuk meratifikasi dan mensyahkan isi Perundingan
Linggarjati, kedua parlemen masih enggan dan belum puas. Pada bulan Desember 1946,
Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 tentang penambahan anggota KNIP. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbesar suara yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP.
Tanggal 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota baru KNIP. Akhirnya isi
Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada tanggal 25 Maret 1947, yang lebih dikenal
sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati.
Belanda kemudian mengadakan gencatan senjata operasi militer di Jawa dan Sumatra pada 21
Juli 1947. Belanda menyebut tindakan itu sebagai “actie politionel” (tindakan kepolisian).
Istilah itu berarti “pengamanan dalam negeri” atau yang dimaksud di sini adalah Indonesia.
Artinya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, seperti yang sudah
dinyatakan dalam dokumen Linggarjati. Belanda memberi sandi pada serangan umum itu
dengan “Operasi Produk” yaitu operasi yang ditujukan untuk wilayah-wilayah yang dianggap
penting secara ekonomi bagi Belanda.
Komisi Tiga Negara (KTN) itu terdiri atas Australia, yang diwakili oleh Richard C. Kirby
yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland. Amerika
diwakili oleh Frank P. Graham yang dipilih oleh Belgia dan Australia. Hasil dari KTN itu
adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia dan Belanda. Pihak Belanda
mengusulkan agar diadakan perundingan di tempat yang netral. Atas jasa Amerika Serikat,
maka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya, dengan nama USS Renville
didatangkan ke Teluk Jakarta dari Jepang. Tentang perjanjian Renville ini akan dibahas lebih
lanjut di bagian berikutnya.
D. Konferensi Malino
Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekanan politik
dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi
Malino. Penyelenggaraan konferensi ini bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di
daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Di samping
itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas.
Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 Juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal
Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam
pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya
memasuki Indonesia. Dengan demikian, kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin
meningkat. Namun usaha-usaha diplomasi terus dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14
Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus
diupayakan.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk
Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, seorang
perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja, seorang perdana
menteri Negara Pasundan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik
yang genting akibat dari perkembangan politik antara Belanda dan RI yang juga berpengaruh
pada perkembangan negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk
menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal
Sementara buatan Van Mook.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun
ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Oleh karena itu, pada awal
kehadirannya Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah
Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook
bersedia bertemu dengan Sukarno dan “kelompok-kelompok Indonesia”. Ia tidak mau
menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui
pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa
NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan status Indonesia
menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”.
Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Cristison tetap
berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan
wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Sukarno dan Moh. Hatta yang
didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil
yang memuaskan bagi pihak Indonesia. Pihak Belanda masih menginginkan kebijakan
politiknya yang lama. Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan
konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi
itu menyebabkan pihak Sekutu ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika
aksi-aksi kekerasan terjadi di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di
Surabaya. Pihak Sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetapi tidak mungkin
melepaskan tanggung jawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk
menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Margana, Sri dan Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan
Global. Yogyakarta: Ombak.
Tobing, K.M.L. 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Linggarjati. Jakarta: Gunung
Agung.