Setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia kedua, kemerdekaan Indonesia
dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno. Belanda datang kembali dan berusaha untuk kembali berkuasa di Indonesia dan oleh karena itu berkonflik dengan pemerintah Indonesia, yang pengaruhnya hanya dalam lingkup Jawa dan Sumatera. Setelah kepergian pasukan Sekutu, Belanda dan republik Indonesia memulai diplomasi, yang berujung pada Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani di Istana Negara yang berada di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1947.Isi utama dari perjanjian tersebut yaitu Belanda mengakui Indonesia secara defacto di Jawa, Sumatera dan Madura. Indonesia dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat yang terdiri dari seluruh wilayah Hindia Belanda, Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Raya.. Kedua pemerintah akan bekerja sama dalam mendirikan Uni Belanda-Indonesia dengan ratu Belanda selaku kepalanya. Baik Republik Indonesia dan Belanda akan dibentuk paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Kedua pemerintah akhirnya sepakat untuk menyelesaikan setiap konflik yang mungkin akan timbul nantinya.
Setelah terjadi konflik berkepanjangan terjadilah perundingan antara Indonesia dan
Belanda di Linggajati, Kuningan pada tanggal 10 November 1946. Perjanjian Linggarjati terjadi karena pada Perundingan Hooge Veluwe tidak diperoleh kesepakatan diantara Indonesia dan Belanda. Inggris menjadi penengah dalam perjanjian Linggarjati yang diwakili oleh Lord Killearn, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H., dan Dr. A.K. Gani, dan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn, De Boer, dan Van Pool.Sebagai tindak lanjut atas beberapa pertemuan awal, dihelat forum di Hoge Veluwe, Belanda, pada 4-24 April 1946, yang membahas tentang persoalan status kenegaraan, kemerdekaan, dan wilayah Indonesia. Namun, pemerintah Kerajaan Belanda tidak setuju dan menawarkan opsi bahwa Indonesia akan menjadi negara bawahan dalam persemakmuran Belanda. Soetan Sjahrir sebagai wakil delegasi Indonesia tentu saja menolak mentah-mentah. Indonesia ingin kedaulatan penuh. Perundingan kembali dilanjutkan pada 7 Oktober 1946 dengan tujuan untuk mengurai persoalan demi persoalan. Delegasi Indonesia dalam forum ini adalah Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo. Sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan Inggris sebagai penengah diwakili oleh Lord Killearen. Pada 14 Oktober 1946 disepakati bahwa akan dilakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai pengakuan Indonesia dari pihak Belanda. Waktu yang disepakati untuk pertemuan penting itu adalah dari 12 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Isi Perjanjian Linggarjati Perundingan Linggarjati dilangsungkan selama 3 hari, yakni hingga tanggal 15 November 1946 yang membuahkan kesepakatan bersama. A.B Lafian melalui buku Menelusuri Jalur Linggarjati Diplomasi dalam Perspektif Sejarah (1992) memaparkan, perjanjian tersebut disepakati pada rapat penutup pukul 13.30. Adapun isi dari Perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut: Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negeri Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia (RI). RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. Karta Sasmita dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960 (1995) menyebutkan bahwa isi Perjanjian Linggarjati masih menimbulkan polemik di kalangan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Hal tersebut menyebabkan penandatanganan Perjanjian Linggarjati baru terlaksana pada 25 Maret 1947 di Istana Istana Merdeka, Jakarta. Nantinya, Belanda mengingkari kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati tersebut dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947.
Tokoh-Tokoh dalam Perjanjian Linggarjati
Delegasi Belanda: Hubertus vanMook dan Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn Delegasi Indonesia: Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo Delegasi Inggris (Penengah): Lord Inverchapel dan Lord Killearen. Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan sejumlah kesepakatan: (1) Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto; (2) Belanda meninggalkan wilayah RI paling lambat 1 Januari 1949; (3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat); (4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri Belanda (Ide Anak Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:164). Isi kesepakatan ini tentu saja merugikan Indonesia karena pada akhirnya nanti tetap saja menjadi bawahan Belanda, dan sempat terjadi pro-kontra. Namun, para petinggi pemerintahan RI kala itu terpaksa sepakat karena bagaimanapun juga, jalan damai adalah pilihan utama, serta belum cukup kuatnya angkatan perang yang dimiliki Indonesia. Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa kali pasukan Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah. Hingga akhirnya, tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar RI menarik mundur pasukan sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati (Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1991:439). Kehendak Belanda tersebut tentu saja ditolak oleh pemerintah RI. Van Mook semakin murka dan pada 20 Juli 1947 ia menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai.