Anda di halaman 1dari 29

TREND DAN ISU KEPERAWATAN KELUARGA

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Keperawatan Keluarga

Dosen Pengampu : Ns. Sang Ayu Made Adyani,M.Kep., Sp.Kep.Kom

Disusun oleh :

Rani Mutrika 1710711045 Clara Septi Amanda 1710711066

Nur Fitriah Efendy 1710711049 Clara Widya Mulya M 1710711070

Kandia Dwi Sartika P 1710711052 Nurul Fatihah Auliani 1710711076

Anastasya Nurcahyani 1710711055 Husna Maharani 1710711078

Latifah Khusnul K 1710711056 Riski Dwiana 1710711080

Asa Alamanda 1710711062

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2020
A. GERAKAN PEMBANGUNAN KESEHATAN KELUARGA
1. Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga (PISPK)
Pelaksanaan Pendekatan Keluarga Sehat

Yang dimaksud satu keluarga adalah satu kesatuan keluarga inti


(ayah, ibu, dan anak) sebagaimana dinyatakan dalam Kartu Keluarga. Jika
dalam satu rumah tangga terdapat kakek dan atau nenek atau individu lain,
maka rumah tangga tersebut dianggap terdiri lebih dari satu keluarga. Untuk
menyatakan bahwa suatu keluarga sehat atau tidak digunakan sejumlah
penanda atau indikator. Dalam rangka pelaksanaaan Program Indonesia Sehat
telah disepakati adanya 12 indikator utama untuk penanda status kesehatan
sebuah keluarga. Kedua belas indikator utama tersebut adalah sebagai berikut.

1. Keluarga mengikuti program Keluarga Berencana (KB)


2. Ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan
3. Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap
4. Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif
5. Balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan
6. Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar
7. Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur
8. Penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak
ditelantarkan
9. Anggota keluarga tidak ada yang merokok
10. Keluarga sudah menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
11. Keluarga mempunyai akses sarana air bersih
12. Keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat

Berdasarkan indikator tersebut, dilakukan penghitungan Indeks


Keluarga Sehat (IKS) dari setiap keluarga. Sedangkan keadaan masing-
masing indikator, mencerminkan kondisi PHBS dari keluarga yang
bersangkutan.

Dalam pelaksanaan pendekatan keluarga ini tiga hal berikut harus


diadakan atau dikembangkan, yaitu:

1. Instrumen yang digunakan di tingkat keluarga.


2. Forum komunikasi yang dikembangkan untuk kontak dengan keluarga.
3. Keterlibatan tenaga dari masyarakat sebagai mitra Puskesmas.

Instrumen yang diperlukan di tingkat keluarga adalah sebagai berikut.

1. Profil Kesehatan Keluarga (selanjutnya disebut Prokesga), berupa family


folder, yang merupakan sarana untuk merekam (menyimpan) data
keluarga dan data individu anggota keluarga. Data keluarga meliputi
komponen rumah sehat (akses/ ketersediaan air bersih dan
akses/penggunaan jamban sehat). Data individu anggota keluarga
mencantumkan karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan,
dan lain-lain) serta kondisi individu yang bersangkutan: mengidap
penyakit (hipertensi, tuberkulosis, dan gangguan jiwa) serta perilakunya
(merokok, ikut KB, memantau pertumbuhan dan perkembangan balita,
pemberian ASI eksklusif, dan lain-lain).
2. Paket Informasi Keluarga (selanjutnya disebut Pinkesga), berupa flyer,
leaflet, buku saku, atau bentuk lainnya, yang diberikan kepada keluarga
sesuai masalah kesehatan yang dihadapinya. Misalnya: Flyer tentang
Kehamilan dan Persalinan untuk keluarga yang ibunya sedang hamil,
Flyer tentang Pertumbuhan Balita untuk keluarga yang mempunyai
balita, Flyer tentang Hipertensi untuk mereka yang menderita hipertensi,
dan lain-lain.

Forum komunikasi yang digunakan untuk kontak dengan keluarga dapat


berupa forum-forum berikut.

1. Kunjungan rumah ke keluarga-keluarga di wilayah kerja Puskesmas.


2. Diskusi kelompok terarah (DKT) atau biasa dikenal dengan focus group
discussion (FGD) melalui DasaWisma dari PKK.
3. Kesempatan konseling di UKBM (Posyandu, Posbindu, Pos UKK, dan
lain-lain).
4. Forum-forum yang sudah ada di masyarakat seperti majelis taklim, rembug
desa, selapanan, dan lain-lain.
Sedangkan keterlibatan tenaga dari masyarakat sebagai mitra dapat
diupayakan dengan menggunakan tenaga-tenaga berikut.

1. Kader-kader kesehatan, seperti kader Posyandu, kader Posbindu, kader


Poskestren, kader PKK, dan lain-lain.
2. Pengurus organisasi kemasyarakatan setempat, seperti pengurus PKK,
pengurus Karang Taruna, pengelola pengajian, dan lain-lain.

2. Gerakan Inisiasi Menyusui Dini dan Pemberian ASI Eksklusif


a. ASI Eksklusif

ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi sampai berusia
6 bulan tanpa tambahan makanan dan minuman, kecuali obat dan vitamin.
Bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah bayi yang hanya mendapat ASI
saja sejak lahir sampai usia 6 bulan disuatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu (Roesli Utami, 2009). Pemberian ASI merupakan hal
penting pada bayi terutama pemberian ASI awal (kolostrum) karena kaya
dengan antibody yang mempunyai efek terhadap penurunan resiko
kematian. ASI berguna untuk perkembangan sensorik dan kognitif,
mencegah bayi terserang penyakit infeksi dan kronis. ASI terutama ASI
eksklusif menurunkan kematian bayi dan kejadian sakit pada anak yaitu
diare atau ISPA, dan membantu kesembuhan dari penyakit ( Fikawati,
2010 ).
Pemberian ASI yang eksklusif dan berkelanjutan telah ditetapkan
sebagai salah satu intervensi penting dalam pengurangan kematian
neonatal dan balita. Pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama
kehidupan meningkatkan pertumbuhan, kesehatan dan status pertahanan
bayi baru lahir dan ini adalah salah satu bentuk obat pencegahan alami
yang terbaik. Telah diperkirakan bahwa ASI eksklusif mengurangi angka
kematian balita sampai 13% pada Negara dengan penghasilan rendah
(Dachew, 2014).
b. Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah memberikan ASI segera
setelah bayi dilahirkan, biasanya dalam waktu 30 menit – 1 jam pasca bayi
dilahirkan. Tujuan IMD adalah :
a. Kontak kulit dengan kulit membuat ibu dan bayi lebih tenang
b. Saat IMD bayi menelan bakteri baik dari kulit ibu yang akan
membentuk koloni di kulit dan usus bayi sebagai perlindungan diri
c. Kontak kulit dengan kulit antara ibu dan bayi akan meningkatkan
ikatan kasih sayang ibu dan bayi
d. Mengurangi terjadinya anemia

Pihak inisiator (Dinas Kesehatan dan UNICEF) juga


memanfaatkan stakeholder dalam masyarakat untuk berkomitmen
mewujudkan 10 Langkah menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM). 10
Langkah tersebut diantaranya adalah;
a. Menetapkan Kebijakan Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu yang
secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas.
b. Melakukan pelatihan bagi petugas untuk menerapkan kebijakan
tersebut.
c. Memberikan penjelasan kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui
dan talaksananya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir,
sampai umur 2 tahun.
d. Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah
melahirkan di ruang bersalin.
e. Membantu ibu untuk memahami cara menyusui yang benar dan cara
mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi
medis.
f. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI
kepada bayi baru lahir.
g. Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama
bayi 24 jam sehari.
h. Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan
terhadap lama dan frekuensi menyusui
i. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.
j. Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI di
masyarakat danmerujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang
dari Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Sarana Pelayanan Kesehatan.
c. Strategi Pemerintah dalam Menyukseskan Program IMD dan
ASI Eksklusif
1. Advokasi
Dengan dukungan Perda No 7/2008, pemerintah
mewajibkan semua petugas kesehatan untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung praktik IMD dan pemberian
ASI Eksklusif. Selain itu, dalam peraturan tersebut juga
terdapat anjuran untuk menyiapkan “ruang menyusui” di
semua puskesmas dan kantor pemerintah. Selain itu
dikembangkan juga pengembangan kelompok Masyarakat
Pendukung ASI, menciptakan lingkungan kondusif untuk ibu
menyusui melalui pengendalian promosi susu formula dan
pengendalian sponsorship kegiatan profesi. Obyek utama dari
program ini adalah lingkungan sekitar ibu seperti keluarga,
masyarakat dan institusi. Untuk mendukung desain program
IMD dan pemberian ASI Eksklusif yang dilakukan adalah
Program Kawal ASI.
2. Komunikasi
Dinas Kesehatan melakukan sosialisasi mengenai
pentingnya ASI sebagai upaya untuk memperkuat pesan yang
telah disampaikan petugas kesehatan kepada para ibu. Ruang
konseling laktasi di puskesmas, rumah sakit dan kantor
pemerintah di seluruh kabupaten dihiasi dengan poster,
pamflet, lembar balik, alat bantu konseling dan video ASI.
Selain itu, kegiatan promosi ASI juga dilakukan melalui
pembuatan video dokumentar IMD dengan pelaku warga
Klaten, kunjungan media, mengadakan Jambore kader ASI,
lomba paduan suara konselor dan motivator ASI, serta ikrar
1000 ibu hamil mendukung IMD dan ASI eksklusif.
3. Memperkuat Sistem Kesehatan

Strategi ketiga adalah memperkuat sistem kesehatan


dan pelayanan kesehatan serta fasilitasnya di bawah
pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten yang
disinergikan dnegan lembaga kesehatan dan lembaga
masyarakat lainnya. Untuk itu, setiap Puskesmas di Klaten
telah menjadi „pusat konseling laktasi” dimana setiap
Puskesmas sedikitnya memiliki 8 konselor laktasi yang
memberikan kosneling pada setiap ibu hamil dan menyusui,
calon pengantin, memberikan fasilitas rooming-in bagi
puskesmas rawat inap yang menyediakan pelayanan kelahiran,
serta menerapkan puskesmas yang bebas dari susu formula.
Program Kawal ASI yang diterapkan juga setidaknya
memperkenalkan 8 kontak antara petugas kesehatan (konselor)
dengan para ibu yang dimulai pertama kali pada saat konseling
pra nikah.

4. Strategi Evaluasi Kinerja

Dari strategi-strategi tersebut diatas, Dinas Kesehatan


juga menerapkan mekanisme evaluasi seperti dengan melihat
angka prosentase IMD setiap bulannya di setiap puskesmas dan
fasilitas kesehatan lainnya. Setiap warga yang melahirkan
mendapatkan jaminan untuk bisa melaksanakan IMD. Data
mengenai jumlah ibu yang melahirkan dan pelaksanaan IMD
didapatkan dari petugas konselor dan petugas gizi dari
puskesmas. Jika ada suatu wilayah yang turun angka
keberhasilan pemberian ASI eksklusifnya, maka akan ada
tindak lanjut langsung dari Dinas Kesehatan dengan diwakili
dari fasilitator program IMD dan pemberian ASI Eksklusif.
Setiap fasilitator yang merupakan dokter PTT yang sudah digaji
oleh negara tidak mendapatkan imbalan finansial sehingga
tingkat keberlangsungan program ini relatif cukup tinggi.
Untuk memonitoring distribusi susu formula, pihak pemerintah
secara rutin meninjau dinamika penjualan susu formula di toko,
Meskipun angka penjualan tersebut tidak bisa didapatlan secara
detil, tetapi dari hasil wawancara dengan pihak distributor susu
di toko menunjukkan bahwa penjualan susu menurun drastis
terutama di toko di daerah perkotaan. Selain itu, strategi
evaluasi lainnya adalah dengan serta memberikan sanksi bagi
bidan yang nakal yang melanggar komitmennya dengan
memberikan efek jera dengan memasang bendera hitam di
depan klinik prakteknya serta pencabutan izin praktek setelah
diberi surat peringatan sesuai dengan prosedur dan surat
pernyataan yang sudah disepakati sebelumnya.
Data evaluasi kinerja IMD dan ASI Eksklusif
didapatkan dari Kartu Ibu dan Anak yang dipegang oleh
masing-masing ibu dan dari data tersebut kemudian
diakumulasi oleh kader motivator yang ada di setiap
Posyandu untuk dilaporkan ke Puskesmas Kecamatan
masing-masing dan menjadi laporan untuk Dinas Kesehatan.
d. Tantangan Pelaksanaan Program
1. Produsen Susu Formula
Intervensi produsen susu formula yang dalam logika
industri akan tetap melakukan promosi agar akumulasi
keuntungan terus terjadi. Para bidan, tenaga kesehatan
lainnya dan bahkan kepala Dinkes sering dihubungi secara
pribadi dengan dijanjikan kompensasi yang menggiurkan jika
bersedia menanggalkan komitmen ASI Eksklusif dan
bergabung kembali sebagai mitra susu formula. Kondisi ini
masih ditambah dengan masih melemahnya beberapa
kesadaran masyarakat terutama di daerah pedesaan tentang
pentingnya ASI Eksklusif. Keterbatasan akses informasi,
sarana dan layanan fasilitas kesehatan menjadi kendala utama
untuk meningkatkan cakupan ASI Eksklusif di wilayah-
wilayah pedesaan.
2. Semangat Tenaga Kesehatan yang Menurun
Menurunnya semangat tenaga kesehatan karena faktor
kejenuhan dalam mengelola rutinitas. Pola aktivitas
keseharian untuk selalu mempertahankan ideologi sebagai
pelayan masyarakat agar keberhasilan capaian ASI Ekskulif
tetap terjaga tentu membutuhkan energi yang luar biasa.
Sementara industri dengan ambisinya juga tidak pernah
berhenti untuk menawarkan sebuah kepraktisan yang
berujung pada nilai komersialisasi yang tinggi. Jika
sensitivitas tersebut tidak segera ditindaklanjuti maka akan
menjadi sebuah fase kritis yang memungkinkan komitmen
para tenaga kesehatan tersebut meluntur.
3. Dana Anggaran yang Terbatas.
Setelah kerjasama Dinas Kesehatan dengan UNICEF
dalam program inovasi gerakan ASI Eksklusif ini berakhir
maka saat ini hanya dapat mengandalkan dana dari APBD
dimana jumlahnya tidak terlalu besar. Anggaran Dinas
Kesehatan secara keseluruhan adalah sekitar 20 M sementara
untuk ASI Eksklusif yang sudah masa pemerliharan hanya
sekitar 300 juta. Secara kuantitatif, jumlah tersebut tentu
sangat kecil sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan
usaha yang sangat keras untuk menggali modal-modal sosial
masyarakat.

B. HOME CARE
1. Definisi Home Care
Home care adalah komponen dari pelayan kesehatan yang disediakan
untuk individu dan keluarga ditempat tinggal mereka dengan tujuan
mempromosikan, mempertahankan, atau memaksimalkan level kemandirian serta
meminimalkan efek ketidakmampuan dan kesakitan termasuk di dalamnya
penyakitnya terminal. Defenisi ini menggabungkan komponen dari home care
yang meliputi pasien, keluarga, pemberian pelayanan yang professional
(multidisiplin) dan tujuannya, yaitu untuk membantu pasien kembali pada level
kesehatan optimum dan kemandirian (Bukit, 2008).
Neis dan Mc. Ewen (2010) menyatakan home care adalah system dimana
pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial diberikan di rumah kepada orang-orang
cacat atau orang-orang yang bagus harus tinggal di rumah kerena kondisi
kesehatannya. Menurut Amerika Medicine Associatin, Home care merupakan
penyedian peralatan dan jasa pelayanan keperawatan kepada pasien di rumah yang
bertujuan untuk memulihkan dan mempertahankan secara maksimal tingkat
kenyamanan dan kesehatan.
Dalam kasus apapun efektifitas perawatan berbasis rumah membutuhkan
upaya kolaboratif pasien, keluarga, dan professional . Sedangkan Dapertemen
Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa home care adalah pelayanan kesehatan
yang berkesinabungan dan komperhensif yang diberikan kepada individu dan
keluarga ditempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan,
mempertahankan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan
akibat dari penyakit. Menurut Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan
Depertemen Kesehatan RI dalam makalahnya pada seminar Nasional 2007
tentang Home Care: “Bukti Kemandirian Perawat” menyebutkan bahwa
pelayanan keperawatan kesehatan di rumah sebagai salah satu bentuk praktik
mandiri perawat.
Pelayanan keperawatan di rumah merupakan sintesis dari pelayanan
keperawatan kesehatan komunitas dan ketrampilan teknis keperawatan klinik yang
berasal dari spesialisasasi keperawatan tertentu. Pelayanan keperawatan
kesehatan, memelihara ,dan meningkatkan kesehatan fisik, mental, atau emosi
pasien. Pelayanan diberikan di rumah dengan melibatkan pasien dan keluarganya
atau pemberi pelayanan yang lain. Dari beberapa literature yang didapatkan home
care dapat didefenisikan sebagai berikut:
1) Perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan dari rumah sakit
yang sudah termasuk rencana pemulangan dan dapat dilaksanakan oleh
perawat rumah sakit semula oleh perawat komunitas dimana pasien berada
atau tim keperawatan khusus yang menangani perawatan dirumah;
2) Perawatan di rumah merupakan bagian dari asuhan keperawatan keluarga
sebagai tindak lanjut dari tindakan unit rawat jalan atau puskesmas;
3) Pelayanan kesehatan berbasis di rumah merupakan suatu komponen rentang
keperawatan kesehatan yang berkesinanambungan dan komperhensif
diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka;
4) Pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga,
direncanakan, dikoordinasikan, dan disediakan oleh pemberi pelayanan yang
diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan
berdasarkan perjanjian kerja atau kontrak (Warola, 1980. Dalam
pengembangan model praktek mandiri keperawatan di rumah yang disusun
PPNI dan Departemen Kesehatan).
2. Tujuan Home Care
Menurut Stanhope (1996), tujuan utama dari home care adalah mencegah
terjadinya suatu penyakit dan meningkatkan kesehatan pasien. Tujuan yang paling
mendasar dari pelayanan home care adalah untuk meningkatkan, mempertahankan
atau memaksimalkan tingkat kemandirian, dan meminimalkan akibat dari
penyakit untuk mencapai kemampuan individu secara optimal selama mungkin
yang dilakukan secara komperhensif dan berkesinambungan (Tribowo, 2012).
Menurut Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Depertemen Kesehatan
RI dalam makalahnya pada seminar nasional 2007 tentang home care:“ Bukti
Kemandirian Perawat “ menyebutkan bahwa tujuan umum dari pelayanan
kesehatan di rumah adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarga. Secara khusus home care bertujuan untuk meningkatkan upaya
promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitative, mengurangi frekuensi hospitalisasi,
meningkatkan efisiensi waktu, biaya, tenaga, dan pikiran. Menurut Direktorat
Bina pelayanan Keperawatan Dapertemen RI dalam makalahnya pada seminar
nasional 2007 tentang Home Care:“Bukti Kemandirian Perawat” menyebutkan
bahwa tujuan khusus dari pelayanan kesehatan di rumah antara lain:
1) Terpenuhi kebutuhan dasar bagi pasien secara bio-psiko-sosio-spritual;
2) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga dalam pemeliharaan dan
perawatan anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan;
3) Terpenuhi kebutuhan pelayanan keperawatan kesehatan di rumah sesuai
kebutuhan pasien

3. Manfaat Home Care.


Manfaat dari pelayanan Home Care bagi pasien antara lain:
1) Pelayanan akan lebih sempurna, holistik dan komprenhensif;
2) Pelayanan lebih professional;
3) Pelayanan keperawatan mandiri bisa diaplikasikan dengan di bawah naungan
legal dan etik- keperawatan;
4) Kebutuhan pasien akan dapat terpenuhi sehingga pasien akan lebih nyaman
dan puas dengan asuhan keperawatan yang professional (Tribowo, 2012)

4. Karakteritik Home Care


Home Care mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Jenis layanan yang diselenggarakan; memprioritaskan pelayanan promotif dan


preventif tanpa mengabaikan upaya pengobatan dan pencegahan kecacatan.
Bentuk kegiatan yang dilakukan lebih banyak berupa komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE).
b. Tata cara pelayanan; tidak diselenggarakan terkotak-kotak (Fragmented)
melainkan secara terpadu dan berkesinambungan dalam pemenuhan kebutuhan
klien dan waktu penyelenggaraan. Pendekatan penyelenggaraan pelayanan;
secara menyeluruh dengan melihat semua sisi yang terkait (Comprehensive
Approach).

5. Standart Praktek Home Health Nursing (HHN)

Asosiasi Perawat Amerika (1999) telah menetapkan lingkup dan standart


Home Health Nursing yang meliputi standart asuhan keperawatan dan standart
kinerja professional. Standart Asuhan Keperawatan sebagai berikut :

1) Standart I, Perawat mengumpulkan data kesehatan klien


2) Standart II, dalam menetapkan diagnosa keperawatan, perawat melakukan
analisa terhadap data yang telah terkumpul
3) Standart III, Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan baik dari klien
maupun lingkungannya
4) Standart IV, Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan dengan
menetapkan intervensi yang akan dilakukan untuk mencapi hasil yang
diharapkan
5) Standart V, Perawat melaksanakan rencana intervensi yang telah ditetapkan
dalam perencanaan
6) Standart VI, Perawat melakukan evaluasi terhadap kemajuan klien yang
mengarah ke pencapaian hasil yang diharapkan.

Standart kinerja professional (Profesional Performance)

1) Standar I, kualitas asuhan keperawatan; perawat melakukan evaluasi terhadap


kualitas dan efektifitas praktik keperawatan secara sistematis .
2) Standar II, Performance Appraisal; Perawat melakukan evaluasi diri sendiri
terhadap paraktik keperawatan yang dilakukannnya dihubungkan dengan
standar praktik professional, hasil penelitian ilmiah dan peraturan yang
berlaku.
3) Standar III, pendidikan ; perawat berupaya untuk selalu meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam praktik keperawatan.
4) Standar IV, kesejawatan; perawat berinteraksi dan berperan aktif dalam
pengembangan profesionalisme sesama perawat dan praktisi kesehatan lainnya
sebagai sejawat
5) Standar V, etika; putusan dan tindakan perawat terhadap klien berdasarkan
pada landasan etika profesi
6) Standar VI, kolaborasi; dalam melaksanakan asuhan keperawatan, perawat
berkolaborasi dengan klien, keluarga dan praktisi kesehatan lain.
7) Standar VII, penelitian; dalam praktiknya, perawat menerapkan hasil
penelitian
8) Standar VIII, pemanfaatan sumber; perawat membantu klien atau keluarga
untuk memahami resiko, keuntungan dan biaya perencanaan dan pelaksanaaan
asuhan keperawatan.

6. Ruang Lingkup Pelayanan Home Care


Menurut Nuryandari (2004), menyebutkan ruang lingkup pelayanan home care
adalah:
a. Pelayanan medik dan asuhan keperawatan
b. Pelayanan sosial dan upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik
c. Pelayanan rehabilitasi dan terapi fisik
d. Pelayanan informasi dan rujukan
e. Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kesehatan
f. Hygiene dan sanitasi perorangan serta lingkungan
g. Pelayanan perbaikan untuk kegiatan social (Ode, 2012)

7. Prinsip – Prinsip Home Care


a. Mengelola pelayanan keperawatan kesehatan di rumah dilaksanakan oleh
perawat /TIM yang memiliki keahlian khusus bidang tersebut.
b. Mengaplikasi konsep sebagai dasar mengambil keputusan dalam praktik.
c. Mengumpulkan dan mencatat data dengan sistematis, akurat dan
komprehensif secara terus menerus.
d. Menggunakan data hasil pengkajian untuk menetapkan diagnosa keperawatan.
e. Mengembangkan rencana keperawatan didasarkan pada diagnosa
keperawatan yang dikaitkan dengan tindakan-tindakan pencegahan, terapi dan
pemulihan.
f. Memberikan pelayanan keperawatan dalam rangka menjaga kenyamanan,
penyembuhan, peningkatan kesehatan dan pencegahan komplikasi.
g. Mengevaluasi secara terus menerus respon pasien dan keluarga terhadap
intervensi keperawatan.
h. Bertanggung jawab terhadap pasien dan keluarga akan pelayanan yang
bermutu melalui manejemen kasus, rencana penghentian asuhan keperawatan
(discharge planning) dan koordinasi dengan sumber-sumber di komunitas.
i. Memelihara hubungan diantara anggota tim untuk menjamin agar kegiatan
yang dilakukan anggota tim saling mendukung.
j. Mengembangkan kemampuan professional dan berkontribusi pada
pertumbuhan kemampuan professional tenaga yang lain.
k. Berpartipasi dalam aktifitas riset untuk mengembangkan pengetahuan
pelayanan keperawatan kesehatan di rumah.
l. Menggunakan kode etik keperawatan dalam melaksanakan praktik
keperawatan (Tribowo, 2012).

8. Pemberi Pelayanan Home Care


a. Dokter
Pemberian Home Care harus berada di bawah perawatan dokter.
Dokter harus sudah menyetujui rencana perawatan sebelum perawatan
diberikan kepada pasien. Rencana perawatan meliputi: diagnosa, status
mental, tipe pelayanan dan peralatan yang dibutuhkan, frekuensi kunjungan,
prognosis, kemungkinan untuk rehabilitasi, pembatasan fungsional, aktivitas
yang diperbolehkan, kebutuhan nutrisi, pengobatan, dan perawatan.
b. Perawat
Bidang keperawatan dalam home care, mencakup fungsi langsung dan
tidak langsung. Direct care yaitu aspek fisik actual dari perawatan, semua
yang membutuhkan kontak fisik dan interaksi face to face. Aktivitas yang
termasuk dalam direct care mencakup pemeriksaan fisik, perawatan luka,
injeksi, pemasangan dan penggantian kateter, dan terapi intravena. Direct care
juga mencakup tindakan mengajarkan pada pasien dan keluarga bagaimana
menjalankan suatu prosedur dengan benar. Indirect care terjadi ketika pasien
tidak perlu mengadakan kontak personal dengan perawat. Tipe perawatan ini
terlihat saat perawat home care berperan sebagai konsultan untuk personil
kesehatan yang lain atau bahkan pada penyedia perawatan di rumah sakit.
c. Physical therapist
Menyediakan perawatan pemeliharaan, pencegahan, dan penyembuhan
pada pasien di rumah. Perawatan yang diberikan meliputi perawatan langsung
dan tidak langsung. Perawatan langsung meliputi: penguatan otot, pemulihan
mobilitas, mengontrol spastisitas, latihan berjalan, dan mengajarkan latihan
gerak pasif dan aktif. Perawatan tidak langsung meliputi konsultasi dengan
petugas home care lain dan berkontribusi dalam konferensi perawatan pasien.
d. Speech pathologist
Tujuan dari speech theraphy adalah untuk membantu pasien
mengembangkan dan memelihara kemampuan berbicara dan berbahasa.
Speech pathologist juga bertugas memberi konsultasi kepada keluarga agar
dapat berkomunikasi dengan pasien, serta mengatasi masalah gangguan
menelan dan makan yang dialami pasien.
e. Social wolker (pekerja social)
Pekerja social membantu pasien dan keluarga untuk menyesuaikan diri
dengan faktor sosial, emosional, dan lingkungan yang berpengaruh pada
kesehatan mereka.
f. Homemaker/home health aide
Tugas dari home health aide adalah untuk membantu pasien mencapai
level kemandirian dengan cara sementara waktu memberikan personal
hygiene. Tugas tambahan meliputi pencahayaan rumah dan keterampilan
rumah tangga lain (Bukit, 2008).

9. Bentuk Pelayanan Home Care


Bentuk pelayanan dalam program home care (Potter & Perry, 2009) yaitu:
a. Perawatan luka (penggantian perban steril, debridemen, irigasi, dan instruksi
teknik perawatan luka kepada klien dan keluarga)
b. Tanda vital (memonitor tekanan darah dan instruksi pengukuran tanda vital
kepada klien dan keluarga)
c. Nutrisi (penilaian status gizi dan hidrasi)
d. Rehabilitasi (pelatihan rawat jalan, penggunaan alat bantu, instruksi teknik
transfer terhadap klien dan keluarga)
e. Pengobatan (memonitor kepatuhan, melakukan injeksi, instruksi informasi
obat terhadap klien dan keluarga, mempersiapkan obat, dan langkah yang
diambil jika ada efek samping)
f. Terapi intravena (penggunaan produk darah, analgesik, dan agen kemoterapi,
serta hidrasi jangka panjang, instruksi penggunaan alat intravena kepada klien
dan keluarga)

Jenis Institusi Pemberi Layanan


Ada beberapa jenis institusi yang dapat memberikan layanan home care antara
lain:
1. Institusi pemerintah
Di Indonesia pelayanan home care yang telah lama berlangsung
dilakukan adalah dalam bentuk perawatan kasus/keluarga resiko tinggi
(baik ibu, bayi, balita maupun lansia) yang dilaksanakan oleh tenaga
keperawatan Puskesmas. Klien yang dilayani Puskesmas biasanya adalah
kalangan menengah ke bawah. Di Amerika dilakukan oleh visiting nurse.
2. Institusi social
Melaksanakan pelayanan home care dengan suka reladan tidak
memungut biaya. Biasanya dilakukan oleh LSM atau organisasi
keagamaan dengan penyandang dananya dari donatur, misalnya Bala
Keselamatan yang melakukan kunjungan rumah pada keluarga yang
membutuhkan sebagai wujud pengabdian pada Tuhan.
3. Institusi swasta
Dalam bentuk praktek mandiri baik perorangan maupun kelompok
yang menyelenggarakan pelayanan home caredengan menerima imbalan
jasa baik secara langsung dari klien maupun pembayaran melalui pihak
ketiga (asuransi).

10. Home Care Berbasis Rumah Sakit (Hospital Home Care)


Merupakan perawatan lanjutan pada klien yang telah di rawat di rumah sakit,
karena masih memerlukan bantuan laynan keperawatan, maka dilanjutkan di
rumah. Alasannya munculnya Home care jenis program ini adalah :
a. Ambulasi dini dengan resiko memendeknya hari rawat, sehingga
kesempatan untuk melakukan pendidikan kesehatan sangat kurang
(Misalnya pada post partum normal hanya dirawat 1-3 hari, sehingga
untuk mengajarkan bagaimana caranya menyusui, cara merawat tali pusat,
merawat luka perineum yang benar dan senam post partum) belum
dilaksanakan dengan optimum, sehingga kemandirian ibu masih kurang.
b. Menghindari resiko infeksi nosokomial yang dapat terjadi pada klien yang
di rawat di rumah sakit.
c. Makin banyaknya penyakit kronis, yang bila dirawat di rumah sakit tentu
memerlukan biaya yang besar.
d. Perlunya kesinambungan perawatan klien dari rumah sakit ke rumah,
sehingga akan meningkatkan kepuasan klien maupun perawat (Suardana,
2001)

11. Mekanisme Pelayanan Home Care


Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperawatan di rumah dapat
merupakan rujukan dan klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit, maupun
puskesmas, namun klien dapat langsung menghubungi agens pelayanan
keperawatan di rumah atau praktek keperawatan per orangan untuk memperoleh
pelayanan.
Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Pasien pasca rawat inap atau rawat jalan harus terlihat terlebih dahulu oleh
dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk dirawat di
rumah atau tidak.
b. Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat
dirumah, maka dilakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang
merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan di rumah,
kemudian bersama-sama klien dan kelurga akan menentukan masalahnya
dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan
mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga
mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran,
serta jangka waktu pelayanan.
c. Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksana pelayanan
keperawatan di rumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau
pelaksana yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan
dikoordinir dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang
dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh
koordinator kasus.
d. Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan
kesepakatan (Ode, 2012)

Persyaratan klien yang menerima pelayanan perawatan di rumah adalah :


a. Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau
menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.
b. Bersedia menandatangani persetujuan setelah diberikan informasi
(informed consent).
c. Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan
kesehatan di rumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab dan
haknya dalam menerima pelayanan
Tahapan mekanisme pelayanan home care adalah :
1. Proses penerimaan kasus
a. Home care menerima pasien dari rumah sakit puskesmas, sarana
lain, keluarga.
b. Pimpinan home care menunjuk manajer kasus untuk mengelola
kasus.
c. Manajer kasus membuat surat perjanjian dan proses pengelolaan
kasus.
2. Proses pelayanan home care
a. Persiapan
i. Pastikan identitas pasien
ii. Bawa denah/petunjuk tempat tinggal pasien
iii. Lengkap kartu identitas unit tempat kerja
iv. Pastikan perlengkapan pasien untuk di rumah
v. Siapkan file asuhan keperawatan
vi. Siapkan alat bantu media untuk pendidikan
b. Pelaksanaan
i. Perkenalkan diri dan jelaskan tujuan
ii. Observasi lingkungan yang berkaitan dengan keamanan
perawat
iii. Lengkapi data hasil pengkajian dasar pasien
iv. Membuat rencana pelayanan
v. Lakukan perawatan langsung
vi. Diskusikan kebutuhan rujukan, kolaborasi, konsultasi, dll.
vii. Diskusikan rencana kunjungan selanjutnya dan aktifitas
yang akan dilakukan
viii. Dokumentasikan kegiatan.
c. Monitoring dan evaluasi
i. Keakuratan dan kelengkapan pengkajian awal
ii. Kesesuaian perencanaan dan ketepatan tindakan
iii. Efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tindakan oleh
pelaksanaan.
d. Proses penghentian pelayanan home care dengan kriteria:
i. Tercapai sesuai tujuan
ii. Kondisi pasien stabil
iii. Program rehabilitasi tercapai secara maximal
iv. Keluarga sudah mampu melakukan perawatan pasien
v. Pasien di rujuk
vi. Pasien menolak pelayanan lanjutan
vii. Pasien meninggal dunia (Ode, 2012).

12. Model Home Care Sebagai Suatu Sistem


Model Health Care bila dilihat sebagai system sebagai berikut:
a. Komponen masukan (input ) lebih menekankan pada aspek struktur yaitu
perlu dilihat bagaimana komitmen organisasi profesi dalam mewujudkan
model tersebut dalam suatu bentuk peraturan yang memuat tentang lisensi
praktik dengan model perawatan di rumah. Di dalam pelayanan kesehatan
di rumah, perawat memegang peranan sebagai pemimpin melalui
perawatan di rumah akan memberi kesempatan dan mengetahui
bagaimana seharusnya memimpin.
b. Komponen proses harus jelas menggambarkan tentang pengaturan tenaga,
system pembayaran, penghitungan waktu untuk pelayanan, serta kategori
tenaga yang boleh melakukan pelayanan. Home Care yang dikembangkan
di luar negeri diterapkan pada pelayanan keperawatan dengan metode
penugasan perawatan primer. Seorang perawat primer akan mengetahui
dengan jelas perkembangan kesehatan klien dan meningkatkan hubungan
interpersonal yang terapeutik.
c. Pada komponen keluaran ( output ) perlu dikaji persepsi masyarakat
terhadap kualitas pelayanan keperawatan, kepuasan perawat dalam
menjalankan tugas serta kepuasan pasien secara umum.

Fioriglio (1999) mengungkapkan bahwa dalam melakukan aktivitas pelayanan


keperawatan di rumah sebagai berikut:

1. Pendidikan kesehatan jangan hanya diberikan kepada pasien tetapi


keluarga dan masyarakat juga punya hak dan tanggung jawab didalamnya.
2. Bekerja berdasarkan lisensi yang diberikan
3. Lindungi pasien atas hak-hak yang dimiliki dalam pelayanan kesehatan
4. Bentuk suatu kelompok yang dapat dijadikan tempat sosialisasi tentang
masalah yang dihadapi
5. Bekerja dengan staf untuk menemukan jalan terbaik/ide kreatif bagi
kelangsungan program
6. Bekerjasama dengan setiap orang yang memberi dukungan terhadap
perawatan di rumah

Agar pelanggan loyal terhadap institusi Home care, maka Home Care harus
memperhatikan hal berikut:

1. Kemudahan (untuk dihubungi, untuk mendapatkan informasi, untuk


membuat janji)
2. Selalu tepat janji, penting untuk membina kepercayaan masyarakat pada
institusi Home care
3. Sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, hal ini merupakan cirri
professional
4. Bersifat responsive terhadap keluhan, kebutuhan dan harapan klien

C. ISSUE DALAM KEPERAWATAN KELUARGA


1. Perubahan Pada Bidang Profesi Keperawatan

a. Perubahan ekonomi
Perubahan ekonomi membawa dampak terhadap pengurangan berbagai
anggaran untuk pelayanan kesehatan, sehingga berdampak terhadap
orientasi manajemen kesehatan atau keperawatan dari lembaga sosial ke
orientasi bisnis.
b. Kependudukan
Perubahan kependudukan dengan bertambahnya jumlah penduduk di
Indonesia dan bertambahnya umur harapan hidup, maka akan membawa
dampak terhadap lingkup dari praktik keperawatan. Pergeseran tersebut
terjadi yang dulunya lebih menekankan pada pemberian pelayanan
kesehatan atau perawatan pada “hospital-based” ke “comunity based”.
c. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kesehatan Atau Keperawatan Era Komputerisasi, sehingga perawat di
tuntut untuk menguasai teknolgi komputer di dalam melaksanakan MIS
(Manajemen Information System) baik di tatanan pelayanan maupun
pendidikan keperawatan
d. Tuntutan Profesi Keperawatan
Karakteristik Profesi yaitu:
 Memiliki dan memperkaya pengetahuan tubuh (body of knowledge)
melalui penelitian
 Memiliki kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada pasien
 Pendidikan yang memenuhi standar pendidikan keperawatan
 Terdapat pengendalian terhadap praktik/tindakan keperawatan
 Bertanggungjawab dan bertanggung gugat (Accounttable) terhadap
tindakan keperawatan yang dilakukan bersama dengan profesional
profesi lainnya.
 Merupakan karier seumur hidup
 Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi
2. Dampak Terhadap Perubahan
a. Praktik keperawatan
1) Pengurangan Anggaran
Perawat indonesia saat ini di hadapkan pada suatu dilema, di
satu sisi dia harus terus mengupayakan peningkatan kualitas layanan
kesehatan, dilain pihak pemerintah memotong alokasi anggaran untuk
pelayan keperawatan. Keadaan ini dipicu dengan menjadikan rumah
sakit swadan dimana juga berdampak terhadap kinerja perawat. Dalam
melaksanakn tugasnya perawat sering jarang mengadakan hubungan
interpersonal yang baik karena mereka harus melayani pasien lainnya
dan dikejar oleh waktu.
2) Otonomi dan akuntabilitas
Dengan melibatkan perawat dalam pengambilan suatu
keputusan di pemerintahan, merupakan hal yang sangat positif dalam
meningkatkan otonomi dan akuntabilitas perawat indonesia. Peran
serta tesebut perlu di tingkatkan terus dan di pertahankan. Kemandirian
perawat dalam melaksanakan perannya sebagai suatu tantangan.
Semakin meningkatnya otonomi perawat semakin tingginya tuntutan
kemampuan yang harus di persiapkan.
3) Teknologi
Penguasaan dan keterlibatan dalam perkembangan IPTEK
dalam praktek keperawatan bagi perawat Indonesia merupakan suatu
keharusan.
4) Tempat Praktik
Tempat praktik keperawatan di masa depan meliputi pada
tatanan klinik (RS) ; komunitas; dan praktik mandiri di
rumah/berkelompok (sesuai SK MENKES R.I.647/2000 tentang
registrasi dan praktik keperawatan).
5) Perbedaan batas kewenangan praktik
Belum jelasnya batas kewenangan praktik keperawatan pada
setiap jenjang pendidikan, sebagai suatu tantangan bagi profesi
keperawatan.
b. Tantangan Pendidikan Keperawatan
Di masa depan pendidikan keperawatan dihadapkan pada suatu
tantangan dalam meningkatkan kualitas lulusannya dituntut menguasai
kompetensi-kompetensi profesional. Isi kurikulum program pendidikan ke
depan, juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
terjadi.

c. Tantangan Perubahan Iptek


Riset keperawatan akan menjadi suatu kebutuhan dasar yang harus
dilaksanakan oleh perawat di era global. Meningkatnya kualitas layanan,
sangat ditentukan oleh hasil kajian-kajian dan pembaharuan yang
dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian.
(Kuntoro, 2010, hal. 149-150)

3. Isu Terbaru dalam Keperawatan Keluarga


Menurut Friedman dkk (2013, hal. 41-42) terdapat 8 isu penting dalam
keperawatan keluarga saat ini:
a. Kesenjangan bermakna antara teori dan penelitian serta praktik
klinis.
Kesenjangan antara pengetahuan yang ada dan penerapan pengetahuan
ini jelas merupakan masalah di semua bidang dan spesialisasi di
keperawatan, meskipun kesenjangan ini lebih tinggi dikeperawatan
keluarga. Keperawatan yang berpusat pada keluarga juga masih
dinyatakan ideal dibanding praktik yang umum dilakukan. Wright dan
Leahey mengatakan bahwa faktor terpenting yang menciptakan
kesenjangan ini adalah “cara perawat menjabarkan konsep masalah sehat
dan sakit. Hal ini merupakan kemampuan “berfikir saling memengaruhi”:
dari tingkat individu menjadi tingkat keluarga (saling memengaruhi)”.
Penulis lain yaitu Bowden dkk menyoroti bahwa kecenderungan
teknologi dan ekonomi seperti pengurangan layanan dan staf, keragaman
dalam populasi klien yang lebih besar. Sedangkan menurut Hanson
kurangnya alat pengkajian keluarga yang komperehensif dan strategi
intervensi yang baik, perawat terikat dengan model kedokteran
(berorientasi pada individu dan penyakit), dan sistem pemetaan yang kita
lakukan serta sistem diagnostik keperawatan menyebabkan penerapan
perawatan yang berfokus pada keluarga sulit diwujudkan.

b. Kebutuhan untuk membuat perawatan keluarga menjadi lebih


mudah untuk di integrasikan dalam praktik.
Dalam beberapa tahun ini, terjadi restrukturisasi pelayanan kesehatan
besar-besaran, yang mencakup perkembangan pesat sistem pengelolaan
perawatan berupa sistem pemberian layanan kesehatan yang kompleks,
multi unit, dan multi level sedang dibentuk. Sebagian dari restruturisasi ini
juga termasuk kecenderungan pasien dipulangkan dalam “keadaan kurang
sehat dan lebih cepat” dan pengurangan jumlah rumah sakit, pelayanan
dan staf, serta pertumbuhan pelayanan berbasis komunitas. Perubahan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kerja dan kelebihan beban kerja dalam
profesi keperawatan. Waktu kerja perawat dengan klien individu dan klien
keluarga menjadi berkurang. Oleh karena itu, mengembangkan cara yang
bijak dan efektif untuk mengintegrasikan keluarga ke dalam asuhan
keperawatan merupakan kewajiban perawat keluarga. Menurut Wright dan
Leahey, mengatasi kebutuhan ini dengan menyusun wawancara keluarga
selama 15 menit atau kurang. Pencetusan gagasan dan strategi
penghematan waktu yang realistik guna mempraktikan keperawatan
keluarga adalah isu utama praktik dewasa ini.

c. Isu Penelitian : Kebutuhan Untuk Meningkatkan Penelitian Terkait


Intervensi Keperawatan Keluarga
Di bidang keperawatan keluarga, perawat peneliti telah membahas
hasil kesehatan dan peralihan keluarga yang terkait dengan kesehatan.
Teori perkembangan, teori stres, koping, dan adaptasi, teori terapi keluarga
dan teori sistem telah banyak memandu penelitian para perawat peneliti
keluarga. Penelitian dilakukan lintas disiplin, yang menunjukkan bahwa
“tidak ada satupun disiplin yang memiliki keluarga” Gilliss & Knafl dalam
Friedman dkk (2013, hal.42). Kelangkaan penelitian keperawatan yang
nyata terletak di bidang studi intervensi. Menurut Knafl dalam Friedman
dkk (2013, hal.42) kurangnya studi intervensi dalam keperawatan keluarga
“mengejutkan” Janice Bell (1995), editor Journal of Family Nursig
Intervention,” mengeluhkan mengenai kurangnya naskah penelitian
intervensi keperawatan yang ia terima untuk dikaji. Dengan tidak
memadainya jumlah studi intervensi, kita mengalami kekurangan bukti
ilmiah yang dibutuhkan untuk mendukung efikasi strategi dan program
keperawatan keluarga. Selain itu, dibutuhkan penelitian keperawatan
keluarga yang sebenarnya; sebagian besar penelitian keperawatan keluarga
sebenarnya merupakan penelitian yang terkait dengan keluarga (yang
berfokus pada anggota keluarga), bukan penelitian keluarga (yang
berfokus pada seluruh keluarga sebagai sebuah unit) (Knafl).

d. Isu Praktik : Peralihan Kekuasaan Dan Kendali Dari Penyedia


Pelayanan Kesehatan Kepada Keluarga
Berdasarkan dengan perbincangan dengan perawat dan tulisan yang
disusun oleh perawat keluarga, terdapat kesepatakan umum bahwa
peralihan kekuasaan dan kendali dari penyedia pelayanan kesehatan ke
pasien/ keluarga perlu dilakukan. Kami percaya hal ini masih menjadi
sebuah isu penting pada pelayanan kesehatan saat ini. Wright dan Leahey
(2000) mengingatkan kita bahwa terdapat kebutuhan akan kesetaraan yang
lebih besar dalam hubungan antara perawat dan keluarga, hubungan
kolaboratif yang lebih baik, dan pemahaman yang lebih baik akan keahlian
keluarga. Perkembangan penggunaan internet dan email telah memberikan
banyak keluarga informasi yang dibutuhkan untuk belajar mengenai
masalah kesehatan dan pilihan terapi mereka. Gerakan konsumen telah
memengaruhi pasien dan keluarga untuk melihat diri mereka sebagai
konsumen, yang membeli dan mendapatkan layanan kesehatan seperti
layanan lain yang mereka beli. Dilihat dari kecederungan ini, anggota
keluarga sebaiknya diberikan kebebasan untuk memutuskan apa yang baik
bagi mereka dan apa yang harus mereka lakukan demi kepentingan mereka
sendiri.

e. Isu Kebijakan : Kebutuhan akan lebih terlibatnya perawat keluarga


dalam membentuk kebijakan yang memengaruhi keluarga
Kebutuhan akan lebih terlibatnya perawat keluarga dalam membentuk
kebijakan yang memengaruhi keluarga. Hanson, dalam bahasanya
mengenai reformasi pelayanan kesehatan, mendesak perawat keluarga
lebih terlibat di tiap level sistem politis guna menyokong isu keluarga.
Kami setuju dengan beliau. Praktisnya, semua legislasi domestik yang
dikeluarkan ditingkat lokal, negara bagian atau nasional mempunyai
dampak pada keluarga. Sebagai advokat keluarga, kita perlu baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama menganalisis isu dan kebijakan yang
tengah diusulkan dan membantu merumuskan dan mengimplementasikan
kebijakan dan regulasi yang positif. Mendukung calon dewan yang
mendukung calon keluarga dan menjadi relawan untuk melayani komisi
kesehatan dan komisi yang terkait dengan kesehatan dan dewan organisasi
adalah jalan penting lain untuk “ membuat suatu perbedaan” kita perlu
mendukung keluarga agar mempunyai hak mendapatkan informasi,
memahami hak dan pilihan mereka, serta lebih cakap dalam membela
kepentingan meraka sendiri.

f. Isu Praktik: Bagaimana bekerja lebih efektif dengan keluarga yang


kebudayaannya beragam.
Kemungkinan isu ini lebih banyak mendapatkan perhatian dikalangan
penyedia pelayanan kesehatan, termasuk perawat, dibandingkan isu
lainnya pada saat ini. Kita tinggal dimasyarakat yang beragam, yang
memiliki banyak cara untuk menerima dan merasakan dunia, khususnya
keadaan sehat dan sakit. Dalam pengertian yang lebih luas, budaya
(termasuk etnisitas, latar belakang agama, kelas, social, afiliasi regional
dan politis, orientasi seksual, jenis kelamin, perbedaan generasi)
membentuk persepsi kita, nilai, kepercayaan, dan praktik. Factor lainnya,
seperti pengalaman dengan sehat dan sakit, membentuk cara kita
memandang sesuatu. Meskipun terdapat semua upaya tersebut guna dapat
bekerja lebih efektif dengan keluarga yang beragam, memberikan
perawatan yang kompeten secara budaya tetap menjadi tantangan yang
terus dihadapi. Bab 8 membahas aspek social-budaya asuhan keperawatan
keluarga.

g. Isu praktik: globalisasi keperawatan keluarga menyuguhkan


kesempatan baru yang menarik bagi perawat keluarga.
Dengan makin kecilnya dunia akibat proses yang dikenal sebagai
globalisasi, perawat keluarga disuguhkan dengan kesempatan baru dan
menarik untuk belajar mengenai intervensi serta program yang telah
diterapkan oleh negara lain guna memberikan perawatan yang lebih baik
bagi keluarga. Globalisasi adalah proses bersatunya individu dan keluarga
karena ikatan ekonomi, politis, dan professional. Globalisasi mempunyai
dampak negative yang bermakna bagi kesehatan yaitu ancaman epidemi
diseluruh dunia seperti human immunodeficiency virus/acquired immune
deficiency syndrome (HIV/AIDS) menjadi jauh lebih besar. Akan tetapi
sisi positifnya, pembelajaranyang diperoleh perawat amerika dari perawat
diseluruh dunia melalui konferensi internasional, perjalanan, dan membaca
literatur kesehatan internasional memberikan pemahaman yang sangat
bermanfaat. Sebagai contoh, dijepang, pertumbuhan keperawatan keluarga
sangat mengesankan. Disana, perawat telah mengembangkan kurikulum
keperawatan keluarga disekolah keperawatan dan menghasilkan teori
keperawatan yang berfokus pada keluarga dan sesuai dengan nilai dan
konteks jepang. Keperawatan keluarga mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat dijepang, yang ditandai dengan publikasi dan upaya penelitian
yang dilakukan dijepang(sugishita, 1999). Negara lain, seperti denmak,
swedia, Israel, korea, chili, meksiko, skotlandia, dan inggris juga
mengalami kemajuan bermakna dibidang kesehatan keluarga dan
keperawatan keluarga. Kita mesti banyak berbagi dan belajar dari perawat
dibeberapa negara ini.

h. Isu Pendidikan: Muatan apa yang harus diajarkan dalam kurikulum


keperawatan keluarga dan bagaimana cara menyajikannya?
Menurut Hanson dan heims(1997) yang melaporkan sebuah survei
pada sekolah keperawatan di Amerika serikat yang mereka lakukan terkait
cakupan keperwatan keluarga disekolah tersebut, terdapat perkembangan
pemaduan muatan keperawatan keluarga dan keterampilan klinis kedalam
program keperawatan pascasarjana dan sarjana, masih belum jelas muatan
apa yang tepat diberikan untuk program sarjana dan pascasarjana dan
bagaimana cara mengajarkan keterampilan klinis. Tidak ada kesepakatan
mengenai focus program sarjana dan pascasarjana terkait dengan
keperawatan keluarga. Akan tetapi, terdapat beberapa kosensus bahwa
praktik keperawatan tingkat lanjut pada keperawatan keluarga melibatkan
pembelajaran muatan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja
dengan seluruh keluarga dan individu anggota keluarga secara bersamaan.
Perawat keluarga dengan praktik tingkat lanjut dapat bekerja sebagai
terapis keluarga pada keluarga yang bermasalah akan tetapi, masih belum
jelas muatan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dalam keperawatan
keluarga untuk para perawat yang dipersiapkan deprogram praktik tingkat
lanjut lainnya (program perawat spesialis klinis dan praktisi). Bahasan
lebih lanjut mengenai cakupan dan level muatan dan keterampilan klinis
perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Kholifah, Siti Nur. (2012). Home Care. Jurnal Teknokes, 5(1), 44-48.

Makhfudi, F, E. (2013). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Ali, Z. (2010). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.

Kuntoro, A. (2010). Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wahid Iqbal Mubarak, N. C. (2012). Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika

Friedman,dkk. (2013) Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, & Praktik. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai