Informasi mengenai Agresi Militer Belanda II sudah diterima oleh DK-PBB pada hari ketika agresi itu dilancarkan. DK-PBB membatalkan cuti natal dan langsung melaksanakan serangkaian sidang. Pada 24 Januari 1949, DK-PBB mengeluarkan resolusi yang berisi: a) Hentikan permusuhan; b) Bebaskan Presiden serta pemimpin-pemimpin RI yang ditangkap tanggal 19 Desember 1948; c) Memerintahkan KTN agar memberikan laporan lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak 19 Desember 1948. Pada Januari 1949, karena desakan resolusi DK-PBB tersebut, Belanda akhirnya melakukan pendekatan serta penjajakan politik dengan Indonesia. Berdasarkan kenyataan dan penjajakan politis oleh pihak Belanda, diketahui bahwa pada dasarnya pemimpin-pemimpin RI bersedia untuk berunding. Maka pada tanggal 26 Februari 1949 Belanda mengumumkan niatnya untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 12 Maret 1949 guna membicarakan masalah Indonesia dan merundingkan syarat-syarat ‘penyerahan’ kedaulatan serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Pemerintah Belanda mengutus langsung Dr. Koets untuk menemui Ir. Soekarno yang pada saat itu masih ditawan di Bangka. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mengundang langsung Ir. Soekarno agar bersedia menghadiri Konferensi itu di Den Haag. Pada tanggal 4 Maret 1949, Presiden Soekarno membalas undangan tersebut dengan penolakan menghadiri KMB kecuali dengan syarat: a) Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan; b) Kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu melaksanakan resolusi PBB tidak akan terganggu; DK-PBB pada tanggal 28 Januari 1949 bersedia memberikan bantuan terhadap penetapan tanggal dan waktu serta syarat untuk mengadakan KMB agar dapat diselenggarakan selekasnya. Dengan adanya petunjuk dari DK PBB serta pendekatan politis antara Indonesia dan Belanda, pada tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan pihak RI dan Belanda di Hotel Des Indes, Jakarta yang dipimpin oleh Merle Cochran. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem sedangkan delegasi Belanda oleh Dr. J.H. van Roijen. Sesudah perundingan pertama ini, jalan perundingan sangat lamban karena masing-masing pihak berpegang pada pendiriannya. Karena hampir menemui jalan buntu, maka pada tanggal 24 April 1949 Mohammad Hatta menempuh cara lain yakni mengadakan perundingan informal dan langsung dengan delegasi Belanda van Roijen disaksikan oleh Merle Cochran. Keesokan harinya pertemuan pertama diadakan. Meski hasilnya tidak diumumkan, Mohammad Hatta menerangkan bahwa pertemuan ini diadakan untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda. Perundingan mulai membuka harapan untuk tercapainya persetujuan. Pada dasarnya, pemerintah Belanda telah setuju tentang pengembalian RI ke Yogyakarta dengan syarat harus dibarengi dengan perintah penghentian perang gerilya. Setelah masalah ini teratasi, timbul masalah mengenai luasnya daerah kekuasaan RI. Delegasi RI menuntut daerah seluas Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk lapangan terbang Maguwo. Namun berkat usaha keras dari Merle Cochran, pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan. Ketua delegasi RI, Mohammad Roem menyampaikan kesanggupan untuk turut serta dalam KMB di Den Haag. Setelah kembalinya para pemimpin RI ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 yang menandai berakhirnya pemerintahan PDRI, diadakan Konferensi Antar-Indonesia guna membahas bentuk negara yang berkaitan dengan Negara Indonesia Serikat. Sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri dalam Konferensi Antar- Indonesia, kini bangsa Indonesia telah siap menghadapi KMB. 4 Agustus 1949, diangkat delegasi RI yang diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta dengan anggota Mohammad Roem, Prof. Dr. Supomo, dr. J. Leimena, Ali Sastroamidjodjo, Ir. Djuanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Sumardi. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. KMB dimulai pada 23 Agustus dan berakhir tanggal 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. 2. Pembentukan RIS dan Pengakuan Kedaulatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dieselenggarakan di Den Haag berjalan alot. Perundingan ini terhitung lama dimulai sejak 23 Agustus dan baru berakhir pada 2 November 1949. Konflik yang menjadi topik perdebatan adalah masalah hutang piutang Belanda yang ingin dibebankan kepada pemerintahan Indonesia. Masalah lainnya adalah perdebatan mengenai status Irian Barat. Belanda bersikeras agar wilayah Irian Barat terpisah dari Indonesia. Pada akhirnya, berkat hadirnya UNCI (United Nations Comission for Indonesia) maka diputuskan bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Selain itu, mengenai hutang piutang, Indonesia akhirnya setuju membayar hutang sebesar 4,3 miliar gulden milik Belanda demi memperoleh kedaulatan. Adapun hasil KMB secara resmi antara lain sebagai berikut: a) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara jang merdeka dan berdaulat. b) Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan- ketentuan pada Konstitusinja;rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland. c) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949. Hasil KMB kemudian diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang tanggal 6 Desember 1949 berhasil menerima KMB dengan 226 pro lawan 62 kontra dan 31 meninggalkan sidang. Setelah penandatanganan KMB pada 27 Desember 1949, pemerintahan sementara dibentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden didampingi Mohammad Hatta sebagai Wakil sekaligus Perdana Menteri. Hal yang menarik adalah walaupun Indonesia menerima kesepakatan KMB, namun Presiden Soekarno menyatakan bahwa terbentuknya Republik Indonesia Serikat bukanlah sebuah akhir perjuangan. Hal ini karena tujuan sebenarnya adalah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.