Anda di halaman 1dari 21

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Mutakhir

Dosen Pengampu : Drs. Djono, M.Pd

Disusun Oleh :

BRIAN ANDRY JATMIKO


K4406012

PROGRAM STUDI SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

Golongan putih atau golput yang lebih dikenal oleh masyarakat luas
merupakan suatu perilaku yang menyimpang bagi penduduk disuatu Negara
demokrasi. Dikatakan penyimpangan karena di dalam Negara demokrasi pendapat
atau suara rakyat sangat menentukan dalam terpilih atau tidaknya seorang
pemimpin. Ada juga yang berpendapat bahwa golongan putih itu adalah golongan
bodoh, karena mereka telah mensia-siakan kesempatan yang diberikan kepada
mereka. Fenomena golput terjadi di sebagian besar Negara di dunia, khususnya di
Indonesia. Meskipun Indonesia telah menyelenggarakan pemilu beberapa kali,
kasus ini belum dapat diatasi oleh pemerintah. Para golongan putih beranggapan
itu adalah hak mereka untuk mempergunakan hak pilihnya.Sebagai salah satu
kontrol sikap politik, golongan putih (golput) di Indonesia pada awalnya muncul
pada awal tahun 1970an. Dimotori oleh kontro sentralnya, Arief Budiman, golput
saat itu merupakan cerminan dari ketidakpuasan kelas menengah terhadap kontro
pemilu dan kepartaian yang tidak demokratis (Sanit, Arbi: 1992). Anehnya, ketika
saat ini kontro pemilu dan kepartaian sudah mengarah pada bentuk yang lebih
demokratis, golput masih saja menjadi pilihan menarik bagi sebagian kalangan
rakyat. Hal ini dapat dilihat dari semakin rendahnya voter turn out dalam pemilu
legislative pada masa reformasi saat ini. Data IFES menunjukkan bahwa dalam
pemilu 1999, dari 118.217.393 jumlah pemilih terdaftar, tercatat 110.298.176
pemilih menggunakan hak suaranya. Jumlah ini menurun _ontrol dalam pemilu
2004, dimana dari 148.000.369 jumlah pemilih terdaftar, hanya 12.456.342 yang
menggunakan hak pilihnya. Sedangkan dalam pemilu presiden 2004, dimana dari
155.048.803 pemilih yang terdaftar, hanya 106.228.247 yang menggunakan
suaranya. Hal yang sama terjadi pada beberapa pilkada dimana angka golput
sangat tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh Pilkada Jabar (35%), Jatim (38,37%)
dan Jateng (45,25%).

Pada masa reformasi, isu tentang golput mulai disoroti kembali, ancaman
golput kini semakin meluas tidak hanya ditingkat nasinal (pemilu), akan tetapi
hingga ditingkat pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dan kini, pada awal Desember
2008 atau menjelang memasuki tahun pemilu 2009, golput dinilai dengan
menambahkan ide tentang fatwa haram. Pemilihan umum di negara yang
demokrastis dan berdasarkan pada Pancasila menjadi sebuah kebutuhan yang perlu
diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Melalui pemilihan umum, rakyat yang
berdaulat memilih wakil-wakilnya yang diharapkan dapat memperjuangkan aspisari
dan kepentinganya dalam suatu pemerintahan yang berkuasa. Oleh karena itu
setiap warga negara sebaiknya ikut berpartisipasi dalam pelaksaan pemilihan
umum dengan menyalurkan hak pilihya atau dengan kata lain tidak melakukan
tindakan golput (Golongan Putih) yang juga merupakan suatu cara dalam
mengamalkan nilai-nilai Pancasila khususnya sila keempat yang merupakan cita-
cita bangsa dapat terwujud dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Pemerintahan yang berkuasa sendiri merupakan hasil dari pilihan maupun bentukan
para wakil rakyat tadi untuk menjalankan kekuasaan negara. Tugas para wakil
pemerintahan yang berkuasa adalah melakukan kontrol atau pengawasan terhadap
pemerintah tersebut. Dengan demikian, melalui pemilihan umum rakyat akan selalu
dapat terlibat dalam proses politik dan secara langsung maupun tidak langsung
menyatakan kedaulatan atas kekuasaan negara dan pemerintahan melalui wakil-
wakilnya. Dalam tatanan demokrasi, pemilu juga menjadi mekanisme/cara untuk
memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat ke tataran badan
perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan
masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan pada prisip bahwa dalam sistem
demokrasi dan berdasarkan nilai dasar dari pancasila terutama sila keempat yaitu
nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.

Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu
kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak 2005 hingga 2008, 13 Pemilu Gubernur
justru dimenangi golongan putih alias Golput. Artinya, jumlah dukungan suara bagi gubernur
pemenang Pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Kondisi itu menular ke Ibukota Negara DKI Jakarta. Jumlah masyarakat yang tidak memilih
diperkirakan mencapai 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih, sementara sebagai
pemenang, Fauzi Bowo hanya dipilih 2 juta orang pemilih (35,1%). Menurut hasil survey
Lembaga Survey Indonesia (LSI), angka Golput malah jauh lebih besar, yakni mencapai 65%.
Direktur LSI Saiful Mujani memperkirakan, besarnya potensi Golput Pilkada DKI Jakarta karena
sebagian besar warga Ibukota meragukan proses pesta demokrasi yang baru pertama kali digelar
di Jakarta ini. Dari DKI Jakarta, Pilkada berlanjut ke Jawa Barat. Meski pasangan Ahmad
Heryawan-Dede Yusuf berhasil mengantongi suara terbanyak dibandingkan kontestan lain, yaitu
dengan perolehan 7.287.647 suara, jumlah Golput jauh lebih besar; mencapai 9.130.594 suara.
Begitu juga pada Pilkada Jawa Tengah yang dimenangi pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih
dengan 6.084.261 suara. Jumlah Golput di Jawa Tengah justru menembus angka 11.854.192
suara. Angka ini sangat menggiurkan bagi Parpol peserta Pemilu 2009. Di Provinsi Jawa Timur,
meski harus ditempuh dalam dua putaran, pada putaran pertama sudah terlihat; Golputlah
pemenangnya. Ketidakpercayaan warga Jawa Timur terhadap pagelaran demokrasi Pilkada
menunjukkan angka yang cukup fantastis. Jumlah Golput pada Pemilihan Gubernur (Pilgub)
Jawa Timur 23 Juli lalu, mencapai 38,37% suara, atau 11.152.406 juta penduduk tidak
menggunakan hak pilihnya. Menurut catatan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Jatim,
jumlah suara sah dalam Pilgub sebanyak 17.014.266 juta, sedangkan yang tidak sah ada 895.045
suara. Total pemilih Pilgub Jatim sebanyak 29.061.718 juta penduduk. Tidak beda jauh dengan
Pilgub, Pilkada kabupaten/kota mengalami hal sama. Catatan JPPR menunjukkan, dari 130
kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilu, 39 Pilkada kabupaten/ kota, Golput menempati
nomor jadi. Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow mengatakan, bahwa rendahnya
partisipasi masyarakat membuat legitimasi gubernur-wakil gubernur, bupati/walikota- wakil
bupati/wakil wali kota terpilih sangat rendah di mata rakyatnya sendiri. Hal ini menunjukkan,
besarnya jumlah Golput dalam Pilkada akan merembet dan mempunyai hubungan positif (linier)
ke Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, dan Pemilu Presiden pada 2009. Memang Golput
bukanlah pilihan bijak, namun tetap Golput adalah hak suara. Mengapa? Pertama, pilihan untuk
tidak memilih adalah bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara. Kedua, legitimasi
kekuasaan calon terpilih tidak mewakili aspirasi rakyat, dalam arti legitimasi uji materi dan uji
publik calon terpilih tidak valid dan bias memunculkan pembangkangan sipil di kemudian hari.
Pemilihan langsung seperti saat ini adalah bentuk pilihan rakyat atau dengan bahasa lain
berkonotasi bebas melakukan apa yang dikehendakinya karena dipilih rakyat. Sebenarnya hal ini
menjadi bumerang bagi Golput. Bahwa, Golput tidak mempunyai substansial dan prosedural
yang sah dan dipandang sebagai kegagalan proses demokrasi. Ketiga, Golput adalah bentuk
keluhan terhadap keadaan yang ada. Golput membuat kita nakal terhadap demokrasi, dalam arti
demokrasi tidak rusak dan juga tidak diperbaiki dengan adanya Golput. Artinya, keberadaan
Golput adalah fenomena tawar menawar harga demokrasi dan ini merupakan bagian dari hak
politik. Contoh, keberadaan Golput dipakai sebagai tekanan untuk memunculkan peraturan calon
independen baik Gubernur/ Bupati/Wali Kota/ Presiden untuk disyahkan menjadi UU. Koalisi
pemilih, Golput dan Parpol membuat semua kepentingan menjadi senang. Negosiasi, kerumunan
pendapatan, kontrak politik menjadi semakin dekat, seperti yang kita lihat dan dengar di radio,
surat kabar dan TV. Hal ini sudah memunculkan komunikasi politik, dalam arti kita masih butuh
hubungan parlemen antara presidentil, parlemen dan Golput yang ada. Koalisi haruslah efektif
dan produktif, demikian juga dengan kepentingan Golput harus diakomodir sehingga demokrasi
tidak terjebak dalam tradisi politik yang primordial. Artinya, secara institusi demokrasi kita kuat,
secara legitimasi demokrasi kita masih lemah dan koalisi antara pemilih, Golput dan Parpol
adalah pemecahannya. Diperlukan sosok pengertian dan pemahaman antara yang mempunyai
wewenang politik lewat serikat suara (pemilih, Golput dan Parpol) agar penetrasi suara
menunjukkan kecondongan suara rakyat. Dengan kata lain, Golput adalah kekuatan bayangan
yang berposisi sebagai peniru pasar politik atau oposisi samara dan cenderung membesar bila
demokrasi itu sendiri melukai dirinya sendiri.

 Makna Dari Golput


Golput bisa diartikan sebagainprotes atau penolakan terhadap mekanisme dan sistem
yang sedang berjalan. Dan hendaknya harus kita sikapi dengan etika, moral dan civil society
sebagai hal yang positif terhadap masalah-masalah yang sifatnya struktural, susbtansi dan
procedural sebagai sebuah gerakan moral politik. Artinya, partai politik dalam mengusung calon
harusnya memberi ruang kepada masyarakat pemilih dalam merumuskan kepentingan dan
konfirmasi kepada pendukung dalam mengusulkan calon dalam kontestasi politik. Jika tidak,
tingginya angka Golput menjadi pekerjaan rumah bagi partai-partai politik di Indonesia untuk
secepatnya kembali memikirkan formulasi agar konstituennya bias kembali pulang kandang dan
merapat.
Golput menuai tafsir sebagai manifestasi sikap kritis yang menghendaki adanya
perubahan system politik dalam electoral law dan electoral process. Pada Pilkada Jakarta,
momentumnya adalah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU
Pemerintahan Daerah terkait item calon perorangan. Seperti kita tahu, menjelang pelaksanaan
Pilkada Jakarta, secara bersamaan keluar keputusan MK yang melapangkan jalan adanya calon
perorangan dalam Pilkada. Seperti diketahui, menjelang pelaksanaan Pilkada, kandidat-kandidat
yang tidak mendapatkan kendaraan politik kemudian menggunakan peluang politik dengan
adanya calon perorangan dalam Pilkada, meski keputusan MK itu belum operasional.
Mencuatnya angka Golput bisa dibaca bahwa masyarakat tidak peduli terhadap politik.
Masyarakat tidak hirau, tidak peduli dengan arah kebijakan politik. Dengan demikian, fenomena
Golput bisa diartikan bahwa tingkat apatisme politik masyarakat terhadap masalah politik sangat
rendah. Tentu apatisme politik seperti itu terkait dengan perjalanan politik selama ini, dimana
tingkat partisipasi masyarakat politik yang tinggi setelah reformasi, tetapi tidak ada korelasinya
dengan membaiknya tarap kehidupan masyarakat bidang ekonomi dan politik. Politik dengan
demikian, hanya menjadi urusan elit belaka dan tidak memiliki hubungan dengan masalah-
masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan argumen di atas ada
beberapa hal yang perlu dicermati pada fenomena Golput di atas : pertama, Golput mampu
menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada kader Parpol. Fenomena Golput juga dapat
menjadi simbol ‘pembelajaran’ bagi setiap Parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan
oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi Parpol saat ini mengalami
krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban
semacam ideologi (hak asazi manusia) dengan alasan kapok karena Parpol yang ada dianggap
tidak capable, dan melanggar janjinya. Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat lebih
mengutamakan adanya pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan
pekerjaannya untuk memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting
bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu proses
pendaftaran pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data pemilih. Dengan kata
lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum terlihat jelas dan masih tumpang tindih,
terutama data jumlah pemilih dan mekanisme yang panjang dan menjelimet. Kearifan Golput
adalah fenomena kerusakan dan sekaligus proses perbaikan politik. Bila gagal, demokrasi akan
mereduksi dirinya sendiri sebagai bentuk festival yang penuh pesta pora dan kepentingan. Dalam
arti, Golput adalah kekuatan dan sekaligus menjadi ancaman dalam pengkhianatan terhadap
ideology bangsa. Kita karus belajar banyak dari pengalaman Majapahit dan penjajahan
Kolonialisme, artinya kekuatan integrasi politik sangat mendesak kita perlukan dan kita
distribusikan ke nation state ini. Jangan sampai kita menunggu kesalahan-kesalahan yang kita
pernah buat yang menjamin bagi kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Tidak layak bagi
Golput untuk selalu di cap negatif, namun lebih kepada bagaimana mengelola perbedaan sebagai
momentum kedaulatan rakyat tercipta atas sepengetahuan dan keterlibatan penuh dari rakyat itu
sendiri.
Golongan putih atau golput yang lebih dikenal oleh masyarakat luas
merupakan suatu perilaku yang menyimpang bagi penduduk disuatu Negara
demokrasi. Dikatakan penyimpangan karena di dalam Negara demokrasi pendapat
atau suara rakyat sangat menentukan dalam terpilih atau tidaknya seorang
pemimpin. Ada juga yang berpendapat bahwa golongan putih itu adalah golongan
bodoh, karena mereka telah mensia-siakan kesempatan yang diberikan kepada
mereka. Fenomena golput terjadi di sebagian besar Negara di dunia, khususnya di
Indonesia. Meskipun Indonesia telah menyelenggarakan pemilu beberapa kali,
kasus ini belum dapat diatasi oleh pemerintah. Para golongan putih beranggapan
itu adalah hak mereka untuk mempergunakan hak pilihnya. Ada beberapa
penyebab fenomena ini terjadi,antara lain :
1. Kekecewaan pemilih terhadap partai politik.
Masyarakat merasa tertipu atas janji-janji yang diberikan partai politik. Ketika partai
politik membutuhkan suara masyarakat, mereka mengobral janji. Tetapi ketika
mereka telah mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka, mereka lupa akan
janji-janji yang dulu diberikan.
2. Masalah ekonomi.
Indonesia merupakan Negara yang rata-rata pendapatan penduduknya rendah.
Masyarakat lebih memilih mencari uang daripada harus pergi ke tempat pemilihan.
Hal ini karena masalah perut lebih dipentingkan daripada masalah politik. Bahkan
ada yang beranggapan bahwa memilih pemimpin manapun nasib mereka tidak
akan berubah.
Golput tidak hanya terjadi dalam pemilihan tingkat pusat, propinsi, dan
kabupaten/kotamadya bahkan tingkat yang terkecil yaitu desa atau kelurahan pun
juga terdapat golongan putih. Baik dengan cara sengaja tidak hadir dalam
pemilihan maupun memilih melebihi yang ditentukan, sehingga membuat surat
suara menjadi tidak sah.

Perkembangan golput di era reformasi


Tahun Terdaftar Suara sah Tidak hadir Angka golput (%)
1999 117.815.053 105.786.661 12.028.392 10,4
2004 148.000.369 113.462.414 34.537.955 23,34

 Akar Permasalahan Makin Berkembangnya Golput


Golput berkata persoalan ekonomi lebih penting dalam penanganan bangsa
ketimbang politik. Artinya, masyarakat lebih mengutamakan persoalan piring nasi.
Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan menjadi lebih penting dibanding dengan
persoalan penggunaan haknya dalam konstelasi politik. Jika ini benar, maka bias
ditarik kesimpulan sementara, persoalan pekerjaan dan pendapatan adalah
masalah persoalan utama politik. Artinya, ke depan isu ekonomi, tenaga kerja dan
kesenjangan adalah isu politik bagi bangsa ini, isu lama tapi belum tercapai dengan
optimal. Yang jelas, Golput harus dikelola dengan melakukan gerakan cultural lewat
pendidikan dan sosialisasi politik untuk mengembalikan semangat memilih. Angka
Golput akan menjadi sangat kontraproduktif ketika Pemilu dihadirkan dan Golput
tidak akan pernah melahirkan pemimpin yang baik. Komentar dan pergumulan
Golput idealnya datang dari para elit politik dan kaum akademisi dalam
menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada proses demokrasi yang ada.
Prasyarat penting tentang demokrasi yang bisa menjelaskan adalah demokrasi
hanya akan berjalan jika seiring dengan tingkat keterlibatan masyarakat secara
penuh. Tidak ada demokrasi pada Negara yang penduduknya miskin. Artinya,
kemiskinan pada dasarnya merupakan penghalang bagi tumbuh dan
berkembangnya sistem dan budaya demokrasi. Maka, tuntutan yang paling esensial
bagi demokrasi adalah terciptanya label murah bagi masyarakat Indonesia. Mudah-
mudahan fenomena Golput adalah tesis bukan sintesis bagi bangsa ini. Semakin
tinggi tingkat partisipasi
masyarakat dalam Pemilu akan menentukan tingkat partisipasi politik masyarakat
yang berdampak bagi
keseharian kita. Pemberian dukungan tidak dimaknai hanya semata-mata
memberikan dukungan suara, lebih dari itu, pemberian dukungan akan diikuti
dengan upaya melakukan distribusi dalam arti memerintah bukan berkuasa sebagai
partisipasi terhadap demokrasi. Di bawah ini akan disampaikan beberapa faktor
yang membuat Golput semakin berkembang dalam masyarakat kita.
Studi yang dilakukan world economic forum dari Universitas Harvard sekitar tahun 2002
tentang Negara gagal, ciri-ciri dan apa akibatnya di 59 negara dan Indonesia termasuk
didalamnya. Studi ini telah menyimpulkan indikator dan karakteristik dari Negara yang gagal:

a. Tingginya angka kriminalitas dan kekerasan


Munculnya aneka kasus dan tindakan fandalisme, kriminal yang terjadi di masyarakat
akhir akhir ini merupakan gejala awal bahwa Negara kita gagal dalam berdayakan
masyarakatnya (kompas, 27/3/2008). Masyarakat semakin mudah marah oleh sebab sepele lalu
berprilaku fatalis(kompas, 3/9/2008). Gejala kekerasan dan kekejian adalah fenomena dan
indicator kehidupan masyarakat yang anomi dan krisis identitas. Kasus mutilasi menjadi contoh
riil masyarakat yang cenderung mengambil jalan kekerasan dan kekejian dianggap lumrah bagi
masyarakat.

b. Korupsi merajalela
“Ganti saja republik ini dengan republik maling’?” Demikian interupsi Mashadai,
anggota fraksi reformasi dalam rapat paripurna dewan perwakilan rakyat yang membahas perlu
tidaknya Akbar Tanjung dinonaktifkan dari jabatan ketua DPR, kamis 27 februari 2003 (Kompas
9/3/2007). Pernyataan ini seolah validitasnya dapat teruji, menurut Indonesian corruption watch
(ICW), sepanjang 1998 -2007 jumlah kerugian Negara akibat praktek korupsi adalah 1.413,29
milliar, 61,19 persen diakibatkan praktek korupsi di instansi-instansi pemerintah pusat. Dengan
perincian kasus daerah 56 kasus, total kerugian negaranya 548,53 milliar, pusat 26 kasus dengan
kerugian negaranya 864,746 milliar. Modus korupsinya bervariasi yakni eksekutif berupa
penggunaan sisa dana tanpa prosedur, penyimpangan penggunaan sisa APBD dan manipulasi
proses pengadaan barang dan jasa. Sedangkan pihak legislative berupa memperbanyak dan
memperbesar mata anggaran, menyalurkan dana APBD bagi lembaga fiktif dan manipulasi
perjalanan dinas (Jawa pos 11/2/2008). Data inilah yang menguatkan bahwa korupsi adalah
proses bunuh diri yang sangat efektif dalam proses pembangunan sekaligus memandulkan proses
demokrasi yang akan berkembang.

c. Miskinnya opini publik


Opini publik yang dibangun dan dibentuk selama ini telah menga lami bias karena opini
public itu sendiri tidak berlangsung dalam ruang yang hampa dan vakum. Tapi dibentuk,
dikendalikan oleh realitas sosial, politik, ekonomi yang beronani dengan aneka kepentingan
sesaat tanpa pembentukan peradaban komunikasi yang humanistik, membangun budaya
kehidupan (culture of life) tetapi mengarah pada budaya kematian (culture of death). Opini
publik yang disajikan lewat media massa telah mengalami disfungsi makna, disorientasi karena
tanpa diimbangi nilai dan budaya masyarakat, etika profesi, kejujuran informasi dan kesadaran
opini publik yang sehat. Hal ini karena konstruksi realitas berita bersifat elitis dengan pendekatan
isi berita yang top down tetapi tidak bersifat buttom up sehingga problematika sosial kurang
mendapat tempat dan porsi malah pembentukan aneka problematika sosial yang bersifat
destruktif dan menambah patologi social yang merebak dan berkembang dalam masyarakat itu
sendiri. Miskinnya opini publik ini terjadi karena agen opini public itu sendiri bersikap
oportunitis dan berselingkuh dengan penguasa yang ada.

d. Suasana ketidakpastian yang tinggi

Dalam dunia globalisasi kita telah hidup dalam satu desa global (global village)tetapi juga telah
memunculkan fenomena penjajah global (global pillage) yang memunculkan aneka resiko dan
ketidakpastian. Dalam konteks bangsa kita khususnya ekonomi fenomena peran Negara semakin
hilang, seolah-olah masyarakat tanpa Negara. Hal ini muncul dari sistem ekonomi neoliberal
yang mengutamakan kepentingan pasar melalui privatisasi, swastanisasi, deregulasi yang
menguntungkan kaum kapitalis dan menggiring rakyat pada jurang kemiskinan, kuburan
kematian, dan kemandulan ekonomi kerakyatan. Dalam kebudayaan, konteks kekinian bangsa
kita mengalami krisis identitas, chaos, alienasi, kehilangan kearifan lokal. Hal-hal yang bersifat
lokal jenius pelan-pelan luntur karena eksistensi budaya global yang pelanpelan menghilangkan
budaya bangsa sekaligus proses penyeragaman budaya global. Dalam bidang politik atau dunia
politik kita tidak ada ruang politik melainkan ruang digital politik. Politik adalah “show bisnis”
kata Neil Postmann seorang pedagogik dan kritikus media. Politik telah menjadi lahan bisnis
media. Dalam masyarakat tontonan yang dipengaruhi informasi dan komunikasi citra, pesan dan
kesan serta penampilan luar adalah segalanya. Seluruh pesan politik dikemas agar memikat
masyarakat. Politik citra menjadi politik kemasan. Di era digital dan kebudayaan televisi, politik
dan pelaku politisi menjadi panggung hiburan. Politisi lebih suka tampil di media dan membuat
sensasi berita, lebih suka retorika daripada karya, lebih suka doyan fashion ketimbang vision,
tebar janji daripada tebar kinerja dan lebih suka tebar pesona daripada tebar aksi. TV tampil
sebagai media utama kanal komunikasi elit politik sekaligus sumber kanal gosip politik.
Fenomena inilah yang memunculkan aneka Golput karena masyarakat mengidentikan politik
dengan kotor, penipuan, pembohongan, politik jauh dari realitas. Masyarakat tidak ada
kepercayaan politik melainkan perdayaan politik. Tidak ada realitas politik melainkan
fatamorgana politik. Tidak ada kebajikan politik melainkan permainan bebas politik. Inilah dunia
politik kita yang didalamnya terjadi perubahan mendasar mengenai definisi,pemahaman tentang
ruang, kebenaran, kepercayaan dan realitas politik bagi masyarakat. Ada tiga isu utama
perubahan dan ketidakpastian dalam dunia politik kita : pertama, geopolitik yaitu politik menjadi
ruang global yang menembusi sekat dan ruang tanpa batasan geografis yang jelas sehingga
kehilangan roh dan orientasinya bagi masyarakat karna efek abad informasi dan globalisasi.
Kedua, politik ruang yaitu ruang publik yang menjadi orientasi politik mengalami disorientasi
karena faktor ruang maya yang mengutamakan pencitraan. Politik menjadi maya tanpa realitas
karena ruang janji lebih dominan daripada ruang aksi. Ketiga ,politik waktu yaitu esensi dan
substansi politik tidak diutamakan karena mengutamakan kecepatan dan percepatan informasi
untuk mencapai kepentingan. Hal ini melalui gejala kaderisasi dan rekrutmen partai yang tidak
jelas serta munculnya caleg-caleg bermasalah dan karbitan Tiga isu utama inilah yang membuat
politik kita, meminjam istilahnya Yasraf A.Pilliang mengalami transpolitika karena adanya
persilangan politik dengan media, politik dengan dunia hiburan, politik degan seksualitas, politik
dengan komoditi . Pergeseran fungsi politik ini membuat masyarakat tidak puas akan kinerja
politik yang jauh dari kenyataan dan harapan mereka.Fenomena Golput merupakan reaksi atas
gejala politik yang gagal membawa perubahan bagi masyarakat.Sistem politik berubah, banyak
partai-partai baru bermunculan, otonomi daerah dan Pilkada diberlakukan. Semuanya dilakukan
dengan harapan akan membawa perubahan dan perbaikan masyarakat. Tapi harapan tinggal
harapan, korupsi semakin merajalela, kemaksiatan meningkat aset –aset nasional banyak yang
dijual kepada asing, partai politik saling cakar-cakaran sendiri, anggota legislatif bermain money
politic. Semua kebobrokan itu terjadi pada tingkat pusat sampai kepelosok-pelosok daerah . Pada
kondisi seperti itu, apa yang diharapkan masyarakat? Rakyat tak berdaya dan tak bias berbuat
apa apa kecuali menunjukan rasa kekecewaannya dengan Golput dalam setiap pilgub/Pilkada.
Fenomena tingginya angka Golput dan kecenderungan yang terus meningkat pada era reformasi
ini lebih menunjukan meluasnya apatisme rakyat terhadap proses rekritmen pemilihan pemimpin
di daerahdaerah di seluruh Indonesia, apatisme ini muncul karena sudah berkali-kali di
kecewakan pada Pemilu maupun pilgub atau Pilkada. Pergantian se- Pemilu yang melelahkan,
biaya yang besar, tidak memberikan faedah langsung bagi rakyat. Pemilu tidak menyelesaikan
kemelut rakyat lapar yang menggantung diri karena tidak mampu membayar uang sekolah
anaknya atau ibu membakar anaknya karena beban hidup yang teramat berat. Juga negara yang
lupa meningkatkan kesehatan publik sehingga munculnya aneka penyakit dan kasus mutilasi.
Dengan kata lain kepemimpinan politik produk Pemilu ternyata tidak mampu membebaskan
rakyat yang terbelenggu. Padahal, masa depan politik kebangasaan menjadi suram jika
kepemimpinan politik mengagalkan sensitivitas moral dan kepekaan sosial bagi proses
penyelenggaraanya. Pemimpin produk Pemilu harus memiliki sense of crisis, ikut meraorang
pemimpin ternyata sama sekali tidak membawa perubahan perbaikan. Bagi rakyat kemudian
muncul kesimpulan yang merata bahwa siapa saja yang memimpin tidak ada bedanya. Jadi untuk
apa diadakan Pemilu atau Pilkada yang menghabiskan uang miliaran rupiah kalau toh hasilnya
sudah sama-sama diketahui akan sama saja. Pada kondisi begitu, rasanya sangat sulit untuk
mendapatkan seorang pemimpin yang bersih, jujur, amanah, dan layak di percaya baik di
kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif. Krisis kepercayaan ini tentu tak lepas dari ulah partai-
partai politik sebagaian infrastruktur yang mengolah, mengkader dan memproses elit politik.
Masyarakat Indonesia ditengarai semakin apatis dan tidak lagi mengapresiasi keberadaan partai-
partai politik, sebab keberadaan partai politik dianggap tidak sungguh-sungguh dalam
menjalankan fungsi dan perannya untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat.

2. Pemilu Yang Tidak Bermanfaat Langsung Kepada Rakyat

Pemilu yang melelahkan, biaya yang besar, tidak memberikan faedah langsung bagi
rakyat. Pemilu tidak menyelesaikan kemelut rakyat lapar yang menggantung diri karena tidak
mampu membayar uang sekolah anaknya atau ibu membakar anaknya karena beban hidup yang
teramat berat. Juga negara yang lupa meningkatkan kesehatan publik sehingga munculnya aneka
penyakit dan kasus mutilasi. Dengan kata lain kepemimpinan politik produk Pemilu ternyata
tidak mampu membebaskan rakyat yang terbelenggu. Padahal, masa depan politik kebangasaan
menjadi suram jika kepemimpinan politik mengagalkan sensitivitas moral dan kepekaan social
bagi proses penyelenggaraanya. Pemimpin produk Pemilu harus memiliki sense of crisis, ikut
meraorang pemimpin ternyata sama sekali tidak membawa perubahan perbaikan. Bagi rakyat
kemudian muncul kesimpulan yang merata bahwa siapa saja yang memimpin tidak ada bedanya.
Jadi untuk apa diadakan Pemilu atau Pilkada yang menghabiskan uang miliaran rupiah kalau toh
hasilnya sudah sama-sama diketahui akan sama saja. Pada kondisi begitu, rasanya sangat sulit
untuk mendapatkan seorang pemimpin yang bersih, jujur, amanah, dan layak di percaya baik di
kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif. Krisis kepercayaan ini tentu tak lepas dari ulah partai
partai politik sebagaian infrastruktur yang mengolah, mengkader dan memproses elit politik.
Masyarakat Indonesia ditengarai semakin apatis dan tidak lagi mengapresiasi keberadaan partai-
partai politik, sebab keberadaan partai politik dianggap tidak sungguh-sungguh dalam
menjalankan fungsi dan perannya untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat. Sakan
penderitaan rakyat sehingga melahirkan kebijakan dan keputusan yang propoor, projob dan
prodevelopment. Maka, yang diperlukan adalah kepekaan etis untuk mengutamakan hajat hidup
orang banyak diatas pamrih kekuasaan individu maupun kelompok dan menjalankan kekuasaan
secara jujur dan tulus. Namun yang terjadi sungguh mengerikan, saat nasib rakyat tak terurus
kepemimpinan politik telah melahirkan banalitas dan binalitas politik, dimana politik itu akan
menjadi dangkal, tawar dan sia - sia karena mengedepankan nafsu dan kepentingan pragmatis.
Selain pemimpin produk Pemilu yang tidak bekerja untuk hajat hidup orang banyak juga partai
politik sebagai institusi demokrasi telah melahirkan politik ekslusif bukan politik inklusif,
ideology yang tidak jelas, program yang tak terarah, manejemen partai yang tidak terorganisir,
konsolidasi partai melalui rekrutmen dan pengkaderan yang mandek telah melahirkan kinerja
politik yang jauh dari kesejahteraan sosial. Fenomena Golput adalah jawaban rakyat atas
pemimpin dan partai serta politik yang tidak mengoptimalkan fungsinya bagi pemilihnya.
Konstituen atau para pemili dan para peserta Pemilu atau yang disebut Parpol, menawarkan janji-
janji atau programnya pada masa kampanye, sedangkan konstituen terjebak atau sepaham dalam
ideologisnya partai yang bermuara terhadap radikalisme dan anarkisme. Dari program-program
yang telah disosialisasikan pada masa kampanye, secara implementasinya pada akar rumput,
ternyata tidak sesuai dengan program-program pada saat kampanye, sehingga munculnya faham
golongan putih atau Golput yang merupakan representatif konstituenn akan ketidak
sinkronisasinya program-program dengan implementasi. Hal mendasar inilah yang menjadi
Golput kian bertambah tiap tahun berujung pada kepercayaan public semakin menurun terhadap
lembagalembaga pemerintahan, sehingga Golput bagi masyarakat bukan lagi menjadi fenomena
tetapi realitas dan cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan
demokrasi.

3. Demokrasi tanpa Substansi dan Esensi


Esensi dan substansi yang diperjuangkan dalam demokrasi (baca:demokrasi pancasila)
adalah kesejahteraan rakyat, kebaikan bersama dan keadilan sosial (commond good, bonum
publicum). Namun cita-cita ideal dari demokrasi ini sengaja dilupakan untuk diaplikasikan dan
diimplementasikan. Demokrasi yang ada hanya mengutamakan demokrasi politik, tanpa
diimbangi dengan demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Korelasi antara demokrasi politik
tidak berbanding lurus dengan perkembangan ekonomi dan sosial. Sesuatu yang sangat paradoks
dan antagonisme politik ketika mengutamakan kepentingan politik tetapi meniadakan
kepentiangan ekonomi masyarakat dan sosial. Demokrasi pancasila yang dicitacitakan oleh para
founding fathers lebih bersifat talking of democrazy tidak mengutamakan dan menjadi working
and way of democrazy. Pembangunan ekonomi lebih mengutamakan gaya kapitalistik yang
memunculkan solidaritas materialistik. Alat dan tubuh demokrasi lebih mengembangkan habitus
politik elitis daripada rakyat. Sehingga prinsip negara kesejahteraan sosial, investasi sosial dan
Negara subsidiritas dalam semangat kebangsaan semakin jauh dari harapan dan ideal serta
realitas. Fenomena Golput merupakan reaksi dan pembangkangan sipil dari rakyat karena karya
demokrasi kita yang lebih bersifat proses, procedural daripada hasil, kesejateraan rakyat sebagai
substansi yang diperjuangkannya. Dalam karya agungnya, the city of God St. Agustinus
berpendapat bahwa cinta dan kasih merupakan nilai ideal dalam pembanguna kota atau negara.
Sorotan St. Agustinus ini tentang kota ideal ini bukan tatanan fisik kota yang dipanoramai oleh
gedunggedung dan jalur jalan, tetapi kondisi masyarakat yang adil, damai, bahagia dan sejahtera
sebagai hasil utama dari perjuagan demokrasi yang bekerja untuk kepentiangan masyarakat itu
sendiri. Namun kehidupan social negara kita benar-benar kontradiktif seperti paksaaan politik
unilateral, komunikasi politik yang tidak membangun peradaban, cerdas lewat iklan politik,
ketidakadilan, depresi, kekerasan, dan KKN yang merajalela. Fenomena Golput yang
berkembang akhir-akhir ini dalam masyarakat kita merupakan reaksi yang bersifat etis moral dan
politik terhadap fenomena kehidupan bangsa yang sifat kontradiktif dan melawan martabat luhur
kemanusiaan. Fenomena Golput adalah reaksi terhadap turbulensi politik yang kotor, jijik, dan
tidak berpihak pada realitas kehidupan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Golput
merupakan keinginan rakyat untuk menciptakan peradaban kota ilahi, kota ideal, seperti yang
dicita-citakan oleh St.Agustinus dalam beberapa abad yang silam. Kota ideal ini akan terwujud
jika kita mengedepakan dan mengutamakan kesejahteraan sosial, keadilan bagi semua orang
sebagai nilai subtansi dari demokrasi.

Kalau kita memaknai Golput sebagai para pemilih yang tidak menggunakan haknya, hal
demikian merupakan fenomena massive di banyak negara. Bahkan, di negara-negara yang
kehidupan demokrasinya sudah mapan pun, tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu cenderung
rendah. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat partisipasi pemilih di dalam Pemilu hanya pada
kisaran 50-an persen. Pada pilpres 1968, turn out¬-nya hanya 60,8 persen. Jumlah ini menurun
menjadi 49 persen pada Pilpres 1996, meningkat sedikit menjadi 50,4 persen pada 2000, dan
kembali naik menjadi 56,2 persen pada pemilihan presiden di 2004. Kalaupun di negara-negara
maju didapati tingkat partisipasi pemilih yang sangat tinggi, itu lebih banyak disebabkan oleh
aturan main bahwa memilih di dalam Pemilu itu wajib (compulsari election). Kalau seseorang
tidak memilih, dikenakan denda, misalnya harus membayar uang dalam jumlah tertentu. Hal ini
terlihat di Australia dan Belgia, yang turn out-nya di dalam setiap Pemilu rata-rata mencapai
lebih dari 90 persen. Meskipun demikian, secara umum, tingkat partisipasi pemilih di dalam
Pemilu di banyak negara mengalami penurunan. Table 1 memberi ilustrasi adanya penurunan
turn out yang dialami oleh negara-negara maju pada periode 1950-an dan 1990-an. Dari 17
negara maju yang dianalisis, hanya Denmark dan Swedia yang tidak mengalami penurunan.
Delapan diantaranya mengalami penurunan di atas 10 persen dan 7 negara yang mengalami
penurunan di bawah 10 persen. Terdapat sejumlah analisis untuk menjelaskan pertanyaan
mengapa terdapat fenomena Golput di banyak negara seperti itu. Pertama, analisis dikaitkan
dengan berakhirnya perang dingin (Franklin 2002). Bagi para pemilih, dating ke TPS-TPS tidak
lagi memiliki makna penting karena tidak ada isu yang signifikan, khususnya yang berkaitan
dengan isu-isu kesejahteraan. Konflik antara kelompok kapitalis dengan kelompok buruh
tereduksi ketika negara-negara yang sebelumnya dicap kapitalis itu mampu membangun negara
berkesejahteraan (welfare states). Melalui model demikian, jurang pemisah antara kapitalis
dengan buruh, relatif bisa terkurangi secara tajam. Ikut atau tidak ikut di dalam Pemilu, dengan
demikian tidak memiliki makna yang cukup berarti. Hal ini terjadi karena platform antara
kekuatan politik yang satu dengan kekuatan politik yang lain yang berjuang di dalam
pemerintahan melalui Pemilu tidak begitu berbeda. Di dalam Pemilu yang diadakan secara
demokratis, masing-masing kontestan yang bersaing berusaha merebut hati pemilih melalui janji-
janji untuk mensejahterakan rakyat, sekaligus berusaha menciptakan track record yang baik agar
bisa tetap terpilih pada Pemilu berikutnya. Dengan demikian, masing-masing kontestan berusaha
mengembangkan ‘promissory representation’ sekaligus ‘antisipatory representation’
(Mansbridge 2003) sebagai upaya untuk meyakinkan para pemilih. Kedua, analisis dikaitkan
dengan globalisasi (Franklin 2004). Analisis ini tidak semata-mata dikaitkan dengan fakta bahwa
menurunya tingkat partisipasi pemilih merupakan fenomena global. Analisis ini dikaitkan
dengan argument bahwa globalisasi telah mereduksi kekuasaan negara, termasuk para pemegang
kekuasaan negara, karena menguatnya kekuatan-kekuatan internasional, termasuk pasar
internasional. Kebijakan-kebijakan suatu negara lalu tidak independen terhadap pengaruh
kekuatan-kekuatan itu. Realitas demikian dipandang memiliki pengaruh terhadap makna Pemilu
yang diadakan di suatu negara. Ketiga penurunan tingkat partisipasi pemilih itu dikaitakan
dengan turunnya tingkat kepuasaan terhadap performance pemerintah (Norris 1999). Termasuk
di dalam analisis ini adalah adanya penurunan tingkat trust para pemilih terhadap para politisi
(Franklin 2004). Analisis yang kedua ini dikaitkan dengan argument dari para pemilih
bahwa siapapun yang duduk di dalam pemerintahan itu sulit dipercaya karena tidak mampu
memenuhi janji-janji yang telah diucapkan. Para pemilih demikian memiliki sikap sinis terhadap
para politisi, yang dipandang pandai mengobral janji, tetapi sulit menepatinya. Di dalam
pandangan pemilih yang seperti ini, siapapun politisi yang berkuasa dan darimana asal partainya,
memiliki kecenderungan yang serupa, yaitu berusaha dekat dengan para pemilih ketika
menjelang Pemilu dan cenderung menjauh setelah berkuasa. Di dalam bahasa Robert Michels
(1959), para politisi itu lebih cenderung membawa Negara di dalam suasana Oligarkhis, karena
kekuasaan lebih banyak dimainkan dan untuk keberuntungan sekelompok kecil orang saja.
Implikasi dari pandangan yang tidak puas terhadap para politisi itu adalah berkurangnya
keterkaitan (engagement) antara elite yang berkuasa atau hendak berkuasa dengan massa.
Realitas ini pada akhirnya akan melahirkan sikap lanjutan, bahwa ikut Pemilu atau tidak itu tidak
memiliki pengaruh berarti di dalam menentukan jalannya pemerintahan, yaitu sama-sama kurang
menguntungkan terhadap para pemilih. Wujud kongkritnya adalah mereka tidak bersedia
dating ke TPS-TPS , atau melakukannGolput. Analisis yang ketiga itu seiring dengan pandangan
Anthony Downs (1957), bahwa para pemilih itu cenderung rasional di dalam menentukan
pilihan-pilihannya. Lebih jauh Downs (1957:36) mengatakan bahwa para pemilih itu cenderung
menentukan pilihan-pilihannya seiring dengan keuntungan-keuntungan yang didapat dari
pemerintah. Manakala pemerintah dipandang tidak lagi membawa keuntungan-keuntungan,
mengapa harus ikut memilih? Di sini, para pemilih dipandang tidak memiliki insentif untuk
dating ke bilik-bilik pemungutan suara. Bahkan, dating ke bilik-bilik suara bias dipandang
sebagai sesuatu yang merugikan (costly) seperti harus membuang waktu dan capek mengikuti
antrian panjang. Keempat, berbeda dengan pandangan yang kedua, munculnya Golput juga bias
dimaknai oleh adanya kepercayaan yang cukup besar terhadap pemerintahan yang sedang
berkuasa (Marijan 2005). Tidak dating ke bilik suara mengandung makna bahwa pemerintah
yang sedang berkuasa itu tidak perlu diganti, karena dianggap bisa menjalankan pemerintahan
dengan baik. Indikator yang sering dipakai adalah berkaitan dengan capaian-capaian di bidang
ekonomi, misalnya saja adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan adanya
penurunan tingkat pengangguran. Pandangan demikian seiring dengan munculnya fakta di
sejumlah Negara, seperti Inggris, bahwa ketika terdapat semangat untuk mengganti pemerintah
yang berkuasa, tingkat partisipasi pemilih meningkat lebih tinggi. Sebaliknya, ketika terdapat
kepercayaan bahwa pemerintah yang sedang berkuasa (incumbent) itu tidak perlu diganti, tidak
sedikit para pemilih yang tidak merasa perlu datang ke TPS-TPS. Kelima, meningkatnya Golput
berkaitan dengan kecenderungan budaya politik yang ada di dalam masyarakat, yakni apa yang
disebut Bruce Ackerman dan James Fishkin (2003:7) sebagai ‘civic privatism’. Di dalam konteks
demikian, memilih dipandang sebagai persoalan yang pribadi dan tidak bias dipaksakan. Di
dalam budaya politik seperti ini, masyarakat cenderung mengabaikan (ignorance) terhadap
masalah-masalah politik. Di Amerika Serikat, permasalahan demikian dipandang oleh Robert
Talisse sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Lebih lanjut, Talisse mengatakan, ‘penurunan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik ini dibarengi oleh peningkatan adanya pengabaian
yang berkaitan dengan aspek-aspek yang paling fundamental di dalam bekerjanya pemerintahan
Amerika’ (Talisse 2005:2). Untuk kasus Indonesia, analisis yang ketiga dan kelima itu
barangkali yang lebih relevan sebagai kerangka dasar analisis untuk memahami fenomena
tentang relative tingginyaJurna

Golput jelas bukan suatu gertakan. Catatan di atas menunjukkan bahwa ‘menurunnya tingkat
pemilih’ adalah suatu ancaman yang nyata dan riil. Namun, Golput di situ bukanlah Golput
sebagai suatu ‘gerakan politik’ yang dikenal dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Golput di
sini kombinasi dari sikap: pertama, apatisme, sikap cuek dan tidak peduli, yang sebenarnya
sudah lazim, bahkan dalam negara dengan tingkat melek politik yang paling maju sekalipun.
Apatisme masyarakat itu berkaitan dengan deligitimasi Parpol dan juga pemerintah sendiri yang
dianggap kurang mampu membawa perubahan sebagaimana dijanjikan dalam kampanye. Kedua,
berkaitan dengan kinerja KPU yang berhadapan dengan masalah kekurangmampuan panitia dan
aparatusnya, dalam penyelenggaraan Pilkada/Pemilu sehingga banyak pemilih yang tidak
terdaftar, atau yang sudah terdaftar tidak mendapat kartu pemilih. Salah satu sebab adalah karena
ketidaklancaran pendanaan dan terbatasnya sumber daya manusia di kalangan KPU sendiri.
Diperlukan suatu kerjasama secara sinergis di antara instansi terkait yang bahu membahu dengan
mitra strategis di lapangan, agar kinerja KPU semakin dapat ditingkatkan. Di samping itu,
kurangnya sosialisasi yang intensif maka warga masyarakat kurang paham terhadap cara
melakukan teknik memilik di bilik suara. Akibatnya terjadi kerusakan suara cukup tinggi, karena
kurangnya pemahaman pemilih terhadap sistem dan aturan pemilihan. Perubahan sistem dan
aturan ikut mendorong gejala ini. Ketiga, adanya kejenuhan masyarakat terhadap Pemilu sebagai
akibat tingginya kegiatan Pemilu. Kejenuhan masyarakat juga merupakan penyebab makin
rendahnya tingkat partisipasi Pemilu. Sejak adanya pilihan langsung, rakyat semakin sering
mengikuti berbagai Pemilu, baik dari tingkat Pilkades, Pilkada Kabapaten/Kota, Pilkada
Gubernur, dan Pilpres, dan Pilihan Caleg. Tingginya frekuensi keterlibatan masyarakat dalam
Pemilu itu membuat masyarakat menjadi jenuh. Keempat, berkaitan dengan berkembangnya
persepsi bahwa Pemilu itu antara hak dan kewajiban. Sebagian warga mengatakan ikut Pemilu
itu hak dan sebagaian lagi merupakan kewajiban. Hal ini berkaitan dengan budaya politik yang
berkembang di kalangan warga negara Indonesia. Dalam masyarakat yang orientasi budaya
politiknya parokial, masih menganggap bahwa ikut Pemilu itu adalah kewajiban, dan bukan hak.
Oleh karena itu, kelompok itulah yang memberikanm kontribusi signifikan terhadap persentase
tingkat partisipasi dalam Pemilu selama ini. Sementara kalangan warga masyarakat yang
mempunyai orientasi budaya politik partisipan, semakin kurang antusias dalam mengikuti
Pemilu karena mereka tahu bahwa ikut Pemilu adalah hak, bukan kewajiban. Jadi dapat
dikatakan, bahwa yang menyumbang semakin tingginya Golput adalah dating dari kalangan
warga masyarakat yang memiliki orientasi budaya politik partisipan, yang sudah memiliki
kesadaran politik dan biasanya datang dari kalangan kelas menengah ke atas. Dari keempat
gejala itu, hanya yang pertama dan keempatlah, yang boleh dikatakan mencerminkan gejala
Golput. Itu pun bukan suatu gerakan politik, meski pasti berdampak politik,mtetapi lebih sebagai
reaksi yang bersifat invidual. Dua gejala ini pasti tidak akan bisa dihapuskan, karena ia telah
menjadi bagian dari sistem dan perundangan Pemilu itu sendiri, di mana Pemilu lebih merupakan
hak rakyat. Terserah rakyat mau ikut memilih atau pun tidak memilih. Kecuali bila Pemilu
ditetapkan sebagai ‘kewajiban’ di mana ada sanksi-sanksi hukum terhadap mereka yang tidak
memilih. Karena itu, yang bisa dilakukan hanyalah menekan angka itu sekecil-kecil dan
serendah-rendahnya. Sementara kasus ‘Golput’ kedua dan ketiga, tak ada lain kecuali
mendengarkan dan mengiyakan rekomendasi beberapa responden agar KPU/KPUD dan
aparatusnya lebih intensif, serius, dan tepat melakukan pekerjaannya, mulai tingkat pendaftaran
hingga pen’centang’an, sangatlah relevan. Diyakini karena faktor- faktor yang bersifat teknis
inilah, lahir banyak suara yang diindikasikan ‘Golput’ tersebut. Tingkat partisipasi pemilih dan
potensi Golput juga berkait dengan wilayah geografis, baik karena factor kelas, ekonomi,
maupun afiliasi politik-keagamaan. Wilayah perkotaan, yang dihuni kalangan urban dan terdidik,
diyakini memiliki potensi Golput jauh lebih besar daripada di pedesaaan. Pemahaman di
perkotaan bahwa ikut memilih itu adalah hak dan kesadaran politik yang lebih kritis tentu
menjadi faktor yang dominan menentukan tingkat partisipasi pemilih. Sebaliknya, di pedesaan
Pemilu masih banyak dipahami sebagai ‘hak’ dan tanggung jawab sebagai warga negara. Pada
saat yang sama, tingkat kesadaran politik pada umumnya juga lebih rendah. Catatan dari
lapangan yang diperoleh studi ini menunjukkan Golput memiliki banyak faktor dan nuansanya
sangat beragam. Nuansa ini penting dipahami untuk kepentingan menekan angka Golput itu di
satu pihak, dan di pihak lain, membaca pikiran yang ada di tengah masyarakat. Nuansa ini sering
tenggelam ketika kita membaca ‘Golput’ sebagai gejala statistik belaka.

l DIALOG
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal dialog Kebijakan Publik, Edisi 4 / Desember / Tahun II / 2008


www.isnaini.com
blog.fisip.unsil.com
www.depkominfo.com

Anda mungkin juga menyukai