Anda di halaman 1dari 20

Pengertian Organisasi Papua Merdeka

(OPM)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi yang
dibentuk pada tahun 1965 dengan tujuan membantu dan
melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di
provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, sebelumnya bernama
Irian Jaya, memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak
pembangunan ekonomi dan modernitas. Menurut tokoh Papua
Nicolaas Jouwe, Organisasi Papua Merdeka dibentuk pada 1965
pada saat pecahnya peristiwa Gerakan 30 September, oleh para
serdadu Belanda di Papua dengan tujuan untuk memusuhi
Republik Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah paling
timur dan paling baru negara Indonesia.

Organisasi ini sempat mendapatkan dana dari pemerintah Libya


pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New
People’s Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi
teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika
Serikat.

Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih


kemerdekaan di tingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan
pengkhianatan terhadap negara. Sejak berdiri, OPM berusaha
mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang
Kejora, dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik
Papua.

Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora


dan simbol persatuan Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan “Hai
Tanahku Papua” dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut
diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia
diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.
Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka)
Berdirinya OPM berawal darai pengaruh pemerintahan Belanda
pada masa Residen J. P. Eechoud yang ditandai dengan lahirnya elit
Papua terdidik yang bersikap pro-Papua. Belanda akan memberi
kemerdekaan kepada Papua Barat selambat-lambatnya tahun 1970-
an, namun cita-cita Papua Barat untuk menjadi negara yang
merdeka telah dihadang oleh Perjanjian New York (15 Agustus
1962) antara Belanda dengan Indonesia yang tidak melibatkan
bangsa Papua dan Papua Barat menjadi wilayah Indonesia.

Puncak permasalahan politik di Irian Jaya bermula pada perbedaan


pandangan antara pihak Indonesia dengan Belanda di dalam KMB
akhir tahun 1949. Dalam perundingan itu pihak Indonesia dan
Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah
kedaulatan Indonesia. Delegasi Indonesia yang di ketuai oleh Moh.
Hatta tidak mau mundur dari sikap yang pernah dipegang para
nasionalis sebelum proklamasi. Bahwa wilayah Indonesia meliputi
seluruh wilayah Hindia Belanda. Keinginan Indonesia
untukmemasukkan Irian Barat ke daam wilayahnya telah
melahirkan kesepakatan dengan Belanda, bahwa penyelesaian
tentang Irian Barat di tunda setahun kemudian.

Penundaan penyelesaian Irian Barat telah dimanfaatkan oleh


pemerintah Belanda, yaitu dengan mendirikan lembaga-lembaga
untuk mempersiapkan orang-orang Irian dalam menghadapi
kemerdekaan. Dipihak lain untuk menghadapi politik dekolonisasi
dari pemerintah Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan
Trikora. Dimana Trikora merupakan momentum politik bagi
pemerintah Indonesia, sebab dengan Trikora pemerintah Belanda
dipaksa untuk menandatangi perjanjian New York. Dengan
perjanjian New York ini Belanda akan melakukan pengalihan
administrasi di Irian Barat kepada UNTEA 1Oktober 1962 dan 1 Mei
1963 UNTEA akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Dan
Indonesia berkewajiban melaksanakan Pepera, akhirnya Pepera
dilaksanakan oleh Indonesia dengan hasil yang diterima oleh
Majelis umum PBB . Hasil Pepera menunjukan bahwa rakyat Irian
Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

Namun dengan hasil Pepera yaitu rakyat Irian Barat bergabung


dengan NKRI, ternyata menimbulkan pro dan kontra diantara
rakyat Irian Barat iti sendiri. Alasan rakyat yang kontra dengan
Pepera adalah persetujuan politik Belanda dengan Indonesia yang
melahirkan perjanjian New York 1962 itu tidak melibatkan bangsa
Papua (wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang
dipersengketakan . Nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah
nama yang diberikan oleh pemerintah RI kepada setiap organisasi
atau faksi baik di Irian Jaya maupun di luar negeri yang dipimpin
oleh putra-putra Irian Jaya yang pro Papua Barat dengan tujuan
untuk memisahkan atau memerdekakan Irian Jaya(Papua Barat
lepas dari NKRI).

Sedangkan alasan OPM melakukan pemberontakan di Irian Jaya


adalah adanya ketidak puasan terhadap keadaan , kekecewaan dan
telah tumbuh suatu kesadaran nasionalisme Papua Barat. OPM
lahir dan tumbuh berkembang di Irian Jaya. Pada awalnya, OPM ini
terdiri dari dua fraksi, 1) organisasi atau fraksi yang didirikan oleh
Aser Demotekay tahun 1963 di Jayapura, 2) organisasi atau fraksi
yang didirikan oleh Terianus Aronggoar di Manokwari tahun 1964.
kedua fraksi ini bergerak dibawah tanah (JRG. Djopari, 1993: 101-
102).

Perjuangan Organisasi Papua Merdeka


(OPM)
Perjuangan OPM dalam mencapai tujuannya juga mencari
dukungan sebagian besar masyarakat Irian Jaya, terutama rakyat
yang anti Indonesia atau pro Papua. Di antara dukungan yang
diberikan oleh rakyat Irian Jaya kepada OPM adalah terlibat dalam
aksi-aksi OPM, memberikan dukungan sandang, pangan, obat-
obatan dan dana, memberikan dukungan semangat dan dorongan
kepada OPM, memberi pemikiran (Tuhana Taufik A, 2006: 142-
143).

Dukungan terhadap OPM bukan saja diberikan oleh rakyat Irian


Jaya di desa, tetapi juga oleh aparat xix pemerintah sipil dan kaum
terpelajar yaitu cendekiawan, mahasiswa dan pelajar termasuk
kelompok kecil ABRI dan polisi (JRG. Djopari, 1993: 129).
Organisasi Papua Merdeka (OPM) guna mencapai cita-citanya yaitu
kemerdekaan Papua Barat, OPM mencari dukungan politik luar
negeri selain aktivitasnya di dalam negeri ( Irian Jaya). Pencarian
dukungan ke luar negeri seperti dilakukan OPM sejak tahun 1951,
tujuan OPM terutama untuk mencari dukungan politik, dan
mencari dukungan senjata atau bantuan persenjataan.

Deklarasi Republik Papua Barat


Protes “Bebaskan Papua Barat” di Melbourne, Australia, Agustus
2012
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM,
Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana
mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1
Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua
Barat dan segera merancang konstitusinya. Konflik strategi antara
Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua
faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin
Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan
OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat.

Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport


Indonesia sering menerima surat dari OPM yang mengancam
perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan
musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM.
Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan
ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa
slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik,
membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah
fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya
mencapai $123.871,23.

Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di


bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih
kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional. OPMRC
bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional
seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan
ASEAN. Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu
kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-
Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer Indonesia
dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini
menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM
ke kamp-kamp di Papua Nugini.

Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan


informasi bahwa OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah
karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Tanggal
18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani “Jenderal
Pemberontak” memperingatkan bahwa “Pada hari Rabu, 19
Februari, akan turun hujan di Tembagapura”. Sekitar pukul 22:00
WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan
bahan bakar dengan gergaji, sehingga “banyak slurry, bijih
tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang.”
Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi
yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986,
milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik,
merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang
OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa
meminta bantuan polisi dan militer.
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM
menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia, pertama dari grup
peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup
pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan. Bulan Juli 1998, OPM
mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau
Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum
militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di
antara orang-orang yang ditangkap. Tanggal 24 Oktober 2011,
Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh
orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian
Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM.
Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa mereka
menerjunkan lebih banyak personil di Papua.

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga


anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang
menjaga warung. Ia adalah transmigran asal Sumatera Barat. 
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum
yang mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4
lainnya juga cedera. Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM
tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di
perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga
akan dijual di Jayapura.

Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil


Trigana Air setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia,
Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba
melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan
kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu
Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka
tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun
terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah
tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4
tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para
militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah
warga sipil.

Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM


mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden
desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang
anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. Tanggal 9 Juli 2012, tiga
orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban
adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk
bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka
tusuk di bagian dada.

Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan


kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM
(Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan
penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon
751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh.
Picu “proklamasi OPM” yang pertama itu adalah penolakan para
anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari
suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-
orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena
pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan
suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36;
Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di


stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara
pembacaan “proklamasi OPM” serta “pengibaran bendera OPM”
yang kesekian kali. Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-
peristiwa serupa sebelumnya. Soalnya, untuk pertama kalinya,
bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di
masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah
bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai,
yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko
Wanggai.

Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah “Papua Barat”,


seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para
pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan
berdirinya negara “Melanesia Barat”. Kemudian, Thomas Wanggai
sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai
saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan
Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja
di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.

Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua


sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang
paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang
pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20
tahun penjara tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis
sebelumnya untuk para aktivis OPM mendapat perhatian luas.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat


Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), ialah sayap
militer Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada
26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat pada
1 Juli 1971 di Markas Besar Victoria. Pembentukan TPNPB adalah
Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik
Papua Barat yang didirikan pada tahun 1971 di Bab V bagian
Pertahanan dan Keamanan. Sejak 2012 lewat reformasi TPN,
Jenderal. Goliath Tabuni diangkat sebagai Komandan Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat.
Penyimpangan OPM Terhadap Sila
Pancasila
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai telah melakukan
penyimpangan terhadap sila ke-3 dari pancasila yang berbunyi
“Persatuan Indonesia”. Nilai persatuan indonesia mengandung
makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk
membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan
menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki
bangsa indonesia.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan


nasionalis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk
mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan
Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri
atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.

OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah


dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia
lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969
merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia
dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama
ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia.
Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari
tangan satu penjajah kepada yang lain.

Menutur hasil diskusi kelompok kami hal ini dinilai sangat


bertentangan dengan sila ke-3 pancasila yaitu “Persatuan
Indonesia” dimana menurut kami apabila Papua berhasil
memisahkan diri dari Indonesia berarti telah terjadi perpecahan
dalam Negara Indonesia yang akan mengakibatkan kerugian untuk
Negara Indonesia sendiri. Selain itu Negara-negara lain akan
memandang lemah bangsa Indonesia karena dinilai tidak dapat
mempertahankan wilayahnya sehingga kemungkinan Indonesia
dijajah kembali akan muncul. Selain itu, gerakan Papua merdeka ini
juga dapat memancing kerusuhan daerah-daerah lain yang ingin
memisahkan diri juga dari Indonesia.

Penyebab Konflik Sosial OPM


Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
membagi sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama:

1. Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada


problem ini konflik papua di dasarkan pada adanya perbedaan
cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis
Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari
Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang
polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah
selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya  hasil
penentuan tersebut  oleh majelis umum sidang PBB.
Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969  itu
sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh
pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025
perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada
insiden 1 desmber 1961.
2.

Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM.


Lipi mencatat problem ini muncul  sebagai ekses dari
pandangan dari keutuhan NKRI adalah  harga mati dan
gagasan memisahkan diri  merupakan tindakan melawan 
hukum yang di kemudian di identifikasikan secara militeristik
sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan
pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri
perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan
politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas
memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara
seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan
justru muncul sebagai sosok yang berwajah sangar.
3.

Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik


pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi
akar konflik di Papua  di karenahkan adanya ketimpangan
yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di
bandingkan dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan
pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan
terhadap kekayaan alam Papua  adalah beberapa hal yang
menjadikan  pemerintah gagal melakukan pembangunan di
Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi
justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum  dari pada
setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah dengan
adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara
penduduk asli  dan pendatang atas penguasaan sektor
perekonomian.

4.

Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan


inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga telah di singgung
Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di
Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada
asprk demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial
budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme.
Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru,
orang  Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan
gubernur

Sejarah Konfik Papua


Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia
Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian,
pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu
provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya.
Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk
menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada
tahun 1970-an.

Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua


menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda.
Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan
dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai
keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan
dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat


memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.
Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya,
Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah
Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda
mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan
kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi
angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.

Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian


Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera,
dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6
Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas
oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di
Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

Bendera Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera


Organisasi Papua Merdeka Karena usaha pendidikan Belanda, pada
tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi, arsitek, teknisi
telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan
pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari
tahun 1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai
pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam
pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik.
Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua,
dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada
tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961.
Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania
Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat
diundang tapi menolak.

Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih


sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua,
lambang negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”), dan
nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua
dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan
diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera
dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan
peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember
1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi’pembentukan
Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang
isinya adalah:

 Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial


Belanda.
 Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
 Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan
kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa

Solusi Konflik Papua


Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin
meruncing. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hassanudin,
melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam 18 bulan
terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di
wilayah Papua. Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah
ikut upaya pembebasan Irian barat, pemerintah belum
mengutamakan nation building.

Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building yang


hanya sebatas teritorial, bukan membangun manusianya. Maka dari
itu, pengembangan state buildingerat kaitannya dengan motif
ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri,
menjadi salah satu alasan utama konflik di Papua. Untuk itu, saya
ingin menganalogikan konflik Papua dengan peristiwa Quiet
Revolution di Kanada (1960-1966).

1. Belajar dari Quebec


Quiet Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah
Kanada, dimana periode ini menandai kebangkitan separatisme
Quebec. Namun, salah satu hal menarik yang bisa dipelajari dari
kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual antara
pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya
konstruksi nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep
koeksistensi masyarakat keturunan Inggris dan masyarakat
keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada.

Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di


Quebec, PM Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan
Official Languages Act yang secara resmi membuat Kanada menjadi
negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act
menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi
mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap
keluhan warga Quebecois. Kondisi ekonomi pun semakin membaik
karena perdagangan mulai berjalan seimbang dan adil.

Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam


sebuah negara demokratis yang menolak penggunaan kekuatan
militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik separatisme,
negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal
dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah
federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk
berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai
bagian dari upaya mereka menentukan arah masa depan negara.

2. Pendekatan Keamanan vs Kesejahteraan


Pemerintah Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak
perlu dibatasi, dan bahwa tindakan inkonstitusional seperti
separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi oleh jaring konstitusi,
melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan kekerasan
dan stigma terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan
separatis, yang dipraktekkan pemerintah kita, justru membuat
warga merasa tak diterima. Pendekatan militeristiklah yang
membuat orang Papua berpikir untuk merdeka, setidaknya itu
ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay

Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat


inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan otonomi khusus.
Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi kepentingan
warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka.
Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut
representasi warga keturunan Inggris, telah berhasil menjalankan
kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi warga keturunan
Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung mengutamakan
pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.

Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar


15 persen dari dana nasional untuk dana alokasi Papua. Ini pun
belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan DPR
atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus yang
setiap lima tahun mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan
Papua sudah sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau
memang masih ada konflik berarti ada salah urus kebijakan di
Papua, dan hal itu wajib diselidiki KPK, maupun pihak-pihak
terkait.

Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan


secara otomatis menyingkirkan eksistensi orang asli, harus
dihilangkan. Semua kalangan harus mendapat akses ekonomi yang
equal. Selain itu, kehadiran aparat memang penting, akan tetapi
harus didampingi oleh orang-orang yang paham metode-metode
penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal dengan aparat
yang represif berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya
nasionalisme Papua. Dan kondisi seperti ini harus direduksir dari
hulu.

Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada


berhasil meredam separatisme di wilayah mereka. Walau memang,
hasilnya belum mampu menekan secara total kelompok
separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini
semakin berkurang junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu,
manajemen konflik pemerintah kanada dalam menyelesaikan
konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model
demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam kasus
pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah negara.

Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh


melalui dialog. Dialog tidak akan mengambil nyawa siapapun,
malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya
menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan
dari kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka
yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan
dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan
yang biasanya mengatasnamakan bangsa dan negara atau
mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan
suku atau agama[9]. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai
Papua (JDP) berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :
Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil
Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963,
pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk
menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru, pemerintah
berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan
keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki
Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan
kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan
otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua
merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001
melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk
Provinsi Papua. Diandaikan bahwa konflik Papua akan diselesaikan
tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU Otsus secara
efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan
kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002,
pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU
Nomor 26 Tahun 2002.

Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya


Tengah dan Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres
Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di Timika
yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah.
Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah
melihat pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007,
pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Empat
tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011
tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat
(P4B). Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk
satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang
Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor
84 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam
Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan
peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif
yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil
meredam konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja
membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun
personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan
bertambah.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah


mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status
otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah, membagi Papua
menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan
mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum
berhasil menyelesaikan konflik Papua?

Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua
melalui kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum
ada solusi yang komprehensif. Konflik Papua lebih sering
diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik
Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih
memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Perlu
disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua
mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang
belum mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini
merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden
Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus
Melanesia.

Ada perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua


dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah
yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai
dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan
internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan
menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan
multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi
komprehensif yang mengakomodasi dan mampu menjawab semua
dimensi permasalahan. Pemerintah tidak boleh memandang dirinya
sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua.
Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan
konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa
keterlibatan pihak lain.

Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen,


pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar
secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif. Perlu
ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan. Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan
orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak
berkonsultasi dengan kelompok OPM.

OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan
perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan
dengan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN
PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga kelompok
ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang
komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk
berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan pandangan kolektifnya
tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflik
Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan
ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku
kepentingan, termasuk kelompok OPM

Anda mungkin juga menyukai