Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Perjanjian Roem Royen

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen)


adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada
tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di
Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi,
Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk
menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum
Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini
sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di
Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk
mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia
di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan Jogjakarta is
de Republiek Indonesie (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Keberhasilan membawa permasalahan antara pihak Indonesia dan pihak


Belanda ke meja perundingan merupakan inisiatif komisi PBB untuk Indonesia.
Perundingan Roem Royen, pihak Republik Indonesia memiliki pendirian
mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta merupakan
kunci sebuah perundingan selanjutnya.

Latar Belakang Perjanjian Roem Royen

Diadakannya Perjanjian Roem Royen karena adanya serangan tentara


Belanda ke Yogyakarta dan adanya penahanan pemimpin RI, serta mendapatkan
kecamanan dari dunia Internasional.

Dalam Agresi Militer II, Belanda mempropaganda TNI telah hancur, disini
Belanda mendapat kecaman di dunia Internasional terutama Amerika Serikat.
Perjanjian Roem Royen diselenggarakan mulai dari 14 April sampai 7 mei 1948,
pihak Indonesia di wakili oleh Moh. Roem beberpa anggota seperti Ali Sastro
Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Untuk pihak
Belanda di wakili oleh Dr.J.H. Van Royen dengan anggotanya seperti Blom, Jacob,
dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.

Dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan Belanda


mendapat kecaman dan reaksi dari Amerika Serikat dan Inggris, serta Dewan
PBB. Melihat reaksi mliter Belanda sehingga PBB membuat kewenangan KTN.

Sejak itu KTN berubah menjadi UNCI (United Nations Commission for
Indonesia). UNCI sendiri dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dan
juga dibantu Critchley Australia dan juga Harremans dari Belgia. Pada tanggal 23
Maret 1949 pihak DK-PBB perintahkan UNCI agar membantu perundingan
antara pihak Republik Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 17 April 1949
perundingan Roem Royen dimulai dan bertempat di Jakarta. UNCI sebagai
penengah dan diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat wakil UNCI.
Perundingan berikutnya Indonesia diperkuat dengan hadirnya Drs Moh
Hatta dan juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel
Des Indes, Jakarta. Perjanjian Roem Royen mulai ditandatangani dan nama
perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan
Herman van Royen. Perjanjian yang sangat alot sehingga perlunya diperkuat
oleh Drs Moh Hatta yang datang dari pengasingan di Bangka, serta Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Kedatangan Sri Sultan HB IX untuk
mempertegas pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.

Harapan yang diinginkan oleh bangsa Indonesia setelah


penandatanganan Perjanjian Renville akan terjadi suasana baru bagi pihak yang
bertikai, supaya pembicaraan-pembicaraan atas perbedaan-perbedaan politik
antara kedua belah pihak dapat dilanjutkan kembali. Ternyata yang terjadi justru
sebaliknya, karena Belanda segera melanggar perjanjian yang telah
ditandatanganinya, yaitu dengan mendirikan negara-negara bagian didalam
wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Seperti dikatakan oleh Ide Anak Agung
Gede Agung bahwa:

Konferensi Jawa Barat yang menghasilkan keputusan bagi pembentukan Negara


Pasundan pada tanggal 27 Februari 1948 dan pemilihan R.A.A.Wiranatakusuma
sebagai wali negara (kepala negara bagian) pada tanggal 6 Maret 1948 serta
pembentukan Negara Madura tanggal 15 Maret 1948(1983:81)

Tindakan Belanda tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap


Perjanjian Renville, sehingga RI mengajukan protes kepada Dewan Keamanan
PBB, sehingga pada tanggal 28 Februari 1948 DK PBB memohon kepada Komisi
Jasa-Jasa Baik untuk memperhatikan perkembangan-perkembangan politik di
Jawa Barat dan Madura dan secara teratur memberikan laporan kepada Dewan
Keamanan mengenai hal tersesbut.

Sementara itu Belanda menuduh Republik Indonesia melanggar asas-asas


Renville, karena menurut Belanda RI terus memperluas hubungannya dengan
luar negeri. Kedua belah pihak saling melempar tanggung jawab atas sering
terjadinya pertempuran-pertempuran di sepanjang garis demarkasi Van Mook.

Untuk mengatasi jalan buntu tersebut, maka wakil-wakil Amerika Serikat


dan Australia berusaha mencarikan kompromi yang realistis, yang kemudian
disebut Du Bois Critchy Plan yang kemudian menyerahkan kepada pihak RI
dan Belanda secara rahasia pada tanggal 10 Januari 1948, yang isi pokoknya
sebagai berikut:

1. Rakyat Indonesia dan segala administrasi pemerintahan akan


memilih satu atau lebih pemilih sesuai dengan pebandingan jumlah
penduduk. Pemilih yang terpilih akan memilih utusan ke Majelis
pembentukan UUD yang sekaligus akan menjadi DPR Sementara juga.
2. Atas dasar geografi, ethnologi, sejarah, tradisi dan perasaan
kebangsaan akan mencerminkan negara-negara bagian daripada NIS.
3. Akan memilih presiden yang akan mengangkat perdana menteri
yang selanjutnya akan membentuk Kabinet yang bertanggung jawab
kepada DPR Sementara.
4. Mempunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan sendiri termasuk
pengawasan akan militer.

Komisaris Tinggi Belanda akan memiliki hak veto yang mempunyai


wewenang untuk menyatakan keadaan bahaya (perang) melampaui kekuasaan
pemerintah sementara, dan dalam keadaan demikian ia mempunyai kekuatan
atas militer.

Dewan pembentuk UUD sebagai DPR Sementara bersama wakil kerajaan


Belanda akan menyusun kerangka dasar pembentukan (status) UNI Indonesia-
Belanda yang akan menyelenggarakan bersama urusan ekonomi, kebudayaan
dan kepentingan militer masing-masing dan segala kerjasama untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama. Dewan pembentuk UUD buat NIS. Bila
rencana UUD dan statut UNI telah disahkan, Belanda akan menyerahkan
kedaulatan pada NIS (Moedjanto,1988:26)

Pada prinsipnya RI menerima rencana Du Bois Critchly Plan, tetapi


Belanda menolaknya serta menuduh pihak Australia dan Amerika Serikat
bertindak melampaui wewenangnya. Penolakan Belanda atas rencana Du Bois
Critchly Plan membawanya keposisi yang menyulitkannya sendiri.

Dengan penolakan Belanda tersebut, maka perundingan mengalami


kemacetan lagi. Selanjutnya KTN dalam bulan September mengusahakan agar
perundingan antara RI dengan Belanda dapat dilanjutkan kembali. Selanjutnya
wakil Amerika Serikat yang baru dalam KTN Marle Cochran mengajukan rencana
Cochran yang didasarkan atas rencana Du Bois yang diubah dengan memberikan
sejumlah konsesi kepada Belanda. Akan tetapi kedua belah pihak tidak setuju
dengan rencana Cochran, dengan demikian rencana Cochran mengalami
kegagalan.

Berhubungan dengan adanya jalan buntu dihadapi oleh kedua belah


pihak dalam perundingan-perundingan untuk mencari penyelesaian sengketa,
maka Belanda memutuskan untuk melancarkan Agresi Militer yang kedua pada
tanggal 19 Desember 1948, sebagaimana telah disinggung pada pembahasan
sebelumnya. Agresi militer Belanda kedua berhasil menduduki Ibu kota RI
Yogyakarta dan menangkap Presiden Soekarno, wakil Presiden Moh.Hatta dan
sejumlah pejabat tinggi negara. Namun demikian sebelumnya kabinet sempat
mengadakan sidang, dalam sidang kabinet tersebut berhasil diputuskan untuk
memberikan mandat ke pada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di
Sumatra agar berusaha membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.
Reaksi dunia atas agresi Belanda tersebut luar biasa, dunia umumnya
mengutuk serangan Belanda karena Belanda berani melanggar suatu
persetujuan gencatan senjata yang disponsori oleh PBB melalui KTN. Kemudian
pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi
yang antara lain berisi:

1. Mendesak Belanda untuk segera dan sunguh-sungguh


menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI
untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya menghentikan
aksi gerilya mereka.
2. Mendesak Belanda untuk membebaskan tanpa syarat presiden dan
wakil presiden serta tawanan politik lainnya yang ditahan sejak tanggal
17 Desember 1948 di wilayah RI dan mengembalikan pemerintahan RI ke
Yogyakarta.
3. Menganjurkan agar RI dengan Belanda membuka kembali
perundingan atas dasar Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan
usul-usul Cochran, dalam perundingan tersebut supaya disusun rencana
pembentukan pemerintahan Federal Sementara pada tanggal 15 Maret
1949, yang diberi hak menyelenggarakan urusan intern, pemilihan
Majelis Konsituante paling lambat 1 Oktober 1949, dan penyerahan
kedaulatan atas Indonesia kepada NIS paling lambat 1 Juni 1949.
4. KTN diubah menjadi UNCI (United Nation Commission for
Indonesia) dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak
mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas. UNCI
diberi kuasa untuk memberi rekomendasi kepada Dewan Keamanan dan
pihak-pihak yang bersengketa, membantu mereka mengambil keputusan
dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan.

Belanda tidak mau menerima resolusi DK tersebut karena Belanda masih


tetap yakin bahwa RI hanya tinggal namanya saja. Sementara itu Sri Sultan
Hamengkubuwono IX lewat radio dapat menangkap berita, bahwa DK PBB akan
mengadakan sidang lagi dalam bulan Maret untuk membahas masalah Indonesia.
Oleh karena itu Sri Sultan Hamengkubuwono bersama pimpinan militer RI
berusaha berbuat sesuatu untuk mempengaruhi jalannya sidang DK PBB dan
meyakinkan dunia Internasional bahwa RI pada tanggal 1 Maret 1949. TNI
melancarkan serangan umum dan berhasil menduduki Ibu kota Yogyakarta
selama 6 jam. Berita serangan umum itu kemudian disiarkan oleh RRI ke Rangon
dan India, dengan demikian propoganda Belanda yang mengatakan bahwa RI
tinggal nama tidak dapat dipercaya lagi. Dan serangan umum tersebut dapat
mempengaruhi pandangan dunia umumnya dan sidang DK pada khususnya.

Proses Pelaksanaan Perjanjian Roem-Royen

Atas desakan amerika serikat, akhirnya pada tanggal 14 april 1949.


Perundingan dapat dibuka kembali, delegasi indonesia dipimpin oleh
muhammad Roem, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh van roijen, yang
merupakan Perundingan pendahuluan sebelum diadakan perundingan puncak,
perundingan Tersebut diketuai oleh cochran. Yang kemudian menyampaikan
pidato tentang Tujuan perundingan dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan
dalam perundingan ini.

Selanjutnya ketua delegasi belanda van roijen menyampaikan pidato, dalam


pidatonya antara lain dikatakan bahwa:

1. Pemerintah Belanda telah menerima undangan untuk konferensi


persiapan ini tanpa syarat.
2. Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya
pemerintah RI ke Yogyakarta sebagai pasal yang akan dibicarakan dengan
syarat bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan mengikat
seandainya tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok acara, yakni soal
penghentian permusuhan dan pemulihan ketertiban dan ketentraman,
serta syarat-syarat dan tanggal untuk mengadakan Konferensi Meja
Bundar di Den Haag.
3. Usul Belanda mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat,
Van Roijen mengatakan bahwa ini akan bersifat tanpa syarat, nyata dan
lengkap, sedang Uni Indonesia-Belanda tak akan menjadi super state
melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerjasama antara negara-
negara yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar persamaan dan
kesukarelaan sepenuhnya (Agung, 1983).

Selanjutnya ketua delegasi Indonesia Mohammad Roem menyampaikan pidato


tentang pandangannya sebagai berikut:

1. Pemerintah RI dengan menyesal harus menyatakan bahwa aksi


militer Belanda yang kedua telah menggoyahkan kepercayaan pada itikad
baik pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat di dalam RI
seperti ternyata telah diletakkan jabatan oleh pemerintah Indonesia
Timur dan pemerintah Pasundan serta dari resolusi badan-badan yang
menyalahkan tindak tanduk militer itu, dan resolusi dari luar negeri,
yakni konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia
Selatan dan Tenggara
2. Pemerintah Republik tidak berpendapat bahwa pokok-pokok yang
disebut instruksi Dewan Keamanan tanggal 23 Maret sebagai pokok-
pokok untuk dibicarakan konferensi ini, merupakan satu kesatuan utuh.
Harus dibicarakan terlebih dahulu tentang kembalinya pemerintahan
Republik ke Yogyakarta setelah tercapai kata sepakat tentang hal ini,
maka mudahlah untuk membicarakan pokok-pokok hal yang lain unruk
suatu pemecahan menyeluruh. Keputusan-keputusan hakiki kemudian
akan diambil oleh pemerintah Republik di Yogya. sepakat tentang
persoalan kembalinya pemerintah Republik. Jalan akan terbuka untuk
mengadakan perundinganperundingan mendasar dan kepercayaan yang
tergoyah akan dipulihkan (Ide Anak Gede Agung, 1983:270)

Pada tanggal 16 April, dimulailah pembicaraan antara kedua delegasi


yang berlangsung hingga 7 Mei 1949. Perundingan tersebut berhasil
mencapai persetujuan yang kemudian dikenal dengan perjanjian Roem-Roijen.
Perjanjian Roem-Roijen bukan merupakan suatu perjanjian yang sifatnya satu,
akan tetapi merupakan suatu perjanjian yang terdiri dari dua keterangan
yang berbeda. Pernyataan ini masing-masing disampaikan oleh kedua
delegasi Indonesia dan Belanda.

Mohammad Roem, sebagai ketua delegasi Indonesia


kemudian mengemukakan peryataan yang berbunyi sebagai berikut: Sebagai
ketua delegasi RI saya diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan wakil Presiden
Moh.Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi sesuai dengan
resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya
tanggal 23 Maret1949 untuk memudahkan tercapainya:

1. Pengeluaran perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata


untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga
ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan
maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan
lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tiada bersyarat (Roem,
1989)

Sementara itu, ketua delegasi Belanda, Van Roijen menyampaikan pendapat


sebagai berikut:

1. Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke


Yogyakarta, dan dibawah pengawasan UNCI akan menghentikan perang
gerilya disamping bersedia menjaga perdamaian dan ketertiban serta
keamanan.
2. Pemerintah RI bebas menjalankan tugasnya dalam residensi
Yogyakarta.
3. Pihak Belanda akan menghentikan segala operasi militer dan
akan melepaskan semua tahanan politik sejak 17 Desember 1948
4. Belanda tidak akan mendirikan daerah dan negara baru di daerah
RI sebelum 19 Desember 1948.
5. Belanda akan menyokong RI masuk Indonesia Serikat dan
mempunyai sepertiga anggota dari segenap anggota Dewan Perwakilan
Federal.
6. Belanda menyetujui, bahwa semua areal diluar residensi Yogya,
dimana pegawai-pegawai Republik masih bertugas tetapi
menjalankan tugasnya (Marwati Djonaedi, 1984:170)

Kedua pernyataan tersebut diatas merupakan pokok-pokok perjanjian Roem-


Roijen, yang sekaligus merupakan dasar menuju KMB, dan peristiwa yang sangat
menentukan bagi RI. Karena dengan dicapainya persetujuan tersebut
maka pemerintah RI akan dikembalikan dan dipulihkan ke
Yogyakarta. Pernyataan Roem-Roijen juga merupakan suatu kemajuan yang
akan membawa kedalam perundingan-perundingan selanjutnya.

Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen


maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra
memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak TNI
dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu. Namun, Panglima
Besar JenderalSudirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya agar
tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.

Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara


dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar
para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk
kepentingan politik atau kepentingan militer. Pada umumnya kalangan TNI tidak
mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan
perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan
segitiga antaraRepublik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO),
dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh
Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai
berikut:

1. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta


akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
2. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah
pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1
Juli 1949.
3. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.

Perjanjian Roem-Roijen yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949,


mulai dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 1949, yang ditandai dengan
kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta. Yaitu bersamaan dengan kembalinya
Presiden Soekarno dan Moh. Hatta pada hari tersebut. Yang kemudian disusul
dengan pengembalian mandat dari Mr. Syafruddin Prawiranegara kepada
Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949, maka dengan demikian akan
semakin dekatmenuju pengakuan kedaulatan.

Isi Perjanjian Roem Royen

Isi Perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di Jakarta, antara lain:

1. Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan


aktivitas gerilya
2. Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB).
3. Kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
4. Tentara bersenjata Belanda harus mengehentikan operasi militer
dan pembebasan semua tahanan politik.
5. Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat.
6. Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari
Negara Indonesia Serikat.
7. Belanda memberikan hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada pihak
Indonesia.

Pasca Perjanjian Roem Royen

Setelah tercapainya perundingan Roem Royen, pada tanggal 1 Juli 1949


pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta.
Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari
medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta
tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke
Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam
siding tersebut Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandate kepada
wakil presiden Moh Hatta. Dalam siding tersebut juga diputuskan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan merangkap
koordinator keamanan.

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta,


ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan
perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat
presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22
Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara
resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di


Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar
mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali
masalah Papua Belanda.

Dampak Perjanjian Roem Royen

Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka


Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta
dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan
menyambut hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman
memperingatkan seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan
masalah-masalah perundingan.

Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan


Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan
lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau
kepentingan militer. Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai
sepenuhnya hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan perjuangan
bangsa Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga
antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan
Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley.

Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut.


1. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta
akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
2. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah
pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1
Juli 1949.
3. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.

Anda mungkin juga menyukai