Anda di halaman 1dari 9

Desentralisasi Melalui Mekanisme

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Disusun oleh:

Nama : Mohammad Ali Dosti


NIM : 041094971

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
2019
PENDAHULUAN
Salah satu buah manis dari reformasi adalah hak yang diberikan kepada
masyarakat untuk memilih secara langsung dalam perhelatan pemilu.
Masyarakat dengan semangat demokrasi berbondong-bondong ke Tempat
Pemungutan Suara (TPS) dengan pilihan mereka masing-masing. Berdasarkan
data KPU keikutsertaan masyarakat dalam pilpres 2019 mencapai 81% dari
total pemilih, yaitu 158 juta pemilih.1 Antusiasme memilih masyarakat telah
dipelihara sejak 2004, ketika pilpres secara langsung digelar.
Masyarakat di daerah juga mendapat berkah dari reformasi. Setelah
berpuluh-puluh tahun mereka dipimpin oleh kepala daerah yang bahkan tidak
mereka kenal (karena mekanismenya melalui penunjukan langsung dari
pemerintah pusat) akhirnya mereka dapat menentukan sendiri siapa yang
berhak memimpin mereka. Hanya saja, antusiasme yang ditunjukkan dalam
pilkada tidak setinggi yang ada pada pilpres. Sebagai contoh pemilihan
Walikota Surabaya tahun 2005. Dari jumlah pemilih yang tercatat di Daftar
Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.934.228 pemilih, hanya 960.240 pemilih
yang menggunakan hak pilihnya.2 Artinya, ada setengah dari total DPT yang
tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah itu bahkan lebih besar dari
pemenang pemilihan Walikota Surabaya yang hanya mendapatkan 492.999
suara.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada terjadi di
banyak daerah, dari tahun ke tahun. Dalam perspektif demokrasi, golput yang
dilakukan secara sadar oleh masyarakat dapat dimaknai sebagai protes politik
kepada sistem politik yang sedang berjalan. Tingginya angka golput terlebih
lagi banyak didapati di masyarakat perkotaan. Dalam kasus pemilihan
Walikota Surabaya tahun 2005, menurut Pemred Harian Surya, Abror,
tingginya angka golput karena masyarakat Surabaya pada umumnya sangat
rasional dalam menentukan sikap politiknya.3 Mereka tidak mudah dibujuk
dengan janji-janji yang hanya bersifat normatif, retorik, dan sloganistik.

1
www.kompas.com/pemilih-pilpres-2019-capai-81%
2
R. Siti Zuhro, dkk. Demokrasi Lokal. Hal. 49
3
Ibid. hal. 50
Masyarakat juga menilai pilkada kini jatuh hanya sebagai mekanisme
partai politik untuk mencapai kekuasaan. Berjaraknya para pemimpin daerah
kepada masyarakat pemilihnya setelah pemilihan terlihat dari pembangunan
daerah yang tidak signifikan, bahkan cenderung mengakomodir pribadi dan
pemodalnya.
Mungkin bentuk-bentuk kekecewaan itu juga yang memunculkan wacana
tentang kembali kepada sistem pemilihan lewat DPRD dengan alasan biaya
politik yang dapat ditekan.
KAJIAN PUSTAKA
a. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas otonomi.
Pengertian tersebut berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014. Melalui desentralisasi maka terselenggaralah otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah. Menurut Joost Cot’e (2005), desentralisasi adalah
devolusi kekuatan dalam pengambilan keputusan.4
Tujuan dari pemerintahan lokal bukanlah menerapkan kekuasaan atau
membuat kebijakan, tetapi untuk menanamkan kompetensi warga.5

b. Demokrasi Lokal
Menurut Bryant (1987), ada dua bentuk desentralisasi dalam demokrasi,
yaitu yang bersifat administratif dan politik. 6 Pemenuhan terhadap
desentralisasi politik diwujudkan melalui salah satunya pemilihan kepala
daerah. Menurut Jaka Triwidaryanta (2005) demokrasi mempunyai dua
dimensi yang mutlak ada, yaitu prosedur dan semangat. 7 Sebagai sebuah
semangat, demokrasi bersifat universal. Namun, sebagai sebagai sebuah
prosedur demokrasi memiliki berbagai varian, yang salah satunya dimiliki
oleh mekanisme pemilihan secara langsung.

c. Asas Pemilu
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu
pemenuhan asas pemilu di Indonesia yang menganut asas “LUBER” yang
kemudian sejak era reformasi ditambah asas “JURDIL”, yang dijelaskan
sebagai berikut:
1. Langsung, berarti pemilih memberikan suara secara langsung dan
tidak diwakilkan
2. Umum, berarti pemilihan kepala daerah dapat diikuti oleh warga
yang telah memiliki hak suara
4
Joost Cot’e dalam “Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal”. LP3ES. Hal. 23
5
Benjamin Barber. Strong Democracy. Berkeley. Hal. 268
6
Zainul Ittihad Amin. Buku Materi Pokok; Pendidikan Kewarganegaraan. Hal. 8.5
7
Jaka Triwidaryanta dalam “Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal”. LP3ES. Hal. 364
3. Bebas, berarti pemilih berhak memberikan suara tanpa paksaan
4. Rahasia, berarti suara yang diberikan bersifat rahasia
5. Jujur, bahwa pelaksanaan pemilihan diselenggarakan sesuai dengan
aturan
6. Adil, yaitu perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih,
tanpa ada diskriminasi

PEMBAHASAN
Konsekuensi dari desentralisasi di Indonesia sejak bergulirnya otonomi
daerah adalah munculnya wilayah-wilayah administratif baru. Wilayah-
wilayah baru membutuhkan pemimpin-pemimpin baru. Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pelaksanaannya pertama kali berlangsung di Kabupaten Kutai Kartanegara
pada tahun 2005.
Kepemimpinan daerah diperlukan dalam otonomi daerah untuk
pembangunan daerah. Subsistem demokrasi ini akan berjalan dengan baik
bila good governance terselenggara dengan baik. Maka, benih-benih good
governance ini perlu dipelihara sejak pemberian mandat kepada kepala
daerah.
Berkaca pada putaran pilkada di provinsi/kabupaten/kota, menunjukkan
pudarnya kepercayaan masyarakat. Rendahnya partisipasi politik masyarakat 8
adalah bentuk pesimisme mereka pada proses penyelenggaraan good
governance yang bahkan cenderung “bad governance” sejak awal. Ada
beberapa hal negatif dari pemilihan langsung kepala daerah yang menjadi
pemicu enggannya masyarakat masuk ke dalam demokrasi partisipatoris.
Pertama, rendahnya mutu pengkaderan di kepartaian. Memang, kepala
daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Tetapi, penunjukan calon
kandidatnya tetap berada dalam kewenangan partai politik. Ini menjadi
semacam ”taken for granted” yang merugikan bagi masyarakat. Penunjukan
calon kandidat oleh partai politik tidak berjalan berdasarkan merit system,
dimana mereka yang berprestasilah yang berhak. Tetapi, mereka yang tidak
dibatasi oleh finansial lebih menentukan proses pemilihan kandidat.
Kedua, merebaknya sentimen SARA yang dibungkus politik identitas
Munculnya frasa “putra daerah” dalam pemilukada sebagai bentuk
perlawanan penduduk lokal terhadap para pendatang. Kriteria kepemimpinan
hanya diukur pada “status asal kelahiran”. Tidak peduli apakah calon
kandidat besar dan lama di kota lain, dan hanya kembali setelah mengikuti

8
pemilukada. Masyarakat kecewa karena, pemilihan kepalada daerah berakhir
sebagai event primordialisme yang sempit.
Ketiga, adalah ongkos politik yang sangat besar. Sehingga ketika salah
satu pasangan calon memenangi pilkada, maka langkah pertama yang akan
diambilnya adalah bagaimana ongkos politik yang dipakai selama masa
kampanye dapat kembali. Dari sini terbuka politik yang koruptif. Imbasnya
hingga ke aparatur Negara. Kepala daerah hanya menempatkan ‘orang-
orangnya’ di dalam pemerintahan, sekali lagi, itu tanpa pertimbangan
berasaskan merit system. Terciptalah struktur pemerintahan yang buruk.
Maka, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan good governance hanya
akan berjalan jika mekanisme awalnya, yaitu pemilu berjalan dengan baik.

Wacana kembali pada Pemilu Tidak Langsung


Pada tahun 2014, DPR-RI menggulirkan isu pemilu tidak langsung.
Berdasarkan Sidang Paripurna DPR RI tanggal 24 September 2014
memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan secara tidak
langsung. Fraksi-fraksi yang mendukung antara lain, Fraksi Partai Golkar (73
suara), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (55 suara), Fraksi Partai Amanat
Nasional (44 orang), dan Fraksi Gerindra (32 Orang).
Pemikiran yang mendasari perlunya pemilu tidak langsung adalah,
besarnya biaya peserta yang perlu dikeluarkan sehingga membuka peluang
KKN bagi kandidatnya.
Menurut Kemendagri, ada dua opsi yang ditawarkan untuk pemilu tidak
langsung. Pertama, pemilihan langsung hanya akan digelar pada tingkat
kabupaten/kota. Sementara untuk pilkada tingkat provinsi digelar pemilihan
secara tidak langsung melalui DPRD. Menurut Ketua Komisi II DPR RI
Ahmad Doli Kurnia, dasar pemikiran pemilu tidak langsung untuk provinsi
adalah karena titik berat otonomi daerah berada di tingkat kabupaten/kota.
Sedangkan provinsi hanyalah kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Kedua, menurut Ahmad dengan alternatif kebijakan evaluasi pilkada
secara asimetris. Kebijakan akan menghasilkan mekanisme daerah tertentu
yang boleh digelar secara langsung dan daerah-daerah yang digelar secara
tidak langsung. Apapun opsi yang ditawarkan, secara esensial, pemilu tidak
langsung telah menghilangkan salah satu hak warga Negara dalam
berdemokrasi, yaitu hak pilih.
Dari bergulirnya wacana ini, masyarakat bereaksi keras. Secara umum,
masyarakat menilai pemilu tidak langsung adalah bentuk kemunduran
demokrasi. Masyarakat melihat pada sejarah Orde Baru, dimana pemilu, sejak
presiden hingga bupati berlangsung dengan mekanisme yang tertutup.
Pemertaan pembangunan mandek, karena kepemimpinan daerah hanya
menggunakan perspektif sentralisme kekuasaan.

PENUTUP
Simpulan
Sistem demokrasi dikenal dengan jargon “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Untuk melaksanakan mandat seperti itu, sistem pemilu secara langsung
merupakan bentuk paling tepat. Pemilu yang “LUBER” dan “JURDIL”
adalah cita-cita yang diidam-idamkan rakyat Indonesia sejak lama.
Setelah berakhirnya Orde Baru, cita-cita itu mendapatkan wujudnya.
Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masyarakat di daerah-
daerah dapat memilih pemimpinnya secara langsung. Hanya saja, tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilu kepala daerah sangat rendah.
Ketidakpercayaan publik di daerah pada elit partai menjadi salah satu
penyebabnya. Bagi masyarakat, para kandidat yang bertarung tidak banyak
dapat mewakili kepentingan mereka, melainkan hanya kepentingan partai dan
orang-orang terdekat.

Saran
Jika tingkat ketidakpercayaan publik terus membesar, maka akan timbul
lingkungan sosial politik yang tidak sehat. Selain itu, kepercayaan publik
adalah salah satu indikator dari good governance. Atas hal-hal yang berkaitan
tersebut, maka pemerintah, partai, dan masyarakat dapat mengambil langkah-
langkah kebijakan yang bersinergi sebagai berikut:
1. Meningkatkan pembelajaran politik di akar rumput sehingga
masyarakat tidak apatis yang dapat menyebabkan ruang publik secara
tidak sadar hanya dikuasai oleh elit.
2. Pemerintah memperkuat struktur pemilu yang mampu menekan sisi
negatif, seperti menambah aturan-aturan yang memperketat
munculnya kecurangan-kecurangan dalam pemilu.
3. Partai-partai politik membina pengkaderan. Menciptakan kandidat-
kandidat yang berkualitas, memahami sosial ekonomi masyarakat,
dan menolak politik ‘uang mahar’ dalam pencalonan kepala daerah.

Anda mungkin juga menyukai