Disusun oleh:
1
www.kompas.com/pemilih-pilpres-2019-capai-81%
2
R. Siti Zuhro, dkk. Demokrasi Lokal. Hal. 49
3
Ibid. hal. 50
Masyarakat juga menilai pilkada kini jatuh hanya sebagai mekanisme
partai politik untuk mencapai kekuasaan. Berjaraknya para pemimpin daerah
kepada masyarakat pemilihnya setelah pemilihan terlihat dari pembangunan
daerah yang tidak signifikan, bahkan cenderung mengakomodir pribadi dan
pemodalnya.
Mungkin bentuk-bentuk kekecewaan itu juga yang memunculkan wacana
tentang kembali kepada sistem pemilihan lewat DPRD dengan alasan biaya
politik yang dapat ditekan.
KAJIAN PUSTAKA
a. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas otonomi.
Pengertian tersebut berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014. Melalui desentralisasi maka terselenggaralah otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah. Menurut Joost Cot’e (2005), desentralisasi adalah
devolusi kekuatan dalam pengambilan keputusan.4
Tujuan dari pemerintahan lokal bukanlah menerapkan kekuasaan atau
membuat kebijakan, tetapi untuk menanamkan kompetensi warga.5
b. Demokrasi Lokal
Menurut Bryant (1987), ada dua bentuk desentralisasi dalam demokrasi,
yaitu yang bersifat administratif dan politik. 6 Pemenuhan terhadap
desentralisasi politik diwujudkan melalui salah satunya pemilihan kepala
daerah. Menurut Jaka Triwidaryanta (2005) demokrasi mempunyai dua
dimensi yang mutlak ada, yaitu prosedur dan semangat. 7 Sebagai sebuah
semangat, demokrasi bersifat universal. Namun, sebagai sebagai sebuah
prosedur demokrasi memiliki berbagai varian, yang salah satunya dimiliki
oleh mekanisme pemilihan secara langsung.
c. Asas Pemilu
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu
pemenuhan asas pemilu di Indonesia yang menganut asas “LUBER” yang
kemudian sejak era reformasi ditambah asas “JURDIL”, yang dijelaskan
sebagai berikut:
1. Langsung, berarti pemilih memberikan suara secara langsung dan
tidak diwakilkan
2. Umum, berarti pemilihan kepala daerah dapat diikuti oleh warga
yang telah memiliki hak suara
4
Joost Cot’e dalam “Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal”. LP3ES. Hal. 23
5
Benjamin Barber. Strong Democracy. Berkeley. Hal. 268
6
Zainul Ittihad Amin. Buku Materi Pokok; Pendidikan Kewarganegaraan. Hal. 8.5
7
Jaka Triwidaryanta dalam “Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal”. LP3ES. Hal. 364
3. Bebas, berarti pemilih berhak memberikan suara tanpa paksaan
4. Rahasia, berarti suara yang diberikan bersifat rahasia
5. Jujur, bahwa pelaksanaan pemilihan diselenggarakan sesuai dengan
aturan
6. Adil, yaitu perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih,
tanpa ada diskriminasi
PEMBAHASAN
Konsekuensi dari desentralisasi di Indonesia sejak bergulirnya otonomi
daerah adalah munculnya wilayah-wilayah administratif baru. Wilayah-
wilayah baru membutuhkan pemimpin-pemimpin baru. Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pelaksanaannya pertama kali berlangsung di Kabupaten Kutai Kartanegara
pada tahun 2005.
Kepemimpinan daerah diperlukan dalam otonomi daerah untuk
pembangunan daerah. Subsistem demokrasi ini akan berjalan dengan baik
bila good governance terselenggara dengan baik. Maka, benih-benih good
governance ini perlu dipelihara sejak pemberian mandat kepada kepala
daerah.
Berkaca pada putaran pilkada di provinsi/kabupaten/kota, menunjukkan
pudarnya kepercayaan masyarakat. Rendahnya partisipasi politik masyarakat 8
adalah bentuk pesimisme mereka pada proses penyelenggaraan good
governance yang bahkan cenderung “bad governance” sejak awal. Ada
beberapa hal negatif dari pemilihan langsung kepala daerah yang menjadi
pemicu enggannya masyarakat masuk ke dalam demokrasi partisipatoris.
Pertama, rendahnya mutu pengkaderan di kepartaian. Memang, kepala
daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Tetapi, penunjukan calon
kandidatnya tetap berada dalam kewenangan partai politik. Ini menjadi
semacam ”taken for granted” yang merugikan bagi masyarakat. Penunjukan
calon kandidat oleh partai politik tidak berjalan berdasarkan merit system,
dimana mereka yang berprestasilah yang berhak. Tetapi, mereka yang tidak
dibatasi oleh finansial lebih menentukan proses pemilihan kandidat.
Kedua, merebaknya sentimen SARA yang dibungkus politik identitas
Munculnya frasa “putra daerah” dalam pemilukada sebagai bentuk
perlawanan penduduk lokal terhadap para pendatang. Kriteria kepemimpinan
hanya diukur pada “status asal kelahiran”. Tidak peduli apakah calon
kandidat besar dan lama di kota lain, dan hanya kembali setelah mengikuti
8
pemilukada. Masyarakat kecewa karena, pemilihan kepalada daerah berakhir
sebagai event primordialisme yang sempit.
Ketiga, adalah ongkos politik yang sangat besar. Sehingga ketika salah
satu pasangan calon memenangi pilkada, maka langkah pertama yang akan
diambilnya adalah bagaimana ongkos politik yang dipakai selama masa
kampanye dapat kembali. Dari sini terbuka politik yang koruptif. Imbasnya
hingga ke aparatur Negara. Kepala daerah hanya menempatkan ‘orang-
orangnya’ di dalam pemerintahan, sekali lagi, itu tanpa pertimbangan
berasaskan merit system. Terciptalah struktur pemerintahan yang buruk.
Maka, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan good governance hanya
akan berjalan jika mekanisme awalnya, yaitu pemilu berjalan dengan baik.
PENUTUP
Simpulan
Sistem demokrasi dikenal dengan jargon “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Untuk melaksanakan mandat seperti itu, sistem pemilu secara langsung
merupakan bentuk paling tepat. Pemilu yang “LUBER” dan “JURDIL”
adalah cita-cita yang diidam-idamkan rakyat Indonesia sejak lama.
Setelah berakhirnya Orde Baru, cita-cita itu mendapatkan wujudnya.
Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masyarakat di daerah-
daerah dapat memilih pemimpinnya secara langsung. Hanya saja, tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilu kepala daerah sangat rendah.
Ketidakpercayaan publik di daerah pada elit partai menjadi salah satu
penyebabnya. Bagi masyarakat, para kandidat yang bertarung tidak banyak
dapat mewakili kepentingan mereka, melainkan hanya kepentingan partai dan
orang-orang terdekat.
Saran
Jika tingkat ketidakpercayaan publik terus membesar, maka akan timbul
lingkungan sosial politik yang tidak sehat. Selain itu, kepercayaan publik
adalah salah satu indikator dari good governance. Atas hal-hal yang berkaitan
tersebut, maka pemerintah, partai, dan masyarakat dapat mengambil langkah-
langkah kebijakan yang bersinergi sebagai berikut:
1. Meningkatkan pembelajaran politik di akar rumput sehingga
masyarakat tidak apatis yang dapat menyebabkan ruang publik secara
tidak sadar hanya dikuasai oleh elit.
2. Pemerintah memperkuat struktur pemilu yang mampu menekan sisi
negatif, seperti menambah aturan-aturan yang memperketat
munculnya kecurangan-kecurangan dalam pemilu.
3. Partai-partai politik membina pengkaderan. Menciptakan kandidat-
kandidat yang berkualitas, memahami sosial ekonomi masyarakat,
dan menolak politik ‘uang mahar’ dalam pencalonan kepala daerah.