Anda di halaman 1dari 12

Memahami Body of Knowledge Ilmu Pemerintahan

(Bahan Simposium III Ilmu Pemerintahan, Fakultas Politik Pemerintahan, 2020)

Oleh. Muhadam
Pada setiap generasi, perdebatan tentang eksistensi ilmu pemerintahan selalu berkutat pada
persoalan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Pertanyaan di seputar ontologi misalnya
apakah pemerintah dan pemerintahan itu, mengapa manusia membutuhkan pemerintahan,
dapatkah manusia hidup tanpa pemerintahan, apakah tujuan pemerintahan itu bahkan dalam
bentuknya yang paling kompleks, negara. Bila disederhanakan kita sampai pada soal apakah
objek materi dan objek formal nya.

Dari sisi epistemologi berkaitan dengan adakah konsep-konsep pemerintahan itu, dengan cara
apa, serta bagaimana ia diteliti. Bila disimplifikasi kita sampai pada dua hal utama, yaitu
bagaimanakah metodologi ilmu dan metodologi penelitiannya. Sementara di level aksiologi
nya berkenaan dengan bagaimanakah cara pemerintahan itu dipraktik-ajarkan agar mencapai
cita tertingginya, kesejahteraan. Kesejahteraan disini lebih dapat didekati ketimbang
berbicara konsep kebahagiaan yang lebih subjektif dan abstrak.

Memang dalam literatur klasik kita mengenal istilah kebahagiaan sebagai tujuan negara.
Namun apa yang dipikirkan Aristoteles maupun Van Poeltje soal kebahagiaan mengalami
perubahan makna ketika paradigma negara berubah dari negara hukum-penjaga malam
(maachstate) ke negara sejahtera (welfarestate). Dengan sendirinya pendekatan yang dulu
bersifat security approach pun berubah menjadi prosperity approach. Sekalipun begitu, kita
tetap menggunakan keduanya bergantung dinamika dan kebutuhan suatu negara.

Dalam perspektif normatif, pengukuran kesejahteraan dapat dilihat minimal pada aspek
kesehatan, pendidikan dan pendapatan (UNDP). Sementara indeks kebahagiaan sendiri
dipisahkan sebagaimana indeks kemiskinan sebagai kebalikan dari kesejahteraan
(kemakmuran). Pemisahan itu dengan alasan betapa subjektifnya ukuran kebahagiaan
dibanding kesejahteraan. Bisa dimaklumi sekalipun Bangladesh negara miskin namun dinilai
lebih bahagia dibanding Amerika yang kaya.

Pada aspek aksiologi berkaitan dengan didaktik maupun metodiknya. Didaktif berhubungan
dengan substansi kurikulum sebagai bahan pembentuk profile peserta didik. Sementara
metodik bertalian dengan cara paling efektif dalam mentransformasikan ilmu pemerintahan
lewat proses belajar-mengajar. Memahami kekhasan pemerintahan sebagai terapan sekaligus
ilmu, tentu saja akan berbeda pola pengajarannya dibanding ilmu pengetahuan lain yang
semata hanya menekankan aspek kognitif.

Ketiga persoalan mendasar itu selalu menjadi topik pertengkaran pikiran para pembelajar
pemerintahan yang tak jarang menanjak di tensi tertentu, atau tenggelam dikedalaman ilmu
lain dimana pemerintahan hanyalah satu studi sekaligus teknik yang khas dalam mengelola
keewenangan melalui praktek nyata dilapangan (terapan). Bagian ini terpelihara rapi di
lembaga pendidikan kedinasan seperti IPDN, sementara level akademiknya subur di
perguruan tinggi fakultas sosial-politik seperti UI, UGM, Unhas, Unpadj, Unlam dll.
Untuk mendekati hal di atas saya coba merujuk pada makalah hasil simposium IPDN tahun
2020. Sejumlah pembicara telah dihadirkan seperti Prof. Muchlis Hamdi (IPDN), Prof.
Purwo Santoso (UGM), Prof. Tjahya Supriatna (IPDN), Prof. Uttang Suwaryo (Unpadj),
Prof. Sadu Wasistiono (IPDN), Dr. Halilul dan Dr. Muhadam (IPDN). Tema besarnya soal
menguatkan Kembali eksistensi ilmu pemerintahan dilingkungan IPDN. Jadi tak lagi melulu
bicara soal adakah ilmu pemerintahan, tapi bagaimana menguatkan bangunan yang telah
muncul lebih kurang tiga abad lalu.

Reasoning Ontologik

Secara historis tak ada catatan presisi tentang kehadiran pemerintahan di muka bumi.
Menurut Suwaryo (2020), pemerintahan sebagai fenomena konkrit telah menyatu dan
berdampingan dengan kehidupan manusia sejak ribuan tahun silam. Secara spiritual gejala
pemerintahan muncul ketika Taman Eden diciptakan Tuhan. Disitu relasi antara Tuhan
sebagai yang memerintah dengan manusia, malaikat dan iblis sebagai yang diperintah
berlangsung dengan sendirinya. Gambaran tersebut membawa kita kedalam world vieuw
bahwa manusia memiliki relasi ketuhanan sekaligus mengilhami satu model pemerintahan
klasik, teokrasi.

Dalam model seperti itu, seseorang dengan tradisi genetiknya mewakili Tuhan di muka bumi
untuk melakukan fungsi-fungsi pemerintahan. Dengan sifat absolutisme itu maka setiap kritik
terhadap sabda penguasa identik dengan mengingkari firman Tuhan. Klaimnya, sabda raja
adalah pandito ratu yang mesti dilaksanakan, bukan didiskusikan apalagi sampai di tentang.
Inilah paham kedaulatan di tangan Tuhan yang dipercaya selama ribuan tahun seperti Negara
Vatikan di Eropa atau sistem kekhalifahan di timur.

Jika dikaji lebih jauh, spirit teokrasi secara teoritik mirip gagasan Thomas Hobbes (1651)
sekalipun Ia sendiri tak mempersoalkan model pemerintahan seperti apa yang paling tepat
diterapkan. Baginya, tak ada cara efektif untuk mengendalikan sifat alami manusia yang
soliter, kejam, keji dan selfisis kecuali menghadirkan satu sosok mahluk raksasa (leviathan)
untuk menciptakan keteraturan lewat rasa takut. Sosok itu boleh siapa saja sepanjang Ia
mampu melahirkan absolutisme yang disegani rakyat, apakah wakil Tuhan maupun wakil
masyarakat.

Tanpa itu kata Hobbes, mereka yang lemah sekalipun dapat bersatu melawan kelompok lain
dengan alasan yang sama (survival of the fittest). Situasi ini dalam kondisi ekstrem
mendorong terciptanya homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes. Dalam
keadaan demikian diperlukan seseorang atau sekelompok orang yang mampu menyelamatkan
manusia dari serangan brutal sesamanya maupun ancaman dari kelompok lain. Ide ini adalah
upaya untuk mengendalikan manusia dari realitas natural of law.

Gagasan Hobbes telah mendorong terbentuknya pemerintahan absolutis, totaliter dan fasis
dengan mengandalkan polisi sebagai penjaga keamanan dan militer sebagai satuan penjaga
serangan dari luar. Inilah negara penjaga malam (maach-state). Sekalipun demikian, gagasan
Hobbes dianggap lebih optimistik, logis dan rasional dalam menghadirkan pemerintahan
dengan model apapun yang dimungkinkan untuk melindungi masyarakat dari situasi yang
mencekam dan tak beraturan itu. Sejauh negara dipimpin oleh pemerintah yang baik tentu
saja ide itu bukan masalah.
Bahkan dengan alasan apapun, jauh lebih baik pemerintah hadir dengan sifatnya yang paling
kejam dibanding tak ada pemerintah sama sekali. Sifat kejam pemerintah pada akhirnya dapat
ditolerir sebagai kejahatan yang diperlukan pada situasi dan kondisi tertentu. Seburuk-
buruknya tindakan pemerintah setidaknya Ia dapat melindungi sedikit orang daripada tak
seorangpun yang mampu dipastikan mendapat perlindungan. Tentu saja jauh lebih baik jika
banyak orang yang dapat dilindungi pemerintah. Hal mana dapat mendorong tingkat
kepercayaan (trust).

Pandangan Hobbes yang dilatarbelakangi oleh perasaan panik akibat kekacauan


dilingkungannya mendapat kritik John Locke, JJ Roasseau dan Imanual Kant. Guna
menghindari absolutisme yang rentan disalahgunakan oleh penguasa itu, kiranya berbahaya
apabila hak-hak warga negara yang bersifat prinsipil dan pemberian Tuhan diserahkan begitu
saja kepada pemerintah. Hak hidup, hak beribadah pada penciptanya, hak berbicara, hak
berkumpul dan berserikat adalah sedikit contoh yang tak bisa diberikan cuma-cuma kepada
pemerintah.

Hak-hak demikian cukup diakui, dihormati, difasilitasi dan dipenuhi oleh pemerintah,
setidaknya pada tingkat paling minimal (Ndraha, 2002). Selain itu tak ada satupun
pemerintah yang boleh mengambil hak-hak tersebut tanpa alasan yang dikecualikan. Dalam
keterikatan dengan pemerintah, sepanjang manusia mampu memenuhi seluruh kewajibannya,
Ia dapat bergabung didalamnya. Tanpa jaminan itu setiap manusia dapat menentukan kapan
seseorang mesti berhenti atau bergabung dengan pemerintahan lain.

Pemikiran ini mendorong munculnya trias politica guna membatasi penumpukan kekuasaan
pada satu tangan melalui konstitusionalisme. Pengurangan kekuasaan tiranic yang melekat
pada seseorang (monarchi) hingga sekelompok orang (oligarkhi) telah mendorong pula
diferensiasi kekuasaan melalui pembagian kekuasaan (separation of power) maupun
pembagian kekuasaan (distribution of power) pada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam
masa selanjutnya gagasan tersebut berkembang sejalan dengan konsepsi negara
kesejahteraan.

Pandangan Hobbes bukanlah tanpa resistensi. Gagasan William Godwin (1793) lewat paham
anarchisme memperlihatkan hal sebaliknya, pemerintah sesungguhnya bukanlah institusi
yang paling diperlukan. Sekalipun latar sosial yang dikemukakan Hobbes adalah
kecenderungan yang mencekam penuh ketidakteraturan, namun Godwin menganggap bahwa
pada akhirnya dengan kesadaran terus-menerus individu, konflik tak akan berlangsung lama
sebagaimana perdamaian yang bersifat relatif. Manusia dapat sempurna dengan melakukan
perbaikan terus-menerus.

Dengan menyadari bahwa kepentingan umum lebih utama dari kepentingan pribadi mereka
akan terus berdiskusi secara rasional menuju kesempurnaan. Setiap individu akan
mengorganisir diri dengan alasan bahwa pada dasarnya tak ada satupun manusia yang
menyukai kekerasan, kekejaman, konflik dan pertumpahan darah berlangsung selama-
lamanya. Bila setiap individu telah mampu mengatur dirinya, maka kehadiran pemerintahan
tak terlalu diperlukan. Jadi kesadaran kolektif itulah yang penting dibanding menyerahkan
semua urusan pada pemerintah.
Ide Godwin tampak sejalan dengan Marx (1848) yang menganggap negara pada dasarnya
dikendalikan oleh kelas yang memerintah dan karenanya menjadi sumber penindas bagi
kepentingan kelas lain sehingga peranannya dapat membahayakan. Dominasi kelas berkuasa
seringkali melampaui ekspektasi mereka yang dikuasai. Dalam relasi ini yang muncul adalah
penghisapan. Negara tak lain sarana yang disediakan untuk secara sengaja atau tidak tempat
memperoleh keuntungan melalui berbagai aturan yang membebani, pajak misalnya.

Pandangan pesimistik Godwin atas relativitas pemerintah menunjukkan bahwa eksistensi


pemerintah bukan satu-satunya institusi yang dibutuhkan sekalipun kita akan kesulitan ketika
mengonfirmasi kembali entitas seperti apa yang akan menggantikan peran pemerintah di
tengah keraguan terhadap konsistensi atas tanggungjawab setiap individu dalam masyarakat.
Keraguan itu setidaknya dikuatkan oleh tesis populer James Madison (1788), bahwa andai
semua manusia adalah malaikat, mungkin kita tak butuh pemerintah.

Dialektika di atas kiranya cukup menjelaskan pandangan ontologik politik pemerintahan


sebagaimana arus utama pemikiran Ryaas Rasyid (1999) dan kajian studi ilmu pemerintahan
diberbagai perguruan tinggi sejak perkembangannya pada level akademik memasuki abad 20.
Tentu saja kurang lengkap jika perspektif di atas tidak kita amplifikasi lewat basis sosial dan
ekonominya. Alasannya, manusia tak hanya zoon politicon, juga homo socius dan homo
economicus. Ketiga bagian ini kelak akan sampai pada kerangka pikir kybernologi
Taliziduhu Ndraha (2002).

Tentu saja ada banyak pandangan dalam konteks sosial dan ekonomi, namun dengan
pertimbangan tertentu untuk basis sosialnya kita pilih gagasan Mc Iver dalam bukunya The
Web of Government (1947), sedangkan basis ekonominya dapat di rujuk pikiran Adam Smith
dalam The Wealth of Nation (1776). Ide sosiologis Iver dalam kaitan ini bahwa pemerintahan
terbentuk seperti perangkap jaring laba-laba. Setiap individu berhubungan dan karenanya
membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuan kelompok dari yang paling traditional
(keluarga) hingga paling kompleks (negara).

Tanpa ikatan antara individu dalam kelompok sulit mencapai tujuan besar yang hendak di
raih. Setiap individu memiliki potensi namun tak akan cukup berarti apa-apa jika tak berada
dalam kelompok yang besar. Dalam kelompok besar manusia cenderung dapat meraih apapun
yang mereka inginkan. Kemampuan mengorganisir kelompok oleh beberapa orang yang
memiliki keistimewan pada akhirnya melahirkan kepercayaan melalui mana pemerintahan
kemudian dibentuk. Pandangan Iver telah meyakinkan kita bahwa naluri individu untuk hidup
berkelompok bersifat alamiah.

Disini tampak keluarga sebagai basis pertama, utama dan mikro menjadi akar bagi
pertumbuhan dan perkembangan pemerintahan menuju negara modern. Dalam realitas sehari-
hari dapat disaksikan bahwa keluargalah yang paling mungkin diintervensi negara lewat
program pemerintah. Pertama, disana perkembangan biologis dimulai. Utama, disitu sistem
nilai mulai berkembang. Mikro, sebab keluarga pada hakekatnya tak lain dan tak bukan
adalah negara dalam pengertian terkecil sebelum menjadi sempurna.

Dari perspektif ekonomi, gagasan Smith sekalipun terkesan kontradiktif dalam melihat peran
dan fungsi negara, namun Smith setuju bahwa eksistensi pemerintah dibutuhkan dalam
kondisi tertentu guna mengintervensi pasar sepanjang dengan alasan menciptakan stabilitas
bagi kemakmuran dan keadilan sosial. Dalam keadaan normal intervensi pemerintah tak
diperlukan karena pasar dapat mereleksasi dirinya secara alamiah (laissez faire). Smith
sependapat bahwa tangan pemerintah adalah tangan Tuhan (invisible hand) yang dibutuhkan
manakala terjadi ketidakteraturan.

Dari pandangan politik, sosial dan ekonomi di atas baik yang bersifat optimistik maupun
pesimistik terhadap perlunya kehadiran pemerintahan menarik kita mempelajari lebih jauh
bagaimana aktivitas konkrit pemerintahan baik perilaku, organisasi, proses, bentuk, tipe dan
sistem pemerintahan yang dapat didekati baik sebagai ilmu pengetahuan maupun praktek
dinamis dari unsur-unsur yang membentuk pemerintahan. Untuk selanjutnya kita coba
menjawab objek materil dan formal ilmu pemerintahan dari sisi epistemologi.

Reasoning Epistemologis

Sama dengan ilmu hukum, politik, administrasi, konsep pemerintah dan pemerintahan kaya
akan makna yang dapat dilihat dari berbagai perspektif. Sedemikian banyak berserakan
makna tersebut ada baiknya kita pilihkan satu pemaknaan yang lebih umum dan sering
digunakan oleh para pembelajar ilmu pemerintahan. Agar lebih distingtif selanjutnya akan
lebih banyak digunakan istilah pemerintahan. Bila objek materilnya negara, secara konkrit
yang menjadi pusat perhatian utamanya adalah pemerintahan dalam arti luas dan sempit.

Pertanyaan lebih jauh, di dalam unsur pemerintahan itu apakah yang akan menjadi titik
perhatian kita, apakah subjeknya, organisasinya, prosesnya, ataukah sistemnya (Finer, 1964).
Tentu saja persoalan ini tak dapat disempitkan begitu saja, karena ketika kita memfokuskan
pada subyek pemerintahan maka pembicaraan pemerintahan akan terkait dengan perilaku
pemerintah (aktor), dalam hal ini pemimpin dan fenomena kepemimpinannya. Konsep ini
kita adaptasi dari management sehingga melahirkan hybrida kepemimpinan pemerintahan.

Kepemimpinan merupakan fenomena alamiah yang muncul bersamaan dengan eksistensi


pemerintahan. Artinya dimanapun ada pemerintah disanalah pemimpin muncul atau
sebaliknya. Untuk mempelajari itu semua kita membutuhkan konsep-konsep sosiologi guna
menjelaskan sebab, tipe, model, sifat, karakteristik hingga gaya kepemimpinan khususnya
dalam pemerintahan. Sosiologi pemerintahan akan memberi kita batasan tentang masyarakat,
wewenang, komunitas, organisasi birokrasi dan aktivitasnya.

Pada ilmu hukum pun demikian. Konsep-konsep yang akan kita pinjam misalnya rules,
konstitusionalisme, mandat, delegasi, subjek dan objek hukum bagi pemerintah. Inilah hukum
pemerintahan. Bila titik perhatian kita berada pada proses pemerintahan yang efisien dan
efektif maka akan berjumpa dengan mereka yang melayani dan yang dilayani (administrasi).
Demikian pula mereka yang memerintah dan yang diperintah (pemerintahan), produsen dan
konsumen (ekonomi), yang bertindak dan yang di tindak (hukum), atau antara penguasa dan
mereka yang dikuasai (politik).

Konteks ini menjelaskan pentingnya konsep-konsep lain seperti contoh di atas. Terkait
sistem, yang menjadi fokus perhatian kita adalah sistem pemerintahan seperti apakah yang
ideal diterapkan pada satu negara. Hal ini tentu berkenaan dengan peran ilmu politik dan
hukum. Disini penting membedakan antara sistem politik (Demokrasi, otoriter, totaliter),
sistem pemerintahan (presidensial, parlementer dan campuran), bentuk negara (kesatuan atau
federal) dan bentuk pemerintahan (monarchi atau republik). Pembedaan memudahkan kita
memahami pemerintahan di level praktis.

Melihat cakupan dan fokus pemerintahan luas itu, posisi pemerintahan sebagai salah satu
unsur negara akan sangat bergantung pada konteks apa pemerintahan itu dimaknai, apakah
subjeknya, organisasinya, prosesnya, ataukah sistemnya. Jika kita peras keempat hal itu,
hanya mungkin aktif jika memiliki wewenang dalam melaksanakan pelayanan. Ini objek
materi ilmu pemerintahan (Wasistiono, 2019). Sementara dari sudut mana, ruang dan waktu
kapan, serta instrument apa yang kita pakai dalam melihat objek pemerintahan di sebut objek
formal pemerintahan.

Bila objek materi pemerintahan itu telah kita sepakati, sekali lagi objek formalnya akan
sangat bergantung pada sudut pandang apa kita melihat objek materinya, instrument apa yang
kita gunakan, kapan kita melihatnya, serta faktor apakah yang mempengaruhi cara kita
melihat obyek materil pemerintahan itu. Untuk melihat pemerintahan kita tak mungkin hanya
terpaku pada salah satu objek materi di atas, selalu saja terkait hubungan yang bersifat multi
relasi baik di konsep kewenangan maupun pelayanan itu sendiri.

Cara pandang politik melihat pemerintahan sebagai tata kelola kuasa berbeda dengan
hukum melihat pemerintahan sebagai tata kelola aturan, administrasi tata kelola perkantoran,
dan ekonomi tata kelola niaga. Pemerintahan sendiri selama ini jamak menggunakan istilah
tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan mencakup bagaimana kewenangan
diperoleh, digunakan, dan dipertanggungjawabkan sesuai norma aturan dan sosial. Sementara
tata kelola pelayanan meliputi jasa publik dan layanan sipil. Yang pertama dapat diprivatisasi,
yang terakhir dapat dimonopoli pemerintah (Ndraha, 2002).

Pandangan Ndraha dengan mengaitkan konsep kekuasaan, ekonomi dan sosial pada relasi
yang memerintah dan yang diperintah menjadi kerangka pikir pengembangan nilai ilmu
pemerintahan (kybernologi). Ndraha menggambarkan hal itu lewat diagram sederhana
sebagai satu hubungan yang kuat dan saling bergantung antara subkultur kekuasaan (SKK),
subkultur ekonomi (SKE), dan subkultur sosial (SKS). Diagram hubungan antar subkultur
menunjukkan nilai pemerintahan menjadi lebih luas dan kompleks.

Luas karena cakupannya berkaitan dengan alasan kehadiran pemerintahan sejak bernama
mahluk hingga berakhir pada realitas manusia sebagai warga negara dari sistem sosial
tertinggi. Kompleks, karena di dalam realitasnya pemerintahan itu berhubungan dengan
semua urusan manusia dari lahir sampai mati yang menjadi tanggungjawabnya termasuk
aktivitas organisasi tertingginya, negara. Konteks ini telah menempatkan posisi pemerintahan
tidak hanya sebagai kerangka pikir di atas, juga pada level tertinggi dari ontologi
pemerintahan.

Untuk kebutuhan kita, marilah kita lihat kembali hubungan pemerintahan yang mencakup tata
kelola kewenangan dan pelayanan. Penggunaan kewenangan berkaitan dengan aspek
kekuasaan yang bersifat formal (authority), Dalam perspektif hukum, wewenang melekat
pada person (pejabatnya), sedangkan kewenangan melekat pada institusi. Keduanya dapat
digunakan berdasarkan batasan waktu, teritorial, dan cakupan pelayanan. Dalam hal
penggunaan wewenang tak dapat melampaui, mencampur-adukkan , membiarkan, termasuk
bersikap sewenang-wenang.
Jika boleh disederhanakan hal ini berkaitan dengan bagaimana wewenang atau tugas dan
fungsi yang melekat pada setiap pelaku pemerintahan (subjek) dapat digunakan, termasuk
bagaimana kewenangan atau urusan yang melekat pada institusi itu dapat dijalankan sesuai
aturan untuk mencapai tujuan. Pada aspek pelayanan berkaitan dengan bagaimana pelayanan
itu dapat dilaksanakan melalui prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (efisien dan
efektif). Pandangan ini setidaknya lebih mempersempit relasi pemerintahan dan memaksa
kita pada peran hukum dan administrasi.

Bagi ilmu pengetahuan yang masih belia seperti ilmu pemerintahan, diakui konsep-konsep
tertentu mesti dipinjam-pakai dari ilmu pengetahuan lain lewat transfusi, pencangkokan dan
okulasi interdisiplin, antardisiplin hingga multidisiplin. Dalam masa tertentu, hasil hybridized
discipline tersebut melahirkan disiplin baru dalam rumpun yang sama. Kybernologi misalnya,
harus diakui adalah disiplin baru yang dibangun di atas paradigma subkultur kekuasaan,
ekonomi dan sosial dalam taksonomi rumpun ilmu sosial. Walau bila dirunut secara
historiografi termasuk ilmu tua yang mengalami normal science pasca turbulensi reformasi.

Kegagalan para pembelajar memahami metodogi ilmu pemerintahan mengakibatkan


kaburnya konsep-konsep pemerintahan yang dianalisis melalui kajian literatur. Kebuntuan ini
membuat pengaji ilmu pemerintahan terjebak pada kubangan kajian asal-usul ilmu
pemerintahan, bukan konsep atau teori yang telah diadaptasi dan dikawin-paksa oleh ilmu
pemerintahan. Setidaknya hasil transfusi, pencangkokan, okulasi, asimilasi, adaptasi, bahkan
hibridisasi dari spesies lain pada rumpun ilmu sosial.

Kenyataan ini menjadikan pembelajar ilmu pemerintahan di level doktoral khususnya selain
gagal paham atas konsep-konsep hybrida ilmu pemerintahan, juga gagal mengontribusikan
hasil risetnya guna memperkuat body of knowledge ilmu pemerintahan. Malangnya bila
pembimbing dan yang dibimbing sama-sama berada dalam labirin gelap Jendela Johari,
kemungkinan keduanya menuju kesesatan yang nyata. Dalam jalan panjang memahami ilmu
pemerintahan itu, Ndraha telah menuntun kita lewat konseptual-teoritik Metodologi Ilmu
Pemerintahan (2010) dan konseptual-praktikal Metodologi Pemerintahan Indonesia (1983).

Guna melahirkan konsep-konsep baru dalam ranah ilmu pemerintahan kita membutuhkan
metodologi penelitian. Produk penting dari hasil penelitian itu adalah apa yang kita istilahkan
invention & novelty. Invention diharapkan mampu melahirkan konsep baru yang akan
digunakan secara mandiri sekaligus pembeda bagi ilmu pemerintahan dihadapan ilmu
pengetahuan lain. Demikian pula novelty, sebuah produk hasil modifikasi atau hibridisasi
yang dapat memperkuat disiplin ilmu pemerintahan.

Karena itu, menjadi penting bagi pembelajar ilmu pemerintahan untuk memahami
metodologi penelitian agar output yang dicapai tidak sekedar memaksakan hibridisasi dengan
mencantolkan nama peneliti dalam akronim model-konsep-teori sebagai novelty. Hal ini
sama dengan perkosaan telanjang terhadap konsep maupun teori baku dalam ilmu-ilmu
sosial. Pilihan metodologi penelitian ilmu pemerintahan dapat menggunakan pendekatan
kualitatif, kuantitatif, atau mixed method (Bungin, 2019).

Metode penelitian kualitatif berbasis Plato merupakan antitesis dari cara pikir posivistik yang
dikembangkan Hegel di Jerman. Ilmu pemerintahan perlu menggunakan metode kualitatif
dengan sejumlah alasan. Satu diantaranya agar kita sebagai pemerintah benar-benar mampu
menangkap dan merasakan langsung apa yang menjadi kemauan masyarakat, bukan sekedar
laporan hasil sampling. Selain itu model penelitian yang mesti dikembangkan pada level
terapan adalah evidance base dengan realitas empirik sebagai kasus utama (Purwo Santoso,
2020).

Sementara pilihan kuantitatif bila populasinya bersifat luas, cenderung homogen dan karena
itu dilakukan pengambilan sampel untuk disimpulkan lewat induksi. Inilah generalisasi.
Kegunaannya untuk melihat kecenderungan yang sedang berlangsung, sifatnya relatif
tergantung ruang dan waktu. Dewasa ini perilaku calon pemimpin dan basis konstituen dapat
di ukur pada skala tertentu lewat survei quick qount. Metode penelitian ini bersifat mengukur,
sumber pikirnya Aristoteles, berkembang di Inggris dan Perancis, aliran filsafatnya
behavioralisme, empirisme, naturalisme, dan saintisisme.

Pemikiran positivistik kuantitatif dikembangkan Auguste Comte untuk melihat realitas sesaat
sehingga dapat dilakukan intervensi. Sebaliknya, pilihan kualitatif bila obyeknya spesifik,
khas, heterogen, dan kasuistik. Hasil simpulnya tanpa generalisasi. Penelitian dengan metode
ini berusaha mencapai kepuasaan (satisfaction), keberartian (meaningful), kedalaman
(interdepth), dan keutuhan obyek (holistic). Sesuai dengan karakteristik pemerintahan maka
pilihan metodologi penelitian kualitatif lebih mungkin dilakukan untuk menangkap realitas
yang berbeda.

Sementara bila kita ingin mengembangkan akademiknya, penelitian dasar (grounded


research) relevan untuk menemukan dan memperkaya teori pemerintahan sebagaimana
(Suwaryo, 2020). Perlu diketahui bahwa konsep-konsep yang dipinjam-pakai antar bidang
ilmu bukan penanda yang ketat dewasa ini (borderline). Sementara pilihan metode campuran
sangat bergantung pada tujuan peneliti, tidak berdasarkan batas-batas administrasi
pemerintahan seperti strata doktor di pusat pemerintahan, magister di provinsi, sarjana di
kabupaten/kota, diploma di kecamatan dan desa.

Salah satu pertanyaan penting yang sering diajukan adalah apakah judul penelitian para
pembelajar telah mendarat dalam bidang kajian pemerintahan? Pertanyaan ini bertalian
dengan upaya membatasi cakupan yang menjadi fokus perhatian ilmu pemerintahan. Bila
fokus kajian pemerintahan itu berkaitan teknis dengan subjek, maka yang perlu dilakukan
adalah menghubungkan aktor pemerintah dengan masyarakatnya (yang memerintah dengan
yang diperintah). Jadi setidaknya judul tesis dan disertasi itu berisi dua variabel yang saling
terhubung.

Demikian pula bila pilihan kita pada proses dan sistem pemerintahan, selalu saja
dikonstruksikan kedalam relasi antara proses pelayanan pemerintah dengan masyarakat, atau
bagaimana bekerjanya sistem pemerintahan itu pada masyarakat. Jadi dalam setiap penelitian
yang akan dilakukan selalu saja terdapat dua variabel minimal yang mendeskripsikan relasi
antara yang memerintah dan yang diperintah Soal cara pandang (objek formal) sangat
bergantung pada pembelajar masing-masing.

Bagaimana dengan penelitian deskriptif satu variabel misalnya? Penelitian model ini bukan
tak dibolehkan, namun kurang konsisten dengan frame work dan core utama ilmu
pemerintahan, yaitu suatu relasi antara yang memerintah dan yang diperintah pada konteks
kewenangan dan pelayanan (aktor, organisasi, proses dan sistem) sehingga memungkinkan
posisinya dapat berubah-ubah baik vertikal, horisontal, hirarkhis dan fungsional. Kapan dan
dimana posisi mereka yang memerintah dan yang diperintah sekali lagi bergantung konteks
hubungan apa yang telah dan sedang dibangun.

Menemukan Aksiologis

Di atas telah digambarkan secara singkat alasan yang memungkinkan pemerintahan hadir,
demikian pula alasan mengapa semestinya pemerintah dibutuhkan bahkan dipelajari baik
sebagai sains maupun praktek sehari-hari. Guna memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam tentang fenomena pemerintahan itu dibutuhkan cara untuk mempelajarinya
(metodologi ilmu pemerintahan), dan bagaimana cara menangkap realitas pemerintahan agar
kita dapat memecahkan masalah baik pada mereka yang memerintah, terlebih lagi terhadap
mereka yang diperintah (metodologi penelitian pemerintahan).

Pada level aksiologik bagaimana menurunkan keduanya ke dalam bahan ajar (didaktik)
termasuk bagaimana metodologi pengajarannya (metodik). Guna merumuskan pokok-pokok
didaktiknya pada kurikulum sebaiknya kita kembali pada dua bagian penting sebelumnya
yaitu cakupan ontologi dan epistemologi ilmu pemerintahan. Sedangkan aspek metodiknya
akan mengikuti apakah cukup dipelajari lewat pendekatan akademik murni ataukah perlu
diikuti dengan pola penerapannya baik langsung atau terpisah. Mata kuliah apakah yang
relevan?

Untuk memahami kedalaman pemerintahan tidak ada jalan lain kecuali dimulai lewat filsafat.
Filsafat akan membuka cakrawala pembelajar menjadi luas, utuh dan komprehensif. Dalam
kaitan dengan bermulanya pemerintahan oleh Tuhan pada mahluknya akan memaksa kita
mempelajari fenomena umum pemerintahan melalui pengetahuan agama (teologi
pemerintahan), etika dan ekologi pemerintahan. Evolusi pemerintahan dari titik spiritual
hingga realitas pemerintahan modern akan memberi insight guna memahami persoalan makro
pemerintahan.

Dalam hubungan itu kita dapat melakukan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu seraya
mengidentifikasi pengetahuan berdasarkan ilmu murni dan terapan. Ilmu murni diperlukan
untuk mengisi aspek kognisi sebagai kompas, sementara terapan untuk melengkapi
pembentukan keahlian dalam menjalankan pemerintahan (psikomotorik) ditambah
pembentukan sikap kepemimpinan sehingga dapat dioperasikan secara utuh dilapangan
pemerintahan. Sedemikian banyaknya pengetahuan yang mesti dipelajari oleh seorang
pembelajar pemerintahan sehingga perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan inti, dasar dan
penunjang.

Pengetahuan inti berhubungan dengan kerangka pikir awalnya semisal ilmu politik, hukum,
administrasi, manajemen, ekonomi dan sosial dengan basis filsafat untuk pasca sarjana. Pada
ranah pratik diperlukan dukungan penuh ilmu politik, administrasi, hukum, dan manajemen.
Pengetahuan dasar berkaitan dengan basis pengetahuan untuk memberi fundamen bagi
pengembangan ilmu misalnya filsafat, agama, dan bahasa. Sedangkan pengetahuan
penunjang dibutuhkan untuk melengkapi pengetahuan inti agar secara teknis dapat dijalankan
dengan baik (statistika, demografi, geografi dan teknologi pemerintahan).
Pengetahuan terhadap subjek pemerintahan berkaitan pula dengan apakah keahlian yang
dibutuhkan dalam memerintah dilapangan, termasuk sikap dan perilaku seperti apakah yang
dapat diterima dalam masyarakat dalam proses interaksi. Di sini berhubungan dengan ilmu
kepemimpinan, manajemen, sosiologi, psikologi dan antropologi baik akademik maupun
terapan. Contoh lain pengetahuan terhadap organisasi pemerintahan dan proses bekerjanya
membutuhkan sekurang-kurangnya ilmu manajemen, administrasi, perkantoran, psikologi,
ekologi, kinerja, dan sumber daya.

Dalam hal proses pemerintahan berkaitan dengan ilmu pengetahuan pelayanan, hak dan
kewajiban, sistem politik dan pemerintahan, sistem hukum, prinsip dan dasar tata kelola
pemerintahan yang baik, serta ekologi pemerintahan. Pada sistem pemerintahan setidaknya
kita membutuhkan ilmu pengetahuan tentang perbandingan dan sistem/politik pemerintahan,
kinerja pemerintahan, output, outcome, benefit, & impact dari bekerjanya sistem
pemerintahan. Semua ilmu pengetahuan tersebut secara didaktif dilengkapi dengan bahan ajar
praktik dan praktikum guna menghasilkan tidak saja pengetahuan kognitif juga psikomotorik.

Lebih dari itu pembentukan karakter sesuai tujuan instruksional umum dan khusus
merupakan upaya mewujudkan profile lulusan yang ditetapkan melalui visi dan misi
organisasi pembelajaran seperti IPDN (Supriatna, 2020). Visi pendidikan di IPDN pada
dasarnya untuk menghasilkan profile kader pemerintahan yang tidak saja melayani sebagai
bagian dari aparatur sipil negara dalam birokrasi, juga ilmuwan dalam bidang pemerintahan.
Kebijakan tanpa pengetahuan hanya akan melahirkan peruntungan nasib (gambler),
seterusnya pengetahuan tanpa policy action (tindakan), hanya mencipta pengetahuan semata
(Karnavian, 2020).

Guna mewujudkan hal itu maka pembentukan kader pemerintahan yang khas sesuai
kebutuhan Indonesia mesti didesain melalui kurikulum yang tepat. Masalahnya kita agak
kesulitan membedakan mana kebutuhan sarjana pemerintahan dan mana kebutuhan sarjana
terapan pemerintahan dalam birokrasi (Halilul, 2020). Keduanya mencair ketika berhadapan
dengan setiap masalah, apalagi ketentuan normatif tak secara tegas menyatakan hal itu.
Dalam faktanya birokrasi pemerintahan itu membutuhkan pemikiran dalam bentuk konsep
dan narasi argumentatif sebelum diimplementasikan lebih jauh.

Apalagi setiap masalah dewasa ini mesti didekati dan diselesaikan melalui berbagai
pendekatan disiplin ilmu. Alasan inilah sehingga kita membutuhkan sejumlah program studi
baik sains dan terapan melalui program akademik, vokasi, profesi dan pendidikan lanjutan
(pasca sarjana dan terapan). Pengembangan didaktif lewat berbagai pilihan tersebut
membutuhkan metode yang berbeda-beda sesuai tujuan yang diinginkan oleh pemerintah
selaku owner dan masyarakat selaku pemetik manfaat dari pemerintahan.

Hasil evaluasi pada sejumlah stakeholder alumni maupun non-alumni menunjukkan bahwa
kebutuhan akan kader pemerintahan yang bersifat terapan selain memuaskan juga sangat
dibutuhkan, namun tidak sedikit yang mengharapkan agar laju kognisi mesti ditingkatkan
guna menghadapi globalisasi yang semakin ketat (Agus Harahap, 2019). Petunjuk ini dapat
dibaca bahwa sekalipun kita tetap memproduk kader pemerintahan yang bersifat terapan, tak
dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan pemikiran akademik di bidang pemerintahan juga
diperlukan guna menjawab tantangan yang semakin abstrak dan kompleks.
Di sinilah perlunya program akademik baik di tingkat sarjana, magister maupun doktoral.
Pengetahuan di level doktoral lebih dimaksudkan untuk menyiapkan kepemimpinan
pemerintahan yang memiliki visi pemerintahan luas sebagaimana kata Nurcholis Madjid
(1999), semakin abstrak semakin pemimpin semakin teknis semakin pekerja-birokrat. Jadi
metode yang digunakan dalam hal pembentukan insan pemerintahan akademik akan relatif
berbeda dengan metode pembentukan kader pemerintahan yang bersifat terapan.
Kurikulumnya akan sedikit berbeda seperti ENA di Perancis.

Epilog; Perlunya Keseriusan dan Kerja Keras

Jika simposium pertama ilmu pemerintahan mencoba menemukan jati dirinya, selanjutnya
mengembangkan model dan orientasi kepemimpinan bahari, lalu mengalami metamorfosa
kearah ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernologi), maka simposium tahun ini ilmu
pemerintahan setidaknya mencoba menempatkan kembali posisinya yang khas dari hulu
hingga hilir. Di hulu kita dapat memahami kembali perkembangan ilmu pemerintahan
kendatipun tak banyak yang dapat diharapkan pada sedikit makalah di penghujung
simposium.

Di Amerika lewat serial The Science of Government mengalami kemandekan hingga 1778.
Sementara perkembangan ilmu pemerintahan di Prusia (Jerman) juga mengalami stagnasi. Di
negara-negara anglo-saxon ilmu pemerintahan tampaknya mengalami peleburan kearah
politik, hukum dan administrasi. Sama halnya ilmu hukum, ilmu pemerintahan di Indonesia
mendapatkan pengaruh kuat sejak era Romawi ke Jerman, Jerman ke Perancis, Perancis ke
Belanda, Belanda ke Indonesia.

Di hilir, ilmu pemerintahan mendarat dalam dua kelas yang berbeda, kelas pertama dibawah
subordinasi ilmu politik dan diajarkan diberbagai perguruan tinggi umum (fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik). Kelas kedua mendarat secara mandiri sebagai ilmu pemerintahan
terapan yang diajarkan di sekolah kedinasan Pamongpraja sejak OSVIA, MOSVIA, KDC,
APDN, STPDN dan IPDN. Sementara ilmu pemerintahan ber gendre akademik diajarkan di
Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) sejak tahun 1972.

Dalam masa itu ilmu pemerintahan tidak saja berbasis politik, juga muncul sebagai ilmu
pemerintahan mandiri lewat kerjasama dengan Universitas Padjadjaran (2002-2012). Harus
diakui bahwa pasca kerjasama tersebut ilmu pemerintahan dengan kekhasannya mengalami
stagnasi oleh sebab eksternal dan internal. Eksternal, kebijakan pemerintahan melalui
Kemenristekdikti tak memberi ruang yang cukup untuk mengembangkan ilmu pemerintahan
di level akademik. Sementara Unpadj dan perguruan tinggi lain kembali kedalam studi
pemerintahan berbasis politik, hukum dan administrasi.

Sementara IPDN sendiri secara internal kembali ke ilmu pemerintahan terapan baik di tingkat
diploma, profesi dan pasca sarjana. Dua masalah tersebut menjadi tantangan bagi IPDN
dalam mengembangkan ilmu pemerintahan bertaraf akademik di hari-hari ini. Jika mungkin
diperlukan upaya keras untuk mengembangkan inang kybernologi sekaligus inkubator
pengembangan ilmu pemerintahan dilingkungan sendiri melalui pasca sarjana.

IPDN harus mampu melakukan revolusi dalam meningkatkan kualitas tenaga pendidik di
bidang ilmu pemerintahan, melakukan konversi kitab kybernologi, perubahan orientasi
pendidikan pascasarjana yang lebih menekankan mutu dibanding jumlah, Menyusun profile
dan kurikulum dengan serius, serta perlunya dukungan dari asosiasi keilmuan masyarakat
seperti Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Masyarakat Kybernologi
Indonesia (MKI).

Anda mungkin juga menyukai