Anda di halaman 1dari 10

Hambatan-hambatan dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah


 

A. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1. Perbedaan Konsep

Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di


kalangan cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada
yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan,
terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-
sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof.
Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan
otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana
daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa
memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan
menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks
NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak
sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi.
Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau
kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah.
Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi
pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah
dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas
kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan
aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan
pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi
sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan
kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang
pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik
luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional
pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan
pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam
dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu
mekanisme empowerment  (pemberdayaan). Menurut kelompok ini
menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan
lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil
kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh
Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan
referensi teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang
kemudian menimbulkan berbagai interpretasi.           
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi
dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P.
Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan
yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai
dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak
diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi
sebagai salah satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana
nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi
daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi
dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan
Heron, sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh
suatu organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat
otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi
tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To
Which and Organization Has Power With Respects to Its
Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan
antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan
sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah
diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah
mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal
terlepas dari pengaruh lingkungannya.
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49)
sebagai keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur
perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto”
yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan perundangan.
Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai
kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian. Apabila dikaji lebih
jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau
bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita
bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan”
namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah),
tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari
pola dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi
ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati
oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203
kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991
kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa
nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal
ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di
Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan
kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara
federalistik adalah negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas
yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara
kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan
otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara
federal lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan
lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan
kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini
bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut.
Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola
dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain
perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan
pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan
berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil
komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan
kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit
menjadi satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu
“platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini
dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat
berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1)
dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara
provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan
hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas
kabupaten - kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita
melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas
bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang
tidak berada di atasnya secara struktural.
Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota,
Presiden RI mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas
provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga
non-departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of
control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang
Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain
menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep
berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti
Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution,
padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu adalah
“desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana
hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik,
sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di
daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan
adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori
penyerahan kewenangan itu menganut
model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau
dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No.
22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference  Amerika yang hanya
mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI.
Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah
Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI
menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution”
ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak
cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan
lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang otonomi
daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan 5 (lima) tahun
setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan
waktu. Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri
dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan
secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B.
J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada
tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi.
Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar.
Kementrian Otda dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak
ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang
merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih
dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya belum dibuat untuk
mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak hanya
pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level
pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari
kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena
itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang
konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan,
strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan
sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian
dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi beragam.
Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep otonomi
daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.
 

1. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi
yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin
ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari
rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat
level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah
(kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara
teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut
paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga
merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru
mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas
birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif,
terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan
dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata
lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar
suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya
sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu
organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi
dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena
birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh
karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan.
Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry
(1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam
paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem
politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh
karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya
menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai
upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar
mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan
pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun
dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi
daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang
terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih
sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan
pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional
dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah
picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan
menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas
dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat
otonomi itu sendiri.
 

A. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI

 
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan
terobosan yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih
kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat
hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang
sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang
ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit
organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat
ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal
terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh
pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai
tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan
publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak
pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat.
Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan
mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di
instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi
administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan
paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi
paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992)
atau reinventing government, 1992, 1997).
 

A. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

 
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam
mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit
eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah
pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap
aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan
fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah
dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU.
Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi
menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang
kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang
di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan
dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu
melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak
leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan
kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.
 

A. KESALAHAN STRATEGI

 
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi
dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan
peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang
dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu
dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal
untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang
kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru,
seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan
hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu
diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan
yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dari uraian tersebut maka dapat kita rincikan kendala pelaksanaan
otonomi daerah seperti terlihat dalam peta konsep berikut ini.

Gambar 8.2.
Peta Konsep Hambatan Otonomi Daerah
 
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal
mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini
merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah
menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah
“sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model”
berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih
cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan
kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan
yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu
untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur
pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan
keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan
(interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai
tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh.
Hatta, bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-
activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi,
yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat
tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.
Hambatan dan masalah yang dihadapi dalam upaya
Pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain :

a. Materi pokok Undang-undang No. 5 Tahun 1974 cenderung


lebih dititikberatkan pada efisiensi manajemen pemerintah.
Sedangkan aspek yang mendorong demokratisasi masih belum
mampu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini
antara lain terlihat dari kedudukan DPRD sebagai unsur dari
Pemerintah Daerah.
b. Penyerahan urusan lebih cenderung hanya mengenai hal yang
bersifat administratif tanpa diiringi upaya yang memadai dalam
pemberian insentif yang memungkinkan Pemerintah dan
masyarakat Daerah Otonomi bergairah untuk melakukan
upaya-
upaya peningkatan ekonomi didaerahnya, sehingga Pendapatan Asli Daerah sulit
meningkat.
c. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah belum dilaksanakan secara proposional sesuai
dengan prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Belum lengkap dan rincinya peraturan perundang-undangan yang mendukung
pelaksanaan Otonomi Daerah menimbulkan perbedaan interprestasi dan persepsi yang
mengakibatkan tumpang tindih kewenangan antara instansi Pusat dan Daera

Anda mungkin juga menyukai