Nama Kelompok 7
Lukmanul Hakim
Muhamad nur fazri
Muhamad sildan finata
Sri maulidia putri
Siti devi rahmawati
SMA NEGERI 16 KAB.TANGERANG - BANTEN
JL.GANDASARI NO 14 JAYANTI – KEC.JAYANTI – TANGERANG -
BANTEN
KODE POS 15610
Daftar Isi
PENDAHULUAN
BAB I
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
BAB II
PENUTUP
BAB III
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut :
1. Mengapa perjanjian linggarjati terjadi ?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh yang melaksanakan perjanjian linggarjati ?
3. Bagaimana hasil perjanjian linggarjati ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perjanjian linggarjati.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang melaksanakan perjanjian linggarjati
3. Untuk mengetahui hasil perjanjian linggarjati
BAB II
PEMBAHASAN
Van Mook adalah orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia
juga seorang penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an yang termasuk dalam
kelompok pendorong, yaitu gerakan orang Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda
yang bertujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air mereka dalam
bentuk persemakmuran. Atas pandangan itu suatu saat nanti Indonesia menjadi bagian
sesuai dengan makna politik dan sosialnya sendiri. Atas dasar pemikirannya itu Van
Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia. Sebagai seorang Letnan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook lebih siap menghadapi perubahan situasi
daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun, ia mendapatkan situasi
yang jauh dari perkiraannya, proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segaa
konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat menolak
dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat.
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari
sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Pada awal itu
Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah Belanda
melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook
bersedia Sukarno dan ‘kelompok-kelompok Indonesia’. Ia tidak mau menyebut sebagai
Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan
Republik Indonesia. Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA
bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan status Indonesia menjadi
‘negara dominion’ dalam persekutuan ‘persemakmuran Uni-Belanda’.
Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Cristion
tetap berusaha mempetemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook
dan wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Sukarno dan Moh.
Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahamd Subarjo. Dalam pertemuan itu
tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak Indonesia, pihak Belanda masih
menginginkan kebijakan politiknya yang lama.
Pada pekan terakhir Bulan Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi
dengan semakin banyakanya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu
menyebabkan pihak sekutu yang ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia,
terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran
sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetap tidak
mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan
untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.1
2
Marwati Djoened Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka, 2009). h 203
Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya.
Kebetulan situasi Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP)
pimpinan Tan Malaka melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa
perundingan hanya dapat dilaksanakan atas pengakuan seratus persen terhadap RI.
Di dalam sidang KNIP di Solo pada 28 Februari-2 Maret 1946 mayoritas suara
menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir.Oleh karena itu, Kabinet
Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana
Menteri. Kabinet Syahrir II terbentuk pada tanggal 12 Maret 1946. Kabinet Syahrir II
mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara
lain sebagai berikut:
a. RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia
Belanda.
b. Pinjaman-pinjaman Belanda sebelum tanggal 8 Maret 1942 menjadi
tanggungan pemerintah RI.
c. Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu.
Mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan
federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
d. Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
e. Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi
anggota PBB.
f. Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan.3
Usulan Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook. Sebagai jalan
keluarnya Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan Republik Indonesia sebagai
wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal
yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan
Syahrir memberikan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain
sebagai berikut.
3
Marwati Djoened Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia VI. h 204
Usual tersebut ternyata sudah saling mendekati komromi. Oleh karena itu, usaha
perundingan perlu ditingkatan.4
Pada hasil pertemuan dihasilkan draf Jakarta yang sudah disiapkan. Sebagian
dapat diterima dan sebagian lagi tidak dapat diterima. Usulan yang diterima antara lain
adalah pengakuan kekuasaan RI atas Jawa, sementara Sumatera tidak diakui. Dari draf
Jakarta, tidak ada satu pun yang disetujui secara resmi, sehingga tidak dilakukan
penandatanganan. Alasan utama Belanda adalah Belanda tidak siap melakukan
pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menolak
bentuk perundingan di Hooge Valuwe sebagai perjanjian internasional dua negara. Bagi
Indonesia, menerima delegasi Republik Indonesia sebagai mitra sejajar berarti
mengganggap negeri bekas jajahannya sebagai mitra sejajar yang mempunyai
kedudukan yang sama di dunia internasional. Sementara itu, Belanda masih belum
mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Di sisi lain, kondisi Belanda yang saat itu sedang mempersiapkan pemilihan
umum pertama pasca perang tidak siap untuk mengamil keputusan yang mengikat
masalah Indonesia, karena masalah Indonesia tergantung pada peta politik yang ada di
Belanda. Satu di antara partai potik yang menentang keras kebijakan perundingan
4
Purnawan Basundoro dan Baha Uddin.Sejarah Indonesia. h 159
adalah partai katolik, seperti halnya dengan kelompok PP di Indonesia. Pada awal
dimulainya perundingan Hooge Valuwe, Romme pimpinan fraksi partai katolik di
parlemen Belanda menulis tajuk di Harian Volkskrant dengan nada keras anti negosiasi
yang berjudul De week der Schande (Minggu yang penuh aib).
Perundingan yang berlangsung selama 10 hari itu (14-25 April 1946) telah
gagal. Untuk sementara waktu hubungan IndonesiaBelanda terputus. Akan tetapi, pada
tanggal 2 Mei 1946 van Mook kembali membawa usul pemerintahannya yang terdiri
atas tiga pokok :
Usul Belanda itu pada tanggal 17 Juni ditolak oleh pemerintahan RI karena
dianggap tidak mengandung sesuatu yang baru. Adapun usul balasan pemerintah RI
adalah :
Menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta dan Syahrir
perlawan dengan strategi perang defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-
cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan
kedaularan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.
Persetujuan
Pemerintah Belanda Dalam hal ini berwakilkan komisi Jenderal Dan Pemerintah
Republik Indonesia Dalam hal ini berwakilkan Delegasi Indonesia
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
(1) Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu
ialah Republik Indonesia, Borneo, dan Timur Besar, yaitu dengan tidak
mengurangi hak kaum penduduk daripada sesuatu bagian daerah, untuk
menyatakan hendaknya, menurut aturan Demokratis supaya kedudukannya
dan Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.
(2) Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal tadi dan di dalam ayat (1)
pasal ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa
tentang daerah ibu negerinya.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 9
Pasal 10
(a) Pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan
jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-
kewajiban yang satu kepada yang lain.
(b) Hak kewarganegaraan untuk warga negara Belanda dan warga negara
Indonesia masing-masing di daerah lainnya.
(c) Aturan cara bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat
kelengkapan kerajan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia
Serikat itu tidak cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
(d) Pertanggungjawaban dalam kedua bagian persekutuan itu, akan ketentuan
hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan yang dimaksudkan
juga oleh piagam persekutuan bangsa-bangsa.
Pasal 11
Pasal 12
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, akanmengusahakan
supaya terwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-
Indonesia itu telah selesai, sebelum tertanggal 1 Januari 1949.
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Dengan segera setelah persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak
melakukan pengurangan kekuatan bala tentaranya masing-masing. Kedua belah
pihak akan bermusyawarah tentang sampai seberapa dan lambat cepatnya
melakukan pengurangan itu, demikian juga tentang kerja bersama dalam hal
ketentaraan
Pasal 17
(1) Untuk kerja bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudkan sebuah
badan yang terdiri dari pada delegasi-delegasi yang ditujukan oleh tiap-tiap
pemerintah itu masing-masingnya dengan sebuah sekretariat bersama.
(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bilamana ada
tumbuh perselisihan berhubungan dengan persetujuan ini, yang tidak dapat
diselesaikan dengan perundingan antara dua delegasi yang tersebut itu, maka
menyerahkan keputusan kepada arbitrase. Dalam hal itu dipersidangan
delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan ketua bangsa lain, dengan suara
memutuskan, yang diangkat dengan semufakat antara dua delegasi itu, atau
jika tidak berhasil semupakat itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan
Internasional.
Pasal Penutup
Kondisi itu mendorong PBB untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua resolusi
yang disampaikan oleh PBB. Pertama, menghimbau agar RI dan Belanda segera
menghentikan perang dan membentuk Negara Indonesia Serikat, seperti yang
diamanatkan dalam Perjanjian Linggarjati. Kedua, adalah usulan Amerika agar kedua
belah pihak membentuk sebuah tim untuk membantu menyelesaikan masalah itu.
Usulan itu kemudian dikenal dengan istilah ‘Komisi Tiga Negara’.
Komisi Tiga Negera (KTN) itu terdiri dari Australia, yang diwakilkan oleh
Richard C Kirby yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul
Van Zeeland. Amerika di wakili oleh Frank P. Graham yang dipilih oleh Belgia dan
Australia. Hasil dari KTN itu adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia dan
Belanda. Pihak Belanda mengusulkan agar diadakan perundingan ditempat yang netral.
Atas jasa Amerika Serikat, amaka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya,
dengan nama USS Renville didtangkan di teluk Jakarta dari Jepang.6
Salah satu alasan dari diadakannya perjanjiian renville adalah karena tidak
adanya pengakuan dari Belanda atas kemerdekaan Indonesia. Padahal, Indonesia sudah
lebih dahulu merdeka pada tahun 1945 sebelum diselenggarakannya perjanjian ini dua
tahun kemudian.
Agresi militer yang dilakukan Belanda atas Indonesia merupakan salah satu
peristiwa besar yang pernah terjadi selain peristiwa pemberontakan PKI Madiun.
Karena peristiwa ini tidak hanya terjadi sekali melainkan berkali-kali hingga
menimbulkan perang dibeberapa daerah Indonesia. Sebenarnya, hanya ada satu tujuan
dari dilakukannya agresi militer oleh Belanda ini: Belanda ingin membangun kembali
kekuasaannya di Indonesia.
Agresi militer Belanda berawal pada tanggal 20 Juli 1947 karena gubernur
jendral H.J. van Mook menyatakan tidak lagi terikat dengan perjanjian lingarjati yang
telah disepakatinya dengan Indonesia beberapa hari sebelumnya. Keputusan ini
membuat van Mook memutuskan untuk melakukan agresi militer pada Indonesia pada
21 Juli 1947 atau sehari setelah keputusan tersebut.
Pada tanggal 17 Maret 1946 beberapa tokoh politik, khususnya dari Persatuan
Perjuangan ditangkap. Pemerintah menyatakan bahwa tujuan penangkapan adalah untuk
mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar sebagai akibat dari tindakan pemimpin-
pemimpin politik itu, karena terdapat buktibukti bahwa mereka akan mengacaukan,
melemahkan dan memecah persatuan. Mereka dianggap tidak melakukan oposisi yang
sehat dan loyal, tetapi hendak melemahkan pemerintah. Dikatakan ada indikasi kuat
bahwa mereka akan mengubah susunan negara di luar undang-undang. Mereka yang
ditangkap adalah Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Tjokrosujoso, Chairul Saleh, Muh
Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. Dengan ditangkapnya para pemimpin PP ini
praktis organisasi PP lumpuh. PP dibubarkan pada tanggal 4 Juni 1946, tetapi pengikut
Tan Malaka masih berusaha melakuakn oposisi terhadap pemerintah. Pada tanggal 3
Juli 1946 mereka memaksa Presiden Sukarno membentuk pemerintahan yang sesuai
dengan mereka. Usaha itu gagal.7
Peraturan Presiden ini juga mendapat tantangan keras dari partai-partai yang anti
Linggarjati termasuk PNI dan Masyumi. Kedua partai terbesar itu berpendapat bahwa
Peraturan Presiden tersebut tidak sah, karena setelah ada kabinet, Presiden tidak boleh
melakukan tindakan yang bersifat legislatif. Mereka juga menggugat bahwa dalam
membuat peraturan itu Badan Pekerja KNIP tidak diajak berunding. Hal ini mereka
anggap pemerkosaan terhadap hak-hak rakyat. Namun, partai-partai pemerintah,
khususnya Partai Sosialis, menyatakan bahwa Peraturan Presiden tersebut adalah sah
berdasarkan hak prerogatif Presiden, meskipun Badan Pekerja KNIP juga menentang
keras peraturan tersebut. Oleh karena BP KNIP menolak untuk mengesahkan PP
tersebut, pemerintah berusaha meminta pengesahan dalam sidang pleno KNIP. Sidang
diadakan di Malang dari tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947. Dari pidato-pidato
yang disampaikan oleh anggota KNIP pemerintah menyimpulkan bahwa PP itu akan
ditolak. Untuk menyelamatkannya, Wakil Presiden Hatta menyampaikan pidato yang
memberikan kepada KNIP hanya dua pilihan: menerima PP atau mencari presiden dan
wakil presiden baru. Hatta mengancam bahwa ia dan Presiden Sukarno akan
mengundurkan diri kalau PP itu ditolak.
8
Marwati Djoened Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka, 2009). h 212-
213
3. Wilayah Indonesia setelah perjanjian Renville
A. Kesimpulan
Minimnya sumber baik itu seperti buku yang biasa dipakai perbandingan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu ,sekedar saran dari penulis untuk penulisan
makalah berikutnya, semoga untuk kedepannya lebih giat lagi dalam mencari sumber
materi , sehingga penulisan , serta penyelesaian makalah dapat lebih baik. Hal ini
penting agar lebih dapat menyelesaikan sebuah karya penulisan yang baik dan benar,
serta menarik untuk dikaji. Demikianlah makalah ini penulis persembahkan , semoga
dapat bermanfaat. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Basundoro, Purnawan dan Baha Uddin. 2014. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2009. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai
Pustaka
Didi Apriatna ,(2015, 22 July). Isi Lengkap (17 Pasal) Hasil Perundingan Linggarjati.
Diperoleh 07 October 2018 jagoanbanten.blogspot.com./2017/05/isi-lengkap-
17-pasal-hasil-perundingan.html?m=1
Clarishty Grishelda, (2014, 08 October). Wilayah-wilayah Linggarjati. Diperoleh 07 October
2018, dari http://claristhygrishelda.blogspot.com/2014/10/peta-peta-perjanjian.html