Anda di halaman 1dari 10

I.

Upacara Kematian Dalam Adat Jawa

Kematian memang selalu menjadi salah satu momen yang paling menyedihkan dalam
setiap perjalanan hidup manusia. Tidak ada satupun cara yang bisa kita sebagai manusia lakukan
untuk menghindari momen yang dianggap paling menyedihkan ini. Secara umum pada saat
keluarga ataupun kerabat meninggal biasanya cukup hanya di doakan lalu dimakamkan. Namun
beberapa suku di Indonesia mempunyai cara,langkah langkah,ritual,maupun adat istiadat yang
dilakukan pada saat keluarga/kerabat terdekat meninggal.

Suku Jawa berasal dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Semua sendi kehidupan masyarakat suku Jawa tak pernah lepas dari adat istiadat nan
memang sudah sangat dipercayai sejak dulu.Masyarakat suku Jawa merupakan masyarakat dengan
jumlah populasi terbesar di Indonesia. Jumlahnya mencapai hampir setengah dari holistik populasi
masyarakat nan tinggal di Indonesia.

Masyarakat Jawa dikenal memilki budaya yang sangat kental. Sampai era globalisasi saat
ini pun adat istiadat masih kerap dijalankan dan ditaati oleh masyarakatnya. Adat istiadat disuku
Jawa pun hampir terdapat di setiap momen momen kehidupan manusia. Semenjak dari
kelahiran,ulangtahun,perkawinan,hingga kematian memilik adat istiadatnya. Adat istiadat ini ialah
sebuah budaya dan Norma nan telah turun temurun dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
jawa. Bahkan di masyarakat sekan terdapat keharusan buat melakukannya. Segala usaha akan
dilakukan agar mereka bisa melaksanakan adat istiadat ini. Kebanyakan adat istiadat nan ada
bersumber dari kepercayaan nenk moyang terdahulu dari masyarakat jawa dan tak bersumber dari
agama terutama agama Islam sebagai agama nan banyak dipeluk oleh sebagian besar masyarakat
jawa.

Ritual Kematian Adat Jawa

Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan
waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Ketika salah satu masyarakat suku Jawa
meninggal, ritual adat istiadat pun tak lepas mengiringi. Ritual ini dimaksudkan agar orang nan
meninggal dapat mendapatkan loka nan baik di akhirat. Oleh karena itu kita sering mendengar
istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal, tidak hanya suku Toraja yang
memiliki ritual kematian suku Jawa pun juga memiliki ritual kematian. Ketika salah satu
masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat istiadat pun tak lepas mengiringi. Ritual ini
dimaksudkan agar orang nan meninggal dapat mendapatkan loka nan baik di akhirat.

1. Pemberitahuan

Tentu saja hal yang menjadi langkah pertama yang akan kita lakukan saat mengetahui
keluarga/kerabat kita meninggal adalah memberitahukan kabar sedih tersebut ke
tetanggga,kerabat,keluarga terdekat. Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan
secara membujur, menelentang, dan menghadap ke atas. Selanjutnya mayat ditutup dengan kain
batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu direndam dengan air,
maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau binatang kecil lainnya. Tikar sebagai alas
tempat jenazah dibaringkan perlu diberi garis tebal dari kunyit dengan maksud agar binatang kecil
tidak mengerumuni mayat. Terakhir adalah membakar dupa wangi atau ratus untuk
menghilangkan bau yang kurang sedap.

Bersamaan dengan hal diatas, beberapa orang terdekat bertugas memanggil seorang modin
dan mengumumkan kematian itu kepada para sanak saudara dan tetangga. Pemberitaan juga
dilakukan dengan bantuan pengeras suara dari masjid terdekat. Setelah kabar tersiar mereka yang
mendengar akan berusaha segera datang ketempat itu untuk membantu menyiapkan pemakaman.

2. Upacara Ngesur Tanah (Geblag)

Upacara ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat hari
meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan.
Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan
mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang
berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga.

Bahan yang digunakan untuk kenduri terdiri atas:


1. Nasi gurih (sekul wuduk)

2. Ingkung (ayam dimasak utuh)

3. Urap (gudhangan dengan kelengkapannya)

4. Cabai merah utuh

5. Krupuk rambak

6. Kedelai hitam

7. Bawang merah yang telah dikupas kulitnya

8. Bunga kenanga

9. Garam yang telah dihaluskan

10. Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran)

3. Upacara Brobosan

Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara yang disebut


dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan
dari sanak keluarga kepada orang tua atau keluarga mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia.
Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal sebelum
dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara
dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa
pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar
diberangkatkan.

Upacara brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:

1) Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah
upacara doa kematian selesai.
2) Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan
berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan
searah jarum jam.
3) Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama;
anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.

Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang
sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang
payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. Adapun urutan untuk melakukan
perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada diurutan paling depan adalah
penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa
bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang
adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan. Namun dalam keyakinan orang Jawa,
seorang wanita tidak diperkenankan untuk memasuki area pemakaman. Jadi mereka hanya boleh
menghantarkan sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang masuk hanyalah kaum
pria tanpa memakai alas kaki.

4. Upacara Nelung Dina ( Tiga Hari)

Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk memperingati tiga
hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan kenduri dengan mengundang
kerabat dan tetangga terdekat.

Bahan untuk kenduri biasanya terdiri atas:

1) Takir pontang yang berisi nasi putih dan nasi kuning, dilengkapi dengan sudi-sudi yang
berisi kecambah, kacang panjang yang telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris,
garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah.
2) Nasi asahan tiga tampah, daging lembu yang telah digoreng, lauk-pauk kering, sambal
santan, sayur menir, jenang merah

5. Upacara Mitung Dina (Tujuh Hari)

Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang.


Bahan yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas:
1) Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan dalam
satu takir).
2) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang
panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah
berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih.

6. Upacara Matang Puluh ( Empat Puluh Hari )

Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Biasanya
peringatannya dilakukan dengan kenduri.

Bahan untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari
meninggalnya, namun ada tambahan sebagai berikut:

1) Nasi wuduk
2) Ingkung
3) Kedelai hitam
4) Cabai merah utuh
5) Rambak kulit
6) Bawang merah yang telah dikupas kulitnya
7) Garam
8) Bunga kenanga

7. Upacara Nyatus (Seratus Hari)

Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan
yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika
melakukan peringatan empat puluh hari.

8. Upacara Mendhak Pisan (Setahun Pertama)


Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal
pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari
meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari.

9.Upacara Mendhak Pindho(Tahun Kedua)

Upacara mendhak pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya


seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya
pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan.

10. Upacara Mendhak Katelu(Seribu Hari)

Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal. Peringatan dilakukan
dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan pada malam hari.Bahan yang digunakan untuk
kenduri sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari yang ditambah
dengan:

1) Daging kambing/domba becek. Sebelum dimasak becek, seekor domba disiram dengan
bunga setaman, lalu dicuci bulunya, diselimuti dengan mori selebar sapu tangan, diberi
kalung bunga yang telah dirangkai, diberi makan daun sirih. Keesokan harinya domba
diikat kakinya lalu ditidurkan di tanah. Badan domba seutuhnya digambar pola dengan
menggunakan ujung pisau. Hal ini dimaksudkan untuk mengirim tunggangan bagi arwah
yang mati supaya lekas sampai surga. Setelah itu domba disembelih dan kemudian dimasak
becek.
2) Sepasang burung merpati dikurung dan diberi rangkaian bunga. Setelah doa selesai
dilakukan, burung merpati dilepas dan diterbangkan. Maksud tata cara ini adalah juga
untuk mengirim tunggangan bagi arwah agar dapat cepat kembali pada Tuhan. dalam
keadaan suci, bersih, tanpa beban.
3) Sesaji, terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog, clupak berisi
minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir, serit,
cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk, kemenyan, pisang raja setangkep, gula
kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir, sirih dengan kelengkapan untuk
menginang, bunga boreh. Semuanya diletakkan di atas tampah dan diletakkan di tempat
orang berkenduri untuk melakukan doa.

11. Kol (Kol Kolan)

Kol merupakan peringatan yang dilakukan untuk orang yang sudah meninggal setelah
seribu hari. Ngekoli diselenggarakan bertepatan dengan satu tahun setelah nyewu. Saat peringatan
ini harus bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya. Ngekoli dilakukan dengan kenduri
dengan bahan kenduri: kue apem, ketan, dan kolak. Semuanya diletakkan dalam satu takir. Pisang
raja satu tangkep, uang “wajib”, dan dupa.

12. Nyadran

Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului.
Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat
Islam.

13. Lambang-lambang dan Makna yang Terkandung dalam Upacara

1) Sega golong melambangkan kebulatan tekad yang manunggal atau istilah Jawanya “tekad
kang gumolong dadi sawiji”. Dalam hal kematian, baik yang mati maupun keluarga yang
ditinggalkannya sama-sama mempunyai tujuan yaitu surga.
2) Sega asahan atau ambengan melambangkan suatu maksud agar arwah si mati maupun
keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing Pangeran”, artinya
selalu mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya.
3) Tumpeng/nasi gunungan melambangkan suatu cita-cita atau tujuan yang mulia (gegayuhan
kang luhur), seperti gunung yang mempunyai sifat besar dan puncaknya menjulang tinggi.
Di samping itu didasari pula kepercayaan masyarakat bahwa di tempat yang tinggi itulah
Tuhan Yang Maha Kuasa berada, roh manusiapun kelak akan ke sana.
4) Tumpeng pungkur melambangkan perpisahan antara si mati dengan yang masih hidup,
karena arwah si mati akan berada di alam yang lain sedangkan yang hidup masih berada di
alam dunia yang ramai ini.
5) Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk menjamu roh para
leluhur.
6) Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna “dibanda” atau dibelenggu.
7) Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang dilontarkan
dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus mempunyai makna
kemuliaan.
8) Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian. Di sampingitu
bubur merah untuk memule atau tanda bakti kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan
bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya
adalah sebagai tanda bakti kepada bapa angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan
bumi, semuadibekteni dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati
maupun kepada yang masih hidup.
9) Tukon pasar untuk menghormati “dinten pitu pekenan gangsal” atau hari dan pasaran
dengan harapan segala perbuatan dan perjalanan roh si mati maupun yang masih hidup ke
semua arah penjuru mata angin akan selalu mendapatkan selamat tanpa halangan suatu apa.

Disamping itu semoga mendapatkan berkahNya hari di mana hari itu diadakan selamatan,
misalnya malam Kamis pon, Rabu Wage dan lain sebagainya.

1) Wajib melambangkan suatu niat ucapan terima kasih kepada kaum yang telah “ngujubake”
menjabarakan tujuan selamatan itu, dan terima kasih pula kepada semua fihak yang
ditujunya, semoga semuanya itu terkabul.
2) Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau cahaya kuning
melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada yang
dipujinya.
3) Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati
maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan segala gangguannya
berkat perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya.
4) Ketan adalah salah satu makanan dari beras yang mempunyai sifat”pliket’ atau lekat. Dari
kata pliket atau ketan, ke-raket melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur
atau layu, artinya tidak kenal putus asa.
5) Kolak adalah melambangkan suatu hidangan minuman segar atau untuk “seger-seger”
sebagai pelepas dahaga. Disamping itu juga melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang
tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa.
6) Kambing, merpati dan itik melambangkan suatu kendaraan yang akan dikendarai oleh roh
si mati.
7) Materi sajian lain seperti tikar, benang lawe, jodog, sentir, clupak, minyak klentik, sisir,
minyak wangi, cermin, kapas, pisang, beras, gula, kelapa, jarum dan lain sebagainya yang
mana hal ini biasanya pada selamatan seribu hari adalah sebagai lambang dari segala
perlengkapan hidup manusia sehari-hari, dan semua itu dimaksudkan sebagai bekal roh si
mati dalam menjalani kehidupan di alam baka.

14. Lambang Atau Makna Dari Uba Rampe

1) Benang lawe adalah benag putih sebagai lambang tali suci sebagai pengikat atau tali
hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah pergi jauh itu.
2) Jodog dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si mati tadi selalu
mendapatkan terang.
3) Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan dan semangan yang
tinggi.
4) Minyak klentik 1 botol sebagai lambang bekal cadangan jika sewaktu-waktu kehabisan
atau lampunya mati. Sebab kebiasaan orang Jawa jaman dulu menggunakan minyak lampu
bukan dari minyak tanah seperti sekarang, melainkan denga minyak kelapa atau minyak
klentik.
5) Sisir, minyak wangi dan cermin melambangkan sebagai perlengkapanmake up atau untuk
“dandan’/menghiasi diri, agar rapi dan wangi, jika perempuan ibarat seperti bidadari, jika
laki-laki ibarat sepeti satriya yang tampan.
6) Kapas yang biasa sebagai alas atau isi bantal melambangkan bantal suci.
7) Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di samping itu juga
sebagai buah segar.
8) Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya, sebagai bekal
hidup di alam kelanggengan.
9) Arum dan perlengkapannya sebagai lambang alat pembuat pakaian, maksudnya sebagai
bekal untuk membuat pakaian jika sewaktu pakaiannya rusak.

Anda mungkin juga menyukai