Anda di halaman 1dari 17

Akuntansi Persediaan: Sistim

Periodik Vs Perpetual
oleh Mr. JAK
35 Komentar

Ditulis oleh Mr. JAK


303 Shares

241


24

11


27

Dalam akuntansi persediaan, ada dua sistim yang lumrah digunakan, yaitu:


sistim periodik dan sistim perpetual. Bagi pegawai accounting, sistim
persediaan periodik atau perpetual—yang diterapkan di dalam perusahaan—
menentukan bagaimana pencatatan transaksi persediaan dilakukan.
Sedangkan bagi pengelola keuangan dan pengelola usaha, sistim persediaan
yang diterapkan menentukan seberapa efektif persediaan bisa dikelola—
terutama aspek pengawasannya.
Melalui tulisan ini, saya ingin membahas mengenai sisim persediaan periodik dan
perpetual, mulai dari pebedaaan yang paling fundamental, perbadingan jurna-per-
jurnal, hingga implikasinya terhadap laporan keuangan dan pengelolaan
persediaan.

Dengan kehadiran pembahasan ini, saya berharap pembaca memperoleh


gambaran yang jelas mengenai sistim persediaan periodik dan perpetual, dalam
tataran inplementasi di perusahaan. Namun sebelum itu, mari kita lihat sekilas; apa
itu persediaan.

Persediaan dan Impilkasinya Terhadap


Laporan Keuangan
Sebelum berpikir yang rumit-rumit—termasuk implikasi (pengaruh) persediaan
terhadap laporan keuangan dan pengelolaan keuangan, APA ITU PERSEDIAAN?
Sederhananya, yang disebut persediaan adalah apa yang oleh masyarakat umum
kenal dengan istilah “stok”. Di Eropa, sampai sekarang masih menggunakan istilah
“stock”. Tetapi secara internasional persediaan disebut dengan istilah “inventory”,
yang disebut stock justru saham.
Mau disebut inventory, mau disebut stock, silahkan. Yang lebih penting di
sini: wujud dari persediaan itu berupa apa?
Wujud fisik persediaan suatu perusahaan tergantung pada jenis usahanya.
Meskipun pada kenyataannya ada banyak jenis atau model usaha, dalam akuntansi
—untuk tujuan penyederhanaan—jenis usaha biasanya hanya dibagi menjadi 3
kelompok saja.

Berikut adalah 3 jenis perusahaan beserta persediaannya:

 Perusahaan Jasa (misal: konsultan, agen, broker, dll) – Tidak memiliki


persediaan
 Perusahaan Dagang (misal: toko, mini market, dll) – Persediaannya berupa
barang jadi
 Perusahaan Manufaktur (misal: pabrik gula, pabrik pakaian jadi, dll) –
Persediaannya berupa: (a) bahan baku; (b) bahan penolong; (c) barang dalam
proses; dan (d) barang jadi.
Persediaan berimplikasi luas terhadap pelaporan keuangan dan pengelolaan
keuangan perusahaan.

Apa implikasinya terhadap laporan keuangan? Persediaan berimplikasi


langsung terhadap Neraca dan Laporan Laba-Rugi:
 Di Neraca, persediaan disajikan dalam kelompok “Aktiva Lancar” (current
assets)—setelah akun “Piutang” (silahkan lihat contoh format Neraca), sehingga
besar-kecilnya nilai saldo persediaan yang disajikan berpengaruh terhadap
besar kecilnya nilai aktiva (aset) secara keseluruhan.
 Di Laporan Laba Rugi, besar kecilnya PENGGUNAAN persediaan (bahan baku,
bahan penolong dan barang jadi) menentukan besar kecilnya “Harga Pokok
Penjualan” (HPP), yang pada akhirnya juga akan menentukan besar kecilnya
“Laba” atau “Rugi” yang disajikan di dalam laporan laba-rugi. Pada akhirnya,
besar-kecilnya laba/rugi yang dibukukan pada suatu periode akuntansi
berimplikasi terhadap besar-kecilnya “Laba Ditahan” (Retained Earning) yang
disajikan di Neraca—persisnya di kelompok akun “Ekuitas.”
 

Oke. Implikasi persediaan terhadap laporan keuangan sudah jelas


terlihat.Pertanyaannya: Apakah penerapan sistim persediaan periodik/perpetual
berpengaruh terhadap laporan keuangan? Maksud saya, apakah dengan
menggunakan sistim perpetual membuat laporan keuangan menjadi berbeda jika
dibandingkan dengan menggunakan sistim periodik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat perbandingan antara sistim
persediaan periodik dengan perpetual. Yuk pindah ke paragraf berikutnya…

Perbedaan Paling Fundamental Antara


Sistim Periodik dan Perpetual
Perbedaan paling mencolok antara sistim periodik dengan sistim perpetual ada
pada 2 hal:

1. Penentuan Nilai Saldo Akhir Persediaan di Neraca:


(a) Sistim Periodik – Jika perusahaan menerapkan sistim periodik, nilai saldo akhir
persediaan di Neraca ditentukan dengan cara melakukan penghitungan fisik
persediaan yang lumrah dikenal dengan istilah “stok opname” —sederhananya; di
akhir periode, fisik barang bersediaan (bahan baku, bahan penolong, barang dalam
proses dan barang jadi) dihitung jumlahnya. Jumlah fisik barang lalu dikalikan
dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) satuan barang.
(b) Sistim Perpetual – Jika yang diterapkan adalah sistim perpetual, perusahan
tidak perlu melakukan penghitungan fisik untuk menentukan nilai saldo akhir
persediaan., karena setiap transaksi terkait dengan persediaan—baik kenaikan
maupun penurunan—telah dicatat melalui penjurnalan. Meskipun demikian,
penghitungan fisik tetap dilakukan untuk kemudian dibandigkan dengan saldo
akhir yang ditunjukan oleh buku persediaan. Jika terjadi perbedaan antara saldo
akhir hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh buku
persediaan, maka dibuatkan rekonsiliasi persediaan dengan memasukan jurnal
penyesuaian persediaan (inventory adjustment entry).
2. Penentuan Persediaan Digunakan (atau Terjual) dalam Harga Pokok
Penjualan:
(a) Sistim Periodik – Jika perusahaan menggunakan sistim periodik, maka nilai
persediaan yang digunakan (dan terjual)—untuk dibebankan sebagai “Harga Pokok
Penjualan”, dihitung dengan cara menjumlahkan saldo awal persediaan dengan
total pembeliaan (atau persediaan masuk) lalu dikurangi dengan saldo akhir
persediaan yang diperoleh melalui penghitungan fisik. Misalnya: Data persediaan
JAK Mart (perusahaan dagang) untuk tahun 2012 adalah sbb:
 Saldo awal = Rp 20,000,000
 Pembelian Bersih Jan s/d Des 2012 = Rp 150,000,000
 Saldo akhir 31 Desember 2012 (diketahui setelah penghitungan fisik) = Rp
22,000,000
Harga Pokok Penjualan = 20,000,000 + 150,000,000 – 22,000,000 = 148,000,000.
Selanjutnya harga pokok ini dimasukan dengan journal penyesuaian (sebentar lagi
kita bahas di perbandingan jurnal.)
(b) Sistim Perpetual – Dengan sistim perpetual, perusahaan tidak perlu lagi
membuat perhitungan seperti pada sistim periodik karena penggunaan persediaan
langsung diakui setiap kali ada penjualan dengan mendebit akun “Harga Pokok
Penjualan” dan mengkredit “Persediaan” di sisi lainnya, seperti jurnal di bawah ini:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = xxx
[Kredit]. Persediaan = xxx

“Oke. Dengan sistim perpetual setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan


atau penurunan volume persediaan selalu dicatat dengan memasukan jurnal
begitu transaksi terjadi. Apakah dengan sistim periodik transaksi-transaksi yang
terjadi tidak dicatat samasekali?” Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Tentu saja dicatat. Hanya saja, biasanya, menggunakan nama akun berbeda
dibandingkan jika menggunakan sistim perpetual. Untuk lebih jelasnya, mari kita
lihat transaksi-per-transaksi. Lanjut…

Perbandingan Sistim Periodik Vs


Perpetual Transaksi-Per-Transaksi
Ada banyak transaksi yang mengakibatkan volume persediaan menjadi meningkat
atau menurun selama satu periode. Di sini kita lihat perbandingan sistim periodik
dan perpetual transaksi-per-transaksi, jurnal-per-jurnal.

1. Pembelian dan Penjualan Barang


Dalam sistim perpetual, pembelian dan penjualan barang persediaan dicatat
langsung ke akun “Persediaan,” dengan kata lain: perubahan nilai nominal dan
volume persediaan langsung terlihat dalam buku besar (ledger) persediaan setiap
kali ada transaksi pembelian dan penjualan. Sedangkan dalam sistim periodik yang
dicatat hanya kenaikan nilai dan volume persediaan melalui akun yang disebut
dengan “Pembelian”, sementara tidak mencatat adanya penurunan pada setiap
transaksi penjualan yang terjadi (penurunan persediaan diakui sekaligus di akhir
periode dengan melakukan pemeriksaan fisik). Untuk lebih jelasnyanya, kita lihat
contoh berikut ini:

JAK Mart, Perusahaan Grossir, menunjukan data sbb:

(a) Saldo Awal Persediaan = 100 units @ Rp 60,000 = Rp 6,000,000


(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(Note: Untuk menghindari penggunaan cost flow—yang bisa
membingungkan, kita asumsikan cost per unit persediaan konstan dari
awal hingga akhir periode)

Jika JAK Mart menggunakan sistim perpetual, maka alur transaksi dan jurnalnya
akan nampak sbb:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000

(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Persediaan = Rp 54,000,000


[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000

(c) Penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000 per unit dicatat dengan sepasang
jurnal:

[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000


[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)

Dan;

[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000


[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory,
60,000 x 600 = Rp 36,000,000.)

(d) Kecuali ada perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan buku, maka tidak
ada jurnal penyesuaian yang perlu dimasukan. Saldo akhir persediaan otomatis
menunjukan nilai Rp 24,000,000.
Bagaimana jika JAK Mart menggunakan sistim periodik? Jurnalnya akan
nampak sebagai berikut:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000

(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Pembelian = Rp 54,000,000 (menggunakan akun pembelian)


[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000

(c) Pada sistim periodik, penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000/unit dicatat
hanya dengan satu jurnal saja—untuk mengakui penjualan dan piutang dagang
(Note: penurunan persediaan dan pengakuan harga pokok penjualan dilakukan
sekaligus di akhir periode):

[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000


[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)

(d) Di akhir periode, setalah dilakukan penghitungan fisik, JAK memasukan jurnal
penyesuaian—untuk mengakui persediaan, harga pokok penjualan, sekaligus
‘menghapus’ saldo akun “Pembelian”—sebagai berikut:

[Debit]. Persediaan = Rp 18,000,000


[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000

Note: Dengan jurnal penyesuaian yang dimasukan di akhir periode ini, maka saldo
akun “Pembelian” menjadi nol, saldo akhir persediaan di Neraca menjadi Rp
24,000,000 (=saldo awal 6,000,000 + adjustment kenaikan 18,000,000), dan muncul
Harga Pokok Penjualan di Laporan Laba-Rugi sebesar Rp 54,000,000 (=6,000,000 +
54,000,000 – 24,000,000).
2. Retur Pembelian, Diskon Pembelian dan Cadangan
Apa yang terjadi jika ada retur pembelian atau diskon? Perusahaan yang
menerapkan sistim periodik, disamping menggunakan akun “Pembelian”—yang
bersaldo debit mereka juga menggunakan 2 kontra-akun pembelian (bersaldo
kredit) yang diberi nama “Retur Pembelian” dan “Diskon Pembelian.” Jika ada
pembelian yang dikembalikan (retur pembelian) atau memeperoleh potongan,
maka kontra akun ini menjadi pengurang nilai “Pembelian”. Hasil silang saldo
“Pembelian” dan kedua kontra-akun ini menghasilkan apa yang disebut dengan
“Pembelian Bersih”. Bagaimanapun juga, semua slado akun ini (Pembelian, Diskon
Pembelian dan Retur Pembelian) bersifat sementara saja, nantinya akan dihapus
degan jurnal penyesuaian di akhir periode (seperti terlihat pada contoh jurnal
penyesuaian sebelumnya). Untuk lebih konkoretnya, kita buat satu contoh
transaksi:

Karena adanya kerusakan, JAK Mart mengembalikan pembelian


barang sebesar Rp 7,000,000.

Jika JAK Mart menerapkan sistim perpetual, maka JAK akan mengakui
penurunan nilai utang sekaligus langsung mengakui penurunan nilai persediaan,
dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)

Jika JAK Mart menerapkan sistim periodik, maka jurnalnya adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian megurangi nilai pembelian)

Lanjut dengan diskon…


Di lain kesempatan JAK Mart membeli barang sebesar Rp 10,000,000
dengan termin kredit 2/10, n/30. Karena JAK Mart bisa melakukan
pelunasan seminggu setelah pembelian, maka JAK Mart memperoleh
diskon 2%. Bagimana jurnalnya?

Jika menerapkan sistim perpetual, maka saat pembelian JAK Mart memasukan
jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000

Saat pelunasan, diskon Rp 200,000 tersebut sekaligus diakui sebagai pengurang


nilai persediaan, dengan jurnal:

[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000


[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000

Jika menggunakan sistim periodik, maka saat pembelian jurnal yang dimasukan
adalah:
[Debit]. Pembelian = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000

Diskon yang diperoleh tidak diakui sebagai pengurang nilai persediaan (ingat:
sistim periodik tidak mencatat persediaan tetapi “pembelian”), melainkan dicatat
sebagai “Diskon Pembelian.” Sehingga jurnal yang dimasukan ketika melakukan
pelunasan adalah sbb:

[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000


[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000

3. Retur Penjualan dan Diskon Penjualan


Transkasi lainnya yang terkait dengan persediaan adalah retur penjualan dan
diskon penjualan. Pada transaksi ini, baik sistim perpetual maupun sistim periodik
sama-sama meggunakan akun yang diberi nama “Retur Penjualan” dan “Diskon
Penjualan”—yang kedua-duanya merupakan kontra-akun penjualan (bersaldo
debit), bedanya hanya di pengakuan “Harga Pokok Penjualan”. Pada sistim
perpetual return penjualan, disamping mengakui penurunan piutang dagang dan
penurunan penjualan (dengan akun “retur penjualan”) juga mengakui penurunan
harga pokok penjualan dan persediaan. Sedangkan pada sistim periodik, tidak.
Misalnya:

JAK Mart menerima barang kembali dari pelanggan (karena cacat)


senilai Rp 6,000,000. Harga Pokok Penjualan barang yang diretur
tersebut adalah Rp 3,000,000. (Kita asumsikan pengakuan penjualan
menggunakan metode bruto/gross method)

Jika menggunakan perpetual, maka JAK Mart akan mencatat retur tersebut
dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)

Dan;

[Debit]. Persediaan = Rp 3,000,000


[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus menguragi
harga pokok penjualan).

Sedangkan jika menggunakan sistim periodik, JAK Mart hanya akan memasukan
satu jurnal saja, yaitu:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)

Catatan: Sistim periodik baru akan menghitung saldo persediaan dan mengakui
harga pokok penjualan di akhir periode—setelah penghitungan fisik dilakukan.
Selanjutnya, diskon penjualan. Bagaimana pencatatanya?
Oke. Anggap JAK Mart memberikan diskon Rp 200,000 atas
pelunasan pembelian sebesar Rp 10,000,000 dari pelanggan (masih
menggunakan metode pengakuan penjualan bruto/gross method)

Sistim perpetual dan sistim periodik memasukan jurnal yang sama


persisuntuk pelunasan yang mengandung diskon penjualan. Dalam contoh ini:
[Debit]. Kas = Rp 9,800,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000

Secara keseluruhan, dari pebandingan jurnal—antara sistim periodik dan


perpetual, jelas terlihat bahwa:
Terhadap laporan keuangan yang disajikan di setiap akhir periode, menggunakan
sistim perpetual atau periodik tidak berpengaruh apa-apa, dalam pengertian: nilai
saldo akhir persediaan (yang disajikan di neraca) dan harga pokok penjualan (yang
disajikan di laporan laba-rugi), akan menunjukan hasil yang sama.

Bedanya, hanya terjadi pada teknis pengakuan dan nama akun yang digunakan
pada setiap pengakuan transaksi. Sistim perpetual selalu mendebit/mengkredit
akun “Persediaan” untuk setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau
penurunan persediaan. Sedangkan sistim periodik—untuk sementara—
menggunakan akun “Pembelian” untuk setiap penambahan persediaan dan baru
memperhitungkan penurunan persediaan di akhir periode—sertelah penghitungan
fisik dilakukan.
Bagaimana jika perusahaan yang menerapkan sistim periodic—terpaksa harus
menyajikan laporan padahal periode belum berakhir—misalnya: untuk pengajuan
kredit? Perusahaan bisa (a) menggunakan laporan periode sebelumnya, atau (b)
melakukan penghitungan fisik saat itu juga lalu menjalankan prosedur seperti yang
dilakukan di akhir periode.
Oke. Penerapan sistim periodik atau perpetual tidak ada pengaruhnya terhadap
laporan keuangan. Bagaimana dengan pengelolaan persediaan dan keuangan
secara keseluruhan? Mari kita lihat implikasinya… Lanjut…
 

Implikasi Penerapan Sistim Periodik dan


Perpetual Terhadap Pengelolaan
Persediaan
Dari perbenadingan di atas, jelas terlihat bahwa: untuk tujuan pengawasan
persediaan, sistim perpetual jauh lebih baik dibandingkan sistim periodik. Dengan
sistim perpetual, management dapat mengetahui nilai persediaan sewaktu-waktu
—tanpa perlu menunggu hingga akhir periode.

Khususnya di perusahaan-perusahaan manufaktur, pengawasan terhadap barang


persediaan sangat kompleks—dengan adanya potensi barang scrap dan cacat yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan jenis lain. Dalam kondisi seperti ini,
jika sistim persediaan yang diterapkan adalah sistim periodik—dimana penurunan
(volume dan nilai persediaan) baru diperhitungkan di akhir periode, maka
kesempatan untuk mengetahui adanya pemborosan bahan baku, bahan penolong
dan kemungkinan adanya barang cacat saat dalam proses produksi menjadi lebih
sulit ditelusuri—kemungkinan baru diketahui setelah di akhir periode, dengan kata
lain: sudah terjadi.

Efektifitas pengawasan terhadap barang persediaan berimplikasi besar terhadap


pengelolaan keuangan perusahaan secara keseluruhan. Terutama di perusahaan
dagang dan manufaktur, sebagian besar kekayaan (asset) perusahaan ada di
persediaan—entah itu berupa bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses
maupun barang jadi. Diantara banyaknya beban yang ditanggung oleh operasional
perusahaan, penggunaan persediaan cenderung mendominasi. Jika scope-nya
dipersempit, persediaan bahkan mengkonsumsimodal kerja (working capital)
paling besar.
Itu sebabnya, bagi managemen perusahaan, pemilihan sistim persediaan yang
akan diterapkan (apakah menggunakan sistim perpetual atau periodik) menjadi
sangat krusial.

“Lalu, apakah sebaiknya saya menerapkan sistim persediaan perpetual atau


periodik?” Mungkin ada yang berpikir demikian. Kita pindah ke paragraph
selanjutnya…
 

Apakah Sebaiknya Menggunakan


Sisitim Persediaan Periodik atau
Perpetual?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi opersional
perusahaan anda sehari-hari.

Dari aspek pelaporan keuangan, menurut saya, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Menggunakan sistim perpetualpun, toh di akhir periode anda masih harus
melakukan stock opname (inventory physical count) untuk memverifikasi
keakuratan data persediaan yang diperoleh dari sistim perpetual. Dan, jika terjadi
perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir buku, toh anda
masih harus membuat rekonsiliasi dan inventory adjustment, iya kan?

Tetapi dari aspek pengawasan persediaan, sistim perpetual jelas lebih baik
dibandingkan sistim periodik. Tetapi perlu di sadari bahwa: menerapkan sistim
perpetual artinya anda harus siap melakukan pencatatan setiap kali ada transaksi
sehubungan dengan persediaan.

Untuk perusahaan-perusahaan berskala besar, jelaslah bahwa sistim perpetual


selalu lebih baik—lagipula tenaga untuk melakukan input data setiap saat selalu
ada. Tetapi untuk perusahaan berskala sedang dan kecil, menerapkan sistim
perpetual bisa menjadi tantangan tersediri. Masih perlu melihat kondisi
operasional perusahaan sehari-hari.

Untuk mempermudah, saya buatkan 2 macam perusahaan—dengan karakter


opersional yang sangat berbeda, sebagai ilustrasi:
1. Perusahaan Pertama, Computer Wholesaler – Anda mengelola perusahaan
yang menjual komputer dalam jumlah besar, pangsa pasar perusahaan anda bisa
jadi pengguna akhir maupun pedagang computer eceran. Sebelum memilih apakah
menggunakan sistim persediaan periodik atau perpetual, anda perlu
mempertimbangkan kondisi operasional perusahaan anda. Bagaimana
kondisinya?
 Barang dagangan anda adalah tergolong bernilai tinggi
 Iklan produk/perushaan anda muncul di TV atau suratkabar lokal setiap hari
 Volume penjualan harian anda sangat tinggi
 Anda mempekerjakan lebih dari 40 orang pegawai sales
 Anda membayangkan bahwa pelanggan akan sangat kecewa jika mereka
datang berbelanja tetapi barang persediaan yang anda iklankan ternyata sudah
habis terjual
Dengan kondisi operasional perusahaan seperti ini, apakah menggunakan sistim
perpetual cukup masuk akal? Jelas iya. Anda perlu mengetahui saldo persediaan
barang setiap hari—bahkan mungkin setiap jam atau menit, yang tidak mungkin
bisa anda dapatkan jika menggunakan sistim periodik. Dengan sistim perpetual,
setiap transkasi penjualan selalu diikuti dengan pencatatan barang keluar,
sementara dalam sistim periodik tidak.
2. Perusahaan Kedua, Toko Serba Ada Di Stasiun Kereta Api – Di sini anda
mengelola toko yang menjual berbagai macam barang, untuk orang-orang sibuk
yang bepergian kesana-kemari dengan kondisi yang selalu terburu-buru. Anda
perlu mempertimbangkan kondisi opersional toko anda sebelum memutuskan
untuk menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik. Bagaimana
situasinya?
 Penjualan paling banyak terjadi di waktu pagi—saat sebagian besar orang buru-
buru ke tempat kerja atau ke kampus, dan petang hari—saat sebagian besar
orang buru-buru pulang ke rumah setelah seharian bekerja.
 Anda menjual berbagai macam barang mulai dari kertas tisu, permen,
koran/majalan, gantungan kunci, stationary, minuman dingin, kue kotak, dll
 Anda hanya memiliki 2 orang pegawai yang untuk melayani pembeli di waktu-
waktu padat sudah terlihat kewalahan, sehingga sering anda sendiri yang ikut
membantu.
 Di jam-jam padat, banyak pelanggan yang sampai harus mengantri untuk
membayar—sementara mereka hanya membeli barang-barang kecil yang
sesungguhnya bisa dibeli di toko mana saja.
Dalam kondisi operasional seperti ini, apakah menerapkan sistim persediaan
perpetual masuk akal? Jelas tidak. Pegawai dan anda tidak akan sempat melakukan
aktivitas administrative (termasuk accounting) yang dperlukan untuk menerapkan
sistim perpetual. Salah-salah, pelanggan tidak jadi belanja—karena malas
menunggu proses.
Betul, kehadiran teknologi barcode dan infrared yang banyak digunakan di
bisnis retail sangat membantu proses input data penjualan. Alat yang sama
juga bisa digunakan dalam proses input data pembelian barang persediaan.
Jika memungkinkan untuk menggunakan teknologi ini, tentu, perusahaan
atau toko sekecil apapun bisa menerapkan sistim perpetual tanpa hambatan,
dan anda bisa melakukan pengawasan terhadap persediaan dengan lebih
baik.
303 Shares

241


24

11


27

 Apakah artikel ini membantu?


 

Anda mungkin juga menyukai