1. Perbedaan Konsep
1. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi
yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin
ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari
rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat
level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah
(kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara
teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut
paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga
merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru
mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas
birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif,
terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan
dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata
lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar
suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya
sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu
organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi
dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena
birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh
karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan.
Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry
(1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam
paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem
politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh
karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya
menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai
upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar
mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan
pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun
dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi
daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang
terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih
sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan
pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional
dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah
picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan
menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas
dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat
otonomi itu sendiri.
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan
terobosan yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih
kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat
hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang
sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang
ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit
organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat
ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal
terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh
pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai
tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan
publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak
pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat.
Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan
mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di
instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi
administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan
paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi
paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992)
atau reinventing government, 1992, 1997).
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam
mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit
eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah
pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap
aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan
fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah
dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU.
Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi
menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang
kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang
di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan
dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu
melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak
leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan
kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.
A. KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi
dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan
peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang
dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu
dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal
untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang
kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru,
seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan
hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu
diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan
yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dari uraian tersebut maka dapat kita rincikan kendala pelaksanaan
otonomi daerah seperti terlihat dalam peta konsep berikut ini.
Gambar 8.2.
Peta Konsep Hambatan Otonomi Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal
mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini
merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah
menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah
“sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model”
berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih
cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan
kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan
yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu
untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur
pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan
keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan
(interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai
tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh.
Hatta, bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-
activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi,
yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat
tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.
Hambatan dan masalah yang dihadapi dalam upaya
Pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain :