Anda di halaman 1dari 5

Daftar BISACPNS (Rp 129rb)

https://portal.bisacpns.com/auth/register?voucher=akubisa

Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia


Selepas Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia belum sepenuhnya diakui dunia. Jalur diplomasi menjadi jalan yang dipilih
untuk menggalang pengakuan dunia di tengah ancaman militer Belanda yang berencana
merebut kembali Indonesia dengan memanfaatkan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia
II.
Perundingan Linggarjati
Perundingan linggarjati merupakan perundingan politik Indonesia-Belanda yang panjang
karena berlangsung sebanyak 11 kali mulai dari 22 Oktober 1946 sampai 16 November 1946.
Perundingan I (22 Oktober 1946) sampai perundingan IV (3 November 1946) dilaksanakan di
Jakarta. Perundingan V (11 November 1946) – perundingan VIII (13 November 1946)
berlangsung di Linggarjati. Perundingan IX (15 November 1946) – perundingan XI (16
November 1946) kembali berlangsung di Jakarta.
Perundingan Linggarjati menghasilkan “Persetujuan Linggarjati” yang menyepakati
kedaulatan RI. Persetujuan itu diparaf oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir (Ketua Delegasi
RI) dan Prof Schermerhorn (Ketua Delegasi Belanda). Namun, hasil perundingan baru
ditandatangani kedua delegasi pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana
Negara).
Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan
Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat
(RIS).
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda
dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan
terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat
memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga
menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan
Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.

Perundingan Renville
Agresi Militer Belanda I memaksa Indonesia meminta bantuan internasional. Dewan
Keamanan PBB menengahi dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) atau Good
Offices Committee (GOC). Indonesia menunjuk Australia sebagai perwakilan, Belanda
menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda. Pada 26 Oktober
1947 KTN datang ke Indonesia untuk mengatasi sengketa Indonesia-Belanda. Para anggota
Komisi adalah Hakim Richard C. Kirby (Australia), mantan Perdana Menteri Paul van Zeeland
(Belgia), dan Rektor University of North Carolina Dr. Frank B. Graham (AS).
Setelah kedatangan KTN di Indonesia, Amerika Serikat mempertemukan Indonesia dan
Belanda pada 8 Desember 1947 di kapal perang USS Renville yang berlabuh di Jakarta.
Delegasi Indonesia terdiri dari Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Mr. Ali Sastroamidjojo, Agus
Salim, Dr. Leimena, Mr. Latuharhary, dan Kolonel T.B. Simatupang. Delegasi Belanda
dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Daftar BISACPNS (Rp 129rb)
https://portal.bisacpns.com/auth/register?voucher=akubisa

Setelah disepakati pada 17 Januari 1948 perjanjian Renville memuat beberapa persetujuan,
yaitu:
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa
Barat dan Jawa Timur.
Berakhirnya agresi militer Belanda I dan disetujuinya perjanjian Renville mengubah arah
perpolitikan Indonesia. Golongan kiri yang selama awal kemerdekaan ditempatkan dalam
struktur pemerintahan mulai tersingkir. Tersingkirnya golongan kiri merupakan cikal bakal
terjadinya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 ditengah konflik yang
masih terjadi antara pihak Belanda dan Republik. Perjanjian Renville mengurangi wilayah
kekuasaan Indonesia yang telah diakui secara de facto sangat merugikan pihak Indonesia.
Wilayah-wilayah penghasil kebutuhan pokok telah dikuasai oleh pihak Belanda menyebabkan
perekonomian Indonesia memburuk terlebih ketika Belanda melakukan blokade-blokade
ekonomi. Pemblokadean ekonomi merupakan salah satu taktik pihak Belanda untuk
melemahkan Indonesia.
Perjanjian ini juga mengakibatkan TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong di
wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini melahirkan peristiwa
Long March Siliwangi, sebuah perjalanan panjang para tentara Divisi Siliwangi dari Jawa
Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dampak dari peristiwa ini melahirkan sebuah
pemberontakan oleh Kartosuwiryo dan pasukannya yang tidak ingin keluar dari Jawa Barat
yang saat itu berada di kekuasaan Belanda untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Resolusi PBB dan Perjanjian Roem-Royen


ekhawatiran akan adanya serangan Belanda pun terjadi. Pada 19 Desember 1948 Belanda
melancarkan serangan ke bandar udara Maguwo, Yogyakarta. Belanda menyatakan tidak lagi
terikat dengan Perjanjian Renville. Serangan terhadap seluruh wilayah RI di Jawa, Sumatera,
dan Ibukota Yogyakarta ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II (19-20 Desember 1948).
Aksi Belanda menyerang RI mendapat kecaman dari banyak negara di dunia. Satu hari
setelah serangan Belanda, pada 20 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB segera
bersidang di Lake Succes, dekat kota New York, Amerika Serikat, dan dilanjutkan dengan
sidang di Paris, Perancis pada 22 Desember 1948.
Setelah melalui serangkaian perdebatan dan penolakan dari wakil Belanda, Dewan
Keamanan PBB menerima usulan yang diajukan oleh Amerika Serikat, Kuba, Norwegia, dan
China. Usulan keempat negara tersebut ditetapkan sebagai Resolusi PBB No. 67, tanggal 28
Januari 1949. Isi resolusi antara lain menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak
Belanda untuk memulai perundingan dan menyerahkan kedaulatan kepada RI.
Belanda menolak resolusi PBB hingga Dewan Keamanan PBB harus mengambil sikap tegas
dua bulan setelah resolusi dikeluarkan. Pemerintah Indonesia dan Belanda harus segera
melakukan perundingan pada tanggal 30 Maret 1949. Namun, Pemerintah Indonesia
bersikeras para pemimpin RI harus kembali ke Yogyakarta dan Pemerintah RI harus
dipulihkan. Belanda pun masih enggan berkompromi dan mengajukan berbagai syarat.
Situasi ini menimbulkan kebuntuan sehingga memerlukan berbagai pendekatan (lobby) lewat
Daftar BISACPNS (Rp 129rb)
https://portal.bisacpns.com/auth/register?voucher=akubisa

pertemuan pendahuluan sebelum penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den


Haag, Belanda.
Salah satu pertemuan pendahuluan adalah Perjanjian Roem-Royen. Roem-Royen diambil
dari nama masing-masing delegasi Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman van Roijen
(Royen) dari Belanda. Pertemuan ini berlangsung selama satu bulan sejak 14 April 1948
hingga penandatanganan pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Isi dari perjanjian ini sebenarnya lebih merupakan pernyataan kesediaan berdamai antara
kedua belah pihak. Dalam perjanjian itu, pihak delegasi Republik Indonesia menyatakan
kesediaannya untuk:
1. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan
perang gerilya.
2. Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak
bersyarat
Sedangkan pihak delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk:[3]
1. Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta.
2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan
politik.
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai
oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara
atau daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5. Berusaha dengan sesungguh-sugguhnya supaya KMB segera diadakan setelah
pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
1. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai
perjanjian Renville pada 8 desember 1947
2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada
Indonesia.

KMB
KMB atau atau De Ronde Tafel Conferentie (RTC) resmi dibuka pada 23 Agustus 1949.
Perundingan berjalan alot dan lambat. Dalam KMB ketiga delegasi dibagi dalam Steering
Committee (panitia pengarah), yang dibantu oleh tiga panitia kecil khusus membahas UUD,
Irian Barat, NIS, dan swapraja (wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri). Anggota
lainnya dibagi dalam empat panitia untuk membicarakan bidang-bidang ekonomi dan
keuangan, militer, kebudayaan, dan sosial.
Perundingan yang memakan waktu lama menimbulkan spekulasi-spekulasi di kalangan pers
di Indonesia bahwa KMB kemungkinan besar gagal. Namun, delegasi RI maupun delegasi
BFO mengirim masing-masing utusan ke Yogyakarta dan Makasar untuk menjelaskan kepada
parlemen RI (KNIP) dan Dewan Perwakilan Sementara NIT, bahwa spekulasi-spekulasi itu
tidak benar.
Daftar BISACPNS (Rp 129rb)
https://portal.bisacpns.com/auth/register?voucher=akubisa

Salah satu masalah yang menyebabkan kebuntuan dan nyaris menggagalkan KMB adalah
persoalan Irian Barat. Belanda bersikeras Irian Barat tetap di bawah kekuasaan Kerajaan
Belanda, dengan alasan secara etnologis orang Irian tidak termasuk orang Indonesia.
Sementara itu pertimbangan Indonesia berdasar Persetujuan Linggarjati yang telah
ditetapkan bahwa Negara Indonesia Serikat yang berdaulat mencakup seluruh bekas Hindia
Belanda.
Dalam kebuntuan perundingan, Hatta menyampaikan usul yang dapat diterima oleh Belanda
yakni Irian Barat tetap di pangkuan Belanda tetapi dalam waktu satu tahun kedua belah pihak
dapat merundingkannya kembali. Hatta menginginkan usulan tersebut disampaikan oleh
UNCI. Perwakilan UNCI pun setuju dan menyampaikan kepada KMB usulan tersebut tanpa
memberi tahu asal-usulnya. Kesepakatan pun terjadi, KMB ditutup pada 2 November 1949
dengan keberhasilan diplomasi Indonesia.
Hasil KMB antara lain Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Republik Indonesia
Serikat pada Desember 1949, antara RIS dan Belanda akan diadakan hubungan Uni
Indonesia Belanda, Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan membayar
utang Hindia Belanda sebelum 1949, dan masalah Irian Barat akan dirundingkan satu tahun
setelah pengakuan RIS.
Penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia dilaksanakan pada 27 Desember 1949 di
istana Dam, di Amsterdam, Belanda. Dalam upacara itu ditandatangani tiga dokumen oleh
Ratu Juliana dan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Dokumen itu berisi antara lain
pernyataan menerima seluruh hasil KMB dan Piagam Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan
Belanda kepada Republik Indonesia Serikat.
Daftar BISACPNS (Rp 129rb)
https://portal.bisacpns.com/auth/register?voucher=akubisa

De Facto dan De Jure

Dari segi bahasa, De Facto maupun De Jure berasal dari bahasa Latin. De Facto merupakan
ungkapan yang berarti ‘pada faktanya’, ‘pada praktiknya’ atau ‘pada kenyataannya’.
Sementara De Jure berarti ‘berdasarkan hukum’ atau ‘menurut hukum’.

Pengertian dari segi etimologi ini tidak berbeda dengan pengertian dalam konteks pengakuan
terhadap keberadaan suatu Negara terhadap negara lainnya dalam pergaulan Internasional.

De Facto merupakan bentuk pengakuan suatu Negara terhadap Negara lainnya yang
berdasarkan pada kenyataan yang menyatakan bahwa Negara tersebut sudah memenuhi
syarat syarat terbentuknya Negara seperti adanya wilayah, adanya rakyat dan adanya
pemerintahan yang berdaulat.

De Jure adalah bentuk pengakuan yang dinyatakan secara resmi oleh Negara lain dengan
berdasarkan pada kaidah kaidah yang diatur dalam hukum internasional terkait
keberadaan suatu Negara baru agar bisa diterima sebagai anggota bangsa bangsa di dunia
dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya.

Anda mungkin juga menyukai