Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Konstitusi

“Konstitusi RIS”
10 Maret 2021

1. Konstitusi RIS adalah UUD Indonesia yang paling pendek umurnya (1949-1950) 
digantikan oleh UUDS 1950

2. Kalender Ketatanegaraan:
a. 4 Januari 1946: Presiden dan Wakil Presiden hijrah ke Yogyakarta (ibukota negara
Indonesia)
b. 19 Desember 1948: Soekarno, Hatta, dan beberapa petinggi lain ditangkap oleh Belanda
c. 22 Desember 1948: PDRI (Pemerintah
d. Darurat Republik Indonesia dibentuk dan dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di
Sumatra (22 Des 1948 – 13 Juli 1949)
e. 6 Juli 1949: Presiden dan Wapres kemudian kembali ke Yogyakarta
f. 29 Juni 1949: tentara Belanda meninggalkan wilayah kota Yogyakarta

3. Semula Belanda ingin kembali menjajah Indonesia setelah Jepang menyerah pada Sekutu
di tanggal 15 Agustus 1945 dengan berkedok sebagai Palang Merah Internasional. Saat
itu, Belanda datang ke Surabaya pada 19 September 1949 untuk mengurus orang-orang
Belanda bekas tawanan tentara Jepang, dan menaikkan bendera Belanda (bendera tiga
warna)di Hotel Yamato. Hal ini kemudian memicu terjadinya insiden di Tunjungan,
Surabaya.

4. Pada penyelenggaraan sidang Konferensi Inter Asia di New Delhi, India (23 Maret 1947),
21 negara-negara Asia memberi sokongan morilnya kepada Indonesia. Sebelumnya pada 3
Maret 1947, Inggris juga telah memberikan pengakuan de facto secara terbatas, yang
kemudian ditindaklanjuti oleh pengakuan de facto pada 1 April 1947. AS kemudian
menyusul dengan memberi pengakuan terhadap RI sesuai dengan naskah perjanjian
Linggarjati

5. Perjanjian antara Indonesia dan Belanda baru muncul saat Perjanjian Linggarjati disepakati
oleh kedua belah pihak pada 25 Maret 1947. Tak lama berselang atau tepatnya pada 20 Juli
1947, Van Mook kemudian menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat terhadap
Perjanjian Liggarjati dan kesepakatan gencatan senjata yang tertulis di dalamnya.

6. Isi Perjanjian Linggarjati:


a. Pengakuan Belanda secara de facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia meliputi
Sumatera, Jawa dan Madura
b. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia
Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia
c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda selaku ketuanya

7. Perjanjian kedua antara kedua negara kemudian ditandatangani pada 17 Januari 1948 di atas
Kapal Renville, sehingga kemudian dinamakan sebagai Perjanjian Renville. (Perundingan
KTN / Komisi Tiga Negara di atas Kapal Renville dilakukan pada Desember 1947, dimana
perundingan awal dengan pihak Indonesia dilakukan pada 13 Januari 1948 di Kaliurang,
Sleman, DIY). Namun pada 18 Desember 1948 pukul 23:30, siaran Radio Belanda
menyatakan bahwa negara itu tidak lagi terikat kepada Perjanjian Renville

8. Isi Perjanjian Renville:


a. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera
b. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS
c. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk
d. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera
e. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang
disebut Garis Van Mook
f. Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerak kekuasaan Belanda (Jawa Barat
dan Jawa Timur)
g. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda
h. Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk
menentukan nasib wilayah dalam RIS
i. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS

9. Indonesia pernah memiliki bentuk negara berupa federal yang terdiri dari negara-negara
bagian / negara-negara kecil, yaitu:
a. Negara Indonesia Timur: 7 Desember 1946 (Presiden: Sukawati ; Perdana Menteri:
Nadjamuddin Daeng Malewa)
b. Dewan Gorontalo: 4 November 1947
c. Negara Bagian Sumatera Timur: 25 Desember 1947
d. Negara Madura: 20 Februari 1948
e. Negara Pasundan: 23 Februari 1948
f. Negara Sumatera Selatan: 30 Agustus 1948
g. Gubernur Jakarta: 2 November 1948
h. Negara Jawa Timur: 16 November 1948

10. Pengakuan terhadap Kemerdekaan Indonesia (Diplomasi Revolusi di Luar Negeri):


a. Palestina melalui Syeh Muhammad Amin Al Husaini (mufti besar Palestina) pada 6
September 1944. Selain itu, Radio Berlin berbahasa arab juga mengucapkan selamat
bagi kemerdekaan Indonesia bertepatan dengan pengakuan Jepang kepada Indonesia
b. Di Mesir, sejak pengumuman kemerdekaan Indonesia, organisasi Ikhwanul Muslimin
mengorganisir demonstrasi terhadap kedutaan Belanda. Kuatnya dukungan rakyat Mesir
kemudian menyebabkan Mesir melakukan pengakuan terhadap kedaulatan Pemerintah
RI di Indonesia pada tanggal 22 Maret 1946, disusul oleh Suriah, Irak, Lebanon, Yaman,
Arab Saudi, dan Afganistan
c. Sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 juga menganjurkan agar semua
negara anggota Liga Arab menjadi negara merdeka yang berdaulat

11. Tokoh bangsa yang dianggap paling banyak melakukan kegiatan diplomasi adalah Adam
Malik

12. Menurut Wolhoff, sejak 17 Agustus 1945 terdapat dua macam pemerintahan yang duduk di
wilayah Hindia Belanda:
a. Pemerintah Republik Indonesia jang mempertahankan hak kedaulatanja atas seluruh
bekas wilajah Hindia Belanda baik terhadap Koninkrijk der Nederlanden maupun
terhadap dunia internasional berdasarkan hak mutlak setiap bangsa untuk menentukan
nasibnja sendiri
b. Pemerintah Nederlands-Indie, suatu Persekutuan Hukum Autonom dalam ikatan Negara
Koninkrijk der Nederlanden jang kedaulatannya atas wilajah Hindia Belanda diakui de
jure oleh dunia internasional berdasarkan traktat-traktat dan perdjandjian-perdjandjian
internasional jang lain
Baik Pemerintah Republik Indonesia maupun Pemerintah Nederlands-Indie berusaha
menguasai wilajah Nederlands-Indie itu setjara defakto. Dilihat dari sudut kenegaraan,
Kroon dan Staten Generaal Belanda berusaha mempertahankan Koninkrijk der Nederlanden
sebagai ”Superstaat” dan paling-paling bersedia mengadakan perobahan Konstitusi dan Wet-
Wet (UU) sekedar pula untuk merobah Nederlands-Indie mendjadi ”Indonesia” jang akan
diberi kedudukan baru dalam ikatan ” Koninkrijk”

Sejarah Pembentukan dan Penetapan Konstitusi RIS


1. Konstitusi RIS disusun oleh bangsa Indonesia, dalam hal ini pihak RI (Republik Indonesia)
dan BFO (Bijeenkomst voor Federaale Overlag). Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan
dengan pemerintah Belanda yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Persetujuan Linggarjati,
yaitu:
“Undang-undang Dasar daripada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah
persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik
Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara
Indonesia Serikat itu. Wakil-wakil itu akan ditunjuk dengan jalan demokratis, serta dengan
mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.”

2. BFO: Majelis Permusyawaratan Federal  komite yang didirikan oleh Belanda untuk
mengelola Republik Indonesia Serikat selama Revolusi Nasional Indonesia. Anggotanya
sendiri terdiri dari wakil-wakil Belanda maupun Indonesia. BFO saat itu berwenang
membentuk UUD

3. KNIP: didirikan oleh pemerintah Indonesia secara murni, sehingga hanya terdiri dari wakil-
wakil Indonesia saja. KNIP berwenang membentuk UU maupun UUD juga, sehingga saat
itu terjadi sengketa kewenangan antara KNIP yang dirasa tidak terlalu dilibatkan dalam
perumusan Konstitusi RIS. KNIP juga berwenang menetapkan GBHN bagi pemerintah
Indonesia

4. Penyusunan UUD untuk RIS hanya dilakukan oleh RI dan BFO, dimana pembahasan
bersama antara keduanya telah dimulai sejak KII (Konferensi Inter Indonesia), dan
dilanjutkan ketika perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Hal ini sendiri
dikemukakan oleh Soepomo yang saat itu menjadi ketua delegasi RI dalam Panitia Kecil
seksi A Konstitusi Sementara Negara Indonesia Serikat, yaitu:
“Di Den Haag, Delegasi Republik dan Delegasi BFO telah mentjapai persetudjuan tentang
Konstitusi Sementara dari RIS yang ditandatangani oleh wakil-wakil Republik dan BFO.
Konstitusi itu telah diberitahukan kepada Belanda dan Belanda mengakui bahwa Konstitusi
itu memenuhi sjarat-sjarat jang disebut dalam memorandum KMB tanggal 22 Djuni 1949.”

5. Pada kesempatan terpisah, Perdana Menteri Hatta dalam Jawaban Pemerintah pada Sidang
KNIP VI juga mengemukakan hal yang sama yaitu, ”Rantjangan Konstitusi RIS mendapat
banjak perhatian dari sidang K.N.P. Perlulah Pemerintah mengemukakan dasar Pantja Sila
dapat terima baik oleh kedua Delegasi, jaitu delegasi Republik Indonesia dan BFO.”

6. KMB diadakan di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949.
Sementara itu, Penandatanganan Induk Persetujuan (Mantelresolutie) KMB diadakan pada
hari penutupan oleh masing-masing ketua delegasi dan anggota UNCI (United Nations
Commission for Indonesia). Mengenai Naskah Konstitusi ini diserahkan pada Panitia Kecil I
seksi A Panitia Urusan Ketatanegaraan dan Hukum Tata Negara. Pada tanggal 29 Oktober
1949, naskah konstitusi RIS rampung dan diparaf di Scheveningen oleh RI dan wakil-wakil
BFO yang hadir dalam KMB.

7. Perlu diketahui bahwa Panitia Kecil I seksi A Panitia Urusan Ketatanegaraan dan Hukum
Tata Negara dibentuk pemerintah tanpa ada unsur parlemen sama sekali, padahal parlemen
seharusnya diikutkan dalam penyusunan naskah konstitusi serta naskah perjanjian KMB
secara keseluruhan.

8. Pada tanggal 24 Oktober 1949, Badan Pekerja (BP) KNIP menyelenggarakan sidang dengan
agenda Hamengkubuwono IX (Hatta sedang berada di Den Haag) tentang KMB dan
pelaksanaan Roem-Royen Statement. Rasa tidak puas pada BP KNIP muncul terhadap hasil
persetujuan KMB, karena memberikan kerugian bagi Indonesia, seperti:
a. Penanggungan hutang-hutang warisan Belanda
b. Perlindungan ekonomi bagi kepentingan ekonomi penjajah di Indonesia
c. Penundaan persoalan Irian Barat yang berarti penjajahan belum terhapus dari bumi
Indonesia
d. Kerjasama kebudayaan Indonesia-Belanda yang dianggap merupakan kelanjutan
kolonialisme dalam bentuk baru, yaitu melalui kebudayaan
e. Penilaian bahwa RI telah menaikkan perjuangan BFO bikinan Belanda ke tingkat
internasional

9. Sikap ini kemudian ditanggapi serius oleh pemerintah, dan memperkirakan jika hasil KMB
dibawa dalam sidang pleno KNIP maka akan menimbulkan perdebatan yang sengit dan
ramai. Dengan pertimbangan tambahan mengenai waktu dan biaya, Presiden Soekarno
bersama pemerintah kemudian tidak berniat memanggil sidang pleno dan menganggap
cukup bila BP saja yang membahas. Sidang tertutup BP KNIP tanggal 17 November 1949
menolak hal tersebut, dan mengemukakan beberapa catatan, yaitu:

a. Apakah hasil KMB itu merupakan suatu perjanjian ataukah suatu hasil beleid
(kebijaksanaan) pemerintah saja? Kalau perjanjian, ia harus diratifikasi oleh parlemen,
namun kalau hanya menjadi hasil beleid maka cukup diratifikasi dengan mosi
kepercayaan BP KNIP saja
b. BP KNIP berhak melakukan pekerjaan parlemen, diantaranya meratifikasi perjanjian.
Hal ini ada pula pada pleno KNIP. Apabila perjanjian itu terlalu penting sehingga terlalu
besar pertanggungjawabannya, sebaiknya dibawa kepada pleno KNIP (jangan dibawa
kepada BP KNIP)
c. Ada pendapat yang mengemuka bahwa BP merasa kurang representatif, sehingga perlu
menyusun diri kembali dan ‘menyusup’ ke dalam KNIP. Tetapi ini belum berhasil
dilakukan
d. Ketua BP KNIP yaitu Asaat mengatakan bahwa hasil KMB harus diratifikasi oleh pleno
KNIP. KMB sejatinya kurang pantas apabila hanya diratifikasi oleh BP, karena dirasa
kurang representatif dan dapat menimbulkan rasa kurang puas di tengah-tengah rakyat

10. Dalam rapat pleno KNIP tanggal 5 Desember 1949, Presiden Sukarno menyampaikan pidato
pembukaannya, yang meminta agar sidang KNIP memberi putusan apakah menerima atau
tidak hasil-hasil KMB (akan tetapi jika hasil KMB ditolak, Presiden menyatakan dengan
tegas bahwa beliau tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi).
Setelah Presiden Sukarno berpidato, maka selanjutnya Perdana Menteri Mohammad Hatta
memberikan keterangan pemerintah, yang pada intinya menekankan hal-hal yang telah
dijelaskan pada sidang BP KNIP, dan mengajukan RUU mengenai pengesahan ”Induk
persetujuan bersama-sama rancangan persetujuan dan segala pertukaran surat menyurat
mengenai penyerahan kedaulatan oleh Kerajaan Nederland kepada RIS”, RUU tentang
pengesahan Konstitusi RIS beserta lampiran tentang pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan, serta rancangan maklumat bersama antara Presiden dan KNIP.
11. Anggota KNIP kemudian membahas usulan pemerintah ditu engan sangat serius, dengan
berdasar pada pertanyaan yang dikemukakan dalam sidang-sidang pleno KNIP
Pemandangan Umum I (8-10 Desember 1949) dan Pemandangan Umum II (13 Desember
1949)
Beberapa isu utama dari pemandangan utama yang dikemukakan oleh anggota-anggota KNIP
adalah mengenai hasil-hasil KMB yang dianggap telah meninggalkan Proklamasi 17 Agustus
1945, kedaulatan RIS, status Irian, dan Konstitusi RIS yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Jawaban pemerintah terhadap hal tersebut disampaikan pada tanggal 12 Desember 1949 oleh
PM Hatta.

12. Naskah RUU hasil KMB yang didalamnya juga memuat Konstitusi RIS mulai berlaku di
Indonesia sejak 13 Desember 1949 ketika diratifikasi oleh BP KNIP dengan 226 suara
menerima dan 62 suara menolak, yang kemudian ditandatangani oleh presiden pada 31
Januari 1950. Konstitusi RIS sendiri diundangkan dalam Keputusan Presiden RIS Nomor 48
Tahun 1950 tentang Mengumumkan Piagam Penandataganan Konstitusi Republik Indonesia
(Lembaran Negara Nomor 3). Perlu disadari bahwa berbeda dengan UUD lainnya yang
sempat hidup di Indonesia, hanya Konstitusi RIS yang menggunakan istilah Konstitusi alih-
alih menggunakan istilah UUD.
RI dan BFO kemudian membentuk Panitia Persiapan Nasional (PPN) untuk meminta
persetujuan semua perwakilan negara dan daerah bagian yang tergabung dalam BFO
terhadap Persetujuan KMB dan memilih Presiden RIS. Pemilihan Presiden RIS dilakukan
secara rahasia di Yogyakarta tanggal 16 Desember 1949, dan Ir. Sukarno secara aklamasi
dipilih menjadi presiden pertama RIS (dilantik pada 17 Desember 1949).

13. Pada tanggal 27 Desember 1949, Drs. Mohammad Hatta (ketua delegasi Indonesia dalam
perundingan KMB) beserta para anggota delegasi RIS menerima penyerahan kedaulatan dari
Ratu Yuliana di Amsterdam. Pada waktu yang sama, di Indonesia diadakan penyerahan
pemerintahan. H.V.K. Lovink membubuhkan tanda tangannya pada Akta Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah di Indonesia, dan Sultan Hamengkubuwono IX, Anak Agung Gde
Agung, Mohammad Roem, serta Kosasih membubuhkan tanda tangan pada akta
penerimaannya. Terdapat perbedaan tentang istilah yang digunakan, dimana pihak Belanda
menggunakan ”penyerahan kedaulatan”, sedangkan pihak Indonesia menggunakan istilah
“pemulihan kedaulatan.”

14. Tentang istilah penjerahan kedaulatan, pihak Belanda mengatakannja ”penjerahan”


kedaulatan kepada Indonesia, sedang kita bangsa Indonesia, menamakannja ”pengembalian”
atau ”pemulihan” kedaulatan, sebab bangsa Indonesialah jang memiliki kedaulatan atas
Indonesia, jang kemudian diambil dan dirampas oleh Belanda.
Kita menerima istilah Penjerahan/Pemulihan, hanja agar Belanda lepas sama sekali dari
Indonesia (sebagai suatu taktik). Kedaulatan kita minta kembali. Kita berdaulat lagi bukan
karena kita dihadiahkan, tetapi karena kedaulatan jang telah hilang itu kembali datang lagi.
Itu sebabnja kita menolak rentjana pemulihan kedaulatan yang semula dilaksanakan pada
tanggal 25 Desember (seolah-olah merupakan ‘hadiah Hari Natal’).
Kita berpendirian, dahulu kita telah berdaulat, kemudian pada abad ke-17 Belanda mulai
mengadakan dan menguasai kedaulatan negara kita. Dengan penjerahan kedaulatan pada 27
Desember 1949 itu, kedaulatan jang dahulu pernah ada pada bangsa Indonesia pulih
kembali. Kita tolak istilah penjerahan, seolah-olah itu merupakan hadiah dari Belanda.
Sedang pemulihan, adalah pengembalian hak kita sendiri kepada kita.
Sekalipun di dalam teks resmi Konstitusi RIS berbahasa Belanda misalnja didalam fasal-
fasal 192, 194, dan 197 dinjatakan “Charter van Souvereiniteitsoverdracht” jang berarti
setjara letterlijk, “dalam Bahasa Indonesia, kata-kata tersebut ditulis dan dinjatakan dengan
Piagam Pemulihan Kedaulatan”. Dan selama itu fihak Belanda sendiri mendiamkannja saja.
Kita mempergunakan istilah ”Pemulihan Kedaulatan”, karena kita sendiri sudah berdaulat
dan kedaulatan itu dirampas oleh fihak Belanda.

15. Pembahasan tentang Konstitusi RIS tidak akan bisa dilepaskan dari serangkaian perundingan
dan perjanjian yang disepakati oleh Indonesia dan Belanda. Perundingan yang berhasil
menghasilkan persetujuan pertama antara pemerintah RI dan pemerintah Belanda adalah
Persetujuan Linggarjati (disepakati dan ditandatangani perwakilan RI dan Belanda pada 15
November 1946).
Dari sudut pandang pihak Belanda (Gubernur Jenderal H.J. van Mook dan Komisi Jenderal),
cara perundingan digunakan karena mereka menganggap bahwa untuk sementara waktu,
perundingan merupakan alternatif terbaik bagi Belanda karena sampai bulan Maret 1947
mereka masih kekurangan tenaga manusia untuk melakukan suatu serangan militer secara
besar-besaran yang dapat menaklukkan seluruh wilayah Republik. Di sisi lain, mereka juga
sangat menyangsikan aksi militer semacam itu, mengingat hadirnya reaksi nasional maupun
internasional besar-besaran yang akan timbul.
Sementara itu apabila dilihat dari perspektif Indonesia, mengenai perundingan yang
melibatkan dunia internasional, terbagi dalam 2 pendapat. Akan tetapi, bagi Perdana Menteri
Sutan Syahrir, yang juga didukung oleh pendapat Sukarno, proses ke arah kemerdekaan
nasional tidak bisa terlepas dari pengakuan internasional akan eksistensi dan keabsahan
negara yang baru diproklamasikan. Perundingan internasional merupakan strategi yang pada
hakikatnya ingin dilaksanakan baik oleh pihak Belanda maupun pihak Indonesia dengan
tujuan tersendiri bagi masing-masing pihak.
Bahwasannya pihak Belanda setelah menempuh periode dengan tujuan tunggal pemulihan
kekuasaan penjajahan, kemudian beralih memilih jalan dekolonisasi bertahap menuju ke
kemerdekaan penuh, sungguh merupakan suatu terobosan hebat. Dan khusus bagi Republik
Indonesia, pengakuan de facto merupakan hal yang mutlak penting, karena pengakuan itu
merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dihapuskan lagi. Pengakuan itu merupakan
sarana ampuh untuk berhadapan dengan Belanda dalam hubungan internasional. Dan pada
kenyataannya, pengakuan tersebut memang dijadikan dasar bagi pengakuan internasional
yang lebih luas (meletakkan dasar bagi internasionalisasi soal Indonesia).

16. Jika dilihat dari sejarah ketatanegaraan sejak Persetujuan Linggarjati hingga Persetujuan
Renville (17 Januari 1948), istilah yang digunakan adalah UUD. Istilah ini tercantum dalam
Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, serta butir 2 dalam Enam Dalil dari Komisi
Tiga Negara.

a. Pasal 5 ayat (1) Perjanjian Linggarjati:


Undang-undang Dasar daripada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh
sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil
Republik Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam
Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan
demokratis, serta dengan mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini
b. Butir 7 Perjanjian Renville:
“Bahwa suatu dewan yang akan menetapkan undang-undang dasar (constitutie) akan
dipilih secara demokratis untuk menetapkan suatu undang-undang dasar buat Negara
Indonesia Serikat.”
c. Butir 2 dalam Enam Dalil dari Komisi Tiga Negara (bagian ini termasuk dalam
Persetujuan Renville):
”Dalam pemerintah federal sementara, sebelum diadakan perobahan dalam undang-
undang dasar Negara Indonesia Serikat, kepada negara-negara bagian akan diberikan
perwakilan yang adil.”

17. Pergeseran penggunaan istilah UUD menjadi Konstitusi terjadi menjelang Keterangan Van
Royen-Rum 7 Mei 1949. Walaupun demikian, dokumen rancangan UUD oleh BFO atau
Pertemuan Musyawarah Federal (PMF) yang disusun pada Muktamar Federal Bandung (12-
15 Juli 1948) masih menggunakan istilah UUD. Dalam berbagai dokumen resmi, terlihat
bahwa istilah Konstitusi mulai muncul pada pembahasan rancangan UUD yang dibuat oleh
KII (Konferensi Inter Indonesia) dan dokumen persetujuan KMB terkait panitia
ketatanegaraan (dokumen KMB ditulis dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Indonesia).
Dalam dokumen persetujuan KMB berbahasa Belanda, penulisan kata konstitusi
diterjemahkan ke dalam kata constitutie, dan bukan grondwet.

18. Pergeseran penggunaan istilah UUD menjadi Konstitusi juga terlihat pada tulisan-tulisan
Soepomo (ketua Panitia Ketatanegaraan dari pihak Republik dalam KII dan Perundingan
KMB) dalam Majalah Mimbar Indonesia. Jauh sebelum itu pada rapat besar BPUPK
tertanggal 15 Juli 1945, Soepomo sebagai ketua Panitia Perancang UUD dalam BPUPK
telah mengemukakan pendapatnya mengenai penggunaan istilah ‘UUD’, yaitu:
“Tuan-tuan yang terhormat telah menerima rancangan undang-undang dasar; disini perlu
saya terangkan, bahwa dalam agenda disebutkan ”hukum dasar”, akan tetapi saya dengan
sengaja memakai perkataan ”undang-undang dasar”. Apa sebabnya? Kita dalam
membicarakan atau merancang peraturan yang resmi, yang mempunyai kekuatan undang-
undang, harus berdisiplin dalam memakainya kata undang-undang. Kita harus berdisiplin
dalam memakainya istilah-istilah hukum, juga untuk mengembangkan bahasa Indonesia.
Di Jakarta ada satu panitia yang bernama “Hooten Sinbi Iinkai” untuk menetapkan istilah-
istilah hukum. Anggota-anggota Panitia itu diangkat oleh P.J.M. Gunseikan dan saya sendiri
menjadi ketua dari panitia itu.
Maka atas anjuran panitia itu, istilah “hukum” kemudian dipakai sebagai salinan dari istilah
“recht” dalam bahasa Belanda. Artinya, hukum itu bisa tertulis atau tidak tertulis. Jadi segala
“recht” yang tertulis dan yang tidak tertulis dapat disalin dengan perkataan ”hukum”, akan
tetapi ”undang-undang” itu justru hukum yang tertulis. Oleh karena kami merancang hukum
dasar yang tertulis, maka saya memakai perkataan “undang-undang dasar” jadi bukan
“hukum dasar”.
Dalam tulisan Soepomo pada Majalah Mimbar Indonesia edisi 2 April 1949, Soepomo
hanya menggunakan istilah UUD bagi UUD Negara Indonesia Serikat yang akan dibentuk.
Namun dalam tulisannya pada Majalah Mimbar Indonesia tertanggal 28 Mei 1949, Soepomo
sudah menggunakan istilah UUD dan Konstitusi bagi UUD Negara Indonesia Serikat yang
akan dibentuk, yaitu:
“Pemerintah Federal Nasional sementara ini haroes dibentoek menoeroet suatu tata negara
sementara jang mengatur susunan dan djalannya pemerintahan nasional Indonesia sampai
dapat diselenggarakannja Rapat Konstituante jang akan menentukan setjara definitif
Konstitusi (Undang-Undang Dasar) NIS / Negara Indonesia Serikat.”
Adapun penggunaan istilah ‘konstitusi’ saja (tanpa didampingi / diikuti oleh istilah ‘UUD’)
terdapat dalam tulisan Soepomo pada Majalah Mimbar Indonesia tertanggal 18 Juni 1949
yang berjudul “Konstitusi Baru Buat N.I.S.”.

19. Dalam berbagai literatur, dibedakan antara constitutie dan grondwet dalam bahasa Belanda,
atau konstitusi dan UUD dalam bahasa Indonesia. Konstitusi diartikan lebih luas dari pada
UUD, dimana konstitusi itu terdiri dari konstitusi tertulis dan tidak tertulis, dan UUD
merupakan konstitusi tertulis. Beberapa pakar yang berpendapat bahwa konstitusi terdiri dari
bentuk tertulis dan tidak tertulis dimana UUD merupakan konstitusi tertulis, adalah
Muhammad Yamin (pendapat Yamin dikemukakan kemudian), Wirjono Prodjodikoro, Sri
Soemantri M., Jimly Asshiddiqie, dan Mr. L.J. van Appeldoorn. Sedangkan pakar yang
menyatakan Konstitusi sama dengan UUD adalah Mr. J.H.P Bellefroid dan J. C.T.
Simorangkir.
Muhammad Yamin (dalam perundingan KMB ditugaskan membuat rancangan Mukadimah
dan Kerangka Konstitusi bersama dengan wakil dari BFO, R.M. van Rhee) dalam kuliah
perdana mata kuliah Hukum Konstitusional di Universitas Negeri Pajajaran Bandung,
mengemukakan sebagai berikut:
“Kita memakai kata Konstitusi dalam istilah Hukum Konstitusi, dan tidak menjalin kata
Konstitusi itu dengan Undang – undang Dasar, karena Undang-Undang Dasar ialah suatu
naskah tertulis, sedangkan konstitusi djuga meliputi susunan ketatanegaraan hukum
kebiasaan (lazimnya belum dituliskan dalam buku kodifikasi). Konstitusi Republik
Indonesia tertulis dalam naskah, sementara Konstitusi Negara Seriwidjaja, Madjapahit dan
Inggeris hanja menurut hukum adat jang berlaku pada masing-masing waktu.”
Pendapat Yamin tersebut juga diterangkan dalam bagian lain tulisannya, yang menyatakan
bahwa, “Republik Indonesia telah mengenal tiga Konstitusi, jaitu : Konstitusi 1945,
Konstitusi 1949 dan Konstitusi 1950 jang berlaku sekarang.” Hal tersebut menunjukkan
bahwa Yamin menuliskan secara singkat konstitusi tertulis (UUD) dengan konstitusi saja.
Dalam pidatonya sebagai Ketua Panitia Persiapan Nasional (PPN), Moh. Roem juga
menggunakan istilah UUD layaknya Muh. Yamin.
(Penulis tidak menemukan literatur yang menjelaskan mengapa Soepomo akhirnya
menggunakan istilah Konstitusi untuk UUD RIS.)

20. Di UUDS 1950, bentuk negara Indonesia masih federal dengan nama RIS (Republik
Indonesia Serikat). Ketidakpuasan pihak-pihak terhadap Konstitusi RIS lebih disebabkan
oleh pandangan bahwa konstitusi tertulis tersebut lebih dipandang sebagai produk hukum
Belanda, sehingga kemudian dibentuklah UUDS 1950 sebagai pembuktian Indonesia dalam
menyusun undang-undang dasarnya secara mandiri.

21. Konstitusi RIS memiliki isi yang lebih banyak dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum
amandemen. Dalam hal ini, Konstitusi RIS memuat banyak hal terkait HAM, dimana ia
mengadopsi ICCPR.

Anda mungkin juga menyukai