Anda di halaman 1dari 70

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias

RAHMAT ALYAKIN DAKHI

Penerbit:
AHLIMEDIA PRESS
BÖRÖGU: ASAL USUL SAYA SEBAGAI ORANG NIAS

Penulis:
Rahmat Alyakin Dakhi

Editor:
Yayuk Umaya

Penyunting:
Masyrifatul Khairiyyah

Desain Cover:
Aditya Rendy T

Penerbit:
Ahlimedia Press (Anggota IKAPI: 264/JTI/2020)
Jl. Ki Ageng Gribig, Gang Kaserin MU No. 36
Kota Malang 65138
Telp: +6285232777747
Telp Penulis: +62 813-9695-5549
www.ahlimediapress.com

ISBN: 978-623-6351-04-8
Cetakan Pertama, Juni 2021
Hak cipta oleh Penulis dan Dilindungi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Pasal 72.
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ii | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan telah memberikan kemudahan sehingga


buku “Börögu (Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias)” dapat
terselesaikan dengan baik.
Buku ini disusun sedemikian rupa dengan harapan
memperkaya khasanah, pengetahuan dan pemahaman generasi
penerus tentang jati diri sebagai suku Nias. Akhir-akhir ini ada
kecenderungan pembelokan sejarah dan bahkan upaya
mengeliminir peranan Ono Dakhi dalam sejarah Nias Selatan terkini
walaupun berbagai buku dalam bahasa Jerman, Belanda, dan
Jepang secara nyata dijabarkan peranan Ono Dakhi. Keberadaan
Rumah Sakit Umum Daerah Lukas Hilisimaetano merupakan bukti
sejarah bahwa desa ini dulunya merupakan pusat dinamika
masyarakat di Nias bagian Selatan selain Gunungsitoli di Nias
bagian Utara tentunya.
Harapan saya selaku penulis khususnya bahwa buku ini mampu
memotivasi untuk menghasilkan karya-karya berikutnya dan
membentuk kepribadian yang lebih baik dan dapat menginspirasi
orang lain.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada duagu Ama Mefeti
Dakhi (†), amagu Ama Yawa Dakhi (†), kaagu Ama Indah Dakhi (†),
akhigu Alkhatib Dakhi, SE, MM dan iwagu Ama Yaaro Dakhi serta
semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan buku ini dan
menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kata sempurna, semoga
memberi manfaat bagi para pembacanya. Saran dan masukan sangat
penulis harapkan untuk menyempurnakan karya penulis di masa yang
akan datang.

Salam Literasi

Penulis

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | iii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................. iii


DAFTAR ISI .......................................................................... iv

Bagian I : Nenek Moyang Masyarakat Nias .............................. 1


Bagian 2: Asal Usul Masyarakat Nias Selatan ........................... 26
Bagian 3: Konsep Öri ....................................................................... 32
Bagian 4: Kerajaan Onotachi ......................................................... 36
Bagian 5: Perjuangan Tuha Tohönavanaetu Dachi ..................... 40
Bagian 6: Keturunan Tuha Tohönavanaetu Dachi........................ 46

iv | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


BAGIAN I
NENEK MOYANG MASYARAKAT NIAS

MITOS PENCIPTAAN

Versi Pertama
Menurut mitos dalam syair hoho (sastra lisan Nias kuno)
yang berkembang di Pulau Nias, alam semesta beserta seluruh
isinya merupakan ciptaan Lowalangi.
Lowalangi menciptakan langit dengan cara mengaduk-aduk
angin yang beraneka warna dan kekuasaaan dalam kegelapan
dengan menggunakan tongkat gaib yang disebut sihai.
Proses pengadukan berlangsung selama beberapa hari.
Hasilnya terciptalah langit yang memiliki beberapa lapisan dan
masing-masing lapisan dihubungkan dengan sebuah tangga.
Lapisan terakhir atau sering disebut lapisan ke-9 adalah
tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lain yang disebut
Teteholi Ana’a yang letaknya sangat jauh dari Pulau Nias. Pada
lapisan inilah Lowalangi menciptakan sebatang pohon kehidupan
yang disebut Sigaru Tora'a.
Pohon itu kemudian berbuah dan buahnya dierami oleh
seekor laba-laba emas selama 9 (sembilan) bulan, yang juga
merupakan ciptaan Lowalangi. Buah yang dierami tersebut
menetaslah sepasang ‘dewa’ pertama di alam semesta.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 1


Mereka adalah Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang
berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang
berjenis kelamin perempuan.
Namun, karena sepasang ‘dewa’ itu tidak mengikuti perintah
Lowalangi maka mereka dikeluarkan dari Teteholi Ana’a dan
ditempatkan di suatu tempat yang bernama Tatembari Ana’a, dan
tempat tersebut masih berada di langit lapisan terakhir.
Setelah berada di Tatembari Ana’a, sepasang ‘dewa’ ini
beranak cucu dan pada beberapa keturunan berikutnya lahirlah
seseorang yang bernama Langi Sagörö sebagai manusia pertama.

Versi Kedua
Manusia diciptakan oleh Lowalangi dari buah atau biji
pohon yang tumbuh dari jantung makhluk hidup pertama, lalu
berbagai dewa keluar dari buah lain dari bagian pohon tersebut, di
antaranya Lature, Barasi-Lulu dan Baliu.
Saat dua buah terbawah masih sangat kecil, Lature berkata
pada Barasi-Lulu dan Baliu bahwa buah-buah paling bawah ini
miliknya. Tapi Baliu berkata "Kalau kamu bisa membuat manusia
dari buah-buah ini, mereka milikmu, jika tidak berarti bukan
milikmu,". Lature pun mencoba untuk membuat manusia tetapi
tidak berhasil.
Lalu Lowalangi memberikan sebuah ‘alat’ ke Barasi-Lulu
untuk membuat manusia dan dengan ‘alat’ inipun Barasi-Lulu

2 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


tidak mampu membuat manusia namun berhasil membuat tubuh
manusia yaitu laki-laki dan perempuan tanpa nyawa. Kemudian
Lowalangi memberikan kepada Baliu angin sambil berkata,
"masukkan semua angin itu ke dalam tubuh manusia itu melalui
mulutnya, bila seluruh angin dapat terserap maka manusia itu
akan hidup abadi dan bila hanya sebagian maka umurnya
tergantung pada jumlah angin yang masuk."
Baliu melakukan perintah Lowalangi dan manusia itu pun
menjadi hidup, namun tidak semua angin yang dimasukkan ke
dalam tubuh manusia itu terserap. Lalu Baliu memberikan nama
kepada manusia itu, yaitu Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang
berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang
berjenis kelamin perempuan. Jadilah mereka sebagai manusia
pertama.

PENGHUNI PERTAMA PULAU NIAS

Syair Hoho
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dari
sepasang dewa ciptaan Lowalangi pada beberapa keturunan
kemudian lahirlah manusia yang bernama Langi Sagörö. Langi
Sagörö memiliki 2 (dua) orang istri. Istri pertama, bernama Rici
Akhi Langi atau Sirici, melahirkan bela. Istri kedua bernama
Nazaria Walangi atau Sinaria, melahirkan Nadaoya. Suatu hari

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 3


Langi Sagörö memerintahkan kedua anaknya tersebut turun ke
bumi menggunakan liana lagara (sejenis tumbuhan berupa tali
yang sangat kuat dan biasanya merambat pada batang pohon).
Karena liana lagara yang digunakan bela telah rapuh, maka dia
tersangkut di atas pohon dan akhirnya memilih untuk tetap
tinggal di atas pohon. Inilah yang kemudian disebut sebagai
Sowanua atau Ono Mbela. Ono Mbela dikenal memiliki kulit yang
putih dan berparas cantik. Sowanua berasal dari dua kata yaitu
“so” dan “banua” (wanua). So berarti pemilik atau penguasa dan
Banua (wanua) berarti kampung. Jadi Sowanua mengandung arti
sebagai pemilik kampung atau penduduk asli yang juga dapat
diartikan sebagai orang yang terlebih dahulu datang di suatu
daerah sebelum orang lain datang.
Sowanua atau Bela merupakan pemilik atau penguasa segala
jenis binatang hutan atau binatang liar, misalnya: babi hutan,
kijang, rusa, kancil, landak, trenggiling, berbagai unggas dan lain-
lain. Itulah sebabnya pada zaman dahulu kala para pemburu
binatang di hutan selalu meminta izin kepada Sowanua atau Bela
sebelum berburu. Permohonan izin tersebut diwujudkan dalam
bentuk memberikan persembahan kepada Sowanua atau Bela.
Sowanua atau Bela dikategorikan sebagai dewa hutan yang
bertakhta di atas pohon dan ada juga sebagian yang
menggambarkan mereka sebagai leluhur orang jahat.

4 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Sebutan Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan
dan penghormatan pendatang bagi manusia-manusia primitif.
Proses perkembangan terjadi ketika para pendatang semakin
maju dan ‘manusia primitif’ kalah bersaing dengan para pendatang
baru yang memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan. Sowanua
atau Bela sebagai manusia primitif semakin terdesak dan
terpinggirkan dan pada akhirnya mereka dianggap sebagai
makhluk halus atau setan.
Dalam buku E.E.W.G. Schröder “Nias, Ethnograpische,
geographische en historische aanteekeningen en studien” Brill,
Leiden, Vol. I., Teks Boek III. – Historie, 1917 yang dikutip Kazwini
(1203 – 1283), lahir di Kazvin, Adzarbaydjan seorang kalifah
terakhir dinasti Abassid di Bagdad mengatakan bahwa masyarakat
di pulau Niyan (maksudnya pulau Nias) hidup telanjang. Mereka
berkulit putih dan sangat cantik. Karena kecantikan yang luar
biasa itu, mereka menjauhkan diri dan tinggal bersembunyi di
bukit-bukit karena takut diketahui.
Lalu anak Ibu Sinaria yang bernama Nadaoya hidup dan
menetap di dalam gua-gua. Secara fisik Nadaoya berbeda dengan
Sowanua/Ono Mbela. Nadaoya memiliki kepala dan tubuh yang
lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Baik Sowanua/Ono Mbela
maupun nadaoya yang merupakan anak dari Langi Sagörö
merupakan penghuni pertama Pulau Nias.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 5


Sejalan dengan itu, dalam syair-syair hoho lain yang
berkembang di Pulau Nias, dikenal ada 3 (tiga) jenis manusia yang
merupakan penghuni pertama dan dipercaya sebagai nenek
moyang masyarakat Nias. Jenis manusia itu adalah Niha Safusi Uli,
Niha Sebua Gazuzu, dan Lani Ewöna.
Niha Safusi Uli adalah kelompok manusia berkulit putih dan
cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho mereka disebut Ono
Mbela. Niha Sebua Gazuzu adalah kelompok manusia yang
memiliki kepala besar yang tinggal di gua-gua. Dalam hoho mereka
disebut Nadaoya. Lani Ewöna adalah kelompok manusia yang
sebenarnya yang disebut “ono niha” (anak manusia). Kelompok
terakhir ini sudah memiliki keahlian dan pengetahuan yang lebih
tinggi dari kedua pendahulunya.
Ono Mbela dan Nadaoya sudah menghuni Pulau Nias jauh
sebelum “ono niha” datang ke pulau ini. Ono Mbela dan Nadaoya
kemudian kalah bersaing dengan para pendatang dan seringkali
“dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari
golongan manusia. Akibat dominasi dari kelompok pendatang
maka baik Ono Mbela maupun Nadaoya mulai terdesak dan
akhirnya menghilang atau lenyap dan bahkan mungkin membaur
dengan para pendatang.
Menurut teori persebaran kebudayaan leluhur ‘ono niha’
berasal dari daratan Cina bagian Selatan, tepatnya wilayah Yunan.
Hal ini merupakan hasil kajian secara linguistik dan arkeologi.

6 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Masyarakat Nias yang disebut ‘ono niha’ termasuk penutur bahasa
Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang
sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi. Ada
juga hipotesis yang mengatakan bahwa kedatangan grup etnis
“manusia” ke Nias boleh jadi sekitar tahun 1250 M sampai dengan
tahun 1416 M yang dikaitkan dengan koloni Cina di Singkuang.
Ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir,
benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak
kemungkinan diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke
pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat peralatan dan
gaya arsitektur di Nias. Secara tegas Elio Modigliani dalam
bukunya “Un Viagio Nias” (1890), mengatakan bahwa leluhur
orang Nias datang dari seberang lautan secara bergelombang yang
berasal dari Indostan, atau dari Indocina – Vietnam sekarang.
Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias
melalui Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Secara geografis
kota Singkuang terletak persis di sebelah Utara pantai barat
Sumatera. Mereka kemudian bergerak ke arah Barat dan sampai di
wilayah Lahusa dan Gomo. Kedatangan orang-orang Yunan
dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang
disinyalir telah mendesak keberadaan Ono Mbela dan Nadaoya.
Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam,
mereka lama-kelamaan menjadi punah.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 7


Di lain pihak, FM Schitger dalam bukunya berjudul
"Forgotten Kingdoms" mengatakan bahwa berdasarkan kebiasaan-
kebiasaan dan adat-istiadat di Pulau Nias dalam hal mendirikan
batu/megalith sewaktu mengadakan pesta, maka ada
kemungkinan masyarakat Nias memiliki nenek moyang yang sama
atau paling tidak berasal dari daerah yang sama dengan suku Naga
dan Khassi di negara Birma.
Sejak kedatangan “ono niha”, maka böwö (adat-istiadat), goi-
goi (hukum), fondrakö (peneguhan hukum) dan nga’ötö niha
(silsilah) mulai menjadi perhatian di pulau Nias. Pada waktu itu
budaya kerja seperti, beternak babi, ayam, membuka ladang dan
berkebun, penghormatan terhadap nenek moyang, teristimewa
terhadap orang tua dan penyembahan patung-patung mulai
dikenal di pulau Nias. Juga mengenal pandai besi, pembangunan
rumah, pengukiran patung dan pemahatan batu megalit. Mereka
menjunjung tinggi penghormatan kepada nenek moyang, dan
melantunkan tutur syair-syair pemujaan.
Dari uraian di atas, maka kemungkinan besar nenek moyang
masyarakat Nias yang disebut ‘ono niha’ adalah apa yang mereka
sebut Lani Ewöna. Kemungkinan Lani Ewöna inilah yang
merupakan imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian Selatan.
Walaupun demikian, tidaklah tertutup kemungkinan bahwa
keturunan Lani Ewöna dapat saja kawin dengan keturunan
Sowanua yang disebut juga Ono Mbela dan Nadaoya. Apalagi bila

8 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


diperhatikan ciri-ciri fisik masyarakat Nias secara umum yang
berkulit putih, mata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek.
Perkembangan selanjutnya tentu hampir tidak ada lagi kelompok
etnis lain yang menjadi pesaing keturunan Lani Ewöna di Pulau
Nias.
Selanjutnya tradisi lisan mengungkapkan bahwa pusat
kerajaan Nias yang pertama adalah di Börönadu (sebuah desa yang
sekarang merupakan wilayah Kecamatan Gomo) dan
masyarakatnya mendiami tanah di sepanjang Sungai Gomo. Dari
sinilah akhirnya mereka mulai berpindah dan menyebar ke
seluruh Pulau Nias. Konon, nenek moyang masyarakat Gunung
Sitoli dan sekitarnya merupakan keturunan penduduk Börönadu
yang bernama Lase dan nenek moyang masyarakat Teluk Dalam
dan sekitarnya adalah keturunan orang Börönadu yang bernama
Sadawamölö. Tradisi lisan ini juga dilengkapi dengan pendapat
M.G.Thomsen dalam bukunya yang berjudul “Famareso Ngawalö
Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalith kultur) ba Danö Nias”
(1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga
besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain di Pulau Nias
berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu dengan
perhitungan 1 (satu) generasi sama dengan 25 tahun. Telambanua
dan keluarganya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang
lalu. Laia dan keluarganya pindah dari Börönadu 38 generasi yang
lalu. Ndruru dan keluarganya pindah dari Börönadu 36 generasi

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 9


yang lalu. Zebua dan keluarganya pindah dari Börönadu 38
generasi yang lalu. Hulu dan keluarganya pindah dari Börönadu 26
generasi yang lalu.
Sejak proses persebaran tersebut, kelompok-kelompok
keluarga besar di Nias mulai terbentuk yang pada akhirnya
memunculkan bibit-bibit persaingan dan permusuhan antar
sesama penghuni Pulau Nias. Sebagai contoh, penduduk Börönadu
menginformasikan bahwa orang-orang yang meninggalkan
Börönadu adalah mereka yang tidak menghormati adat dan
leluhur. Persaingan tersebut sampai saat ini kadang-kadang masih
terasa. Suasana interaksi antar marga dan antar kampung
diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang
lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap
marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan
identitas yang paling unggul. Harga diri seseorang ditentukan oleh
berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain
yang telah dipenggal.

Penelitian Ilmiah
Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di
Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang
meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang
terkenal adalah di Gua Tögi Ndrawa (Desa Lölöwanu Niko‘otanö,
Kecamatan Gunung Sitoli). Jejak kehidupan tersebut dapat

10 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu
pukul, dan pipisan. Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata
yang terdiri dari ikan (pisces), ular (ophodia), kura-kura
(rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap
(artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan
pelecypoda.
Penelitian ilmiah terakhir yang dilakukan untuk mengetahui
asal-usul masyarakat suku Nias adalah penelitian Deoksiribo
Nukleat Acid (DNA). Penelitian ini dilakukan oleh dua peneliti asal
Belanda, yakni ahli genetika Professor Ingo Kennerknecht dari
University of Münster, Jerman, dan Mannis van Oven, mahasiswa
S-3 bidang Biologi Molekuler Forensik, Erasmus MC-University
Medical Center Rotterdam, Belanda. Professor Ingo Kennerknecht
mengumpulkan 407 sampel darah atau air liur orang Nias dari 11
klan atau marga yang tersebar di Nias bagian Utara, Tengah hingga
Selatan. Pengambilan sampel dilakukan dalam kurun waktu tahun
2002 dan 2003. Sampel kemudian dikirim ke laboratorium di
Jerman untuk ekstraksi DNA, lalu ekstraksi DNA tersebut dibawa
ke Rotterdam untuk selanjutnya dianalisis.oleh Professor Ingo dan
Mannis Van Oven.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan genetik orang
Nias khususnya dari garis keturunan ayah termasuk kategori
rendah atau dengan kata lain DNA orang Nias tidak begitu
bervariasi. Hanya dua marka genetik kromosom Y yang

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 11


ditemukan, yaitu O-M119 dan O-M110. Kedua marka genetik ini
hanya ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan yang memulai
penyebaran ras Austronesia ke berbagai belahan dunia seperti
Madagaskar, Asia Tenggara, Papua, hingga Easter Island.
Sebagai perbandingan, Mannis van Oven juga menganalisis
darah orang Karo dan orang Batak sebagai etnis yang secara
geografis berdekatan dengan Pulau Nias. Hasil analisisnya
menunjukkan bahwa DNA orang Karo dan orang Batak lebih
bervariasi. Selain itu marka genetik kromosom Y yang ditemukan
yaitu O-M119 dan O-M110 sama sekali tidak terdapat pada sampel
darah orang Karo dan orang Batak. Hal ini mengindikasikan
bahwa nenek moyang orang Nias berbeda dengan nenek moyang
orang Karo maupun orang Batak.
Selanjutnya dengan membandingkan DNA 1.500 sampel dari
38 populasi dari Asia Timur, Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia,
dan Australia, hasil analisis menunjukkan keseragaman DNA
orang Nias. Secara genetik (DNA) orang Nias paling mirip dengan
populasi dari Taiwan dan Filipina.
Secara internal, hasil analisis menunjukkan bahwa semua
sampel yang diteliti memiliki haplogrup O-M119. Walaupun
demikian berdasarkan analisis STR kromosom Y, penyempitan
genetik orang Nias memicu perbedaan yang sangat kuat di antara
11 klan atau marga orang Nias yang dijadikan sampel. Ternyata
secara genetika, orang di Nias di bagian Utara dan Tengah sangat

12 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


berbeda dengan orang Nias di bagian Selatan. Orang Nias di bagian
Utara dan Tengah hanya memiliki marka genetik O-119.
Sedangkan orang Nias bagian Selatan, sama-sama mewarisi marka
genetik O-110 yang dominan pada kromosom Y mereka.
Berdasarkan analisis mtDNA, ada 18 haplogrup yang
ditemukan. Haplogrup ini berkaitan dengan penyebaran orang
Taiwan. Hampir semua haplogrup mtDNA yang terdeteksi di Nias
sama dengan suku asli Asia bagian Timur dan hanya sekitar 2%
haplogrup yang mungkin berasal dari Asia Tenggara. Meskipun
demikian, ruang distribusinya tidak seekstrem pada hasil
kromosom Y.
Semua tipe kromosom Y dan hampir semua tipe mtDNA di
Nias bisa dihubungkan dengan nenek moyang ras Austronesia
yang sebagian besar berasal dari Taiwan, yang kemudian melewati
Filipina dan menyebar ke Pulau-pulau di Asia Tenggara sekitar
4.000-5.000 tahun lalu. Data ini didukung juga dengan bahasa Nias
yang masuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih memerlukan
tindaklanjut karena kesamaan DNA orang Nias dengan Taiwan
hanya 40 persen dan sebagian kecil di Filipina. Hal ini
mengindikasikan bahwa sisanya berasal dari daerah lain. Orang
Nias justru bertalian darah dengan penduduk Taiwan, yang
terpaut jarak 3.500 kilometer ke arah Timur Laut.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 13


Mengacu pada hasil penelitian ini, Mannis Van Oven
menduga orang Nias mewarisi gen mereka dari orang Taiwan
yang bermigrasi ke Indonesia melalui Filipina menuju Kalimantan
dan Sulawesi. Gelombang migrasi manusia modern ini sebenarnya
dimulai dari Afrika. Gelombang ini sampai di Taiwan 6.000 tahun
lalu. Proses aliran gen hingga mencapai Nias 1.000-2.000 tahun
kemudian. Rute ini didukung bukti kemiripan DNA suku Nias
dengan penduduk Filipina. Orang Nias kemungkinan besar berasal
dari Taiwan sekitar 4000-5000 tahun yang lalu.

LEGENDA SIRAO SEBAGAI LELUHUR MASYARAKAT NIAS

Versi Pertama (Sirao Memiliki 3 Anak)


Eduard Fries, seorang misionaris dan pelukis yang tinggal di
Nias selama hampir 16 tahun (1904 – 1920) menulis buku dalam
bahasa Nias berjudul “Nias – Amuata Hulo Nono Niha” yang terbit
tahun 1919. Pada halaman 52-53 buku tersebut, Fries menulis
sebagai berikut:

“ ........ sasese latoeriaigö föna, ba ja’ia wa no moedada föna niha


moroi ba zi sagötö jawa sotöi “Teteholi ana’a“; töi ndra toeara
Zirao, ba töloe nahia dania sitaro ononia: toea Hia, ba no i’agö
noeloe Gomo, si so na “börö nadoe” iroegi ma’öchö; Daeli, ba isawa
Nono Waembo baoeloe Nidanoi; ba toea Gözö, ba jöoe so nahania.

14 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Te toehonia sa, wa tenga ha samboea gatoemboecha Nono Niha, me
no töloe nahia ba zowoelo föna niha sato; ba itoegoe ara, ba itoegoe
faroekaroeka sa’ae, irege dania afonoe niha hoelo andre. Ba heza
si’ai la’otarai ira toea föna, na moroi ba danö Batak, ba na moroi ba
hoelo bö’ö, ba ma na faondra ba da’e zolojo si’oroi ba hoelo tanö
bö’ö, ba lö’ö sa’atö oroma. Ba he lafa’oli wanötöi nqa’ötö, saracha
24-30 wa’oya, ba lö tatoe sa’atö, na doehoe da’ö ba na lö’ö; awai sa
göi nirongoda ba niha bö’ö, ha nisoera Niha Persia föna sotöi
Soleiman, si no möi koemoli ba hoelo Hindria andre ba ndrö 850 fr.
Kr.; no itörö göi hoelo Nias (nifotöinia hoelo “Nian”) ba no so ba da’e
fönania niha sagamoe’i, si no tö’ölö wangai högö iwa’ö. Tobali lö
lala sa’ae iada’e wanechegö si’ai böröta Nono Niha, baero
wanechegö hewisa nga’eoe mboto fabaja chalachala mbawa Nono
Niha: ma atö tola dania lasoe’agö tödöra sanqila watahögö, hewisa
mbörö wa no fabö’öbö’ö si’ai Nono Niha, he wa’ae hatö samboea soi
ira ba wa’ara. Andrö no lafatenge ba ndröfi 1910 moroi ba danö
Hoelöndra sijefo zi no to’ölö wangaloei simanö, sotöi Dr. Kleinweg
de Zwaan, sanörönörö tanöda ba wanoesoe’a misa boto niha; tenga
sa fameta’oe niha geloeaha halöwönia no andrö, ha ba wanechegö
da’ö fefoe, wa no i’ohalöwögoi, ba lö ahori moetanö ba zoera zi no
isöndra ......”

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 15


Artinya adalah:
“Yang sering diceritakan dahulu kala ialah bahwa dulunya
telah diturunkan manusia dari suatu tempat di lapisan atas bumi
yang bernama Teteholi Ana’a. Nama leluhur mereka adalah Sirao.
Mereka ditempatkan pada 3 (tiga) tempat, yaitu: Leluhur Hia
menempati hulu Gomo, lokasi tempat dimana ‘börö nadu’ berada
sampai sekarang; Leluhur Daeli menuju Onoawembo di Hulu
Nidanoi, dan Leluhur Gözö berada di bagian Utara. Barangkali
intinya adalah bahwa orang Nias bukan berasal dari satu
keturunan, karena sejak zaman dahulu manusia sudah mendiami
tiga lokasi. Lama kelamaan, ketiga puak itu bercampur dan
bertambah banyak sampai akhirnya Nias dipenuhi oleh manusia.
Dan dari mana leluhur mereka datang, apakah dari tanah Batak,
atau dari pulau lain, atau apakah merupakah hasil ‘pertemuan’
para pelayar dari pulau lain, tidaklah jelas.
Kendatipun disebutkan silsilah yang 24-30 generasi
banyaknya, kita tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Yang kita
tahu dari sumber asing hanyalah tulisan seorang Persia bernama
Soleiman, yang pernah datang ke kepulauan Hindia ini pada tahun
850 sesudah masehi; Soleiman pernah juga singgah di Nias (yang
disebutnya: “Nian”). Soleiman mengisahkan bahwa di Nias dia
menemukan orang-orang yang biasa memenggal kepala manusia.
Jadi saat ini tidak ada jalan lain untuk menelusuri asal usul orang
Nias, selain penelitian terhadap sosok dan raut muka orang Nias,

16 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


mana tahu dari situ para peneliti bisa menjelaskan mengapa sosok
dan rupa orang Nias berbeda-beda, walaupun mereka telah
membaur cukup lama sehingga menjadi satu suku bangsa. Untuk
itu pada tahun 1910 dari Negeri Belanda diutuslah seseorang yang
ahli di bidang itu yang bernama Dr. Kleinweg de Zwaan yang
mengelilingi Pulau Nias untuk mengukur fisik orang Nias;
pekerjaannya bukan untuk menakut-nakuti orang, tetapi untuk
mencoba mengetahui hal-hal yang disebutkan di atas. Hasil usaha
Dr. Kleinweg de Zwaan ini belum seluruhnya dibukukan”.

Versi Kedua (Sirao Memiliki 9 Anak dan 1 Cucu)


Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya adalah
ciptaan Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan.
Setelah selesai menciptakan semua itu, beliau kemudian
menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut Tora’a. Pohon
itu kemudian berbuah dua buah, yang setelah dierami seekor laba-
laba emas, yang juga merupakan ciptaan Lowalangi, menetaslah
sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Mereka bernama
Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a yang berjenis laki-laki dan
Burutiraoangi Burutiraoana’a yang berjenis perempuan.
Keturunan sepasang dewa pertama ini kemudian mendiami
sembilan lapis langit. Untuk menciptakan sesuatu itu, Lowalangi
mempergunakan udara dari berbagai warna sebagai bahannya.
Warna-warna itu ia aduk dengan tongkat gaib yang disebut sihai.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 17


Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu, yang
bernama Sirao kemudian menjadi raja di langit lapisan pertama,
yang terletak paling dekat dengan bumi. Nama langit lapisan
pertama ini Teteholi Ana’a. Sirao ini mempunyai tiga orang istri,
dan dari mereka itu masing-masing diperoleh tiga orang anak laki-
laki. Di antara kesembilan orang putra Sirao itu, timbul
pertentangan untuk memperebutkan takhta Raja Sirao yang sudah
lanjut usia itu dan hendak mengundurkan diri sebagai raja.
Adapun anak-anak Sirao tersebut adalah:
1) Hiawalangi Sinada
2) Gözö Helahela Danö
3) Daeli Bagambolangi
4) Hulu Börödanö
5) Bawuadanö
6) Zangaröfa
7) Lakindrolai Sitambalina
8) Sifusö Kara
9) Luomewöna
Ada juga versi yang lain, yaitu:
1) Bawuadanö
2) Zangaröfa
3) Bela
4) Simanga Buaweto Alitö
5) Samadu Sonamo Dalö

18 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


6) Hia Walangi Adu alias Hia Walangi Luo
7) Gözö Hela-hela Danö
8) Daeli Sanau Talinga alias Daeli Sanau Tumbo
9) Luomewöna
Selain itu ia mempunyai seorang cucu yang merupakan anak
dari Luo Mewona yang bernama Silogu Hiambanua (anak Luo
Mewona).
Ketika Sirao sudah mulai tua, maka ia selalu memikirkan
siapa di antara anak-anaknya yang akan menggantikannya
menjadi raja kelak di kemudian hari. Anak-anaknya yang
berjumlah 9 (sembilan) orang tersebut semuanya berkambisi
menjadi raja. Oleh sebab itu Sirao mengadakan lomba ketangkasan
menari di atas tombak bermata mata sembilan yang dipancangkan
di suatu lapangan di depan istana. Sayembara itu ternyata
dimenangkan oleh putranya yang bungsu, bernama Luo Mewöna.
Kebetulan sekali putra bungsu inilah anak yang paling dikasihi
oleh Raja Sirao dan juga sangat dihormati rakyatnya. Hal ini
dikarenakan ia memiliki sifat-sifat yang rendah hati, walaupun
sebenarnya ia adalah seorang yang gagah perkasa dan sangat
bijaksana. Sifat-sifat ini juga terlihat sewaktu ia sedang mengikuti
sayembara itu. Oleh karenanya ia segera dikukuhkan menjadi raja
di Teteholi Ana’a, menggantikan ayahnya Sirao yang sudah lanjut
usia.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 19


Untuk menenteramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao
kemudian mengabulkan permohonan mereka untuk diturunkan
ke bumi yang dalam hal ini Pulau Nias. Selain itu, untuk
mengawasi tingkah laku abang-abangnya itu, raja Luo Mewöna
menurunkan juga putera sulungnya yang bernama Silögu Banua di
Hiambanua Onomandra, di negeri Ulu Moro’ö, yang terletak di
Kecamatan Mandrehe sekarang di Kabupaten Nias Barat.
Dari 8 (delapan) orang putra Sirao yang diturunkan, ada 4
(empat) orang yang tidak selamat, yaitu: Bawuadanö, Zangaröfa,
Lakindrolai Sitambalina, dan Sifusö Kara atau dalam versi yang
lain disebut Bawuadanö, Zangaröfa, Bela, dan Simanga Bua Weto
Alitö.
Bawuadanö diturunkan ke bumi yang luas, dan jatuh persis
di tengah-tengah pusaran bumi, sehingga ia menjadi Penopang
Bumi yang dalam bahasa Niasnya dikatakan “Da'ö Zanaya Tanö
Sisagörö, Da'ö Zanaya Tanö Sebolo”. Itulah sebabnya dalam
kepercayaan masyarakat Nias kuno, seseorang dilarang
mengucapkan sumpah palsu dengan menyebutkan nama
Bawuadanö, sebab ia akan marah kalau seseorang melakukan
sumpah palsu dengan menyebut namanya, sehingga orang
tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama pasti akan mati.
Bawuadanö dikenal juga sebagai Laturadanö yang karena terlalu
berat tubuhnya sewaktu diturunkan, terus menembus bumi dan
menjelma menjadi ular besar. Dialah yang menjadi penadah bumi.

20 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Jika timbul perang dan ada darah manusia yang merembes ke
dalam tanah mengenai tubuhnya, maka ia sangat marah dan
menggoyang-goyangkan tubuhnya hingga terjadi gempa bumi.
Untuk menghentikan gempa bumi itu, orang Nias berseru, “Biha
Tuha! Biha Tuha!” Artinya: “Sudah Kakek! Sudah Kakek!” Ucapan
itu diserukan sebagai tanda insaf dan tidak membunuh lagi.
Zangaröfa diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di
tengah-tengah air sehingga ia menjadi Penguasa Air. Itulah
sebabnya dalam kepercayaan masyarakat Nias kuno seseorang
dilarang membuang air besar di sungai karena Zangaröfa akan
marah apabila sumber airnya kotor. Apabila dilanggar maka dapat
menyebabkan kecelakaan / hanyut (ahani) atau tidak
mendapatkan ikan (lö ahulu) kalau hendak mencari ikan di sungai.
Bela diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di atas pohon
yang besar sehingga ia menjadi Penguasa Pohon. Itulah sebabnya
dalam kepercayaan masyarakat Nias kuno, seseorang dilarang
keluar rumah kalau sedang hujan campur panas (teu sino) dan
setelah teu sino biasanya akan dilanjutkan dengan angin kencang
dan hujan lebat, sebab Bela sedang marah karena hutannya
banyak yang dirusak, sehingga ia kekurangan tempat berteduh.
Orang yang keluar rumah saat itu bisa-bisa sakit yang disebut
tesafo, dan akibat hujan deras beserta angin kencang maka dapat
menyebabkan pepohonan bertumbangan dan banjir.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 21


Simanga Bua Weto Alitö atau Samadu Sonamo Dalö
diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di atas batu yang besar
sehingga ia menjadi Guru Ilmu Hitam di Nias. Simanga Bua Weto
Alitö atau Samadu Sonamo Dalö dipercayai sebagai kakeknya
Laowömaru yang punya cita-cita menghubungkan dataran Nias
dengan dataran Sumatera namun tidak sempat karena dia keburu
meninggal.
Selanjutnya, dari kedelapan putra Sirao itu, ada 4 (empat)
orang dapat diturunkan dengan selamat, sehingga menjadi leluhur
mado (marga) orang Nias zaman sekarang. Mereka ini adalah:
1) Hiawalangi Sinada atau disebut juga Hia Walangi Adu atau Hia
Walangi Luo dan sering disingkat “Hia” diturunkan ke bumi
yang luas dan jatuh di daerah Gomo tepatnya di Börönadu.
Hingga saat ini perkampungan Börönadu masih dihuni
penduduk dan di sana masih dapat dilihat peninggalan kuno
megalitkultur, seperti kuburan Hia, tugu-tugu batu, dan
sebagainya yang di antaranya ada yang berumur 3000-4000
tahun. Setelah Hia diturunkan ke bumi, maka bumi Nias di
bagian Selatan menjadi miring. Hia adalah leluhur marga Hia,
Laia, Waruwu, Harefa, Telaumbanua, Gulö, Mendröfa, dan lain-
lain.
2) Gözö Hela-hela Danö, atau disingkat “Gözö” diturunkan ke bumi
dan jatuh di daerah bagian Utara Pulau Nias tepatnya di barat
laut Hilimaziaya Kecamatan Lahewa kemudian mendirikan

22 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


perkampungan pertamanya yang diberi nama Hili Gözö.
Sekarang tinggal puing dengan bukti peninggalannya sepasang
Tugu Batu. Setelah Gözö diturunkan ke bumi, maka bumi Nias
melengkung seperti bungkuk udang. Gözö merupakan leluhur
marga Baeha, Dawölö, dan lain-lain.
3) Daeli Bagambolangi atau disebut juga Daeli Sanau Talinga atau
Daeli Sanau Tumbo sering disingkat menjadi “Daeli”
diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di Tölamaera di Talu
Nidanoi. Kini tinggal puing, dengan bukti peninggalannya
Kuburan Daeli bernisan batu. Daeli termasuk anak kesayangan
dari Raja Sirao, maka ketika Daeli diturunkan ke bumi Pulau
Nias bersamanya diikutsertakan seperangkat perhiasan emas
dan perak, peralatan tombak dan pedang serta berbagai alat
timbangan (raewe-raewe ana’a, raewe-raewe balaki, raewe-
raewe firö, mburusa, gari, afore, lauru, ba wali’era). Setelah
Daeli diturunkan ke bumi, maka bumi Nias menjadi rata dan
tidak lagi melengkung. Daeli merupakan leluhur marga Daeli,
Gea, Larosa, dan lain-lain.
4) Hulu Borodano atau Hulu saja, yang diturunkan di suatu tempat
di Laehuwa, (di tepi sungai Oyo), kecamatan Alasa. Saat ini di
sana tinggal puing dengan bukti peninggalannya beberapa tugu
batu. Hulu merupakan leluhur marga Hulu, Nazara, Zaluchu,
dan lain-lain.
Selain itu, ada seorang cucu Sirao yaitu putera sulung dari

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 23


Luomewöna yang turut diturunkan ke bumi dengan selamat yaitu
Silögubanua.
5) Silögubanua atau disingkat Silögu diturunkan di bumi di
sebelah Barat Pulau Nias dan mendirikan perkampungan
pertamanya di Hiambua (di sebelah Timur Sungai Oyo). Saat ini
sebagian masih dihuni oleh penduduk dan masih terdapat
peninggalan kuno beberapa Tugu Batu. Silögubanua
merupakan leluhur marga Zebua, Zai, Zega, dan Iain-lain.
Perkampungan pertama 5 (lima) orang leluhur inilah yang
menjadi pusat penyebaran penduduk secara bergelombang
menurut waktu lalu mendirikan pemukiman baru. Pemukiman
baru itu juga menjadi pusat kedua penyebaran penduduk.
Demikian seterusnya hingga memenuhi pelosok Pulau Nias dan
bahkan sampai di Kepulauan Hinako (sebelah barat) dan
Kepulauan Batu (sebelah tenggara).
Pada mulanya, sebagai identitas masing-masing keturunan
dari 5 (lima) orang leluhur mereka memakai istilah ono (anak).
Misalnya: Ono Hulu, Ono Gea, Iraono Lase, dan sebagainya. Tetapi
pada masa Pemerintahan Belanda salah satu kebijakan waktu itu
adalah penerbitan surat pas yaitu semacam Kartu Penduduk. Maka
sejak itulah mulai dipergunakan istilah mado (marga). Mado
bukan hanya diambil dari nama leluhur pertama, tetapi juga dari
nama leluhur berikutnya yang lebih terkenal atau memiliki
kejayaaan pada masanya. Demikianlah hingga sampai saat ini kita

24 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


mengenal bermacam-macam mado masyarakat Nias, misalnya:
o Mado dari keturunan Hia adalah: Hia, Laia, Waruwu, Harefa,
Telaumbanua, dan lainnya
o Mado dari keturunan Gözö adalah: Baeha, Dawölö, dan lainnya
o Mado dari keturunan Hulu adalah: Hulu, Nazara, Zaluchu, dan
lainnya
o Mado dari keturunan Daeli adalah: Daeli, Gea, Larosa, dan
lainnya
o Mado dari keturunan Silögubanua adalah: Zebua, Zai, Zega, dan
lainnya

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 25


BAGIAN 2
ASAL USUL MASYARAKAT NIAS SELATAN

Ada berbagai versi cerita rakyat Nias Selatan mengenai asal-


usul nenek moyang mereka, di antaranya adalah legenda
mengenai Inada Samihara Luo (Dewi Matahari). Inada Samihara
Luo lahir dari kabut. Inada Samihara Luo menciptakan manusia
dengan melalui tubuhnya yang terbelah kemudian lahirlah Inada
Samadulo Hösi yang menjadi ibu para dewa dan manusia.
Samadulo Hösi mempunyai 2 (dua) pasang anak kembar. Pasangan
pertama Latura Danö alias Lawaero Watua (pria) dan Hinaya
Ndrao Tane’a Danö alias Hinaya Ndrao Jisiwa Bulua (putri).
Pasangan ini kawin sumbang (incest). Pasangan kedua Sabölö Luo
Gögömi alias Sabölö Luo Sabua alias Lowalani (putra) dan Nadawa
Mölö alias Najaria Mbanua (putri), juga kawin sumbang. Najaria
Mbanuwa sering diidentikkan dengan Silewe Nasarata (Nias
bagian Utara) sebagai penghubung antara penghuni dunia bagian
atas (kaum dewa) dengan penghuni dunia bagian bawah
(manusia), karena di Nias bagian Selatan penghubung itu adalah
Najaria Mbanua. Selain itu ada juga sebagian di wilayah Nias
bagian Selatan dijumpai beberapa mitos asal-usul, di antaranya
adalah Mitos tentang Sihai. Dari berbagai versi cerita tersebut, ada
beberapa persamaan dan tidak jarang pula ada beberapa
perbedaan.

26 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Walaupun demikian, salah satu tradisi yang dapat dijadikan
sumber untuk menggali informasi mengenai asal-usul nenek
moyang masyarakat Nias Selatan adalah melalui syair-syair “hoho”
yang dilantunkan pada acara-acara tertentu.
Konon, di suatu daratan Asia terdapat suatu kerajaan yang
kehidupan masyarakatnya telah diatur sedemikian rupa melalui
titah/peraturan Raja sehingga barang siapa yang melanggar
aturan yang telah ditetapkan Raja akan dikenakan sanksi. Salah
satu ketentuan tersebut adalah bahwa barang siapa yang hamil di
luar nikah (hamil sebelum menikah), maka akan dihukum
gantung. Ketentuan ini telah berlangsung begitu lama dan sudah
banyak wanita yang dihukum gantung akibat hamil di luar nikah,
dan lelaki yang menghamilinya juga tidak terlepas dari hukuman
mati.
Pada suatu waktu, satu-satunya Puteri Raja pada waktu itu
hamil di luar nikah. Khabar ini tersebar sampai ke seluruh pelosok
negeri. Rakyat harap-harap cemas dan menunggu apa tindakan
Raja terhadap puterinya itu, apalagi yang menghamili puterinya
itu adalah seorang pengawal Raja dan kepercayaan Raja yang
gagah perkasa.
Dalam keadaan kalut, Raja memanggil para penasehatnya
untuk meminta pendapat mereka terhadap kejadian itu. Dari hasil
pembicaraan tersebut, keluarlah keputusan Raja bahwa pengawal
Raja yang menghamili Puteri Raja harus dihukum mati, sedangkan

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 27


Puteri Raja dihukum dengan cara dibuang dengan sampan ke
tengah laut yang ditemani seekor anjing sebagai pengawalnya.
Akhirnya, Puteri Raja yang dalam keadaan hamil tersebut
dinaikkan di atas sebuah sampan bersama seekor anjing dan
perbekalan hidup secukupnya dan merekapun dihanyutkan.
Berlayarlah sampan itu, sementara puteri raja bersama anjing
pengawalnya pun pasrah saja kemana pun terbawa angin.
Pada suatu hari, sampan (dalam bahasa Nias disebut “owo”)
Puteri Raja yang dalam keadaan hamil tersebut terdampar dalam
posisi terbalik di Pulau Nias tepatnya di sekitar Luaha Zusua
(muara sungai Susua) di daerah Kecamatan Lahusa sekarang.
Puteri Raja yang dalam keadaan sedih (sakao dödö), dan
menderita/miskin (si numana) untuk pertama kalinya
menginjakkan kakinya di daratan yaitu di daratan sekitar Luaha
Zusua di Pulau Nias. Dalam syair hoho Puteri Raja tersebut
bernama ‘Sibowo Döfi Madala’ yang artinya Puteri Bintang Kejora.
Ada juga beberapa namanya dalam syair hoho, di antaranya
Simadulo Hösi - Simadulo Rao Watua alias Samihara Luo Gögömi -
Samihara Luo Sambua.
Ditinggalkannyalah sampan tersebut di Luaha Zusua, ia naik
ke darat menyusuri sungai Susua ke arah hulu dan tibalah dia di
suatu tempat yang bernama Börönadu di daerah Gomo, di situlah
ia mendirikan tempat berteduh/rumah (dalam bahasa Nias,
rumah disebut “omo”. Tidak lama kemudian tibalah saatnya bagi

28 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


dia untuk melahirkan, maka lahirlah seorang Puteranya yang
ketika dewasa dia beri nama ‘Ho-me-mobörö, Ho-ba-mböröta alias
Ho-ba-vobörö - Voböröta Hia alias Hia Walani Adu - Hia Walani
Luo’. Puteri Raja tersebut yang sering juga disebut “Inada
Samihara Luo” membesarkan Puteranya tersebut sampai dewasa.
Ketika dewasa, dia menyuruh anaknya tersebut untuk menjelajahi
seluruh Pulau Nias guna mendapatkan seorang wanita yang bakal
dijadikan isterinya.
Sebelum diberangkatkan, dia membekali Puteranya itu
sebuah cincin ‘laeturu hara masö, laeturu hara masa’ dengan pesan
bahwa apabila dia bertemu dengan seorang wanita, dia harus
mencobakan cincin tersebut pada jari wanita itu. Apabila cincin
tersebut sesuai dengan jari wanita yang ditemuinya, agar dia
mengambil wanita itu menjadi isterinya.
Berangkatlah sang Putera meninggalkan ibunya di Börönadu
menjelajahi seluruh Pulau Nias. Suatu saat tibalah dia kembali di
Luaha Zusua tempat sampan ibunya dulu terdampar. Karena dia
melihat ada sampan di situ, dia mencoba untuk menetap di daerah
itu dengan harapan dapat bertemu dengan wanita untuk dijadikan
isteri. Ketika dia melihat ada sekam padi yang hanyut di muara
sungai Zusua, diapun beranggapan bahwa di hulu sungai tersebut
kemungkinan ada manusia. Dia pun menyusuri sungai Susua ke
arah hulu dan akhirnya dia bertemu dengan seorang wanita.
Wanita itupun bertanya darimana dia berasal dan mau kemana

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 29


tujuannya. Dia pun menceritakan pesan ibunya untuk menjelajahi
seluruh pulau itu, dan apabila bertemu dengan seorang wanita
maka dia akan memasangkan cincin pemberian ibunya tersebut ke
jari wanita itu dan apabila cincin tersebut sesuai di jari wanita itu,
maka dia akan mengambil wanita itu menjadi isterinya. Wanita
yang ditemuinya tersebut yang memang ibunya sendiri menyadari
bahwa tidak ada penghuni pulau tersebut selain mereka berdua.
Akhirnya cincin tersebut dipasangkan di jari ibunya, dan dia
mengambil ibunya menjadi isterinya.
Hasil perkawinan mereka, lahirlah anak mereka kembar
seorang putera yang diberi nama Sadawa Mölö, dan seorang puteri
yang diberi nama Sorai Zisöma alias Sorai Zösöma yang akhirnya
anak kembar inipun menjadi suami isteri dan dari perkawinan
mereka, lahirlah anak-anak mereka sebagai berikut:
1. Sebua Tendroma
2. Takhi
3. Hondrö
4. Fau
5. Maha
6. Zinö
7. Lalu
8. Ramö
9. Boto
Karena perselisihan akibat kelahiran seekor anak kijang (laoyo),

30 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


maka menyebarlah mereka di berbagai daerah di Pulau Nias, guna
menghindari pertengkaran. Mereka inilah yang menjadi nenek
moyang orang Nias.
Selain itu, ada juga legenda yang berkembang di Nias bagian
Selatan, yaitu ada 3 (tiga) orang laki-laki keturunan Ho (Ho adalah
salah satu anak dari Hia) dari Nias Tengah meninggalkan orang
tuanya dan pergi berkelana ke arah Selatan. Ketiga anak itu
bernama Mölö, Zinö, dan Lalu. Kemudian dari nama-nama
mereka inilah muncul 3 (tiga) öri di Nias bagian Selatan. Mölö
tinggal dan menetap di daerah Maenamölö, Zinö tinggal dan
menetap di daerah Mazinö, dan Lalu tinggal dan menetap di
daerah Ono Lalu.
Mölö yang menurut versi Gomo bernama Sadawamölö
tinggal dan menetap di daerah Maenamölö memiliki 5 (lima)
orang anak laki-laki, yaitu: Takhi, Fau, Maha, Hondrö, dan Boto.
Mereka menyebar di sekitar Hili Onotakhi, Orahili Fau, Siwalawa,
Onohondrö, Botohösi, dan lain sebagainya. Keturunan Takhi
adalah marga Waoma dan Dachi, keturunan Fau adalah marga Fau,
Wau, Manaö, keturunan Maha adalah marga Sarumaha, keturunan
Hondrö adalah marga Hondrö dan keturunan Boto tidak diketahui
sampai sekarang.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 31


BAGIAN 3
KONSEP ÖRI

Apakah yang dimaksud dengan “öri”? Dalam catatan sejarah,


pada masa pemerintahan kolonial Jepang yaitu sekitar tahun
1942, daerah yang dihuni oleh keturunan Ho di Nias bagian
Selatan dibagi dalam 8 (delapan) öri, yaitu: Öri Maenamölö I, Öri
Maenamölö II, Öri Fau I, Öri Fau II, Öri Sarumaha, Öri Mazinö, Öri
OnoLalu, dan Öri To'ene Asi.
Kata “öri” berasal dari nama sebuah benda yang menyerupai
gelang dan terbuat dari sejenis loyang/logam serta kalau
diperhatikan secara seksama tidak akan pernah kelihatan
persambungannya. Konon, gelang tersebut pada mulanya diperoleh
dari seekor babi hutan yang sudah tua (sökha so’öri = babi hutan
bergelang, yaitu babi hutan yang sudah sangat tua). Menurut
legenda yang berkembang öri tersebut merupakan pemberian
bela (sejenis makhluk halus penguasa hutan) dengan tujuan agar
babi hutan tersebut memiliki kekebalan terhadap berbagai jenis
senjata sehingga sangatlah sulit untuk diburu oleh manusia. Pada
sökha so’öri, gelang tersebut terletak pada jungurnya, yaitu pada
taring sebelah bawah, dan diganjal taring sebelah atas sehingga
tidak mudah jatuh. Apabila öri tersebut masih berada/lengket di
badan seekor babi hutan, maka babi hutan tersebut menjadi kebal
terhadap berbagai macam jenis senjata berburu, seperti: pisau,

32 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


tombak, panah, dan lain sebagainya dan bahkan babi hutan
tersebut dapat menghilang. Biasanya same’asu (pemburu babi
hutan), apabila hendak menangkap babi hutan tersebut, mereka
menggunakan jaring yang dibawa sewaktu berburu. Apabila sökha
so’öri sudah masuk dalam jaring sebagai perangkapnya, barulah
öri tersebut dilepaskan. Tentu dengan lepasnya öri dari badan
sökha so’öri maka kekebalan tubuhnya praktis tidak ada lagi dan
sökha so’öri tersebut dapat dibunuh. Anehnya, kemanapun sökha
so’öri ini pergi, ia selalu dikawal beberapa ekor babi hutan yang
pada umumnya memiliki taring panjang dan runcing. Bila sökha
so’öri mau berkubang, babi hutan pengawalnya mengelilingi lokasi
sekitar kubangan, dan bila telah dirasa aman maka öri yang
dimililiki oleh sökha so’öri itu disangkutkan pada suatu tunggul
batang pohon.
Sebagai tambahan, perlu disampaikan bahwa asal muasal
Kalabubu (kalung dalam tari perang masyarakat Nias Selatan)
adalah öri sebagai lambang kesaktian dan kekebalan. Kalabubu
selalu dipergunakan sebagai penghalang kelewang musuh pada
saat musuh hendak menebas leher. Dengan memakai kalabubu
diharapkan kelewang musuh mental dan tidak mampu menebas
leher.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 33


Gambar 1. Kalabubu

Perkembangan selanjutnya öri dijadikan sebagai sebutan


untuk suatu wilayah kekuasaan. Dengan demikian maka öri adalah
sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Tuhenöri
(Kepala öri, atau dapat disebut sebagai Kepala Negeri). Wilayah öri
terdiri dari beberapa kampung (banua). Setiap banua dipimpin
oleh seorang Balö Si’ulu (Balo = ujung, puncak,; Si’ulu = kasta
tertinggi masyarakat Nias Selatan).
Setiap banua yang merupakan suatu kesatuan masyarakat
hukum adat, terdapat kasta-kasta masyarakat sebagai berikut:
1. Si’ulu, yaitu bangsawan atau pemimpin tertinggi dalam suatu
komunitas masyarakat dan keturunannya
2. Si’ila, yaitu cendekiawan atau orang yang memiliki
pengetahuan mengenai adat-istiadat
3. Sato, yaitu masyarakat biasa
4. Sawuyu, yaitu tawanan dari kampung lain atau orang yang
dijadikan budak.
Mengacu pada hal ini, maka secara filosofi tujuan hidup

34 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


masyarakat Nias khususnya masyarakat di Nias bagian Selatan
adalah: Memiliki kemuliaan (perwujudan si’ulu), ilmu
pengetahuan (perwujudan si’ila), anak/keturunan (perwujudan
sato), dan kekayaan (perwujudan sawuyu), atau dalam bahasa
aslinya: Lakhömi (kemuliaan), Fa’onekhe (kepintaran), Ono (anak),
dan Harato (harta). Keempat pilar inilah yang secara simbolis
biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam setiap
rumah adat masyarakat Nias Selatan.
Struktur öri masih bertahan sampai masa pemerintahan
Republik Indonesia. Namun, berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Utara yang pada saat itu dijabat oleh putera
Nias yang bernama Pendeta Roost Telaumbanua, Nomor
222/V/GSU, tanggal 24 Juli 1965, komunitas masyarakat yang
disebut öri dihapus dan banua diganti menjadi desa. Walaupun
demikian, dalam tatanan masyarakat Nias di bagian Selatan öri
tersebut masih eksis khususnya dalam ihwal adat-istiadat.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Mölö dan
keturunannya hidup di daerah Öri Maenamölö. Sebagai akibat
perkembangan kekuasaan dan adat istiadat masing-masing
komunitas, maka keturunan Tachi (sekarang disebut Dachi)
memproklamirkan daerahnya sebagai daerah Maniamölö sehingga
ketika terjadi pemekaran Kecamatan Teluk Dalam, maka daerah
Onotachi diberikan nama sebagai kecamatan Maniamölö.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 35


BAGIAN 4
KERAJAAN ONOTACHI

Tachi mempunyai anak 9 (dua) orang. Anak pertama dan


kedua adalah seorang laki-laki. Faoma merupakan anak pertama,
yang ketika ayahnya menanyakan kepadanya “Kepada siapakah
nama Tachi diberikan ?” Lalu ia menjawab “Faoma manö, Ama”
(artinya: sama saja, ayah). Berdasarkan jawaban itu maka ayahnya
yang bernama Tachi memberi namanya “Faoma” dan kepada anak
ke-2 dia beri nama “Tachi”. Anak ketiga juga seorang laki-laki yang
namanya tidak diketahui, namun sebagian mengatakan bahwa
keturunannya saat ini menggunakan marga Da’o. Anak ke-4
bernama “Gari”, yang setelah dewasa merantau ke daerah Öri
To’ene. Anak ke-5 dan ke-6 adalah puteri. Anak ke-7 bernama
“Waya” yang setelah dewasa merantau ke Pulau Tello. Anak ke-8
dan ke-9 adalah puteri.
Setelah Tachi meningal dunia, maka Faoma diangkat oleh
rakyat menjadi Balö Si’ulu dan didirikanlah kerajaan di puncak
Gunung Hiliamaigila yang pada saat itu dikenal sebagai Hili
Onotachi. Di pihak lain, Kerajaan Fau sebagai kerajaan tetangga
juga berkembang. Kedua kerajaan ini selalu berusaha untuk
memperluas wilayah kekuasaannya baik Kerajaan Onotachi
maupun Kerajaan Fau. Akibatnya kedua kerajaan ini saling
menyerang dan terjadilah perang yang pada masa itu tidak pernah

36 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


berkesudahan. Masing-masing ingin menjadi penguasa daerah
yang ditinggalkan oleh kakek mereka Mölö.
Suatu saat, terjadilah perdamaian antara kedua kerajaan ini
di Zumali (dekat desa Onohondrö sekarang). Perdamaian itu
dilaksanakan dalam suatu acara yang disebut Fondrakö (acara
adat terbesar suku Nias). Dalam kesepakatan itu, pembagian harta
kakek mereka yang bernama Mölö adalah sebagai berikut:
1. Pembagian wilayah kerajaan.
Diletakkan 2 (dua) buah batu besar (daro-daro) di puncak
gunung Hiliamaigila atau sekitar 100 depa dari pintu gerbang
(bawagöli) desa Lahusa Fau sekarang sebagai titik perbatasan
(gola danö). Kemudian dengan mengikuti garis perjalanan
matahari, ditarik garis lurus ke arah laut dan di sisi yang lain
ditarik garis lurus menuju daerah Aramö. Setelah itu
ditetapkanlah bahwa sebelah Timur merupakan daerah Fau
dan di sebelah Barat merupakan daerah Faoma.
2. Harta emas, ¼ untuk Faoma dan ¾ untuk Fau
3. Harta berupa tanaman dan bangunan-bangunan Mölö
disahkan menjadi hak milik Fau di daerah Fau dan hak milik
Faoma di daerah Faoma
4. Ternak dibagi 2 sama banyak
5. Seni budaya:
a. Faoma menjadi pemilik sah: timbangan emas (fanulo
gana’a) dan alat pengukur besarnya seekor babi (afore)

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 37


b. Fau menjadi pemilik sah: alat ukur jumlah padi/beras
(tumba) dan aramba (gendang)
Fondrakö adalah suatu acara musyawarah dari tokoh-tokoh
adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai aspek kehidupan
masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dan bagi yang
melanggar akan dikenakan sangsi adat. Asal muasal Fondrakö di
seluruh kepulauan Nias pada hakekatnya berasal dari Fondrakö
Börönadu sebagai Fondrakö tertinggi di Pulau Nias. Bila suatu
komunitas masyarakat Nias melanggar Fondrakö maka akan
terjadi bala seperti berjangkitnya berbagai jenis penyakit pada
manusia, hewan ternak dan tanaman, bencana alam, atau
peperangan.
Sakralnya pelaksanaan Fondrakö tersebut dapat diketahui dari
syair hoho sebagai berikut:
Ya’afatö vaha zanawö
Ya’aetu mbagi zanerogö
Ya’asila dödö ba ya’aboto dalu zonönö
Ya’aeru vaha ba ya’asila hulu zanalösi
Ba sanosilö’ögö ya löna mowa’a, ya löna molehe, yalöna mona’ötö,
ya mate löna lewatö, ba ya taiha manö mae sau
(Akan patah paha yang melanggar
Akan putus leher yang tidak memperdulikan
Akan pecah jantung dan pecah perut yang menambah
Akan mengecil paha dan terbelah punggung yang mengurangi

38 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


dan yang mengabaikan: ia tidak akan berakar, tidak akan bertunas,
tidak akan memiliki keturunan,
apabila ia meninggal, dia tidak akan memiliki kuburan dan dia
akan hilang seperti hilangnya embun tak berbekas)

Pada umumnya, materi yang dibahas dalam suatu acara


Fondrakö, antara lain:
1) Huku sifakhai ba mboto niha (ketentuan yang menyangkut
tubuh manusia).
2) Huku sifakhai ba gokhöta (ketentuan yang menyangkut harta
kekayaan)
3) Huku sifakhai ba rorogöfö sumane (ketentuan yang
menyangkut etika).
4) Huku sifakhai ba va’auri niha (ketentuan yang menyangkut
proses kehidupan yang terdiri dari: lahir, kawin, mati).
5) Huku sifakhai ba halöwö (ketentuan yang menyangkut
pekerjaan dan pemerintahan).
Setelah Fondrakö yang diselenggarakan di Hili Amaigila atau
Hili Onotachi ditetapkan, maka keputusan-keputusan Fondrakö
menjadi hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian maka seluruh
rakyat di daerah Maenamölö hidup dalam keadaan aman, tertib
dan dapat mencari nafkah serta melakukan kegiatan sehari-hari
tanpa dibayang-bayangi oleh serangan musuh yang biasanya
mendadak.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 39


BAGIAN 5
PERJUANGAN TUHA TOHÖNAVANAETU DACHI

Beberapa tahun kemudian ketenangan dan ketenteraman


itu terusik dengan datangnya suatu gerombolan perampok yang
disebut “bekhua” (=hantu besar) dipimpin oleh seorang yang
sangat sakti bernama Fanambai yang berasal dari daerah Bugis
yang disebut juga Ono Danaju Menivugö. Gerombolan perompak
yang merupakan pelaut ini berjumlah sekitar 70 orang. Para
pelaut ini datang dengan menggunakan perahu layar dan
mendarat di pantai sekitar Onaya kemudian pindah ke daerah
Luahagundre (Lagundri sekarang) dan menetap di daerah sekitar
muara sungai Fadou.
Para pelaut ini memiliki badan yang tinggi, kekar, tegap-
tegap dan memiliki ilmu kekebalan terhadap berbagai jenis
senjata. Siapa yang mereka temui mereka bunuh dan hartanya
dirampok. Apabila yang mereka temui adalah wanita (baik yang
sudah kawin maupun belum) mereka memperkosa wanita itu lalu
mereka bunuh. Perlawanan yang dilakukan oleh penduduk asli
tidaklah berarti karena para perampok ini memiliki postur tubuh
yang jauh lebih besar dan memiliki kesaktian. Selain itu Fanambai
sebagai pimpinan gerombolan selalu dikawal oleh seekor binatang
sejenis harimau yang dalam bahasa Niasnya disebut Harimao.
Binatang ini sangat ganas sehingga tidaklah jarang harimao ini

40 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


turut membunuh dan mayat manusia yang telah dibunuhnya
dimakannya. Akhirnya penduduk asli menjadi sangat ketakutan.
Oleh karena itu penduduk asli merasa tidak nyaman dan secara
terus-menerus dibayangi-dibayangi rasa ketakutan. Hal ini
berlangsung selama hampir 2 (dua) tahun lamanya.
Sementara itu di daerah lain di Nias Tengah atau tepatnya di
Öri Huruna, hiduplah keturunan Halawa (Halawa adalah salah satu
anak dari Ho). Salah satu keturunan Halawa tersebut bernama
Tohönavanaetu Halawa dan sering disingkat Tohalawa atau
Dohalawa. Ketika Tohönavanaetu Halawa berumur 60 tahun, ia
pergi menjelajah untuk mencari nago safusi (rusa / kijang
berwarna putih) karena disuruh oleh ayahnya sebagai makanan
yang akan disantapnya menjelang ajalnya tiba. Selain dia ada juga
saudaranya bernama Lakoya melakukan hal yang sama, namun
Lakoya Halawa menuju daerah Nias bagian Barat sedangkan
Tohönavanaetu Halawa menuju daerah Nias bagian Selatan.
Konon ada juga saudaranya yang menuju Nias bagian Utara dan
kawin di sana sehingga menjadi nenek moyang marga Baeha dan
ada juga yang menuju Nias Tengah yang menjadi nenek moyang
marga Baene.
Dalam penjelajahan Tohönavanaetu Halawa, suatu saat ia
tiba di perkampungan masyarakat Faoma di Hili Onotachi atau
Hiliamaigila sekarang. Atas kedatangannya itu, Siulu Faoma
menceritakan kepada Tohönavanaetu Halawa bahwa ada

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 41


gerombolan perampok dari Bugis yang mengganggu keamanan
dan menyengsarakan rakyat Maenamölö bernama Fanambai. Siulu
Faoma meminta kesediaan Tohönavanaetu Halawa untuk
berperang melawan gerombolan Fanambai. Tohönavanaetu
Halawa pun bersedia namun dengan beberapa persyaratan yang
harus disepakati.
Akhirnya Siulu Faoma dan Tohönavanaetu Halawa membuat
kesepakatan bahwa apabila Tohönavanaetu Halawa dapat
menumpas gerombolan Fanambai, maka:
1. Tohönavanaetu Halawa diterima menjadi keluarga Faoma
2. Semua kekuasaan dan hak milik Faoma menjadi kekuasaan
dan hal milik Tohönavanaetu Halawa
3. Putri bungsu Faoma (berumur 14 tahun dan merupakan anak
kesayangan Faoma) dijadikan isteri Tohönavanaetu Halawa.
Akhirnya selama 2 (dua) tahun lamanya Tohönavanaetu
Halawa berperang untuk membasmi gerombolan Fanambai
sebanyak 70 orang dan berhasil. Sebagai perjuangan terakhir,
Tohönavanaetu Halawa membunuh Fanambai (pimpinan
perampok) di Hinako disaksikan langsung oleh saudaranya
Lakoya Halawa. Walaupun demikian, masih ada 1 (satu) ekor
harimao yang melarikan diri ke tengah hutan belantara ketika
Fanambai dibunuh. Tohönavanaetu Halawa pun mencari harimao
yang lari ke tengah hutan belantara namun tidaklah ditemukan
dan akhirnya dibiarkan.

42 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Atas kemenangan itu, dipukullah gendang di Hinako yang
konon suara gendang itu terdengar sampai di Hili Onotachi
sehingga rakyat Maenamölö tahu bahwa Tohönavanaetu Halawa
telah mampu menghabisi gerombolan Fanambai. Tak lama
berselang, datanglah Tohönavanaetu Halawa ke Hili Onotachi
dengan membawa kepala (binu) Fanambai yang diikat pada
pinggangnya, dilengketkan pada pedang yang digunakan untuk
membunuh Fanambai. Inilah asal muasal gagang pedang di daerah
Onotachi dilengkapi dengan rago ifö yang dipasang pada saembu
(sarung pedang) yang bermakna sebagai “pengganti” kepala
Fanambai.

Gambar 2. Pedang dengan ‘rago ifö’

Atas keberhasilan itu, maka Tohönavanaetu Halawa itu


diberikan gelar “Tuha” sehingga namanya menjadi Tuha
Tohönavanaetu Dachi atau Tuha Tohalawa Dachi atau Tuha
Dohalawa Dachi. Sejak saat itu, Tuha Tohönavanaetu Dachi

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 43


menjadi Raja Onotachi, sedangkan anak-anak Tachi bertugas
sebagai Ere (imam/dukun dalam agama kuno Nias). Oleh sebab itu,
hingga saat ini marga Dachi asli (bukan keturunan Tuha
Tohönavanaetu Dachi) sering juga disebut Na’ötö Gere (keturunan
imam/tabib).
Selama kepemimpinan Tuha Tohönavanaetu Dachi,
masyarakat Onotachi hidup dalam keadaan aman dan damai. Roda
kehidupan masyarakat berjalan nomal kembali. Namun, beberapa
tahun kemudian, secara mendadak pada malam hari
perkampungan Hili Onotachi di Hiliamaigila dibakar oleh rakyat
Kerajaan Fau. Serangan yang bersifat mendadak itu membuat
Kerajaan Onotachi menjadi kacau balau dan tidak sempat
mengadakan perlawanan. Pemerintahan dan kehidupan
masyarakat lumpuh total. Tohönavanaetu Dachi pun akhirnya
membawa rakyatnya mengungsi ke Bawö. Di dalam pengungsian,
masyarakat Kerajaan Onotachi hidup sekedarnya dengan
mengolah tanah di Bawö.
Semakin lama kebutuhan mereka tidak lagi mencukupi dan
Tuha Tohönavanaetu Dachi dan keluarganya yang biasa hidup
berkelimpahan akhirnya tidak dapat bertahan hidup di Bawö.
Tuha Tohönavanaetu Dachi bersama isterinya yang sedang
mengandung dan kedua mertuanya pindah ke Taro’o Zi’o. Di
Taro’o Zi’o, Tuha Tohönavanaetu Dachi selalu mengintip perahu
atau kapal laut yang lewat di tengah lautan dan bila ada kapal yang

44 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


lewat dia membajaknya dan menangkap penumpangnya serta
merampas barang-barang bawaan kapal itu. Itulah cara Tuha
Tohönavanaetu Dachi hidup dan menghidupi keluarganya yaitu
dengan cara merampok kapal yang lewat dan penumpang kapal
ditawannya serta dijadikannya budak.
Selama 4 (empat) bulan Tuha Tohönavanaetu Dachi tinggal
di Taro’o Zi’o, lahirlah anaknya yang pertama seorang laki-laki dan
diberi nama Taliwu Ndraha Dachi. Ketika kelahiran anak raja
mereka dan keberadaan Tuha Tohönavanaetu Dachi terdengar
rakyat Onotachi di Bawö, maka spontan seluruh rakyat yang ada di
Bawö pindah ke Taro’o Zi’o. Delapan tahun kemudian, lahirlah
anak ke-2 Tuha Tohönavanaetu Dachi yaitu seorang putera dan
diberi nama Taihöwa Dachi. Di Taro’o Zi’o itulah kedua mertua
Tuha Tohönavanaetu Dachi meninggal karena sudah lanjut usia.
Setelah Tuha Tohönavanaetu Dachi berumur sekitar 80
tahun ia mengalami sakit-sakitan, lalu ia meminta kepada isteri
dan anak-anaknya supaya diizinkan meninjau isteri-isterinya dan
anak-anaknya yang dia tinggalkan di seluruh kepulauan Nias dan
kemudian ia pulang ke daerah asalnya. Selain itu dia meninggalkan
pesan bahwa masih ada pekerjaannya yang belum tuntas yaitu
menangkap dan membunuh harimao. Setelah diizinkan,
berangkatlah Tuha Tohönavanaetu Dachi namun sampai akhir
hayatnya dia tidak pernah kembali di Taro’o Zi’o.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 45


BAGIAN 6
KETURUNAN TUHA TOHÖNAVANAETU DACHI

Pada bagian sebelumnya, telah disebutkan bahwa Tuha


Tohönavanaetu Dachi memiliki 2 (dua) putera yaitu Taliwu
Ndraha Dachi dan Taihöwa Dachi. Setelah dewasa, Taliwu Ndraha
Dachi menikah dengan seorang gadis penduduk Botohösi yang
bukan keturunan Si’ulu sehingga walaupun dia merupakan anak
sulung dia dianggap tidak memenuhi syarat untuk menjadi
pemimpin menggantikan ayahnya. Di lain pihak, adeknya yang
dianggap layak menjadi pengganti ayahnya yaitu Taihöwa Dachi
masih berumur 11 tahun. Selain itu Taihöwa Dachi menderita
penyakit menahun dan tak kunjung sembuh. Penyakit yang
dideritanya adalah sejenis penyakit kulit (dermatitis) yang
menyebabkan kulitnya busuk dan mengeluarkan bau yang tidak
sedap.
Dalam keadaan demikian maka warga Onotachi seakan
berada dalam situasi “vacum of power” (tidak memiliki pemimpin).
Keadaan ini dimanfaatkan oleh rakyat Fau untuk menyerang
Taro’o Zi’o sehingga seluruh daerah Kerajaan Onotachi menjadi
takluk di bawah kekuasaan Raja Fau. Isteri Tuha Tohönavanaetu
Dachi ditawan dan kemudian dikawinkan kepada Si’ulu Turemba’a
dengan bayaran sejumlah emas sehingga kejadian ini menjadi
olokan bagi Raja Fau dengan istilah “ifamawa ndrona zondrona

46 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


böli gönia ana’a” (dia menjual isteri orang untuk mendapatkan
emas). Runtuhlah Kerajaan Onotachi dan seluruh penduduknya
dibawa sebagai tawanan di Botohösi atau Luaha Gomo yang
sekarang.
Taihöwa Dachi diusir dan akhirnya ia mencoba bertahan
hidup dengan mendirikan pondok-pondok di sekitar pinggiran
sungai Neho (dekat Botohösi). Namun, karena takut dibunuh maka
Taihöwa Dachi berpindah-pindah tempat melalui hutan belantara
sehingga pada akhirnya sampailah ia di Nanöwa dan disanalah ia
menetap dan bertani serta memelihara ternak.
Aneh bin ajaib, setelah 9 (sembilan) tahun lamanya Taihöwa
Dachi menetap di Nanöwa, oleh pertolongan Tuhan, penyakitnya
menjadi sembuh, hasil pertanian dan peternakannya melimpah
ruah, kemudian ia meminang puteri dari keluarga ibunya di
kampung Sondrekha Tanö. Sewaktu ia memperkenalkan diri,
calon mertuanya belum menerima begitu saja bahwa ia adalah
benar-benar anak dari Tuha Tohönavanaetu Dachi. Untuk
membuktikan bahwa ia memang benar anak dari Tuha
Tohönavanaetu Dachi ia harus bertemu dengan ayahnya dan kalau
ayahnya sudah meninggal ia harus mengetahui dimana
kuburannya. Akhirnya ia bersama tunangannya dan ditemani
beberapa orang pergi mencari ayahnya dan dia menemukan
kuburan ayahnya di Nias Tengah. Di sana dia menemukan banyak
saudara-saudaranya sesama marga Halawa. Dia menceritakan

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 47


bahwa ayahnya merupakan Raja Onotachi yang seluruh
wilayahnya saat ini telah dikuasai oleh Raja Fau dan dia berniat
balas dendam serta berniat menghidupkan kembali kerajaan
Onotachi. Saudara-saudaranya pun siap untuk membantu guna
memulihkan kembali bekas kerajaan Tuha Tohönavanaetu Dachi.
Setelah mereka pulang, barulah ia direstui untuk menikahi puteri
pamannya itu.
Akhirnya dengan semangat yang membara, Taihöwa Dachi
mulai melancarkan serangan untuk mengambil kembali kerajaan
Onotachi yang pernah dipimpin oleh ayahnya Tuha
Tohönavanaetu Dachi. Dalam perjuangannya itu selain didampingi
oleh rakyat Onotachi dia juga dibantu oleh saudara-saudaranya
dari Nias Tengah. Puncaknya adalah ketika ia menang berkelahi
dengan 7 (tujuh) orang anak Raja Fau dan membunuh Raja Fau
dengan pedang di Geho (Lahusa Sisarahili / dekat Hilinamazihönö
sekarang). Pada saat di Geho inilah lahir anaknya yang pertama
yang dia beri nama Lahembaewa Dachi (putera) yang artinya
“jejak belut” sebagai kenangan perjalanan hidupnya yang seperti
belut dan susah ditangkap sampai dia berhasil mengembalikan
kejayaan Kerajaan Onotachi.
Setelah menguasai kembali kerajaan Onotachi, Taihöwa
Dachi mengumpulkan kembali rakyatnya dari Taro’o Zi’o. Atas
keberanian dan kebesaran Taihöwa Dachi tersebut maka rakyat
Onotachi beserta abangnya Taliwu Ndraha Dachi memberikan

48 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


gelar “Tuha” kepadanya dengan nama Tuha Farökha.
Setelah beberapa tahun memerintah, lahirlah puteri
Taihöwa Dachi yang bernama Lai ana’a. Sayangnya puterinya ini
hilang dari pangkuan ibunya (nihalö ba hagita) pada saat sedang
menyusui. Waktu itu ibunya menyusui Lai Ana’a tepat di bawah
“lawa-lawa” (bagian atap rumah yang terbuka sebagai sumber
cahaya matahari ke dalam rumah). Oleh sebab itu sampai
sekarang ibu-ibu di daerah ini dilarang menyusui anaknya tepat di
bawah bagian atap yang terbuka (böi finu nonou itahö lawa-lawa =
jangan menyusui anak tepat di bawah lawa-lawa). Anehnya, Lai
Ana’a tidak hilang begitu saja. Konon Lai Ana’a diambil oleh
penguasa langit dan sebagai gantinya turunlah hujan emas (emas
murni 16 karat) sebagai mahar Lai Ana’a. Setelah dihitung maka
jumlah emas yang diturunkan itu adalah 69 batu (1 batu = 10
gram) yang lazim disebut “Sara ambö Fitunafulu” (1 kurang 70).
Inilah asal muasal mahar seorang gadis keturunan Si’ulu di daerah
ini sebesar 1 kurang 70 batu, dengan perincian sebagai berikut:

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 49


No. Uraian Jumlah
(batu)
1. Böli Nafo 3
2. Böli Mboto 27
3. Famokai Mbawa Galawasa 3
4. Tagusö Gana’a 3
5. Böli We Jusu 3
6. Famaluaya Ono 3
7. Famokai Dalu’i 3
8. Böli Nefe Guro 3
9. Böli Mbagolö Gana’a 6
10. Taroma Nawua 6
11. Ö Nono Sebua 3
12. Fondra’u Damo 3
13. Fanara Watö 3
Jumlah 69

Kemudian perincian mahar ini pun akhirnya diterapkan juga


untuk mahar seorang gadis pada umumnya (bukan keturunan
Si’ulu), dengan beberapa pengurangan sehingga mahar tersebut
menjadi 27 batu. Perinciannya adalah sebagai berikut:

50 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


No. Uraian Jumlah
(batu)
1. Böli Nafo 3
2. Böli Mboto 12
3. Famokai Mbawa Galawasa 0
4. Tagusö Gana’a 3
5. Böli We Jusu 0
6. Famaluaya Ono 0
7. Famokai Dalu’i 0
8. Böli Nefe Guro 0
9. Böli Mbagolö Gana’a 0
10. Taroma Nawua 0
11. Ö Nono Sebua 3
12. Fondra’u Damo 3
13. Fanara Watö 3
Jumlah 27

Anak ke-3 dari Taihöwa Dachi bernama Baatu Ra adalah


seorang putera yang setelah dewasa dia menghentakkan kakinya
ke tanah (ibörö danö) dan pergi merantau ke luar Pulau Nias
sehingga sampai saat ini tidak diketahui lagi keturunannya.
Walaupun demikian, ada beberapa orang di Kepulauan Mentawai
yang mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pulau
Nias yang bermarga Dohalawa bernama Tahewa (suatu nama yang

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 51


mirip dengan Taihöwa).
Dengan demikian maka Taihöwa Dachi memiliki 3 (tiga)
orang anak, yaitu:
1. Lahembaewa Dachi gelar Tuha Sondrege Tanö
2. Lai Ana’a Dachi (puteri)
3. Baatu Ra Dachi gelar Tuha Samörö Tanö
Untuk mempertahankan kerajaan Onotachi, Lahembaewa
Dachi dilatih oleh ayahnya Taihöwa Dachi untuk menguasai ilmu
bela diri dan agar memiliki kesaktian sehingga Lahembaewa Dachi
menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, pemberani dan
sangat disegani bukan hanya di Kerajaan Onotachi tetapi juga di
daerah Kerajaan Fau dan Kerajaan Hondrö di Botohösi apalagi ia
merupakan Putera Makhota Kerajaan Onotachi.
Akibatnya Lahembaewa Dachi menjadi sombong dan sering
berbuat sesuka hatinya. Dia bahkan mengeluarkan ultimatum
bahwa seluruh gadis yang cantik di Kerajaan Botohösi dan di
Kerajaan Fau tidak boleh kawin dengan orang lain karena harus
menjadi isterinya. Dengan demikian maka Lahembaewa Dachi
memiliki banyak isteri yang setiap hari dipaksa mengolah tanah
(bertani) dan kemanapun ia pergi harus ditandu oleh isteri-
isterinya secara bergantian termasuk ketika ia pergi berburu ke
hutan yang merupakan kegemarannya. Ironisnya, atas perilakunya
tersebut ayahnya Taihöwa Dachi tidak pernah menegur apalagi
melarangnya.

52 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Suatu hari, untuk menyenangkan ayahnya Taihöwa Dachi
yang sudah tua Lahembaewa Dachi pergi berburu ke tengah hutan
untuk mencari harimao pengawal setia Fanambai musuh
bebuyutan kakeknya Tohönavanaetu Dachi. Setelah beberapa hari
berburu di tengah hutan rimba, akhirnya Lahembaewa Dachi
menemukan Harimao tersebut dan dia tidak membunuh harimao
itu dengan tombak atau pedang tetapi Lahembaewa Dachi
berkelahi secara langsung dengan harimao tersebut sekaligus
untuk membuktikan kehebatan dan kesaktiannya. Perkelahian
berlangsung sengit dan akhirnya Lahembaewa Dachi
memenangkan perkelahian dan membawa harimao tersebut
kepada ayahnya dalam keadaan hidup.
Keberanian dan kesaktian Lahembaewa Dachi inilah yang
dijadikan lambang keberanian dan ketangkasan Onotachi. Ketika
harimao tersebut sampai di istana, beberapa pemuda disuruh
mengikat harimao tersebut di atas tandu dan mengusung tinggi-
tinggi sambil berkeliling kampung. Inilah yang merupakan cikal
bakal “Famadaya Harimao” (upacara pengusungan harimao) di
Kerajaan Onotachi yang dilakukan setiap 7 tahun sekali sebagai
bagian dari Upacara Fondrakö. Acara Famadaya Harimao
dilakukan untuk mengenang kembali keperkasaan nenek moyang
marga Dachi yang bernama Lahembaewa Dachi.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 53


Gambar 3. Famadaya Harimao

Famadaya Harimao awalnya adalah sebuah tradisi yang


dilakukan untuk memberi semangat prajurit berperang. Namun,
seiring pergantian waktu nilai sakral dan makna upacara
berkurang. Satu di antara penyebabnya adalah perkembangan
agama Kristen yang pesat di daerah yang dulunya merupakan
kerajaan ini.
Mengapa di Kerajaan Onotachi mereka tidak mengenal
prosesi “Famatö Harimao”? Untuk diketahui bahwa harimao yang
telah ditangkap hidup-hidup oleh Lahembaewa Dachi dikandang
dan dipelihara di lingkungan istana. Ketika tiba waktunya
“Fondrakö”, harimao tersebut dibawa dengan ditandu ke tempat
berlangsungnya acara Fondrakö (suatu acara untuk menyusun,
menambah, mengurangi, atau meninjau kembali hukum adat yang
dilakukan setiap 7 tahun sekali). Setiba di sana, salah satu materi
pembahasan yang dilakukan adalah mau diapakan Harimao
tersebut. Dalam rapat tersebut banyak usulan yang disampaikan,

54 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


di antaranya: tetap dipelihara, dikembalikan ke tengah hutan,
bergantian memeliharanya, dibunuh dan dijadikan santapan, dan
lain-lain. Akhirnya sebagian besar peserta rapat menyetujui agar
harimao tersebut dipenggal lehernya dan tulang-belulangnya
dipatah-patahkan kemudian dibuang sebagai simbol “buang sial”.
Dalam kondisi demikian, kepalanyalah yang masih utuh. Dari sini
lahirlah kebiasaan “Famatö Harimao” (acara mematah-matahkan
harimao) yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh rakyat Fau
karena rakyat Onotachi yang mengusungnya dan rakyat Fau yang
mematahkannya. Sejak kejadian ini, maka setiap “Fondrakö” selalu
diakhiri dengan acara “Famatö Harimao” yaitu mematah-
matahkan duplikat harimao yang dibuat dari kayu sebagai simbol
“buang sial”. Itulah asal usul makanya di Kerajaan Onotachi tidak
dikenal “Famatö Harimao” tetapi yang dikenal adalah “Famadaya
Harimao”.
Selain itu, bentuk kepala harimao yang masih utuh inilah
yang menjadi cikal bakal dari bentuk “ndrana mbelewa gari”
(gagang kelewang) di daerah ini karena binatang tersebut
dianggap sakti sehingga apabila gagang kelewang dibentuk/diukir
menyerupai kepala binatang ‘harimao’ maka kelewang tersebut
memiliki tuah atau memiliki kesaktian.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 55


Gambar 4. Ndrana Mbelewa Gari

Kendati demikian, Famadaya Harimao tetap menunjukkan


identitas diri marga Dachi sebagai keturunan ahli-ahli perang.
Upacara ini sekaligus menunjukkan bahwa perang menjadi tema
besar dalam pemikiran komunitas marga Dachi yang desa
tradisional terakhirnya adalah Hilisimaetanö. Tak heran jika
Kerajaan Onotachi termasuk sebuah kerajaan yang sangat disegani
di Nias bagian Selatan, bahkan pada saat orang-orang Jerman
mendarat di Pulau Nias mereka mengenal 2 (dua) tempat yang
dianggap sebagai pusat pemerintahan di Kepulauan Nias, yaitu
Gunungsitoli yang disebut sebagai ibukota Nias bagian Utara dan
Hilisimaetanö sebagai ibukota Nias bagian Selatan. Di kedua

56 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


tempat inilah untuk pertama kalinya didirikan berbagai sarana
sosial seperti Rumah Sakit Umum dan sekolah sebagai tempat
pendidikan. Sejak terbentuknya Pemerintahan Republik
Indonesia, desa Hilisimaetanö merupakan desa yang terbanyak
penduduknya di Pulau Nias, namun saat ini desa besar
Hilisimaetanö tersebut telah dimekarkan menjadi 9 (sembilan)
desa pada Pemerintahan Defenitif pertama Kabupaten Nias
Selatan.

Gambar 5. Perlengkapan Tari’Perang

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 57


Perkawinan resmi Lahembaewa Dachi adalah ketika ia
memperisteri anak keturunan Si’ulu di Lahusa Fau. Dalam
perkawinannya ini, ia memperoleh anak yang dia beri nama
Lahemböwö Dachi yaitu seorang putera yang lahir di Kampung
Hili Mbaewa atau di daerah Taro’o Zi’o (di antara kampung
Hilimbulawa dengan Amandraya sekarang). Nama perkampungan
Lahembaewa ini merupakan pemberian Lahembaewa Dachi
setelah ayahnya Taihöwa Dachi meninggal karena di
perkampungan inilah dulunya dia memindahkan rakyatnya dari
kampung Geho. Tragisnya, Lahembaewa Dachi meninggal karena
dia dibunuh oleh para selirnya yang banyak dengan cara dia
dibakar dalam api besar yang menyala-nyala.
Kerajaan ini selanjutnya dipimpin oleh Lahemböwö Dachi
yang telah menikah di kampung Hili Oföna Luo. Karena kondisi
alam di sekitar Lahembaewa tidak lagi mendukung, maka
Lahemböwö Dachi memindahkan rakyatnya di sekitar daerah
Fao’e yang sekarang dan perkampungan itu dia beri nama Hili
Lowalani.
Di Hili Lowalani lahir 3 (tiga) putera Lahemböwö Dachi,
yaitu:
1. Lataögö Dachi
2. Sawuamböwö Dachi
3. Wa’atuha Dachi (Tuha Ilawa Luo)

58 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


Pada suatu saat, ketika anak-anak Lahemböwö Dachi masih
kecil-kecil perkampungan Onotachi di Hili Lowalani diserang oleh
Kerajaan Fau dan peperangan itu dimenangkan oleh Kerajaan Fau
sehingga sebagian daerah kerajaan Lahemböwö Dachi terutama di
bagian Selatan menjadi milik Kerajaan Fau. Kejadian tersebut
sangatlah berbekas di hati anak-anak Lahemböwö Dachi terutama
anaknya yang bungsu yang bernama Wa’atuha Dachi.
Setelah anak Lahemböwö Dachi yang bernama Wa’atuha
Dachi berumur 19 tahun, ia menyampaikan niatnya kepada
ayahnya untuk menyerang kerajaan Fau agar wilayah kerajaan
Onotachi yang telah dikuasai oleh Fau direbut kembali. Usulan
tersebut ditolak mentah-mentah oleh ayahnya Lahemböwö Dachi
yang merupakan Raja Onotachi pada waktu itu. Adapun alasan
ayahnya adalah karena kerajaan Fau jauh lebih banyak dari
Onotachi, dimana pada waktu itu rakyat Onotachi yang dapat
dikerahkan untuk berperang hanya sekitar 150 orang sedangkan
Kerajaan Fau sekitar 2000 orang.
Sejak kejadian itu, berpikirlah Wa’atuha Dachi bagaimana
caranya untuk menyerang kerajaan Fau walaupun dengan jumlah
pemuda yang bisa diharapkan untuk berperang relatif sedikit.
Suatu saat muncullah inspirasinya untuk ‘berguru’ ilmu hitam.
Maka berangkatlah Wa’atuha Dachi ke Tögi Mbögi di daerah
Lahömi dan di sana ia berguru selama kurang lebih 6 (enam)
bulan. Sepulang dari Lahömi, ia mengusulkan kepada ayahnya

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 59


agar kampung Hili Lowalani guna persiapan penyerangan
kerajaan Fau. Usulannya inipun ditolak oleh ayah dan saudara-
saudaranya.
Walaupun usulannya ditolak, dengan dendam kesumat yang
terpatri di dadanya untuk menyerang kerajaan Fau, akhirnya
Wa’atuha Dachi memberanikan diri pindah ke Bawöhösi dan pada
saat itu hanya 17 Kepala Keluarga yang mengikutinya. Sampai di
Bawöhösi Wa’atuha Dachi mendirikan perkampungan bersama
pengikutnya dan kampung itu diberi nama Bawö Maniamölö.
Bermodalkan ilmu hitam yang dimilikinya, Wa’atuha Dachi
mulai memerangi kampung-kampung kecil yang ada di sekitarnya.
Secara perlahan, kampung-kampung kecil dikalahkan dan
ditaklukkan serta rakyatnya di bawa ke Bawö Maniamölö menjadi
budaknya. Selama 9 (sembilan) tahun dia memerangi kampung-
kampung kecil di sekitarnya akhirnya kampung Bawö Maniamölö
menjadi perkampungan yang besar dengan penghuni sekitar 200
Kepala Keluarga dan ada sekitar 270 orang laki-laki yang bisa
diharapkan untuk berperang. Semakin lama kampung Bawö
Maniamölö yang dipimpin oleh Wa’atuha Dachi semakin ditakuti
dan disegani.
Setelah dirasa kuat, mulailah Wa’atuha Dachi memerangi
kerajaan Fau. Sasaran pertama adalah kampung Orahili Fau
karena inilah pusat kerajaan Fau dan di kampung inilah rakyat
terbanyak kerajaan Fau. Pada peperangan ini kerajaan Fau tidak

60 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


sanggup melawan dan takluk yang akhirnya menyerah dan
dibuatlah perdamaian dengan syarat bahwa seluruh bekas daerah
kerajaan Onotachi yang dikuasai kerajaan Fau dikembalikan
menjadi wilayah kekuasaan Wa’atuha Dachi. Akhirnya kerajaan
Onotachi pun pulih kembali dan seluruh rakyat yang tadinya
tinggal di Hili Lowalani akhirnya mengikuti jejak Wa’atuha Dachi,
berbondong-bondong pindah ke Bawö Maniamölö. Artinya bahwa
pusat kerajaan Onotachi adalah Bawö Maniamölö dan Wa’atuha
Dachi diberi gelar Tuha Ilawa Luo.
Sebelumnya telah disampaikan bahwa Lahemböwö Dachi
memiliki 3 (tiga) putera , yaitu: Lataögö Dachi, Sawuamböwö
Dachi, dan Wa’atuha Dachi.
Adapun anak Lataögö Dachi (anak pertama Lahemböwö
Dachi) adalah:
1. Balaki (puteri), setelah dewasa kawin dengan anak keturunan
Si’ulu Botohösi yang bernama Faösi’aro Hondrö (seorang yang
buta matanya)
2. Tuhozatarö Dachi (putera), pada umur 5 tahun ayahnya
meninggal sehingga ia dipelihara oleh adek ayahnya yang
paling bungsu yang bernama Wa’atuha Dachi
Adapun anak Sawuamböwö Dachi (anak ke-2 Lahemböwö
Dachi) adalah:
1. ----------- atau namanya tidak diingat lagi, tetapi anaknya
bernama Sindruhu Dachi.

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 61


a. Sindruhu Dachi pada isterinya pertama memperoleh anak
yang diberi nama Tofali Dachi, dan Tofali Dachi
memperanakan Nieli Dachi (ex Wedana 1948) dan
Benyamin Dachi (tinggal di Pulau Tello)
Anak Nieli Dachi ialah:
 Samsidar Dachi
 Letkol (Purn) Edu Dachi
 Edi Dachi
 Siwa Dachi
 Asril Dachi
b. Sindruhu Dachi pada isterinya kedua memperoleh anak
yang diberi nama Sao’ötö Dachi
Anak Sao’ötö Dachi :
 ----------- (seorang puteri) yang kawin pada Moharo
Dachi (anak Samacho Dachi) dan anak mereka
seorang puteri bernama Sarina Dachi
 Sohuku Dachi (putera)

Sedangkan Wa’atuha Dachi (anak ke-3 Lahemböwö Dachi),


setelah menetap 15 tahun di Bawö Maniamölö lalu ia menikah di
kampung Lahusa kepada seorang puteri keturunan Si’ulu dan anak
pertamanya dia beri nama Faösi’aro Dachi. Tujuh tahun kemudian
lahir lagi anaknya yaitu seorang putera dan diberi nama Faotu’eho
Dachi. Dua tahun berikutnya lahir anaknya seorang puteri yang

62 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias


diberi nama Sai’ö / Lai.
Setelah itu, Wa’atuha Dachi menikah lagi di Hili So’aya juga
kepada seorang puteri keturunan Si’ulu di kampung Hilisondrekha
dan dari pernikahan ini ia mempunyai 3 orang putera, yaitu:
1. Laedawa / Kamega Dachi
2. Kondre Dachi
3. Ondrechata Dachi
Selain anak-anaknya itu, Wa’atuha juga memelihara anak
abangnya yang bernama Lataögö Dachi yaitu Tuhozatarö Dachi.
Walaupun demikian Tuhozatarö Dachi sudah diangkatnya menjadi
anaknya sendiri. Sehingga secara keseluruhan anak Wa’atuha
Dachi adalah :
1. Faösi’aro Dachi gelar Tuha Maenamölö
2. Faotu’eho Dachi gelar Tuha Aneramö
3. Sai’ö / Lai
4. Laedawa / Kamega Dachi gelar Tuha Samega Tanö
5. Kondre Dachi
6. Ondrekhata Dachi
7. Tuhozatarö Dachi

------------₪₪₪----------

Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias | 63


Penulis

Penulis adalah Rahmat Alyakin Dachi,


keturunan ke-9 dari Tuha Tohönavanaetu
Dachi dengan silsilah sebagai berikut:

1) Tuha Tohönavanaetu Dachi memperanakkan Taihöwa Dachi


gelar Tuha Farökha
2) Taihöwa Dachi memperanakkan Lahembaewa Dachi gelar
Tuha Sondrege Tanö
3) Lahembaewa Dachi memperanakkan Lahemböwö Dachi gelar
Tuha Sanuri Niha
4) Lahemböwö Dachi memperanakkan Wa’atuha Dachi gelar
Tuha Ilawa Lani
5) Wa’atuha Dachi memperanakkan Faösi’aro gelar Tuha
Maenamölö
6) Faösi’aro Dachi memperanakkan Faohiniwaö Tuha Meziwa
Lawa
7) Faohiniwaö Dachi memperanakkan Hewafaohi Dachi dengan
nama baptisan katolik Alexander Hewafaohi Dachi
8) Hewafaohi Dachi memperanakkan Imanuel Dachi
9) Imanuel Dachi memperanakkan Rahmat Alyakin Dachi

64 | Börögu: Asal Usul Saya Sebagai Orang Nias

Anda mungkin juga menyukai