Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Agama

Kelompok I

Agselya Putri Pratiwi (4118005)

Rindiani Fitri (4118018)

Dosen Pengampu

Dr. Silfia Hanani, M.Si

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

2020 M/1441 H
A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan
lingkungannya. Meskipun manusia memiliki istilah lain sebagai individu namun
pada hakikatnya mereka tidak dapat terlepas dari kebutuhan atas manusia lain.
Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut manusia tentu membutuhkan rules atau
norma-norma yang dapat memberikan batas-batas tertentu dalam rangka
mewujudkan interaksi sosial yang mana aturan tadi bersumber dari keyakinan
yang masing-masing mereka anut atau biasa disebut dengan agama. Lalu,
bagaimana relasi antara masyarakat dengan agama? Bagaimana agama bisa
mempengaruhi realitas sosial yang ada? Hal ini dan lainnya yang berkaitan
memiliki bahasannya dalam ilmu sosiologi. Maka, makalah ini akan mencoba
menjabarkan satu per satu mengenai hal-hal yang related dengan permasalahan di
atas baik pengertian sosiologi, agama, sosiologi agama, sejarah perkembangannya,
ruang lingkup serta urgensi mempelajarinya.

B. Pembahasan
1. Pengertian Sosiologi
Perkataan sosiologi pertama kali digunakan pada tahun 1839 oleh
Auguste Comte, seorang ahli filsafat kebangsaan Perancis. Comte banyak
memberikan sumbangan yang sangat penting kepada sosiologi. Oleh karena
itu, tokoh ini lazim dikenal dengan bapak sosiologi.1
Ditinjau dari aspek kebahasaan sosiologi terdiri dari dua kata, yakni
socius dan logos. Socius berarti masyarakat atau sosial dan logos memiliki
makna ilmu. Maka, secara sederhana dapat diperoleh suatu pengertian bahwa
sosiologi adalah ilmu yang didalamnya mempelajari serta membahas hal-hal
yang berkenaan dengan masyarakat.2
Sosiologi bukanlah semata-mata ilmu murni yang hanya
mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi usaha peningkatan
kualitas, namun sosiologi juga dapat menjadi ilmu terapan yang menyajikan
cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan
problematika sosial. Berikut kami paparkan beberapa definisi sosiologi:

1
M. Sitorus, Berkenalan dengan Sosiologi jilid 1 edisi kedua, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2000), hlm. 5
2
Agus Machfud Fauzi, Sosiologi Agama, (Universitas Negeri Surabaya, 2019), hal. 1

1
a. Sosiologi adalah ilmu yang menguak, menyingkap, mengungkap, dan
membongkar fakta-fakta yang tersembunyi di balik realitas yang nyata,
karena dunia yang sebenarnya baru dapat dipahami jika dikaji dan
diinterpretasikan secara mendalam.
b. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi sosial, menelusuri asal-
usul pertumbuhannya, menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap
anggotanya, perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang
dibangunnya, meliputi: masyarakat, keluarga, suku bangsa, komunitas dan
pemerintahan, organisasi sosial, politik, agama dan bisnis.
c. Sosiologi adalah disiplin ilmu tersendiri dengan ciri-ciri intelektual secara
khusus, sistematis, terandalkan mengembangkan pengetahuan tentang
hubungan sosial manusia pada umumnya dan tentang produk dari
hubungan itu sendiri.3
Sosiologi dapat diidentikkan dengan studi tentang struktur sosial
yang merupakan konsekuensi utama kehidupan bersama. Sosiologi juga
mengajarkan manusia bagaimana cara beriteraksi yang menghasilakan pola
tertentu, hukum-hukum, prinsip-prinsip yang mengatur hubungan dan
interaksi sosial tersebut serta hubungan dialektik antara manusia sebagai
individu dan masyarakat sebagai kesatuan kelompok sosial.4
Beberapa definisi sosiologi di atas bukanlah suatu hal yang bisa
dikatakan pasti atau statis, karena setiap orang akan memiliki pandangannya
sendiri sesuai dengan apa yang telah ia pahami. Maka, terdapat beberapa
paradigma yang dapat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam
menginterpretasikan sesuatu yang tentunya dalam hal ini berkaitan dengan
sosiologi itu sendiri.
George Ritzer dalam bukunya Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, ia telah menggolongkan paradigma diatas menjadi tiga
bagian yang meliputi paradigma fakta sosial, defenisi sosial, dan perilaku
sosial. Paradigma fakta sosial cenderung melihat segala fenomena atau
kejadian terjadi karena adanya aturan, norma dan nilai yang mana itu berasal
dari luar diri individu. Dengan paradigma ini maka sosiologi akan menjadi

3
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 1
4
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2015), hlm. 13

2
ilmu yang mempelajari pola hubungan dan berbagai interaksi sosial dalam
masyarakat menurut norma dan nilai yang ada serta peraturan dalam rangka
membentuk dan mempertahankan keteraturan sosial.
Paradigma yang digunakan selanjutnya adalah paradigma defenisi
sosial. Defenisi sosial ini merupakan kebalikan dari fakta sosial yang mana
paradigma ini mengutamakan analisis fenomena atau kejadian dari dalam diri
individu. Pemaknaan, perspekif dan pendapat seseorang menjadi sangat
penting dalam meneliti sebuah fenomena. Paradigma ini akan memberikan
banyak sekali opsi defenisi dikarenakan setiap individu memiliki keunikan
masing-masing. Namun jika ditarik garis besarnya paradigma ini akan
memberi makna kepada sosiologi berupa ilmu yang mempelajari nilai, makna,
fenomena dan segala interaksi individu yang berkenaan dengan kehidupan
kelompok, komunitas dan masyarakat luas.
Paradigma ketiga adalah paradigma perilaku sosial. Jika paradigma ini
memberikan defenisi mengenai sosiologi, kurang lebih adalah mempelajari
perilaku manusia dalam interaksinya dengan manusia lain sebagai makhluk
sosial dan bagian dari masyarakat.5
Dalam ilmu sosiologi tentunya terdapat tokoh-tokoh yang berpengaruh
atas berkembangnya bidang keilmuan ini. Maka, dirasa perlu pula kita
mengetahui pandangan mereka terkait definisi sosiologi itu sendiri.
a. Auguste Comte (1798-1857)
Ia mengatakan bahwa ilmu sosiologi harus didasarkan pada
pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis secara
sistematik.
b. Carl Marx (1818-1883)
Pemikiran sosiologi lainnya adalah Carl Marx, ia mengembangkan
konsep sejarah perjuangan kelas, yaitu lahirnya kelompok berjuis
(kelompok yang menguasai alat-alat produksi) dan kelas proletar
(kelompok rakyat jelata yang tidak memiliki alat-alat produksi).

5
Fauzi, Sosiologi Agama, hlm. 2

3
c. Herberl Spencer (1820-1903)
Dia adalah orang Inggris yang menguraikan materi sosiologi secara
rinci dan sistematis. Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah
keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan pengendalian industri.
d. Emile Durkheim (1858-1917)
Ia adalah salah seorang pelopor perkembangan sosiologi. Menurutnya
sosiologi meneliti lembaga-lembaga dalam masyarakat
e. Max Weber (1864-1920)
Menurutnya sosiologi sebagai ilmu berusaha memberikan pengertian
tentang aksi-aksi sosial. Ia memberikan pengertian mengenai perilaku
manusia dan sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya interaksi sosial.6

2. Pengertian Agama
Agama dalam Bahasa Indonesia, berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu
“a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, agama artinya
“tidak kacau”, dengan pengertian terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai
dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan “tidak kacau”
itu. Juga berarti sesuatu yang mengatur manusia agar tidak kacau dalam
kehidupannya, yang menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan.7 Adapun
beberapa definisi agama dari berbagai sudut pandang:
a. Agama merupakan fenomena universal karena ditemukan disetiap
masyakat. Eksistensinya sudah ada sejak zaman prasejarah. 8
b. Agama adalah suatu tatanan spirit kemasyarakatan dalam bentuk
kepercayaan dan pengakuan terhadap eksistensi diluar dari diri manusia.
Kondisi agama seperti ini melahirkan suatu efek rangsangan yang sangat
sensitive terhadap pengakuan keimanan. 9
c. Agama adalah sebuah perilaku kemanusiaan, sehingga manusia sangat
butuh akan kehadiran agama sebagai pengatur dan pemberi arah bagi
tujuan sejatinya.

6
Sitorus, Berkenalan dengan Sosiologi, hlm. 7
7
Mubaraq, Sosiologi Agama, hlm. 2
8
Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, hlm. 21
9
Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosial, (Jakarta : PRENADAMEDIA GROUP,
2018), hlm. 13

4
Agama merupakan kekuatan yang mempunyai pengaruh besar dalam
kehidupan manusia. Agama mempunyai keterkaitan dengan berbagai aspek
kehidupan, seperti keluarga, masyarakat, ekonomi dan politik. Terdapat
hubungan dialektis agama dan aspek kehidupan sosial lainnya. Sebagai
contoh, kepercayaan dan nilai-nilai agama memotivasi manusia dengan
tindakan tertentu dan organisasi keagamaan dapat mengorganisasi melakukan
tindakan-tindakan yang paling ekstrim sekalipun sebagai ekspresinya, ketika
tindakan agama sudah bersifat kolektif dan terorganisasi maka agama telah
berdimensi sosial.10
Agama merupakan sebuah bentuk sistem kepercayaan manusia
terhadap sesuatu yang adikodrati atau supranatural. Dalam kamus sosiologi
terdapat tiga macam pengertian agama:
a. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
b. Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap
sebagai tujuan tersendiri
c. Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.
Agama memiliki pernanan penting dalam tatanan masyarakat
penganutnya, ia memberikan nilai-nilai atau aturan sistematis yang mesti
dipatuhi dan diimplementasikan di kehidupan nyata.11

3. Pengertian Sosiologi Agama


Secara umum sosiologi agama merupakan ilmu yang mempelajari
fenomena agama menggunakan perspektif, pendekatan, kerangka penjelasan
sosiologis. Studi sosiologi agama memfokuskan pada kelompok-kelompok
atau organisasi keagamaan, perilaku individu dalam kelompok-kelompok
tersebut, dan bagaimana agama berkaitan dengan institusi sosial lain.12
Beberapa pernyataan yang dikaji dalam sosiologi agama, antara lain mengapa
terjadi perbedaan religiusitas antar masyarakat yang menganut agama tertentu.
Menurut Dillon, sosiologi agama memperlakukan agama sebagai fakta sosial
yang dapat diobservasi secara empiris. Sosiologi agama menggunakan

10
Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, hlm. 41
11
Ali Amran, Peranan Agama dalam Perubahan Sosial Masyarakat, Jurnal Ilmu Dakwah dan
Komunikasi Islam, Vol. II, No. 01 (Januari – Juni 2015) hlm. 24-26
12
Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, hlm. 31

5
perpektif sosiologi dalam mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan
berbagai cara bagaimana agama berlaku di masyarakat.
Sosiologi agama sendiri merupakan cabang dari sosiologi umum yang
di dalamnya mengkaji fenomena agama dengan menggunakan konsep dan
metode sosiologi.13 Sosiologi agama tidak berusaha membuktikan kebenaran
keberadaan Tuhan atau memahami kepercayaan-kepercayaan agama dan
menjelaskan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan pandangan dunia,
praktik-praktik dan identitas dan perbedaan bentuk ekspresi agama dan
interelasinya dengan domain lain tindakan individu dan sosial.14
Sosiologi agama mempelajari peran agama dalam lingkup masyarakat
baik itu praktiknya, latar belakang, perkembangan serta tema universal suatu
agama di dalam masyarakat. Ibnu Khaldun percaya kesatuan masyarakat sosial
dapat ditingkatkan dengan adanya kesatuan agama. Perubahan sosial
masyarakat mengikuti hukum empiris yang ditemukan.15

4. Sejarah Sosiologi Agama


Sosiologi muncul dari berbagai pergerakan sosial yang terjadi. Di
antaranya terdapat peristiwa revolusi Perancis pada 1789 yang menimbulkan
revolusi politik16 dan revolusi industri (Inggris)17 yang memunculkan berbagai
isu baru seperti kapitalisme, sosialisme, gerakan feminism, urbanisasi,
perubahan keagamaan serta pertumbuhan ilmu dan sains. Fakta sosial tersebut
telah membawa para intelektualis untuk menganalisisnya hingga muncullah
term sosiologi.18
Kelahiran sosiologi, lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuan
Perancis bernama August Comte, yang telah menyusun sintesa berbagai
macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu
tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang
masyarakat itu pada awalnya diberi nama “social physics” (fisika sosial) oleh
13
Firdaus, Relefansi Sosiologi Agama dalam Kemasyarakatan, Jurnal Al-Adyan, Vol. 10, No. 2,
(Juli-Desember 2015). Hlm. 168-169
14
Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, hlm. 31-32
15
Muhamad Fajar Pramono, Sosiologi Agama dalam Konteks Indonesa, (Ponorogo: UNIDA
GONTOR PRESS, 2017), hlm. 2-3
16
Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, (Bandung: humaniora, 2011), hlm.
1
17
Pramono, hlm. 16
18
Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, hlm. 1

6
August Comte,19 kemudian dirubahnya menjadi “sociology” karena istilah
sebelumnya telah digunakan pula oleh seorang ahli statistik sosial yang berasal
dari Belgia yaitu Adophe Quetelet.
August Comte dikenal sebagai “bapak” sosiologi. Fenomena agama
telah menjadi sub bahasan baru dalam sosiologi sekitar pertengahan abad ke-
19 dan dibahas oleh sejumlah sarjana Barat seperti Edward B. Taylor (1832-
1917), Herbert Spencer (1920-1903). Friedrich H. Muller (1823-1917) dan Sir
20
James G. Fraser (1854-1941). Menurut Turner, sosiolog besar mulai dari
Karl Marx hingga Niklas Luhmann menganalisis peran sentral agama dalam
studi tentang modernisasi, urbanisasi dan transformasi masyarakat industrial.
Karl Marx melalui karya-karyanya memberitahukan bahwa ia adalah
seorang teoretisi yang humanis. Hal ini dibuktikan atas keprihatinannya
terhadap para buruh masyarakat kapitalis. Dalam kaitannya dengan agama,
Karl Marx terus mempertahankan pendapatnya bahwa agama adalah opium
masyarakat yang dapat mengurangi atau menghilangkan frustasi kelas pekerja.
Menurutnya ini terjadi karena sikap umat beragama yang cenderung pasrah
dan tunduk terhadap apapun yang terjadi atas mereka karena mereka yakin
bahwa Tuhan telah menentukan itu dan mereka tak dapat mengontrol nasibnya
sendiri dan ini merupakan hasil penafsiran yang rendah atas agama itu sendiri
oleh umat. Pendapat Marx tersebut wajar saja ada karena pada hakikatnya ia
adalah seorang atheis. Tuhan hanyalah sebuah ide, hanya mengacaukan dan
menyesatkan manusia, sehingga terkesan memaksakan diri tidak bisa berbuat
lebih untuk merubah nasib.
Jika Marx cenderung mereduksi agama,maka akan berseberangan
dengan Max Weber yang lebih pro atas pengaruh agama terhadap kehidupan
yang berperan sebagai sumber semangat dan motivasi dalam memperbaiki
kualitas hidup yang dalam hal ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Weber mengidentifikasi bahwa agama memiliki peran pemercepatan bagi
perubahan sosial di satu sisi dan menguatkan kemapanan (status quo) di sisi
lain. Etika Protestan khususnya sekte Calvinisme (yang mempunyai paham
kerja keras, hemat, penuh perhitungan dan profesionalisme) berpengaruh
terhadap perkembangan kapitalisme di dunia Barat yang dapat menghasilkan

19
Mubaraq, Sosiologi Agama, hlm. 9
20
Pramono, Sosiologi Agama dalam Konteks Indonesia, hlm. 22

7
peningkatan hasil ekonomi yang pada akhirnya meningkatkan percepatan
pertumbuhan ekonomi. Penganut sekte ini percaya bahwa dengan kerja keras,
kesungguhan, disiplin dan hidup hemat dapat menjadikannya manusia pilihan
Tuhan. Dari sini kita dapat melihat bahwa agama dapat menjadi faktor
penggerak seseorang untuk melakukan tindakan ekonomi.
Durkheim juga memiliki pemahaman yang sama bahwa agama
memilki peran di kehidupan insan yang mana di sini berkaitan dengan sruktur
sosial, bukan hanya dalam bentuk kepercayaan yang diimplementasikan
dengan ritual saja, tetapi juga berfungsi meningkatkan solidaritas sosial
sekaligus sumber kesatuan moral. Hal ini dibuktikan dengan adanya karya
ilmiah Durkheim yang berjudul Suicide. Di sini Durkheim mengaitkan agama
dengan perbedaan tingkat bunuh diri yang disebabkan oleh tingkat interaksi
yang rendah dan nilai-nilai kepercayaan yang tidak dipatuhi dengan baik.
Akibatnya terjadi pelemahan hubungan antara satu dengan yang lain dan
berujung pada terjadinya konflik.21 Tentunya hal ini berkaitan dengan sudut
pandang psikologis, Sigmund Freud menemukan agama sangat berpengaruh
terhadap perilaku individu. Konsep psikoanalisis yang diajukan oleh Freud
menjelaskan secara gamblang bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat
jelas terhadap tindakan seseorang. Agama tidak saja berada dalam ranah
pikiran akal-rasional melainkan juga dalam ranah alam bawah sadar (batin)
seseorang.22
Sosiologi agama pernah mengalami penurunan terkait modernisasi
dan anggapan bahwa agama adalah sesuatu yang irasional. Seiring
berkembangnya positivisme (yang melakukan penolakan terhadap metafisika
dan hal-hal yang bersifat suprantural) sosiologi mulai meninggalkan orientasi
moral dan reformis. Penurunan perhatian terhadap sosiologi agama dimulai
sekitar pada dekade 1960-an hingga 1970-an.23 Masa ini berada pada tahap
positivistik Comte. Tahap dimana manusia mulai menyadari gejala alam itu
terjadi karena adanya hukum-hukum alam, bukan karena dewa-dewa atau
Tuhan. Pemikiran manusia semakin rasional dan cenderung memisahkan

21
Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, hlm. 35-38
22
Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, hlm. 3
23
Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, hlm. 40

8
kehidupan agama dan kehidupan sehari-hari karena hasrat untuk bahagia
didunia lebih tinggi dari keinginan masuk surga.
Pemisahan ini terjadi karena adanya rasa kecewa atas kungkungan
agama yang menjelma menjadi kebijakan-kebijakan negara yang besifat
otoriter di masa lalu hukum-hukum agama dirasa tidak selalu cocok
dikombinasikan dengan hukum negara, terutama jika hanya dipahami sebatas
pemahaman secara tekstual saja. Namun, pada perkembangan selanjutnya
mulai muncul penyesuaian-penyesuaian antara agama dengan kehidupan
bernegara baik dengan cara sekularisasi maupun pembatasan porsi. Hal ini
terjadi pada abad ke-20 yang menjadikan agama hanya bersifat sebagai
pelengkap, bukanlah menjadi hal yang diprioritaskan.24
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sosiologi agama kembali
mengalami kebangkitan yang ditandai dengan penolakan atas paham
sekularisasi dan menaruh perhatian besar terhadap agama lain yang mungkin
selama ini kurang mendapatkan perhatian. Juga adanya kesadaran lebih tinggi
untuk mengkaji atau membahas studi perbandingan agama untuk menghindari
pemahaman atau penafsiran etnosentris.25 Durkheim dalam bukunya yang
berjudul The Elementary Forms of Religious Life, ia membagi dunia ke dalam
dua, sakral yang berarti suci atau keramat,26 sesuatu yang berada di luar
jangkauan manusia. Sesuatu yang sakral ini disebut juga dengan Tuhan atau
sesembahan.27 Lalu profan sebagai lawan dari sakral yang berarti tidak ada
sangkut pautnya dengan agama atau lebih condong pada perihal keduniawian.
Charles Kimball menjelaskan hal ini dalam bukunya Kala Agama Jadi
Bencana, bahwa agama memiliki relasi dengan keadaan, aktivitas jiwa, cara
berpikir dan perasaan suatu kelompok serta kejahatan terorganisasi. Kimball
memandang agama memiliki peran yang besar atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Memang bukan agama yang menimbulkan kriminalitas semacam ini,
hanya saja kesalahan terletak pada penilaian dan pemahaman si penganut
terhadap kepercayaannya.28

24
Fauzi, Sosiologi Agama, hlm. 15
25
Haryanto, hlm. 40
26
Fauzi, Sosiologi Agama, hlm. 18
27
Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, hlm. 2
28
Fauzi, hlm. 18-19

9
5. Ruang Lingkup Sosiologi Agama
Dalam pandangan sosiologi agama, agama bukanlah semata-mata
hanya membahas tentang hal-hal metafisik—Tuhan, akhirat, roh, surga,
neraka— atau hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja
(hablumminallaah), tetapi juga menyinggung isu-isu yang terjadi di kawasan
sosial masyarakat serta perannya sebagai individu terhadap individu yang lain
(hablumminannaas).29
Batasan kajian sosiologi agama berputar pada fenomena-fenomena
agama di tengah masyarakat. Bagaimana pengaruh agama tersebut dalam
proses perkembangan budaya dan tatanan masyarakat sosial? Bagaimana
agama dapat mempengaruhi individu baik dari dalam maupun luar diri baik
perseorangan atau kelompok? Bagaimana pengaruh agama terhadap
fenomena-fenomena baik kegamaan maupun profan yang terjadi di tengah
publik? Dan hal lainnya yang bersinggungan dengan agama dan masyarakat
umum dan perseorangan.

6. Urgensi Mempelajari Sosiologi Agama


Perbedaan nilai antar agama atau aliran dalam agama dapat menjadi
faktor yang menggoyangkan consensus jika tidak disikapi secara bijaksana.
Disinilah kita perlu mempelajari sosiologi agama, karena agama membantu
kita menelaah suatu fenomena keagamaan sebagai bagian dari relitas sosial
dengan lebih interpretatif. Cita-cita semua agama pada dasarnya satu, yakni
kebahagiaan dalam situasi dan damai. Kontestasi politik juga telah lama
menggunakan metode pendekatan agama untuk memperoleh dukungan.
Cara manusia memahami makna agama berperan besar pada cara ia
menempatkan diri dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultur
dengan beragam agama. Setiap agama (atau mungkin penganut) tentu akan
berlomba menklaim bahwa ajarannyalah yang paling benar. Hal ini berkenaan
dengan dengan kekuatan legitimasinya dalam sebuah tatanan masyarakat.
Kekuasaan inilah yang biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.
Melindungi kehormatan perempuan, dalam ajaran Islam merupakan suatu
kewajiban. Perempuan diletakkan dalam posisi yang tinggi dengan

29
Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, hlm. 2

10
memberikan simbol surga di telapak kaki ibu.30 Dalam masyarakat
multikultural agama menjadi salah satu faktor yang dapat memunculkan
kebudayaan baru dan terus berkembang.31

C. Penutup
Agama merupakan salah satu aspek yang penting dalam keberlangsungan
hidup seseorang atau suatu kelompok. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama akan
membentuk personalitas individu yang finalnya akan menjadi jati dirinya.
Sosiologi akan memandang agama sebagai faktor internal terjadinya peristiwa
sosial yang berdampak pada perubahan dan perkembangan tatanan masyarakat.
Dalam kajian sosiologi, agama bukanlah sistem yang sekedar mengurus
kepentingan religius berupa hubungan makhluk dengan Sang Pencipta, namun
lebih dari itu bagaimana sikap dan perilaku serta interaksi umat beragama tadi
kepada lingkungannya.

D. Daftar Pustaka
Amran, A. (2015). Peranan agama dalam perubahan sosial masyarakat. HIKMAH:
Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam, 2(1), 23-39
Fauzi, A. M. (2019). Sosiologi agama. Universitas Negeri Surabaya
Firdaus. (2015). Relefansi Sosiologi Agama dalam Kemasyarakatan. Jurnal Al-
Adyan. 10(2). 166-186
Hanani, S. (2011). Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung:
humaniora.
Haryanto, S. (2015). Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern.
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Mubaraq, Z. (2010). Sosiologi Agama. Malang: UIN-Maliki Press.
Mubit, R. (2016). Peran Agama dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia.
Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 11(1), 163-184
Pramono, M. F. (2017). Sosiologi Agama Dalam Konteks Indonesia. Ponorogo:
UNIDA GONTOR PRESS.
Sitorus, M. (2000). Berkenalan dengan Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

30
Fauzi, Sosiologi Agama, hlm. 8-10
31
Rizal Mubit, Peran Agama Dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia, Jurnal
Pengembangan Ilmu Keislaman Vol. 11, No. 1, (Juni 2016), hlm. 182

11
Wahyuni. (2018). Agama dan Pembentukan Struktur Sosial. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP.

12

Anda mungkin juga menyukai