Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

PERJANJIAN INTERNASIONAL

DOSEN PENGAMPU : WISMANINGSIH

NAMA : ALFIAN ADRIANO MAULANA


NIM : E1A022132
KELAS D
A. title/judul :

Konferensi Meja Bundar (KMB) atau yang dalam bahasa Belanda : Nederlands-
Indonesische rondetafelconferentie ialah sebuah konferensi atau pertemuan yang
dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.

B. preamble/mukadimah :

Pertemuan Konferensi Meja Bundar dilakukan antara perwakilan Republik Indonesia,


Belanda, dan juga BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang mewakili dari berbagai
negara yang diciptakan oleh Belanda di kepulauan Indonesia.

Sebelum berlangsungnya konferensi ini, telah berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi
yang dilaksanakan antara Belanda dan Indonesia, yakni Perjanjian Linggarjati (1947),
Perjanjian Renville (1948), dan juga Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir
dengan hasil yakni bahwa Belanda bersedia untuk menyerahkan kedaulatannya kepada
Republik Indonesia Serikat.

C. main text/isi :

Upaya untuk menggagalkan kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan kekerasan


berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat berbagai kecaman keras dari seluruh dunia.
Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan
masalah ini melalui cara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati serta perjanjian Renville.

Pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


menyatakan resolusi yang mengecam serangan militer dari pihak Belanda terhadap tentara
Republik di Indonesia dan menuntut untuk dipulihkannya kembali pemerintah Republik.
Diserukan pula kelanjutan mengenai perundingan untuk menemukan penyelesaian yang
damai antara dua belah pihak.

Sebagai lanjutan dari Perjanjian Roem-Royen yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Mei
1949, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem
mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang pada kala itu para pemimpinnya masih
diasingkan di Bangka, bersedia untuk turut serta dalam Konferensi Meja Bundar guna supaya
mempercepat tercapainya penyerahan kedaulatan.

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan dalam kurun waktu enam bulan, kembali ke
ibu kota sementara yakni di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Untuk memastikan kesamaan posisi
perundingan antara delegasi Republik dengan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak
31 Juli 1949 – 2 Agustus 1949, Konferensi Inter – Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta
dengan pesertanya ialah semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan
dibentuk. Para partisipan setuju dalam prinsip serta kerangka dasar untuk konstitusinya.
Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta,
ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan dilaksanakan di kota Den Haag, Belanda.

Perundingan menghasilkan beberapa dokumen, di antaranya yakni Piagam Kedaulatan,


Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi dan kesepakatan terkait urusan sosial serta militer.
Mereka juga telah menyepakati penarikan mundur tentara Belanda dari Republik Indonesia
Serikan “dalam waktu sesingkat-singkatnya”, serta Republik Indonesia Serikat memberikan
status bangsa yang paling disukai kepada Belanda.

Selain itu, tak akan ada lagi diskriminasi terhadap warga negara serta perusahaan Belanda,
dan Republik Indonesia Serikat bersedia untuk mengambil alih kesepakatan dagang yang
sebelumnya dirundingkan bersama dengan pihak Hindia – Belanda. Akan tetapi, ada
perdebatan mengenai hal utang pemerintah kolonial Belanda dan juga status dari Papua
Barat.

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia – Belanda berlangsung
hingga berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka
dan serta mengajukan pendapat mengenai apakah Republik Indonesia Serikat harus
menanggung utang yang telah dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang
pada tahun 1942.

Delegasi Indonesia terutama merasa marah dan tidak setuju karena RIS harus membayar
biaya yang menurut pendapat mereka, biaya tersebut digunakan oleh pihak Belanda dalam
tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi dari anggota AS dalam
komisi PBB untuk Republik Indonesia Serikat, pihak RIS akhirnya menyadari bahwa
kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi untuk
mendapatkan kedaulatan. Pada 24 Oktober 1949, delegasi Republik Indonesia Serikat
menyetujui untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang dari pemerintah Hindia –
Belanda.

Permasalahan mengenai status dari Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan
menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh
wilayah dari Hindia – Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa
Papua Barat tak mempunyai ikatan etnik dengan wilayah dari Republik Indonesia Serikat
yang lainnya.

Meskipun banyak opini publik dari Belanda yang mendukung atas penyerahan Papua Barat
kepada RIS, kabinet Belanda merasa khawatir tak akan bisa meratifikasi Perjanjian Meja
Bundar apabila poin ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu
kesepakatan berhasil didapatkan, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan
antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun pasca penyerahan
kedaulatan.

D. final clausule/pasal akhir

Hasil Konferensi Meja Bundar

1. Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949.
Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut :

2. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada


Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan
karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat.

3. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan


pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan
Nederland.

4. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949


E. annex/tambahan.

Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut :

1. Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial
Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia
berharap agar seluruh bekas daerah Hindia – Belanda menjadi daerah Indonesia
Serikat, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara yang
terpisah karena adanya perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa adanya keputusan
mengenai persoalan ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat
bukan merupakan bagian dari serah terima, serta bahwa masalah ini akan diselesaikan
dalam tempo satu tahun.

2. Dibentuknya sebuah persekutuan dari Belanda – Indonesia, dengan pemimpinnya


ialah kerajaan Belanda sebagai kepala negara

3. Utang Hindia – Belanda diambil alih oleh Republik Indonesia Serikat

4. Parlemen Belanda memperdebatkan mengenai kesepakatan tersebut, dan Majelis


Tinggi dan Rendah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember 1949 oleh mayoritas
dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik yang didapatkan khususnya
mengenai asumsi utang pemerintah Belanda serta status dari Papua Barat yang belum
terpecahkan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan
kemudian dipindahtangankan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27
Desember 1949.

5. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka
dan berdaulat.

6. Penarikan kapal-kapal Belanda serta beberapa korvet atau kapal perang kecil
diserahkan ke RIS.

7. Penarikan seluruh tentara Belanda dari Republik Indonesia Serikat.


F. Perjanjian Internasional 2 atau 3 tahapan
Konferensi Meja Bundar merupakan perjanjian yang diselenggarakan PBB guna
menyelesaikan sengkete anatara Indoenesia-Belanda. termasuk kedalam Perjanijan 3
Tahapan karena melalui tahapan :
- Negosiasi / Perundingan
- Penandatanganan
- Ratifikasi

Dan diatur dalam UU No. 13 Tahun 1956 Tentang Pembatalan Hubungan Indonesia-
nederland Berdasarkan Perjanjian Konperensi Meja Bundar dan disetujui DPR dalam
rapat pleno terbuka ke-8 pada hari Sabtu tanggal 21 April 1956, P.7/1956.

Anda mungkin juga menyukai