Anda di halaman 1dari 21

REMIDIAL UJIAN AKHIR SEMESTER KEPERAWATAN PALIATIF

MAKALAH PRINSIP DASAR TINJAUAN AGAMA DAN SOSIAL BUDAYA


DALAM KEPERAWATAN PALIATIF

Dosen Pengampu: Elisa, S. Kep., Ns., M. Kep

Disusun Oleh :
DITA KESUMA
P1337420121099
Reguler 3A2

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEMARANG


PROGRAM DIPLOMA III
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif
dengan judul “Makalah Prinsip Dasar Tinjauan Agama dan Sosial Budaya dalam Keperawatan
Paliatif” tepat pada waktunya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan pengetahuan baik untuk pembaca ataupun kami. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada Ibu Elisa, S. Kep., Ns., M. Kep. selaku dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Paliatif.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk makalah ini agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi.

Semarang, 10 Desember 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada penderita
yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang dideritanya. Pasien
sudah tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang disebabkan oleh keganasan
ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya (Aziz,
Witjaksono, & Rasjidi, 2008).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yangmengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah
lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Organization (WHO)
2016).
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan
perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri,
masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual (Campbell, 2013).
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien
paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose penyakit
kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan
pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara
mandiri. Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik,
literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).Definisi lain
mengatakan bahwa distres spiritual adalahgangguan dalam prinsip hidup yang meliputi
seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk,
2011).
Sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan
pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Andreas Eppink, sosial
budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam
sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Sedangkan
menurut Burnett, kebudayaan adalah keseluruhan berupa kesenian, moral, adat istiadat,
hukum, pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan olah pikir dalam bentuk lain yang
didapat seseorang sebagai anggota masyarakat dan keseluruhan bersifat kompleks. Dari
kedua pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa social budaya memang mengacu
pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan pada aspek adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tinjauan agama dalam perawatan paliatif?
2. Bagaimanakah tinjauan sosial budaya dalam perawatan paliatif ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tinjauan agama dalam perawatan paliatif
2. Untuk mengetahui tinjauan sosial budaya dalam perawatan paliati
BAB II

ISI

A. Tinjauan Agama dalam Perawatan Paliatif


1. Pengertian kebutuhan spiritual
Spiritual berasal dari kata latin yaitu “spiritus” yang memiliki arti napas atau
angin dan dapat di notasikan bahwa spiritual memberikan kehidupan atau esensi
dalam manusia (Kozier dkk, 2008). Spiritual merupakan sesuatu yang di percayai
oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan)
yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan dan
permohonan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat (Aziz, 2014 dalam Sasmika,
2016).
Definisi lain menyebutkan bahwa spiritual adalah multidimensi yang terdiri dari
dimensi vertikal dan dimensi horizontal yang berarti dimensi vertikal menunjukkan
hubungan individu dengan Tuhan yang dapat menuntun dan mempengaruhi
individu dalam menjalani kehidupan sedangkan dimensi horizontal merupakan
hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya (Rois,
2014 dalamSasmika, 2016).
Spiritual adalah suatu hubungan yang dimiliki individu yang tidak hanya kepada
Tuhan saja melainkan kepada individu lain dan lingkungan juga. Kebutuhan
spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap orang atau
manusia dalam mencari arti dan tujuan hidup (Aziz, 2014 dalam Sasmika, 2016).
Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, serta menjalin hubungan penuh
rasa percaya dengan Tuhan (Ummah, 2016). Kebutuhan spiritual merupakan
kebutuhan untuk mencari arti tujuan, makna, dan kualitas hidup, kebutuhan untuk
mencintai, dan dicintai serta untuk memberikan maaf (Potter dan Perry, 2007).
2. Karakteristik spiritual
Siregar (2015) menyatakan bahwa pemenuhan spiritual harus berdasarkan 4
karakteristik spiritual itu sendiri. Ada beberapa karakteristik yang dimiliki spiritual,
adapaun karakteristik itu antara lain:
a. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi
pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga
sikap yang menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan
atau masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri
(Young dan Koopsen, 2007).
Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya menyadari
makna dan tujuan hidupnya, diantaranya memandang pengalaman hidupnya
sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa
depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson,
1995). Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan
bersifat universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran
yang tidak dapat dibuktikan dengan pikiran yang logis.Kepercayaan dapat
memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan
atau stress.Mempunyai kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap
sesuatu atau seseorang sehingga dapat memahami kehidupan manusia dengan
wawasan yang lebih luas. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan
ketidakpastian dalam hidup dan merupakan suatu proses interpersonal yang
terbina melalui hubungan saling percaya dengan orang lain, termasuk dengan
Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu untuk mempertahankan hidup,
tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cenderung terkena
penyakit. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui
makna hidup, yang kadang diidentikkan dengan perasaan dekat dengan Tuhan,
merasakan hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan
tentang situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang
masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004).
b. Hubungan dengan orang lain atau sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri
sendiri. Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling
keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian pokok dalam pengalaman
manusiawi (Young dan Koopsen, 2007).Young dan Koopsen ( 2007)
menyatakan adanyahubungan antara manusia satu dengan lainnya yang pada
tarafkesadaran spiritual kita tahu bahwa kita terhubung dengan
setiapmanusia.Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak
harmonisnyahubungan dengan orang lain. Keadaan harmonis
meliputipembagian waktu, ramah dan bersosialisasi, mengasuh anak,mengasuh
orang tua dan orang yang sakit, serta meyakinikehidupan dan kematian.
Sedangkan kondisi yang tidak harmonismencakup konflik dengan orang lain
dan resolusi yangmenimbulkan ketidakharmonisan, serta keterbatasan
hubungan.
c. Hubungan dengan alam
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas meliputi hubungan individu
denganlingkungan. Pemenuhan spiritualitas tersebut melalui kedamaian
danlingkungan atau suasana yang tenang. Kedamaian merupakan
keadilan,empati, dan kesatuan. Kedamaian membuat individu menjadi tenang
dan dapatmeningkatkan status kesehatan (Kozier, et al, 1995). Harmoni
merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi
pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi
dengan alam serta melindungi alam tersebut (Kozier dkk 1995). Kedamaian
(peace), kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan. Dengan
kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan status
kesehatan (Puchalski, 2004).
d. Hubungan dengan Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan.Akan tetapi, dewasa ini
telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas.Tuhan dipahami
sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat tuhan
mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang
berbeda bagi satu orang dengan orang lain (Young dan Koopsen, 2009). Secara
umum melibatkan keyakinan dalam hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi,
berkuasa, memiliki kekuatan mencipta, dan bersifat ketuhanan, atau memiliki
energy yang tidak terbatas.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual
Menurut Taylor dan Craven dan Hirnle dalam Ummah (2016) menyebutkan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang diantaranya:
a. Tahap perkembangan. Spiritual berubungan dengan kekuasaan non material,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai
mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan dengan Tuhan.
b. Sistem hubungan. Sistem pendukung individu seperti keluarga dan pihak yang
mempunyai peran penting di dalam hidup (Archiliandi, 2016). Peranan keluarga
penting dalam perkembangan spiritual individu. Selain keluarga perawat juga
mempunyai peranan penting apabila individu tersebut dirawat di rumah sakit
khususnya dalam pemenuhan kebutuhan spiritual yang meliputi thaharah dan
shalat.
c. Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh
latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan
mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
d. Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup yang positif ataupun negatif
dapat mempengaruhi spiritual seseorang, peristiwa dalam kehidupan seseorang
biasanya dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia
untuk menguji keimanannya.
e. Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan seseorang. Krisis
sering dialami pada saat orang sedang menghadapi penyakit, penderitaan,
proses penuaan, kehilangan, 6 dan bahkan kematian. Perubahan dalam
kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual
yang bersifat fisik dan emosional.
f. Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut,
sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan
pribadi dari sistem dukungan sosial. Akibatnya, kebiasaan hidup sehari-hari
juga berubah, diantaranya tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti
kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman
dekat yang bisa memberikandukungan setiap saat bila diinginkan.
4. Memberikan perawatan spiritual
Sebelum memulai perawatan spiritual yang efektif , profesional harus
mengetahui dan memahami tingkat kesadaran pasien yang melibatkan pemeriksaan
keyakinan pribadi dan nilai-nilai, dikombinasikan dengan sikap positif terhadap
kesehatan rohani.
Kesadaran diri membantu mencegah pembentukan penilaian atau mencoba
untuk mengubah keyakinan sendiri atau budaya. Membaca Kitab Suci merupakan
salah satu bagian dari intervensi spiritual yang dapat digunakan untuk mengatasi
penyakit-penyakit yang kronis. Belajar Alkitab dalam berbagai fasilitas perawatan
sangat penting karena dapat menyediakan interaksi dan pembelajaran lebih lanjut
mengenai iman seseorang, dapat menyediakan interaksi sosial dan dukungan, dan
dapat mendatangkan kenyamanan.
Bacaan Kitab Suci dapat menjadi sebuah sumber kenyamanan dan kekuatan
untuk orang-orang percaya (Ross L, 2010). Perawatan rohani adalah relevan dalam
semua aspek perawatan pasien dan mungkin memberi dukungan yang baik selama
pengobatan seperti radioterapi, penyediaan makanan dan privasi serta kesempatan
untuk berdoa atau tertawa dan lain lain sesuai dengan keinginan pasien. Kebutuhan
spiritual akan ditangani dengan menawarkan perawatan praktis dengan cara
merespon pasien sebagai individu yang terpadu yang mengalami hidup dan mati
dalam setiap aspek keberadaan mereka.
Keterampilan komunikasi yang baik. Empati dan aktif mendengarkan, di mana
pasien diterima tanpa syarat. Mampu melepaskan diri dari keegoisan anda sendiri
dan berkonsentrasi pada kepercayaan anda (Ganeva, 1998). Spiritualitas dengan
ritual agama, misalnya sembahyang, berperan penting dalam membantu menerima
penyakit. Sembahyang berperan penting dalam menghadapi kanker dan membantu
pasien memperbaiki kesehatan spiritualnya ketika mereka sakit. Pelaksanaan ritual
agama oleh peserta adalah sangat kuat. Mereka meminta pemuka agama untuk
berdoa untuk kedamaian atau kesembuhan penyakit mereka. Karena kondisi budaya
di beberapa daerah cenderung religius, mereka cenderung lebih bergantung pada
agama untuk mengadapi situasi-situasi kritis

B. Tinjauan Sosial Budaya dalam Perawatan Paliatif


Budaya merupakan suatu pola terpadu yang memperngaruhi sikap dan perilaku
seseorang yang mencakup cara berfikir, komunikasi, tindakan, adat istiadat,
kepercayaan, nilai, dan institusi dari kelompok ras, etnis, agama, atau sosial tertentu
(Becker and Cagle 2022). Budaya merupakan agen pengikat sosial yang
menghubungkan seseorang dengan orang lain yang mencakup unsur bahasa, tradisi,
norma, harapan, dan rasa tujuan hidup termasuk mempengaruhi keyakinan, nilai,
dan asumsi tentang sehat dan sakit, penyakit, perawatan kesehatan, dan kematian,
(Becker and Cagle 2022). Budaya membentuk preferensi pasien mengenai
pengambilan keputusan, menerima kabar buruk, perawatan menjelang kematian,
dan penerimaan atas kematian itu sendiri.(Senel and Silbermann 2017).
1. Perspektif Sosial Budaya dalam Perawatan Paliatif
Keanekaragaman sosial dan budaya sering menimbulkan tantangan besar dalam
perawatan paliatif. Petugas kesehatan pemberi perawatan harus menyadari
bahwa asumsi budaya yang mendasari pasien terhadap masalah kesehatan yang
dialaminya, pengambilan keputusan medis, keterlibatan dalam komunikasi dengan
pasien dan keluarga, dan apa yang paling sesuai dengan harapan pasien adalah
hal penting yang harus diperhatikan (Six, Bilsen, and Deschepper 2023). Salah
satu tantangan perawatan paliatif yang besar adalah upaya menghormati keinginan
pribadi pasien berdasarkan budaya yang dianutnya terhadap standar universal
bantuan perawatan kesehatan yang seharusnya diberikan (Senel and Silbermann
2017). Dalam perspektif sosial budaya, perawatan paliatif harus dimulai dengan
pemahaman bahwa setiap pasien memiliki kisahnya sendiri, memiliki hubungan
dengan budaya, dan harus dihormati sebagai individu yang unik. Perbedaan nilai,
keyakinan, perilaku, bahasa, ritual, adat istiadat atau tradisi, dapat
mempengaruhi praktik kesehatan yang diterima baik untuk kesehatan, pemulihan
dan penyembuhan, hingga kematian (Senel and Silbermann 2017). Dengan
demikian, latar belakang budaya pasien yang unik harus dinilai dengan baik,
diakomodasi dengan bijaksana, dan dihormati karena berkaitan dengan proses
perawatan kesehatan, pengambilan keputusan, dan penerimaan terhadap kematian
(Becker and Cagle 2022).
2. Menghadapi Keragaman Budaya dalam Perawatan Paliatif
Budaya merupakan suatu yang unik dan melekat dengan pribadi pasien. Persoalan
budaya kerap menjadi salah satu faktor yang menjadi tantangan dalam
keberhasilan pelayanan kesehatan. Six, Bilsen, and Deschepper (2020)
merumuskan lima langkah bagi petugas kesehatan dalam menghadapai keragaman
budaya pada pelayanan perawatan paliatif, yaitu:
a. Langkah 1: sikap terbuka terhadap nilai-nilai yang berbeda
Salah satu cara untuk menghadapi keragaman budaya pada caregiver dan
pasien adalah dengan mengembangkan kompetensi pemahaman budaya.
Untuk mencapai hal ini, perawat harus menyadari fakta bahwa hal-hal yang
petugas kesehatan hargai belum tentu dihargai dengan cara yang sama oleh
orang-orang dari budaya lain. Perawat harus belajar menerima bahwa pasien
dan perawat memiliki nilai-nilai lain jauh lebih penting, dimana nilai
kesehatan dan keselamatan pasien adalah yang menjadi utama.
b. Langkah 2: kesadaran akan pandangan budaya sendiri
Harus disadari bawah setiap orang memiliki cara pandang dunia tersendiri.
Cara terbaik untuk mencapai ini adalah dengan banyak berinteraksi dengan
budaya lain sehingga perawat dapat memperoleh banyak pengetahuan yang
jelas bahwa hal-hal yang mungkin dianggap 'normal', 'benar' atau 'rasional'
tidak berlaku untuk semua orang dengan budaya yang berbeda.
c. Langkah 3: kesadaran akan topik khusus budaya dalam perawatan paliatif
Langkah ketiga adalah menyadari topik penting dalam perawatan paliatif yang
sampai taraf tertentu ditentukan secara budaya pasien dan keluarga. Contoh
kasus kondisi ini adalah dalam upaya mempertahankan kehidupan pasien
dengan cara bantuan berbagai alat medis dan pengobatan yang terus
menerus sampai kematian. Pada kondisi ini, pandangan dunia pasien dan
keluarga menjadi perhatian penting, ketahui apa yang merupakan kematian
yang baik dalam pandangan pasien dan keluarga. Apakah dengan
menggunakan berbagai bantuan medis dan pengobatan tersebut dapat
diterima atau tidak, bahkan dalam budaya yang dianut pasien. Kesadaran
akan topik khusus budaya dalam perawatan paliatif seperti ini sangat penting
diperhatikan.
d. Langkah 4: menerapkan pengetahuan ke dalam praktik
Kompetensi pemahaman budaya merupakan suatu keterampilan yang oleh
karena itu perawat harus mampu memahami budaya dan mengubahnya yang
sesuai dengan pengetahuan dan sikap yang lebih tepat untuk kesehatan
pasien kedalam praktik perawatan. Langkah ini membutuhkan latihan dan
pengalaman yang cukup banyak untuk dapat menangani preferensi, sikap,
kebiasaan pasien dan keluarga yang mungkin tidak sesuai dengan standar
universal kesehatan.
e. Langkah 5: hindari membuat stereotip terhadap masing-masing pasien
Langkah terakhir adalah berurusan dengan refleksivitas dan penghindaran
stereotip. Fakta bahwa budaya itu beraneka ragam. Harus ditekankan bahwa
setiap orang harus diperlakukan sebagai individu tanpa apriori dikaitkan
dengan stereotip budayanya. Karakteristik budaya tertentu tidak dapat
diterapkan pada pasien individu yang lain. Lebih dari sekedar anggota
budaya stereotip; pasien juga merupakan kombinasi dari identitas dan peran
sosial yang berbeda misalnya, seorang pasien mungkin sangat religius atau
ateis, progresif atau konservatif, berpendidikan tinggi atau tidak
berpendidikan sama sekali, dll.
3. Pengambilan Keputusan Bersama
Pengambilan keputusan dalam perawatan paliatif pasien dengan budaya tertentu
harus dilakukan dengan hati-hati, dengan berdasar pada asas kesehatan,
pemulihan, kekuatan dan kesejahetraan pasien, dengan tetap mempetimbangkan
standar kesehatan yang universal. Strategi yang memungkinkan pengambilan
keputusan bersama dengan pasien dan keluarga adalah mengakomodasi
pandangan pasien dan keluarga dalam perencanaan perawatan paliatif dengan
tidak bertentangan dengan standar pelayanan kesehatan (Schill and Caxaj 2019).
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah:
1. Menyediakan ruang yang untuk memfasilitasi pertemuan keluarga pasien
dalam jumlah yang diharapkan pasien dan keluarga.
2. Memberikan informasi kepada orang yang 'benar' (sesuai budaya pasien),
dan menggunakan pertemuan keluarga untuk mengkomunikasikan berbagai
informasi tentang kesehatan dan rencana perawatan pasien.
3. Mengembangkan proses resolusi konflik untuk menghindari berbagai
kondisi saling menyalahkan antara keluarga yang terlibat dalam mengambil
keputusan.

Pengambilan keputusan bersama harus memenuhi beberapa komponen penting


(Six, Bilsen, and Deschepper 2023) (Monette 2021), yaitu:

1. Pengungkapan kebenaran
Pengungkapan kebenaran harus berasal dari semua pihak. Petugas
memberikan kebenaran atas kondisi terkini kesehatan pasien, rencana
perawatan yang tepat, dan persiapan akan fase kehilangan. Pasien dan keluarga
memberikan kebenaran tentang segala aspek yang berkaitan dengan kesehatan
dan rencana perawatan pasien yang di inginkan, termasuk rencana kematian
yang diharapkan pasien dan keluarga apakah keluarga menginginkan pasien
meninggal dirumah bersama keluarga.
2. Otonomi pasien
Petugas harus menghargai hak otonomi pasien dan keluarga dalam
mengambil keputusan. Pastikan bahwa perawat telah memberikan semua
informasi yang lengkap dan yang terbaik bagi kesehatan, pemulihan,
kekuatan, dan kesejahteraan pasien. Persetujuan atas otonomi pasien harus
disertai bukti inform concent yang menyatakan otonomi pasien setelah
mendengarkan dan mengetahui semua informasi yang disampaikan perawat.
3. Nyeri ; sikap terhadap penilaian dan ekspresi nyeri
Perawat dapat menggunakan skala analog visual nyeri untuk mengidentifikasi
dan menilai perasaan nyeri yang dirasakan pasien. Menyediakan juru bahasa
atau penghubung sebagai alternatif, atau menggunakan anggota keluarga
untuk interpretasi keluhan nyeri yang dirasakan pasien jika memungkinkan.
4. Mengambil kendali atas kematian
Perbedaan pandangan hidup dan mati merupakan salah satu hambatan dalam
perawatan paliatif yang sesuai secara budaya. Makna kematian bagi pasien
dan keluarga harus dikaji dan diketahui. Berbagai hasil studi menemukan
bahwa bebarapa asien menyatakan bahwa dalam pandangan mereka, hidup dan
mati saling terkait, bahwa kematian bukanlah simbol akhir kehidupan, tetapi
bagian dari kehidupan itu sendiri, “seperlunya seperti kelahiran”. Pada
beberapa pasien, kematian dianggap sebagai musuh dan dialami secara teknis.
Pasien dengan budaya lain meyakini bahwa kematian suatu transisi dari satu
kehidupan ke kehidupan berikutnya yang dipandang sebagai perjalanan ke
Dunia Roh. Berbagai pandangan akan kematian harus menjadi perhatian bagi
perawat mengenali dan menghormati pandangan berbagai pandangan pasien
dan keluarga tentang kematian, sehingga dapat menyiapkan prosedur
perawatan yang sesuai dengan pandangan tersebut dan membantu prosesnya
dengan baik.
4. Keterlibatan Pasien dan Keluarga
Pasien dan keluarga merupakan komponen penting dalam rencana perawatan
paliatif. Beberapa keluarga mengharapkan informasi harus pertama
disampaikan kepada mereka sehingga mereka dapat membantu membuat
keputusan perawatan kesehatan atau kematian pasien. Namun, pada beberapa
budaya, keluarga keluarga seringkali tidak mau menjadi pembuat keputusan
akhir ketika kondisi kematian tidak bisa dihindari. Keluarga berharap bahwa
peran dokter lah yang memutuskan semua perawatan kesehatan dan perawatan
akhir hayat bagi anggota keluarganya. Kondisi ini dapat menyebabkan dilema
pengobatan bagi penyedia layanan kesehatan yang sebenarnya berharap perawatan
pasien paliatif berfokus pada keterlibatan pasien dan keluarga (Senel and
Silbermann 2017). Keterlibatan aktif pasien dan keluarga dalam perencanaan
layanan harus dilakukan berdasarkan pengambilan keputusan bersama untuk
memastikan bahwa pasien dan keluarga adalah mitra dalam keberhasilan
perawatan paliatif yang diberikan. Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan peran aktif pasien dan keluarga dalam keberhasilan rencana
perawatan paliatif pasien adalah: (Schill and Caxaj 2019)
1. Pasien dan keluarga meluangkan waktu untuk diskusi tentang perawatan
pasien, menyediakan waktu dan ruang untuk umpan balik untuk
memastikan mereka memahami dan memiliki sumber daya dan pengetahuan
yang baik dan benar untuk berpartisipasi aktif dalam perawatan pasien
2. Menghargai keputusan untuk minum atau tidak minum obat, menghormati
dan menerima perspektif yang berbeda tentang pengobatan atau perawatan
pasien
3. Mendidik keluarga pada proses sekarat untuk memfasilitasi rasa
pemberdayaan keluarga terhadap pasien
4. Mengadopsi komunikasi yang sesuai dengan budaya dan berpusat pada
keluarga
5. Menyediakan sumber daya untuk mengurangi beban pengasuhan pada
pengasuh keluarga
6. Menerapkan program advokat kesehatan untuk mendukung keterlibatan
pasien dan keluarga dalam perawatan paliatif, dan menegosiasikan dinamika
antara pasien dan pemberi perawatan
7. Merekrut dan memfasilitasi partisipasi penyedia layanan kesehatan,
relawan, atau keluarga/teman dari latar belakang budaya yang sama

Keyakinan dan nilai-nilai pasien harus dihormati dalam proses pengambilan


keputusan dan dalam kasus masalah akhir hidup bahkan jika keputusannya
berbeda dari pandangan keluarga atau profesional kesehatan. Sambil
menghormati norma budaya dengan memberikan otonomi pasien, hak
pengambilan keputusan independen juga diakui (Senel and Silbermann 2017).
Saat bekerja dengan pasien dan keluarga, perawat harus memiliki kesadaran diri
yang kritis tentang bagaimana keyakinan dan perilaku pasien dan keluarga yang
berasal dari budaya dan disiplin tertentu, dapat secara tidak sadar atau tidak
sengaja memengaruhi perawatan pasien, sehingga berkontribusi pada
ketidakadilan sistemik dan ketidaksejahteraan pasien yang besar dalam
menerima perawatan (Becker and Cagle 2022)

5. Pemberdayaan Tradisi dalam Budaya untuk Perawatan


Pendekatan perawatan paliatif yang efektif adalah yang memberdayakan
identitas budaya, pengetahuan, dan tradisi yang ada pada budaya setempat
yang tidak bertentangan dengan standar universal kesehatan. Pemberdayaan
tradisi dalam budaya untuk perawatan berarti bahwa identitas budaya,
pengetahuan, dan tradisi yang ada dalam budaya tersebut yang tidak bertentangan
dengan kesehatan dihargai sebagai sumber pengetahuan dan keahlian yang dapat
diterima selama proses perawatan paliatif berlangsung dan penting untuk
pengambilan keputusan lebih lanjut (Schill and Caxaj 2019). Upaya
meningkatkan pemberdayaan identitas budaya, pengetahuan, dan tradisi dalam
perawatan paliatif meliputi:
a. Mengeksplorasi model perawatan sesuai budaya setempat, dan secara kritis
mengevaluasi model perawatan tersebut dan asumsi yang mendasarinya
dengan standar kesehatan yang ilmiah.
b. Mengevaluasi pengobatan tradisional yang digunakan, dan diukur
menggunakan standar evaluasi pengobatan yang sesuai standar kesehatan
(Schill and Caxaj 2019).
c. Beberapa orientasi budaya termasuk sistem kepercayaan dan nilai-nilai
yang menimbulkan tantangan atau dilema etika harus dirangkul dan perlu
diteliti untuk menemukan bukti dan teori ilmiah, membutuhkan musyawarah
lintas profesi, dan dukungan yang tersedia dari anggota tim (Becker and Cagle
2022)
d. Menghindari memanfaatkan langsung segala aspek dalam budaya sebelum
dilakukan evaluasi manfaatnya terhadap perawatan paliatif pasien. Perawat
harus mengormati otonomi pasien sesuai budaya yang dianutnya.
6. Komunikasi sesuai Budaya
Sejumlah penelitian bertujuan untuk memahami relevansi budaya dengan
kematian dan sekarat, dan menemukan bahwa komunikasi adalah salah satu
penghalang terbesar antara penyedia layanan kesehatan dan pasien serta keluarga
selama perawatan akhir hayat berlangsung (Senel and Silbermann 2017). Pada
perawatan paliatif, beberapa aspek kebutuhan penyedia dan administrator
kesehatan harus menggunakan komunikasi yang hormat, jelas, dan sesuai budaya
telah ditekankan (Schill and Caxaj 2019), misalnya:
a. Melibatkan orang yang paling berpengaruh bagi pasien dalam budaya
setempat dalam informasi status kesehatan, perencanaan dan penyampaian
masalah untuk meningkatkan relevansi lokal dan memudahkan berbagai
akses yang mungkin sulit diperoleh pasien dan keluarga.
b. Mempromosikan komunikasi yang sehat kepada pasien, keluarga dan
masyarakat setempat sesuai budaya dan sesuai dengan standar kesehatan.
c. Menghindari komunikasi tentang berbagai bentuk rasisme dan penilaian
individual dan sistemik
d. Membangun komunikasi yang saling menghargai antara pasien, keluarga
dan pemberi layanan kesehatan, dengan memperhatikan prinsip
menghormati budaya, membangun kepercayaan, dan mendukung perawatan
pasien.

Hasil studi melaporkan bahasa dan komunikasi sama pentingnya dengan


penyediaan perawatan yang relevan secara budaya. Semua penelitian
menyebutkan bahwa sentralitas bahasa dan pilihan ungkapan saat memberikan
perawatan untuk perawatan yang relevan secara budaya harus dilakukan
dengan baik dengan memperhatian budaya setempat. Sebagai contoh, beberapa
budaya tidak menggunakan istilah ''akhir kehidupan'' saat membahas kematian,
karena budaya tersebut memandang bahwa kematian adalah jalan kelanjutan
ke kehidupan berikutnya. Konsekuensi dari contoh ini adalah bahwa perawat
dapat mengacu proses perawatan ''akhir kehidupan'' pasien dengan menghargai
budaya yang berlaku setempat dan memberikan edukasi tentang akhir kehidupan
dengan cara yang lebih baik sesuai budaya (Monette 2021)

7. Ketersediaan Layanan Komunitas


Hasil studi menemukan pentingnya ketersediaan komunitas atas layanan paliatif
dimasyarakat untuk memastikan kebutuhan pasien, keluarga, dan komunitas
terpenuhi secara memadai. Ketersediaan ini dapat dicapai dengan baik dengan
cara pnyediaan layanan harus digerakkan oleh kebutuhan masyarakat dan
dibangun di atas kekuatan dan budaya masyarakat (Schill and Caxaj 2019),
misalnya:
a. Lembaga pendidikan dan rumah sakit yang berada diwilayah tersebut dapat
bermitra dengan organisasi masyarakat setempat untuk memberikan
dukungan dan sumber daya dalam peningkatan kapasitas pengembangan,
penyampaian, dan evaluasi program perawatan paliatif bagi pasien,
b. Membentuk komite penasehat kelompok atau komunitas, atau penghubung
dalam perencanaan dan pemberian layanan paliatif dan dikombinasikan
dengan tujuan eksplisit untuk membangun kapasitas masyarakat sehat dari
waktu ke waktu.
8. Tantangan Perawatan Paliatif dalam Aspek Budaya
Faktor budaya telah membentuk preferensi pasien mengenai pengambilan
keputusan, menerima kabar buruk, dan perawatan di akhir hayat. Berbagai
tantangan perawatan paliatif dalam aspek budaya yang dapat dijumpai
adalah:
a. Pandangan terhadap kematian, dimana tidak semua pasien dan keluarga
dalam suatu budaya menerima bahwa kematian adalah proses yang tak
terhindarkan dari kehidupan setiap orang, dimana pengalaman kematian
setiap individu adalah unik.
b. Merawat pasien pada tahap akhir kehidupan sering kali membuat stres
dan sedih bagi semua orang yang terlibat, dan situasi ini dapat menjadi
buruk jika pemberi perawatan kesehatan tidak sepenuhnya memahami
sifat dan keyakinan pasien dan keluarga.
c. Beberapa budaya memiliki sikap berbeda terhadap beberapa intervensi
medis dalam proses perawatan pasien paliatif.
d. Beberapa kelompok budaya dan agama mungkin memilih untuk
memperpanjang hidup pasien padahal berdasarkan penilaian medis hal itu
tidak dapat dilakukan.
e. Beberapa kelompok budaya mungkin menolak secara terbuka beberapa
tindakan yang sebenarnya berguna bagi perawatan pasien paliatif (Senel and
Silbermann 2017)

Di Indonesia, perawatan paliatif dianggap sebagai pilihan hanya ketika


pengobatan aktif tidak lagi dilanjutkan. Masalah psikologis, kesulitan
interaksi sosial, dan aspek spiritual tidak dianggap sebagai bagian dari
pelayanan medis akhir hayat atau pelayanan kesehatan. Hambatan lain adalah
kondisi umum negara dan masyarakat Indonesia dengan wilayah geografis
yang luas, memiliki beraneka ragam suku, agama, ras, dan budaya, termasuk
kepercayaan dan nilai nilai tertentu dimasyarakat yang heterogen, rendahnya
kesadaran masyarakat akan perawatan paliatif, tabu seputar kematian dan
pengungkapan prognosis, pengambilan keputusan keluarga yang kurang
tepat, ketergantungan pada obat-obatan tradisional, fobia opioid, dan
kemungkinan kehilangan kontrol dan pendapatan ekonomi telah
mengakibatkan penolakan terhadap rujukan pasien ke perawatan paliatif
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan pasien dan keuarganya dalam menghadapi masalah masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan
meringankan penderitaan melalui identifikasi awal serta terapi dan masalah lain, fisik,
psikososial dan spiritual.
Perawatan paliatif meliputi biopsiko-spiritual, dalam hal ini sebagian besar
perawat berperan dalam pemenuhan bio saja. Perilaku manusia dalam menghadapi
masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda
dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang
bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang
ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan
kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok
yang bersangkutan.
Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi
tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi
berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun
menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah
perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi
sosial, dan kepribadian individu-individunya terutama dalam paliatif care

B. Saran
Dengan adanya gambaran ini diharapkan perawat mampu meningkatkan
pelayanan perawatan spiritual untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien dan
keluarganya. Karena nilai, praktek, keyakinan, dan sumber kekuatan di dalam keluarga
merupakan bagian dari spiritualnya yang berpengaruh terhadap fungsi keluarga
danmenolong mereka dalam memanage krisis yang terjadi di dalam keluarganya.
Sehingga nantinya diharapkan tercapainya kesejahteraan spiritual keluarga yang
optimal. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas kesehatan akan
mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu
dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiyanti, Yuli dkk. (2023). Keperawatan Paliatif (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Media
Sains Indonesia.
Azizah, F. N. (2013). Aspek Sosial Mempengaruhi Kesehatan.

Becker, T. D., & Cagle, a. J. (2022). The Importance and Impact of Culture in Palliative Care.
In The Oxford Textbook of Palliative Social Work, ed. John G. Cagle Terry Altilio
Shirley Otis-Green. Oxford University Press, 1-24.

Lukman Hakim, d. (2013). Faktor Sosial Budaya dan Orientasi Masyarakat dalam Berobat
(Soccio-Cultural and Social Oriental in the Treatment). Jember: Universitas Jember.

Monette, E. M. (2021). Cultural Considerations in Palliative Care Provision: A Scoping


Review of Canadian Literature. Palliative Medicine Reprots, 2(1): 146-156.

Putranto, Rudi et al. (2017). Development and Challenges of Palliative Care in Indonesia: Role
of Psychosomatic Medicine. BioPsychoSocial Medicine, 11(29): 1-5.
Schill, Kaela, & Caxaj, a. S. (2019). Cultural Safety Strategies for Rural Indigenous Palliative
Care: A Scoping Review. BMC Palliative Care, 18(21): 1-13.

Six, Stefan, Bilsen, J., & Deschepper, a. R. (2023). Dealing with Cultural Diversity in Palliative
Care. BMJ Supportive and Palliative Care, 13(1): 65-69.
Soekidjo, N. (1990). Pengantar Perilaku Kesehatan. Jakarta: FKM-UI.

Anda mungkin juga menyukai