Anda di halaman 1dari 4

NAMA : NAZWA ULFA YULIANI

KELAS : 1C
PRODI : PGSD
FAKULTAS : KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MAGTA KULIAH : LANDASAN PENDIDIKAN

1. 7 Sistem Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat


• Sistem peralatan hidup
• Mata pencaharian
• Sistem kemasyarakatan
• Bahasa
• Kesenian
• Sistem pengetahuan
• Religi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya diartikan
sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang berkembang, menjadi kebiasaan yang
sulit diubah. Dalam sehari-hari, orang biasanya mengartikan budaya dengan tradisi.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat dan berkenaan dengan
cara manusia hidup, belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa
yang patut menurut budaya. Dalam hal ini merupakan tingkah laku dan gejala sosial
yang menggambarkan identitas dan citra suatu masyarakat.
7 sistem kebudayaan menurut Koentjaraningrat yaitu :
1. Sistem peralatan hidup
Manusia terus berusaha mempertahankan hidup. Oleh karena itu, manusia
selalu membuat peralatan. Kebudayaan manusia berdasarkan unsur
teknologi dilihat dari benda-benda yang digunakan sebagai peralatan hidup
masih sederhana. Sehingga sistem peralatan hidup merupakan bahasan
kebudayaan fisik.
2. Mata pencaharian
Aktivitas ekonomi masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi.
Sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana suatu kelompok masyarakat
mencukupi kebutuhan hidupnya.
3. Sistem kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan merupakan hal untuk memahami bagaimana
manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial.
Tiap-tiap kelompok masyarakat diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan dimana dia hidup
dan bergaul dari waktu ke waktu.
4. Bahasa
Unsur kebuayaan menurut Koentjaraningrat selanjutnya adalah bahasa.
Manusia memenuhi kebutuhan sosialnya salah satunya dengan berinteraksi
atau berhubungan dengan sesama. Bahasa menjadi salah satu sarana untuk
memperlancar interaksi tersebut. Kemampuan manusia dalam membangun
tradisi budaya diungkapkan secara simbolik dan diwariskan kepada generasi
penerusnya. Hal ini bergantung dengan bahasa dalam penyampaiannya.
5. Kesenian
Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih
mengarah pada teknik-teknik dan proses pembuatan benda seni. Selain itu,
deskriptip etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik,
seni tari dan seni drama dalam suatu masyarakat. Sehingga banyak benda
atau artefak yang ditemukan seperti patung, ukiran, dan hiasan.
6. Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam unsur kebudayaan berkaitan dengan peralatan
hidup dan teknologi, karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan
berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan tidak ada batasannya,
karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur kehidupan.
Manusia tidak bisa membuat alat jika tidak mengetahui ciri-ciri bahan
mentah yang digunakan atau tidak bisa membuat bertahan hidup jika tidak
mengetahui sumber daya alam apa saja yang bisa dikonsumsi atau wilayah
yang aman untuk ditinggali.
Setiap kebudayaan memiliki suatu himpunan pengetahuan alam, binatang,
tumbuhan, benda, dan manusia disekitarnya.
7. Religi
Fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa
manusia percaya kepada kekuatan ghaib atau supranatural yang dianggap
lebih tinggi dibandingkan manusia dan mengapa melakukan berbagai cara
komunikasi dengan kekuatan supranatural. Para ilmuan berasumsi bahwa
religi suku terdahulu menjadi kepercayaan dan dianut oleh seluruh umat
manusia.

2. Mecari referensi budaya dari fase mitos sampai sekarang


Perseun (1988) membagi tahapan perkembangan kebudayaan manusia
kedalam tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.
Adapun sebagai berikut:
1. Tahap mistis
Tahap mistis merupakan tahap pertama dalam perkembangan
kebudayaan manusia. Pada tahap ini, manusia diliputi oleh kekuatan alam
primitif, dengan kata lain manusia memiliki hubungan secara langsung
dengan kekuatan ghaib dari alam. Kehidupan manusia pada tahap mistis
tidak terlepas dari adanya konflik.
Manusia modern menyebut tahapan mistis ini sebagai peradaban
primitif. Dalam runutan epistimologis kata mitos akan berasal dari kata
mistis, adapun mitos sendiri diartikan sebagai cerita yang menberikan arah
dan panduan tertentu pada sekelompok orang. Mitos sendiri diwariskan dari
generasi satu ke generasi selanjutnya yang menyebabkan mitos dapat
bertahan hingga saat ini.
Mitos adalah realitas kultural yang rumit, oleh karena itu maka akan
menjadi sulit agar dapat menentukan batasan yang tepat terhadap definisi
mitos.
Dalam pandangan Eliade (1974) mitos dipandang sebagai cerita
yang alurnya tela ditentukan oleh kekuatan supranatural. Tindakan manusia
pada alam memperoleh nilai karena terdapat partisipasi dalam sebuah
realitas. Akibat adanya makna mitos menjadi nilai yang dipercaya dan
diyakini oleh masyarakat, dan melalui hal itu mitos terus diwariskan dari
generasi satu ke generasi lainnya.
Pada hakikatnya menurut Perseun (1988) alam pemikiran mistis
akan menuntun kehidupan manusia dari cara berfikir yang primitif ke arah
pola kehidupan yang bermakna dan penuh kebijaksanaan.
2. Tahap ontologis
Pada tahap ontologis sikap hidup manusia sudah tidak lagi terpaku
pada kekuatan mitis, akan tetapi pada masa ini manusia memiliki kemauan
yang besar untuk menganalisa dan mengkaji setiap fenomena kehidupan
yang berlangsung di sekitarnya.
Pada tahap ontoligis manusia membangun relasi dengan kekuatan
alam atau supranatural secara rasional dalam artian bahwa manusia
meyakini eksistensi manusia dalam hal supranatural sehingga dapat
memperoleh nilai kebenaran. Menurut Perseun (1988) dijelaskan bahwa
terdapat beberapa fungsi dalam pola pikir pada tahap ontologis, yakni
sebagai berikut:
a. Menghasilkan sebuah sketsa tentang segala hal yang menguasai
manusia.
b. Jaminan keberlangsungan kehidupan manusia hari ini dapat dilihat dari
ontologis.
c. Memberikan pengetahuan.
Sementara itu, pada tahap ontologis cara berpikir manusia lebih
dewasa karena dalam tahap ini kemampuan pikiran manusia dalam
menganalisi dan membangun gagasan mulai terbentuk. Adapun ciri utama
pada tahap ini bahwa manusia pada akhirnya meyakini, melakukan
pembelaan, dan menjaga otomi dirinya dari pengaruh luar.
3. Tahap fungsional
Fungsional adalah tahap ketika manusia mempunyai sikap dan
pikiran yang makin mengarah ke arah modern. Perseun (1988)
mengemukakan tahap berpikir fungsional dengan memulainya dari
pemaknaan kata “fungsi” yang berarti bahwa kata tersebut menunjukan
keberadaan pengaruh pada sesuatu yang lain. Pemikiran fungsional tidak
sekadar pada hubungan akan tetapi juga relasi dan pertautan.
Berkaitan dengan itu Perseun (1988) mengatakan bahwa ciri dari
manusia pada tahap fungsional adalah berkembangnya sifat tegang. Melalui
sifat tegang manusia selalu berusaha untuk berjuang demi mempertahankan
ekstensinya dan selalu mengarah diri pada sesuatu hal. Tahapan
perkembangan budaya yang telah dilalui manusia menunjukan bahwa dalam
kehidupan manusia selalu terjadi dinamika, dan dalam prosesnya telah
melahirkan sikap untuk mengatasi krisis dan keterbatasan dalam hidup.

3. Implikasi budaya terhadap pendidikan


Dalam implementasinya pendidikan nasional perlu berpijak pada
kebudayaan sebagai modal kekuatan bangsa, sehingga pendidikan memiliki
kekokohan logika internal dan memiliki pikiran yang terbuka terhadap logika
alternatif yang berasal dari luar (Herlambang, 2018).
Dalam kaitan dan implementasinya, proses pendidikan saat ini hanya
dikembangkan sebatas pada hal yang berkaitan dengan kesenian saja, misal:
menggambar, melukis, bernyanyi dan lainnya. Padahal pada hakikatnya pendidikan
bersumber dari kebudayaan sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan
berdasarkan etika, nilai, dan norma, sehingga manusia dapat menemukan kesejatian
dirinya sebagai makhluk yang berbudi dan berperasaan serta dapat mengambil
peranan dalam kehidupan sosial masyarakat demi mewujudkan keluruhan hidup
kemanusiaan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Asmani (2012) yang mengungkapkan
bahwa tujuan pendidikan berbasis kebudayaan adalah agar siswa dapat mencintai
tanah kelahirannya, percaya diri menghadapi masa depan, dan bercita cita
mengembangkan potensi kearifan lokal budaya, sehingga daerahnya bisa
berkembang pesat seiring dengan tuntutan era globalisasi dan informasi.
Berdasarkan pendapat tersebut, pendidikan berbasis kebudayaan merupakan
pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai partikular budaya sebagai jiwa dalam
proses pelaksanaan pendidikan.
Uno & Lamatenggo (2016) menerangkan bahwa terdapat tiga
ketidaksinambungan kebudayaan dalam proses pendidikan yaitu sebagai berikut.
1. Ketidaksinambungan antara kebudayaan peserta didik dan sekolah
2. Ketidaksinambungan antara kebudayaan orang tua dan kebudayaan sekolah
3. Ketidaksinambungan antara kebudayaan peserta didik dan orang tua.
Ketidaksinambungan kebudayaan di atas memberikan dampak terhadap
banyak munculnya ketidaksinambungan lain dalam masyarakat seperti melakirkan
bahaya tawuran, konflik antar warga, dan perkelahian.
Pada dasarnya konsep Trikon yang dirancang oleh Ki Hadjar Dewantara
memberikan arahan kepada masyarakat dan pelaksana pendidikan khususnya agar
dapat menjadikan konsep itu dalam berinteraksi atau melakukan akulturasi agar
tidak terbawa oleh arus budaya luar yang pada akhirnya menyebabkan
kehilangannya jatidiri manusia Indonesia yang sesungguhnya (Dewantara, 2011).

Anda mungkin juga menyukai