Anda di halaman 1dari 4

Keadilan dan Tabir Ketidaktahuan Pemerintah

Namanya Dzul Khuwaishirah. Sejarawan Islam sepakat Ia adalah orang pertama dan
cikal-bakal dari kehadiran kelompok Khawarij (penentang pemerintahan yang sah). Suatu
hari Ia mendatangi Rasulullah. Kedatangannya didorong oleh rasa keberatan. “Wahai
Rasulullah, adillah Engkau!” sergahnya. Dzul Khuwaishirah merasa jika Rasulullah tidak
berimbang dalam membagi harta rampasan perang. Rasulullah menyambut, “Celakalah
Engkau! Siapa lagi yang dapat berlaku adil jika aku saja tidak berlaku adil.”
Rasulullah benar. Dzul Khuwaisirah melewatkan dua hal. Pertama, secara politis,
Rasulullah adalah pemimpin yang sah. Kepemimpinannya telah disepakati semua orang
yang saat itu telah masuk Islam. Kesepakatan itu juga termasuk dalam lingkup muamalah
seperti tata cara pembagian harta. Kedua, lebih dari itu secara religius Rasulullah adalah
pembawa al-Quran. Beliau lebih memahami al-Quran dari siapapun. Sementara keadilan
adalah salah satu aspek yang telah dijelaskan dalam al-Quran.
Keadilan jadi barang yang selalu diperdebatkan. Bagaimana bentuknya, siapa yang
berhak menegakkannya, dan kepada siapa harus ditegakkan menjadi diskursus yang tak
pernah selesai.
Ilmu pengetahuan adalah dunia konsep. Ia membantu mengabstraksikan gejala-gejala
yang ada di sekitar kita. Tidak terkecuali dengan ilmu politik dan pemerintahan. Dalam
filsafat politik adalah John Rawls (1921-2002), filsuf Inggris yang mencoba membantu kita
mendefinisikan keadilan, dengan konsep yang pengertian dan batasannya dapat diterima
oleh setiap orang di segala ruang dan waktu.
Titik berangkat teori keadilan oleh Rawls adalah suatu kondisi yang disebutnya
sebagai “original position”, posisi asali. Yaitu suatu keadaan khayali di mana setiap orang
berada pada posisi awal yang setara. Asumsi dari kondisi khayali ini adalah setiap orang
“memiliki hak dan akses yang sama untuk memilih prinsip yang akan mereka terapkan
apabila mereka dikembalikan kepada kenyataan nantinya” (Anggara, 2013).
Mereka yang berada pada posisi asali ini juga diasumsikan diliputi oleh “the veil of
ignorance”, tabir ketidaktahuan. Mereka tidak tahu posisi sosial, doktrin, atau atribut-
atribut fisik dan intelektual seperti apa yang akan mereka terima ketika dikembalikan
kepada dunia kenyataan nantinya. Dari sini, Rawls mengandaikan ada satu situasi dimana
setiap orang sebelum memasuki struktur sosial di dunia, mereka berkumpul untuk
bersepakat apapun posisi sosial, doktrin, atau atribut-atribut fisik dan intelektual yang akan
mereka terima, harus ada dua prinsip dasar keadilan.
Pertama, setiap orang memiliki hak setara terhadap kebebasan dasar (basic liberties).
Kebebasan dasar adalah kebebasan yang harus ada pada setiap orang, seperti kebebasan
berbicara, berkeyakinan, berserikat, dan lain sebagainya. Kedua, untuk setiap
ketidaksetaraan sosial yang akan muncul, maka, mereka yang lebih lemah posisinya akan
diutamakan kepentingannya hingga mereka memperbaiki posisinya menjadi lebih setara
dengan yang lain. Prinsip kedua ini sejalan dengan konsep masyarakat dengan sistem
stratifikasi sosial terbuka, dimana setiap anggota sosial mendapatkan kesempatan untuk
perpindahan status sosial.
Kedua prinsip keadilan tadi menurut Rawls akan diterima oleh seluruh orang
meskipun mereka berada dalam tabir ketidaktahuan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, prinsip keadilan oleh Rawls juga terdapat pada
Pancasila. Adil adalah kondisi terpenting bagi para pendiri bangsa sehingga kata itu
merasuk ke dalam sila kelima.
Sila kelima berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dapat kita
maknai sebagai perbuatan luhur yang dilandasi semangat gotong royong dan kekeluargaan.
Keadilan sosial yang diramu oleh para founding fathers Indonesia dengan social justice-nya
Rawls sebenarnya punya akar pemahaman yang sama. Yaitu, semangat egaliter di Eropa
yang makin menguat setelah Revolusi Prancis tahun 1789. Hal itu juga diakui sendiri oleh
Sukarno. Hanya saja keadilan sosial yang diusung dalam Pancasila bukanlah format politik
liberal, melainkan modifikasi yang disesuaikan dengan alam gotong royong dan
kekelurgaan Indonesia.
Dalam filsafat politik, liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan) berada pada titik-
titik ekstrem yang berbeda. Untuk mencapai kesetaraan, praktik otoritarianisme yang
mengorbankan kebebasan individu lebih memungkinkan dalam pelaksanaannya.
Sebaliknya, jika kebebasan yang ingin diusung, maka akan menciptakan ketidakmerataan
yang diakibatkan sumber-sumber daya yang dikuasai segelintir orang. Inilah masalah yang
hendak dipecahkan oleh Rawls lewat “justice as fairness”. Menurut Rawls liberty dan
equality dapat dipertautkan. Setiap orang punya hak setara terhadap kebebasan asasi.
Tetapi, bila kebebasan tersebut menimbulkan ketidaksetaraan, mereka yang lemah mesti
diprioritaskan.
Seperti pemikir-pemikir Barat lainnya, pemikiran Rawls yang menempatkan individu
sebagai dasar pijakan berpikirnya dipengaruhi oleh tatanan sosial masyarakat Barat modern
yang berpusat pada liberalisme. Ironisnya, pandangan ini tidak seturut dengan para
libertarian. Dorongan Rawls untuk melibatkan pemerintah dalam intervensi terhadap
individu justru akan merebut kebebasan asasi.
Yang menarik dari konsep “posisi asali” dan “tabir ketidaktahuan” ini adalah
prosedur kebijakan publik yang diketengahkan. Bagi Rawls, kebijakan yang berasal dari
prinsip-prinsip keadilan yang diterima oleh seluruh anggota masyarakat dihasilkan lewat
perdebatan yang pesertanya mengenyampingkan ideologi dan keyakinan masing-masing.
Hal menarik lainnya, bagi Rawls ketidaksetaraan sosial dan ekonomi tidak serta
merta disebut ketidakadilan. Sebagai makhluk yang bebas dan rasional, manusia punya
kemampuan berusaha yang berbeda-beda. Jadi, dalam perjalanannya memenuhi kebutuhan,
akan ada mereka yang kaya dan mereka yang miskin. Tergantung dari kemampuan mereka
dalam meraih sumber-sumber daya ekonomi. Inilah yang membuat teori keadilan Rawls,
selain dihajar dari sisi kanan, juga dihantam dari sisi kiri. Kalangan Kiri beranggapan
prinsip keadilan Rawls merupakan paradoks yang membenarkan ketidakadilan.
Padahal, menurut Rawls ketidakadilan hanya bermula saat orang-orang yang secara
sosial dan ekonomi lebih lemah tidak diberikan perlindungan dan kesempatan dalam
meraih posisi yang sama-sama menguntungkan.
Lalu, bagaimana konsep keadilan sosial itu dibawa ke dalam pemerintahan negara
Indonesia?
Keadilan, sebagaimana dikutip dari Rawls, adalah kebajikan utama dari lembaga
sosial sebagaimana dalam sistem pemikiran. Artinya, pemerintahan negara Indonesia
seefisien dan sebaik apapun hukumnya, jika tidak adil, dan bertentangan dengan sistem
pemikiran bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945, dapat direformasi atau bahkan
dihapuskan. Pancasila adalah kesepakatan luhur (gentlemen’s agreement) Bapak Bangsa
yang mewakili bangsa Indonesia. Dengan demikian pemerintah mesti bekerja berdasarkan
keadilan yang disepakati bersama (public conception of justice).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengertian tentang keadilan ini lahir dari situasi
rekaan yang disebut posisi asali, yang menafikan segala bias pandangan ideologi dan
kepercayaan yang dianut individu-individu. Jadi, keadilan bukanlah seperti yang dipikirkan
para hartawan bahwa tidak seharusnya pemerintah memotong penghasilan mereka untuk
membantu yang miskin. Keadilan juga bukan seperti yang dipercayai kaum yang papa
bahwa sudah seharusnya orang kaya membayar pajak lebih besar untuk membantu mereka.
Sebagaimana konsep keadilan dilahirkan, pemerintah juga mesti menempatkan diri
pada posisi di balik tabir ketidaktahuan. Asumsinya, pemerintah dalam mewujudkan
keadilan terhadap seseorang tidak tahu apakah seseorang itu kaya atau miskin, liberal atau
sosialis, radikal atau konservatif. Keadilan sebatas dipandang sebagai fairness (justice as
fairness).
Keadilan sebagai fairness tidak seperti pemahaman sosialisme-komunisme bahwa
pemerataan harus dipukul rata, seperti yang ditulis oleh Rawls, “...justice denies that the
loss of freedom for some is made right by a greater good shared by others.” Bahwa
keadilan tidaklah mengorbankan kebebasan beberapa orang untuk apa yang disebut sebagai
kebaikan lebih besar. Pun tidak mengikuti pakem liberalisme dimana prinsip kebebasan
individu di atas segalanya, entah itu baik atau buruk bagi keberadaan kolektif. Dalam
konteks ke-Indonesiaan, keadilan sebagai fairness adalah keadilan “sila kelima” yang
diberikan tanpa memandang suku, agama, atau ras tertentu.
Dalam tulisan sebelumnya (Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam Pemerintahan)
dijelaskan bahwa pemerintah adalah institusi yang melaksanakan amanat UUD 1945, yaitu
“...menyelenggarakan kesejahteraan umum.” Dalam pelaksanaannya pemerintah diperkuat
dengan kekuasaan. Untuk memelihara kekuasaan itu pemerintah perlu menjaga legitimasi
(keabsahan). Ada kaitan erat antara keabsahan pemerintah dengan keadilan. Bagaimana
kaitannya?
Menurut Rousseau, legitimasi terletak pada kehendak umum. Bagaimana kita tahu
bahwa pemerintah telah mengikuti kehendak umum? Dengan melihat apakah mereka telah
bekerja untuk kepentingan publik, yang lekat dengan keadilan. Artinya, pemerintah hanya
perlu bersikap adil jika ingin menjaga keabsahan kekuasaannya. Bahkan menurut Locke,
pemerintah adalah keadilan itu sendiri. “Ketika tidak ada lagi peradilan yang melindungi
hak-hak orang... tidak ada lagi pemerintahan yang tersisa,” sebut Locke.
Pemerintah hendaknya bertindak seperti filosofi Themis, Dewi Keadilan dalam mitos
Yunani Kuno, yang patungnya kerap kita lihat di kantor-kantor firma hukum dan
pengadilan. Tangan yang satu memegang timbangan. Menggambarkan imparsialitas.
Tangan lainnya menggenggam pedang. Simbol penegakan ketika hukum telah diputuskan.
Sementara matanya tertutup. Menyimbolkan penegakan hukum yang tidak pandang bulu,
tidak melihat faktor politik, ekonomi, atau status dan peran.
Keadilan bagi pemerintah juga haruslah keadilan yang telah dirumuskan oleh
kesepakatan, bukan diserahkan kepada hasrat orang per orang seperti yang dilakukan oleh
Dzul Khuwaishirah. Karena jika keadilan diserahkan kepada hasrat, maka isi dunia
hanyalah mata dibayar mata hingga semua orang menjadi buta.

27 Juni 2021

Referensi:

Ahmad, Abdul Wahab. 2019. “Sejarah Kelompok Khawarij (2): Embrionya di Masa
Rasulullah, https://islam.nu.or.id/post/read/102205/sejarah-kelompok-khawarij-ii-
embrionya-di-masa-rasulullah.
Anggara, Sahya. 2013. Teori Keadilan John Rawls Kritik Terhadap Demokrasi Liberal.
Bandung: Jurnal JISPO Volume 1 (hal. 1-11)
Fadhilah. 2012. “Refleksi Terhadap Makna Keadilan Sebagai Fairness Menurut John
Rawls”. Buton: Jurnal Kybernan, Volume 3 Nomor 1 (Hal. 25-37).
Hill, R.A. 1998. Government, Justice, and Human Rights. Boston: Twentieth World
Congress of Philosophy.
“Makna Pancasila Sebagai Pandangan Hidup, Ketahui Isi Dari Kelima Butirnya”,
https://bpip.go.id/bpip/berita/1035/256/makna-pancasila-sebagai-pandangan-
hidup-ketahui-isi-dari-kelima-butirnya.html.
Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Cambridge: Belknapp Press of Harvard University.
Widhayasa, Bayu. 2020. “5 Fakta Patung Themis, Dewi Yunani Simbol Keadilan Hukum”,
https://www.idntimes.com/science/discovery/bayu-widhayasa/5-fakta-patung-
themis-c1c2/5.
Biodata:
Nama : Mohammad Ali Dosti
Alamat : Jl. Arbes, Kec. Pangkalan Kerinci, Kab. Pelalawan
Pekerjaan : PNS Pemkab Pelalawan

Anda mungkin juga menyukai