TERITORIAL TNI/TNI-AD
DALAM MENUNJANG
KETAHANAN NASIONAL
1. PENGANTAR
Jumlah penduduk miskin di Indonesia saatini 34,9 juta orang (Biro Pusat
Statistik, Maret 2008). Bila kita membandingkan gambaran jumlah penduduk miskin
tahun 2005 (35,10 juta) dan tahun 2006 (39,10 juta) (Susenas BPS, 2006 dalam
Brodjonegoro, 2007)dengan gambaran jumlah penduduk miskin tahun 2008,
memang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun, dampak krisis ekonomi
global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak juga terhadap
kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang semula diperkirakan
6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya
akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009). Demikian pula jumlah orang miskin
tahun2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan
meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara dengan 14,87% jumlah penduduk
Indonesia). Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009)
mengemukakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi akan
mengakibatkan pengangguran. Dalam perhitungannya setiap 1% pelambatan
ekonomi akan menyebabkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika ini
dikalikan dengan empat anggota keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak
ternafkahi yang berarti 1,2 juta orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari
2009).
Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci
menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan jumlah
penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total jumlah
penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk miskin di
pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total jumlah
penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase jumlah
penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan dalam kurun
waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke
perkotaan dengansegala permasalahannya,seperti menjamurnya pedagang kaki
lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api, serta meningkatnya
kriminalitas. Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala
permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan.
Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat, antara
lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari
kemiskinan. Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak
orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas. Demikian
pula prestasi sekolah anak-anak miskin secara keseluruhan lebih rendah dari anak-
anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di kemudian hari setelah
mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki posisi yang rendah di dunia
kerja.
Demikianlah siklus seperti ini terus berjalan, dengan akibat kemiskian
diturunkan dari generasi ke generasi. Barangkali dinamika kemiskinan yang
diturunkan dari generasi ke generasi ini berlaku juga di Indonesia. Kedua,
kemiskinan juga berdampak pada perumahan. Dibandingkan dengan warga-negara
Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin menempati rumah yang kurang layak
huni dalam ukuran Amerika. Baik pada musim dingin maupun musim panas, orang-
orang miskin tidakmampu membayar tagihan listrik untuk penggunaan alat pemanas
ruangan (heater) dan pendingin udara (air-con). Akibatnya, kondisi rumah yang tidak
mendukung kondisi fisik mereka ini adalah rendahnya tingkat kesehatan orang-
orang miskin. Masalah lain berkenaan dengan perumahan adalah banyaknya
penghuni dalam satu rumah (overcrowded) yang disebabkan oleh keterbatasan
pendapatan, sehingga untuk mengatasi sewa rumah yang mahal, beberapa keluarga
bergabung untuk menyewa rumah. Ketiga, Konsekuensi yang lain darikemiskinan
menurut Farley adalah ada sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal
(homelessness; di Indonesia : gelandangan). Mereka yang tidak memiliki rumah ini
tidur di taman, pinggir jalan, tenda, atau di tempat-tempatyang disediakan oleh
lembaga sosial/gereja. Penyebab dari gejala homelessness ini adalah
pengangguran, tidak memiliki keluarga yang menampung/merawat, dan
dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit. Yang ironis, menurutFarley
adalah beberapa pemerintahan kota mengeluarkan aturan yang melarang orang
tidur di taman kota dan tempat-tempat umum (di Indonesia hal sepertiini juga terjadi
berupa penggusuran penghuni liar yang tinggal dilahan pemerintah atau swasta, di
kolong jalan layang, dan di bantaran kali). Keempat, kemiskinan juga
berdampakterhadap kriminalitas. Penduduk miskin bisa menjadi korban kejahatan,
seperti diperas, dirampok, dan diperkosa karena umumnya mereka tidak cukup
mempunyai akses terhadap perlindungan wilayah pribadi. Statistik nasional
berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat itu menunjukkan bahwa korban
kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang miskin daripada orang yang
tergolong beruntung (advantage people).
Di sisi lain orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara
umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak
kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang
dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh
karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di
tempat umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan,
dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya
menurut Farley : “poverty breeds crime”.
4. PERAN TNI/TNI-AD
b. Sumber eskternal
1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD menyangkut
kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui fungsi Binter.
Dengan kata lain, tugas Binter TNI/TNI-AD adalah sebagai agent of change
dengan berorientasi pendekatan kesejahteraan pada kantong kantong kemiskinan,
misal sebagai konsultan UKM Korem Bali beberapa tahun lalu. Implikasi
bergesernya fungsi Binter TNI/TNI-AD menjadi agen pembaharu (change agent)
tentu sangat bermakna bagi pengembangan TNI/TNI-AD, khususnya Binter di masa
depan karena terutama menyangkut perubahan mindsetTNI/TNI-AD dari operasi
tempur (destroy the enemy) ke operasi kemanusiaan (People Security) dan
Lingkungan Hidup (Environment). Dalam hubungan ini Binter TNI/TNI-AD dapat
berperan sebagaientreprenur sosial (social entrepreneur) yang meskipun dalam
beberapa hal memiliki karakteristik yang sama dengan business entrepreneur,
seperti selain ingin lebih baik, tidak cepat puas, dan segala hal menjadi
tanggungjawab pribadi, namun baik falsafah maupun implementasinya berbeda. Bila
para business entrepreneurtujuan utamanya mencari untung sebanyak-banyaknya,
sehingga modalnya berkembang secara akumulatif, maka para social
entrepreneurakan merasa puas apabila banyak anggota masyarakat yang makin
sejahtera.
Dengan demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneu radalah
keuntungan finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneu radalah
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal dan
peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya dari
Bangladesh. Khusus implikasi bagi internTNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran
fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan TNI/TNI-AD. Artinya, SDM TNI/TNI-
AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan tehnis
kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai agen
pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill, dan
pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan masyarakat
(community development).
5. PENGANTAR
Jumlah penduduk miskin di Indonesia saatini 34,9 juta orang (Biro Pusat
Statistik, Maret 2008). Bila kita membandingkan gambaran jumlah penduduk miskin
tahun 2005 (35,10 juta) dan tahun 2006 (39,10 juta) (Susenas BPS, 2006 dalam
Brodjonegoro, 2007)dengan gambaran jumlah penduduk miskin tahun 2008,
memang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun, dampak krisis ekonomi
global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak juga terhadap
kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang semula diperkirakan
6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya
akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009). Demikian pula jumlah orang miskin
tahun2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan
meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara dengan 14,87% jumlah penduduk
Indonesia). Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009)
mengemukakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi akan
mengakibatkan pengangguran. Dalam perhitungannya setiap 1% pelambatan
ekonomi akan menyebabkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika ini
dikalikan dengan empat anggota keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak
ternafkahi yang berarti 1,2 juta orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari
2009).
Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci
menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan jumlah
penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total jumlah
penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk miskin di
pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total jumlah
penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase jumlah
penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan dalam kurun
waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke
perkotaan dengansegala permasalahannya,seperti menjamurnya pedagang kaki
lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api, serta meningkatnya
kriminalitas. Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala
permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan.
Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat, antara
lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari
kemiskinan. Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak
orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas. Demikian
pula prestasi sekolah anak-anak miskin secara keseluruhan lebih rendah dari anak-
anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di kemudian hari setelah
mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki posisi yang rendah di dunia
kerja.
Demikianlah siklus seperti ini terus berjalan, dengan akibat kemiskian
diturunkan dari generasi ke generasi. Barangkali dinamika kemiskinan yang
diturunkan dari generasi ke generasi ini berlaku juga di Indonesia. Kedua,
kemiskinan juga berdampak pada perumahan. Dibandingkan dengan warga-negara
Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin menempati rumah yang kurang layak
huni dalam ukuran Amerika. Baik pada musim dingin maupun musim panas, orang-
orang miskin tidakmampu membayar tagihan listrik untuk penggunaan alat pemanas
ruangan (heater) dan pendingin udara (air-con). Akibatnya, kondisi rumah yang tidak
mendukung kondisi fisik mereka ini adalah rendahnya tingkat kesehatan orang-
orang miskin. Masalah lain berkenaan dengan perumahan adalah banyaknya
penghuni dalam satu rumah (overcrowded) yang disebabkan oleh keterbatasan
pendapatan, sehingga untuk mengatasi sewa rumah yang mahal, beberapa keluarga
bergabung untuk menyewa rumah. Ketiga, Konsekuensi yang lain darikemiskinan
menurut Farley adalah ada sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal
(homelessness; di Indonesia : gelandangan). Mereka yang tidak memiliki rumah ini
tidur di taman, pinggir jalan, tenda, atau di tempat-tempatyang disediakan oleh
lembaga sosial/gereja. Penyebab dari gejala homelessness ini adalah
pengangguran, tidak memiliki keluarga yang menampung/merawat, dan
dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit. Yang ironis, menurutFarley
adalah beberapa pemerintahan kota mengeluarkan aturan yang melarang orang
tidur di taman kota dan tempat-tempat umum (di Indonesia hal sepertiini juga terjadi
berupa penggusuran penghuni liar yang tinggal dilahan pemerintah atau swasta, di
kolong jalan layang, dan di bantaran kali). Keempat, kemiskinan juga
berdampakterhadap kriminalitas. Penduduk miskin bisa menjadi korban kejahatan,
seperti diperas, dirampok, dan diperkosa karena umumnya mereka tidak cukup
mempunyai akses terhadap perlindungan wilayah pribadi. Statistik nasional
berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat itu menunjukkan bahwa korban
kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang miskin daripada orang yang
tergolong beruntung (advantage people).
Di sisi lain orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara
umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak
kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang
dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh
karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di
tempat umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan,
dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya
menurut Farley : “poverty breeds crime”.
b. Sumber eskternal
1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD menyangkut
kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui fungsi Binter.
Dengan kata lain, tugas Binter TNI/TNI-AD adalah sebagai agent of change
dengan berorientasi pendekatan kesejahteraan pada kantong kantong kemiskinan,
misal sebagai konsultan UKM Korem Bali beberapa tahun lalu. Implikasi
bergesernya fungsi Binter TNI/TNI-AD menjadi agen pembaharu (change agent)
tentu sangat bermakna bagi pengembangan TNI/TNI-AD, khususnya Binter di masa
depan karena terutama menyangkut perubahan mindsetTNI/TNI-AD dari operasi
tempur (destroy the enemy) ke operasi kemanusiaan (People Security) dan
Lingkungan Hidup (Environment). Dalam hubungan ini Binter TNI/TNI-AD dapat
berperan sebagaientreprenur sosial (social entrepreneur) yang meskipun dalam
beberapa hal memiliki karakteristik yang sama dengan business entrepreneur,
seperti selain ingin lebih baik, tidak cepat puas, dan segala hal menjadi
tanggungjawab pribadi, namun baik falsafah maupun implementasinya berbeda. Bila
para business entrepreneurtujuan utamanya mencari untung sebanyak-banyaknya,
sehingga modalnya berkembang secara akumulatif, maka para social
entrepreneurakan merasa puas apabila banyak anggota masyarakat yang makin
sejahtera.
Dengan demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneu radalah
keuntungan finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneu radalah
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal dan
peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya dari
Bangladesh. Khusus implikasi bagi internTNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran
fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan TNI/TNI-AD. Artinya, SDM TNI/TNI-
AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan tehnis
kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai agen
pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill, dan
pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan masyarakat
(community development).