Kelas B
Dosen Pengampu:
Dr. Sumardi, M.Hum
Disusun Oleh:
2. Perjanjian Renvile
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, presiden memberikan mandat kepada Mr. Amir
Sjarifuddin sebagai formatur kabinet. Kabinet Amir Sjarif uddin meneruskan program kabinet
lama berunding dengan Belanda. Karena kedua belah pihak menerima usul KTN dipimpin oleh
Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin sendiri, dengan Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil
ketua. Anggota-anggota terdiri atas dr. Tjoa Siek Jen, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Mr. Nasrun,
dan dua anggota cadangan, Ir. Djuanda dan Setiadjid, serta 32 orang penasihat. 171 Delegasi
Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo, dengan Mr. H.A.L. van Vredenburgh
sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya terdiri atas Dr. P.J. Koets, Mr. Dr. Ch. R. Soumokil,
Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangeran Kartanegara, Mr. Masjarie, Thio Thian Tjiong, Mr.
A.H. van Ophuyzen, dan A. Th. Baud sebagai sekretaris. Perundingan yang diselenggarakan di
geladak kapal angkut pasukan milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Renville, dibuka pada
8 Desember 1947 di bawah pimpinan Herremans, wakil Belgia di dalam KTN. Ketika kedua
belah pihak sepakat untuk kembali berunding, perundingan Komisi Teknis mengalami jalan
buntu. Pihak Belanda menolak saran KTN untuk melaksanakan keputusan Dewan Keamanan
PBB dan menolak merundingkan soal-soal politik selama masalah gencatan senjata belum
beres.Karena perundingan macet, maka Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan
keterangan mengenai sebab-sebab kemacetan tersebut. Dinyatakan bahwa pihak Belanda hanya
menyetujui hal-hal yang menguntungkan dirinya. Gerakan pasukan Belanda cenderung ingin
berusaha menduduki daerah RI seluas mungkin dengan dalih operasi-operasi "pembersihan",
namun situasi pada Agustus 1947 menunjukkan bahwa pihak Belanda hanya menduduki kota-
kota saja, di luar kota Pemerintah RI dan TNI tetap utuh dan aktif. Garis depan pertahanan RI
ada di manamana, membentuk kantong-kantong pertahanan di belakang kedudukan Belanda
yang terdepan, karena ketika Belanda menyerbu TNI tidak mundur, melainkan bergerak ke
sampingUntuk mengatasi kemacetan perundingan Komisi Teknis itu, KTN · mengajukan usul
baru, yaitu supaya masing-masing pihak berunding dulu dengan KTN. Kedua belah pihak setuju
dan mengadakan perundingan pendahuluan dengan KTN. Dari hasil perundingan itu KTN
menyimpulkan bahwa persetujuan Linggajati dapat dijadikan dasar perundingan selanjutnya,
namun terbentur oleh masalah gencatan senjata. Belanda tetap menginginkan adanya garis
demarkasi van Mook, sedangkan pihak Republik menolak. Wakil Australia mengusulkan
diada- :kannya daerah demiliterisasi yang diawasi oleh polisi. Pasukan masing-masing mundur
sejauh 10 kilometer. Kemudian KTN mengajukan usul politik yang didasarkan atas persetujuan
Linggajati, yaitu:
a. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia,
b. Kerjasama lndonesia-Belanda,
c. Suatu negara yang berdaulat atas dasar federasi,
d. Uni antara Indonesia Serikat dan bagian lain Kerajaan Nederland.
Untuk mengawasi pelaksanaan gencatan dan mencari penyelesaian secara damai atas konflik
antara lndonesia dan Belanda maka Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa
Baik yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara. "atasjasa baik Australia
terhadap Indonesia dalam percaturan politik - internasional tersebut maka Kabinet Pemerintah
Republik lndonesia padatanggal l0 September 1947 meminta Australia untuk menjadi anggota
Komisi Tiga Negara Sementara itu Belanda memilih Belgia. dan kemudian Belgia menerima
Percalonan itu pada tanggal l0 Scptcmbcr 1947. sclanjutnya Australia dan Belgia memilih
Amerika Serikat sebagai penengah atau pihak ketiga dalam Komisi Tiga Negara yang dikenal
dcngan Good Affices Committe (GOC). Dalam perjalarun menuju Indonesia GOC terlebih
dahulumengadakan sidang pertama di Sidney, Australia. Pada tanggal 20 Oktober 1947. Dalam
sidang yang pertama itu ketiga anggota GOC bcrsepakat bahwa mereka harus bertindak sebagai
wakil Dewan Keamanan PBB dan bukan wakil dari negara pemilih mereka. Pada tanggal 27
Oktober 1947 Komisi Tiga Negara tiba di Jakarta. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia
oleh Paut Yan Zeeland dan Amerika Serikat oleh Frank Gratram.
pada tanegal 20 Okober 1947, maka tugas KTN adalah membantu menyelesaikan
persenpiketaan antara Indonesia dan Belanda secara damai. Selanjutnya KTN berusaha
mendekatkan kedua belh pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang
dapat dipakai sebagai langkah dasar pernbicaraan. Dalam hal ini KTN hanya terbatas
mengajukan usul saja. Sesudah melalui proses perundingan antara kedua belah pihak, akhirnya
disepakati bahwa kedua belah pihak akan melaksanakan perundingan di atas sebuah kapal
angkatan laut Amerika, Renville. Pada tanggal 4 November 1947 pembicaraan resmi antar
anggota mulai dilakukan. Di atas kapal tersebut yang berlabuh di Jakarta pada 8 Desember 1947
GOC melanjutkan pembahasan mengenai penyelesaian politik atas konflik antara Indonesia
dengan Belanda. Dalam hal. ini Australia mengajukan suatu rancangan dengan usul agar
kedaulatan segera diberikan kepada pemerintah Republik Indonesia dan menyediakan hak-hak
protokoler bagi Belanda untuk kepentingan ekonomi dan pertahanannya.
Isi Perjanjian Renville
Isi perjanjian Renville ternyata membuat Indonesia semakin sulit. Wilayah Indonesia
menjadi semakin sempit dan terjadi blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda terhadap
Indonesia. Akibat lain dari Perjanjian Renville adalah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin karena
banyaknya protes dari golongan-golongan masyarakat di Indonesia. Selain itu, karena banyaknya
protes tersebut, muncul kelompok-kelompok anti pemerintah. Meskipun banyak protes yang
dilayangkan, Kabinet Hatta - kabinet baru setelah runtuhnya Kabinet Amir Syarifuddin - dengan
terpaksa tetap melaksanakan Perjanjian Renville walaupun sangat merugikan untuk Indonesia.
Pihak RI menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat selama peralihan
Daerah yang diduduki Belanda melalui agresi dikui oleh pihak RI sampai diadakannya
plebisit untuk menentukan aspirasi rakyat di daerah tersebut
Pemerintah RI bersedia menarik semua pasukannya dari daerah kantong gerilya di
daerah yang diduduki Belanda dan masuk ke wilayah RI
Dampak Perjanjian Renville
Memperhatikan hasil yang dicapai dalam perjanjian Renville, merupakan suatu kerugian
besar bagi RI, karena wilayah Republik Indonesia semakin sempit bila dibandingkan dengan
hasil yanh dicapai diperjanjian Linggarjati. Dari yang dicapai dalam perundingan Renville
tersebut, nampaknya banyak pihak yang tidak setuju, termasuk presiden Sukarno sendiri, wakil
presiden Moh. Hatta, Amir Sjarifuddin dan Syahrir, serta banyak partai-partai politik yang
menolak perjanjian tersebut. Akan tetapi berhubungan karena adanya laporan dari beberapa
panglima tentara kepada presiden, bahwa persediaan amunisi semakn menipis, serta adanya
kepastian bahwa apabila Republik Indonesia menolak Renville, maka akan ada serangan baru
dari pihak Belanda. Dengan demikian, maka terpaksa perjanjian Renville diterima. Disamping
itu ada pertimbangna lain, yaitu akan segera diadakan plebisit, dimana rakyat diharapkan akan
memberikan suara untuk mendukung RI.
Penerimaan pemerintah RI atas perjanjian Renville, disamping karena pertimbangan-
pertimbangan di atas, juga karena pemerintah sadar bahwa dalam suatu perundingan, tiap-tiap
pihak yang berunding harus bersedia memberi dan menerima. Sebab itulah hasil maksimal yang
telah diusahakan oleh delegasi dan Indonesia dalam perundingan Renville.
Contoh kerugian yang dialami Indonesia antara lain wilayah Indonesia yang sudah dalam
penguasaan Belanda harus segera dikosongkan dari TNI. Pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat
yang sudah dikuasai oleh Belanda juga harus dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jogjakarta karena
kedua wilayah tersebut masih dikuasai oleh RI. Hal tersebut juga dilakukan oleh pasukan RI di
Jawa Timur. Peristiwa tersebut dikenal sebagai hijrah. Selain itu, berdasarkan Persetujuan
Renville, muncul Garis Demarkasi Van Mook yang semakin mempersempit wilayah RI.
3. Perjanjian Roem Royen
Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Belanda sebenarnya tidak rela begitu
saja untuk melepaskan wilayah jajahannya di nusantara melalui peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dengan demikian maka
Belanda mencoba menempuh berbagai cara agar dapat kembali menguasai tanah air, baik
melalui meja perundingan maupun dengan aksi militernya yang pertama pada 20 Juli
1947 yang akhirnya dihentikan atas dasar Persetujuan Renville. Berbagai perundingan
berikutnya terus dilakukan dengan pihak Pemerintah Republik Indonesia yang juga
sempat ditengahi oleh pihak ketiga atas perintah Dewan Keamanan Liga Bangsa-Bangsa
(LBB), namun demikian segala upaya perundingan tersebut dianggap tidak bisa memihak
kepadanya, hingga pada gilirannya sekitar tengah malam antara tanggal 18-19 Desember
1948pihak Belanda kembali melancarkan agresi militernya yang kedua terhadap
wilayahNegara Republik Indonesia. Sekaitan dengan itu Merle Cochran dan rekannya
Cuts yang tengah berada di Kaliurang Yogyakarta menyimpulkan bahwa
PemerintahBelanda telah melanggar pasal 10 Persetujuan Gencatan Senjata, kemudian
sekembalinya mereka dari Yogyakarta, segera mengadakan perundinganantar semua
anggota Komisi Tiga Negara (KTN) untuk mengirimkan kawatkepada Dewan Keamanan
LBB bahwa telah terjadi pertikaian bersenjataantara pihak Belanda dengan pihak
Indonesia. Adapun bunyi kawat tersebut adalahsebagai berikut:
“Komisi jasa-jasa baik (KTN) menyerukan dengan sangat kepadaDewan
Keamanan PBB supaya peperangan di Indonesia yang berartipelanggaran terhadap
persetujuan gencatan senjata yang ditandatanganipemerintah Belanda dan pemerintah
Republik Indonesia pada tanggal17 Januari 1948 di atas kapal Renville ditinjau (diteliti)
dengan sangatmendesak”. (Ide Anak Agung Gde Agung, 1991: 207).
Dalam sidang lanjutan Sidang Dewan Keamanan LBB pada tanggal 25 Desember
1948,van Roijen menyatakan kesungguhan hati pemerintah Belanda untuk:
1) Penyerahan kedaulatan kepada NIS (Negara Indonesia Serikat) dalam tahun 1950.
2) Dalam satu bulan mendatang membentuk pemerintahan peralihan di Indonesia.
3) Segera setelah Pemerintahan Peralihan RIS (Republik Indonesia Serikat) diresmikan akan
dipersiapkan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat. Dewan
tersebut akan diserahi tugas untuk menyusun rencana Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
Serikat, yang kemudian akan dikirimkan kepada dewan-dewan perwakilan negara bagian untuk
mendapat persetujuan.
4) Pemerintah peralihan mempersiapkan dan menyusun sistem administrasi negara yang akan
didirikan itu.
5) Akhirnya mengadakan Konferensi Meja Bundar untuk menentukan hubungan uni Belanda-
Indonesia.(Tobing, 1987: 124)
Isi perjanjian roem yoem
Adapun Perundingan yang ditandatangani oleh Mr. Mohammad Roem dan Dr. J.H. van
Roeijen pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian lebih dikenal dengan nama“Persetujuan Roem-
Roijn”, dan isi dari persetujuan tersebut sebenarnya lebih merupakan pernyataankesediaan
berdamai antara kedua belah pihak. Dalam Persetujuan itu, pihak Delegasi Republik Indonesia
menyatakan kesediaannya untuk:
1) Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yangbersenjata” untuk menghentikan
perang gerilya.
2) Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertibandan keamanan.
3) Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untukmempercepat “penyerahan”
kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat
(Muljana, 2008: 227).
Sedangkan pihak Delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk:
1) Menyetujui kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta.
2) Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskansemua tahanan politik 3)
Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada didaerah yang dikuasai oleh RI
sebelum 19 Desember 1948, dantidak akan meluaskan negara atau daerah dengan
merugikanRepublik.
4) Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari NIS(Negara Indonesia Serikat).
5) Berusaha dengan sesungguh-sugguhnya supaya KMB segeradiadakan sesudah pemerintah
Republik kembali ke Yogyakarta.
4. Konferensi Inter I
Pada 14 April 1949 BFO mengadakan rapat untuk membahas rencana penyerahan
kedaulatan Belanda kepada bangsa Indonesia dan untuk menindaklanjuti hasil kerja
Komisi Penghubung.Di dalam rapat itu, Anak Agung Gde Agung kembali mengajukan
gagasan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mempertemukan pihak RI dengan
BFO dalam rangka menyongsong KMB.Tujuannya adalah untuk menyamakan
pandangan dari pihak RI dan BFO untuk menghadapi Pemerintah Belanda dalam
KMB.Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konferensi Inter-Indonesia (Agung, 1985:
560).Sebagai tindak lanjut, Ketua BFO mengirim Mr. Kosasih Purwanegara ke
Yogyakarta untuk melakukan koordinasi dengan pihak RI mengenai teknis pelaksanaan
Konferensi Inter-Indonesia. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa Konferensi Inter-
Indonesia akan dilangsungkan dua kali yang pertama di Yogyakarta pada 20 - 22 Juli,
kemudian diteruskan di Jakarta pada 31 Juli - 2 Agustus. Pada kesempatan yang sama,
pihak RI juga menyusun panitia pelaksana Konferensi InterIndonesia I yang dipimpin
oleh Mr. Tadjuddin Noor, sedangkan tempat yang dipilih untuk pelaksanaan adalah
Gedung Kepatihan (Merdeka, 18 Juli 1949; Sekretariat Negara 1945-1949, No. 855).
Pada 20 Juli 1949, Konferensi InterIndonesia I akhirnya resmi dibuka. Pidato
pembukaan diawali oleh Ketua Panitia Tadjudin Noor, kemudian dilanjutkan dengan
sambutan Ketua Delegasi RI Mohammad Hatta, Ketua BFO Sultan Hamid II, dan ditutup
oleh pidato Presiden Sukarno. Berikut ini adalah petikan pidato Hatta: “Saudara-saudara,
bagi saya bukanlah tercapai persesuaian dalam segala hal yang penting pada Konferensi
Inter-Indonesia ini, melainkan Konferensi Inter-Indonesia ini penting karena ia adalah
suatu saat bersejarah dalam hidup kita. Konferensi Inter-Indonesia ini adalah suatu simbol
daripada persatuan kita kembali, simbol dari kemauan kita untuk melaksanakan cita-cita
rakyat kita dalam perjuangan yang berpuluh-puluh tahun, yaitu melaksanakan Indonesia
yang bersatu dan tak terpisahpisah.Di sini terletak arti yang sebenarnya daripada
Konferensi Inter-Indonesia.Kita yang menjadi penyelenggara di sini barangkali belum
dapat merasakan sedalamdalamnya akan arti pertemuan kita di sini, tetapi ahli sejarah
kemudian hari akan lebih dalam meninjau makna dan arti kejadian itu dalam sejarah
perjuangan rakyat Indonesia.” (Leirissa, 2006: 275-276).
Isi Konferensi Inter I
Pada Konferensi Inter Indonesia Tahap Pertama ini membicarakan masalah pembentukan
RIS (Republik Indonesia Serikat) terutama tentang susunan dan hak-hak negara bagian atau
otonom, bentuk kerja sama RIS dengan Belanda dalam perserikatan Uni, dan masalah kewajiban
RIS dan Belanda akibat penyerahan kekuasaan. Keputusan yang dapat diperoleh antara lain
sebagai berikut :
1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia – Serikat (RIS)
berdasarkan demokrasi dan federalisme.
2. RIS akan dikepalai seorang presiden konstitusional dibantu oleh menteri-menteri yang
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Akan dibentuk dua badan perwakilan, yakni sebuah dewan perwakilan rakyat dan sebuah
dewan perwakilan negara bagian (senat). Pertama kali akan dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara.
4. Pemerintah Federal Sementara akan menerima kedaulatan bukan saja dari pihak Negara
Belanda, melainkan pada saat yang sama juga dari Republik Indonesia.
Dalam hal ini perlu pula dikemukakan bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas
penyerahan kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik maupun ekonomi. Di bidang militer telah
tercapai persetujuan, antara lain:
1. Angkatan Perang RIS adalah angkatan perang nasional. Presiden RIS adalah Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RIS.
2. Pertahanan Negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak akan
memiliki angkatan perang sendiri.
3. Pembentukan angkatan perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia. Angkatan
Perang RIS akan dibentuk oleh pemerintah RIS dengan inti angkatan perang RI (TNI),
bersama-sama dengan yang ada dalam KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), ML
(Militaire Luchtvaart), VB (Veiligheids Bataljons) dan Teritorial Batalyon.
4. Pada masa permulaan RIS, menteri pertahanan dapat merangkap sebagai Penglima Besar
APRIS.
5. Konferensi Inter II
Pada 14 April 1949 BFO mengadakan rapat untuk membahas rencana penyerahan
kedaulatan Belanda kepada bangsa Indonesia dan untuk menindaklanjuti hasil kerja
Komisi Penghubung. Di dalam rapat itu, Anak Agung Gde Agung kembali mengajukan
gagasan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mempertemukan pihak RI dengan
BFO dalam rangka menyongsong KMB. Tujuannya adalah untuk menyamakan
pandangan dari pihak RI dan BFO untuk menghadapi Pemerintah Belanda dalam KMB.
Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konferensi Inter-Indonesia (Agung, 1985: 560).
Sebagai tindak lanjut, Ketua BFO mengirim Mr. Kosasih Purwanegara ke
Yogyakarta untuk melakukan koordinasi dengan pihak RI mengenai teknis pelaksanaan
Konferensi Inter-Indonesia. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa Konferensi Inter-
Indonesia akan dilangsungkan dua kali yang pertama di Yogyakarta pada 20 - 22 Juli,
kemudian diteruskan di Jakarta pada 31 Juli - 2 Agustus. Pada kesempatan yang sama,
pihak RI juga menyusun panitia pelaksana Konferensi InterIndonesia I yang dipimpin
oleh Mr. Tadjuddin Noor, sedangkan tempat yang dipilih untuk pelaksanaan adalah
Gedung Kepatihan
Pada 31 Juli-2 Agustus 1949 diselenggarakan Konferensi Inter-Indonesia II di
Jakarta. Tempat pelaksanaan Konferensi Inter-Indonesia II adalah di Gedung Indonesia
Serikat yang sehari-hari dijadikan sebagai kantor sekretariat BFO. Setelah pembukaan,
agenda hari pertama adalah rapat pleno untuk membicarakan hal-hal yang bersifat umum.
Pada kesempatan itu, Sultan Hamid II selaku ketua sidang mengumumkan susunan
keanggotaan yang baru untuk Panitia Kebudayaan, Panitia Kenegaraan, serta Panitia
Ekonomi dan Keuangan (Leirissa, 2006: 297).
6. Konferensi Meja Bundar
Munculnya Berbagai Reaksi Terhadap Persetujuan Roem-Roijen
Setelah ditandatanganinya Persetujuan Roem-Roijen, maka tentunya muncul beragam
reaksi, baik yang pro maupun yang kontra dalam menyikapi persetujuan tersebut, baik dari pihak
Bangsa Indonesia maupun pihak Belanda sendiri. Reaksi yang cukup keras datang dari Wakil
Tinggi Mahkota Belanda untuk wilayah Indonesia,
Dr. L.J.M. Beel, sekalipun dia turut menyetujui persetujuan tersebut, namun sebenarnya
Beel menentang Pemerintah Belanda untuk tunduk padaruling Dewan Keamanan LBB tanggal
23 Maret 1949 sehingga terjadilah perundingan dengan pihak Republik Indonesia. Beelmencoba
membuat manuver politik (political move) sedemikian rupa agar menghindarkan Belanda
dariResolusi Dewan Keamanan LBB, dia segera menyampaikan undangan kepada Ir.
Soekarnountuk dapat menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, dengan
maksud mempercepat penyerahan kedaulatan terhadap Republik Indonesiayang diharapkan akan
diikuti oleh para pemimpin Republik dalam kapasitas pribadi mereka masing-masing. Pendirian
Beel dilandasi oleh anggapannya bahwaRepublik Indonesia sudah tidak ada lagi setelah diduduki
oleh pasukan Belanda.
Undangan Beel tersebut di sambut baik oleh Soekarno dandia bersedia mengikuti apa
yang diinginkan Beel, tetapi dengan mengajukan beberapasyarat, diantaranya bahwa kehadiran
dirinya (Soekarno) harus dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia, bukan hanya
sebagai pemimpin terkemuka belaka.Strategi Beel tersebut ternyata juga mendapat sambutan
dikalangan anggota Dewan Keamanan LBB,sehingga atas usul wakil dari Negara Canada maka
Dewan Keamanan LBB segera melayangkan suratkepada Panitia LBB di Indonesia mengenai
apa yang dinamakan sebagai “thesense of the security council” (pengertian Dewan Keamanan)
tentangResolusi 28 Januari 1949, maksudnya ialah bahwa pengembalian Pemerintahan Republik
Indonesia diYogyakarta harus diutamakan, kemudian syarat-syarat ikut serta dalam Konferensi
Meja Bundar juga harus disetujui secepat mungkin. Adapun Bell sendiri yang bersikap
menentang keras terhadap penandatanganan Persetujuan Roem-Roijen, maka pada tanggal 9
Mei1949 dia mengirimkan surat keputusan kepada Ratu Belanda, Juliana memohon agar
dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda diIndonesia.Dalam
hubungan dengan hal itu, Mohammad Hatta dalam salah satu memoarnya menulissebagai
berikut: “Kami di Manumbing mendengar berita radio yang mengatakan bahwaBeel minta
berhenti sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda karena tidakmau bertanggungjawab tentang
akibat persetujuan RoemRoijen. Beel terpaksa minta berhenti karena pendiriannya sebagai
berikut:
1) Republik Indonesia tidak kembali ke Yogyakarta
2) KMB diteruskan juga dengan tidak ada RI
3) Tentara Belanda jangan ditarik kembali dari Yogyakarta”(Hatta, 1979: 522)
Isi Konferensi Meja Bundar
Setelah pasukan Belanda meninggalkan Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949,maka
tugas pengamanan Ibukota R.I. Yogyakarta sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab
langsung Tentara Republik Indonesia (TRI). Dengankeamanan yang semakin kondusif serta
kewaspadaan T.R.I. beserta para pejuangIainnya yang tetap tinggi, maka persiapan untuk
menerima kedatangan kembali parapemimpin Republik Indonesia dari pengasingan semakin
sempurna, hingga pada gilirannya tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekamo,Wakil Presiden
Mohammad Hatta, beserta para pejabat tinggi R.I. lainnya tiba di Ibukota R.I. Yogyakarta dari
Pangkalpinang, Pulau Bangka.
Kedatangan presiden disambut antusias warga masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya
mulai dari lapangan terbang Maguwo hingga ke Istana Negara, jalanjalanyang akan dilalui
rombongan presiden ber jam-jam sebelumnya telah penuh sesak oleh warga yang secara histeris
menyambut kehadiran mereka, bahkan tidak hanya di jalan raya, namun juga sampai di atap-atap
genting rumah penduduk maupun di atas pohon-pohon sepanjang jalan tersebut, mereka riuh
rendah menantikan presiden, wakil presiden, dan parapejabat tinggi negara lainnya yang mereka
cintai. Sementara itu pimpinan dan para pejabat tinggi PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) pun sebenarnya telah dihubungi oleh tim yang beranggotakan Dr. J. Leimena, Moh.
Natsir, dan Dr. A. Halim,akan tetapi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa para
pemimpin PDRI tersebut kurang respect terhadap usaha-usaha perundingan dengan pihak
Belanda yang tidak mengikutsertakan mereka (PDRI).
Hasil sidang yang selanjutnya ialah bahwa Belanda tetap mempertahankan kedaulatan
atas papua sampai ada perundingan-perundingan lebih lanjut mengenai status wilayah tersebut.
dan RIS memikul tanggung jawab atas utang Hindia Timur Belanda yang setelah terjadi banyak
tawar menawar, jumlahnya ditetapkan sebesar 4,3 milyar gulden; sebagian besar dari jumlah ini
sebenarnya merupakan biaya yang dipakai oleh pihak Belanda dalam usahanya menumpas
Revolusi. (M.C. Ricklefs,2008 : 487).
Dan pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa belanda secara resmi meyerahkan
kedaulatan atas Indonesia tetapi tidak termasuk papua. Sangat berbeda dengan buku sejarah
Indonesia modern karya M.C. Ricklef Dalam buku Api Sejarah jilid 2 karangan Ahmad Mansur
Suryanegara hanya menyebutkan tiga hasil pokok dari keputusan KMB, yaitu:
1. Pada 27 Desember 1949 akan dilaksanakan penyerahan kedaulatan kepada Republik
Indonesia Serikat.
2. Satu-satunya organisasi kesenjataan RIS adalah APRIS. Dengan intinya adalah TNI. KNIL
dibubarkan dan diterima dalam APRIS. Dibentuk misi militer Belanda yang bertugas melatih
APRIS.
3.Irian Barat akan dibicarakan kembali setahun kemudian. (Ahmad Mansur Suryanegara, 2010:
280).
Dampak KMB
Dalam sebuah perundingan atau sebuah persetujuan yang telah ditetapkan oleh kedua
belah pihak terutama dalam hal ini adalah pihak Indonesia dengan Belanda tentunya ada
dampak-dampak yang disebabkan oleh hasil keputusan yang telah ditetapkan dalam perundingan
tersebut. Dampak ini dapat dirasakan oleh kedua belah pihak baik secara langsung maupun tidak,
terutama dampak yang dirasakan oleh Indonesia itu sendiri. Baik dampak positif yang dirasakan
oleh negara Indonesiayang bersifat menguntungkan maupun dampak negatif yang bersifat
merugikan bagi bangsa Indonesia.
Salah satu dampak dari hasil perundingan tersebut yang menguntungkan bagi bangsa
Indonesia adalah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia dan Lahirlah Republik
Indonesia Serikat (RIS) sebagai akibat persetujuan KMB (Algandri, Hamid,1991 : 68). Dengan
menyerahkan kedaulatan yang diberikan Belanda kepada Bangsa Indonesia dan terbentuknya
Republik Indonesia Sementara menunjukkan bahwa Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia.
Bentuk negara Indonesia sebagai dampak dari hasil perundingan tersebut menjadi Republik
Indonesia Serikta (RIS) dimana adanya negara-negara bagian ini tidak sesuai dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Karena negara-negara bagian hasil olahan Belanda
yang dibuat-buat untuk memecah-belah bangsa Indonesia terbukti tidak mendapatkan dukungan
dari rakyat setempat karena rakyat pun mengetahui tujuan dan maksud dari pembentukan bentuk
negara ini yang tidak akan membuat Indonesia bersatu. Hal ini yang membuat RIS tidak bertahan
lama. Rakyat setempat dulu membiarkan pembentukan negara semacam itu (RIS) karena takut
pada tentara Belanda (Algandri, Hamid, 1991 : 68).
Dampak lain yang dirasakan oleh bangsa Indonesia yang menguntungkan bagi bangsa
Indonesia adalah konflik yang terjadi antara Belanda dengan Bangsa Indonesia dapat diakhiri
dan pembangunan Indonesia segera dapat dimulai. Dengan berakhirnya konflik yang terjadi
antara Belanda dengan Indonesia membuat bangsa Indonesia dengan leluasa dan tanpa gangguan
dari pihak Belanda melakukan pembangunan yang bertujuan untuk memakmurkan serta
memajukan bangsa Indonesia.
Selain dampak positif yang bersifat menguntungkan bagi bangsa Indonesia, perundingan
tersebut pun menimbulkan dampak negatif yang bersifat merugikan bagi bangsa Indonesia yaitu
Belanda belum mengakui Irian Barat sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. belanda masih
menganggap Irian Barat adalah miliki mereka, sehingga Bangsa Indonesia pada masa setelah
perundingan KMB berakhir masih berusaha memperjuangkan Irian Barat untuk memperoleh
pengakuan dari Belanda bahwa Irian Barat merupakan salah satu bagian dari Bangsa Indonesia.