Anda di halaman 1dari 16

BAB V

PENDAMPINGAN AGAMA

Pendampingan Agama merupakan dimensi spiritual dalam hubungan dengan agama sebagai
makna ekterior atau eksternal kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupaan sosial dan budaya
masyarakat. Agama yang dimaksudkan disini adalah agama sipil (civil religion) atau agama
masyarakat yang memperhatikan bagaimana orang harus hidup bersama dengan orang lain
dan dengan lingkungan alam sekitarnya. Agama tidak terpisahkan dari struktur sosial
masyarakat karena mengandung nilai-nilai spiritual yang mengatur kehidupan bersama,
sehingga masyarakat juga turut mempengaruhi penghayatan dan pengalaman keyakinan-
keyakinan keagamaan (Robertson, 1988:46). Di sisi lain, Swidler (2014:375) memahami
spiritual sebagai energi kehidupan yang mengacu pada makna interior atau internal
kemanusiaan, sedangkan agama sebagai makna eksterior atau eksternal kemanusiaan.

A. PERSPEKTIF SPIRITUAL DALAM AGAMA


Darmaputera (1997:18) berpendapat bahwa spiritualitas adalah suatu komitmen
religius, suatu tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Oleh karena itu
Darmaputera mengartikan spiritualitas itu dengan pengalaman agama (religious experience).
Roussseau (2014:) melihat spiritualitas adalah pencarian pribadi untuk memahami jawaban
akhir atas pertanyaan tentang kehidupan, makna hidup, dan pengalaman transenden. Hal
tersebut didasarkan pada tradisi budaya dan agama yang mempengaruhi pola makna, nilai-
nilai, dan hubungan sekitar individu, keluarga, dan masyarakat. Definisi ini mengacu pada
bentuk dari tradisi budaya dan agama, serta substansi yang berhubungan dengan energi
kehidupan yang mencakup pikiran, perasaan, tindakan dan karakter pribadi setiap individu
maupun kelompok. Dillon (2003:69-72) percaya bahwa baik spiritual, spiritualitas maupun
agama mempunyai hubungan dengan sesuatu yang Transenden. Spiritual adalah dorongan
dari dalam diri guna memenuhi kebutuhan dasar transenden, spiritualitas merupakan kualitas
hidup dalam realitas dunia nyata yang bersumber dari spiritual sedangkan agama adalah
sistem doktrin, institusi, dan praktek yang merupakan perwujudan spiritual. Roussseau
menggambarkan spiritualitas menjadi sebuah pencarian makna dan tujuan hidup, spiritual
sebagai energi hidup yang menghidupkan, sedangkan agama sebagai pengalaman transenden
dalam kehidupan nyata untuk menemukan makna hidup Roussseau (2014:481). Spiritualitas
berhubungan dengan pengalaman religius sebagai pengalaman yang transenden sedangkan
agama juga merupakan pengalaman transenden, sehingga dalam hubungan dengan belief
system, spiritualitas adalah agama.

Swidler (2014:374) memahami agama dari akar kata Latin "re-ligare” yang berarti
pemahaman tentang makna akhir dari kehidupan, didasarkan pada gagasan dan pengalaman
transenden seseorang. Agama adalah sistem yang terorganisir dari keyakinan, praktik, ritual,
dan simbol-simbol yang dirancang (a) untuk memfasilitasi kedekatan transenden, dan (b)
untuk mendorong pemahaman tentang hubungan dan tanggung jawab seseorang kepada
orang lain dalam komunikasi hidup bersama dalam komunitas. Oleh karena itu setiap agama
mengandung empat "C": Creed, Code, Cult, and Community-structure: a) Creed mengacu
pada aspek kognitif agama yang menjelaskan tentang makna akhir dari kehidupan; b) Code
adalah perilaku atau etika yang mencakup semua aturan dan kebiasaan dari tindakan manusia;
c) Cult berarti semua kegiatan ritual dan devosional yang berhubungan dengan kepercayaan
yang transenden, seperti doa, kebiasaan ibadah, perilaku terhadap figur otoritas, perayaan,
dll; d) Community-structure mengacu pada hubungan antara orang-orang beragama; ini bisa
bervariasi, dari hubungan yang sangat egaliter, melalui sebuah 'struktur seperti presbiterian,
conggrational, monarki dan lain-lain. Karena itu, agama dipahami sebagai makna eksterior
atau eksternal kemanusiaan, yang mengatur pola perilaku dan etika manusia, maka
budayapun membentuk pola kepribadian, pola bertingkah laku manusia, sehingga baik agama
dan budaya mengatur sistem nilai dan pola hidup manusia. Di sisi lain, baik spiritualitas
maupun agama merupakan representasi dari spiritual. Berdasarkan pemahaman tersebut,
interaksi nilai-nilai spiritual dan spiritualitas dalam agama perlu dipahami dalam kerangka
menjawab peranan pendampingan agama dalam masyarakat plural.

B. PENDAMPINGAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF PENDAMPING

DAN YANG DIDAMPINGI

Nilai merupakan keyakinan yang muncul di masyarakat, dan diwujudkan dalam


bentuk gagasan (idea), tujuan tertentu (goals), dan perilaku yang sifatnya mendasar dan
diyakini kebenarannya oleh komunitas. Nilai agama yang dianut oleh suatu komunitas
tertentu pada umumnya sudah diyakini kebenarannya, dapat dipergunakan untuk
pendampingan (Russell, 1992). Komunitas agama yang ingin mencari bantuan melalui
pendampingan tetapi mereka tidak mendapatkannya karena waspada dipengaruhi oleh
pendamping yang mungkin mengubah nilai-nilai dasar mereka selama proses pendampingan.
Komunitas agama memiliki keberatan tentang sejauh mana pengaruh yang di berikan
pendamping yang berlandaskan nilai agama. Yang didampingi takut pendamping tidak
mampu secara efektif memahami masalah mereka, atau lebih buruk lagi, bahwa mereka harus
mengorbankan nilai-nilai mereka untuk menerima manfaat dari pendampingan. Keating dan
Fretz (1990) menemukan bahwa, keyakinan agama yang kuat mengakibatkan antisipasi yang
negatif terhadap pendamping. Yang didampingi memandang pendamping membawa
pengaruh positif. Godwin dan Crouch (1989) menemukan bahwa komunitas agama
cenderung melihat pendampingan agama lebih positif, dan memberi pendamping
keterampilan peringkat yang lebih tinggi daripada peserta yang bukan komunitas agama.
Pendamping harus menyadari bahwa ada potensi untuk yang didampingi yang memiliki
keyakinan agama yang kuat, yang mungkin memandang negatif tentang pendampingan.
Harapan-harapan ini perlu dikembangkan kearah yang positif agar pendampingan agama
yang efektif dapat berlangsung.

Komunitas agama memberikan kontribusi yang unik untuk perkembangan psikologis


dan pemeliharaan yang didampingi dalam proses pendampingan agama (Clinebell 1984)
yaitu: (a) menyediakan untuk pembaharuan kepercayaan secara berkala; (b) mengembangkan
perasaan baik secara horisontal maupun vertikal; (c) memberikan filosofi tentang makna
kehidupan; (d) membantu orang mengatasi permasalahan dalam dirinya sendiri; (e)
menyediakan cara untuk menangani banyak krisis perkembangan dalam kehidupan; serta (f)
mendorong pertumbuhan pribadi dan perubahan sosial.

Komunitas agama memberikan kontribusi dalam jumlah yang bervariasi. Hal tersebut
harus menjadi perhatian pendamping untuk memastikan kontribusi dari komunitas agama
terhadap yang didampingi. Pendampingan jangka panjang dapat dengan mudah berorientasi
dengan yang didampingi untuk meningkatkan keterlibatannya dalam komunitas agama untuk
dapat meningkatkan keterampilannya. Pendamping yang mengalami depresi sangat
menghargai agama yang dianut, sehingga yang didampingi didorong untuk terlibat dalam
program penjangkauan komunitas yang meningkatkan interaksi sosial yang positif, sementara
pada saat yang sama memungkinkan yang didampingi untuk mengekspresikan nilai
keagamaannya (Russell, 1992).
Pendamping tidak diwajibkan untuk mengubah nilai-nilai mereka sendiri untuk bekerja
secara efektif dengan yang didampingi untuk memiliki nilai-nilai agama tertentu.
Pendamping berada dalam posisi untuk menghasilkan citra positif kepada yang didampingi
tentang nilai-nilai agama, jika mereka dapat menyampaikan penerimaan nilai-nilai yang
didampingi. Beutler, Pollack, dan Jobe (1978) menyimpulkan studi mereka pada sikap
penerimaan sikap pendamping terhadap nilai-nilai yang didampingi memiliki dampak
terbesar pada pertumbuhan perasaan yang didampingi. Penerimaan terhadap sikap dan nilai-
nilai pendamping dan yang didampingi memfasilitasi perbaikan dan memberikan perawatan
dan intervensi yang konsisten untuk meningkatkan hasil pendampingan secara maksimal.

Ketika perbedaan nilai agama ada, maka itu adalah tanggung jawab pendamping
untuk belajar tentang nilai-nilai yang dipegang oleh yang didampingi. Hal ini berfungsi untuk
menempatkan perbedaan nilai yang didampingi dalam konteks pendampingan agama
(Ridley,1985). Nilai-nilai yang didampingi harus secara terbuka dan terang-terangan
dieksplorasi sebagai bagian dari proses pendampingan. Keterbukaan dalam proses
pendampingan mengurangi kemungkinan bahwa nilai-nilai konflik akan terjadi, dan
memberikan kesempatan untuk eksplorasi dan resolusi konflik. Jika konflik masih tetap ada
dan bertahan dalam menghadapi diskusi terbuka, yang didampingi harus dirujuk ke
pendamping lain (American Psychological Association, 1990).

Pelaksanaan pedoman seorang pendamping ini tergantung pada dua hal (Russell, 1992).
Pertama, jika pendamping memberikan layanan profesional untuk yang didampingi dengan
berbagai nilai-nilai agama, mereka harus mempertahankan sikap terbuka terhadap nilai-nilai
agama, karena nilai-nilai keagamaan perlu dilihat sebagai elemen yang valid dan berharga
dalam proses pendampingan. Kedua, pendamping dianjurkan untuk mempertimbangkan
reorientasi filosofis berkenaan dengan pemahaman mereka tentang fungsi nilai-nilai agama,
karena nilai-nilai keagamaan adalah bagian dari budaya yang didampingi. Yang harus
dilakukan sebagai seorang pendamping, adalah mampu melihat nilai-nilai agama dalam
konteks budaya, sehingga lebih mampu mempengaruhi perubahan sikap yang diperlukan, dan
lebih bebas mengeksplorasi nilai-nilai agama yang didampingi.

Berdasarkan paparan di atas, maka perbedaan nilai-nilai agama yang didampingi harus
dipertimbangkan untuk membuat intervensi pendampingan yang efektif. Pendamping
memahami nilai-nilai agama yang didampingi, sehingga lebih mampu mempengaruhi
perubahan sikap yang diperlukan, dan lebih bebas mengeksplorasi nilai-nilai agama yang
didampingi. Pendamping memahami kekuatan dan keterbatasannya dalam mengintegrasikan
nilai-nilai agama yang didampingi agar dapat meningkatkan efektivitas pendampingan.

BAB VI

PENDAMPINGAN BUDAYA

Menurut pandangan Pedersen (Glading: 2012), budaya membentuk perilaku manusia


baik sadar maupun tak sadar mengenai pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan proses
kognitif. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya dan warisan
mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan pertama. Ramdani (2007: 97)
mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan seharai-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Budaya dapat diartikan sebagai tindakan seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya baik dalam lingkup keluarga, kelompok
komunitas maupun masyarakat. Proses penyesuaian ini didukung oleh pengertian individu
yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga, kelompok komunitas maupun
masyarakat dimana ia hidup dan berada. Itu berarti bahwa jika seseorang dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan hidupnya, maka ia dapat hidup secara bebas dan utuh di dalamnya.
Hal ini dapat terjadi melalui suatu proses mengetahui tentang apa yang sedang dialaminya,
kemudian mengartikan pengalaman itu berdasarkan pengertian kognitif yang diwariskan,
sehingga ia dapat menemukan makna dari konteks hidup alam sekitarnya untuk
menyesuaikan diri dalam kehidupan ini. Dalam hubungan dengan pendampingan, manusia
sebagai makhluk berbudaya, menciptakan pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Ahmadi (1986) mendefinisikan budaya dengan budi atau akal, yang di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan
kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. George F. Kneller (1965) memahami budaya sebagai pola hidup masyarakat
yang meliputi pola berpikir, berbuat dan merasakan yang diekspresikan dalam kepercayaan,
hukum, bahasa, seni, dan adat istiadat, juga dalam bentuk produk-produk benda seperti
rumah, pakaian, dan alat-alat. Budaya dapat diartikan sebagai cara hidup seseorang dalam
masyarakat yang muncul sebagai akibat dari proses pembentukan dan perkembangan sistim
hidup antarmanusia dalam konteks kelompok dan masyarakatnya (Wutoy-Hallatu, 2016:15).
Cara hidup ini terbentuk melalui proses interaksi maupun proses sosial. Proses interaksi
adalah hubungan timbal-balik antar indivudu atau manusia, sedangkan proses sosial adalah
proses pengaruh mempengaruhi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dalam
hubungan dengan pendampingan, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Tiga elemen budaya yaitu: budaya merupakan produk budidaya manusia, menentukan
ciri seseorang, karena itu manusia tidak bisa dipisahkan dari budayanya. Budaya bersifat
universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universal mengandung pengertian
bahwa nilai-nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, dijunjung tinggi oleh segenap
manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki
kesamaan nilai-nilai tersebut. Nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan
hidupnya sendiri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian,
manusia mempunyai kebebasan dan lain lain. Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu
nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu, masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana
keunikan ini berbeda dengan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi
barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu. Nilai budaya yang dianut oleh
masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada
perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Dalam hubungan dengan
pendampingan, nilai budaya yang diyakini kebenarannya, dapat dipergunakan untuk
membantu menyelesaikan masalah yang timbul dalam anggota masyarakat.

A. PERSPEKTIF BUDAYA DALAM PENDAMPINGAN


Pendampingan budaya merupakan suatu proses pendampingan yang terjadi antara
pendamping dan yang didampingi yang berbeda budaya, tetapi dalam interaksinya ada
persamaan yang saling membantu, menopang dan menguntungkan, sehingga ada
pengembangan potensi dan peningkatan kualitas hidup. Pendamping dituntut kepekaan
budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi
diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.
Dengan itu, pendampingan dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter)
antara pendamping dan yang didampingi.
Perjumpaan budaya merupakan realitas hidup bersama yang tidak dapat di pungkiri,
karena manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu terlihat pada perilaku yang ditampilkan.
Perilaku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri,
melainkan juga dari sudut pandang budayanya (Kneller, 1978). Setiap kebudayaan menurut
Kuncaraningrat (1985) mengandung tiga sistem yaitu sistem budaya, sistem sosial dan
budaya fisik, yang meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap kepercayaan, harapan,
pendapat, presepesi, streotipe dan sebagainya. Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta
aktif suatu kelompok sosial dan masyarakat. Oleh karena itu, pendampingan budaya memiliki
ciri-ciri dan tingkah laku yang secara psikologi dipelajari dari konteks sosialnya sebagai
pendamping yang aktif untuk memberikan kontribusi kepada perkembangan budaya yang
didampingi.
Pendampingan budaya dari pendekatan psikologi sebagai suatu bentuk penyesuaian
diri (adjustment) manusia kepada alam sekelilingnya kepada syarat-syarat hidup (Bakker,
1984:28). Artinya bahwa manusia berusaha untuk mengetahui apa yang dialaminya dan
mengartikannya untuk menemukan makna dari kehidupan yang sesungguhnya sebagai suatu
penyesuaian diri. Sarwono menjelaskan tentang penyesuaian diri manusia kepada alam
lingkungannya ditunjang oleh perkembangan kognitif (pengertian) berdasarkan pengalaman
hidup yang dialaminya dan diwariskan secara turun-temurun. Perkembangan kognitif tersebut
sangat terkait erat dengan representasi mental terhadap alam lingkungannya (Sarwono,
2015:23). Maksudnya bahwa manusia dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan
hidupnya ia akan merepresentasikan pengalaman dan konteks tersebut untuk memberi makna
bagi kehidupannya dalam bentuk sikap dan perilaku.
Pendampingan budaya adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia,
karena budaya mengontrol kehidupan manusia melalui pemikiran, persepsi, nilai, tujuan,
moral, dan proses kognitif, dalam situasi dan keadaan sadar atau tidak. Melalui definisi
tersebut, Pedersen (2008:5) menjabarkan budaya dalam tiga pemahaman yaitu : (1) Budaya
merupakan subjek dalam diri seorang manusia yang kemudian mengendalikan perilakunya;
(2) Budaya memberi makna kepada seorang manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan hidupnya; (3) Budaya melahirkan pengetahuan berdasarkan pengalaman hidup
dan pengetahuan untuk memahami apa yang terjadi dan mengapa sesuatu terjadi sebagai yang
berlaku dalam kenyataan. Ketiga pengertian ini bermakna agar manusia dapat bertahan hidup
dalam suatu budaya, maka ia membutuhkan pengetahuan tertentu mengenai tata kerja hal-
ihwal dunia sekelilingnya yang diperoleh dari pengalaman yang tidak membutuhkan
penjelasan dan pengetahuan teori untuk menjelaskan fenomena dalam kehidupan (Kaplan &
Robert, 2012:15). Kebudayaan bukan hanya merupakan kebiasaan saja tetapi telah menjadi
sesuatu yang dilakukan dalam menghadapi dan menjalankan kenyataan hidup, seperti yang
dikatakan Pederson “budaya mengendalikan perilaku seseorang dengan atau tanpa izin
(Pederson, 2016:749).
Pendampingan budaya sebagai semua cara hidup yang dilakukan seseorang dalam
suatu masyarakat (Kneller 1965:88). Artinya budaya merupakan keseluruhan cara hidup
bersama dari sekelompok orang yang meliputi cara berpikir, berbuat dan merasakan yang
diekspresikan. Ekspresi itu seperti kepercayaan, hukum, bahasa, seni, adat istiadat, dan dalam
bentuk produk-produk benda seperti rumah, pakaian, dan alat-alat. Karena itu kebudayaan
adalah suatu sistem pengetahuan yang meliputi idea atau gagasan dalam pikiran manusia
(Ramdani, 2007:97). Wujud dari budaya adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia,
seperti ukiran bermotif, rumah-rumah bernuansa khas, dan perilaku yang bersifat nyata,
misalnya dalam sikap, bahasa, komunikasi, cara berpikir, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain. Semuanya itu ditujukan supaya membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian budaya tidak terbatas pada ras,
etnis, dan suku tetapi juga meliputi cara berpikir, berbicara atau berkomunikasi, berbahasa,
berelasi, pendidikan, kepercayaan, moral, kebiasaan, bersikap, maupun seni.
Pendampingan budaya mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah
keadaban. Pemeliharaan kebudayaan bermaksud memajukan kebudayaan lain, untuk
memperkembangkan, memajukan, menyempurnakan dan memperkaya kebudayaan sendiri.
Pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus
selalu ada hubungan antara kebudayaan dan masyarakat kearah kesatuan kebudayaan dan
tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (Kneller,
1978). Kebutuhan pendampingan budaya di Indonesia makin terasa, mengingat penduduk
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki beraneka corak sub-kultur yang
berbeda-beda. Karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu, tidak dapat
diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan pendampingan budaya (Adhiputra,
2013:190). Pendampingan budaya, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan
meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya
bangsa Indonesia sendiri. Hal itu berarti bahwa penyelenggaraan pendampingan harus
dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam
masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang
lebih maju.

B. PENDAMPING DAN YANG DIDAMPINGI DALAM PENDAMPINGAN BUDAYA


Pendampingan budaya melibatkan pendamping dan yang didampingi berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, oleh karena itu pendamping perlu menyadari dan peka akan
nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya
dan masyarakat pada umumnya akan membuat pendamping mempunyai pandangan yang
sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal
bagi pendamping untuk melakukan pendampingan budaya. Budaya merupakan sesuatu yang
ada dalam setiap diri individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya. Oleh karena
itu pendamping yang peka budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan pendampingan.
Adapun pengertian dari pendamping peka budaya itu sendiri adalah pendamping yang
menyadari bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan dalam proses
pendampingan, individu membawa karakteristik unik tersebut (Supriadi, 2001 : 33).
Penerapan pendampingan budaya mengharuskan pendamping peka dan tanggap terhadap
adanya keragaman budaya. Pendamping harus sadar akan implikasi diversitas budaya
terhadap proses pendampingan. Karena, budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan
masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari, masalah bisa muncul akibat
interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam
kaitannya dengan unsur-unsur kebudayan yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya
yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar
individu. 
Pendampingan budaya di sini bukan saja terkait dengan yang didampingi yang beda
budaya, tetapi terkait juga dengan pendamping yang beda budaya dengan yang didampingi.
Oleh sebab itu pendampingan budaya dapat menggunakan teori, pendekatan dan prinsip
pendampingan yang berasal dari suatu konteks budaya tertentu di dalam konteks budaya lain
yang berbeda. Sedikitnya ada tiga pendekatan pendampingan budaya (Supriadi, 2001).
Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususan budaya) yang
menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-
kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural. Mereka
menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural untuk menekankan
bahwa keterlibatan dalam pendampingan merupakan proses yang aktif dan resiprokal.
Pandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula pendampingan
budaya yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh
literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk
bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan. Pendekatan
pendampingan budaya mencakup komponen berikut:

1. Sensitivitas pendamping terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan


pendampingan yang digunakannya.
2. Pemahaman pendamping tentang pengetahuan budaya yang didampingi..
3. Kemampuan dan komitmen pendamping untuk mengembangkan pendekatan
pendampingan yang merefleksikan kebutuhan budaya yang didampingi.
4. Kemampuan pendamping untuk menghadapi peningkatan kompleksitas pendampingan
budaya.
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan pendampingan budaya sebagai berikut: (1)
semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan
pendampingan; (2) kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
(3) kelas dan gender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome
pendampingan.
Pendampingan budaya berpijak pada pengakuan terhadap keberagaman budaya, ciri-
ciri budaya sampai kepada dinamika budaya yang mempengaruhi tafsir budaya oleh
pendamping terhadap yang didampingi. Pendampingan budaya harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan keperbedaan, kekayaan dan dinamika budaya yang melekat dalam
kehidupan pendamping maupun yang didampingi. Dalam pendampingan terjadi perjumpaan
budaya. Akibatnya banyak sekali perilaku budaya yang mempengaruhi relasi pendampingan
sehingga mengganggu efektifitas proses pendampingan budaya. Dalam konteks ini, bahasa
non verbal jauh lebih penting untuk diperhatikan ketimbang bahasa verbal, yang meliputi
kontak mata saat berbicara, atau kontak fisik saat berjabatan tangan, atau cara duduk, cara
tertawa dan penampilan lainnya.

Pendamping hendaknya memiliki kompetensi dan karakteristik sebagai berikut; (1)


pendamping budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi-asumsi
terbaru tentang perilaku manusia; (2) pendamping budaya sadar terhadap karakteristik
konseling secara umum; (3) pendamping budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya; (4) pendamping budaya tidak boleh
mendorong yang didampingi untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki
pendamping); dan (5) pendamping budaya dalam melaksanakan pendampingan harus
mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah pendekatan dalam
pendampingan yang menggabungkan beberapa pendekatan dalam pendampingan untuk
membantu mengembangkan potensi yang didampingi. Pendampingan eklektik dapat berupa
penggabungan pendekatan pendampingan yang ada dengan pendekatan yang digali dari
masyarakat pribumi.

BAB VII

PENDAMPINGAN BERKARAKTER

A. KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PENDAMPINGAN

Karakter mengacu pada kualitas moral dan karakteristik yang membedakannya dengan orang
lain. Karena itu karakter mengandung dua makna (meaning) yaitu values (nilai-nilai) dan
kepribadian. Nilai mengacu pada kualitas moral yaitu spiritual setiap orang sebagai inti
kekuatan (power) dalam kepribadian dan bukan bagian yang terpisah dari kepribadian (De
Braine, 2007). Filsuf Yunani besar Aristoteles menyatakan bahwa ada dua macam
keunggulan manusia yaitu keunggulan berpikir, dan keunggulan karakter. Keunggulan
karakter diterjemahkan sebagai kebajikan moral atau keunggulan moral. Aristoteles juga
melihat karakter dalam kaitannya dengan orang lain dan dalam hubungannya dengan diri
sendiri (Lickona, 1991). Dalam hubungan dengan pendampingan, karakter merujuk pada
panggilan untuk melayani karena berorientasi pada kemurahan hati dan belas kasih.
Panggilan melayani suatu penghayatan terhadap profesi sebagai pendamping yang
mempunyai kecendrungan melayani dan bukan dilayani.
Hubungan inter dan antar pendamping dengan yang didampingi, sangat
mempengaruhi karakter pendamping. Dalam menyikapi dampak buruk terhadap
pendampingan, sebagai pendamping perlu memiliki karakter diri yang kuat. Karakter secara
internal dan eksternal menunjukkan sifat-sifat individu seorang pendamping. Karena itu
karakter didefinisikan sebagai, sifat-sifat positif yang tercermin dalam pikiran, perasaan dan
perilaku pripadi setiap individu (Park, et al., 2004: 613). Secara eksternal karakter
pendamping dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan pengalaman hidup sehari-hari. Secara
internal karakter pendamping dipengaruhi oleh inti karakter, komponen karakter pada tataran
konseptual dan elemen karakter pada tataran praktis.
Dalam inti karakter terdapat 24 kekuatan karakter seorang pemimpin, diklasifikasikan
ke dalam enam kategori dideskripsikan sebagai berikut.
1. Inti Karakter

Inti karakter adalah kebajikan, yang terdiri atas enam kategori (De Braine, 2007) dengan
kekuatan karakter dideskripsikan sebagai berikut.
a. Kebijaksanaan dan Pengetahuan
Kebijaksanaan dan pengetahuan meliputi: Kreativitas (orisinalitas, kecerdikan) yaitu cara
berpikir produktif, menciptakan konsep dan melakukan pencapaian artistik. Curiosity
(keingintahuan dan keterbukaan terhadap pengalaman), yaitu mengambil suatu keputusan
dalam pengalaman berkelanjutan untuk kepentingan yang didampingi. Penilaian yaitu
berpikir kritis terhadap semua aspek, secara sistematis. Cinta belajar yaitu meng-up-date-kan
diri, menguasai keterampilan baru, wawasan, dan pengetahuan. Perspektif yaitu kemampuan
memberikan pemahaman secara ilmiah, kritis, dinamis, progresif. Dalam hubungan dengan
pendampingan, karakter memberikan kontribusi baik kepada pendamping maupun yang
didamping untuk berpikir produktif dalam pengambilan keputusan yang berkualitas, memiliki
wawasan dan pengetahuan yang progresif dan inovatif.
b. Keberanian

Keberanian meliputi: Keperkasaan yaitu kemampuan menyikapi ancaman, tantangan,


kesulitan, berbicara untuk apa yang benar bahkan bertindak atas keyakinan. Ketekunan yaitu
kegigihan menyelesaikan apa yang harus dikerjakan; bertahan dalam suatu tindakan
meskipun ada hambatan; mendapatkan jalan keluar dalam menyelesaikan tugas. Kejujuran
yaitu integritas diri yang berhubungan dengan kebenaran ketulusan dan bertindak dalam cara
yang benar tanpa kepura-puraan, mengambil tanggung jawab untuk perasaan dan tindakan
seseorang. Semangat berhubungan dengan vitality, antusiasme, energi, tidak melakukan hal-
hal dengan setengah hati, menjalani hidup dengan tertib. Dalam hubungan dengan
pendampingan, karakter berkontribusi terhadap upaya menyelesaikan masalah, tulus
melayani, bertindak dengan jujur serta berperilaku yang adil dan benar.

c. Kemanusiaan

Kemanusiaan meliputi: Cinta yaitu hubungan yang dekat dengan orang lain, khususnya
mereka yang berbagi dan peduli. Kebaikan (kemurahan hati, pemeliharaan, perawatan, kasih
sayang, altruistik) yaitu melakukan perbuatan baik bagi orang lain, membantu dan merawat.
Kecerdasan sosial (kecerdasan emosional, kecerdasan pribadi) yaitu menyadari motif dan
perasaan orang lain dan diri sendiri, mengetahui apa yang harus dilakukan untuk masuk ke
berbagai situasi sosial; mengetahui apa yang membuat orang lain tertarik. Dalam hubungan
dengan pendampingan, karakter berkontribusi terhadap cinta kasih, kepedulian, pelayanan,
hubungan inter dan antar personal.

d. Keadilan

Keadilan meliputi: Kerjasama tim (tanggung jawab sosial, loyalitas) yaitu bekerja dengan
baik, menjadi setia, melakukan share sebagai pendamping maupun yang didampingi.
Keadilan yaitu memperlakukan orang sesuai dengan tatanan dan norma yang berlaku, tidak
membiarkan perasaan pribadi menjadi keputusan dalam hubungan pendampimngan, memberi
semua orang kesempatan yang adil. Kepemimpinan yaitu mendorong pendamping untuk
menyelesaikan sesuatu dan pada saat yang sama menjaga hubungan baik dalam
mengorganisir kegiatan pendampingan. Dalam hubungan dengan pendampingan, karakter
berkontribusi terhadap kesetiaan dalam mengembangkan dan meningkatkan potensi diri.

e. Integritas.

Integritas membangun kepercayaan diri, yang meliputi: Pengampunan dan belas kasihan
yaitu mengampuni orang-orang yang telah berbuat salah; menerima kekurangan orang lain;
memberikan kesempatan kedua, tidak menjadi pendendam. Kerendahan hati tidak
mempertahankan harkat martabat untuk suatu kepedulian bagi yang membutuhkannya.
Prudence (kehati-hatian) yaitu berhati-hati tentang pilihan seseorang; tidak mengambil risiko,
tidak melakukan hal-hal yang mungkin nanti akan menyesali diri sendiri. Self-regulasi yaitu
pengaturan apa yang menjadi tujuan, visi seseorang kedepan. Dalam hubungan dengan
pendampingan, karakter berkontribusi terhadap pemahaman diri tentang kontrol dan
pengendalian diri untuk suatu kepedulian.

f. Transenden
Transendensi meliputi: Apresiasi (kagum, heran) yaitu memperhatikan dan menghargai
keindahan, keunggulan, dan / atau kinerja dalam berbagai bidang kehidupan. Rasa terima
kasih yaitu menyadari dan bersyukur untuk hal-hal baik yang terjadi; meluangkan waktu
untuk mengucapkan syukur. Harapan (optimisme, dan future orientation) yaitu
mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Humor
(menyenangkan) yaitu membawa senyum pada orang lain. Spiritualitas (religiusitas, iman,
tujuan) yaitu memiliki koherensi keyakinan tentang tujuan yang lebih tinggi dan makna hidup
dibalik situasi kehidupan yang dialami. Dalam hubungan dengan pendampingan, karakter
berkontribusi terhadap kinerja untuk tujuan dan harapan hidup serta memiliki religiusitas
tinggi.

2. Komponen Karakter

Komponen karakter merupakan kualitas moral yang terdiri atas tiga kategori (De Braine,
2007) dengan kekuatan karakter dideskripsikan sebagai berikut.

a. Moral Knowing

Moral knowing meliputi: Kesadaran Moral yaitu menggunakan kecerdasan ketika situasi
membutuhkan penilaian moral. Pengetahuan yaitu norma-norma yang diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Nilai Moral membutuhkan etika untuk suatu penilaian baik
atau buruk. Pemahaman diri yaitu kemampuan berpikir, bertindak dan kemampuan
emosional. Sudut Pandang sebagai prasyarat untuk penilaian moral. Penalaran Moral
melibatkan pemahaman tentang apa artinya moral dan mengapa kita harus bermoral. Belajar
yaitu sesuatu yang dianggap baik sebagai alasan moral dan menghormati nilai intrinsik dari
setiap individu. Pengambilan keputusan yaitu cara berpikir seseorang melalui masalah moral,
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang menjadi pilihan dan konsekuensi.
Dalam hubungan dengan pendampingan, karakter berkontribusi terhadap pengetahuan moral
untuk kemampuan berpikir, bertindak dan kemampuan emosional.

b. Moral Feeling

Moral feeling meliputi: Hati nurani yaitu perasaan dari kewajiban moral untuk pengambilan
keputusan moral yang konstruktif. Self-esteem yaitu harga diri sehat yang membantu kita
menghargai diri kita sendiri dan tidak terlalu tergantung pada persetujuan orang lain. Diri
yang positif memiliki korelasi positif dengan memperlakukan orang lain secara positif.
Empati memahami orang lain secara emosional dari sudut pandang mereka. Mencintai yaitu
bentuk tertinggi dari karakter termasuk menjadi benar-benar tertarik dengan baik. ketika
orang mencintai yang baik, mereka mengambil kesenangan dalam berbuat baik. Kontrol diri
yaitu kebajikan moral untuk pengendalian diri, membantu kita untuk menjadi etis bahkan
mengekang kesenangan diri sendiri yang merugikan. Dalam hubungan dengan
pendampingan, karakter berkontribusi terhadap harga diri untuk pengambilan keputusan
moral untuk memperlakukan orang lain dengan adil.
c. Moral Action

Moral action meliputi: Moral kompetensi adalah memiliki kemampuan untuk mengubah
pertimbangan moral dan perasaan ke dalam tindakan moral yang efektif. Keinginan (Will)
adalah memobilisasi energi moral untuk melakukan apa yang kita pikirkan. Dibutuhkan
kemauan untuk menjaga emosi di bawah kendali akal. Dibutuhkan kemauan untuk melihat
dan memikirkan semua dimensi moral. Dibutuhkan kemauan untuk menempatkan tugas
sebelum kesenangan. Will adalah inti dari keberanian moral. Kebiasaan yaitu melakukan
manfaat Moral. Dalam hubungan dengan pendampingan, karakter berkontribusi terhadap
tindakan moral yang efektif untuk menjaga emosi di bawah kendali akal.

3. Elemen Karakter
Elemen karakter merupakan karakter pendukung pada tataran praktis. Elemen karakter
meliputi (De Braine, 2007): Kepemimpinan adalah mendampingi sebagai panutan dan
teladan, memungkinkan orang yang didampingi melakukan pelayanan apapun untuk
pendampingan. Pendamping yang memenuhi dan memberikan kepuasan serta menginspirasi
yang didampingi akan meningkatkan kinerja dan mengembangkan etos kerjanya. Integritas
yaitu perkataan benar, dan dapat dipercaya dalam kondisi apapun, konsistensi dalam
perkataan dan tindakan, demikian pula setia untuk hal-hal kecil, dan setia dalam tanggung
jawab yang besar. Kerajinan yaitu karakter dan kemampuan yang menghasilkan kualitas kerja
yang tinggi. Empati mendasari semua aspek pendampingan dengan menempatkan diri pada
posisi orang lain untuk memahami kebutuhan dan berkomunikasi secara efektif mendapatkan
perspektif yang seimbang dalam membangun rasa hormat dari orang yang didampingi.
Loyalitas adalah kesetiaan kepada diri sendiri dan orang lain yang menggambarkan
citra dan komitmen diri untuk membantu orang yang didampingi berdasarkan cinta.
Optimisme melakukan sesuatu yang melebihi yang diharapkan. Keadilan yaitu menerapkan
aturan secara konsisten dan memberikan orang kesempatan yang sama. Belas kasihan
membutuhkan perhatian untuk masalah yang dihadapinya. Cinta adalah layanan dalam
konsep kasih, tanpa pamrih peduli sekitar, bersifat universal dan prinsip-prinsip yang
mendukung pengembangan sumber daya manusia. Humor sebagai treatment dalam
mengatasi masalah, berdampak positif bagi kesehatan. Disiplin diri bertanggung jawab untuk
setiap pendampingan yang membutuhkan pengembangan potensi diri.
Ketekunan adalah keinginan untuk mencapai sesuatu. Percaya diri adalah meyakinkan
orang lain untuk setiap keputusan yang diambil dan membuat percaya diri, apakah itu baik
atau buruk. Kerendahan hati untuk tidak pernah berpikir lebih besar atau lebih baik daripada
yang lain, selalu menempatkan diri dalam sikap belajar. Pemahaman Diri yaitu mengetahui
kekuatan dan kelemahan serta jujur dengan diri sendiri. Inisiatif yaitu prakarsa diri dan
tidak perlu menunggu orang lain untuk mengembangkannya. Konsistensi dalam pengertian
apakah pendamping bertindak benar atau salah. Kreativitas yaitu modifikasi diri, mempunyai
ide-ide baru dan inovatif. Spiritualitas menggambarkan kekuatan diri (power), melampaui diri
sendiri, menyikapi situasi fisik, psikis dan seksual. Dalam hubungan dengan pendampingan,
karakter berkontribusi terhadap kemampuan yang menghasilkan kualitas pendampingan
secara konsisten dan memberikan orang yang didampingi kesempatan yang sama.

Anda mungkin juga menyukai