Mata Pelajaran
Sejarah Indonesia
Guru Pembimbing
Yarlis, S.Ag
Disusun Oleh :
Nama : Muamar
Kelas : XI IPA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Mata Pelajaran. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang perkembangan serta
pengetahuan bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Saya mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Ibu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada teman saya, serta semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Pertemuan kedua digelar pada 13 Maret 1946 yang berlanjut tanggal 16-17 Maret
1946 dan menghasilkan naskah yang dikenal dengan sebutan Batavia Concept atau Rumusan
Jakarta. Naskah ini adalah nota kesepahaman untuk menginjak fase perundingan berikutnya.
Delegasi Belanda dalam pertemuan itu adalah Perdana Menteri Prof. Dr. Ir. W.
Schermerhorn, sedangkan wakil Indonesia dipimpin oleh Soetan Sjahrir. Pihak Inggris
(Sekutu) bertindak sebagai penengah yang diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr atau Lord
Inverchapel.
A.H. Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan: Periode Linggarjati (1994),
mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut telah disepakati melalui rumusan naskah
persetujuan pendahuluan yang ditandatangani oleh Soetan Sjahrir dan Hubertus van Mook
(Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir) pada 30 Maret 1946.
B. Kronologi Sejarah Perundingan Linggarjati
Sebagai tindak lanjut atas beberapa pertemuan awal, dihelat forum di Hoge Veluwe,
Belanda, pada 4-24 April 1946, yang membahas tentang persoalan status kenegaraan,
kemerdekaan, dan wilayah Indonesia.
Namun, pemerintah Kerajaan Belanda tidak setuju dan menawarkan opsi bahwa
Indonesia akan menjadi negara bawahan dalam persemakmuran Belanda. Soetan Sjahrir
sebagai wakil delegasi Indonesia tentu saja menolak mentah-mentah. Indonesia ingin
kedaulatan penuh.
Perundingan kembali dilanjutkan pada 7 Oktober 1946 dengan tujuan untuk mengurai
persoalan demi persoalan. Delegasi Indonesia dalam forum ini adalah Soetan Sjahrir, A.K.
Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo.
Sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan Inggris
sebagai penengah diwakili oleh Lord Killearen. Pada 14 Oktober 1946 disepakati bahwa akan
dilakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai pengakuan Indonesia dari pihak Belanda.
Waktu yang disepakati untuk pertemuan penting itu adalah dari 12 November 1946 di
Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.
A.B Lafian melalui buku Menelusuri Jalur Linggarjati Diplomasi dalam Perspektif
Sejarah (1992) memaparkan, perjanjian tersebut disepakati pada rapat penutup pukul 13.30.
Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan
adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda,
sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan
A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.
Perundingan ini menghasilkan sejumlah kesepakatan: (1) Belanda mengakui Jawa dan
Madura sebagai wilayah RI secara de facto; (2) Belanda meninggalkan wilayah RI paling
lambat 1 Januari 1949; (3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik
Indonesia Serikat); (4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri
Belanda (Ide Anak Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:164).
Isi kesepakatan ini tentu saja merugikan Indonesia karena pada akhirnya nanti tetap
saja menjadi bawahan Belanda, dan sempat terjadi pro-kontra. Namun, para petinggi
pemerintahan RI kala itu terpaksa sepakat karena bagaimanapun juga, jalan damai adalah
pilihan utama, serta belum cukup kuatnya angkatan perang yang dimiliki Indonesia.
Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa kali pasukan
Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah. Hingga akhirnya, tanggal 15 Juli
1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar RI menarik mundur pasukan sejauh 10
kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati (Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang
Kemerdekaan Indonesia, 1991:439).
Kehendak Belanda tersebut tentu saja ditolak oleh pemerintah RI. Van Mook semakin
murka dan pada 20 Juli 1947 ia menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat
lagi pada hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer
Belanda I pun dimulai.
DAFTAR PUSTAKA
Herkusumo, Arniati Prasedyawati . 1982. Chuo Sangi In, Jakarta: Rosda Jayaputra.
https://www.google.co.id/search-batas +wilayah, 5-1-2016.
https://www.google.co.id/search-jenderal +sudirman, 4-1-2016.
Ingleson, John, 1983. Jalan Pengasingan. (alih bahasa: Zamakhsyari Dhofier),
Jakarta: LP3ES.
Kahin, George Mc.Turnan. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia, Sejarah Indonesia.