PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak awal awal Belanda telah mempersulit tugas Komisi Tiga Negara. Pada
tanggal 29 Agustus atau 4 hari setelah terbentuknya KTN, Belanda mengumumkan garis
demarkasi baru yang dikenal sebagai "Garis Van Mook" (Van Mook Line) yang didasari
dengan argumen bahwa daerah yang dianggap sebagai wilayah kekuasaan Belanda adalah
yang berada di belakang pos-pos terdepan pasukan KNIL/KL. Padahal di belakang pos-
pos yang merupakan benteng-benteng terpisah tersebut pasukan TNI dan kekuatan RI
lainnya cukup leluasa untuk beroperasi. Konsep "Garis Van Mook" ditolak mentah-
mentah oleh RI. Pada tanggal 27 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara yang terdiri atas
wakil Belgia (Paul van Zeeland), Australia (Richard Kirby) dan Amerika Serikat (Prof.
Graham) mendarat di Jakarta. Konflik dengan Belanda selanjutnya dibawah pengawasan
internasional.
2
Untuk menengahi persengketaan tersebut KTN mengajak kedua belah pihak
untuk berunding di "wilayah netral" yakni di kapal perang milik Amerika Serikat US
Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi RI dipimpin langsung oleh PM
Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda diketuai oleh _______________?. Hasil
perundingan tidak jauh dari hal-hal yang telah disetujui dalam Persetujuan Linggar Jati,
kecuali dua hal yang penting, Pertama, "negara boneka" Belanda telah bertambah
jumlahnya mencakup wilayah Sumatra, Jawa dan Madura, dan tidak akan berusaha untuk
memperluas lebih dari yang secara de fakto diakui Belanda. Kedua, "Garis Van Mook"
diterima sebagai garis demarkasi, sehingga kantong-kantong TNI yang berada di
belakang "garis" tersebut harus dikosongkan. Dari hasil ini tampak bahwa Amir
Syarifuddin telah memberikan konsesi yang lebih besar dari Syahrir yang telah
dijatuhkannya. Akibatnya, partai pendukungnya juga meninggalkannya. Pada tanggal 23
Januari 1948, Kabinet Amir Syarifuddin mengembalikan mandatnya. Atas desakan Parta
Masyumi, pada tanggal 29 Januari 1948 Presiden Soekarno menunjukkan Wakil Presiden
M. Hatta sebagai Perdana Menteri dari kabinet persidentil.
Suasana perundingan melalui penengah KTN pada awal Desember 1948 meulai
menemui jalan buntu. Pada tanggal 11 Desember 1948, Belanda mengatakan bahwa tidak
mungkinlagi dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Empat hari kemudian Wakil
Presiden Mohammad Hatta minta KTN untuk mengatur perundingan dengan Belanda,
tetapi Belanda menjawab pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23:00 malam, bahwa
Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville. Lewat tengah malam atau tanggal
19 Desember 1948 pagi, tentara Belanda diterjunkan di lapangan terbang Maguwo, yang
dikenal dengan istilah Aksi Militer Belanda II (2nd Dutch Military Action). Reaksi
internasional atas serangan Belanda terhadap Republik pada tanggal 19 Desember 1948
sangat keras. Negara-negara Asia, Timur Tengah dan Australia mengutuk serangan itu
dan memboikot Belanda dengan cara menutu lapangan terbang mereka bagi pesawat
Belanda. Dalam sidangnya pada tanggal 22 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB
memerintahkan penghentian tembak menembak kepada tentara Belanda dan Republik.
Atas usul India dan Birma, Konferensi Asia mengenai Indonesia diadakan di New Delhi
pada tanggal 20 Desember 1949. Amerika Serikat, Kuba, dan Norwegia mendesak
3
Dewan Keamanan untuk membuat resolusi yang mengharuskan dilanjutkannya
perundingan.
Atas usul Amerika Serikat, Tiongkok, Kuba, dan Norwegia, pada tanggal 28
Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengharuskan kedua
belah pihak menghentikan permusuhan, dipulihkannya pemerintah pusat Republik
Indonesia ke Yogyakarta; dilanjutkannya perundingan; dan diserahkannya kedaulatan
kepada Indonesia pada waktu yang disepakati.
Resolusi Dewan Keamanan PBB ini memberikan peluang baru bagi KTN untuk
kembali aktif menangani Indonesia - Belanda. KTN mendesak Belanda agar para
tawanan dibebaskan. Anggota KTN juga datang ke Bangka mengunjungi pemimpin
Republik yang ditahan di sana.
Sementara itu tanggal 23 Maret 1949 KTN yang diminta Dewan Keamanan PBB
agar membantu kedua belah pihak untuk melakukan perundingan berdasarkan resolusi
tanggal 28 Januari 1949, telah tiba di Jakarta. Dua hari kemudian delegasi Republik yang
dipimpin Mr. Mohammad Roem bertemu dengan delegasi Belanda dibawah Van Royen
di Hotel Des Indes, Jakarta. Merle Cochran dari KTN bertindak sebagai penengah.
4
Perundingan berjalan alot, sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta
dari Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.
Setelah hampir tiga minggu berunding, maka pada tanggal 7 Mei 1949 kedua
delegasi sepakat untuk mengeluarkan pernyataan masing-masing pihak, yang kemudian
dikenal sebagai Pernyataan Roem-Royen (Roem-Royen Statement). Masalah terpenting
dari penyataan itu adalah kesediaan Belanda untuk mengembalikan Pemerintah Republik
ke Yogyakarta.
Pada tanggal 1 Agustus 1949 Rapat gabungan komisi militer (Republik - Belanda - BFO
dan UNCI) bersepakat untuk segera menghentikan permusuhan, mengadakan gencatan
senjata dan mengembalikan kota-kota yang telah diduduki Belanda ke tangan Republik.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 8 malam, melalui RRI, Presiden Soekarno
memerintahkan Angkatan Perang RI untuk menghentikan tembak-menembak dengan
5
tentara Belanda. Pada saat yang bersamaan Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia,
Lovink, mengumumkan hal yang sama melalui radio di Jakarta.
Disamping itu juga dibahas masalah-masalah bilateral dan domestik yang serius.
Semua hutang bekas Hindia Belanda menjadi tanggung jawab nagara Indonesia Serikat.
6
De Javaansche Bank tetap diakui sebagai Bank Sentral. Intergrasi KNIL ke dalam TNI.
Masalah Irian Barat akan dibiarkan untuk sementra, yakni "satu tahun".
Pelaksanaan KMB terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23 Oktober
1949 Badan Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai pembicaraan
dalam sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Sri Sultan
Hamengkubuono IX.
Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri Mohammad Hatta pada Sidang
Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil KMB dengan
226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko. PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam
dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah undang-undang. Maklumat KNIP
diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember 1949, berisi tentang negara Repbulik
Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas seluruh wilayah; dan bahwa alat
perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk menegakkan kedaulatannya.
7
Dua undang-undang yang disetujui KNIP adalah Undang-Undang No. 10 yang
berisi mengenai Induk Persetujuan KMB dan masalah kedaulatan dari Belanda kepada
RIS. SEdangkan Undang-Undang No. 11 berisi mengenai draf final Konstitusi Republik
Indonesia Serikat.
Persetujuan KNIP atas hasil KMB melancarkan jalan bagi terbentuknya Republik
Indonesia Serikat, sebagaimana diharuskan oleh KMB. Pada tanggal 14 Desember 1949
delegasi RI dan delegasi negara-negara bagian, yang tergabung dalam BFO
menandatangani Piagam Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dengan piagam ini
resmilah pula negara-negara tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 15 Desember 1949, Dewan Pemilih Presiden RIS dibentuk. Dewan
ini diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Pada tanggal 16 Desember dewan ini memilih
calon tunggal Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS. P
8
BAB III
KESIMPULAN