Anda di halaman 1dari 20

PARADIGMA BARU PEMBINAAN

TERITORIAL TNI/TNI-AD
DALAM MENUNJANG
KETAHANAN NASIONAL

1. PENGANTAR

Makalah ini diawali dengan mengetengahkan suatu permasalahan


kemanusiaan yang besar : kemiskinan. Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 1,4
milyar penduduk miskin dengan tolok ukur pendapatan 1.25 dolar A.S. per hari
(World Bank, Agustus 2008). Menghadapi kenyataan ini komunitas internasional
telah membuat kesepakatan dan menyatakan komitmennya (termasuk Indonesia)
yang dituangkan dalam Deklarasi Millenium tahun 2000 di New York. Tujuan
Deklarasi ini dijabarkan dalam naskah.

Millenium Development Goals(MDGS) yang salah satu butir tujuannya


adalah “menanggulangi kemisikinan dan kelaparan” yang harus dicapai pada tahun
2015. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi Millenium
tentu saja menyadari bahwa gejala kemiskinan merupkan salah satu permasalahan
besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun, sampai saat ini ternyata
berbagai program dan pendanaannya yang dilaksanakan secara lintas sektoral
/departemen / lembaga belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara
bermakna (Brodjonegoro, 2007).

Hal ini disebabkan oleh pendekatan penanggulangan kemiskinan yang tidak


terpadu, pola berpikir linier (linear thinking) pada para pengambil keputusan, ego
sektoral, dan program pengentasan kemisikinan yang menekankan pada bantuan
teknis dan kucuran dana serta tidak memberdayakan seluruh komponen bangsa.
Dengan mengangkat isu (issue) kemiskinan, makalah ini mencoba menjawab dua
tujuan Seminar Nasional tentang Disampaikan pada “Seminar Nasional tentang
Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter bersama Seluruh Komponen
Bangsa dalam rangka Mendukung Kepentingan Nasional” tanggal 26 Februari 2009
di Auditorium Widya Sabhan UNUD, Bali. Pemberdayaan Wilayah Pertahanan
melalui Binter (dalam hubungan dengan topik : Implementasi Pembinaan Teritorial
(Binter) Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Nasional), yakni:
a. Terwujudnya rumusan pokok-pokokpikiran tentang sinkronisasi
penyelenggaraan Binter TNI/TNI-AD dengan pemerintah dan komponen bangsa
lainnya dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional.
b. Terwujudnya konsepsi pemberdayaan wilayah pertahanan melalui Binter
dalam membantu pemerintah untuk menyiapkan potensi wilayah menjadi kekuatan
pertahanan.

2. KEMISKINAN SEBAGAI FAKTORPENENTU KETAHANAN NASIONAL

Jumlah penduduk miskin di Indonesia saatini 34,9 juta orang (Biro Pusat
Statistik, Maret 2008). Bila kita membandingkan gambaran jumlah penduduk miskin
tahun 2005 (35,10 juta) dan tahun 2006 (39,10 juta) (Susenas BPS, 2006 dalam
Brodjonegoro, 2007)dengan gambaran jumlah penduduk miskin tahun 2008,
memang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun, dampak krisis ekonomi
global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak juga terhadap
kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang semula diperkirakan
6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya
akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009). Demikian pula jumlah orang miskin
tahun2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan
meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara dengan 14,87% jumlah penduduk
Indonesia). Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009)
mengemukakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi akan
mengakibatkan pengangguran. Dalam perhitungannya setiap 1% pelambatan
ekonomi akan menyebabkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika ini
dikalikan dengan empat anggota keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak
ternafkahi yang berarti 1,2 juta orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari
2009).
Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci
menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan jumlah
penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total jumlah
penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk miskin di
pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total jumlah
penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase jumlah
penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan dalam kurun
waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke
perkotaan dengansegala permasalahannya,seperti menjamurnya pedagang kaki
lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api, serta meningkatnya
kriminalitas. Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala
permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan.
Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat, antara
lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari
kemiskinan. Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak
orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas. Demikian
pula prestasi sekolah anak-anak miskin secara keseluruhan lebih rendah dari anak-
anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di kemudian hari setelah
mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki posisi yang rendah di dunia
kerja.
Demikianlah siklus seperti ini terus berjalan, dengan akibat kemiskian
diturunkan dari generasi ke generasi. Barangkali dinamika kemiskinan yang
diturunkan dari generasi ke generasi ini berlaku juga di Indonesia. Kedua,
kemiskinan juga berdampak pada perumahan. Dibandingkan dengan warga-negara
Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin menempati rumah yang kurang layak
huni dalam ukuran Amerika. Baik pada musim dingin maupun musim panas, orang-
orang miskin tidakmampu membayar tagihan listrik untuk penggunaan alat pemanas
ruangan (heater) dan pendingin udara (air-con). Akibatnya, kondisi rumah yang tidak
mendukung kondisi fisik mereka ini adalah rendahnya tingkat kesehatan orang-
orang miskin. Masalah lain berkenaan dengan perumahan adalah banyaknya
penghuni dalam satu rumah (overcrowded) yang disebabkan oleh keterbatasan
pendapatan, sehingga untuk mengatasi sewa rumah yang mahal, beberapa keluarga
bergabung untuk menyewa rumah. Ketiga, Konsekuensi yang lain darikemiskinan
menurut Farley adalah ada sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal
(homelessness; di Indonesia : gelandangan). Mereka yang tidak memiliki rumah ini
tidur di taman, pinggir jalan, tenda, atau di tempat-tempatyang disediakan oleh
lembaga sosial/gereja. Penyebab dari gejala homelessness ini adalah
pengangguran, tidak memiliki keluarga yang menampung/merawat, dan
dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit. Yang ironis, menurutFarley
adalah beberapa pemerintahan kota mengeluarkan aturan yang melarang orang
tidur di taman kota dan tempat-tempat umum (di Indonesia hal sepertiini juga terjadi
berupa penggusuran penghuni liar yang tinggal dilahan pemerintah atau swasta, di
kolong jalan layang, dan di bantaran kali). Keempat, kemiskinan juga
berdampakterhadap kriminalitas. Penduduk miskin bisa menjadi korban kejahatan,
seperti diperas, dirampok, dan diperkosa karena umumnya mereka tidak cukup
mempunyai akses terhadap perlindungan wilayah pribadi. Statistik nasional
berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat itu menunjukkan bahwa korban
kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang miskin daripada orang yang
tergolong beruntung (advantage people).

Di sisi lain orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara
umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak
kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang
dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh
karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di
tempat umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan,
dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya
menurut Farley : “poverty breeds crime”.

Kelima, dampak kemiskinan terhadap kondisi mental. Farley


mengemukakan sejumlah hasil penelitian (Dohrenwend, 1972 : Warheit, Holzer, dan
Schwab, 1973) yang pada intinya menunjukkan bahwa orang-orang berpenghasilan
rendah atau miskin kurang merasa bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami
gangguan mental yang serius (depresi, skizoprenia, dan gangguan kepribadian).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Campbell, Converse, dan Rogers (1976) juga
menunjukkan rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di Amerika. Dengan
demikian, dapatdisimpulkan adanya hubungan yang erat antara kemiskinan dan
gangguan mental. Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kemiskinan
merupakan suatu siklus yang terus-menerus berjalan dari generasi ke generasi yang
penyebab utamanya adalah taraf pendidikan anak-anak orang miskin yang rendah.
Selain faktor pendidikan yang rendah, faktor mental orang miskin juga merupakan
siklus yang menyebabkan mereka terperangkap dalam kondisi kemiskinan dan sulit
bangkit ke kondisi yanglebih baik. Dengan kata lain, mereka terus-menerus berada
dalam lingkaran kemiskinan (cycle of poverty). tidak acuh atau tidak peduli terhadap
llingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam
deprivasi. Pelajaran apa yang kita peroleh (lesson learned) dari kondisi orang miskin
dengan keterbatasan akses ke berbagai layanan umum dan ketidak mampuan
mereka memotong lingkaran kemiskinan?.

Pertama, upaya mengentaskan kemiskinan tidaklah sesederhana seperti


yang kita pikirkan karena melibatkan berbagai pihak. Kemiskinan bukanlah suatu
fenomen yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan sejumlah lembaga pemerintah
dan swasta dalam penanggulangannya (lintas sektoral). Kemiskinan bukan menjadi
monopoli Departemen Sosial, atau Departemen Kesehatan, ataupun Departemen
Pendidikan dan seterusnya. Singkatnyapengentasan kemiskinan tidak hanya
menjadi tugas Pemerintah, melainkan menjadi tugas segenap komponen bangsa,
termasuk TNI/TNI-AD. “ Only with the assistance of local governments, NGOS,
community organizations, and the beneficiaries themselves will the National
Government have a high chance of success in meeting the challenge of poverty
alleviation over the coming years ...........NGOs, private sector, and communities hold
the potential for shifting the ride of resources and staffing in favor of the needs of the
unfortunate (World Bank, 1996 dalam Ortegas, 2000:8)”

Pelajaran kedua yang kita perolehadalah bahwa kelompok miskin


merupakan “kelompok rentan” yang sangat potensial untuk dilibatkan atau
dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Hal ini terbukti dari dilibatkannya mereka
dalam aksi massa, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk protes lainnya serta dalam proses
perekrutan pembentukan “pasukan khusus” suatu partai dan organisasi
kemasyarakatan. Bukti lainmengenai betapa rentannya kelompok masyarakat yang
tergolong miskin ini ditunjukkan juga oleh Malik (2003) pada saat
mengimplementasikan gerakan Bakubae pada konflik antar kelompok yang terjadi di
Maluku. Malik mengemukakanbahwa selain kondisi dan situasi di Maluku yang
sangat kondusif untuk terjadinya konflik antarkelompok, juga kondisi sosial-ekonomi
yang buruk (masyarakat miskin) memberi sumbangan yang besar terhadap
terjadinya konflik antarkelompok.

Keberhasilan Malaysia merekrut warga negara Indonesiadi daerah


perbatasan Indonesia-Malaysia untuk dijadikan pasukan Wataniah Malaysia
merupakan bukti lain lagi mengenai “menurunnya loyalitas” warga negara Indonesia
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk dimaklumi bahwa
warga negara Indonesia yang mendaftarkan diri dan berhasil direkrut oleh
Pemerintah Malaysia itu berasal dari sosial-ekonomi rendah Entikong, Kaltim. Pada
kasus penjarahan rame-rame hutan Ketapang juga terlibat warga masyarakat lokal
miskin dan berpendidikan rendah sebagai pelaku atau operator di lapangan, baik
sebagai penebang di hutan, buruh bongkar-muat, maupun pekerja di kilang-kilang.
(Tempo, April 2008). Maka masalah kemiskinan mempunyai saling keterkaitan
dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain,
gejala kemiskinan berdampak terhadap pelestarian lingkungan hidup (penebangan
hutan secara liar), ekonomi (melakukan penyelundupan), kebudayaan (penjualan
benda cagar-budaya), hubungan antar negara dan kedaulatan NKRI (menjadi
pasukan Wataniah Malaysia). Ini berarti, pada akhirnya gejala kemiskinan akan
mengakibatkan lemahnya ketahanan nasional (national resilience) dan bahkan
ancaman bagi keamanan nasional (national security).

3. CARA PANDANG KEMISKINAN

Berdasarkan uraian terdahlu dapat ditarik simpulan bahwa :

a. Kemiskinan di Indonesia berskala besar (± 35 juta penduduk miskin).


b. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan masalah lain, seperti
pendidikan, lingkungan hidup, ekonomi, kriminalitas, keamanan, pertahanan,
dan ketahanan nasional.
c. Oleh karenanya penanganan kemiskinan harus melibatkan segenap
komponen bangsa.
d. Menyadari kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia dan
penanggulangannya, maka dari para pemangku kepentingan (stake-holders)
masalah kemiskinan dituntut untuk

1) Menempatkan masalah kemiskinan dan penanganannya


dalam skala prioritas yang tinggi. Yang dimaksud dengan skala
prioritayang tinggi adalah adanya sense of urgencydan sense of
crisisdalam melihat masalah kemiskinan. Tanpa dilandasi oleh kesadaran
kegawatan masalah kemiskinan tidak mungkin penyelesaian masalah
kemiskinan memberikan hasil yang bermakna. Dalam hubungan ini perlu
diingatkan kembali bahwa Indonesia adalah salah satu negara
penandatangan Deklarasi Millenium dan dari kedelapan tujuan MDGS
yang di antaranya “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan” harus
dirampungkan pada tahun 2015.

2) Perubahan mindsetpara pengambil keputusan. Selama bertahun-tahun


para penentu kebijakan di Indonesia “terjebak” pada mindsetyang sektoral
sifatnya. Artinya berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa dan
Pemerintah Indonesia dibagi habis ke Departemen dan lembaga tertentu,
misalnya, BBM adalah ranah (domain) Pertamina, beras ranah Bulog,
Narkoba ranah Polri, perpajakan ranah Departemen Keuangan, bencana
alam ranah Departemen Sosial, pertahanan dan keamanan ranah
Departemen Pertahanan dan TNI, dan seterusnya. Sepintas
mindsetseperti ini wajar karena memang setiap lembaga Pemerintah
mempunyai tugas pokok dan fungsi serta tanggungjawabnya masing-
masing. Namun, dalam era globalisasi ancaman yang dihadapi oleh suatu
negara tidak lagi bersifat symmetry, melainkan asymmetry, sukar
diprediksi, berlangsung cepat dan bahkan mendadak, sehingga tidak
mungkin lagi ditangani dengan cara-cara tradisional, linear,dan sektoral
(Markum, 2008). Kenaikan harga BBM pada waktu yang lain tidak
mungkin hanya direspons oleh Pertamina, melainkan harus diikuti juga
oleh tindakan berbagai departemen pemerintah. Oleh karena kenaikan
harga BBM akan berdampak padaDepartemen Keuangan
(penyesuaiaAPBN), Polri (penimbunan, pengoplosan, dan penyelundupan
BBM), Departemen Pertanian (intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman
pohon jarak), Departemen Dalam Negeri, ABRI dan BIN (mewaspadai
gerakan separatisme) dan seterusnya. Singkatnya harus ada alignmentdi
antara departemen dan lembaga pemerintah (lihat Kaplan dan Norton,
2006), disamping perlunya ditanggalkan egoisme dan arogansi suatu unit
kerja, angkatan, profesi, dan perguruan tinggi apabila sungguh-sungguh
bertekad menyelesaikan masalah kemiskinan pada tahun 2015.

3) Berpikir lateral (lateral thinking).


Berpikir lateral dikemukakan oleh de Bono (1986) yang intinya adalah
melepaskan atau membebaskan diri dari pola pikir tradisional yang biasa
kita pergunakan. Dengan berpikir lateral kita justru bergerak ke
samping/lateral menjauhi pola berpikir linearuntuk memperoleh gagasan
yang lebih baik. Menurut de Bono, agar kita memperoleh gagasan baru,
bila perlu kita melakukan goncangan, mempermasalahkan, atau
menggugat gagasan lama, rutinitas, dan status quo. Upaya mengganggu
stabilitas status quoini oleh de Bono disebut provocation. Dengan
demikian, berpikir lateral akan mendukung proses perubahan
mindsetsebagaimana yang diuraikan di atas.

4) Kesediaan berbagi informasi.


Kesediaan berbagi informasi atau pengetahuan (information/knowledge
sharing) antar-lembaga secara timbal-balik merupakan prasyarat untuk
terjadinya sinergi. Dengan berbagi informasi ini bukan saja terjadi sinergi,
tetapi juga bisa menghasilkan kreasi baru atau terjadi inovasi. Sebaliknya,
ketidaksediaan berbagi informasi bukan saja tidak menghasilkan inovasi,
tetapi dapat juga menghasilkan kondisi status quo, ketertinggalan, bahkan
mungkin bencana. Keberhasilan atau sukses berbagai perusahaan
Jepang karena dikembangkan budaya perilaku berbagipengetahuan di
antarastaf perusahaan. Sebuah toko serba-ada dengan ukuran
menengah, misalnya, mewajibkan karyawannya untuk mencatat peristiwa
atau pengalamannya dengan pengunjung (mengapa harga barang
tertentu lebih mahal, barang tertentu sudah tiga hari tidak tersedia,
keluhan antri pembayaran di kasir yang panjang, dan lain-lain), untuk
dilaporkan kepada supervisoryang selanjutnya informasi ini akan
diteruskan dan diolah oleh knowledge management officer. Inilah yang
disebut sebagai tindakan routine-creativekarena dikerjakan secara rutin
atau teratur setiap hari, namun menghasilkan sesuatu yang baru.

4. PERAN TNI/TNI-AD

Sebelum mengemukakan pemikiran mengenai peran TNI/TNI-AD,


khususnya berkenaan dengan pokok pikiran sinkronisasi Binter TNI/TNI-AD dengan
pemerintah dan komponen bangsa lainnya, berikut dikemukakan beberapa kutipan
yang diambil dari ..... “Mengikuti Jejak Panglima Besar Soedirman”. “Tentara bukan
merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu “kasta” yang berdiri di
atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian
masyarakatyang mempunyai kewajiban tertentu”. (Amanat yang tertuang dalam
maklumat TKR, Yogyakarta, 1 Januari 1946) (Mengikuti Jejang Panglima Besar
Soedirman, hlm. 5). “Pada situasi kritis dan sulit yang terjadi pada tanggal 19
Desember 1948, yaitu sewaktu ribuan tentara payung Belanda diterjunkan dan
menyerang Yogyakarta secara mendadak, para pemimpin Republik memutuskan
untuk tetap tinggal di Yogyakarta, yang berarti mempunyai kemungkinan besar
ditawan oleh tentara Belanda. TetapiSoedirman membuat keputusan untuk tetap
bersamaprajurit dan rakyatmelanjutkan perjuangan dengan perang gerilya”.
(Mengikuti Jejak Panglima Besar Soedirman, hlm. 6-7). “Kejuangan yang telah
ditunjukkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman meliputi semangatpantang
menyerah, rela berkorban, patriotik dan kebersamaan dengan rakyat”. (Mengikuti
Jejak Panglima Besar Soedirman, hlm. 8). Kutipan di atas dimaksudkanuntuk
menunjukkan bahwa dalam sejarahnya TNI tidak dapat dipisahkan darirakyat. Hal ini
dipertegas lagi dalam Order Harian Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
kepada segenap anggota Angkatan Perang Republik Indonesia tanggal 4 Oktober
1949 (butir 2).
Empat tahun sudah kita menderita, kita berkorban. Dan dalam pada itu
Angkatan Perang maju dalam perjuangan Kemerdekaan, ditengah-tengah revolusi.
Karenanya Angkatan Perang adalah tentara nasional, tentara rakyat, tentara
revolusi. (Sardiman, 2008 : 249) Namun, dalam perkembangannya ternyata TNI/TNI-
AD pada masa Orde Baru tidak sejalan dengan ucapan Panglima Besar Soedirman :
“Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu.
Politik negara adalah politik tentara”. Ini berarti bahwa jauh sebelum Orde Baru lahir,
Panglima Besar Soedirman sudah mengingatkan bahwa tentara harus bersikap
netral. Kenyataan menunjukkan tentara atau militer justru menjadi kepanjangan
politik Orde Baru dan berpihak pada Partai Golkar. Selanjutnya, karena salah satu
bunyi trilogi pembangunan adalah “stabilitas”, maka makin mempertegas
keberadaan tentara sebagai alat pemerintah yang dalam menjalankan tugasnya
menggunakan pendekatan keamanan (security approach). Akibatnya tentara bukan
lagi tentara rakyat yang dicintai oleh rakyat. Oleh kareanya tidak berlebihan kiranya
apabila TNI/TNI-AD bermaksud menjalankan fungsi pembinaan territorial (Binter)
dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) akan
menghadapi sejumlah kendala, yakni :

a. Sumber internal TNI/TNI-AD :

1) Tidak cukup pengalaman dan kompetensi untuk menjalankan operasi


militerdalam masa damai (Military Operation Other than War). Perlu
dikemukakan bahwa memang dalam sejarah ABRI menunjukkan bahwa
ABRI pernah melakukan civic missiondan program ABRI masuk desa
(AMD). Namun, selain oleh kalangan ABRI sendiri dianggap hanya sebagai
“tugas sampingan” yang tidak meningkatkan reputasi ABRI, dibandingkan
dengan tugas tempur yang dilakukan oleh pasukan elit, juga program itu
tidak dikelola dengan baik (hit and run), sehingga tidak mampu membuat
rakyat mencintai tentaranya.

2) Kekhawatiran di dalam tubuh TNI/TNI-AD berkenaan dengan anggapan


masyarakat yang menuding TNI/TNI-AD akan kembali berpolitik praktis,
apabila menjalankan fungsi Binter.

b. Sumber eskternal
1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD menyangkut
kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui fungsi Binter.

2) Merosotnya kepercayan dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD


karena dominasi peran TNI/TNI-AD di masa Orde Baru.

3) Dianggap mengambilalih tugas pokok dan fungsi departemen dan


lembaga pemerintah yang sudah ada disebabkan oleh mindsetpara
pengambil keputusan yang tidak berubah, belum bisa berpikir lateral, dan
rendahnya kesediaan berbagi informasi atau pengetahuan. Sejauh ini
naskah ini belum menyentuh secara khusus bagaimana sinkronisasi
penyelenggaraan BinterTNI/TNI-AD dengan pemerintah dan komponen
bangsa lainnya.
Pertama, TNI/TNI-AD dalam berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan
bangsa harus memilih isu strategis yang berkenaan dengan pertahanan nasional
yang secara relatif tidak tersentuh oleh Departemen dan lembaga pemerintah serta
LSM. Dalam hubungan ini disarankanTNI/TNI-AD memprioritaskan tugas Binter di
wilayah perbatasan/terluar Indonesia dan daerah konflik dimana fungsi
pemerintahan tidak optimal, dalam hal pengentasan kemiskinan.

Kedua, TNI/TNI-AD harus mensosialisasikan secara menyakinkan kepada


berbagai pihak, khususnya DPR RI , bahwa tugas unit Binter TNI/TNI-AD saat ini
berbeda dengan tugas Binter di masa Orde Baru, yakni mengedepankan
pendekatan kesejahteraan daripada pendekatan keamanan. Tugas Binter yang
berorientasi pada kesejahteraan ini tidak perlu dikaitkan dengan politik praktis
karena militer AS yang bukan sebagai tentara rakyat juga melakukan tugas Binter
atau pengembangan masyarakat (Wilkinins, J : Columbus, Georgia: Civilian-military
relationships spawn economic development (1999) ; Thanner, M.H. : Military base
closure effects on a community : The case of Fort Ritchie Army Garrison and
Cascade, Maryland (2006) ; Chenault, J.C. : The Army’s community-based health
care initiative : an innovative military case management program (2006) dan lain-
lain).
Ketiga, memberikan pencerahan mengenai berbagaipengertian atau
peristilahan yang berkenaan dengan kelekatan warga-negara terhadap negara yang
berkonotasi sempit. Misalnya, perang, bela-negara, dan heroisme yang selama ini
mengaitkannya dengan medan perang menggunakanpersenjataan (pengertian
sempit), sebenarnya istilah-istilah tersebut dapat digunakan dalam konteks non-
militer, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan atau ketertinggalan ; pahlawan
devisa untuk para TKI dan kalau ada orang yang membonceng suatu upaya
kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, disebut pahlawan kesiangan. Dengan
demikian setiap warga-negara wajib menyatakan perang terhadap narkoba,
kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, termasuk pernyataan perang TNI/TNI-AD
terhadap berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Maka fungsi Binter TNI/TNI-AD
harus kembali menjadi tentara rakyat sesuai dengan order harian Panglima Besar
Soedirman tahun 1949.

Dengan kata lain, tugas Binter TNI/TNI-AD adalah sebagai agent of change
dengan berorientasi pendekatan kesejahteraan pada kantong kantong kemiskinan,
misal sebagai konsultan UKM Korem Bali beberapa tahun lalu. Implikasi
bergesernya fungsi Binter TNI/TNI-AD menjadi agen pembaharu (change agent)
tentu sangat bermakna bagi pengembangan TNI/TNI-AD, khususnya Binter di masa
depan karena terutama menyangkut perubahan mindsetTNI/TNI-AD dari operasi
tempur (destroy the enemy) ke operasi kemanusiaan (People Security) dan
Lingkungan Hidup (Environment). Dalam hubungan ini Binter TNI/TNI-AD dapat
berperan sebagaientreprenur sosial (social entrepreneur) yang meskipun dalam
beberapa hal memiliki karakteristik yang sama dengan business entrepreneur,
seperti selain ingin lebih baik, tidak cepat puas, dan segala hal menjadi
tanggungjawab pribadi, namun baik falsafah maupun implementasinya berbeda. Bila
para business entrepreneurtujuan utamanya mencari untung sebanyak-banyaknya,
sehingga modalnya berkembang secara akumulatif, maka para social
entrepreneurakan merasa puas apabila banyak anggota masyarakat yang makin
sejahtera.
Dengan demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneu radalah
keuntungan finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneu radalah
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal dan
peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya dari
Bangladesh. Khusus implikasi bagi internTNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran
fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan TNI/TNI-AD. Artinya, SDM TNI/TNI-
AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan tehnis
kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai agen
pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill, dan
pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan masyarakat
(community development).

Bila pemikiran pergeseran fungsi Binter TNI/TNI-AD ke Prosperity


Approachini dapat diterima, maka konsekuensinya akan sangat bermakna bagi
sistem pendidikan dan pelatihan TNI/TNI-AD. Implikasi yang juga penting adalah
berkenaan dengan alokasi anggaran karena satuan kesehatan atau satuan zeni,
misalnya, tidak hanya beroperasi tatkala ada bencana yang reaktif sifatnya, dan
hanya untuk kepentingan intern TNI/TNI-AD, tetapi harus merupakan operasi
kekaryaan dalam rangka social responsibilityTNI/TNI-AD menuju ke Pembangunan
yang Berkesinambungan (Sustainable Development). Demikian pula harus tersedia
anggaran untuk pelatihan anggota TNI/TNI-AD yang bertugas di wilayah perbatasan
dengan luar negeri dan daerah daerah konflik serta daerah terpencil, baik berkenaan
dengan kesejahteraannya, maupun kompetensi pemberdayaan masyarakat.

Demikianlah beberapa pokok pemikiran mengenai paradigma baru fungsi


Binter TNI/TNI-AD. Mudah-mudahan bermanfaat bagi TNI/TNI-AD khususnya
menyangkut kepercayaan (trust) dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD dalam
rangka memulihkan jatidiri dan citra TNI/TNI-AD
DAFTAR PUSTAKA
Bornstein, D. (2006). Mengubah dunia, kewirausahaan sosial dan kekuatan gagasan
baru, Yogyakarta : INSIST Press.
Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian MDGS dan prioritas pembangunan
ekonomi Indonesia. Depok : Panitia Lokakarya Dewan Guru Besar Universitas
Indonesia.
de Bono, E. (1986). Tactics the art and science of success. Great Britain :
Fontana/Collins.
Farley, J. E. (1987). American social problems : An institutional Analysis. New
Jersey : Printice Hall, Inc.
Kompas (13 Februari, 2009). Kemiskinan bertambah (hlm. 1 dan 15).
Malik, L, dkk (2003). Mematahkan kekerasan dengan semangat Bakubae. Jakarta :
Yappika.
Markum, M.E. & Dahlan, W. (2008). Upaya meningkatkan ketahanan nasional
melalui pemberdayaan masyarakat. Jakarta : Panitia Seminar Nasional
Menyiapkan Pertahanan Negara Melalui Pemberdayaan Wilayah Pertahanan.
Sardiman, A. M. (2008). Guru bangsa sebuah biografi Jenderal Soedirman.
Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Tempo, Edisi 14-20 April 2008. Jaringan “cincai” menjarah Ketapang.
Ortega, C. D. (2000). Poverty revisited. A socialpsychological approach to
community empowerment. Manila : Ateneo de Manila University Press.
PARADIGMA BARU PEMBINAAN
TERITORIAL TNI/TNI-AD
DALAM MENUNJANG
KETAHANAN NASIONAL

5. PENGANTAR

Makalah ini diawali dengan mengetengahkan suatu permasalahan


kemanusiaan yang besar : kemiskinan. Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 1,4
milyar penduduk miskin dengan tolok ukur pendapatan 1.25 dolar A.S. per hari
(World Bank, Agustus 2008). Menghadapi kenyataan ini komunitas internasional
telah membuat kesepakatan dan menyatakan komitmennya (termasuk Indonesia)
yang dituangkan dalam Deklarasi Millenium tahun 2000 di New York. Tujuan
Deklarasi ini dijabarkan dalam naskah.

Millenium Development Goals(MDGS) yang salah satu butir tujuannya


adalah “menanggulangi kemisikinan dan kelaparan” yang harus dicapai pada tahun
2015. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi Millenium
tentu saja menyadari bahwa gejala kemiskinan merupkan salah satu permasalahan
besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun, sampai saat ini ternyata
berbagai program dan pendanaannya yang dilaksanakan secara lintas sektoral
/departemen / lembaga belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara
bermakna (Brodjonegoro, 2007).

Hal ini disebabkan oleh pendekatan penanggulangan kemiskinan yang tidak


terpadu, pola berpikir linier (linear thinking) pada para pengambil keputusan, ego
sektoral, dan program pengentasan kemisikinan yang menekankan pada bantuan
teknis dan kucuran dana serta tidak memberdayakan seluruh komponen bangsa.
Dengan mengangkat isu (issue) kemiskinan, makalah ini mencoba menjawab dua
tujuan Seminar Nasional tentang Disampaikan pada “Seminar Nasional tentang
Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter bersama Seluruh Komponen
Bangsa dalam rangka Mendukung Kepentingan Nasional” tanggal 26 Februari 2009
di Auditorium Widya Sabhan UNUD, Bali. Pemberdayaan Wilayah Pertahanan
melalui Binter (dalam hubungan dengan topik : Implementasi Pembinaan Teritorial
(Binter) Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Nasional), yakni:
a. Terwujudnya rumusan pokok-pokokpikiran tentang sinkronisasi
penyelenggaraan Binter TNI/TNI-AD dengan pemerintah dan komponen bangsa
lainnya dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional.
b. Terwujudnya konsepsi pemberdayaan wilayah pertahanan melalui Binter
dalam membantu pemerintah untuk menyiapkan potensi wilayah menjadi kekuatan
pertahanan.

6. KEMISKINAN SEBAGAI FAKTORPENENTU KETAHANAN NASIONAL

Jumlah penduduk miskin di Indonesia saatini 34,9 juta orang (Biro Pusat
Statistik, Maret 2008). Bila kita membandingkan gambaran jumlah penduduk miskin
tahun 2005 (35,10 juta) dan tahun 2006 (39,10 juta) (Susenas BPS, 2006 dalam
Brodjonegoro, 2007)dengan gambaran jumlah penduduk miskin tahun 2008,
memang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun, dampak krisis ekonomi
global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak juga terhadap
kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang semula diperkirakan
6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya
akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009). Demikian pula jumlah orang miskin
tahun2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan
meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara dengan 14,87% jumlah penduduk
Indonesia). Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009)
mengemukakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi akan
mengakibatkan pengangguran. Dalam perhitungannya setiap 1% pelambatan
ekonomi akan menyebabkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika ini
dikalikan dengan empat anggota keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak
ternafkahi yang berarti 1,2 juta orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari
2009).
Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci
menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan jumlah
penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total jumlah
penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk miskin di
pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total jumlah
penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase jumlah
penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan dalam kurun
waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke
perkotaan dengansegala permasalahannya,seperti menjamurnya pedagang kaki
lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api, serta meningkatnya
kriminalitas. Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala
permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan.
Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat, antara
lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari
kemiskinan. Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak
orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas. Demikian
pula prestasi sekolah anak-anak miskin secara keseluruhan lebih rendah dari anak-
anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di kemudian hari setelah
mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki posisi yang rendah di dunia
kerja.
Demikianlah siklus seperti ini terus berjalan, dengan akibat kemiskian
diturunkan dari generasi ke generasi. Barangkali dinamika kemiskinan yang
diturunkan dari generasi ke generasi ini berlaku juga di Indonesia. Kedua,
kemiskinan juga berdampak pada perumahan. Dibandingkan dengan warga-negara
Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin menempati rumah yang kurang layak
huni dalam ukuran Amerika. Baik pada musim dingin maupun musim panas, orang-
orang miskin tidakmampu membayar tagihan listrik untuk penggunaan alat pemanas
ruangan (heater) dan pendingin udara (air-con). Akibatnya, kondisi rumah yang tidak
mendukung kondisi fisik mereka ini adalah rendahnya tingkat kesehatan orang-
orang miskin. Masalah lain berkenaan dengan perumahan adalah banyaknya
penghuni dalam satu rumah (overcrowded) yang disebabkan oleh keterbatasan
pendapatan, sehingga untuk mengatasi sewa rumah yang mahal, beberapa keluarga
bergabung untuk menyewa rumah. Ketiga, Konsekuensi yang lain darikemiskinan
menurut Farley adalah ada sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal
(homelessness; di Indonesia : gelandangan). Mereka yang tidak memiliki rumah ini
tidur di taman, pinggir jalan, tenda, atau di tempat-tempatyang disediakan oleh
lembaga sosial/gereja. Penyebab dari gejala homelessness ini adalah
pengangguran, tidak memiliki keluarga yang menampung/merawat, dan
dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit. Yang ironis, menurutFarley
adalah beberapa pemerintahan kota mengeluarkan aturan yang melarang orang
tidur di taman kota dan tempat-tempat umum (di Indonesia hal sepertiini juga terjadi
berupa penggusuran penghuni liar yang tinggal dilahan pemerintah atau swasta, di
kolong jalan layang, dan di bantaran kali). Keempat, kemiskinan juga
berdampakterhadap kriminalitas. Penduduk miskin bisa menjadi korban kejahatan,
seperti diperas, dirampok, dan diperkosa karena umumnya mereka tidak cukup
mempunyai akses terhadap perlindungan wilayah pribadi. Statistik nasional
berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat itu menunjukkan bahwa korban
kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang miskin daripada orang yang
tergolong beruntung (advantage people).

Di sisi lain orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara
umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak
kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang
dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh
karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di
tempat umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan,
dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya
menurut Farley : “poverty breeds crime”.

Kelima, dampak kemiskinan terhadap kondisi mental. Farley


mengemukakan sejumlah hasil penelitian (Dohrenwend, 1972 : Warheit, Holzer, dan
Schwab, 1973) yang pada intinya menunjukkan bahwa orang-orang berpenghasilan
rendah atau miskin kurang merasa bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami
gangguan mental yang serius (depresi, skizoprenia, dan gangguan kepribadian).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Campbell, Converse, dan Rogers (1976) juga
menunjukkan rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di Amerika. Dengan
demikian, dapatdisimpulkan adanya hubungan yang erat antara kemiskinan dan
gangguan mental. Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kemiskinan
merupakan suatu siklus yang terus-menerus berjalan dari generasi ke generasi yang
penyebab utamanya adalah taraf pendidikan anak-anak orang miskin yang rendah.
Selain faktor pendidikan yang rendah, faktor mental orang miskin juga merupakan
siklus yang menyebabkan mereka terperangkap dalam kondisi kemiskinan dan sulit
bangkit ke kondisi yanglebih baik. Dengan kata lain, mereka terus-menerus berada
dalam lingkaran kemiskinan (cycle of poverty). tidak acuh atau tidak peduli terhadap
llingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam
deprivasi. Pelajaran apa yang kita peroleh (lesson learned) dari kondisi orang miskin
dengan keterbatasan akses ke berbagai layanan umum dan ketidak mampuan
mereka memotong lingkaran kemiskinan?.

Pertama, upaya mengentaskan kemiskinan tidaklah sesederhana seperti


yang kita pikirkan karena melibatkan berbagai pihak. Kemiskinan bukanlah suatu
fenomen yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan sejumlah lembaga pemerintah
dan swasta dalam penanggulangannya (lintas sektoral). Kemiskinan bukan menjadi
monopoli Departemen Sosial, atau Departemen Kesehatan, ataupun Departemen
Pendidikan dan seterusnya. Singkatnyapengentasan kemiskinan tidak hanya
menjadi tugas Pemerintah, melainkan menjadi tugas segenap komponen bangsa,
termasuk TNI/TNI-AD. “ Only with the assistance of local governments, NGOS,
community organizations, and the beneficiaries themselves will the National
Government have a high chance of success in meeting the challenge of poverty
alleviation over the coming years ...........NGOs, private sector, and communities hold
the potential for shifting the ride of resources and staffing in favor of the needs of the
unfortunate (World Bank, 1996 dalam Ortegas, 2000:8)”

Pelajaran kedua yang kita perolehadalah bahwa kelompok miskin


merupakan “kelompok rentan” yang sangat potensial untuk dilibatkan atau
dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Hal ini terbukti dari dilibatkannya mereka
dalam aksi massa, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk protes lainnya serta dalam proses
perekrutan pembentukan “pasukan khusus” suatu partai dan organisasi
kemasyarakatan. Bukti lainmengenai betapa rentannya kelompok masyarakat yang
tergolong miskin ini ditunjukkan juga oleh Malik (2003) pada saat
mengimplementasikan gerakan Bakubae pada konflik antar kelompok yang terjadi di
Maluku. Malik mengemukakanbahwa selain kondisi dan situasi di Maluku yang
sangat kondusif untuk terjadinya konflik antarkelompok, juga kondisi sosial-ekonomi
yang buruk (masyarakat miskin) memberi sumbangan yang besar terhadap
terjadinya konflik antarkelompok.

Keberhasilan Malaysia merekrut warga negara Indonesiadi daerah


perbatasan Indonesia-Malaysia untuk dijadikan pasukan Wataniah Malaysia
merupakan bukti lain lagi mengenai “menurunnya loyalitas” warga negara Indonesia
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk dimaklumi bahwa
warga negara Indonesia yang mendaftarkan diri dan berhasil direkrut oleh
Pemerintah Malaysia itu berasal dari sosial-ekonomi rendah Entikong, Kaltim. Pada
kasus penjarahan rame-rame hutan Ketapang juga terlibat warga masyarakat lokal
miskin dan berpendidikan rendah sebagai pelaku atau operator di lapangan, baik
sebagai penebang di hutan, buruh bongkar-muat, maupun pekerja di kilang-kilang.
(Tempo, April 2008). Maka masalah kemiskinan mempunyai saling keterkaitan
dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain,
gejala kemiskinan berdampak terhadap pelestarian lingkungan hidup (penebangan
hutan secara liar), ekonomi (melakukan penyelundupan), kebudayaan (penjualan
benda cagar-budaya), hubungan antar negara dan kedaulatan NKRI (menjadi
pasukan Wataniah Malaysia). Ini berarti, pada akhirnya gejala kemiskinan akan
mengakibatkan lemahnya ketahanan nasional (national resilience) dan bahkan
ancaman bagi keamanan nasional (national security).

7. CARA PANDANG KEMISKINAN

Berdasarkan uraian terdahlu dapat ditarik simpulan bahwa :

a. Kemiskinan di Indonesia berskala besar (± 35 juta penduduk miskin).


b. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan masalah lain, seperti
pendidikan, lingkungan hidup, ekonomi, kriminalitas, keamanan, pertahanan,
dan ketahanan nasional.
c. Oleh karenanya penanganan kemiskinan harus melibatkan segenap
komponen bangsa.
d. Menyadari kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia dan
penanggulangannya, maka dari para pemangku kepentingan (stake-holders)
masalah kemiskinan dituntut untuk

1) Menempatkan masalah kemiskinan dan penanganannya


dalam skala prioritas yang tinggi. Yang dimaksud dengan skala
prioritayang tinggi adalah adanya sense of urgencydan sense of
crisisdalam melihat masalah kemiskinan. Tanpa dilandasi oleh kesadaran
kegawatan masalah kemiskinan tidak mungkin penyelesaian masalah
kemiskinan memberikan hasil yang bermakna. Dalam hubungan ini perlu
diingatkan kembali bahwa Indonesia adalah salah satu negara
penandatangan Deklarasi Millenium dan dari kedelapan tujuan MDGS
yang di antaranya “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan” harus
dirampungkan pada tahun 2015.

2) Perubahan mindsetpara pengambil keputusan. Selama bertahun-tahun


para penentu kebijakan di Indonesia “terjebak” pada mindsetyang sektoral
sifatnya. Artinya berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa dan
Pemerintah Indonesia dibagi habis ke Departemen dan lembaga tertentu,
misalnya, BBM adalah ranah (domain) Pertamina, beras ranah Bulog,
Narkoba ranah Polri, perpajakan ranah Departemen Keuangan, bencana
alam ranah Departemen Sosial, pertahanan dan keamanan ranah
Departemen Pertahanan dan TNI, dan seterusnya. Sepintas
mindsetseperti ini wajar karena memang setiap lembaga Pemerintah
mempunyai tugas pokok dan fungsi serta tanggungjawabnya masing-
masing. Namun, dalam era globalisasi ancaman yang dihadapi oleh suatu
negara tidak lagi bersifat symmetry, melainkan asymmetry, sukar
diprediksi, berlangsung cepat dan bahkan mendadak, sehingga tidak
mungkin lagi ditangani dengan cara-cara tradisional, linear,dan sektoral
(Markum, 2008). Kenaikan harga BBM pada waktu yang lain tidak
mungkin hanya direspons oleh Pertamina, melainkan harus diikuti juga
oleh tindakan berbagai departemen pemerintah. Oleh karena kenaikan
harga BBM akan berdampak padaDepartemen Keuangan
(penyesuaiaAPBN), Polri (penimbunan, pengoplosan, dan penyelundupan
BBM), Departemen Pertanian (intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman
pohon jarak), Departemen Dalam Negeri, ABRI dan BIN (mewaspadai
gerakan separatisme) dan seterusnya. Singkatnya harus ada alignmentdi
antara departemen dan lembaga pemerintah (lihat Kaplan dan Norton,
2006), disamping perlunya ditanggalkan egoisme dan arogansi suatu unit
kerja, angkatan, profesi, dan perguruan tinggi apabila sungguh-sungguh
bertekad menyelesaikan masalah kemiskinan pada tahun 2015.

3) Berpikir lateral (lateral thinking).


Berpikir lateral dikemukakan oleh de Bono (1986) yang intinya adalah
melepaskan atau membebaskan diri dari pola pikir tradisional yang biasa
kita pergunakan. Dengan berpikir lateral kita justru bergerak ke
samping/lateral menjauhi pola berpikir linearuntuk memperoleh gagasan
yang lebih baik. Menurut de Bono, agar kita memperoleh gagasan baru,
bila perlu kita melakukan goncangan, mempermasalahkan, atau
menggugat gagasan lama, rutinitas, dan status quo. Upaya mengganggu
stabilitas status quoini oleh de Bono disebut provocation. Dengan
demikian, berpikir lateral akan mendukung proses perubahan
mindsetsebagaimana yang diuraikan di atas.

4) Kesediaan berbagi informasi.


Kesediaan berbagi informasi atau pengetahuan (information/knowledge
sharing) antar-lembaga secara timbal-balik merupakan prasyarat untuk
terjadinya sinergi. Dengan berbagi informasi ini bukan saja terjadi sinergi,
tetapi juga bisa menghasilkan kreasi baru atau terjadi inovasi. Sebaliknya,
ketidaksediaan berbagi informasi bukan saja tidak menghasilkan inovasi,
tetapi dapat juga menghasilkan kondisi status quo, ketertinggalan, bahkan
mungkin bencana. Keberhasilan atau sukses berbagai perusahaan
Jepang karena dikembangkan budaya perilaku berbagipengetahuan di
antarastaf perusahaan. Sebuah toko serba-ada dengan ukuran
menengah, misalnya, mewajibkan karyawannya untuk mencatat peristiwa
atau pengalamannya dengan pengunjung (mengapa harga barang
tertentu lebih mahal, barang tertentu sudah tiga hari tidak tersedia,
keluhan antri pembayaran di kasir yang panjang, dan lain-lain), untuk
dilaporkan kepada supervisoryang selanjutnya informasi ini akan
diteruskan dan diolah oleh knowledge management officer. Inilah yang
disebut sebagai tindakan routine-creativekarena dikerjakan secara rutin
atau teratur setiap hari, namun menghasilkan sesuatu yang baru.
i
8. PERAN TNI/TNI-AD

Sebelum mengemukakan pemikiran mengenai peran TNI/TNI-AD,


khususnya berkenaan dengan pokok pikiran sinkronisasi Binter TNI/TNI-AD dengan
pemerintah dan komponen bangsa lainnya, berikut dikemukakan beberapa kutipan
yang diambil dari ..... “Mengikuti Jejak Panglima Besar Soedirman”. “Tentara bukan
merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu “kasta” yang berdiri di
atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian
masyarakatyang mempunyai kewajiban tertentu”. (Amanat yang tertuang dalam
maklumat TKR, Yogyakarta, 1 Januari 1946) (Mengikuti Jejang Panglima Besar
Soedirman, hlm. 5). “Pada situasi kritis dan sulit yang terjadi pada tanggal 19
Desember 1948, yaitu sewaktu ribuan tentara payung Belanda diterjunkan dan
menyerang Yogyakarta secara mendadak, para pemimpin Republik memutuskan
untuk tetap tinggal di Yogyakarta, yang berarti mempunyai kemungkinan besar
ditawan oleh tentara Belanda. TetapiSoedirman membuat keputusan untuk tetap
bersamaprajurit dan rakyatmelanjutkan perjuangan dengan perang gerilya”.
(Mengikuti Jejak Panglima Besar Soedirman, hlm. 6-7). “Kejuangan yang telah
ditunjukkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman meliputi semangatpantang
menyerah, rela berkorban, patriotik dan kebersamaan dengan rakyat”. (Mengikuti
Jejak Panglima Besar Soedirman, hlm. 8). Kutipan di atas dimaksudkanuntuk
menunjukkan bahwa dalam sejarahnya TNI tidak dapat dipisahkan darirakyat. Hal ini
dipertegas lagi dalam Order Harian Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
kepada segenap anggota Angkatan Perang Republik Indonesia tanggal 4 Oktober
1949 (butir 2).
Empat tahun sudah kita menderita, kita berkorban. Dan dalam pada itu
Angkatan Perang maju dalam perjuangan Kemerdekaan, ditengah-tengah revolusi.
Karenanya Angkatan Perang adalah tentara nasional, tentara rakyat, tentara
revolusi. (Sardiman, 2008 : 249) Namun, dalam perkembangannya ternyata TNI/TNI-
AD pada masa Orde Baru tidak sejalan dengan ucapan Panglima Besar Soedirman :
“Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu.
Politik negara adalah politik tentara”. Ini berarti bahwa jauh sebelum Orde Baru lahir,
Panglima Besar Soedirman sudah mengingatkan bahwa tentara harus bersikap
netral. Kenyataan menunjukkan tentara atau militer justru menjadi kepanjangan
politik Orde Baru dan berpihak pada Partai Golkar. Selanjutnya, karena salah satu
bunyi trilogi pembangunan adalah “stabilitas”, maka makin mempertegas
keberadaan tentara sebagai alat pemerintah yang dalam menjalankan tugasnya
menggunakan pendekatan keamanan (security approach). Akibatnya tentara bukan
lagi tentara rakyat yang dicintai oleh rakyat. Oleh kareanya tidak berlebihan kiranya
apabila TNI/TNI-AD bermaksud menjalankan fungsi pembinaan territorial (Binter)
dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) akan
menghadapi sejumlah kendala, yakni :

b. Sumber internal TNI/TNI-AD :

1) Tidak cukup pengalaman dan kompetensi untuk menjalankan operasi


militerdalam masa damai (Military Operation Other than War). Perlu
dikemukakan bahwa memang dalam sejarah ABRI menunjukkan bahwa
ABRI pernah melakukan civic missiondan program ABRI masuk desa
(AMD). Namun, selain oleh kalangan ABRI sendiri dianggap hanya sebagai
“tugas sampingan” yang tidak meningkatkan reputasi ABRI, dibandingkan
dengan tugas tempur yang dilakukan oleh pasukan elit, juga program itu
tidak dikelola dengan baik (hit and run), sehingga tidak mampu membuat
rakyat mencintai tentaranya.

2) Kekhawatiran di dalam tubuh TNI/TNI-AD berkenaan dengan anggapan


masyarakat yang menuding TNI/TNI-AD akan kembali berpolitik praktis,
apabila menjalankan fungsi Binter.

b. Sumber eskternal
1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD menyangkut
kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui fungsi Binter.

2) Merosotnya kepercayan dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD


karena dominasi peran TNI/TNI-AD di masa Orde Baru.

3) Dianggap mengambilalih tugas pokok dan fungsi departemen dan


lembaga pemerintah yang sudah ada disebabkan oleh mindsetpara
pengambil keputusan yang tidak berubah, belum bisa berpikir lateral, dan
rendahnya kesediaan berbagi informasi atau pengetahuan. Sejauh ini
naskah ini belum menyentuh secara khusus bagaimana sinkronisasi
penyelenggaraan BinterTNI/TNI-AD dengan pemerintah dan komponen
bangsa lainnya.
Pertama, TNI/TNI-AD dalam berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan
bangsa harus memilih isu strategis yang berkenaan dengan pertahanan nasional
yang secara relatif tidak tersentuh oleh Departemen dan lembaga pemerintah serta
LSM. Dalam hubungan ini disarankanTNI/TNI-AD memprioritaskan tugas Binter di
wilayah perbatasan/terluar Indonesia dan daerah konflik dimana fungsi
pemerintahan tidak optimal, dalam hal pengentasan kemiskinan.

Kedua, TNI/TNI-AD harus mensosialisasikan secara menyakinkan kepada


berbagai pihak, khususnya DPR RI , bahwa tugas unit Binter TNI/TNI-AD saat ini
berbeda dengan tugas Binter di masa Orde Baru, yakni mengedepankan
pendekatan kesejahteraan daripada pendekatan keamanan. Tugas Binter yang
berorientasi pada kesejahteraan ini tidak perlu dikaitkan dengan politik praktis
karena militer AS yang bukan sebagai tentara rakyat juga melakukan tugas Binter
atau pengembangan masyarakat (Wilkinins, J : Columbus, Georgia: Civilian-military
relationships spawn economic development (1999) ; Thanner, M.H. : Military base
closure effects on a community : The case of Fort Ritchie Army Garrison and
Cascade, Maryland (2006) ; Chenault, J.C. : The Army’s community-based health
care initiative : an innovative military case management program (2006) dan lain-
lain).
Ketiga, memberikan pencerahan mengenai berbagaipengertian atau
peristilahan yang berkenaan dengan kelekatan warga-negara terhadap negara yang
berkonotasi sempit. Misalnya, perang, bela-negara, dan heroisme yang selama ini
mengaitkannya dengan medan perang menggunakanpersenjataan (pengertian
sempit), sebenarnya istilah-istilah tersebut dapat digunakan dalam konteks non-
militer, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan atau ketertinggalan ; pahlawan
devisa untuk para TKI dan kalau ada orang yang membonceng suatu upaya
kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, disebut pahlawan kesiangan. Dengan
demikian setiap warga-negara wajib menyatakan perang terhadap narkoba,
kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, termasuk pernyataan perang TNI/TNI-AD
terhadap berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Maka fungsi Binter TNI/TNI-AD
harus kembali menjadi tentara rakyat sesuai dengan order harian Panglima Besar
Soedirman tahun 1949.

Dengan kata lain, tugas Binter TNI/TNI-AD adalah sebagai agent of change
dengan berorientasi pendekatan kesejahteraan pada kantong kantong kemiskinan,
misal sebagai konsultan UKM Korem Bali beberapa tahun lalu. Implikasi
bergesernya fungsi Binter TNI/TNI-AD menjadi agen pembaharu (change agent)
tentu sangat bermakna bagi pengembangan TNI/TNI-AD, khususnya Binter di masa
depan karena terutama menyangkut perubahan mindsetTNI/TNI-AD dari operasi
tempur (destroy the enemy) ke operasi kemanusiaan (People Security) dan
Lingkungan Hidup (Environment). Dalam hubungan ini Binter TNI/TNI-AD dapat
berperan sebagaientreprenur sosial (social entrepreneur) yang meskipun dalam
beberapa hal memiliki karakteristik yang sama dengan business entrepreneur,
seperti selain ingin lebih baik, tidak cepat puas, dan segala hal menjadi
tanggungjawab pribadi, namun baik falsafah maupun implementasinya berbeda. Bila
para business entrepreneurtujuan utamanya mencari untung sebanyak-banyaknya,
sehingga modalnya berkembang secara akumulatif, maka para social
entrepreneurakan merasa puas apabila banyak anggota masyarakat yang makin
sejahtera.
Dengan demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneu radalah
keuntungan finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneu radalah
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal dan
peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya dari
Bangladesh. Khusus implikasi bagi internTNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran
fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan TNI/TNI-AD. Artinya, SDM TNI/TNI-
AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan tehnis
kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai agen
pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill, dan
pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan masyarakat
(community development).

Bila pemikiran pergeseran fungsi Binter TNI/TNI-AD ke Prosperity


Approachini dapat diterima, maka konsekuensinya akan sangat bermakna bagi
sistem pendidikan dan pelatihan TNI/TNI-AD. Implikasi yang juga penting adalah
berkenaan dengan alokasi anggaran karena satuan kesehatan atau satuan zeni,
misalnya, tidak hanya beroperasi tatkala ada bencana yang reaktif sifatnya, dan
hanya untuk kepentingan intern TNI/TNI-AD, tetapi harus merupakan operasi
kekaryaan dalam rangka social responsibilityTNI/TNI-AD menuju ke Pembangunan
yang Berkesinambungan (Sustainable Development). Demikian pula harus tersedia
anggaran untuk pelatihan anggota TNI/TNI-AD yang bertugas di wilayah perbatasan
dengan luar negeri dan daerah daerah konflik serta daerah terpencil, baik berkenaan
dengan kesejahteraannya, maupun kompetensi pemberdayaan masyarakat.

Demikianlah beberapa pokok pemikiran mengenai paradigma baru fungsi


Binter TNI/TNI-AD. Mudah-mudahan bermanfaat bagi TNI/TNI-AD khususnya
menyangkut kepercayaan (trust) dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD dalam
rangka memulihkan jatidiri dan citra TNI/TNI-AD
DAFTAR PUSTAKA
Bornstein, D. (2006). Mengubah dunia, kewirausahaan sosial dan kekuatan gagasan
baru, Yogyakarta : INSIST Press.
Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian MDGS dan prioritas pembangunan
ekonomi Indonesia. Depok : Panitia Lokakarya Dewan Guru Besar Universitas
Indonesia.
de Bono, E. (1986). Tactics the art and science of success. Great Britain :
Fontana/Collins.
Farley, J. E. (1987). American social problems : An institutional Analysis. New
Jersey : Printice Hall, Inc.
Kompas (13 Februari, 2009). Kemiskinan bertambah (hlm. 1 dan 15).
Malik, L, dkk (2003). Mematahkan kekerasan dengan semangat Bakubae. Jakarta :
Yappika.
Markum, M.E. & Dahlan, W. (2008). Upaya meningkatkan ketahanan nasional
melalui pemberdayaan masyarakat. Jakarta : Panitia Seminar Nasional
Menyiapkan Pertahanan Negara Melalui Pemberdayaan Wilayah Pertahanan.
Sardiman, A. M. (2008). Guru bangsa sebuah biografi Jenderal Soedirman.
Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Tempo, Edisi 14-20 April 2008. Jaringan “cincai” menjarah Ketapang.
Ortega, C. D. (2000). Poverty revisited. A socialpsychological approach to
community empowerment. Manila : Ateneo de Manila University Press.

Anda mungkin juga menyukai