Anda di halaman 1dari 9

Konferensi Meja Bundar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suasana sidang Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan
Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.[1]

[sunting] Latar belakang

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan
kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia
kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi
Meja Bundar.

Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:

United Nations Security Council Resolution 63


Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:

Indonesia diterima menjadi anggota PBB

[sunting] Hasil konferensi

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

 Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia


Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia
Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian
barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan
mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan
bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu
tahun.[2][3][4][5]
 Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai
kepala negara
 Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat

1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja


kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat
ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara
yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-
ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada
Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949

Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan.[6]

[sunting] Pembentukan RIS

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi


Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia
Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16
negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

[sunting] Rujukan

1. ^ Critchley to Department of External Affairs Australian Department of Foreign Affairs


and Trade
2. ^ The Indonesian Question in the United Nations Embassy of Indonesia, Oslo
3. ^ Papuan self-determination - Historical roots V WebDiary.com.au
4. ^ Chronology of Papua papuaweb.org
5. ^ Ricklefs, M.C. (17 Januari 1993). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd
Edition. London: MacMillan. hlm. pp.224-225. ISBN 0-333-57689-6.
6. ^ Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar (1949?) hal. 15.
PERJANJIAN ROEM-ROYEN
a. Latar belakang

Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau
mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang bertujuan
mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut dipimpin oleh
Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan Permusyawaratan
Federal(BFO) 27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan
menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya.
Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang
mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI).
Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari segala
agresi Belanda. Akhirnya konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan diplomasi. Dan
atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka pada tanggal 14 April 1949 diadakan
perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota Komisi Amerika.

b. Hasil

Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua belah pihak
untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari 1949 dan
persetujuannya tanggal 23 Maret 1949. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi,
Mohammad Roem dan J. H. van Roijen.
Pernyataan Republik Indonesia yang dibacakan oleh Mr. Roem :
Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan
semua tawanan perang
Pernyataan delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. H.J. Van Royen :
Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa
melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
Pemerintah Belanda membebaskan secara tak bersyarat pemimpin-pemimpin republic Indonesia
dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
Pemerintah Belanda setuju bahwa Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik
Indonesia Serikat.
Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah
Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Juni 1949 diselenggarakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia,
BFO dan Belanda. Perundingan itu diawasi PBB yang dipimpin oleh Chritchley, diadakan dan
menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

c.Dampak

Dengan tercapainya kesepakatan dalam perundingan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia


memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan
Yogyakarta oleh pihak Belanda.
Pada tanggal 1 juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta
disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya.
Pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet Republik Indonesia yang pertama, dan
Mr. Syafrudin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden Moh. Hatta dan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi Menteri Pertahanan Merangkap Ketua
Koordinator Keamanan.
Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag.

d.Kesimpulan

1) Perjanjian Roem-Royen mewujudkan keinginan Indonesia meraih Kedaulatan


2) Jalan Diplomasi terbukti lebih baik daripada jalan kekerasan atau perang yang dapat
menyebabkan banyak kerugian dan sulit tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak.

Diposkan oleh Mochamad Amry Assiva di 05:55


PEMBERONTAKAN PKI 1948 MADIUN

Pendahuluan

Peristiwa Madiun (atau Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang tejadi di Jawa
Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya
negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso,
seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu,
Amir Sjarifuddin.Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.

Bersamaan dengan itu ter jadi penculikan tokoh-tokoh mayarakat yang ada di Madiun yang tidak
baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan
agama.Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa
PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan
sebagian pelaku Orde Lama) Tawaran bantuan dari Belanda

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk
menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera
memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata
Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah
membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.

Latar belakang lahirnya PKI madiun

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi
yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain
tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga
terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai
oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak
hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian
juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko
Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan
Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden
RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.

Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow,
Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di
pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung
dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk,
dll.

Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan,
bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama,
pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh Tujuan pemberontakan itu
adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis.

Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan
mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan
mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan
dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara
yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan
Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.

Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk
menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden
AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu
negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh
ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat
gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.

Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje"
Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri,
Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika
hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham
yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang
belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik
Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan
bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk
kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal
Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA

Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun
telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun
Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan
terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa
FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau
Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun
Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah
kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun

Persiapan RI untuk melawan PKI

Pada 18 September 1948 pagi, Soemarsono selaku Gubernur Militer (PKI) dan atas nama
pemerintah Front Nasional setempat, memproklamasikan tidak terikat lagi kepada RI pimpinan
Soekarno-Hatta, dan memaklumkan pemerintah Front Nasional. Kekuatan militer PKI untuk
melakukan makar adalah kesatuan-kesatuan Brigade XXIX eks Pesindo, pimpinan Kolonel
Dachlan. Mereka bersenjata lengkap dan berpengalaman tempur.
Dari Madiun PKI menabuh genderang perang menantang RI. Dari Yogyakarta, pada 19
September jam 22:00, Presiden Soekarno berpidato keras antara lain: “….. Kemarin pagi Muso
mengadakan kup dan mendirikan suatu pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Muso.
Perampasan kekuasaan ini dipandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintahan
RI. Ternyata peristiwa Solo dan Madiun tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan satu rantai-
tindakan untuk merobohkan pemerintah RI”
“…… Bantulah pemerintah, bantulah alat-alat pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk
memberantas semua bentuk pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di
daerah yang bersangkutan. Rebut kembali Madiun, Madiun harus segera di tangan kita
kembali….”
Pada 20 September 1948 diadakan sidang Dewan Siasat Militer dipimpin PM/Menteri
Pertahanan Hatta. Apabila tidak diadakan tindakan cepat menumpas PKI, Belanda akan
melakukan intervensi. Angkatan Perang harus secepatnya merebut Madiun kembali. Kolonel
A.H. Nasution sebagai kepala staf Operasi MBAP menyanggupi merebut kembali Madiun dalam
waktu dua minggu.

Perlawanan RI terhadap PKI

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II
di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II
(Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi,
sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono,
yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan
Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas
pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti
pasukan

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang
datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di
Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan
melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Ancaman Belanda
Tantangan lain yang masih harus dihadapi RI pada September 1948 adalah ancaman agresi
Militer Belanda. Perundingan diplomatik seusai Renville tidak berjalan lancar. Letjen Spoor,
Panglima tentara Belanda yang meragukan penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui
perundingan, sejak Februari telah merencanakan operasi militernya yang sewaktu-waktu dapat
digerakkan untuk menuntaskan masalah secara militer once for all.
Rencana strategi yang dinilainya berhasil memenangkan agresi militer pertama (1947) disiapkan
lagi, kali ini diberi sandi : “Operatie Kraai”.
Kekacauan di wilayah RI dan adanya pemberontakan PKI di Madiun dinilainya peluang strategis
untuk melancarkan operasi militer besar: memadamkan pemberontakan komunis sekalian
menamatkan riwayat RI.
Bila di Yogyakarta diadakan sidang Dewan Siasat Militer dipimpin PM Hatta untuk menumpas
pemberontakan PKI-Muso, maka pada tanggal yang sama di Jakarta diadakan perundingan para
pemimpin politik dan militer Belanda, dipimpin wakil wali negara, Abdulkadir Widjojoatmodjo.
Usul Jenderal Spoor untuk mempercepat agresi militer, disetujui. Diputuskan oleh sidang agar
Abdulkadir minta izin kepada Pemerintah Pusat Belanda, agar diberi kuasa untuk segera
bertindak, melancarkan operasi “Kraai”.
Ternyata Belanda urung melancarkan operasi militernya. Ini bukan karena Kabinet Belanda tidak
merestui, tapi karena kalah cepat dengan operasi TNI. RRI Yogyakarta menyiarkan Brigade II
Siliwangi dipimpin Letnan Kolonel Sadikin tanggal 30 September 1948 jam 04:00 petang
membebaskan Madiun.
Ini berarti kurang dari dua minggu dari rencana operasi yang bergerak 21 September 1948 itu.
Tidak selang lama di Madiun bergabung pula Brigade S pimpinan Letkol Surahmat dari
Komando Tempur Djawa Timur. Operasi militer selanjutnya membebaskan kabupaten-
kabupaten yang dikuasai PKI, yaitu Ponorogo, Magetan, Pacitan. Baru pada akhir bulan
November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap.
Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana
Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA

Pada tanggal 19 Desember 1948Yogyakarta dan Bukittinggi diserang oleh Belanda,


secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan
Pemerintah Darurat untuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi dan Mr. A.A.
Maramis di New Delhi. Yang isi meminta syafruddin prawiranegara untuk membentuk
pemerintahan darurat republik indonesia di sumatera dan mandat Kedua jika ikhtiar
Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan
pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India.Tidak lama setelah ibukota RI di
Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali
menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno
dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.

Namun di Sumatera sendiri Syafruddin tengah mempersiapkan Pemerintahan Darurat


Republik Indonesia. pada tanggal 20 Desember 1948 Rapat-rapat dilakukan di Bukittinggi,
sementara arus pengungsi keluar kota mulai terjadi. Kepala Staf AURI Komodor H. Soejono
memerintahkan penyelamatan dua Stasiun Radio PHB AURI dengan membawanya ke
Halaban (Payakumbuh Selatan) dan Piobang, Stasiun Radio tersebut adalah :

1. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III Luhukay.


2. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III M.S. Tamimi.

21 Desember 1948 Rombongan pemerintah sipil, termasuk Mr. Sjafruddin


Prawiranegara dan Mr. Teuku Hasan meninggalkan Bukittinggi untuk seterusnya mengungsi
ke Halaban. Kepala Kepolisian Sumatera Barat , Komisaris Sulaiman Efendi dan sejumlah
pemimpin menyingkir ke Lubuk Sikaping, Pasaman. Stasiun Radio AURI pimpinan Lahukay
tiba Halaban, tetapi tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan di Halaban. Stasiun
Radio Pemancar pimpinan M. Jacob Loebis sampai di Piobang, Payakumbuh untuk
seterusnya dibawa ke Koto Tinggi, tengah malam Kota Bukittinggi dibumihanguskan.

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di
Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain

Anda mungkin juga menyukai