Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Untuk memperoleh sebuah kemerdekaan, Bangsa ini memperolehnya tidak gratis,


sejarah panjang harus dilalui para pejuang kemerdekaan tanpa kenal lelah dan perjalanan
panjang dilalui dengan pengorbanan nyawa dan darahnya untuk mendapatkan dan
merebut kemerdekaan demi kedaulatan sebagai sebuah bangsa dan negara, yaitu bangsa
indonesia. 350 tahun dijajah belanda sampai pendudukan Jepang, tidaklah mudah untuk
dilupakan dan ditinggalkan oleh para vetran dan pejuang kemerdekaan, bangsa dan
negara ini diperbudak belanda selama 7 turunan dan selama itu pula bangsa ini berjuang
mengusir para komprador dan penjajah dari bumi pertiwi ini.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana Peristiwa Perjanjian Roem Royen ?

C. Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui Peristiwa Perjanjian Roem Royen

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Roem Royen

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah


sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14
April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes,
Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan
Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa
masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den
Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan
kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap
Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono

i
IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik
Indonesia).

Keberhasilan membawa permasalahan antara pihak Indonesia dan pihak


Belanda ke meja perundingan merupakan inisiatif komisi PBB untuk Indonesia.
Perundingan Roem Royen, pihak Republik Indonesia memiliki pendirian
mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta merupakan kunci
sebuah perundingan selanjutnya.

B. Latar Belakang Perjanjian Roem Royen

Diadakannya Perjanjian Roem Royen karena adanya serangan tentara Belanda ke


Yogyakarta dan adanya penahanan pemimpin RI, serta mendapatkan kecamanan dari
dunia Internasional.

Dalam Agresi Militer II, Belanda mempropaganda TNI telah hancur, disini
Belanda mendapat kecaman di dunia Internasional terutama Amerika Serikat.
Perjanjian Roem Royen diselenggarakan mulai dari 14 April sampai 7 mei 1948,
pihak Indonesia di wakili oleh Moh. Roem beberpa anggota seperti Ali Sastro
Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Untuk pihak 3
Belanda di wakili oleh Dr.J.H. Van Royen dengan anggotanya seperti Blom, Jacob,
dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.

Dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan Belanda mendapat


kecaman dan reaksi dari Amerika Serikat dan Inggris, serta Dewan PBB.Melihat
reaksi mliter Belanda sehingga PBB membuat kewenangan KTN.

C. Proses Pelaksanaan Perjanjian Roem-Royen

Atas desakan amerika serikat, akhirnya pada tanggal 14 april 1949.


Perundingan dapat dibuka kembali, delegasi indonesia dipimpin oleh muhammad
Roem, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh van roijen, yang merupakan
Perundingan pendahuluan sebelum diadakan perundingan puncak, perundingan
Tersebut diketuai oleh cochran. Yang kemudian menyampaikan pidato tentang Tujuan
perundingan dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam perundingan ini.

Selanjutnya ketua delegasi belanda van roijen menyampaikan pidato, dalam


pidatonya antara lain dikatakan bahwa:
1. Pemerintah Belanda telah menerima undangan untuk konferensi persiapan
ini tanpa syarat.
2. Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya pemerintah
RI ke Yogyakarta sebagai pasal yang akan dibicarakan dengan syarat
bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan mengikat seandainya
tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok acara, yakni soal penghentian

i
permusuhan dan pemulihan ketertiban dan ketentraman, serta syarat-syarat
dan tanggal untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
3. Usul Belanda mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat, Van
Roijen mengatakan bahwa ini akan bersifat tanpa syarat, nyata dan
lengkap, sedang Uni Indonesia-Belanda tak akan menjadi super state
melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerjasama antara negara-negara
yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar persamaan dan
kesukarelaan sepenuhnya (Agung, 1983).

Selanjutnya ketua delegasi Indonesia Mohammad Roem menyampaikan


pidato tentang pandangannya sebagai berikut:
1. Pemerintah RI dengan menyesal harus menyatakan bahwa aksi militer
Belanda yang kedua telah menggoyahkan kepercayaan pada itikad baik
pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat di dalam RI seperti
ternyata telah diletakkan jabatan oleh pemerintah Indonesia Timur dan
pemerintah Pasundan serta dari resolusi badan-badan yang menyalahkan
tindak tanduk militer itu, dan resolusi dari luar negeri, yakni konferensi
New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia Selatan dan Tenggara
2. Pemerintah Republik tidak berpendapat bahwa pokok-pokok yang disebut
instruksi Dewan Keamanan tanggal 23 Maret sebagai pokok-pokok untuk
dibicarakan konferensi ini, merupakan satu kesatuan utuh. Harus
dibicarakan terlebih dahulu tentang kembalinya pemerintahan Republik ke
Yogyakarta setelah tercapai kata sepakat tentang hal ini, maka mudahlah
untuk membicarakan pokok-pokok hal yang lain unruk suatu pemecahan
menyeluruh. Keputusan-keputusan hakiki kemudian akan diambil oleh
pemerintah Republik di Yogya. sepakat tentang persoalan kembalinya
pemerintah Republik. Jalan akan terbuka untuk mengadakan
perundinganperundingan mendasar dan kepercayaan yang tergoyah akan
dipulihkan (Ide Anak Gede Agung, 1983:270)
Pada tanggal 16 April, dimulailah pembicaraan antara kedua delegasi yang
berlangsung hingga 7 Mei 1949.Perundingan tersebut berhasil mencapai persetujuan
yang kemudian dikenal dengan perjanjian Roem-Roijen. Perjanjian Roem-Roijen
bukan merupakan suatu perjanjian yang sifatnya satu, akan tetapi merupakan suatu
perjanjian yang terdiri dari dua keterangan yang berbeda. Pernyataan ini masing-
masing disampaikan oleh kedua delegasi Indonesia dan Belanda. Mohammad Roem,
sebagai ketua delegasi Indonesia kemudian mengemukakan peryataan yang berbunyi
sebagai berikut: Sebagai ketua delegasi RI saya diberi kuasa oleh Presiden Soekarno
dan wakil Presiden Moh.Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi sesuai
dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya
tanggal 23 Maret1949 untuk memudahkan tercapainya:
1. Pengeluaran perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk
menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan
keamanan.

i
3. Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk
mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada
negara Indonesia Serikat dengan tiada bersyarat (Roem, 1989)
Sementara itu, ketua delegasi Belanda, Van Roijen menyampaikan pendapat sebagai
berikut:
1. Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,
dan dibawah pengawasan UNCI akan menghentikan perang gerilya disamping
bersedia menjaga perdamaian dan ketertiban serta keamanan.
2. Pemerintah RI bebas menjalankan tugasnya dalam residensi Yogyakarta.
3. Pihak Belanda akan menghentikan segala operasi militer dan akan
melepaskan semua tahanan politik sejak 17 Desember 1948
4. Belanda tidak akan mendirikan daerah dan negara baru di daerah RI sebelum
19 Desember 1948.
5. Belanda akan menyokong RI masuk Indonesia Serikat dan mempunyai
sepertiga anggota dari segenap anggota Dewan Perwakilan Federal.
6. Belanda menyetujui, bahwa semua areal diluar residensi Yogya, dimana
pegawai-pegawai Republik masih bertugas tetapi menjalankan tugasnya
(Marwati Djonaedi, 1984:170)
Kedua pernyataan tersebut diatas merupakan pokok-pokok perjanjian Roem-
Roijen, yang sekaligus merupakan dasar menuju KMB, dan peristiwa yang sangat
menentukan bagi RI. Karena dengan dicapainya persetujuan tersebut maka
pemerintah RI akan dikembalikan dan dipulihkan ke Yogyakarta. Pernyataan Roem-
Roijen juga merupakan suatu kemajuan yang akan membawa kedalam perundingan-
perundingan selanjutnya
Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri 6
Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta
dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut
hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar JenderalSudirman memperingatkan
seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalahmasalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan
lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau
kepentingan militer. Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya
hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pada
tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antaraRepublik Indonesia,
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan
Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga
keputusan, yaitu sebagai berikut:
1. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan
dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
2. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan
Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.

i
3. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Perjanjian Roem-Roijen yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949, mulai
dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 1949, yang ditandai dengan kembalinya pemerintah
RI ke Yogyakarta. Yaitu bersamaan dengan kembalinya Presiden Soekarno dan
Moh.Hatta pada hari tersebut. Yang kemudian disusul dengan pengembalian mandat
dari Mr. Syafruddin Prawiranegara kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli
1949, maka dengan demikian akan semakin dekatmenuju pengakuan kedaulatan.
D. Isi Perjanjian Roem Royen
Isi Perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di Jakarta, antara lain:
a. Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya
Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam Konferensi Meja Bundar
(KMB). Kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
b. Tentara bersenjata Belanda harus mengehentikan operasi militer dan
pembebasan semua tahanan politik.
c. Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat.
d. Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari Negara
Indonesia Serikat.
e. Belanda memberikan hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada pihak Indonesia.

E. Pasca Perjanjian Roem Royen


Setelah tercapainya perundingan Roem Royen, pada tanggal 1 Juli 1949
pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya,
disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya.
Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli
1949.Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal
13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam siding tersebut Syafruddin
Prawiranegara mengembalikan mandate kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam
siding tersebut juga diputuskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi
menteri pertahanan merangkap koordinator keamanan
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta,
ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan
perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948
menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri
keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di
Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai
persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua
Belanda.

F. Dampak Perjanjian Roem Royen


Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda.

i
Sementara itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu.
Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando di
bawahnya agar tidak memikirkan masalahmasalah perundingan.

Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium
Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat
membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.
Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil
perundingan, karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 22
Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst
voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang
dipimpin oleh Christchley.

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjanjian Roem-Royen diadakan tanggal 14 April 1949 di Hotel Des Indes,
Jakarta. Sebagai wakil dari PBB adalah Merle Cochran (Amerika Serikat), delegasi
Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda
dipimpin oleh van Royen. Dalam perundingan Roem-Royen, masingmasing pihak
mengajukan pernyataan dimana masing-masing pernyataan ini merupakan isi dari
Perundingan Roem-Royen. Dengan adanya perundingan Roem-Royen ini, Belanda harus
meninggalkan Yogyakarta, TNI memasuki Yogyakarta. Sementara itu Presiden dan Wakil
Presiden kembali ke ibukota Yogyakarta yang mana pada saat terjadinya Agresi Militer
Belanda II kedua pemimpin tersebut ditangkap dan diasingkan.

Anda mungkin juga menyukai