Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN TEORITIK

1. Pengertian Nilai Religiusitas

Secara bahasa ada tiga istilah yang masing-masing kata tersebut memilki

perbedaan arti yakni religi, religiusitas dan religius. Slim (Rasmanah, 2003)

mendefenisikan istilah tersebut dari bahasa Inggris. Religi berasal dari kata

religion sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan

akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia. Religiusitas berasal dari

kata religiosity yang berarti keshalihan, pengabdian yang besar pada agama.

Religiusitas berasal dari religious yang berkenaan dengan religi atau sifat religi

yang melekat pada diri seseorang. Religiusitas berasal dari bahasa Latin

“relegare” yang berarti mengikat secara erat atau ikatan kebersamaan (Mansen,

dalam Kaye & Raghavan, 2000). Religiusitas adalah sebuah ekspresi Spiritual

seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku

dan ritual (Kaye & Raghavan, 2000). Definisi lain mengatakan bahwa

religiusitas merupakan sebuah proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran

yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral (Chatters, 2000). Secara

mendalam Chaplin (1997) mengatakan bahwa religi merupakan sistem yang

konfleks yang terdiri dari kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam sikap

dan melaksanakan upacara-upacara keagaman yang dengan maksud untuk

dapat berhubungan dengan Tuhan. Ananto (2003) menerangkan religius

seseorang terwujud dalam berbagai bentuk dan dimensi, yaitu: a. Seseorang

22
23

boleh jadi menempuh religiusitas dalam bentuk penerimaan ajaranajaran agama

yang bersangkutan tanpa merasa perlu bergabung dengan kelompok atau

organisasi penganut agama tersebut. Boleh jadi individu bergabung dan

menjadi anggota suatu kelompok keagamaan, tetapi sesungguhnya dirinya tidak

menghayati ajaran agama tersebut. b. Pada aspek tujuan, religiusitas yang

dimilki seseorang baik berupa pengamatan ajaran-ajaran maupun

penggabungan diri ke dalam kelompok keagamaan adalah semata-mata karena

kegunaan atau manfaat intrinsik religiusitas tersebut. Boleh jadi bukan karena

kegunaan atau manfaaat intrinsik itu, melainkan kegunaan manfaat yang justruk

tujuannya lebih bersifat ekstrinsik yang akhirnya dapat ditarik kesimpulan ada

empat dimensi religius, yaitu aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik, serta sosial

intrinsik dan sosial ekstinsik. Dari beberapa definisi yang diungkapakan di atas,

dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas merupakan suatu bentuk

hubungan manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah

terinternalisasi dalam diri seseorang dan tercermin dalam sikap dan perilakunya

sehari-hari.

Verbit (Roesgiyanto, 1999) mengemukakan ada enam komponen

religiusitas dan masing-masing komponen memiliki empat dimensi. Keenam

komponen tersebut

a. ritual yaitu perilaku seromonial baik secara sendiri-sndiri maupun

bersama-sama

b. doctrin yaitu penegasan tentang hubungan individu dengan Tuhan

c. emotion yaitu adanya perasaan seperi kagum, cinta, takut, dan sebagainya
24

d. knowledge yaitu pengetahuan tentang ayat-ayat dan prinsip-prinsip suci

e. ethics yaitu atauran-aturan untuk membimbing perilaku interpersonal

membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk

f. community yaitu penegasan tentang hubungan manusia dengan makhluk

atau individu yang lain

Sedangkan dimensi dari komponen tersebut adalah

a. content, merupakan sifat penting dari komponen misalnya ritual khusus,

ide-ide, pengetahuan, prinsip-prinsip dan lain-lain

b. frequency, merupakan seberapa sering unsur-unsur atau ritual tersebut

dilakukan

c. intensity, merupakan tingkat komitmen

d. centrality, yaiutu hal-hal yang paling menonjol atau penting

Adapun pengertian nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita,

sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan

diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Nilai adalah kualitas atau sifat yang

membuat apa yang bernilai jadi bernilai. Misalnya nilai “jujur” adalah sifat

tindakan yang jujur. Jadi nilai (Wert, value) tidak sama dengan apa yang

bernilai (Guter, goods). Kata nilai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa

asing yakni bahasa Latin Valere, kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris

menjadi Value dan bahas Perancis kuno valoir Ecyclopedia of Real Estate

Term .
25

Menurut Mochamad Aris Yusuf (2023) menyatakan bahwa nilai

kerohanian atau nilai religius adalah salah satu nilai yang begitu penting dalam

kehidupan manusia. Bahkan, dalam Pancasila tepatnya sila kesatu juga memiliki

makna yang berhubungan dengan nilai religius. Nilai religius secara sederhana

merupakan suatu nilai yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan serta

memiliki sifat suci dan dapat dijadikan suatu pedoman untuk tingkah laku dalam

ranah agama untuk pihak yang bersangkutan. Nilai pada dasarnya tidak

menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu dianggap benar maupun salah.

Namun, nilai lebih mengarahkan perilaku dan pertimbangan yang akan

dilakukan oleh seseorang. Sebuah tindakan akan dianggap jika sesuai dengan

moral jika selaras dengan nilai yang telah disepakati dan dijunjung oleh

masyarakat setempat dimana tindakan tersebut dilakukan. Ada sekitar 4 nilai

yang kerap dijadikan patokan hidup manusia dalam perilaku kehidupan

bermasyarakat, salah satunya adalah nilai kerohanian atau nilai religius. Dimana

nilai religius adalah segala sesuatu yang berhubungan atau bisa berguna bagi

batin dan rohani manusia. Sebagai contohnya adalah dalam kegiatan beribadah.

Nilai religus juga tak hanya mengandung tentang unsur ketuhanan saja, tetapi

juga memiliki nilai kerohanian dan juga mengandung unsur lain seperti

keindahan dan kebenaran. Nilai religius atau nilai kerohanian dibagi menjadi

beberapa jenis. Di bawah ini merupakan beberapa jenis yang ada di dalam nilai

religius atau nilai kerohanian

1. nilai kebenaran
26

Nilai kebenaran merupakan suatu nilai yang berasal dari akal manusia.

Sebagai contohnya adalah terkait dengan sesuatu yang dianggap benar

maupun salah karena akal manusia memiliki kemampuan untuk membedakan

yang benar dan yang salah

2. nilai keindahan

Nilai keindahan yang dapat diartikan sebagai suatu nilai yang berasal dari

perasaan manusia. Contohnya adalah daya tarik yang ada pada sebuah benar

adalah suatu yang akan dihargai pada benda tersebut

3. nilai moral

Nilai moral adalah sebuah nilai yang berasal dari unsur kehendak manusia.

Nilai moral juga memiliki hubungan erat dengan perilaku manusia terhadap

penilaian yang nantinya akan dianggap baik atau buruk, mulia atau hina

menurut tatanan yang ada di dalam kelompok sosial tersebut

4. nilai keagamaan

Nilai keagamaan adalah sebuah nilai yang bersumber dari kitab suci. Dimana

nantinya nilai ini juga berhubungan dengan interaksi manusia terhadap sang

pencipta atau Tuhan serta interaksi antar manusia dan sesamanya

Penafsiran nilai dalam suatu bidang bergantung pada sudut pandang

masing-masing. Nilai itu tidak formal melainkan material (“material” bukan

dalam arti “bendawi”, “terdiri atas materi”, melainkan ”ada apanya”, ada

”apanya”), masing-masing dalam kekhasan dan perbedaannya. Maka Scheler

menyebutkan etikanya “etika nilai material jujur”. Jujur, vital, enak, adil,

indah, kudus, ini semua nilai yang kita tahu langsung “apanya”.
27

Menurut Zayadi (2011: 73) sebagaimana sumber nilai religius yang

berlaku dalam kehidupan manusia digolongkan menjadi dua macam yaitu

1) nilai Ilahiyah

Nilai Ilahiyah adalah nilai yang berhubungan dengan ketuhanan, dimana inti

dari ketuhanan adalah keagamaan. Nilainilai yang paling mendasar adalah

a) Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah SWT.

b) Islam, sebagai kelanjutan iman, maka sikap pasrah kepada-Nya dengan

meyakini bahwa apapun yang dari Tuhan mengandung hikmah kebaikan

dan sikap pasrah kepada Tuhan.

c) Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa

hadir atau berada bersama kita bersama.

d) Taqwa, yaitu sikap menjalani perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.

e) Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan tanpa pamrin

semata-mata hanya demi memperoleh ridha dari Allah SWT.

f) Tawakal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah dengan penuh

harapan kepada Allah SWT.

g) Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas nikmat

dan karunia yang telah diberikan Allah SWT.

h) Sabar, yaitu sikap yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan

hidup yaitu Allah SWT.

2) Nilai Insaniyah

Nilai Insaniyah adalah nilai yang berhubungan dengan sesama manusia, yang
28

berisi budi pekerti, berikut nilai yang termasuk dalam nilai insaniyah

a) Silaturrahim yaitu pertalian cinta kasih antaramanusia.

b) Alkhuwah yaitu semangat persaudaraan.

c) Al-adalah yaitu wawasan yang seimbang.

d) Khusnudzan yaitu berbaik sangka kepada manusia.

e) Tawadhu’ yaitu sikap rendah hati.

f) Al-wafa yaitu tepat janji.

g) Amanah yaitu sikap dapat dpercaya.

h) Insyirah yaitu lapang dada.

i) Iffah yaitu sikap penuh harga diri tetapi tidak sombong tetap rendah hati.

j) Qowamiyah yaitu sikap tidak boros.

k) Al-munfikun yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang

besar menolong sesama manusia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai religiusitas menurut

Zayadi (2011: 73) yang ada dalam novel Sujud Nisa di Kaki Tahajjud-Subuh

karya Kartini Nainggolan.

2. Religiusitas dalam Karya Sastra

Sebuah karya sastra, selain merupakan hasil pengamatan batin dan

pengalaman estetik, juga sebagai ekspresi diri penulisnya. Salah satu dari

sekian ekspresi yang dituangkan dalam karya sastra berupa pengalaman yang

berhubungan dengan unsur religiusitasnya.

Kajian tentang religiusitas dalam kesusateraan sebenarnya telah banyak


29

dilakukan, tetapi kajian itu sering keliru dalam memformulasikan pengertian

religiusitas. Kekeliruan yang paling mendasar adalah bahwa religiusitas sering

dianggap sebagai representasi sikap yang menentang agama, padahal

religiusitas sangat koheren dengan agama. Keduanya sama-sama berorientasi

pada tindakan penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karya sastra

sebagai struktur kompleks yang di dalamnya menyoroti berbagai segi

kehidupan termasuk masalah keagamaan layak digali lebih dalam untuk

diambil manfaatnya.

Kehadiran sastra keagamaan di tengah-tengah masyarakat pasti

mempunyai latar belakang tersendiri. Mengetahui latar belakang ini adalah hal

yang sangat perlu, karena dari situ dapat dilihat apakah genre sastra religiusitas

itu bersifat sementara atau menetap, yaitu mempunyai landasan yang kuat

sehingga dapat bertahan untuk selamanya. Sebelum digali lebih dalam, terlebih

dahulu harus diketahui kriteria-kriteria religius dalam karya sastra.

Yulianto (2014), menyatakan bahwa religiusitas adalah potensi beragama

atau berkeyakinan kepada tuhan dengan kata lain percaya adanya kekuatan di

luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.

Purwati dan Lestari (2002), mengemukakan bahwa tingkat religiusitas

seseorang dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya masing-masing aspek religius

yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Adapun ciri-ciri individu yang

mempunyai tingkat religiusitas tinggi dapat dilihat dari tindakan, sikap dan

perkataan serta seluruh jalan hidupnya mengikuti aturan-aturan yang diajarkan

oleh Agama.
30

Secara garis besar, kriteria-kriteria religius dalam sebuah karya sastra

khususnya novel dikemukakan oleh Atmosuwito sebagai berikut

a. penyerahan diri, tunduk dan taat

Penyerahan diri dalam Islam diartikan sebagai bentuk penghambaan

manusia kepada Allah Swt. Penyerahan diri merupakan makna yang

terkandung dalam Islam. Artinya, sebagai hamba Allah, manusia harus

berserah diri dan tunduk kepada-Nya atas segala ketetapan, perintah, dan

larangan-Nya. Segala bentuk penyerahan diri manusia kepada Allah Swt

dilakukan dengan mengikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala

larangan-Nya

b. kehidupan yang penuh kemuliaan

Mulia adalah keinginan setiap manusia, namun tidak setiap manusia

mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah mulia di sisi

Allah. Mulia di sisi Allah pasti mendatangkan keberkahan yang sebenarnya.

Satu-satunya ukuran menilai seseorang mulia di sisi Allah atau tidak adalah

ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di

sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia

kedudukannya di sisi Allah

c. perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan

Penyebab hati gelisah memang banyak, tetapi intinya semua kegelisahan

sebenarnya datang dari persepsi manusia itu sendiri. Sehebat apapun

masalah yang dialami, tetapi kalau manusia itu mempunyai persepsi yang
31

benar tentang masalah tersebut maka hati tidak akan gelisah. Sebenarnya

kegelisahan tidak ada hubungannya dengan apa yang ada di luar diri

manusia, tetapi terkait dengan bagaimana kita mengelola perasaan. Solusi

untuk tidak gelisah (ketenangan hati) adalah dengan berzikrullah (mengingat

Allah Swt)

d. perasaan berdosa

Tindakan nilai merupakan hak asasi yang terpenting untuk

menentukan sesuatu baik atau buruk. Kalau hal ini sudah jelas maka kita

akan bisa berkata perbuatan saya salah atau perbuatan saya baik, maka

berdosalah saya jika demikian dan berpahalalah tindakan saya jika

demikian. Islam menekankan setiap tindakan harus dilandasi niat lillahita'ala

(karena Allah ta'ala) untuk membedakan tindakan etis selain Allah, sehingga

jika tidak dilandasi niat karena Allah, maka perbuatannya tidak diterima

oleh Allah Swt.

e. perasaan takut

Takut kepada Allah adalah sifat orang yang bertaqwa, dan juga

merupakan bukti imannya kepada Allah. Oleh karenanya, seseorang

semakin mengenal Rabb-nya dan semakin dekat kepada Allah Ta’ala, akan

semakin besar rasa takutnya kepada Allah.

f. mengakui kebesaran Tuhan


32

Ketika salat pertama-tama yang dilakukan adalah takbir, yaitu

mengucapkan “Allahu Akbar”. Ucapan ini sebagai ungkapan pengakuan

bahwa tidak ada yang besar selain Allah. Semuanya lemah, semuanya rapuh,

semuanya tak berdaya, kecuali Allah. Jika manusia telah mengakui

kebesaran Allah, maka sebagai konsekuensinya adalah lebih mengutamakan

perintah Allah daripada perintah yang lain dan lebih mengutamakan

menjauhi larangan Allah daripada larangan yang lain.

Dari beberapa pendapat tentang religiusitas tersebut dapat disimpulkan bahwa

religiusitas adalah tingkat kepercayaan seseorang terhadap agama yang

dianutnya yang merupakan hubungan batin antara manusia dengan TuhanNya.

3. Dimensi Religiusitas

Menurut Ancok dan Suroso (2008) terdapat lima dimensi dalam religiusitas,

yaitu

a. religious belief, yaitu kepercayaan seseorang terhadap agama yang dianutnya

dalam hal kepercayaan pada Tuhan, malaikat, surga, dan neraka. Dimensi ini

merupakan gambaran seseorang dalam hal keyakinan dan kepercayaannya

terhadap agama yang dianut. Seseorang juga harus berpegang teguh pada

agama yang dianutnya (Aryati, 2016).

b. religious practice merupakan dimensi religiusitas pada seseorang dalam hal

menjalankan kewajiban agama seperti shalat, puasa, ibadah haji, dan

perintah lainnya. Dimensi ini untuk mengetahui komitmen seseorang dalam

beragama. Seseorang yang taat menjalankan kewajiban agama maka dapat

memperkokoh keimanannya.
33

c. religious feeling, merupakan suatu dimensi yang melibatkan perasaan

seseorang dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan. Perasaan seperti merasa

dekat dengan Tuhan, takut untuk berbuat dosa, dan merasa diselamatkan

oleh Tuhan.

d. religious knowledge, merupakan dimensi yang menjelaskan seseorang dalam

hal pengetahuannya tentang ajaran keagamaan. Dalam agama Islam seperti

yang telah diajarkan dalam kitab suci Al-Quran, hadits, dan buku tentang

ajaran agama Islam. Dimensi 13 pengetahuan menunjukkan sikap seseorang

dalam menerima dan mengamalkan ajaran agamanya.

e. religious efect, merupakan dimensi yang menjelaskan tentang pengaruh

ajaran agama terhadap seseorang dalam kehidupan sehari-hari seperti

berperilaku yang sesuai dengan norma agama, tidak melakukan hal-hal

negatif seperti mencuri, minum-minuman keras, dan melakukan perilaku

seksual pranikah. Dimensi ini merupakan efek dari keberhasilan seseorang

dalam mengamalkan ajaran agama. Seseorang yang memiliki tingkat religius

yang baik maka akan berperilaku sesuai dengan norma agama dan dapat

menjauhkan diri dari hal-hal negatif.

4. Faktor - Faktor Tingkat Religiusitas

Jalaludin (2009), menyebutkan ada 2 faktor yang mempengaruhi tingkat

religiusitas, yaitu

a. faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu

1) faktor hereditas (keturunan). Faktor bawaan yang diwariskan secara


34

turun temurun melainkan terbentuk dari unsur lainnya.

2) tingkat usia Perkembangan agama pada masa anak-anak di tentukan

oleh tingkat usia mereka, perkembangan tersebut dipengaruhi oleh

berbagai aspek kejiwaan termasuk agama, perkembangan berpikir,

ternyata anak yang menginjak usia berpikir kritis 14 lebih kritis pula

dalam memahami ajaran agama. Pada usia remaja saat mereka

menginjak kematangan seksual pengaruh itupun menyertai

perkembangan jiwa keagamaan mereka.

3) kepribadian. Kepribadian menurut pandangan para psikologis terdiri

dari dua unsur yaitu hereditas dan lingkungan, dari kedua unsur tersebut

para psikolog cenderung berpendapat bahwa tipologi menunjukkan

bahwa memiliki kepribadian yang unik dan berbeda. Sebaliknya

karakter menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk

berdasarkan pengalaman dan lingkungannya.

4) kondisi kejiwaan. Kondisi kejiwaan ini terkait dengan berbagai faktor

intern. Menurut Sigmun Freud menunjukkan gangguan kejiwaan

ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia,

konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal.

b. faktor eksternal, yaitu dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu

hidup

1) lingkungan keluarga. Keluarga merupakan satuan sosial yang paling

sederhana dalam kehidupan manusia, khususnya orang tua yang sangat

berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak, karena jika


35

orang tuanya berkelakuan baik, begitu juga 15 sebaliknya jika orang tua

berkelakuan buruk maka anak pun juga akan berkelakuan buruk.

2) lingkungan institusional. Lingkungan ini ikut mempengaruhi

perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam institute formal maupun

nonformal seperti perkumpulan dan organisasi.

3) lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat bukan merupakan

lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya

merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang

terkadang lebih mengikat bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar

dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam unsur positif maupun

negatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai religiusitas yang

menurut Zayadi (2011: 73) yang ada dalam novel Sujud Nisa di Kaki

Tahajjud-Subuh karya Kartini Nainggolan, dengan dimensi religiusitas dan

factor-faktor tingkat religiusitas.

Iman disebut juga dengan akidah yaitu meliputi dalam hati tentang Allah

sebagai Tuhan yang wajib di sembah; ucapan dengan lisan dalam bentuk dua

kalimat syahadat, yaitu menyatakan tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa nabi

Muhammad sebagai utusan-Nya, perbuatan dengan amal shaleh. Orang

memiliki pribadi dengan kualitas iman yang baik, berhak untuk mendapatkan

ketentraman dan ketenangan batiniyah yang sempurna, karena mereka

menjalani kehidupan dengan hati yang ikhlas dan penuh suka cita hanya untuk

mencuri ridha Allah. Orang yang memiliki keimanan yang kuat adalah mereka
36

yang hatinya takut kepada Allah dan perasaannya sangat peka terhadap

panggilan Allah untuk tetap konsisten dalam aliran sungai kemulian dan

kebesaran-Nya, menghargai semua manusia dan memberi kasih sayang dan

rasa keadilan yang sama karena semua manusia sama berharganya dimata

Allah.

Tahajjud berasal dari kata tahajjada yang berarti terjaga, sengaja bangun,

atau sengaja tidak tidur. Hal itu tentu saja dilakukan di waktu malam, sehingga

di namakan Sholatul lail atau qiyamul lail atau sholat malam. Muhammad

Shaleh Al- Khuzain mengartikan tahajjud berasal dari kata al-hujud yang

artinya tidak tidur, shalat malam adalah sunah yang sangat dianjurkan dan

diperintahkan oleh syariat. Terdapat nash dan banyak sekali hadist yang

memotivasi untuk melaksanakannya. Allah SWT akan menghapus dosa dan

meninggikan derajat.

Shalat Tahajud ialah shalat sunat yang dikerjakan pada waktu malam,

sedikitnya dua rakaat dan sebanyak-banyaknya tidak terbatas. Shalat diwaktu

malam hanya disebut shalat tahajjud dengan syariat apabila dialakukan sesudah

bangun dari tidur, sekalipun hanya sebentar.

Banyak sekali nilai-nilai dan norma-norma dalam Novel Sujud Nisa Di

Kaki Tahajjud-Subuh, yang mengupas kehidupan seorang wanita yang

menuntut ilmu jauh dari orang tua dan keluarga yang banyak sekali mengalami

kendala dan sempat berpaling dari jalan Allah. Dalam Novel ini juga

membahas keistimewaan shalat Tahajjud.


37

5. Karya Sastra Novel

Sumardjo dan Saini (2014: 3), mengemukakan dalam bukunya Apresiasi

Kesusastraan bahwa “sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa

pengalaman, pemikiran, perasaan, ide atau gagasan, semangat, keyakinan atau

kepercayaan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan yang konkrit dan

membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Waluyo (2002: 68), mengemukakan dalam buku Pengkajian Sastra Rekaan

bahwa fenomena yang diangkat dalam suatu karya sastra seringkali menyinggung

tentang kejadian dan realitas kehidupan di masyarkat meskipun sifatnya fiksi tetapi

pengarang memiliki peran yang besar dalam menyampaikan pesan moral dalam

karya baik secara tersurat maupun tersirat.

Menurut Nurgiyantoro dalam buku Teori Pengkajian Fiksi bahwa kata novel

diadaptasi dari bahasa Italia yaitu Novella yang berarti sebuah kisah atau sepotong

berita. Secara harfiah novel diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.

Novel juga diartikan sebuah karya sastra prosa fiksi yang panjangnya cukupan,

tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Sebuah novel merupakan

sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Novel merupakan karya

sastra yang mempunyai dua unsur yaitu; unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur

intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur

ini menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara

faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra, sedangkan unsur

ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara

langsung mempengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Novel adalah
38

media penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan dari penulis dalam merespon

kehidupan yang ada sekitarnya. Novel juga bisa diartikan sebagai sebuah karangan

yang menceritakan rangkaian kehidupan seseorang dalam narasi deskriptif yang

mengandung pesan yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Pada dasarnya

karya sastra dibuat untuk menyampaikan pesan-pesan pengarang kepada para

pembaca. Banyak pengarang-pengarang karya sastra yang mengungkapkan pesan-

pesan nilai religiusitas masing-masing termasuk yang didalamnya membahas tentang

keagamaan dan bersifat kritik social.

Atmosuwito (2010: 126), dalam buku Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam

Sastra mengatakan bahwa sastra juga bisa disebut sebagai bagian dari agama pula.

Para sastrawan tidak membuat kehidupan beragama sebagai latar belakang, tetapi

lebih menitikberatkan kehidupan beragama untuk pemecahan masalah.

Berdasarkan teori dan pendapat-pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan

bahwa sastra novel berperan penting dalam membentuk pribadi dan pikiran

seseorang termasuk salah satunya dapat menyampaikan nilai-nilai religiusitas.

Melalui novel, seseroang dapat melatih dan mengembangkan naluri dan

kognitifnya. Dengan begitu wawasan pembaca akan lebih baik pada saat mereka

mencoba untuk mengekspresikan emosi dan mengembangkan perasaannya

mengenai harga diri dan jati diri individu pembaca.

6. Unsur Intrinsik Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat


39

artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur

yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling

menggantungkan. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh sebuah unsur yang

disebut unsur intrinsik. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang

secara langsung ikut serta dalam membangun cerita. Hal tersebut didukung oleh

pendapat Nurgiyantoro (2010: 23) yaitu, unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-

unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara

faktual dijumpai jika orang membaca karya sastra. Kepaduan antarberbagai unsur

intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud atau, sebaliknya, jika dilihat

dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang dijumpai jika kita

membaca sebuah novel. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, alur (plot), latar

(setting), tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

a. Tema

Menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2010: 91) mengemukakan bahwa

tema berasal dari bahasa latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat.

Disebut demikian adalah karena tema adalah ide yang mendasar suatu cerita

sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya

fiksi yang diciptakannya. Sedangkan menurut (Stanton, 2007: 36) tema merupakan

aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia sesuatu yang

menjadikan suatu pengalaman begitu diingat, sebuah cerita yang khusus

menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Adapun Ratna

(2015: 257-258) mendefinsikan tema secara ringkas adalah masalah pokok dalam
40

cerita. Jadi, pada dasarnya tema adalah ide, gagasan dasar yang terdapat dalam

karya sastra melalui cerita yang terkandung dalam karya sastra melalui cerita yang

terkandung dalam novel tersebut.

Nurgiyantoro (2010: 77) menyatakan bahwa tema dapat digolongkan menjadi

dua, yaitu tema tradisional dan tema nontradisional. Tema tradisional adalah tema

yang biasa atau sudah diketahui secara umum oleh masyarakat, tema tradisional

bersifat universal dan novel-novel serius sering menggunakan tema tradisional

dalam menyajikan kisah-kisahnya. Sedangkan tema nontradisional adalah lawan

dari tema tradisional yang artinya tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca

atau melawan arus. Pada dasarnya pembaca menggemari hal-hal yang baik, jujur,

kesatria, atau sosok protagonis harus selalu menang, namun pada tema

nontradisional tidak seperti itu.

Berdasarkan tingkat keutamaan tema (Nurgiyantoro, 2010:82) membagi

menjadi dua, yakni tema utama dan tema tambahan. Tema utama atau tema mayor

yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasar umum karya itu. Sedangkan tema

tambahan atau tema minor yaitu makna-makna yang hanya terdapat pada bagian-

bagian tertentu cerita saja.

Cara-cara penemuan tema yaitu sebagai berikut

1) melalui alur cerita

Kosasih (2012: 62), menyatakan bahwa alur cerita kerap kali dipakai

pengarang untuk membimbing pembaca mengenali tema dalam cerita yang

ditulis. Jika kita mendaftar peristiwa dalam cerita yang kit abaca kita akan

menemukan peristiwa-peristiwa yang diurutkan atas dasar sebab-akibat.


41

Rangkaian peristiwa dalam suatu cerita yang berhubungan atau atas dasar

sebab dan akibat itu disebut alur.

2) melalui tokoh cerita

Kosasih (2012: 62), menyatakan bahwa tokoh cerita dengan bermacam-macam

sifat dan wataknya sengaja diciptakan pengarang untuk dimuati tema.

Penokohan meliputi peran dan sifat-sifat tokoh yang diciptakan oleh

pengarang.

3) melalui bahasa yang dipergunakan pengarang

Kosasih (2012: 63), menyatakan bahwa Pernyataan bahasa dapat dipakai untuk

menemukan tema melalui kalimat-kalimat dialog yang diucapkan oleh tokoh-

tokoh cerita dan juga komentar pengarang terhadap peristiwa-peristiwa,

pengarang dapat menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dapat kita jadikan

rumusan tema.

b. Alur atau Plot

Aminuddin (2010: 83), menyatakan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang

dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Sedangkan Stanton (2007: 36),

mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu disebabkaan

atau menyebabkaan terjadinya peristiwa yang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat

Foster (dalam Tuloli, 2000) mengemukakan bahwa alur atau plot merupakan

rentetan peristiwa dalam suatu fiksi (novel dan cerpen) tersusun dalam uraian

waktu dan berdasarkan hukum sebab akibat, alur atau plot sama dengan kerangka

cerita, yang menjadi susunan stuktur cerita. Alur merupakan struktur penceritaan
42

yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari

kedua alur tersebut (alur campuran).

Tarigan (2011: 156) memaparkan bahwa unsur-unsur alur terbagi atas lima

bagian, yaitu situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan atau situasi),

generating circumstances (peristiwa yang bersangkut-paut, yang berkait-kaitan

mulai bergerak), rising action (keadaan mulai memuncak), climax (peristiwa-

peristiwa mencapai klimaks), dan denouement (pengarang memberikan pemecahan

sosial dari semua peristiwa).

c. Latar atau Setting

Stanton (2007: 35) menyatakan bahwa latar adalah lingkungan yang

melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita semesta yang berinteraksi dengan

peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Wujud latar dapat berupa lokasi

dalam cerita, waktu, dan suasana. Sejalan dengan pendapat Abrams (dalam

Nurgiyantoro, 2010: 214) yang mengungkapkan bahwa latar atau setting yang

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan.

Leo dan Frederic (dalam Aminudin, 2010: 68) menjelaskan bahwa latar atau

setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana
43

serta benda-benda dalam hubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun

gaya hidup suatu masyarakat dalam menaggapi suatu problema tertentu. Sedangkan

menurut Kokasih (2012: 67) mengemukakan bahwa latar atau setting yaitu

meliputi tempat, waktu dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita. Latar

berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap

jalannya suatu cerita, dengan demikian apabila pembaca sudah menerima latar itu

sebagai suatu yang benar adanya, maka cenderung diapun akan menerima pelaku

ataupun kejadian-kejadian yang berada dalam latar tersebut.

Nurgiyantoro (2010: 227-234), menjelaskan bahwa unsur latar atau setting

meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. (menyarankan pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi). Latar tempat adalah latar yang menyaran pada lokasi

terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu adalah

latar yang berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, waktu dalam latar dapat berupa masa

terjadinya peristiwa tersebut dikisahkan, waktu dalam hitungan detik, menit, jam,

hari, bulan, tahun, dan lain sebagainya. Latar Sosial adalah latar yang menjelaskan

tata cara kehidupan sosial masyarakat yang meliputi masalah-masalah dan

kebiasan-kebiasaan pada masyarakat tersebut. Latar sosial dapat berupa kebiasaan

hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, cara berpikir, dan lain sebagainya.

Penggunaan bahasa dan nama-nama tokoh juga dapat diidentifikasi menjadi latar

sosial.

d. Tokoh dan Penokohan


44

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 165) mengemukakan bahwa tokoh

cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan. Sejalan dengan Abrams, Baldie (dalam Nurgiyantoro,

2010: 166) juga menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam

cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran

tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan

mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan

tindakannya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah

individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai

peristiwacerita sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Nurgiyantoro (2010: 176), mengemukakan bahwa berdasarkan sudut

pandang dan tinjauan dapat dijelaskan sebagai berikut

1) tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang di utamakan penceritanya hanya mungkin

terjadi jika pelakunya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak

diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun dikenal kejadian. Sedangkan

tokoh tambahan adalah tokoh yang perannya dalam cerita hanya membantu

jalannya cerita.

2) tokoh protagonis dan tokoh antagonis


45

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya

secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-

norma nilai-nilai yang ideal bagi kita ketika membaca. Pendek kata segala apa

yang dirasa, dipikir dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili kita. Sebuah

fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konfilik dan tegangan

yang dialami oleh tokoh protagonis. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh

penyebab terjadinya konflik.

e. Sudut Pandang

Nurgiyantoro (2010: 248), menyatakan bahwa sudut pandang pada

hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih

pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sedangkan menurut

Tarigan (2011: 136), mengemukakan bahwa sudut pandang adalah posisi fisik,

tempat persona pembicara melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau peristiwa-

peristiwa yang merupakan perspektif atau pemandangan fisik dalam ruang dan

waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas

emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada. Dari kedua

pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah srategi, teknik,

siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan

ceritanya, dan merupakan cara pengarang untuk menyajikan peristiwa-peristiwa.

f. Gaya Bahasa

Abrams (Dalam Nurgiyantoro, 2009: 276) mengungkapkan bahwa Gaya


46

bahasa (style) merupakan cara pengucapan pengarang dalam mengemukakan

sesuatu terhadap pembaca. Sedangkan Keraf (2008: 112) berpendapat gaya bahasa

adalah kemampuan atau keahlian penulis untuk mempergunakan kata-kata secara

indah. Lebih lanjut Tarigan (2009: 4) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah

bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk

menyakinkan atau mempengaruhi penyimak atau pembaca. Berdasarkan beberapa

pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah alat atau

sarana utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan

cerita secara estetika. Gaya bahasa juga dapat diartikan sebagai cara pengarang

mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan dalam cerita untuk

memunculkan nilai keindahan.

g. Amanat

Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009: 321), menyatakan bahwa amanat atau

nilai moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai,

sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui

tokoh-tokoh di dalamnya. Sedangkan Siswandarti (2009: 44) mengemukakan

bahwa amanat adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui

cerita, baik tersurat maupun tersirat. Sejalan dengan Siswandarti, Siswanto (2008:

161-162) mengungkapkan amanat adalah sebuah gagasan yang menjadi dasar karya

sastra, yang merupakan pesan yang ingin disampaikan seorang pengarang kepada

pendengar atau pembaca.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa amanat

merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui keterjalinan


47

peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun bahan perenungan

oleh pembaca.

Anda mungkin juga menyukai