Anda di halaman 1dari 5

9.

Sirang-sirang Suku Batak Marga Sembiring

Latifah Khusnul Khotimah


1710711056

a. Pengertian Sirang-sirang

Sirang-sirang merupakan upacara pemakaman yang dilakukan dengan cara kremasi.


Upacara Sirang-sirang ini dilakukan oleh masyarakat Batak Suku Karo dengan marga
Sembiring. Di masa lalu, saat pengaruh Hindu masih melekat dengan kuat, masyarakat di sini
melakukan upacara pembakaran jenazah dengan cukup besar.

Menurut Brahma Putro, menyebutkan kedatangan orang Hindu ini ke pegunungan (Tanah
Karo) di sekitar tahun l33l-l365 Masehi. Mereka sampai di Karo disebabkan mengungsi
karena kerajaan Haru Wampu tempat mereka berdiam selama ini diserang oleh Laskar
Madjapahit. Akan tetapi ada pula yang memberikan hipotesa, penyebaran orang-orang Tamil
ini disebabkan oleh kedatangan pedagang-pedagang Arab (Islam) yang masuk dari Barus.

Biasanya jenazah akan dibakar di dekat dengan sungai. Setelah jenazah menjadi abu,
beberapa orang akan melarungnya ke dalam air sungai. Oh ya, pelarung abu harus mandi
dengan bersih agar tidak kena sial atau diikuti roh dari jasad yang dibakar.

Bedanya dengan upacara kremasi lainnya, proses kremasi pada upacara Sirang-sirang ini
hanya dilakukan oleh seorang dukun dan 4 orang sindapur (pembakar mayat). Saat dikremasi,
anggota keluarga harus pulang ke rumah. Usai kremasi abu jenazah juga dianjurkan untuk
segera dilarung ke sungai terdekat. Tidak lupa dengan segala perlengkapan dalam
pelaksanaan perawatan jenazah agar tidak digunakan oleh mereka yang seang menganut ilmu
hitam.
b. Sebutan orang yang meninggal Suku Karo

Selain itu dalam suatu kematian di Karo, terdapat beberapa sebutan untuk orang yang
meninggal. Secara umum orang Karo membagikan kematian, adalah sebagai berikut:

- Cawer mertua

Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal, yang dimana dalam hal ini orang yang
meninggal tersebut telah lanjut usia, yang dimana dia telah mempunyai cucu dan juga anak-
anaknya telah berkeluarga, dan satu lagi pihak kalimbubu telah Ngembahken Nakan. Tapi
terkadang sebutan Cawer Mertu ini disebutkan kepada orang-orang yang meninggal dan dia
telah lanjut usia, serta telah bercucu.

- Tabah-Tabah Galoh

Adalah suatu sebutan untuk orang meninggal, yang dimana dalam hal ini orang tersebut
telah berkeluarga, tetapi dia belum lanjut usia.

- Mate Nguda

Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal, yang dimana dalam hal ini orang yang
telah meninggal itu belum berkeluarga, atau bisa juga orang yang telah berkeluarga tetapi
anak-anaknya masih kecil-kecil semua.

Sebutan untuk orang yang meninggal, berdasarkan penyebab atau keadaan kematiaanya,
adalah sebagai berikut:

- Mati dalam kandungan ( Batara Guru)

Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena disebabkan saat dia meninggal
waktu dia belum lahir, dan roh dari yang meninggal inilah yang disebut dengan Batara Guru.

- Mati belum dikenal jenis kelaminnya

Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena saat seorang lahir belum cukup
atau seorang yang meninggal karena lahir prematur, dan jenis kelaminya belum diketahui.

- Mati sesudah lahir ( Bicara lahir)

Adalah sebutan untuk orang yang meninggal sesaat dia telah lahir, dan roh yang berasal
dari orang yang meninggal ini disebut dengan Bicara Guru.
- Mati belum bergigi ( Lenga Ripen)

Adalah sebutan untuk orang yang meninggal, yang dimana saat seseorang yang
meninggal tersebut belum mempunyai gigi atau dengan kata lain giginya belum tumbuh. Dan
pada saat akan menguburkan, anak yang meninggal dalam keadaan ini harus dikuburkan
diam-diam, karena ditakutkan jasatnya akan diambil orang.

- Mati anak-anak telah bergigi ( Enggo Ripen)

Adalah sebutan untuk orang yang telah meninggal, yang dimana orang telah meninggal
itu telah mempunyai gigi atau giginya telah tumbuh.

- Mati belum menikah ( mati singuda-nguda)

Adalah sebutan untuk orang yang telah meninggal, yang dimana orang meninggal
tersebut masih perjaka atau gadis dan orang tersebut belum menikah. Dalam hal ini, orang
yang mengalami mati singuda-nguda apabila dia laki-laki, maka pada saat pesta anak beru
akan memasukan seruas bambu ke dalam kemaluannya, atau tongkol jagung apabila dia
perempuan. Hal ini disebabkan agar saat seorang perjaka atau gadis itu meninggal dia telah
dapat dikatakan telah menikah dan hutang dan kewajiban anak beru itu telah selesai.

- Sirang Ture

Adalah sebutaan untuk orang yang meninggal, yang dimana orang yang meninggal
tersebut disebabkan karena dia meninggal saat dia akan melahirkan anaknya. Pada zaman
dulu, penguburan orang yang meninggal karena akan melahirkan dilakukan dengan cara
dibakar, dan abunya dihanyutkan melalui sungai.

- Mati Kayat-kayaten

Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena disebabkan dia menderita
penyakit. Dan utang adata apabila orang yang meninggal ini adalah morah-morah kepada
Kalimbubu, Pung Kalimbubu dan juga Anak Beru.

- Mate Sada Wari

Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena disebabkan meninggal pada
saat pertemputan, bencana alam ataupun kecelakaan, seseorang yang meninggal Mate Sada
Wari akan dibuatkan kuburan yang sendiri, dan terpisah dari penguburan umum.
c. Proses Kremasi Jenazah Suku Karo Tempo Dulu

Ritual dimulai pada saat mayat hendak dibawa ke tempat kremasi. Sebelum mayat dibawa
keluar rumah, di depan pintu diletakkan kudin( belanga dari tanah liat) di dalamnya diisi
gulai ayam ala masakan karo (cipera). Kemudian istri atau suami dari almahrum menendang
belanga hingga pecah. Maknanya sebagai lambang hancurnya hati sang istri/suami dari
almahrum atas kehilangan suami/istri yang meninggal.

Selanjutnya daging ayam tersebut akan dihidangkan dan disantap oleh kerabat dekat saat
makan siang. Dengan menyantap hidangan tersebut, diharap kepedihan karena kehilangan
keluarga tercinta segera sirna. Setelah itu mayat dibawa ke tempat kremasi di daerah
lapangan terbuka dekat dengan sungai. Sebelumnya telah dipersiapkan kayu bakar oleh anak
beru (keluarga dari pihak laki-laki). Kayu pembakar mayat berasal dari kayu pohon dokum.
Selama proses pembakaran mayat, kayu tidak boleh ditambah, sehingga harus diperhitungan
dengan matang jumlah kayu yang akan digunakan.

Setelah sampai di tempat pembakaran mayat, keluarga dari yang meninggal disuruh
kembali ke rumah dan yang tinggal hanya sang dukun dengan 4 orang sindapurnya.

Sebelum api disulutkan, dukun yang memimpin ritual memerintahkan sindapur untuk
melepas semua pakaian jenazah dan ditelungkupkan di atas batang kayu dokum dan sindapur
diperintahkan oleh sang dukun untuk memukul kaki jenazah sekuat-kuatnya agar arwahnya
tidak kabur dan gentayangan. Bagi wanita yang meninggal melahirkan, bayinya juga dibakar
dengan sang ibu. Barulah kemudian sang dukun membakar jenazah di atas kayu yang telah
dipersiapkan.
Setelah pembakaran mayat, sindapur harus segera membuang abu jenazah ke sungai
terdekat dan membersihkan sisa-sisa upacara agar sisa-sisa jenazah tidak digunakan oleh
orang-orang yang menunut ilmu hitam. Kemudian Sindapur harus menjalani ritual yang
dipimpin oleh sang dukun.

Mereka dimandikan dengan Lau penguras yaitu air yang sudah dijampi-jampi oleh sang
dukun, dan baru setelah itu boleh pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah mereka harus
mencuci telapak tangan dan memegang para-para (tungku api unuk masak), dengan demikian
sindapur tidak diganggu oleh mayat orang yang dibakarnya tadi.

Proses pembakaran mayat ini sangat rumit dan mengerikan sehingga upacara ini tidak lagi
dilaksanakan oleh suku Karo marga Sembiring karena tidak ada Sindapur yang bersedia, dan
juga pengaruh agama Kristen dan Islam dalam kehidupan masyarakat Karo.

Anda mungkin juga menyukai