Anda di halaman 1dari 160

MODEL KOMPETENSI JABATAN

KEPALA DINAS KESEHATAN


KABUPATEN ATAU KOTA

RAHMAT ALYAKIN DAKHI

PENERBIT CV. PENA PERSADA

i
MODEL KOMPETENSI JABATAN
KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN ATAU KOTA

Penulis:
Rahmat Alyakin Dakhi

ISBN : 978-623-315-420-8

Editor:
Rusfik Yulli Anur Wati

Design Cover :
Retnani Nur Briliant

Layout :
Eka Safitry

Penerbit CV. Pena Persada


Redaksi :
Jl. Gerilya No. 292 Purwokerto Selatan, Kab. Banyumas
Jawa Tengah
Email : penerbit.penapersada@gmail.com
Website : penapersada.com Phone : (0281) 7771388
Anggota IKAPI

All right reserved


Cetakan pertama : 2021

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang


memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa
izin penerbit

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah Swt,


atas segala rahmat dan karunianya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul “Model
Kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Atau
Kota“. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
karya ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu penyusunan buku ini.
Sehingga buku ini bisa hadir di hadapan pembaca.
Dalam buku ini membahas tentang model kompetensi
jabatan kepala dinas kesehatan kabupaten atau kota. Pengukuran
dan pengkajian (assesment) kompetensi jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota dilakukan melalui suatu standar
kompetensi yang merupakan persyaratan yang harus dimiliki
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota merupakan kemampuan dan
karakteristik yang dimiliki berupa pengetahuan, keterampilan
atau keahlian, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam
menjalankan tugas-tugas dan fungsi jabatannya selaku Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Berdasarkan uji
kompetensi, dapat diketahui apakah seseorang yang menduduki
jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota telah
memiliki kompetensi tertentu yang dipersyaratkan, jika belum
memiliki kompetensi yang disyaratkan, dapat dilakukan
pengembangan kompetensi tersebut dengan cara pelatihan, atau
perlu dilakukan mutasi sehingga kompetensi juga bermanfaat
untuk training need analysis.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan guna penyempurnaan buku ini. Akhir kata
saya berharap Allah Swt berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu.
Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................iv

BAB I Pendahuluan ................................................................................ 1

A. Hak Asasi Kesehatan di Indonesia ......................................... 1

B. Kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau


Kota ............................................................................................. 4

C. Kinerja Pembangunan Kesehatan Masyarakat Antar


Kabupaten Atau Kota ............................................................... 6

BAB II PEMERINTAHAN DAERAH ................................................ 11

A. Otonomi dan Perangkat Pemerintah Daerah. ..................... 11

B. Tugas dan Wewenang Daerah di bidang Kesehatan. ........ 14

C. Dinas Kesehatan Daerah. ....................................................... 16

BAB III KOMPETENSI ......................................................................... 22

A. Pengertian Kompetensi. ......................................................... 22

B. Pengukuran Kompetensi. ...................................................... 33

BAB IV DIMENSI KOMPETENSI KEPEMIMPINAN ..................... 36

A. Spencer dan Spencer. ............................................................. 36

B. American College of Healthcare Executives (ACHE). ....... 43

C. United States Department of Health and Human Service. 44

D. American Organization of Nurse Executives (AONE). ..... 46

E. The Northern Ireland Practice and Education Council for


Nursing and Midwifery (NIPEC). ........................................ 47

F. Aspek Juridis Standar Kompetensi Jabatan Kepala Dinas


Kesehatan. ................................................................................ 49

G. Dimensi Kepemimpinan Lokal. ............................................ 56

iv
BAB V PERMODELAN KOMPETENSI .............................................65

A. Pengertian Model Kompetensi. ............................................. 65

B. Tahapan Permodelan Kompetensi. ...................................... 67

BAB VI DIMENSI DAN INDIKATOR KOMPETENSI JABATAN


KEPALA DINAS KESEHATAN .................................................76

A. Prestasi dan Tindakan ............................................................ 76

B. Pelayanan ................................................................................. 78

C. Kepemimpinan ........................................................................ 79

D. Manajerial ................................................................................. 80

E. Berpikir ..................................................................................... 82

F. Efektivitas Pribadi ................................................................... 83

G. Kepemimpinan Lokal ............................................................. 84

BAB VII PENGUKURAN KOMPETENSI JABATAN KEPALA


DINAS KESEHATAN KABUPATEN ATAU KOTA. ..............86

A. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ....................... 86

B. Pendekatan Kualitatif (Model Pertama) Kompetensi


Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. ... 89

C. Pendekatan Kuantitatif (Model Kedua) Kompetensi


Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. ... 98

BAB VIII KOMPETENSI JABATAN KEPALA DINAS


KESEHATAN KABUPATEN ATAU KOTA ...........................100

A. Kompetensi Prestasi dan Tindakan. ................................... 102

B. Kompetensi Membantu dan Melayani. .............................. 115

C. Kompetensi Kepemimpinan. ............................................... 119

D. Kompetensi Manajerial. ....................................................... 123

E. Kompetensi Berpikir. ............................................................ 124

F. Kompetensi Efektivitas Pribadi. .......................................... 125

v
G. Kompetensi Kepemimpinan Lokal..................................... 130

H. Kebaruan (novelty) ............................................................... 132

BAB IX IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................................................... 141

BAB X PENUTUP ............................................................................... 143

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 145

LAMPIRAN ......................................................................................... 153

vi
BAB I
Pendahuluan

A. Hak Asasi Kesehatan di Indonesia


Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana
tercantum dalam konstitusi World Health Organization (WHO)
tahun 1946 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki
hak atas informasi kesehatan, privasi, menikmati teknologi
kesehatan, ketersediaan makanan dan gizi, mencapai jaminan
standar hidup optimal dan jaminan sosial. Hak asasi
kesehatan tersebut di Indonesia telah ditegaskan dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa setiap orang
berhak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal
serta memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan juga
merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan
nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945. Penyelenggaraan pembangunan
kesehatan merupakan investasi untuk keberhasilan
pembangunan suatu bangsa karena Sumber Daya Manusia
(SDM) yang sehat merupakan jaminan kesinambungan
pembangunan bangsa.
Kesehatan yang dalam Undang-Undang (UU) Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan didefinisikan sebagai
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis, merumuskan bahwa
orientasi penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan tidak
terbatas hanya pada upaya-upaya mensejahterakan fisik,
mental, dan sosial tetapi juga spiritual sehingga setiap
penduduk memiliki kualitas hidup yang produktif baik secara
sosial maupun secara ekonomi.

1
Mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dilakukan
dengan berbagai pendekatan, baik pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada beberapa dasawarsa
terakhir menunjukkan paradigma pembangunan kesehatan
telah mengalami perubahan dari “health for survival” yang
berorientasi pada orang sakit dan mengutamakan berbagai
upaya kuratif dan rehabilitatif menjadi “health for human
development” yang mengutamakan orang sehat dan
berorientasi pada berbagai upaya promotif dan preventif.
Selaras dengan itu indikator kinerja pembangunan kesehatan
tidak lagi terbatas hanya pada berbagai indikator pelayanan
medis semata, tetapi juga berbagai indikator pelayanan
kesehatan masyarakat seperti perilaku, penyakit menular,
kesehatan lingkungan, dan kepemimpinan kesehatan. Oleh
sebab itu, kinerja pembangunan kesehatan dengan
pendekatan paradigma“health for human development”
diarahkan pada peningkatan peranan kepemimpinan
kesehatan dalam berbagai aspek pembangunan kesehatan
terlebih bahwa kepemimpinan kesehatan masyarakat bersifat
komplementer dengan pendekatan kepemimpinan medis atau
kedokteran. Pendekatan ini juga merupakan konsekuensi
bahwa upaya kesehatan dilakukan melalui berbagai
pendekatan yang bersifat multi dimensi, multi sektoral dan
bahkan multi disiplin keilmuan secara komprehensif karena
paradigma ini memposisikan masyarakat bukan hanya
sebagai objek pembangunan kesehatan tetapi juga sebagai
subyek pembangunan kesehatan itu sendiri.
Definisi Ilmu Kesehatan Masyarakat sebagaimana
dikemukakan Winslow (1920) yang dikutip Ede dan Amal
(2017) merumuskan bahwa Ilmu Kesehatan Masyarakat
adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang
hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan
efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk
meningkatkan sanitasi lingkungan, pengendalian infeksi di
masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan
perorangan, pengorganisasian pelayanan medis dan

2
perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan
pengembangan aspek sosial, yang akan mendukung agar
setiap orang di masyarakat mempunyai standar kehidupan
yang kuat untuk menjaga kesehatannya. Mengacu pada
definisi tersebut maka pengorganisasian masyarakat dan
pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan
merupakan proses penting dalam upaya diagnosa dini,
pencegahan penyakit dan pengembangan aspek sosial yang di
era otonomi daerah dewasa ini aktor utamanya adalah
organisasi Dinas Kesehatan Daerah.
Kepemimpinan organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota merupakan unsur penting dan strategis dalam
menentukan kinerja pembangunan kesehatan nasional
mengingat bahwa kinerja pembangunan kesehatan nasional
merupakan hasil kumulatif dari kinerja pembangunan
kesehatan daerah. Istianto (2011) menegaskan bahwa pada
sebuah organisasi pemerintahan, keberhasilan atau kegagalan
dalam pelaksanaan tugas dan penyelenggaraan
pemerintahan, dipengaruhi oleh kepemimpinan. Kapasitas
organisasi yang didukung oleh kepemimpinan yang baik
akan menghasilkan kinerja organisasi pemerintahan yang
baik, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan salah
satu sebab keruntuhan kinerja organisasi pemerintah di
Indonesia. Pemimpin bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan organisasi yang
dipimpinnya.
Kepemimpinan kesehatan juga merupakan unsur
Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan yang
merupakan salah satu pilar Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden RI Nomor
72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
Kepemimpinan kesehatan berperan dominan dalam
keberhasilan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan.
Kinerja organisasi kesehatan akan baik apabila pemimpinnya
memiliki kompetensi yang memadai dalam menjalankan
fungsi-fungsi organisasi, sebaliknya apabila pemimpin tidak

3
memiliki kompetensi yang memadai maka akan timbul
berbagai persoalan yang dapat menghambat atau
mempengaruhi kinerja organisasi.

B. Kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten


atau Kota
Istilah kompetensi di bidang pekerjaan untuk pertama
sekali muncul sekitar awal tahun 1970-an ketika seorang
ilmuwan Amerika Serikat menerbitkan sebuah artikel yang
berjudul “Testing for Competence rather than Intelligence”
(menguji kompetensi bukannya inteligensi). Menurut Spencer
dan Spencer (1993), pengujian kompetensi pertama sekali
dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat
dalam menyeleksi calon pegawai pada bagian pelayanan
informasi luar negeri atau Foreign Service Information Officer
(FSIO). Metode seleksi yang sebelumnya didasarkan pada
pengujian inteligensi dan prestasi akademik ternyata tidak
mampu memberikan perkiraan yang tepat terhadap
keberhasilan FSIO pada saat bekerja sehingga akhirnya
diganti menjadi pengujian kompetensi.
Kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota dapat diartikan sebagai kemampuan dan karakteristik
yang dimiliki oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota berupa pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan
sikap perilaku yang diperlukan dalam menjalankan tugas-
tugas dan fungsi jabatannya selaku Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Kompetensi merupakan kombinasi
antara keterampilan, karakter pribadi, dan pengetahuan yang
tercermin melalui kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Kompetensi
kepemimpinan kesehatan dapat dibedakan menjadi 2 bagian,
yakni: soft competency yang berkaitan dengan kemampuan
untuk mengelola pekerjaan di bidang kesehatan dan
membangun interaksi dengan orang lain dan hard competency
yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis di
bidang kesehatan. Kompetensi teknis bidang kesehatan tidak

4
hanya diartikan sebagai kemampuan (capability) atau keahlian
(expertise) dan keterampilan (skill) semata, namun lebih
merupakan hasil dari pengalaman yang melibatkan
pemahaman atau pengetahuan, tindakan nyata serta proses
mental yang terjadi dalam jangka waktu tertentu serta
berulang-ulang sehingga menghasilkan kemampuan atau
keahlian di bidang kepemimpinan kesehatan.
Pengukuran dan pengkajian (assesment) kompetensi
jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
dilakukan melalui suatu standar kompetensi yang merupakan
persyaratan yang harus dimiliki dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsi jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota. Seseorang bisa saja memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang memadai di bidang kesehatan, tetapi hal
itu bukan jaminan bahwa yang bersangkutan akan bekerja
sesuai dengan kemampuannya itu. Pendekatan kompetensi
menggali lebih jauh mengenai motif, watak dan konsep diri
yang mendasari seseorang untuk dapat mempergunakan
pengetahuan dan keterampilannya secara maksimal dalam
bekerja. Robin dan Timothy (2010) mengatakan bahwa kajian
kompetensi mampu memprediksi kinerja dalam jabatan atau
profesi di masa yang akan datang. Standar Kompetensi
Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota juga
bermanfaat untuk membantu dalam melakukan evaluasi atau
penilaian kinerja Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota. Identifikasi kompetensi yang akurat dapat
dipergunakan sebagai tolok ukur kemampuan seseorang
dalam jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Berdasarkan uji kompetensi, dapat diketahui apakah
seseorang yang menduduki jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota telah memiliki kompetensi tertentu
yang dipersyaratkan, jika belum memiliki kompetensi yang
disyaratkan, dapat dilakukan pengembangan kompetensi
tersebut dengan cara pelatihan, atau perlu dilakukan mutasi
sehingga kompetensi juga bermanfaat untuk training need
analysis.

5
C. Kinerja Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Antar Kabupaten Atau Kota
Provinsi Sumatera Utara merupakan Provinsi ke-4
berpenduduk terbanyak di Indonesia dan Provinsi
berpenduduk terbesar di luar Pulau Jawa dengan jumlah
penduduk 14.102.911 jiwa (BPS, 2017) dengan berbagai
keanekaragaman suku, budaya, dan bahasa daerah. Kinerja
pembangunan di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat
berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) yang merupakan kumpulan indikator kesehatan yang
dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan kesehatan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan
indikator IPKM, tahun 2013 Provinsi Sumatera Utara
menempati urutan ke-10 dari 33 Provinsi di Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa IPKM Provinsi Sumatera Utara
dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia masih jauh
dari yang diharapkan. Selain itu, pada tahun 2018 dari 100
Kabupaten atau Kota di Indonesia yang menjadi sasaran
intervensi pemerintah pusat karena terjadinya anak kerdil
(stunting) terdapat 4 Kabupaten atau Kota di Provinsi
Sumatera Utara yaitu Langkat dengan prevalensi 55.48%,
Padang Lawas dengan prevalensi 54.86%, Nias Utara dengan
prevalensi 54.83%, dan Gunungsitoli dengan prevalensi
52.32%.
Capaian pembangunan kesehatan di Provinsi Sumatera
Utara yang masih rendah, semakin tertantang dengan adanya
kesenjangan keberhasilan pembangunan kesehatan
masyarakat antar Kabupaten atau Kota di Provinsi Sumatera
Utara. Kesenjangan tersebut dapat diketahui berdasarkan
indikator IPKM 2013. Kisaran IPKM Kabupaten atau Kota di
Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 berada pada 0,3690-
0,6511 dengan posisi Kabupaten atau Kota menempati
peringkat 12 sampai dengan 486 dari 497 Kabupaten atau
Kota di Indonesia. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan
indikator IPKM tahun 2018. Kesenjangan ini merupakan
tantangan tersendiri dalam mencapai berbagai target yang

6
telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals atau SDGs). Keberhasilan SDGs
tidak terlepas dari peranan Pemerintah Kabupaten atau Kota
karena berada lebih dekat dengan warganya, memiliki
wewenang dan dana, dapat melakukan berbagai inovasi, serta
merupakan ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan dan
berbagai kebijakan serta program kesehatan.
Kesenjangan kinerja pembangunan kesehatan antar
Kabupaten atau Kota di Provinsi Sumatera Utara dan juga
provinsi lain di Indonesia merupakan indikasi kesenjangan
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota,
karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
keberhasilan atau kegagalan organisasi Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dipengaruhi oleh kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota sebagai pimpinan
organisasi. Oleh sebab itu sangatlah beralasan ketika UU
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
menegaskan bahwa pengembangan karir Aparatur Sipil
Negara (ASN) yang dalam hal ini termasuk jabatan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dilakukan berdasarkan
kompetensi.
Kebijakan tersebut juga merupakan upaya untuk
mewujudkan penyelenggaraan pembangunan di bidang
kesehatan melalui pemerintahan yang baik (good governance).
Kenyataan menunjukkan bahwa sejak penerapan otonomi
daerah pengangkatan seseorang dalam jabatan Kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau yang saat ini dikenal
sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) termasuk jabatan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota kurang
memperhatikan aspek kompetensi. Setelah pergantian Kepala
Daerah, Kepala Dinas Kesehatan juga mengalami pergantian
bahkan ada yang di-nonjob-kan dan diganti dengan PNS lain
yang memiliki kedekatan dengan Kepala Daerah tanpa
mempertimbangkan aspek kompetensi yang bersangkutan.
Perlunya kedekatan dengan Kepala Daerah didasari asumsi
bahwa jabatan adalah kepercayaan; walaupun asumsi

7
tersebut tidak memiliki dasar legalitas tetapi fenomena inilah
yang sering dipraktekkan. Keadaan ini diperparah lagi
dengan kenyataan bahwa pengembangan karier ASN
dilakukan melalui pendekatan senioritas kepangkatan
sehingga melahirkan ASN yang lebih berorientasi pada
mengejar senioritas kepangkatan daripada berupaya
meningkatkan dan mengembangkan kompetensi sesuai
dengan jabatan yang diembannya. Mekanisme pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian ASN dalam jabatan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang dilakukan secara
terbuka dengan mempertimbangkan aspek kompetensi
diharapkan dapat mengeliminir intervensi politik dalam
penempatan pejabat birokrasi, menghapus praktek-praktek
negatif dalam pengangkatan pejabat seperti jual beli jabatan,
menghindari pengangkatan pejabat yang tidak sesuai
kompetensi dan pemberian jabatan sebagai balas budi, serta
praktek-praktek lainnya yang tidak sesuai kaidah-kaidah good
governance.
Diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara merupakan babak baru di Indonesia
dalam kebijakan dan manajemen SDM Kepemimpinan ASN
dari sistem karir tertutup (closed career system) menjadi
sistem karir terbuka (open career system) sekaligus menjadi
solusi terbaik dalam penanggulangan praktik pengangkatan
pimpinan tinggi dalam berbagai organisasi pemerintah oleh
Kepala Daerah termasuk jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota selama ini yang lebih cenderung like and
dislike.
Pengisian jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota sebagai Pimpinan Tinggi Pratama dilakukan secara
terbuka dan kompetitif di antara ASN berdasarkan
kompetensi. Teknis pelaksanaannya telah dijabarkan lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 13 tahun
2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di
Lingkungan Instansi Pemerintah.

8
Kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan seleksi dan
pengembangan karir ASN termasuk untuk menduduki
jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dalam
UU tersebut dalam penerapannya bervariasi antara daerah
yang satu dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan belum
jelasnya substansi ataupun materi uji kompetensi dalam
bentuk dimensi dan indikator terutama dalam memilih,
mengangkat, menetapkan maupun menilai kelayakan ASN
dalam jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi
pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman
bekerja secara teknis; kompetensi manajerial yang diukur dari
tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan
pengalaman kepemimpinan; dan kompetensi sosial kultural
yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan selain menimbulkan multitafsir juga belum
dapat dioperasionalisasikan dalam suatu standar kompetensi
kepemimpinan.
Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan yang
ditetapkan sebelum lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara tentu saja perlu ditinjau
kembali agar dapat dijadikan sebagai penjabaran kompetensi
teknis, kompetensi manajerial, dan kompetensi sosial kultural
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara termasuk untuk jabatan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Fungsi utama ilmu kesehatan masyarakat dalam buku
The Future of Public Health yang diterbitkan Institute of Medicine
(dalam Ede dan Amal, 2017) adalah asessment (pengkajian),
policy development (pengembangan kebijakan), dan assurance
(jaminan). Kajian (assessment) terhadap kompleksitas
organisasi dan beragamnya urusan pemerintahan di bidang
kesehatan di daerah yang cenderung semakin rumit,
perkembangan tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan semakin berkembang dalam nuansa

9
otonomi daerah, kemajuan teknologi kedokteran dan
kesehatan yang pesat serta situasi globalisasi dunia, dan
kesenjangan kinerja pembangunan di bidang kesehatan
diharapkan menghasilkan dimensi dan indikator pembentuk
model kompetensi yang dapat dipergunakan sebagai standar
minimal dalam memilih, mengangkat, menetapkan maupun
menilai kelayakan ASN dalam jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Perubahan kebijakan dari
sistem karir tertutup menjadi sistem karir terbuka sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara memerlukan pengembangan kebijakan (policy
development) dalam bentuk Permenkes tentang Standar
Kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota yang sekaligus sebagai penyesuaian Permenkes Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan terhadap UU Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Penetapan Standar
Kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota oleh pemerintah merupakan jaminan (assurance)
dihasilkannya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
yang memenuhi standar kompetensi yang diharapkan
sehingga berbagai masalah tersebut di atas dapat
ditanggulangi dan diantisipasi sedini mungkin. Hal inilah
yang melatarbelakangi penggalian, identifikasi, dan
konfirmasi dimensi dan indikator pembentuk model
kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota ini dilakukan.

10
BAB II
PEMERINTAHAN DAERAH

Pembangunan kesehatan nasional merupakan resultante


pembangunan kesehatan di berbagai daerah di Indonesia.
Pembangunan kesehatan pada era otonomi daerah sangat
tergantung pada kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan di daerah untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pada
bagian ini diuraikan konsep otonomi daerah dan
perangkatnya, tugas dan wewenang daerah di bidang
kesehatan serta peranan, tugas pokok dan fungsi organisasi
Dinas Kesehatan di daerah.

A. Otonomi dan Perangkat Pemerintah Daerah.


Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah,
otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah.
Berdasarkan bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos
dan nomos. Autos berarti sendiri dan nomos berarti pemerintah.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri"
atau "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah"
adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Istilah
otonomi daerah adalah wewenang atau kekuasaan pada
suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola
untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu
sendiri. Hakikat otonomi daerah adalah wewenang, hak dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Otonomi daerah adalah perwujudan dari
pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas
desentralisasi yakni penyerahan urusan pemerintah kepada
daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

11
Istilah otonomi daerah memiliki makna yang berbeda
dengan desentralisasi. Menurut Hendratno (2009), istilah
otonomi lebih cenderung berada dalam aspek politik-
kekuasaan negara sedangkan desentralisasi lebih cenderung
berada dalam aspek administrasi negara. Antara
desentralisasi dengan otonomi daerah mempunyai hubungan
yang sangat erat sehingga sangat susah untuk dipisahkan
antara keduanya karena otonomi daerah lahir karena adanya
desentralisasi. Otonomi daerah merupakan persoalan
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang telah diberikan sebagai wewenang daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada
acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi
yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah
kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung
jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan
menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-
masing termasuk kearifan lokal. Keadaan ini merupakan
kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk
membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan
kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya
suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan
kemauan pemerintah untuk melaksanakannya. Pemerintah
daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka
membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar
ketentuan perundang-undangan. UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Widjaja (2007) mengatakan bahwa prinsip otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat

12
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945. Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota
menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Inspektorat, Dinas,
Badan, dan Kecamatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah telah menegaskan bahwa Dinas Daerah
merupakan unsur pelaksana urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah, yang dipimpin oleh Kepala
Dinas dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah,
melaksanakan tugas pokok membantu Kepala Daerah
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang diberikan
kepada daerah. Dinas mempunyai fungsi: (a) perumusan
kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya, (b) pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya, (c) pelaksanaan
evaluasi dan pelaporan sesuai dengan lingkup tugasnya, (d)
pelaksanaan administrasi dinas sesuai dengan lingkup
tugasnya, dan (e) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh
Kepala Daerah terkait dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 217 dan 218 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa Dinas dibentuk untuk
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah, yang diklasifikasikan atas: (a) Dinas tipe
A yang dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang
besar, (b) Dinas tipe B yang dibentuk untuk mewadahi

13
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
dengan beban kerja yang sedang, dan (c) Dinas tipe C yang
dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang kecil.
Penentuan beban kerja tersebut didasarkan pada jumlah
penduduk, luas wilayah, besaran masing-masing Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan
kemampuan keuangan Daerah untuk Urusan Pemerintahan
Wajib dan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga
kerja, dan pemanfaatan lahan untuk Urusan Pemerintahan
Pilihan.

B. Tugas dan Wewenang Daerah di bidang


Kesehatan.
Permenkes Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan, menjelaskan
bahwa standar pelayanan minimal di bidang kesehatan yang
dilaksanakan di daerah meliputi :
1. Setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai
standar
2. Setiap ibu bersalin mendapatkan pelayanan persalinan
sesuai standar
3. Setiap bayi baru lahir mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai standar
4. Setiap balita mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai
standar
5. Setiap anak pada usia pendidikan dasar mendapatkan
skrining kesehatan sesuai standar
6. Setiap warga negara Indonesia usia 15 - 59 tahun
mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar
7. Setiap warga negara Indonesia usia 60 tahun ke atas
mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar
8. Setiap penderita hipertensi mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar
9. Setiap penderita Diabetes Melitus mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar

14
10. Setiap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar
11. Setiap orang dengan TB mendapatkan pelayanan TB
sesuai standar, dan
12. Setiap orang berisiko terinfeksi HIV (ibu hamil, pasien TB,
pasien IMS, waria atau transgender, pengguna napza, dan
warga binaan lembaga pemasyarakatan) mendapatkan
pemeriksaan HIV sesuai standar.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan
tegas merumuskan pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan
Daerah Kabupaten atau Kota. Wewenang Kabupaten atau
Kota di bidang kesehatan adalah:
1. Upaya Kesehatan
a. Pengelolaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKP)
Daerah Kabupaten atau Kota dan rujukan tingkat
Daerah Kabupaten atau Kota.
b. Pengelolaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
Daerah Kabupaten atau Kota dan rujukan tingkat
Daerah Kabupaten atau Kota.
c. Penerbitan izin rumah sakit kelas C dan D dan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat Daerah Kabupaten atau
Kota.
2. SDM Kesehatan
a. Penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan.
b. Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk
UKM dan UKP Daerah Kabupaten atau Kota.
3. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Minuman
a. Penerbitan izin apotek, toko obat, toko alat kesehatan
dan optikal.
b. Penerbitan izin Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT).

15
c. Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1
tertentu dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
(PKRT) kelas 1 tertentu perusahaan rumah tangga.
d. Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada
industri rumah tangga.
e. Pengawasan post-market produk makanan-minuman
industri rumah tangga.
4. Pemberdayaan Masyarakat bidang Kesehatan
Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
melalui tokoh Kabupaten atau Kota, kelompok
masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia
usaha tingkat Kabupaten atau Kota.

C. Dinas Kesehatan Daerah.


Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota merupakan
salah satu perangkat di daerah yang membantu Kepala
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
mempunyai tugas membantu Bupati atau Walikota
melaksanakan Urusan Pemerintahan di bidang kesehatan
yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan
yang diberikan kepada Daerah Kabupaten atau Kota.
Fungsi Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota adalah
sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan
kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan PKRT serta
sumber daya kesehatan;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan
kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan PKRT serta
sumber daya kesehatan;
a. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang
kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian
penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat
kesehatan dan PKRT serta sumber daya kesehatan;

16
b. Pelaksanaan administrasi dinas sesuai dengan lingkup
tugasnya; dan
c. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala
Daerah terkait dengan bidang kesehatan.
Permenkes Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pedoman
Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten atau Kota telah merumuskan 3 tipe organisasi
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yaitu tipe A, B, dan C.
Penentuan kriteria tipologi Perangkat Daerah untuk
menentukan tipe Perangkat Daerah didasarkan atas variabel
umum dengan bobot 20%; dan variabel teknis dengan bobot
80%. Kriteria variabel umum ditetapkan berdasarkan
karakteristik Daerah yang terdiri atas indikator jumlah
penduduk, luas wilayah, dan jumlah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Kriteria variabel teknis
ditetapkan berdasarkan beban tugas utama pada setiap
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Kabupaten atau Kota serta fungsi penunjang urusan
pemerintahan. Kriteria variabel teknis terdiri atas indikator
jumlah penduduk; dan kepadatan penduduk.
Berdasarkan Permenkes Nomor 49 Tahun 2016 tentang
Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten atau Kota, Dinas Daerah dibedakan dalam 3
tipe terdiri atas:
1. Dinas Daerah tipe A mewadahi pelaksanaan fungsi Dinas
Kabupaten atau Kota dengan beban kerja yang besar. Unit
kerja pada Kabupaten atau Kota tipe A, mempunyai unit
kerja yang terdiri atas:
a. 1 sekretariat dengan paling banyak 3 sub bagian.
b. 4 bidang dengan masing-masing bidang paling banyak
3 seksi.
2. Dinas Daerah tipe B mewadahi pelaksanaan fungsi Dinas
Kabupaten atau Kota dengan beban kerja yang sedang.
Unit kerja pada Kabupaten atau Kota tipe B, mempunyai
unit kerja yang terdiri atas:
a. 1 sekretariat dengan paling banyak 2 sub bagian.

17
b. 3 bidang dengan masing-masing bidang paling banyak
3 seksi.
3. Dinas Daerah tipe C mewadahi pelaksanaan fungsi Dinas
Kabupaten atau Kota dengan beban kerja yang kecil. Unit
kerja pada Kabupaten atau Kota tipe C, mempunyai unit
kerja yang terdiri atas:
a. 1 sekretariat dengan paling banyak 2 subbagian.
b. 2 bidang dengan masing-masing bidang paling banyak
3 seksi.
Pengelompokan rumpun fungsi menjadi acuan dalam
penetapan besaran struktur organisasi Dinas Kesehatan.
Pengelompokkan fungsi dasar yang diturunkan dari
kewenangan setiap urusan dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik layanan yang dihasilkan. Pengelompokan
rumpun untuk Kabupaten atau Kota adalah sebagai berikut:
1. Rumpun Upaya Kesehatan
a. Penyelenggaraan upaya kesehatan primer
Penyelenggaraan upaya kesehatan primer
termasuk:
1) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat,
meliputi kesehatan keluarga, gizi, kesehatan kerja
dan olahraga, kesehatan tradisional dan
komplementer, kesehatan lingkungan, pencegahan
dan pengendalian penyakit, surveilans kesehatan
dan respon KLB (Kejadian Luar Biasa),
kekarantinaan kesehatan, pengendalian masalah
kesehatan jiwa dan Narkotika, Alkohol,
Psikotropika dan Zat adiktif serta pengembangan
SIK (Sistem Informasi Kesehatan);
2) Penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan;
3) Penyelenggaraan pengelolaan sumber daya manusia
untuk UKM dan UKP meliputi perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan, dan pengembangan
sumberdaya manusia;

18
4) Pengelolaan pelayanan kefarmasian, perbekalan
kesehatan, dan makanan dan minuman untuk UKM
dan UKP meliputi perencanaan, pengadaan,
pendistribusian, dan penggunaannya; dan
5) Pengelolaan potensi sumber daya dalam rangka
kemandirian masyarakat untuk hidup sehat melalui
Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat
(UKBM).
b. Penyelenggaraan upaya kesehatan rujukan
Penyelenggaraan upaya kesehatan rujukan
meliputi kesehatan rujukan dan sistem rujukan
termasuk:
1) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat
rujukan, meliputi kesehatan keluarga, gizi,
kesehatan kerja dan olahraga, kesehatan tradisional
dan komplementer, kesehatan lingkungan,
pencegahan dan pengendalian penyakit, surveilans
kesehatan dan respon KLB, kekarantinaan
kesehatan, pengendalian masalah kesehatan jiwa
dan Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat
adiktif, dan pengembangan SIK;
2) Penyelenggaraan pengelolaan sumber daya manusia
untuk UKM dan UKP meliputi perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan, dan pengembangan
sumberdaya manusia;
3) Pengelolaan pelayanan kefarmasian, perbekalan
kesehatan, dan makanan dan minuman untuk UKM
dan UKP meliputi perencanaan, pengadaan,
pendistribusian, dan penggunaannya; dan
4) Pengelolaan potensi sumberdaya dalam rangka
kemandirian masyarakat untuk hidup sehat melalui
UKBM.
c. Pelayanan penerbitan izin dan klasifikasi Rumah Sakit
Kelas C dan D serta Fasilitas pelayanan kesehatan
daerah Kabupaten atau Kota.

19
1) Rumpun Sumber Daya Manusia
Penyelenggaraan sumber daya manusia meliputi:
a) Pelayanan penerbitan surat izin praktek tenaga
kesehatan;dan
b) Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan
untuk UKM dan UKP Daerah Kabupaten atau
Kota.
2) Rumpun Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan
Makanan Minuman. Penyelenggaraan pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan
minuman meliputi:
a) Penerbitan atau pencabutan izin apotek, toko
obat, toko alat kesehatan dan optikal, dan tindak
lanjut hasil pengawasan;
b) Penerbitan atau pencabutan izin usaha mikro
obat tradisional dan tindak lanjut hasil
pengawasan;
c) Penerbitan atau pencabutan sertifikat produksi
alat kesehatan kelas 1 tertentu dan PKRT kelas 1
tertentu perusahaan rumah tangga serta
tindaklanjut hasil pengawasan;
d) Penerbitan atau pencabutan sertifikat produksi
makanan dan minuman pada industri rumah
tangga; dan
e) Penerbitan sertifikat laik sehat terhadap pangan
siap saji, uji sampel, izin iklan dan tindak lanjut
hasil pengawasan.
Berdasarkan Permenkes Nomor 49 Tahun 2016 tentang
Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten atau Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota dipimpin oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota yang bertugas memimpin dan menyelenggarakan
urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Kepala Dinas Kesehatan adalah PNS
dengan pangkat Pembina Utama Muda/Golongan IVc atau

20
Pembina Tingkat I/Golongan IVb dengan sekurang-
kurangnya 2 tahun masa kerja golongan. Kepala Dinas
kesehatan sekurang-kurangnya Sarjana Strata-1 Kesehatan
atau Diploma IV Kesehatan dengan Sarjana Strata-2 bidang
Kesehatan, lebih diutamakan dengan peminatan
Epidemiologi Kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan adalah
PNS yang pernah atau sedang menduduki jabatan
administrator paling singkat 2 tahun, atau sedang menduduki
jabatan fungsional jenjang ahli madya bidang kesehatan
sekurang-kurangnya 2 tahun; dan memiliki pengalaman
kerja di bidang kesehatan secara kumulatif sekurang-
kurangnya 5 tahun. Kepala Dinas Kesehatan sekurang-
kurangnya telah mengikuti dan lulus Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan III, atau sederajat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; telah mengikuti
pelatihan teknis sekurang-kurangnya tentang Sistem
Pelayanan Kesehatan, sistem manajemen informasi kesehatan,
pengembangan komunitas, surveilans epidemiologi,
manajemen bencana yang dibuktikan dengan sertifikat
pelatihan.
Penetapan persyaratan jabatan tersebut merupakan hal
yang dinamis dan perlu terus disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kebutuhan dan perkembangan organisasi. Hal terpenting
dalam pelaksanaan penataan organisasi adalah komitmen
yang tinggi dari berbagai pihak dan terus berupaya
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

21
BAB III
KOMPETENSI

Kompetensi merujuk pada keterampilan dan


pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu sesuai standar yang dituntut dalam suatu organisasi
tertentu. Berikut ini diuraikan pengertian dan pengukuran
kompetensi yang pernah dikemukakan oleh para ahli dan
organisasi dan cara pengukurannya.

A. Pengertian Kompetensi.
Kata “kompeten” berasal dari kata kerja latin
“competere (com+petere)” yang berarti “datang bersama-sama,
setuju untuk pergi ke”. Berdasarkan bahasa Perancis
“compéter” berarti “dalam persaingan dengan”, dalam bahasa
Latin “compete” berarti “berusaha kesamaan”. Kata
“competent” disamakan dengan kata “suitable (cocok)” yang
dalam bahasa Perancis diartikan sebagai “cukup, tepat,
cocok“ dan dalam bahasa Latin “competere" diartikan sebagai
“bertepatan, setuju atau mampu”. Di lain pihak kata
“competence” diartikan sebagai “persaingan, pasokan yang
cukup” yang dalam bahasa Latin “competere” berarti
“pertemuan bersama-sama, menjadi nyaman atau pas atau
kecukupan menangani apa yang ditangani”. Kata
“kompetensi” sebagai kata benda diartikan sebagai
“kecukupan untuk memenuhi keinginan hidup, dalam bahasa
Latin kata “competentia” diartikan “pertemuan bersama-
sama, atau perjanjian” . Di lain pihak menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), kata “kompeten” diartikan
sebagai “cakap”, berkuasa (memutuskan, menentukan)
sesuatu”, dan “berwenang”, sehingga kata “kompetensi”
diartikan sebagai “kewenangan atau kekuasaan untuk
menentukan atau memutuskan sesuatu”.

22
Istilah “competence” secara sederhana merujuk pada
keterampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge) yang
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu sesuai
standar yang dituntut dalam suatu organisasi tertentu.
Walaupun demikian istilah kompetensi berbeda dengan
istilah keterampilan, kemampuan dan pengetahuan.
Kompetensi tidak hanya memiliki pengetahuan, keterampilan
atau kemampuan, tetapi kemampuan untuk melakukan
tindakan yang paling tepat dengan peranan pengetahuan,
keterampilan atau kemampuan (Grant dan Young, 2010). Hal
ini berarti bahwa kompetensi dapat dicirikan sebagai yang
berkaitan dengan pengetahuan, karakteristik, keterampilan
dan sikap atau perilaku yang berhubungan dengan kinerja
dari pekerjaan, tugas atau peran.
Praktek yang sering ditemukan antara lain terjadinya
kerancuan dan perbedaan pendapat tentang konsep
kompetensi mulai dari arti dan definisi kompetensi sampai
pada teknik penerapannya. Kerancuan dan perbedaan
pendapat tersebut terutama di negara Amerika Serikat dan
Inggris lebih disebabkan perbedaan istilah kompetensi yang
sering digunakan yaitu: competence dan competency. Kedua
istilah tersebut merujuk pada sebuah “kondisi” atau
“kualitas” yang menjelaskan “kemampuan (ability)”
dan “ketepatan (fitness)” dalam konteks kerja tetapi batasan
dan aplikasinya berbeda. Kompetensi adalah kapasitas yang
ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut
mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan
dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu
mencapai hasil yang diharapkan. Woodruffe (2000),
membedakan competence dan competency. Competence diartikan
sebagai konsep yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu
menunjukkan wilayah kerja dimana orang dapat menjadi
kompeten atau unggul, sedangkan competency merupakan
konsep dasar yang berhubungan dengan orang, yaitu
menunjukkan dimensi perilaku yang melandasi prestasi
unggul.

23
Dualisme pemakaian istilah competence dan competency
terjadi juga pada lingkungan instansi dan lembaga
pemerintah di Indonesia yang disebut sebagai kompetensi.
Lembaga atau instansi pemerintah yang menangani
pendidikan dan keterampilan seperti Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Ketenagakerjaan
mengartikan kompetensi dalam arti “competence”. Istilah
“kompeten” (competent) digunakan dalam konteks
kompetensi teknis (skills). Sebagai akibatnya, untuk
menunjukan bahwa tingkat “kompetensi” seseorang telah
mencapai level atau standar yang ditetapkan harus diakui
dan diverifikasi oleh komunitas praktisi dalam profesi
tersebut. Pengakuan tersebut biasanya diberikan dalam
bentuk sertifikasi atau akreditasi. Di lain pihak, beberapa
kementerian dan instansi pemerintahan lainnya justru lebih
memilih menggunakan konsep competency yang diartikan
sebagai “sumber” dari kemampuan (ability) yang merupakan
karakteristik-karakteristik mendasar (dan tersembunyi) dari
seseorang yang mempunyai hubungan kausal (sebab akibat)
dengan unjuk kerja unggul atau istimewa atau efektif
menurut kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu dalam
sebuah pekerjaan atau situasi tertentu.
Menurut Spencer dan Spencer (1993), gerakan
pengujian kompetensi merupakan perubahan dari pengujian
berbasis intelegensi dan prestasi akademik yang ternyata
tidak mampu memprediksi kinerja individu menjadi
pengujian kompetensi yang diduga mampu memprediksi
kinerja individu. Pendekatan penilaian kompetensi
Mc.Clelland (1992) dalam bukunya Behavioral Event Interview
(BEI) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang ditempuh,
yaitu:
1) Mencari individu yang memiliki kinerja tinggi, dan
membandingkannya dengan individu berkinerja rendah.
2) Menggabungkan teknik seleksi sebelumnya (critical
incident method) dalam teknik yang baru, misalnya
karakteristik sumber daya manusia yang melakukan

24
pekerjaan dengan baik. Individu-individu diminta untuk
memikirkan beberapa aspek penting terhadap keadaan
yang berkaitan dengan pekerjaannya sehingga
menimbulkan hasil yang baik atau buruk. Kemudian
keadaan tersebut diuraikan secara rinci sehingga dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan: situasi saat ini, pihak-
pihak yang terlibat, hal yang dipikirkan mengenai yang
dirasakan, situasi yang diharapkan, hal yang dilakukan
dan hasilnya (what led up to the situation, who was involved,
what did you think about feel, want to have happen in the
situation, what did you do and what was the outcome).
3) Menganalisis transkrip tersebut yang berhubungan
dengan informasi tentang keberhasilan dan
ketidakberhasilan para pimpinan untuk mengidentifikasi
karakteristik yang membedakan kedua fenomena tersebut.
Analisis biasanya lebih ditekankan pada perilaku yang
menunjukkan kinerja yang tinggi ketimbang yang rata-
rata. Perbedaan tersebut diterjemahkan ke dalam tujuan
dan definisi sistem skoring yang dapat dipercaya oleh
masing-masing pengamat.
Beberapa pengertian kompetensi yang dikemukakan
para ahli dan beberapa organisasi, yaitu:
1. Spencer dan Spencer (1993), kompetensi adalah
karakteristik dasar seseorang yang ada hubungan sebab
akibat dengan prestasi kerja yang luar biasa atau dengan
efektivitas kerja. Hubungan sebab akibat mengindikasikan
bahwa keberadaan kompetensi, mendemonstrasikan,
memprediksi atau menyebabkan suatu kinerja unggul.
2. Rowe (1995), kompetensi sebagai keterampilan atau
standar kinerja. Kompetensi mengacu pada perilaku yang
dicapai, menggambarkan apa yang seseorang lakukan,
sementara yang lain berfokus pada bagaimana mereka
melakukannya.
3. Stuart dan Lindsay (1997), kompetensi adalah pernyataan
nilai yang diberikan kepada yang lain dalam organisasi
tertentu. Nilai yang ditempatkan pada seorang pimpinan

25
organisasi yang mampu melakukan dan “menjadi” dengan
cara yang sangat dihargai dan dibutuhkan oleh organisasi
4. Sparrow (1997), kompetensi adalah perilaku berulang,
yaitu mereka yang menetapkan pola-pola perilaku, yang
terkait dengan prestasi kerja dan membedakan kinerja
yang baik dari kinerja rata-rata.
5. Wynne dan Stringer (1997), kompetensi sebagai hal-hal
yang harus diketahui oleh dan dilakukan oleh seseorang
untuk mencapai output yang dibutuhkan dalam pekerjaan
mereka.
6. Ulrich (1998), kompetensi bersama-sama dengan
komitmen dipandang sebagai faktor pembentuk modal
intelektual organisasi. Kompetensi atau modal manusia
dipandang sebagai kombinasi dari pengetahuan,
keterampilan, inovasi, dan kemampuan (ability) individu
anggota organisasi yang dapat digunakan untuk
menghasilkan pelayanan profesional.
7. Woodruffe (2000), kompetensi adalah seperangkat pola
perilaku pemegang jabatan yang menghantarkannya
dalam jabatan tersebut untuk melakukan tugas dan
fungsinya.
8. Amstrong (2001), kompetensi (competences)
menggambarkan apa yang dibutuhkan seseorang agar
mampu mengerjakan sesuatu dengan lebih baik. Konsep
ini lebih terfokus pada dampak yang diakibatkan daripada
usaha yang dilakukan, atau lebih menekankan output
daripada input, sedangkan kompetensi (competency) adalah
dimensi perilaku yang menentukan kinerja yang
kompeten. Kompetensi (competency) sering diistilahkan
sebagai kompetensi perilaku (behavioral competency) yang
bertujuan untuk menggambarkan bagaimana seseorang
akan berperilaku ketika mendapatkan suatu peran
tertentu.
9. Heffernan dan Flood (2000), kompetensi berbasis proses
didasarkan pada kepercayaan yang mungkin untuk
mengidentifikasi, mengisolasi perilaku yang ditunjukkan

26
lebih konsisten dengan karyawan berkinerja baik daripada
karyawan yang melakukannya dengan rata-rata.
10. Miller, dkk (2001), kompetensi diartikan sebagai
kecakapan, keterampilan, kemampuan, sedangkan
kompeten berarti cakap, mampu atau terampil. Istilah
kompetensi mengacu pada atribut karakteristik seseorang
yang membuatnya berhasil dalam pekerjaannya.
11. Roe (2001), kompetensi merupakan kemampuan untuk
melaksanakan satu tugas dan peran, kemampuan
mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun
pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada
pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan.
12. Mathis dan Jackson (2001), kompetensi adalah
karakteristik dasar yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan kinerja individu atau tim. Pengelompokan
kompetensi terdiri dari pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), dan kemampuan (abilities).
13. Loma (2001), kompetensi merupakan aspek pribadi
pekerja yang memungkinkan pekerja mencapai kinerja
superior, termasuk sifat, motif, sistem nilai, sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi akan
mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan
menghasilkan kinerja.
14. Trotter dan Ellison (2001), kompetensi adalah kemampuan
untuk melakukan tugas tertentu berupa karakteristik yang
mendasari seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan
baik dalam berbagai situasi.
15. Lucia (2003), kompetensi merupakan keterampilan,
pengetahuan, dan karakteristik yang dibutuhkan untuk
melakukan pekerjaan.
16. Margaret (2003), kompetensi menggambarkan dasar
pengetahuan dan standar kinerja yang dipersyaratkan agar
berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan atau memegang
suatu jabatan.

27
17. Keputusan Kepala BKN Nomor 46A tahun 2003,
kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa
pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif
dan efisien.
18. Ashour (2004), kompetensi mengacu pada pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku (knowledge, skill, attitude)
sebagai kinerja standar tertentu, yang dapat diamati untuk
melaksanakan kegiatan yang ditunjukkan dalam konteks
pekerjaannya dan dipengaruhi oleh budaya organisasi dan
lingkungan kerja.
19. Palan (2007), kompetensi adalah gambaran perilaku di
tempat kerja yang merujuk pada kesesuaian seseorang
dengan pekerjaannya.
20. Rust (2008), kompetensi mencakup faktor teknis dan non
teknis, kepribadian dan tingkah laku, keterampilan lunak
(soft skills) dan keterampilan keras (hard skills) yang
dipergunakan sebagai aspek yang dinilai untuk merekrut
karyawan dalam suatu perusahaan.
21. Van Beirendonck (2009), kompetensi mencakup faktor
teknis dan non teknis, kepribadian dan tingkah laku,
keterampilan lunak (soft skills) dan keterampilan keras
(hard skills) yang dipergunakan sebagai aspek yang dinilai
untuk merekrut karyawan dalam suatu perusahaan.
22. Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009,
kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki oleh seorang pegawai berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan pada
tugas jabatannya sehingga pegawai tersebut dapat
melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif dan
efisien.
23. Pawlowski dan Holtkamp (2012), kompetensi merupakan
kumpulan keterampilan, kemampuan, dan sikap untuk
memecahkan masalah dalam konteks tertentu.

28
Berdasarkan berbagai definisi tersebut, dapat dikatakan
bahwa Kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan adalah
akumulasi karakteristik yang dimiliki oleh seseorang dalam
jabatan Kepala Dinas Kesehatan yang melekat pada dirinya,
yang merupakan pembedanya dengan individu lainnya dan
mendasari kinerja atau perilakunya sehubungan dengan
jabatannya dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan
karakteristik individual serta secara langsung mempengaruhi
kinerja organisasi Dinas Kesehatan yang dipimpinnya.
Hutapea dan Thoha (2008) mengatakan bahwa
kompetensi dalam organisasi pada umumnya bertujuan
untuk:
1. Perancangan pekerjaan (job design)
Kompetensi teknis dapat digunakan untuk
menggambarkan fungsi, peran, dan tanggung jawab
pekerjaan di suatu organisasi. Besarnya fungsi, peran, dan
tanggung jawab tersebut tergantung dari tujuan
organisasi, besar kecilnya organisasi, tingkat atau level
pekerjaan dalam organisasi serta jenis usaha. Sedangkan
kompetensi perilaku digunakan untuk menggambarkan
tuntutan pekerjaan atas perilaku pemangku jabatan agar
dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan prestasi
luar biasa.
2. Evaluasi pekerjaan (job evaluation)
Kompetensi dapat dijadikan salah satu faktor
pembobot pekerjaan, yang digunakan untuk mengevaluasi
pekerjaan. Pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan serta
tantangan pekerjaan merupakan komponen yang
memberikan porsi terbesar dalam menentukan bobot
suatu pekerjaan. Pengetahuan dan keterampilan tersebut
adalah komponen dasar pembentuk kompetensi.
3. Rekrutmen dan seleksi (recruitment and selection)
Pembentukan organisasi biasanya diikuti dengan
pembentukan pekerjaan serta penentuan persyaratan atau
kualifikasi orang yang layak melaksanakan pekerjaan

29
tersebut. Kompetensi dapat digunakan sebagai salah satu
komponen dalam persyaratan jabatan, yang kemudian
dijadikan pedoman untuk menyeleksi calon karyawan
yang akan menduduki jabatan atau melaksanakan
pekerjaan tersebut.
4. Pembentukan dan pengembangan organisasi (organization
design and development)
Organisasi yang kukuh adalah organisasi yang
mempunyai kerangka fondasi yang kuat. Kekuatan
kerangka dan fondasi ditentukan oleh kemampuan teknis,
nilai atau budaya organisasi serta semangat kerja atau
motivasi orang-orang yang bekerja dalam organisasi.
Kompetensi dapat menjadi fondasi yang kuat untuk
pembentukan dan pengembangan organisasi ke arah
organisasi yang produktif dan kreatif apabila semua orang
ke arah organisasi.
5. Membentuk dan memperkuat nilai dan budaya organisasi
(company culture)
Peran kompetensi perilaku sangat diperlukan untuk
membentuk dan mengembangkan nilai budaya organisasi
(culture) sistem budaya kerja yang produktif.
Pembentukan nilai-nilai produktif dalam organisasi akan
mudah tercapai apabila pemilihan nilai-nilai budaya
organisasi sesuai dengan kompetensi inti organisasi.
6. Pembelajaran organisasi (organizational learning)
Peran kompetensi bukan hanya untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga untuk
membentuk karakter pembelajaran yang akan menopang
proses pembelajaran yang berkesinambungan.
7. Manajemen karier dan penilaian potensi karyawan (career
management and employee’s assessment)
Kerangka dan tindakan kompetensi dapat
digunakan untuk membantu organisasi menciptakan
pengembangan ruang karir bagi karyawan untuk
mencapai jenjang karir yang sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Melalui assessment centre (pusat penilaian potensi

30
karyawan), penggunaan kompetensi dapat mendorong
pengembangan karier yang lebih terpola dan sejalan
dengan kebutuhan organisasi.
8. Sistem imbal jasa (reward system)
Sistem imbal jasa akan memperkuat dan diperkuat
oleh kerangka pekerjaan yang berbasis kompetensi,
artinya bahwa pemberian imbalan jasa yang dihubungkan
dengan pencapaian kompetensi individu akan
mendukung pelaksanaan sistem kompetensi yang
digunakan oleh organisasi secara keseluruhan. Sebaliknya,
sistem kompetensi yang baik akan membantu
mengefektifkan sistem imbal jasa yang berlaku dalam
organisasi.
Michael (2000) merumuskan 5 kategori kompetensi
yaitu:
1) Pencapaian target (task achievement) merupakan kategori
kompetensi yang berhubungan dengan kinerja baik.
2) Hubungan dengan orang lain (relationship) merupakan
kategori kompetensi yang berhubungan dengan
komunikasi dan bekerja baik dengan orang lain serta
memuaskan kebutuhannya.
3) Atribut kepribadian (personal attribute) merupakan
kompetensi intrinsik individu dan menghubungkan
bagaimana orang berpikir, merasa, belajar, dan
berkembang.
4) Manajerial (managerial) merupakan kompetensi yang
secara spesifik berkaitan dengan pengelolaan, pengawasan
dan pengembangan sumberdaya manusia.
5) Kepemimpinan (leadership) merupakan kompetensi yang
berhubungan dengan memimpin organisasi dan personil
untuk mencapai maksud, visi, dan tujuan organisasi.
Spencer dan Spencer (1993) mengelompokkan
kompetensi dalam 3 tingkatan, yaitu:
1) Petunjuk perilaku (behavioral tools)
a) Pengetahuan (knowledge) merupakan informasi yang
digunakan orang dalam bidang tertentu.

31
b) Keahlian (skill) merupakan kemampuan orang untuk
melakukan sesuatu dengan baik.
2) Atribut Citra (image attribute)
a) Peran sosial (social role), merupakan pola perilaku orang
yang diperkuat oleh kelompok sosial atau organisasi.
b) Citra diri (self image), merupakan pandangan orang
terhadap dirinya sendiri, identitas, kepribadian, dan
harga dirinya.
3) Karakteristik kepribadian (personal characteristic)
a) Sifat (traits) merupakan aspek tipikal berperilaku.
b) Motif (motive) merupakan apa yang mendorong
perilaku seseorang dalam bidang tertentu (prestasi,
afiliasi, kekuasaan).
Berdasarkan tingkat karakteristik tersebut maka
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan harus meliputi core
competencies, yaitu kompetensi inti yang berhubungan dengan
strategi organisasi Dinas Kesehatan; managerial competencies,
yaitu kompetensi yang mencerminkan aktivitas manajerial;
dan functional competencies, yaitu kompetensi yang
menjelaskan tentang kemampuan peran Kepala Dinas
Kesehatan yang dibutuhkan.
Seleksi yang dilakukan terhadap seorang Kepala Dinas
Kesehatan merupakan suatu metode analisis jabatan yang
menitikberatkan pada keterampilan dan perilaku yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai Kepala
Dinas Kesehatan dengan baik. Menurut Raymond (2004)
model kompetensi memiliki 3 elemen kunci, yaitu :
1. Karakteristik kepribadian yang mendasar (underlying
characteristics), kompetensi merupakan bagian integral dari
kepribadian seseorang.
2. Hubungan sebab akibat (causality), kompetensi dapat
memprediksi perilaku dan kinerja.
3. Kinerja (performance), kompetensi memprediksi secara
nyata dan efektif (dalam hal ini minimal dapat diterima)
atau kinerja superior yang terukur sesuai dengan kriteria
spesifik atau standar.

32
B. Pengukuran Kompetensi.
Pengukuran kompetensi dapat dilakukan dengan
menggunakan metode yang tepat sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Spencer dan Spencer (1993) metode pengukuran
meliputi BEI, Tests, Assessment Centers, Biodata, dan Ratings.
Ada beberapa metode dan alat ukur yang digunakan dalam
pengukuran kompetensi seperti referensi dari professional,
Assessment Center, Psikotes, Graphology atau Astrology atau
phrenology, Wawancara Perilaku atau Behavioral Event
Interview atau Competency Based Interview, Self Assessment,
Panel, Penilaian 360o, Kuesioner dalam skala Likert dan
biodata (Life History Assessment). Di antara metode dan alat
ukur tersebut Assessment Center merupakan metode yang
terjamin dari segi objektivitas, validitas dan reliabilitasnya
disusul metode Wawancara Perilaku (Competency Based
Interview) dan Kuesioner.
1) Pusat Pengkajian (Assessment Center)
Karakteristik utama assessment center adalah sebagai
berikut: menggunakan kombinasi beberapa jenis teknik
dan metoda assessment, dilakukan berdasarkan suatu
acuan tertentu yang bersifat multi kriteria, keterlibatan
sejumlah assessor dalam sebuah proses assessment,
informasi dan data yang diperoleh diintegrasikan
sedemikian rupa sehingga tersusun suatu kesimpulan
berupa rekomendasi sebagai hasil program assessment
center.
2) Wawancara Perilaku (Competency based Interview)
Wawancara perilaku (Behavioral Event Interview atau
Competency Based Interview) adalah teknik wawancara yang
ditujukan untuk menggali informasi tentang kompetensi
seorang pegawai yang didasarkan pada perilaku nyata
dari pegawai tersebut. Prinsip dasar dalam wawancara
dengan metode CBI ini adalah mengetahui apa yang
sebenarnya yang dilakukan orang dalam situasi kritis yang
dihadapi, bukan apa yang mereka pikir atau mereka
lakukan. Melalui metode ini, pewawancara mengajukan

33
pertanyaan kepada pegawai yang diukur kompetensinya
untuk mengidentifikasi dan menggambarkan situasi-
situasi paling kritis yang telah dialaminya dalam bekerja
seperti situasi atau jenis tugas apa yang dilakukan, siapa
yang terlibat, apa yang dilakukan waktu itu, dan apa hasil
yang dicapai. Diharapkan dari hasil wawancara ini dapat
diketahui karakteristik dari pegawai tersebut yang
sesungguhnya. Hasil wawancara merupakan informasi
perilaku yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat
kompetensi yang dimiliki oleh pegawai yang diukur
kompetensinya, kemudian dibandingkan dengan tingkat
kompetensi yang telah distandarisasi menjadi standar
kompetensi jabatan yang telah ditetapkan untuk suatu
jabatan.
3) Kuesioner Kompetensi (Competency based Quesioner)
Metode kuesioner kompetensi sering juga disebut
self assessment yang mendorong para pegawai untuk
berpikir tentang dirinya sendiri menurut sudut pandang
dimensi-dimensi kompetensi. Melalui alat ukur berupa
kuesioner kompetensi ini dapat diungkapkan kekuatan-
kekuatan dan keterbatasan-keterbatasan kompetensi
seseorang dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya.
Bentuk metode ini dapat bersifat terbuka atau tertutup
seperti Likert yang berisi sekumpulan pernyataan yang
harus dipilih oleh pegawai. Pernyataan disusun
berdasarkan standar kompetensi jabatan yang telah
ditetapkan. Kuesioner ini digunakan untuk menggali
kompetensi apa saja. Metode dan alat ukur kuesioner
kompetensi ini memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Kelebihan kuesioner kompetensi yaitu, cepat dan murah,
kuesioner kompetensi dapat dikerjakan atau diisi oleh
pegawai dengan cepat dan tidak memerlukan biaya yang
mahal, dapat digunakan untuk berbagai jenis pekerjaan,
cenderung mengidentifikasi kebutuhan kompetensi, dan
pegawai yang diukur dimungkinkan untuk memberi
masukan. Kelemahannya antara lain: tidak dapat

34
mengidentifikasi kompetensi-kompetensi yang belum
terdeteksi dalam model atau standar kompetensi jabatan
yang telah ditetapkan, dan kuesioner ini sering berisi
pertanyaan yang relatif sama kepada semua tingkatan
jabatan, padahal hanya sedikit dari pertanyaan tersebut
yang relevan dengan pekerjaan.
4) Psikotes (Psychotest)
Psikologi mengenal adanya tes kepribadian, atau
pengukuran sikap yang disebut dengan tes psikometri,
tetapi dalam masyarakat awam tes semacam ini lebih
dikenal dengan istilah psikotes. Psikotes atau tes
psikometri adalah suatu metode untuk mengukur perilaku
seseorang guna menggali informasi tentang aspek
kemampuan dalam hal kecerdasan, penyesuaian diri, dan
sikap perilaku kerja. Proses menggali aspek-aspek
intelektual atau kepribadian dalam tes psikometri akan
mengungkapkan potensi individu dalam menguasai suatu
kompetensi. Untuk mengukur kompetensi dari tugas
pekerjaan yang spesifik diperlukan metode tambahan
seperti analisis kasus dan presentasi.

35
BAB IV
DIMENSI KOMPETENSI
KEPEMIMPINAN

Berikut ini adalah berbagai dimensi kompetensi


kepemimpinan yang pernah dikemukakan.
A. Spencer dan Spencer.
Spencer dan Spencer (1993), mengemukakan ada 20
dimensi kompetensi, yaitu:
1. Prestasi dan Tindakan (achievement and action)
a. Orientasi pada prestasi (achievement orientation), yaitu
derajat kepedulian seseorang terhadap pekerjaannya
sehingga terdorong berusaha untuk bekerja dengan
lebih baik atau di atas standar, mencakup:
1) Bekerja untuk memenuhi standar yang ditetapkan
oleh manajemen
2) Menetapkan dan bertindak dalam meraih sasaran
diri sendiri dan orang lain
3) Fokus pada perbaikan
4) Optimalisasi penggunaan sumber daya
5) Melakukan perhitungan terhadap risiko
enterpreneurial
b. Perhatian terhadap kejelasan tugas yang berkualitas
dan ketelitian kerja (concern for order), yaitu dorongan
dalam diri seseorang untuk memastikan atau
mengurangi ketidakpastian khususnya yang berkaitan
dengan penugasan, kualitas dan ketepatan atau
ketelitian data dan informasi di tempat kerja,
mencakup:
1) Mengawasi dan memeriksa informasi
2) Perhatian terhadap kejelasan, kepastian
3) Keinginan untuk mengurangi ketidakpastian

36
c. Inisiatif (initiative), yaitu: dorongan untuk bertindak
melebihi dari yang dibutuhkan atau yang dituntut oleh
pekerjaan atau lingkungan, melakukan sesuatu tanpa
menunggu perintah lebih dahulu. Tindakan ini
dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil
pekerjaan atau menghindari timbulnya masalah atau
menciptakan peluang baru, mencakup:
1) Tidak menyerah terhadap suatu penolakan
2) Mengenali dan memanfaatkan peluang-peluang
3) Memiliki kinerja lebih dari yang diharapkan
pekerjaan
4) Mengantisipasi dan menyiapkan peluang dan
masalah
d. Mencari informasi (information seeking), yaitu besarnya
usaha tambahan yang dikeluarkan untuk
mengumpulkan informasi lebih banyak sehubungan
dengan pelaksanaan pekerjaan dan pengambilan
keputusan, mencakup :
1) Mencari informasi yang tepat
2) Memilih peluang-peluang potensial yang mungkin
berguna pada masa yang akan datang
3) Berkeliling melihat situasi kerja
2. Melayani (helping and human service)
a. Pemahaman terhadap orang lain (interpersonal
understanding), yaitu kemampuan untuk memahami
hal-hal yang tidak diungkapkan dengan perkataan
yang bisa berupa pemahaman perasaan, keinginan atau
pemikiran dari orang lain, mencakup:
1) Mendengarkan
2) Respon dengan orang lain
3) Sadar perasaan orang lain
4) Cara Pemahaman
b. Berorientasi kepada pelanggan (customer service
orientation), yaitu keinginan untuk membantu atau
melayani pelanggan atau orang lain. Pelanggan adalah

37
pelanggan yang sesungguhnya atau rekan pemakai
hasil kerja kita, mencakup :
1) Mencari informasi kebutuhan pelanggan dan
menyesuaikan dengan produk atau jasa
2) Mengambil tanggung jawab pribadi untuk
menyelesaikan masalah pelayanan kepada
pelanggan
3) Bertindak sebagai seorang penasehat terhadap
kebutuhan dan masalah pelanggan
4) Bekerja dengan pandangan jangka panjang dalam
mengenali masalah pelanggan
3. Kepemimpinan (leadership)
a. Dampak dan pengaruh (impact and influence), yaitu
tindakan, membujuk, meyakinkan mempengaruhi
orang lain sehingga mau mendukung rencana yang
sudah ditetapkan, mencakup:
1) Mengantisipasi pengaruh suatu tindakan terhadap
pandangan orang lain
2) Menggunakan alasan, fakta, data-data, contoh nyata
dan demonstrasi.
3) Melakukan koalisi politis dan memberikan
informasi untuk memperoleh pengaruh tertentu
4) Menggunakan keterampilan kelompok dalam
memimpin suatu kelompok
b. Kesadaran berorganisasi (organizational awareness), yaitu
kemampuan untuk memahami dan mempelajari
kekuasaan dalam organisasi sendiri maupun organisasi
lain (pelanggan, penyalur, dan lain-lain), termasuk di
dalamnya kemampuan untuk mengidentifikasi siapa
pengambil keputusan yang sebenarnya dan individu
yang memiliki pengaruh kuat, mencakup:
1) Memahami struktur organisasi informal
2) Mengenali batasan-batasan organisasi yang tidak
terlihat
3) Mengenali masalah dan peluang yang
mempengaruhi organisasi

38
c. Membangun hubungan kerja (relationship building),
yaitu besarnya usaha untuk menjalin dan membina
hubungan sosial atau jaringan hubungan sosial agar
tetap hangat dan akrab, mencakup:
1) Membangun hubungan dengan banyak orang
2) Membagi informasi pribadi untuk menciptakan
dukungan atau empati
4. Mengelola (managerial)
1. Mengembangkan orang lain (developing others), yaitu:
keinginan untuk mengajarkan atau mendorong
pengembangan atau proses belajar orang lain,
mencakup:
1) Menunjukkan harapan positif kepada orang lain
2) Memberikan arahan dan demonstrasi, yang
merupakan strategi pelatihan
3) Memberikan umpan balik negatif kepada perilaku
seseorang yang buruk
4) Mengidentifikasi dan merancang program baru
untuk kebutuhan pelatihan
5) Mendelegasikan tanggung jawab atau pekerjaan
dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan
orang lain
b. Mengarahkan atau memberikan perintah (directiveness),
yaitu: kemampuan memerintah dan mengarahkan
orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai posisi dan
kewenangannya, mencakup:
1) Menghadapi masalah kinerja orang lain dengan
terbuka
2) Menetapkan standar dan kualitas
3) Menolak permintaan yang tidak masuk akal
4) Memberikan arahan yang rinci
c. Kerja sama kelompok (team work), yaitu dorongan atau
kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain;
dorongan atau kemampuan untuk menjadi bagian dari
suatu kelompok dalam melaksanakan suatu tugas,
mencakup:

39
1) Meminta ide dan pendapat dalam mengambil
keputusan atau merencanakan sesuatu.
2) Menjaga orang lain tetap memiliki informasi dan
hal-hal baru tentang proses dalam kelompok, dan
membagi informasi yang relevan.
3) Memperlihatkan harapan positif kepada orang lain.
4) Menghargai orang lain yang berhasil.
5) Mendorong orang lain dan membuat mereka merasa
penting.
d. Memimpin kelompok (team leadership), yaitu dorongan
dan kemauan untuk berperan sebagai pemimpin
kelompok, biasanya ditunjukan dalam posisi otoritas
formal, mencakup:
1) Memberikan informasi
2) Melakukan usaha untuk memperlakukan anggota
kelompok secara adil
3) Menggunakan strategi komplek untuk mendorong
moral dan produktivitas kelompok
4) Memastikan bahwa kebutuhan kelompok terpenuhi
5) Menjamin orang lain masuk ke dalam misi, sasaran,
dan kebijakan pimpinan
5. Berpikir kognitif (cognitive)
a. Berpikir analitis (analytical thinking), yaitu: kemampuan
untuk memahami situasi dengan cara memecahkannya
menjadi bagian-bagian yang lebih rinci menjadi faktor-
faktor atau mengamati keadaan tahap demi tahap
berdasarkan pengalaman masa lalu, mencakup:
1) Menetapkan prioritas pekerjaan berdasarkan tingkat
kepentingan
2) Membagi pekerjaan yang rumit menjadi bagian-
bagian
3) Mengenali penyebab suatu kejadian
2. Berpikir konseptual (conceptual thinking), yaitu
kemampuan memahami situasi atau masalah dengan
cara memandangnya sebagai satu kesatuan yang
terintegrasi yang meliputi kemampuan

40
mengidentifikasi pola keterkaitan antara masalah yang
tidak tampak dengan jelas atau kemampuan
mengidentifikasi permasalahan yang utama yang
mendasar dalam situasi yang komplek, mencakup:
1) Menggunakan logika dan pengalaman masa lalu
dalam mengenali masalah
2) Melihat perbedaan antara situasi dan hal-hal yang
pernah terjadi sebelumnya
3) Mempraktekkan dan memodifikasi konsep atau
metoda yang pernah dipelajari
4) Mengidentifikasi hubungan dalam data
3. Keahlian (expertise), yaitu: penguasaan bidang
pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan (dapat
berupa keahlian teknik, manajerial maupun
profesional), dan motivasi untuk menggunakan,
mengembangkan dan membagikan pengetahuan yang
terkait dengan pekerjaan kepada orang lain, mencakup:
1) Menjaga keterampilan dan pengetahuan
2) Menunjukkan ketertarikan pada suatu bidang
tertentu
3) Bersedia mendorong orang lain dalam
menyelesaikan masalah teknis
4) Belajar hal-hal baru yang berhubungan dengan
pekerjaan
5) Menyebarkan teknologi baru secara aktif
6. Efektivitas Pribadi (personal effectiveness)
a. Pengendalian diri (self control), yaitu: kemampuan
untuk mengendalikan diri sehingga mencegah untuk
melakukan tindakan-tindakan yang negatif pada saat
ada cobaan, khususnya menghadapi tantangan atau
penolakan dari orang lain atau pada saat bekerja di
bawah tekanan, mencakup:
1) Tidak mudah marah
2) Menolak keterlibatan yang tidak perlu
3) Tetap tenang dalam situasi yang rumit

41
4) Memiliki respon yang baik dalam menghadapi
suatu masalah
b. Percaya diri (self confidence), yaitu keyakinan orang
pada kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan
suatu tugas atau tantangan atau pekerjaannya,
mencakup:
1) Melakukan tindakan meskipun ditentang orang lain
2) Merupakan pribadi yang percaya diri
3) Memiliki kepercayaan akan penilaian atau
kemampuan sendiri
4) Menyatakan suatu posisi yang jelas dan percaya diri
terhadap orang lain
5) Bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat
6) Belajar dari kesalahan, menganalisis performansi
dan mau memperbaikinya
c. Fleksibilitas (flexibility), yaitu kemampuan
menyesuaikan diri dan bekerja secara efektif pada
berbagai rekan atau kelompok yang berbeda;
kemampuan untuk memahami dan menghargai
perbedaan, pandangan dan pertentangan atas suatu
isu, mencakup:
1) Mengenali kebenaran pendapat orang lain
2) Mudah beradaptasi terhadap perubahan pekerjaan
3) Menerapkan peraturan secara fleksibel
4) Mengubah perilaku sesuai dengan situasi
d. Komitmen terhadap organisasi (organizational
commitment), yaitu dorongan dan kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan perilakunya dengan
kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi, untuk
bertindak dengan cara yang menunjang tujuan
organisasi atau memenuhi kebutuhan organisasi,
mencakup:
1) Bersedia membantu teman sekerja dalam
menyelesaikan pekerjaan
2) Menggabungkan aktivitas pribadi untuk memenuhi
kebutuhan organisasi

42
3) Memahami kebutuhan kerja sama untuk mencapai
tujuan organisasi yang lebih besar
4) Lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan
organisasi daripada mengejar kepentingan sendiri.

B. American College of Healthcare Executives


(ACHE).
Dimensi kompetensi menurut American College of
Healthcare Executives atau ACHE (2001), adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi dan Hubungan Manajemen
Kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas dan
dengan singkat dengan pelanggan internal dan eksternal,
menetapkan dan memelihara hubungan, dan
memudahkan interaksi yang bersifat membangun dengan
individu dan kelompok, mencakup:
a. Hubungan Manajemen
b. Komunikasi Keterampilan
c. Pemberian kemudahan dan Negosiasi
2. Kepemimpinan
Kemampuan untuk mengilhami individu dan keunggulan
secara organisatoris, menciptakan suatu visi bersama dan
mengatur perubahan dengan sukses untuk mencapai
strategis organisasi dan pencapaian keberhasilan akhir.
Menurut model ini, kepemimpinan ini tumpang tindih
dengan masing-masing keempat dimensi yang lain,
mencakup:
a. Keahlian Memimpin dan Perilaku
b. Iklim dan Budaya Organisatoris
c. Pengkomunikasian Visi
3. Profesionalisme
Kemampuan untuk mengatur pengaruh organisatoris dan
pribadi dengan standar yang profesional dan etis yang
meliputi sebuah tanggung jawab kepada masyarakat dan
pelanggan, berorientasi kepada pelayanan, dan suatu

43
komitmen belajar terus-menerus dan pengembangan,
mencakup:
a. Tanggung-Jawab Profesional dan Pribadi
b. Pengembangan Profesional dan Belajar secara terus-
menerus
c. Kontribusi kepada Masyarakat dan Profesi
4. Pengetahuan tentang Lingkungan Pelayanan Kesehatan
Pemahaman sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan
dimana pelayanan dikelola dari healthcare sistem dan
fungsi pelayanan, mencakup:
a. Sistem Pelayanan Kesehatan dan Organisasi
b. Personil Pelayanan Kesehatan
c. Perspektif Pasien
d. Komunitas dan Lingkungan
5. Keahlian Kerja dan Pengetahuan
Kemampuan untuk menerapkan prinsip kerja, termasuk
pemikiran sistem, untuk lingkungan pelayanan kesehatan,
mencakup:
a. Manajemen umum
b. Manajemen keuangan
c. Manajemen Sumber daya manusia
d. Dinamika organisasi dan Pemerintahan
e. Perencanaan strategis dan Pemasaran
f. Manajemen informasi
g. Manajemen risiko
h. Peningkatan Kualitas

C. United States Department of Health and Human


Service.
Dimensi kompetensi menurut United States Department
of Health and Human Service (2002), adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai organisasi
a. Kepemimpinan, investasi dan dokumentasi
b. Informasi atau data yang berhubungan dengan
kompetensi budaya
c. Stabilitas organisasi

44
2. Kekuasaan
a. Keterlibatan dan tanggung jawab masyarakat
b. Landasan pengembangan
c. Kebijakan
3. Perencanaan dan Monitoring atau Evaluasi
a. Masukan klien, komunitas dan staf
b. Prestasi dan tindakan
c. Pengumpulan dan penggunaan kompetensi budaya
informasi atau data berhubungan
4. Komunikasi
a. Pemahaman perbedaan kebutuhan komunikasi dan
gaya populasi klien
b. Komponen budaya komunikasi oral (bahasa)
c. Komponen budaya menulis atau komunikasi lainnya
d. Komunikasi dengan komunitas
e. Komunikasi intra-organisasi
5. Pengembangan Staf
a. Komitmen pelatihan
b. Isi pelatihan
c. Kinerja staf
6. Infrastruktur Organisasi
a. Keuangan atau anggaran
b. Pengelolaan staf
c. Teknologi
d. Fasilitas fisik atau lingkungan
e. Jaringan
7. Pelayanan
a. Partisipan dan input komunitas
b. Isi pelayanan dan proses

45
D. American Organization of Nurse Executives
(AONE).
Dimensi kompetensi menurut American Organization of
Nurse Executives atau AONE (2005), adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan komunikasi dan membangun hubungan,
mencakup:
a. Komunikasi efektif
b. Manajemen relasi
c. Pengaruh perilaku
d. Kemampuan untuk bekerja dengan beraneka ragam
e. Pengambilan keputusan bersama
f. Keterlibatan masyarakat
g. Hubungan staf medis
h. Hubungan akademis
2. Pengetahuan tentang lingkungan pelayanan kesehatan,
mencakup:
a. Pengetahuan praktek klinis
b. Model pelayanan kepedulian terhadap pasien dan
pengetahuan merancang pekerjaan
c. Pengetahuan ekonomi pelayanan kesehatan
d. pelayanan kesehatan kebijakan Pengetahuan
e. Pemahaman pemerintahan
f. Pemahaman praktik berbasis bukti
g. Pengukuran hasil
h. Pengetahuan dan pengabdian pada keselamatan pasien
i. Pemahaman manajemen penggunaan atau kasus
j. Pengetahuan peningkatan mutu dan pengukuran
k. Pengetahuan manajemen risiko
3. Keterampilan kepemimpinan, mencakup:
a. Keterampilan berpikir yang mendasar
b. Disiplin pribadi
c. Kemampuan menggunakan berpikir sistem
d. Perencanaan yang komprehensif
e. Manajemen perubahan

46
4. Profesionalisme, mencakup:
a. Tanggung-jawab profesional dan pribadi
b. Perencanaan karier
c. Etika
d. Klinis berbasis bukti dan praktek manajemen
e. Dukungan untuk usaha klinis dan untuk praktek ilmu
perawatan
f. Keanggotaan aktif dalam suatu organisasi profesional
5. Keterampilan kerja, mencakup:
a. Pemahaman pembiayaan pelayanan kesehatan
b. Manajemen dan pengembangan sumber daya manusia
c. Manajemen strategis
d. Pemasaran
e. Manajemen informasi dan teknologi

E. The Northern Ireland Practice and Education


Council for Nursing and Midwifery (NIPEC).
Dimensi kompetensi menurut The Northern Ireland
Practice and Education Council for Nursing and Midwifery atau
NIPEC (2012), adalah sebagai berikut:
1. Keselamatan dan Praktek Efektif
a. Profesional, etis, dan legal
b. Praktek berbasis bukti
c. Perlindungan
d. Multi-Profesi atau Multi-Agen yang bekerja
2. Peningkatan pengalaman pasien atau klien
a. Pelayanan yang berpusat pada pribadi
b. Koordinasi pasien yang keluar
c. Keterlibatan pasien atau klien
3. Kepemimpinan dan Manajemen
a. Peran model
b. Pengembangan kinerja tim
c. Pengelolaan setting pelayanan
d. Penggunaan sumber daya secara efektif

47
4. Penyerahan sasaran organisasi
a. Pengembangan mutu secara berkesinambungan
b. Pengembangan pelayanan dan modernisasi
c. Manajemen staf
Seluruh dimensi kompetensi di atas pada hakikatnya
sudah tercakup dalam dimensi kompetensi sebagaimana yang
pernah dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1993). Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

SPENCER DAN
SPENCER (1993)

ACHE (2001) Achievement and


Komunikasi dan hubungan Action
manajemen Achievement
Kepemimpinan orientation
Profesionalisme Concern for order
Pengetahuan lingkungan Initiative
pelayanan Information seeking
Keahlian dan pengetahuan
pekerjaan Helping and Human
Service
NIPEC (2012) Interpersonal
Keselamatan dan praktek understanding
efektif Customer service
Peningkatan pengalaman orientation
klien
Kepemimpinan dan Leadership
manajemen Impact and influence
Penyerahan sasaran Organizational
organisasi awarness
Relationship building
AONE (2005)
Kemampuan komunikasi Managerial
kemitraan Developing others
Pengetahuan lingkungan Directiveness
pelayanan Teamwork
Keterampilan Team leadership
kepemimpinan
Profesionalisme
Keterampilan kerja Cognitive
Analithycal thinking
US DEPARTEMENT OF Conceptual thinking
HEALTH & HS (2002) Expertise
Pengetahuan nilai-nilai
organisasi Personal Effectiveness
Kekuasaan Self-control
Perencanaan dan Self-confidence
monitoring/evaluasi Flexibility
Komunikasi Organizational
Pengembangan staf commitment
Infrastruktur organisasi
Pelayanan

Gambar 1. Keterkaitan berbagai dimensi kompetensi

48
Berdasarkan Gambar 1, prediksi model kompetensi
jabatan Kepala Dinas Kesehatan dapat dilihat pada Gambar 2
berikut.

Achievement Orientation

Concern for order


Achievement &
Action Initiative

Information Seeking

Interpersonal understanding
Helping & Human
Service Customer service orientation

Impact and influence


Leadership Organizational awarness

Relationship building

Developing others
Kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Directiveness
Managerial
Team Work

Team Leadership

Analytical thinking
Cognitive
Conceptual thinking

Expertise

Self-control
Personal Self-confidence
Effectiveness
Flexibility

Organizational commitment

Gambar 2. Prediksi dimensi kompetensi kepala dinas


kesehatan

F. Aspek Juridis Standar Kompetensi Jabatan


Kepala Dinas Kesehatan.
Jabatan Kepala Dinas Kesehatan merupakan jabatan
karier PNS yang menurut UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara dikembangkan berdasarkan
kompetensi yang meliputi: (a) kompetensi teknis yang diukur
dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis
fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis; (b)
kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan,

49
pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman
kepemimpinan; dan (c) kompetensi sosial kultural yang
diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan.
Jabatan Kepala Dinas Kesehatan merupakan jabatan
yang secara tegas tercantum dalam struktur organisasi yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang undangan yang berlaku. Menetapkan
jabatan di bidang kesehatan perlu mempertimbangkan hal-hal
yang secara substansial terkait dengan sifat pembangunan
kesehatan antara lain: pelayanan kesehatan terkait dengan
pelayanan publik yang sangat spesifik dan bertujuan untuk
menyelamatkan jiwa manusia; sehingga membutuhkan
tingkat kompetensi yang tinggi dan diikuti dengan
pengawasan, bimbingan dan pengendalian teknis oleh tenaga
yang memadai dan pelayanan kesehatan merupakan
pelayanan yang padat teknologi dan padat profesi fungsional
kesehatan
Seorang Kepala Dinas Kesehatan di samping harus
memenuhi jenjang kepangkatan yang telah ditetapkan juga
mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan substansi
kesehatan yang merupakan tugas pokok dan fungsinya.
Kepala Dinas Kesehatan harus mempunyai penguasaan
bidang pengetahuan yang terkait dengan bidang kesehatan
berupa penguasaan teknis, manajerial maupun
profesionalisme, serta memiliki motivasi untuk menggunakan
dan mengembangkannya.
Jabatan Kepala Dinas Kesehatan sebagai jabatan
manajerial, dalam penyusunan standar kompetensi jabatan
telah diatur dalam Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun
2011 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi
Jabatan, penilaian kompetensi manajerial Pegawai Negeri
Sipil yang akan menduduki suatu jabatan, yaitu perencanaan
dan pengorganisasian, mengarahkan atau memberi perintah,
berorientasi pada kualitas, perbaikan terus-menerus,
pencarian informasi, berpikir analisis, komunikasi tertulis,

50
komunikasi lisan, pendelegasian wewenang, dan pengaturan
kerja. Selain itu dalam Keputusan Kepala BKN Nomor 7
Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bagi PNS telah ditetapkan juga 33 unsur
penilaian kompetensi, yaitu: Kemampuan Berpikir
(fleksibilitas berpikir, inovasi, berpikir analitis, berpikir
konseptual), Mengelola Diri (adaptasi terhadap perubahan,
integritas, keuletan, pengendalian diri, komitmen terhadap
organisasi, inisiatif, orientasi pada prestasi), Mengelola Orang
Lain (kerja sama, mengembangkan orang lain,
kepemimpinan, membimbing), Mengelola Tugas (berorientasi
pada pelayanan, kesadaran akan keselamatan kerja,
membangun hubungan kerja, negosiasi, kewirausahaan,
pencarian informasi, perhatian terhadap keteraturan,
komunikasi lisan, komunikasi tertulis, pengambilan
keputusan, pengorganisasian, perencanaan, manajemen
perubahan, berorientasi pada kualitas, manajemen konflik),
dan Mengelola Sosial Budaya (tanggap terhadap pengaruh
budaya, empati, interaksi sosial).
Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan secara
teknis standar kompetensi pejabat struktural kesehatan
termasuk jabatan Kepala Dinas Kesehatan yaitu Permenkes
Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar
Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan. Berdasarkan
peraturan ini, kompetensi dikategorikan sebagai keterampilan
lunak (soft skills) dan keterampilan keras (hard skills).
Komponen keterampilan keras (hard competence) atau
sering disebut sebagai kualifikasi untuk dapat diangkat
menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota harus
memenuhi syarat berikut:
1. Pendidikan
Minimum Magister atau SP1 Kesehatan atau yang
disetarakan (Dokter, Dokter Gigi, Apoteker, Psikolog,
Sarjana Kesehatan Masyarakat dan Sarjana Kesehatan
lainnya).

51
2. Pelatihan
Persyaratan pelatihan dibedakan antara persyaratan
umum dan persyaratan khusus
a. Persyaratan umum
Persyaratan untuk menduduki jabatan struktural
Kepala Dinas telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yaitu harus mengikuti
Pendidikan dan Pelatihan (Diklatpim) Tingkat II
b. Persyaratan khusus
Ditetapkan juga persyaratan lain yang secara khusus
berlaku untuk pengangkatan pada jabatan kesehatan,
antara lain: administrasi kesehatan atau manajemen
kesehatan.
3. Kepangkatan
Menduduki jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota haruslah seorang PNS yang mempunyai
golongan kepangkatan minimal IVa.
4. Pengalaman Kerja
Menduduki jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota haruslah seorang PNS yang pernah minimal 2
kali menduduki jabatan eselon III.
Komponen keterampilan lunak (soft competence), untuk
dapat diangkat menjadi Kepala Dinas Kesehatan harus
memiliki kompetensi sebagai berikut:
1. Kompetensi Dasar:
a. Integritas
Bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan
kebijakan organisasi serta kode etik profesi dengan
memperhatikan norma-norma sosial, etika dan
organisasi walaupun dalam keadaan yang sulit untuk
melakukannya, sehingga terdapat satu kesatuan antara
kata dan perbuatan.

52
b. Kepemimpinan
Kemampuan untuk menggerakkan, memberdayakan,
membimbing, mengarahkan, mendidik serta
mengambil keputusan yang positif bagi staf dan
pegawainya untuk mewujudkan tujuan organisasi.
c. Perencanaan
Kemampuan untuk menggambarkan tujuan,
memaparkan rencana, menganalisa untung ruginya,
manfaat dan dampaknya, mengevaluasinya sehingga
membawa kemajuan organisasi.
d. Penganggaran
Menguasai prinsip dan teknik penganggaran, mampu
menelaah anggaran, merencanakan dan menyusun
anggaran, mengetahui pola pengelolaan keuangan.
e. Pengorganisasian
Kemampuan mengatur dan mengelola sumberdaya,
membagi tugas dan menjabarkan fungsi, menempatkan
sumber daya manusia sesuai dengan kualifikasi dan
kompetensinya, membina kelancaran organisasi
berdasarkan alur tugas, hak, kewenangan dan
tanggung jawab.
f. Kerjasama
Kemampuan membangun kerjasama baik dalam
lingkungannya maupun dengan para pemangku
kepentingan (stake holders), agar program dan kegiatan
kerja yang dilaksanakan dapat dirasakan semua pihak.
g. Fleksibilitas
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bekerja
secara efektif dalam situasi dan kondisi yang berbeda
dengan berbagai individu atau unit kerja lain, dapat
menghargai pendapat yang berbeda dan dapat
menerima perubahan dalam organisasi.

53
2. Kompetensi Bidang:
a. Berorientasi pada Pelayanan
Keinginan untuk membantu, melayani atau
memberikan pelayanan kesehatan guna memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam arti selalu berusaha
untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan yang menggunakan hasil kerja
organisasi yang dipimpinnya baik internal maupun
eksternal organisasi.
b. Berorientasi pada Kualitas
Melaksanakan tugas-tugas dengan teliti berdasarkan
standar dan prosedur yang berlaku dan
mempertimbangkan semua aspek pekerjaan yang
dilakukan.
c. Berpikir Analitis
Kemampuan untuk memahami situasi atau masalah
kesehatan dengan menguraikan masalah tersebut
menjadi bagian-bagian yang lebih rinci, dan
mengidentifikasi penyebab dari situasi atau masalah
tersebut serta memprediksi akibatnya.
d. Berpikir Konseptual
Kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan
kesehatan dalam pelaksanaan tugas, mengolah data
beragam dan tidak lengkap menjadi informasi yang
jelas, mengidentifikasi pokok permasalahan serta
menciptakan konsep-konsep baru.
e. Keahlian Teknikal atau Profesional atau Manajerial
Penguasaan pengetahuan bidang kesehatan berupa
kemampuan teknik, manajerial maupun profesional;
serta memiliki motivasi untuk menggunakan dan
mengembangkan serta memberikan advokasi kepada
pihak-pihak yang terkait.
3. Kompetensi Khusus:
a. Pendidikan;
b. Pelatihan; dan
c. Pengalaman jabatan.

54
Kompetensi bidang adalah kompetensi yang
diperlukan oleh setiap orang yang menduduki jabatan
manajerial sesuai dengan bidang pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kompetensi bidang (differentiating
competencies) atau kompetensi pekerjaan spesifik (specific job
competencies) menurut Spencer dan Spencer (1993) merupakan
karakteristik pribadi yang spesifik dengan bidang pekerjaan
yang dilaksanakan serta pengetahuan dan keterampilan yang
relevan yang lebih bersifat teknis. Seseorang yang tidak
berhasil melaksanakan tugas pekerjaan, bukanlah berarti
tidak memiliki kompetensi, tetapi mungkin saja karena yang
bersangkutan memiliki kompetensi yang tidak sesuai dengan
pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas, hubungan antara
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
dengan Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan dapat
digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3. Dialogis UU 5 Tahun 2014 dan Permenkes 971


Tahun 2009

55
Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan ditetapkan
sebelum UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara dalam arti tidak mengacu pada UU tersebut seperti
dikemukakan pada bagian terdahulu, sehingga secara empiris
memerlukan pengkajian dan pengujian ilmiah apakah
indikator kompetensi yang telah dirumuskan dalam
Permenkes tersebut berkesesuaian dengan UU.

G. Dimensi Kepemimpinan Lokal.


The Governance Institute (2009) dalam White Paper
dengan judul “The Leadership in Healthcare Organization”
menegaskan bahwa organisasi kesehatan bukanlah suatu
organisasi eksklusif tetapi merupakan sebuah sistem yang
merupakan kombinasi orang yang memiliki persepsi
tersendiri tentang kepemimpinan yang bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan di bidang kesehatan. Selain itu,
kepemimpinan sangat berperan penting dalam suatu
organisasi yang perlu ditunjang oleh kemampuan pimpinan
organisasi dalam mempengaruhi kelompok untuk menuju
pencapaian sasaran, memotivasi para pengikut menuju
sasaran yang telah ditetapkan dengan memperjelas peran,
tugas dan memberikan dorongan sehingga mampu
melampaui kepentingan pribadi mereka (Nicholas, dkk,
2013). Oleh sebab itu pimpinan organisasi kesehatan sudah
semestinya memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang
dipersepsikan anggotanya yang di era otonomi daerah
dewasa ini dikenal sebagai kepemimpinan spesifik lokal.
Fenomena yang ada dan berkembang saat ini dalam
praktik kepemimpinan justru mengacu pada model-model
yang berasal dari Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan China
sehingga diperlukan penafsiran-penafsiran dan adaptasi
untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebudayaan lokal
terlebih bahwa kepemimpinan merupakan salah satu wujud
dari kebudayaan yang dianut oleh suatu masyarakat.
Menurut Poloma (2010) hasil proses budaya oleh masyarakat

56
akan membentuk suatu realitas sosial setidaknya sebagian
adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk
penggunaan bahasa. Untuk menjembatani hal tersebut,
bangsa Indonesia pada hakikatnya telah memiliki budaya
sebagai warisan luhur dari nenek moyang. Berbagai budaya
daerah di Indonesia terdapat kekayaan yang tak ternilai, yaitu
kekayaan nilai-nilai kearifan lokal diantaranya adalah konsep
ataupun persepsi kepemimpinan dan berbagai kebijakan
hidup untuk dijadikan pegangan para pemimpin sebagai
unsur kepemimpinan lokal. Ndraha (2003) mengatakan
bahwa indikator kepemimpinan lokal meliputi pemahaman
terhadap nilai utama budaya, adat istiadat dan bahasa yang
dapat dimanfaatkan sebagai local wisdom (kearifan lokal) dan
human capital (modal sumber daya manusia) yang memiliki
peranan dalam membangun suatu daerah.
Kearifan berasal dari kata arif. Menurut KBBI (2008),
kata “arif” memiliki dua arti, yaitu “tahu atau mengetahui”
dan “cerdik, pandai dan bijaksana”. Kata “arif” yang jika
ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi “kearifan”
berarti “kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang
dibutuhkan dalam berinteraksi”. Kata “lokal” berarti tempat
atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh,
terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan
tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang
mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku
universal (Muin, 2006). Oleh sebab itu kearifan lokal dapat
diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan tradisional
yang tumbuh dan berkembang pada komunitas masyarakat
daerah. Mengacu pada teori Ndraha (2003), maka kompetensi
kepemimpinan lokal dapat didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang dalam hal memahami kebudayaan tradisional yang
meliputi nilai-nilai utama budaya setempat, adat istiadat yang
tumbuh dan berkembang di daerah tersebut, dan bahasa
daerah setempat yang sangat bermakna dalam membangun
suatu daerah.

57
Pengertian budaya adalah suatu karakteristik
kepercayaan dan perilaku yang telah dibentuk oleh
sekelompok individu sejak dahulu (Briscoe, dkk 2009).
Penjelasan berbeda dikemukakan oleh Hofstede, dkk (2010),
yang lebih mempersempit definisi mengenai budaya menjadi
suatu program pemikiran kolektif yang membedakan tiap
individu antar kelompok. Berbicara mengenai kepemimpinan
berbasis budaya mengandung pengertian kepemimpinan
berbasis unsur-unsur budaya yang menurut Koentjaraningrat
(2007), terdiri dari sistem kepercayaan, sistim bahasa, sistem
sosial, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem
perekonomian, sistem kekerabatan, sistem kesenian, sistem
kesehatan dan sebagainya.
Perihal kompetensi kepemimpinan berbasis budaya,
Whitbeck (2006) mendefinisikan kompetensi budaya sebagai
pengetahuan, kesadaran dan keterampilan melibatkan dan
menghormati budaya dalam pelayanan yang
mengembangkan dan memanfaatkan keanekaragaman
budaya dan mengakui keunikan diri dan orang lain di
masyarakat. Jansen dan Sorrensen dalam Ryan (2008),
mengatakan bahwa kompetensi budaya adalah keterampilan,
pengalaman interpersonal yang memungkinkan individu dan
sistem untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi
terhadap perbedaan budaya dan kesamaan dalam dan di
antara kelompok-kelompok. Menjadi kompeten secara
budaya dalam bidang kesehatan membutuhkan kemampuan
untuk memahami nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan kelompok
masyarakat budaya lain, untuk bekerja dengan orang-orang
dalam suatu konteks budaya tertentu, dan bentuk pelayanan
untuk memenuhi kebutuhan sosial budaya dan bahasa pasien
dengan mengembangkan intervensi yang diharapkan dan
dukungan lainnya. Kompetensi budaya bukan hanya
keterampilan yang diajarkan, sebagaimana didalilkan Rhymes
dan Brown (2005), tetapi juga melibatkan perubahan
mendasar dalam cara orang memahami lingkungan
sekitarnya. Kompetensi budaya pada organisasi kesehatan

58
adalah kapasitas sistem kesehatan untuk meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan dengan mengintegrasikan
praktik budaya dan konsepnya ke dalam pelayanan
kesehatan.
Kehidupan sosial bangsa Timur memegang teguh
norma-norma yang tertanam dalam masyarakat sejak dahulu
kala (Tokonaga, 2014). Mulai dari cara menyapa hingga adab
bertetangga dalam masyarakat, semuanya diatur oleh norma.
Bangsa Timur memegang teguh hal-hal yang dianggap tabu
atau tidak sesuai norma, yang jika dilakukan akan berdampak
buruk baik bagi individu yang terkait maupun bagi individu
yang lain. Dalam budaya Timur, norma adalah patokan atau
standar kehidupan yang wajib diikuti oleh segenap
masyarakat demi terciptanya kerukunan dan ketentraman.
Selaras dengan hal tersebut, Lintas, dkk dalam Ryan
(2008) telah menggariskan 5 unsur penting yang berkontribusi
terhadap kemampuan sistem institusi atau lembaga untuk
menjadi lebih kompeten secara budaya (1) menghargai
keanekaragaman, (2) memiliki kapasitas untuk pengkajian
sendiri terhadap budaya, (3) menjadi sadar dinamika yang
melekat ketika budaya berinteraksi, (4) memiliki pengetahuan
lembaga budaya, dan (5) memiliki kemampuan adaptasi
terhadap perkembangan dan keanekaragaman budaya.
Hasil-hasil penelitian tentang pentingnya memiliki
kompetensi budaya dalam melaksanakan tugas-tugas yang
berhubungan dengan masyarakat telah banyak dilakukan.
Sebuah penelitian yang menggabungkan konten adat
Australia dengan kurikulum sarjana psikologi, yang
dilakukan oleh Ranzijn, dkk (2007) mengidentifikasi
beberapa penyebab kegagalan penerapan ilmu psikologi pada
komunitas adat Australia, antara lain: kurangnya kesadaran
di kalangan profesional tentang adat klien, budaya dan
konteks, kurangnya keterampilan dan strategi khusus untuk
bekerja dalam konteks adat, kurangnya keterlibatan dalam
isu-isu yang lebih luas dari keadilan dan hak asasi manusia,
dan kebutuhan untuk memahami, dan strategi untuk

59
menantang prasangka, etnosentrisme dan rasisme. Hasil
penelitian yang dilakukan Abbet, dkk (2010) menunjukkan
bahwa dimensi budaya harus dipertimbangkan ketika
merancang dan mengimplementasikan keberlanjutan suatu
gagasan atau inisiatif. Hal senada juga diungkapkan oleh Tu
dan Yuan (2010) yang menunjukkan adanya hubungan antara
budaya dengan kemampuan inovasi beberapa organisasi.
Selain itu secara internal budaya dalam suatu organisasi
berhubungan dengan kenyamanan dan lingkungan kerja.
Berkomunikasi dan meningkatkan etos organisasi, pengakuan
dan penerimaan budaya mereka dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku mereka. Interaksi antara pimpinan dan
karyawan yang baik akan memberikan kontribusi yang lebih
besar dalam mendorong pencapaian misi dan tujuan yang
ditetapkan oleh organisasi, serta meningkatkan kepuasan
kerja sebagaimana hasil penelitian Tsai (2011).
Hasil penelitian Moe, dkk (2007), dalam Kasus KHCC
(King Hussein Cancer Center) menekankan pentingnya
penggunaan model kepemimpinan transformasional dalam
konteks pelayanan kesehatan internasional. Teknologi
komunikasi memang memiliki kemampuan memfasilitasi
hubungan lintas batas, tetapi sumber-sumber sosial dan
politik juga diperlukan pada kerjasama luar negeri untuk
dapat mengakses informasi penting dan pemikiran para ahli
di bidang kedokteran secara global.
Kompetensi pemahaman terhadap nilai-nilai utama
budaya daerah merupakan kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan untuk mengakui, menghargai, mengembangkan,
dan memanfaatkan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan
tugas pokok dan fungsinya. Nilai budaya merupakan kearifan
lokal yang meliputi hal-hal yang dianggap baik, benar dan
atau pantas dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya itu
dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam
masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri
ataupun di dalam interaksi, langsung maupun tidak
langsung, antar warga masyarakat, dalam berbagai jenis

60
kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai
budaya itu mengacu pada penerimaan masyarakat. Nilai-nilai
budaya dengan sendirinya bersifat sosial-budaya (Edy, 2007).
Kluckhohn (1951) dalam Pelly (1994) mendefinisikan
nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang
mempengaruhi perilaku, berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan
orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tidak diingini
yang mungkin berhubungan dengan hubungan orang dengan
lingkungan dan sesama manusia. Sementara itu Sumaatmadja
(1988) dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada
perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam
kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat di
masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta
keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai
budaya.
Kepala Dinas Kesehatan dalam melaksanakan aktifitas
jabatannya seyogyanya memperhatikan nilai-nilai atau sistem
nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Suatu
nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang,
maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk
di dalam bertingkah laku. Jadi, secara universal, nilai itu
merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai
tujuan tertentu.
Kluckhohn (1951) dalam Pelly (1994) mengatakan
bahwa nilai utama budaya merupakan sebuah konsep yang
memiliki ruang lingkup yang luas yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat dalam
komunitas tertentu, mengenai apa yang paling berharga
dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling
berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai-nilai budaya.
Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk
berperilaku seperti apa yang ditentukan. Menurut Kahl (1953)
dalam Pelly (1994) mengatakan bahwa masyarakat percaya
bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan

61
berhasil. Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat
secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang.
Keberhasilan organisasi kesehatan lebih banyak
ditentukan oleh keunggulan pemimpinnya dalam
berkomunikasi dengan seluruh anggota organisasi dan
masyarakat sebagai objek sekaligus sebagai subjek
pembangunan kesehatan. Kemampuan komunikasi
merupakan komponen pokok bagi setiap pemimpin di daerah
pada era otonomi daerah dewasa ini.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah akan lebih berhasil jika pemerintah
mampu mengkomunikasikan berbagai pesan kesehatan
dengan mempergunakan bahasa daerah setempat.
Komunikasi kesehatan berbasis kearifan lokal merupakan
komunikasi kesehatan yang berlandaskan pada pandangan
hidup dan berbagai aktivitas yang dilakukan masyarakat
lokal dalam menjawab berbagai masalah kesehatan diri dan
keluarganya dan secara khusus merupakan komunikasi
kesehatan dengan berbasis pada bahasa daerah setempat.
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di
Indonesia dengan 33 Kabupaten atau Kota. Secara kultural,
masyarakat Sumatera Utara dapat dikelompokkan dalam 3
kategori, yaitu: (1) penduduk setempat (natif), yang terdiri
dari: Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba,
Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan Melayu; (2) Etnik
pendatang dari Nusantara, yang terdiri dari: Aceh Rayeuk,
Tamiang, Alas, Gayo, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa,
Bugis, Makasar, dan lainnya; dan (3) Etnik-etnik pendatang
Dunia seperti: Tamil, Punjab, Hindustan, Arab, Hokkian,
Khek, Hakka, Kwantung, berbagai etnik dari Eropa, dan
lainnya (Takari, 2016). Penduduk di Provinsi Sumatera Utara
yang berpenduduk heterogen tersebut membentuk sebuah
masyarakat Sumatera Utara yang multikultur. Selain itu
dalam konteks negara bangsa, yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia, keberadaan masyarakat Sumatera Utara
yang heterogen ini menjadi gambaran masyarakat plural yang

62
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Melalui modal
budaya yang heterogen ini, Sumatera Utara terus
membangun jati diri satu dalam keanekaragaman (bhinneka
tunggal ika). Masyarakat Sumatera Utara memiliki konsep
tentang multikulturalisme di bidang sosial termasuk di
bidang kepemimpinan. Berikut ini beberapa contoh konsep
lokal Provinsi Sumatera Utara mengenai kepemimpinan yang
direpresentatif oleh konsep kepemimpinan Melayu, Batak,
dan Nias. Pada konteks adat Melayu, seorang pemimpin
adalah seseorang yang didahulukan selangkah, ditinggikan
seranting, ibarat pokok di tengah padang, yang jauh mula nampak,
yang dekat mula bersua, rimbun daunnya tempat berteduh, kuat
dahannya tempat bergantung, besar batangnya tempat bersandar,
kokoh akarnya tempat bersila (Effendi, 2002). Hal ini berarti
bahwa seorang pemimpin harus mampu berkorban apa saja
untuk kepentingan orang yang dipimpinnya (masyarakat
umum) dan lebih mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Konsep
kepemimpinan termasuk konsep adat dalam kebudayaan
Melayu.
Konsep kepemimpinan dalam masyarakat Batak
(Tapanuli) antara lain adalah parbahul-bahu na bolon,
partataring na so ra mintop, parsangkalan na so mahiang, yang
berarti pengayom, tidak cengeng, rendah hati, bijak, dan
murah hati (Simanjuntak, 2006). Selain itu konsep dalihan na
tolu dalam masyarakat Batak turut mewarnai konsep
kepemimpinan dalam masyarakat adat Batak
(Rajamarpodang, 1992). Konsep dalihan na tolu memiliki arti
“sebuah tungku memasak yang diletakkan di atas 3 batu
yang sama besar ukurannya”. Ketiga tungku batu itu adalah
satu kesatuan yang bermakna “Somba marhula -hula, Manat
mardongan tubu, Elek marboru”. Kepemimpinan adalah bahwa
seseorang tidak selalu harus dihormati (sebagai hula-hula),
adakalanya seseorang tersebut sejajar dengan yang lain
(sebagai dongan tubu), dan juga pekerja (sebagai boru). Dengan
kata lain bahwa seorang pemimpin ada kalanya berada di

63
depan, adakalanya berada di tengah-tengah anggotanya, dan
adakalanya berada di belakang. Selain itu, menurut
Sihombing (1986), konsep kepemimpinan dalam masyarakat
Batak juga memiliki beberapa karakteristik yang harus
dipenuhi sebagai status kepantasan untuk memimpin,
diantaranya adalah memiliki karisma diri yang
mencerminkan seseorang yang berwibawa tinggi sehingga
mampu meyakinkan anggota kelompok untuk merasa pantas
dipimpin atau dalam bahasa Batak disebut hasangapon,
memiliki kemampuan ekonomi atau yang disebut dengan
hamoraon. Karakter ini penting karena apabila seorang calon
pemipin Batak telah memiliki potensi ekonomi yang mapan
dianggap telah menyelesaikan permasalahan ekonomi pribadi
sehingga diharapkan mampu menularkan kemapanan
ekonomi bagi anggota masyarakat yang dipimpin (Siahaan,
1994).
Menurut Laia (2015), dalam sistem kemasyarakatan
Nias yang menjadi pemimpin disebut sebagai Salawa atau Balö
Zi’ulu dan perangkatnya. Seorang pemimpin dalam
masyarakat Nias harus menunjukkan dirinya dan
kemampuannya melalui pelaksanaan owasa (pesta besar)
dalam menaikkan status sosialnya, sehingga kelihatan lebih
tinggi dari masyarakat lainnya. Selain itu seorang pemimpin
dalam masyarakat Nias harus memiliki ciri-ciri (a) Kharisma
(molakhömi) yang terwujud dalam keseganan terhadap
seseorang, (b) Senioritas (fa'asia'a), baik karena faktor umur
maupun karena faktor „dituakan‟ karena alasan-alasan
tertentu yang disebut primus interpares, (c) mampu secara
ekonomi (fokhö), dan (d) memiliki intelektualitas (fa'onekhe).
Uraian di atas menjelaskan bahwa kepemimpinan lokal
yang meliputi pemahaman terhadap nilai utama budaya,
adat-istiadat, dan bahasa lokal merupakan salah satu dimensi
kompetensi kepemimpinan yang harus dimiliki oleh
seseorang dalam jabatan Kepala Dinas Kesehatan, terlebih di
era otonomi daerah dewasa ini bahwa pemberdayaan dan
pendayagunaan kearifan lokal merupakan hal yang mutlak
dilakukan dalam berbagai upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat di daerah.

64
BAB V
PERMODELAN KOMPETENSI

Permodelan kompetensi secara sederhana dapat


diartikan sebagai upaya menstrukturkan secara logis berbagai
indikator perilaku penting yang hendak diukur guna
membantu organisasi mengidentifikasi dan membuat
desainnya serta memberikan nilai keuntungan bagi organisasi
di masa depan. Berikut ini diuraikan pengertian model
kompetensi dan tahapan pemodelan kompetensi. Selain itu,
dikemukakan juga permodelan kompetensi yang pernah
dilakukan sebelumnya.

A. Pengertian Model Kompetensi.


Berdasarkan KBBI (2008), kata “model” diartikan
sebagai “pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari
sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan atau barang tiruan
yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru”.
Model juga dapat diartikan sebagai suatu pola (contoh, acuan,
ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Sebuah
penggambaran atau pernyataan sebuah sistem yang
memungkinkan untuk mencari sifat dari sistem dan dalam
beberapa kasus, hasil prediksi masa depan. Model adalah
suatu objek atau konsep, digunakan untuk menyajikan
sesuatu yang lain, merupakan suatu realitas dalam skala kecil
dan dikonversi ke dalam bentuk yang mudah dipahami
secara komprehensif. Model sering digunakan dalam analisis
kuantitatif dan analisis teknis serta kadang-kadang digunakan
dalam analisis fundamental (Meyer, 1990). Model kompetensi
adalah daftar kompetensi yang dianggap sebagai kepuasan
atau kelebihan kinerja seseorang untuk suatu pekerjaan yang
telah berhasil dengan baik.

65
Model kompetensi adalah struktur logis yang secara
implisit maupun eksplisit tidak secara langsung
menghubungkan antar indikator perilaku dan merupakan ciri
dari perilaku penting yang diukur. Model kompetensi
membantu organisasi dalam mengidentifikasi dan membuat
desain pemberdayaan manusia termasuk desain pekerjaan,
peningkatan dan pengembangan kinerja perencanaan,
kemampuan (skills) dan selanjutnya sebagai investasi penting
yang dapat memberikan nilai keuntungan bagi organisasi di
masa depan (Dubois, 1993).
Model kompetensi dapat dibedakan menurut
kepentingannya. Menurut Sedarmayanti (2011), model
kompetensi dapat dibedakan menjadi model kompetensi
untuk leadership, coordinator, expert, dan support. Oleh sebab
itu dalam membuat model kompetensi, ada beberapa faktor
yang perlu dipertimbangkan, antara lain: merupakan hasil
dari penelitian dan proses pengembangan sumber daya
manusia yang mendukung tujuan organisasi, sajian model
kompetensi memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang
tinggi, mendapat dukungan dari pimpinan organisasi sebagai
kunci keberhasilan organisasi dan harus memenuhi tuntutan
dalam hal pengembangan tiap personil yang ada.
Pendekatan yang paling umum digunakan untuk
mengembangkan daftar kompetensi berasal dari berbagai
sumber literatur dan melalui diskusi kelompok, survei atau
wawancara. Variabel-variabel yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan model kompetensi meliputi
pelaksanaan membangun kompetensi dari awal atau
memberikan gambaran model yang sudah ada. Sementara
metode untuk menggunakan (misalnya focus group disscussion,
survei atau wawancara mendalam) diperlukan untuk
identifikasi, kebutuhan kompetensi dan verifikasi.
Pengembangan model yang dimaksud dalam penelitian ini
termasuk model normatif dan simulatif yang optimum yaitu
model yang memberikan jawaban terbaik bagi suatu masalah
yang dalam hal ini berkenaan dengan masalah
pengembangan model kompetensi jabatan Kepala Dinas
Kesehatan secara spesifik.

66
B. Tahapan Permodelan Kompetensi.
Eksplorasi kompetensi pada setiap organisasi dan
jabatan sangatlah bervariasi, sehingga diperlukan kajian yang
mendalam agar hasil yang didapatkan benar-benar
mencerminkan kompetensi yang diperlukan. Sebagian besar
penggalian kompetensi dimulai dari proses Focus Group
Discussion (FGD), ada juga yang menggunakan pola training
untuk mendapatkan core competencies (Phillips dan
Drewstone, 2002), sebagian lagi menggunakan structured and
unstructured interview (Hughes, dkk., 1999), menggunakan
metode scaling (Spencer dan Spencer, 1993), dan
menggunakan workshop approach (Amstrong, 2001).
Pendekatan kompetensi jabatan berbeda dengan pendekatan
tradisional yang mengidentifikasikan tugas, pengetahuan,
keterampilan yang berhubungan dengan suatu jabatan.
Pendekatan kompetensi lebih mempertimbangkan ke arah
bagaimana pengetahuan dan keterampilan tersebut
digunakan dalam pekerjaan. Pendekatan kompetensi juga
mencoba mengidentifikasikan faktor tersembunyi yang
seringkali sangat penting untuk kinerja superior. Pendekatan
kompetensi menggunakan beberapa metodologi untuk
membantu supervisor melakukan identifikasi contoh-contoh
sikap dan perilaku serta bagaimana faktor-faktor tersebut
mempengaruhi kinerja.
Nankervis, dkk (1996) mengemukakan beberapa
langkah dalam melakukan penggalian kompetensi, yaitu:
1. Melakukan berbagai model interview untuk mendapatkan
tujuan dan misi organisasi, dimensi dari berbagai target
level, situasi kerja terkait, serta faktor-faktor yang
meningkatkan keberhasilan
2. Menganalisa isi dari berbagai dimensi dari berbagai target
level tersebut
3. Me-review kompetensi yang diperoleh dengan cara
menemukan pemahaman terhadap makna kompetensi,
menilai apakah kompetensi yang diinginkan
merefleksikan karakteristik perilaku tertentu

67
4. Mengulangi review sampai muncul komitmen bersama
tentang gambaran kompetensi yang diharapkan organisasi
5. Memunculkan dan memperkenalkan daftar kompetensi
yang diperoleh yang lebih operasional sehingga mudah
untuk dikritisi sebelum diterapkan
Prosedur penyusunan standar kompetensi jabatan PNS
di Indonesia hingga saat ini masih mengacu pada Keputusan
Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan. Penyusunan
standar kompetensi jabatan ini dilakukan melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi struktur
organisasi dan tata kerja, visi dan misi organisasi, serta
ikhtisar jabatan dan uraian tugas.
2. Identifikasi kompetensi manajerial
Memilih kompetensi manajerial yang sesuai dengan
bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawab jabatan
tersebut.
3. Penyusunan Daftar Sementara Kompetensi Manajerial
Meliputi kompetensi, tingkat kompetensi, dan
kegiatan utama sebagai persyaratan kompetensi jabatan.
4. Validasi kompetensi manajerial
Validasi dilakukan kepada pihak-pihak terkait,
yaitu atasan pemegang jabatan, pejabat yang secara
fungsional bertanggung jawab di bidang kepegawaian,
dan Pejabat Pembina Kepegawaian yang dianggap mampu
memberikan masukan yang diperlukan. Konfirmasi
keabsahan kompetensi manajerial dilakukan kepada
pihak-pihak terkait dengan mengundang mereka untuk
memperoleh kepastian apakah telah sesuai dengan jabatan
atau pekerjaan yang akan ditetapkan kompetensinya dan
menghasilkan Daftar Sementara Kompetensi Manajerial

68
5. Penentuan kompetensi manajerial
Berdasarkan hasil konfirmasi, Daftar Sementara
Kompetensi Manajerial ditetapkan menjadi Daftar
Kompetensi Manajerial. Berdasarkan Daftar Kompetensi
Manajerial inilah ditentukan Standar Kompetensi
Manajerial dalam suatu jabatan.
6. Penilaian kompetensi manajerial
Dilakukan untuk memperoleh data dan informasi
yang dapat dijadikan bukti yang menunjukkan apakah
pemegang jabatan atau calon pemegang jabatan
memenuhi atau tidak memenuhi kompetensi yang
dipersyaratkan untuk melaksanakan tugas jabatan.
Kamus Kompetensi dari Loma (2001) merumuskan
langkah-langkah untuk mengembangkan model kompetensi
sebagai berikut:
1. Mengenali berbagai sasaran organisasi yang akan menjadi
dasar bagi pengembangan model kompetensi.
Organisasi harus mengenali alasan yang
mengharuskan organisasi menerapkan model ini untuk
berhasil mencapai hasil yang baik dalam penerapan model
kompetensi, sehingga ketika model ini diterapkan akan
membantu organisasi dalam mencapai sasaran-
sasarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan
dalam tahap ini, yaitu :
a. Mendefinisikan strategi organisasi
Sebuah model kompetensi akan efektif bila
diselaraskan dengan strategi, sistem nilai, dan sasaran-
sasaran dari organisasi. Untuk itulah, sebelum
membuat keputusan yang berkaitan dengan
pengembangan model kompetensi, maka para
perancang model kompetensi harus secara mendalam
melakukan kajian terhadap strategi, sistem nilai, dan
juga sasaran-sasaran dari organisasi.

69
b. Mengenali cara mengaplikasikan model kompetensi
Para perancang model kompetensi pada langkah ini
harus melakukan evaluasi terhadap segala
kemungkinan penggunaan model kompetensi di dalam
organisasi dan menetapkan aplikasi-aplikasi yang
mempunyai potensi terbesar, misalnya untuk proses
rekrutmen dan seleksi atau pelatihan dan
pengembangan. Aplikasi pertama, sebaiknya dipilih
aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi
kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah
dilaksanakan, dan dapat menunjukkan hasil yang
cepat.
c. Menetapkan cakupan model
Sebuah model kompetensi dapat dikembangkan untuk
sebuah pekerjaan, sekelompok pekerjaan, sebuah unit
bisnis atau untuk keseluruhan organisasi. Para
perancang model kompetensi harus menetapkan
cakupan dari pengembangan model kompetensi di
dalam organisasi. Beberapa organisasi
mengembangkan “core competency model” berdasarkan
sasaran-sasaran organisasi yang berlaku bagi semua
jabatan atau sebagian besar porsi dari pekerjaan dan
kemudian menambahkan “job specific competencies”
pada sekelompok kecil pekerjaan
2. Merancang Rencana untuk Membuat Model
Para perancang model kompetensi pada tahap ini akan
mengambil langkah-langkah awal untuk mengembangkan
kompetensi-kompetensi yang akan dimasukkan dalam
model yang akan diaplikasikan di dalam organisasi.
Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Menentukan pihak-pihak terlibat dalam proses
pengembangan model
Melibatkan orang-orang yang tepat dalam
mengembangkan model merupakan sesuatu hal yang
sangat penting. Pada umumnya orang-orang yang
membantu pengembangan model adalah kelompok

70
yang pada akhirnya menggunakan model kompetensi
dengan baik dan berhasil. Perlu dipertimbangkan
melibatkan berbagai pihak dalam proses
pengembangan model kompetensi pada organisasi
seperti pimpinan puncak organisasi, para manajer
terkait, pemegang jabatan yang mempunyai prestasi
yang sangat baik, pihak yang membidangi personalia
dan para ahli kompetensi.
b. Memilih pendekatan yang tepat untuk mengenali
kompetensi-kompetensi kritikal
Ada beberapa pendekatan atau metode yang
dapat dipakai untuk mengenali core competencies
maupun job specific competencies.
Untuk mengenali core competencies, metode yang
paling efektif adalah dengan melakukan pertemuan
dengan para pimpinan puncak organisasi. Pertemuan
ini terutama dibahas secara mendalam tantangan-
tantangan yang dihadapi organisasi, misi, dan juga
sasaran-sasaran organisasi dan kompetensi-kompetensi
inti yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-
tantangan, untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran
tersebut.
Untuk mengenali job specific competencies, dapat
digunakan beberapa metode seperti: Focus Group
Discussion dan survei dengan para job expert atau
Behavioral Event Interview dengan para pemegang
jabatan, baik yang prestasinya rata-rata maupun yang
prestasinya tinggi.
c. Melakukan Pengumpulan Data
Setelah menetapkan pihak-pihak yang akan
terlibat dalam pengembangan model kompetensi,
sumber data atau informasi dan metode pengumpulan
data, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan
oleh para perancang model kompetensi adalah
mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan core
competencies dan job specific competencies. Langkah-

71
langkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan
data adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi core competencies bersama para
pimpinan puncak organisasi.
Sebelum memulai pertemuan dengan para
pimpinan puncak organisasi, sebaiknya para
perancang model kompetensi memberikan
informasi yang tepat mengenai tujuan dan sasaran
yang ingin dicapai dari pertemuan, dan pihak yang
memfasilitasi pertemuan. Agenda yang dibicarakan
dalam pertemuan sebaiknya mencakup hal-hal
berikut ini:
a) Proses yang akan dilalui oleh para pimpinan
puncak organisasi dalam mengenali core
competencies, cara pengenalan job specific
competencies oleh job expert, dan kaitan
penggunaan job specific competencies dan core
competencies.
b) Keputusan-keputusan tentang jenis-jenis jabatan
yang harus memiliki core competencies dan cara
aplikasi model kompetensi.
c) Kaitan antara core competencies dan tantangan-
tantangan, misi, dan sasaran-sasaran organisasi.
Konsensus tentang rangkaian core competencies
yang akan diaplikasikan pada organisasi dan
dukungan yang diperlukan untuk
menerapkannya.
2) Mengidentifikasi job specific competencies melalui
para job expert
a) Focus Group Discussion (FGD)
Dalam proses ini data atau informasi yang luas
mengenai tantangan-tantangan dan persyaratan-
persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses
diskusi yang terstruktur dengan para job expert.
Berdasarkan hasil FGD ini, maka kompetensi-
kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk

72
pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum
diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain,
munculnya berbagai tambahan kompetensi,
khususnya kompetensi yang sifatnya teknis.
b) Survey
Berdasarkan hasil FGD, sebuah survei dapat
dirancang untuk disebarkan kepada sejumlah
besar job expert. Isi survei adalah berbagai
kompetensi yang dipilih di dalam FGD. Hasil
dari survei kemudian disimpulkan dan dianggap
sebagai persepsi dari para pekerja tentang
berbagai kompetensi yang dibutuhkan bagi
pekerjaan yang sedang dinilai.
c) Behavioral Event Interview (BEI).
Proses pengumpulan data dilakukan dengan
cara wawancara secara mendalam dengan
sejumlah pemegang jabatan yang mempunyai
prestasi kerja rata-rata dan superior. Tujuan dari
wawancara ini adalah untuk mendapatkan
informasi yang lengkap mengenai cara mereka
menangani situasi-situasi kritis di dalam
pekerjaan mereka. Mengingat pendekatan ini
memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya
yang cukup besar, maka sebaiknya digunakan
hanya bila pekerjaan yang akan dibuat model
kompetensinya relatif sedikit, dan organisasi
dapat memperoleh pewawancara yang terlatih.
d) Menganalisis Data dan Membuat Kesimpulan
Untuk melakukan analisis terhadap data-data
yang diperoleh dari survei, maka para perancang
model kompetensi perlu melakukan langkah-
langkah berikut ini:
1. Menghitung respon-respon yang masuk dari
masing-masing kelompok pekerjaan yang
model kompetensinya akan dibuat secara
terpisah

73
2. Membuat nilai rata-rata, nilai minimum, dan
nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan
tingkat keterampilan yang diperlukan dari
masing-masing kompetensi
3. Membuat urutan tingkat kepentingan dan
tingkat keterampilan yang dibutuhkan dari
masing-masing kompetensi dari yang paling
tinggi hingga paling rendah
4. Membuat kesimpulan dari hasil analisis
tersebut dalam sebuah format yang dapat
dipresentasikan kepada para job expert,
sebagai bahan kajian dan diskusi.
3) Mendiskusikan dan Memfinalisasikan Model
Kompetensi
Langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap
ini adalah sebagai berikut:
a) Presentasi
Mempresentasikan hasil survei kepada para
pengambil keputusan penting di dalam
organisasi. Para pengambil keputusan penting
ini adalah meliputi para pimpinan puncak
organisasi, manajer dan staf yang membidangi
sumber daya manusia yang akan
mengaplikasikan model kompetensi ini, para
manajer yang akan menjadi pengguna model
kompetensi ini
b) Mencapai kesepakatan atas bentuk model
Sasaran dari proses ini adalah untuk mencapai
konsensus mengenai sebuah model bersama
yang aplikatif dan didukung oleh setiap orang.
Semua perbedaan substansial yang muncul harus
didiskusikan secara mendalam dan diselesaikan,
bila semuanya memungkinkan.
c) Membatasi jumlah kompetensi bagi setiap model
Untuk setiap model jumlah kompetensi yang
sebaiknya dibatasi. Besar-kecilnya jumlah

74
kompetensi tergantung pada kompleksitas
pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan,
umumnya memerlukan kompetensi yang lebih
banyak.
Merancang model kompetensi setiap organisasi terlebih
dahulu menarik garis pemisah yang jelas antara yang
dianggap spesifik dan yang dianggap bersifat umum agar
tidak cenderung rancu. Mengidentifikasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan diperlukan pemahaman tentang apa saja
yang dapat menciptakan atau mewujudkan kesempurnaan
dan efektivitas kinerja organisasi Dinas Kesehatan yang
dipimpinnya.
Standar pengukuran kompetensi adalah rumusan
tentang kemampuan dan kinerja minimal yang harus dicapai
pada satu kompetensi tertentu diantaranya meliputi apa yang
diharapkan dapat dikerjakan oleh seseorang, seberapa jauh
kinerja yang diharapkan tersebut dapat dicapai seseorang,
bagaimana pengukuran membuktikan bahwa seseorang telah
mencapai kinerja yang diharapkan (Sullivan, 2007).
Sebuah organisasi yang kompleks seperti halnya Dinas
Kesehatan dapat dikatakan penuh birokrasi, dalam hirarki
administrasi dengan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, dan
harus dapat menanggulangi masalah organisasi. Untuk
merancang sebuah kebijakan pembangunan kesehatan di
daerah, Dinas Kesehatan harus mendefinisikan sebuah
paradigma baru dalam kepemimpinan yang mendorong
inovasi pengembangan dan berusaha untuk mengatasi
bagaimana mengintegrasikan berbagai kompetensi tenaga
kesehatan dan para manajemen dalam mengelola sistem
pembangunan kesehatan (Barry, 2006). Di era otonomi daerah
dewasa ini yang disertai perubahan lingkungan yang sangat
dinamis, mengharuskan Dinas Kesehatan memiliki
kemampuan sumber daya yang handal dalam mengelola
organisasinya dan harus mempunyai kriteria dasar
kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan.

75
BAB VI
DIMENSI DAN INDIKATOR
KOMPETENSI JABATAN KEPALA
DINAS KESEHATAN

A. Prestasi dan Tindakan


Prestasi dan Tindakan (achievement and action) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan untuk selalu orientasi
pada prestasi, perhatian dan teliti terhadap kualitas
pekerjaan, proaktif atau inisiatif, mencari dan memanfaatkan
informasi, perencanaan, penganggaran, pengorganisasian,
orientasi pada kualitas, dan inovasi.
1. Orientasi pada prestasi (achievement orientation) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan untuk peduli
terhadap pekerjaannya sehingga terdorong berusaha
untuk bekerja lebih baik atau di atas standar rata-rata,
dengan indikator bekerja untuk memenuhi standar yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah dan peraturan
perundang-undangan, menetapkan dan bertindak dalam
meraih sasaran diri sendiri dan orang lain, fokus pada
perbaikan proses dan hasil pekerjaan, optimalisasi
penggunaan sumber daya, melakukan perhitungan
terhadap risiko enterpreneurial.
2. Perhatian dan ketelitian terhadap kualitas pekerjaan
(concern for order) adalah kemampuan dan dorongan dalam
diri Kepala Dinas Kesehatan untuk memastikan atau
mengurangi ketidakpastian khususnya berkaitan dengan
penugasan, kualitas dan ketepatan atau ketelitian data dan
informasi di tempat kerja, dengan indikator mengawasi
dan memeriksa informasi, perhatian terhadap kejelasan
dan kepastian kerja, serta keinginan untuk mengurangi
ketidakpastian.

76
3. Proaktif atau inisiatif (initiative) adalah kemampuan dan
dorongan bertindak Kepala Dinas Kesehatan untuk
melebihi yang dibutuhkan atau yang dituntut oleh
pekerjaan atau lingkungan melakukan sesuatu tanpa
menunggu perintah terlebih dahulu, tindakan ini
dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil
pekerjaan atau menghindari timbulnya masalah atau
menciptakan peluang baru, dengan indikator tidak
menyerah terhadap suatu penolakan, mengenali dan
memanfaatkan peluang-peluang, memiliki kinerja lebih
dari yang diharapkan pekerjaan, dan mengantisipasi dan
menyiapkan peluang dan masalah.
4. Mencari dan memanfaatkan informasi (information seeking)
adalah kemampuan Kepala Dinas Kesehatan untuk lebih
berusaha untuk mengumpulkan informasi lebih banyak
sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan dan
pengambilan keputusan, dengan indikator mencari
informasi yang tepat, memilih peluang-peluang potensial
yang mungkin berguna pada masa yang akan datang, dan
berkeliling melihat situasi kerja.
5. Perencanaan (planning) adalah kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan menyusun rencana yang spesifik, realistis dan
terukur, sesuai dengan visi, misi, dan tujuan jangka
panjang, dengan indikator menyusun rencana yang
spesifik, realistis dan terukur, dan menyusun rencana
sesuai dengan visi, misi, dan tujuan jangka panjang.
6. Penganggaran (budgeting) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan memahami prinsip dan teknik
penganggaran, menelaah anggaran, merencanakan dan
menyusun anggaran, serta mengetahui pola pengelolaan
keuangan, dengan indikator memahami prinsip dan teknik
penganggaran, menelaah anggaran, merencanakan dan
menyusun anggaran, serta mengetahui pola pengelolaan
keuangan.

77
7. Pengorganisasian (organizing) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan mengatur dan mengelola sumberdaya,
membagi tugas dan menjabarkan fungsi, menempatkan
sumber daya manusia sesuai dengan kualifikasi dan
kompetensinya, membina kelancaran organisasi
berdasarkan alur tugas, hak, kewenangan dan tanggung
jawab, dengan indikator mengatur dan mengelola
sumberdaya, membagi tugas dan menjabarkan fungsi,
menempatkan sumber daya manusia sesuai dengan
kualifikasi dan kompetensinya, dan membina kelancaran
organisasi berdasarkan alur tugas, hak, kewenangan dan
tanggung jawab.
8. Orientasi pada kualitas (quality oriented) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan melaksanakan tugas-
tugas dengan mempertimbangkan semua aspek pekerjaan
secara detail untuk mencapai mutu yang lebih baik,
dengan indikator merencanakan mutu, mengembangkan
mutu dan mengendalikan serta mengevaluasi mutu
pelayanan kesehatan.
9. Inovasi (innovation) adalah kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan memunculkan ide atau gagasan dan pemikiran
baru dalam rangka meningkatkan kinerja, dengan
indikator memunculkan ide atau gagasan dan pemikiran
baru dalam rangka meningkatkan kinerja serta selalu
terbuka terhadap berbagai masukan yang bersifat
konstruktif.

B. Pelayanan
Membantu dan melayani (helping and human service)
adalah kemampuan Kepala Dinas Kesehatan dalam
memahami orang lain atau empati, orientasi pada pelanggan,
dan ketanggapan.
1. Memahami orang lain atau empati (interpersonal
understanding) adalah kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan untuk memahami hal-hal yang tidak
diungkapkan dengan perkataan yang bisa berupa

78
pemahaman perasaan, keinginan atau pemikiran dari
orang lain, dengan indikator mendengarkan orang lain,
respon terhadap orang lain, memahami perasaan orang
lain, dan memiliki cara memahami orang lain.
2. Orientasi pada pelanggan (customer service orientation)
adalah kemampuan dan keinginan Kepala Dinas
Kesehatan untuk membantu atau melayani pelanggan atau
orang lain yang dalam hal ini adalah pelanggan yang
sesungguhnya atau rekan pemakai hasil pekerjaan, dengan
indikator mencari informasi kebutuhan pelanggan dan
menyesuaikan dengan produk atau jasa, mengambil
tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikan masalah
pelayanan kepada pelanggan, bertindak sebagai seorang
penasehat terhadap kebutuhan dan masalah pelanggan,
dan bekerja dengan pandangan jangka panjang dalam
mengenali masalah pelanggan.
3. Ketanggapan (responsiveness) adalah kemampuan dan
keinginan Kepala Dinas Kesehatan untuk selalu
melakukan reaksi secara cepat dalam bentuk tindakan
nyata terhadap keluhan dan kebutuhan pengguna jasa
pelayanan kesehatan, dengan indikator cepat mengetahui
kebutuhan orang lain, segera menanggapi keluhan orang
lain, dan ramah terhadap siapapun yang baru kenal.

C. Kepemimpinan
Memimpin (leadership) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan dalam memberikan dampak dan pengaruh,
kesadaran berorganisasi, dan membangun hubungan kerja.
1. Memiliki dampak dan pengaruh (impact and influence)
adalah kemampuan Kepala Dinas Kesehatan bertindak,
membujuk, meyakinkan, dan mempengaruhi orang lain
sehingga mau mendukung pekerjaan yang direncanakan,
dengan indikator mengantisipasi pengaruh suatu tindakan
terhadap pandangan orang lain, menggunakan alasan,
fakta, data-data, contoh nyata dan demonstrasi,
melakukan koalisi politis dan memberikan informasi

79
untuk memperoleh pengaruh tertentu, dan menggunakan
keterampilan kelompok dalam memimpin suatu
kelompok.
2. Kesadaran organisasi (organizational awarness) kemampuan
Kepala Dinas Kesehatan memahami kekuasaan dalam
organisasi sendiri maupun organisasi lain (pelanggan,
penyalur, dan lain-lain), termasuk di dalamnya identifikasi
siapa pengambil keputusan yang sebenarnya dan individu
yang memiliki pengaruh kuat, dengan indikator
memahami struktur organisasi informal, mengenali
batasan-batasan organisasi yang tidak terlihat, dan
mengenali masalah dan peluang yang mempengaruhi
organisasi.
3. Membangun hubungan kerja (relationship building) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan untuk lebih
berusaha menjalin dan membina hubungan sosial atau
jaringan hubungan sosial agar tetap hangat dan akrab,
dengan indikator membangun hubungan dengan banyak
orang dan membagi informasi pribadi untuk menciptakan
dukungan atau empati.

D. Manajerial
Manajerial (managerial) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan dalam hal mengembangkan orang lain,
mengarahkan dan memberi perintah, kerjasama kelompok,
dan memimpin kelompok.
1. Mengembangkan orang lain (developing others) adalah
kemampuan dan keinginan Kepala Dinas Kesehatan untuk
mengajarkan atau mendorong pengembangan atau proses
belajar orang lain, dengan indikator menunjukkan harapan
positif kepada orang lain, memberikan arahan dan
demonstrasi, yang merupakan strategi pelatihan,
memberikan umpan balik negatif kepada perilaku
seseorang yang buruk, mengidentifikasi dan merancang
program baru untuk kebutuhan pelatihan, dan
mendelegasikan tanggung jawab atau pekerjaan dengan
tujuan untuk mengembangkan kemampuan orang lain.

80
2. Mengarahkan dan memberi perintah (directiveness) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan memberikan
perintah dan mengarahkan orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai posisi dan kewenangannya, dengan
indikator menghadapi masalah kinerja orang lain dengan
terbuka, menetapkan standar dan kualitas pekerjaan,
menolak permintaan yang tidak masuk akal, dan
memberikan arahan yang terinci.
3. Kerjasama kelompok (team work) adalah kemampuan dan
dorongan Kepala Dinas Kesehatan untuk bekerja sama
dengan orang lain dan dorongan atau kemampuan untuk
menjadi bagian dari suatu kelompok dalam melaksanakan
suatu tugas, dengan indikator meminta ide dan pendapat
dalam mengambil keputusan atau merencanakan sesuatu,
menjaga orang lain tetap memiliki informasi dan hal-hal
baru tentang proses dalam kelompok, dan membagi
informasi yang relevan, memperlihatkan harapan positif
kepada orang lain, menghargai orang lain yang berhasil,
dan mendorong orang lain dan membuat mereka merasa
penting.
4. Memimpin kelompok (team leadership) adalah kemampuan,
kemauan, dan dorongan Kepala Dinas Kesehatan untuk
berperan sebagai pemimpin kelompok, biasanya
ditunjukkan dalam posisi otoritas formal, dengan
indikator memberikan informasi, melakukan usaha untuk
memperlakukan anggota kelompok secara adil,
menggunakan strategi komplek untuk mendorong moral
dan produktivitas kelompok, memastikan bahwa
kebutuhan kelompok terpenuhi, dan menjamin orang lain
masuk ke dalam misi, sasaran, dan kebijakan pimpinan.

81
E. Berpikir
Berpikir kognitif (cognitive) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan dalam hal berpikir analitik, konseptual, dan
keahlian.
1. Berpikir analitik (analytical thinking) adalah kemampuan
Kepala Dinas Kesehatan untuk memahami situasi dengan
cara memecahkannya menjadi bagian-bagian yang lebih
rinci (faktor-faktor) atau mengamati keadaan tahap demi
tahap berdasarkan pengalaman masa lalu, dengan
indikator menetapkan prioritas pekerjaan berdasarkan
tingkat kepentingan, membagi pekerjaan yang rumit
menjadi bagian-bagian, dan mengenali penyebab suatu
kejadian.
2. Berpikir konseptual (conceptual thinking) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan memahami situasi
atau masalah dengan cara memandangnya sebagai satu
kesatuan yang terintegrasi mencakup kemampuan
mengidentifikasi pola keterkaitan antara masalah yang
tidak tampak dengan jelas atau kemampuan
mengidentifikasi permasalahan yang utama yang
mendasar dalam situasi yang komplek, dengan indikator
menggunakan logika dan pengalaman masa lalu dalam
mengenali masalah, melihat perbedaan antara situasi dan
hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya, mempraktekkan
dan memodifikasi konsep atau metoda yang pernah
dipelajari, dan mengidentifikasi hubungan dalam data.
3. Keahlian (expertise) adalah kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan dalam menguasai bidang pengetahuan yang
terkait dengan pekerjaan (teknis, profesional maupun
manajerial), dan motivasi untuk menggunakan,
mengembangkan dan membagikan pengetahuan yang
terkait dengan pekerjaan kepada orang lain, dengan
indikator memelihara keterampilan dan pengetahuan,
menunjukkan ketertarikan pada suatu bidang tertentu,
bersedia mendorong orang lain dalam menyelesaikan
masalah teknis, belajar hal-hal baru yang berhubungan
dengan pekerjaan, dan menyebarkan teknologi baru secara
aktif.

82
F. Efektivitas Pribadi
Efektivitas Pribadi (personal effectiveness) adalah
integritas Kepala Dinas Kesehatan dan kemampuannya dalam
mengendalikan diri, percaya diri, fleksibilitas, dan komitmen
terhadap organisasi.
1. Integritas (integrity) adalah kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan bertindak secara konsisten dan transparan
dalam segala situasi dan kondisi sesuai dengan nilai-nilai,
norma atau etika yang berlaku di lingkungan kerja,
dengan indikator konsistensi pernyataan dan tindakan,
transparansi dalam segala situasi dan kondisi kerja, dan
perhatian terhadap nilai-nilai, norma atau etika yang
berlaku.
2. Pengendalian diri (self control) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan untuk mengendalikan diri sehingga
mencegah untuk melakukan tindakan-tindakan yang
negatif pada saat ada cobaan, khususnya menghadapi
tantangan atau penolakan dari orang lain atau pada saat
bekerja di bawah tekanan, dengan indikator tidak mudah
marah, menolak keterlibatan yang tidak perlu, tetap
tenang dalam situasi yang rumit, dan memiliki respon
yang baik dalam menghadapi suatu masalah.
3. Percaya diri (self confidence) adalah kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan terhadap keyakinan diri sendiri untuk
menyelesaikan suatu tugas atau tantangan atau
pekerjaannya, dengan indikator melakukan tindakan
meskipun ditentang orang lain, merupakan pribadi yang
percaya diri, memiliki kepercayaan akan penilaian atau
kemampuan sendiri, menyatakan suatu posisi yang jelas
dan percaya diri terhadap orang lain, bertanggung jawab
atas kesalahan yang diperbuat, dan belajar dari kesalahan,
menganalisis kinerja dan mau memperbaikinya.
4. Fleksibilitas (flexibility) adalah kemampuan Kepala Dinas
Kesehatan menyesuaikan diri dan bekerja secara efektif
pada berbagai rekan atau kelompok yang berbeda dan
kemampuan untuk memahami dan menghargai

83
perbedaan pandangan dan pertentangan atas suatu isu,
dengan indikator mengenali kebenaran pendapat orang
lain, mudah beradaptasi terhadap perubahan pekerjaan,
menerapkan peraturan secara fleksibel, dan mengubah
perilaku sesuai dengan situasi.
5. Komitmen terhadap organisasi (organizational commitment)
adalah kemampuan dan dorongan Kepala Dinas
Kesehatan untuk menyesuaikan perilakunya dengan
kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi, untuk
bertindak dengan cara yang menunjang tujuan organisasi
atau memenuhi kebutuhan organisasi, dengan indikator
bersedia membantu teman sekerja dalam menyelesaikan
pekerjaan, menggabungkan aktivitas pribadi untuk
memenuhi kebutuhan organisasi, memahami kebutuhan
kerja sama untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih
besar, dan memilih untuk memenuhi kebutuhan
organisasi daripada mengejar kepentingan sendiri.

G. Kepemimpinan Lokal
Kepemimpinan lokal (local leadership) adalah
kemampuan Kepala Dinas Kesehatan dalam memahami nilai
utama budaya, dan adat istiadat setempat (daerah).
1. Pemahaman Nilai Utama Budaya adalah kemampuan
Kepala Dinas Kesehatan untuk mengerti dan menghayati
konsep umum yang terorganisir di tengah-tengah
masyarakat daerah yang mempengaruhi perilaku dalam
hubungan manusia dengan lingkungannya dan sesama
manusia dalam tugas pokok dan fungsinya sebagai Kepala
Dinas Kesehatan, dengan indikator mengetahui nilai-nilai
utama budaya setempat, mengakui dan menghargai nilai-
nilai utama budaya setempat, dan mengembangkan dan
memanfaatkan nilai-nilai budaya dalam pembangunan
kesehatan di daerah.
2. Pemahaman Adat Istiadat setempat adalah kemampuan
Kepala Dinas Kesehatan untuk mengerti dan menghayati
kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal yang tumbuh dan

84
berkembang di daerah dalam tugas pokok dan fungsinya
sebagai Kepala Dinas Kesehatan, dengan indikator
mengetahui adat-istiadat setempat, mengakui dan
menghargai adat-istiadat setempat, dan mengembangkan
dan memanfaatkan adat-istiadat setempat dalam
pembangunan kesehatan di daerah.
3. Pemahaman Bahasa Daerah setempat adalah kemampuan
Kepala Dinas Kesehatan untuk mengerti dan menghayati
bahasa daerah setempat baik secara verbal maupun non
verbal dalam tugas pekerjaan, dengan indikator
memahami bahasa daerah setempat dan mengembangkan
dan memanfaatkan bahasa daerah setempat dalam
menyampaikan pesan-pesan kesehatan di daerah.
Definisi operasional tersebut merupakan
pengembangan dari Kamus Kompetensi dari Spencer dan
Spencer (1993) dan Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi
Manajerial Pegawai Negeri Sipil serta Permenkes RI Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan.

85
BAB VII
PENGUKURAN KOMPETENSI
JABATAN KEPALA DINAS
KESEHATAN KABUPATEN ATAU
KOTA.

A. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara


Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat
Indonesia, terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100°
Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan provinsi Aceh,
sebelah Timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka,
sebelah Selatan dengan provinsi Riau dan Sumatera Barat,
dan di sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Luas daratan
provinsi Sumatera Utara adalah 72.981,23 Km2.
Berdasarkan kondisi letak dan kondisi alam, Sumatera
Utara dibagi dalam 3 kelompok wilayah atau kawasan yaitu
Pantai Barat, Dataran Tinggi, dan Pantai Timur. Kawasan
Pantai Barat meliputi Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara,
Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Mandailing Natal,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas,
Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli
Tengah, Kabupaten Nias Selatan, Kota Padang Sidempuan,
Kota Sibolga, dan Kota Gunung Sitoli. Kawasan dataran
tinggi meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba
Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi,
Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang Hasundutan,
Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Samosir, dan Kota
Pematang Siantar. Kawasan Pantai Timur meliputi Kabupaten
Labuhan Batu, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten
Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batu
Bara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat,
Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tanjung Balai, Kota Tebing
Tinggi, Kota Medan, dan Kota Binjai.

86
Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang
terletak dekat garis khatulistiwa sehingga tergolong daerah
beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi
Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar,
hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup
panas bisa mencapai 33,40C dan sebagian daerah berbukit
dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang sekitar
6,12%. Daerah dengan luas terkecil adalah Kota Sibolga
dengan luas 10,77 Km2 atau sekitar 0,02% dari total luas
wilayah Sumatera Utara.
Pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara terletak
di Kota Medan. Pada zaman pemerintahan Belanda, Sumatera
Utara merupakan salah satu bagian pemerintahan yang
bernama Gouvernement van Sumatra dengan wilayah meliputi
seluruh pulau Sumatera dan dipimpin oleh seorang Gubernur
yang berkedudukan di kota Medan. Sidang pertama Komite
Nasional Daerah (KND) setelah kemerdekaan, Provinsi
Sumatera kemudian dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu:
Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.
Provinsi Sumatera Utara sendiri merupakan penggabungan
dari 3 daerah administratif yang disebut keresidenan yaitu:
Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan
Keresidenan Tapanuli. UU Nomor 10 Tahun 1948 pada
tanggal 15 April 1948 menetapkan bahwa Sumatera dibagi
menjadi 3 provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri yaitu: Provinsi Sumatera
Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera
Selatan. Peristiwa inilah yang menjadi dasar penetapan hari
jadi Provinsi Sumatera Utara yaitu tanggal 15 April 1948 yang
dirayakan setiap tahunnya. Reorganisasi pemerintahan di
Sumatera selanjutnya ditetapkan melalui Keputusan
Pemerintah Darurat RI Nomor 22/Pem/PDRI pada tanggal
17 Mei 1949 yaitu melalui ditiadakannya jabatan Gubernur
Sumatera Utara. Ketetapan Pemerintah Darurat RI pada
tanggal 17 Desember 1949 membentuk Provinsi Aceh dan
Provinsi Tapanuli atau Sumatera Timur. Peraturan

87
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950
pada tanggal 14 Agustus 1950 kemudian mencabut
Keputusan Pemerintah Darurat RI Nomor 22/Pem/PDRI
dan membentuk kembali Provinsi Sumatera Utara. UU
Nomor 24 Tahun 1956 yang diundangkan pada tanggal 7
Desember 1956 telah membentuk Daerah Otonom Provinsi
Aceh, sehingga wilayah Provinsi Sumatera Utara sebahagian
menjadi wilayah Provinsi Aceh.
Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan
Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli. Daerah
pesisir Timur Sumatera Utara, pada umumnya dihuni orang-
orang Melayu. Pantai Barat, dari Barus hingga Natal banyak
bermukim orang Minangkabau. Wilayah tengah sekitar
Danau Toba banyak dihuni Suku Batak. Suku Nias berada di
kepulauan sebelah barat. Sejak dibukanya perkebunan
tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia
Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang
dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut sebagian
besar berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Berdasarkan
Sensus tahun 2010, mayoritas penduduk Sumatera Utara
adalah Batak (41,93%), disusul dengan suku Jawa (32,62%).
Suku Nias dan Melayu masing-masing 6,36% dan 5,92%. Etnis
Tionghoa 3,07%, Minang 2,66%, Aceh 1,03%, Banjar 0,97%,
Banten 0,36%, Banten 0,27%, Papua 0,09%, asal luar negeri
0,23%, dan 4,49% lainnya.
Bahasa yang dipergunakan secara luas di Provinsi
Sumatera Utara adalah Bahasa Indonesia. Suku Melayu Deli
mayoritas menuturkan Bahasa Indonesia karena
kedekatannya dengan Bahasa Melayu yang menjadi bahasa
ibu masyarakat Melayu Deli. Pesisir timur seperi wilayah
Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai,
menggunakan Bahasa Melayu dialek "o" begitu juga di
Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam, sedangkan di
Kabupaten Langkat menggunakan bahasa Melayu dialek "e"
yang sering juga disebut Bahasa Maya-maya. Masyarakat
Jawa di daerah perkebunan, menuturkan Bahasa Jawa sebagai

88
pengantar sehari-hari. Etnis Tionghoa di Medan lazim
menggunakan Bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia.
Masyarakat Batak di pegunungan menuturkan Bahasa Batak.
Bahasa Nias dituturkan oleh masyarakat Nias di Kepulauan
Nias oleh etnik Nias, sedangkan orang-orang di pesisir barat,
seperti Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan
Mandailing Natal menggunakan Bahasa Pesisir.
Sumatera Utara merupakan Provinsi ke-4 terbesar
dalam jumlah penduduknya di Indonesia setelah Provinsi
Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan Data
BPS Provinsi Sumatera Utara tahun 2016 tercatat memiliki
penduduk 14.102.911 jiwa terdiri dari 7.037326 jiwa laki-laki
dan 7.065.585 jiwa perempuan, dengan sex ratio sebesar 99,60
dan rata-rata kepadatan penduduk 193 per Km2 .
Tingkat kepadatan penduduk yang umumnya tinggi
terdapat di wilayah perkotaan. Kota Medan merupakan
daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi yakni sebesar
8.412,96 jiwa per Km2, disusul Tebing Tinggi dengan
kepadatan penduduk 5.125,87 jiwa per Km2 dan Kota Binjai
dengan kepadatan penduduk sekitar 4.540,69 jiwa per Km 2.
Wilayah dengan kepadatan penduduk tergolong rendah
adalah Kabupaten Pakpak Bharat 38,09 jiwa per Km 2, disusul
dengan Kabupaten Tapanuli Selatan 45,92 jiwa per Km2 dan
Kabupaten Samosir 60,17 jiwa per Km2.

B. Pendekatan Kualitatif (Model Pertama)


Kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota.
Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan
kualitatif dengan memilih kabupaten atau kota yang tidak
termasuk lokasi pengumpulan data dengan pendekatan
kuantitatif.

89
Tabel 6 Distribusi Informan berdasarkan Jabatan
Jumlah
Jabatan Kebutuhan Informasi
(orang)
a) Pandangan sosok seorang
Kepala Dinas Kesehatan
Kepala Daerah 5 b) Pandangan model
kompetensi yang akan
diteliti
a) Identifikasi komponen
kompetensi jabatan Kepala
Dinas Kesehatan
Sekretaris Daerah 5
b) Identifikasi proses
rekruitmen Kepala Dinas
Kesehatan
a) Kualifikasi jabatan Kepala
Kepala Badan Dinas Kesehatan
5
Kepegawaian b) Aspek Judisial jabatan
Kepala Dinas Kesehatan
a) Persyaratan Pimpinan Tinggi
Pratama
Komisi ASN 3
b) Prosedur rekruitmen
Pimpinan Tinggi Pratama
a) Unsur Kompetensi Pimpinan
Tinggi Pratama yang
Tim Penguji
5 diujikan
Kompetensi
b) Spesifikasi Uji Kompetensi
Kepala Dinas Kesehatan

Hasil wawancara mendalam tersebut diringkas dan


dikombinasikan dengan hasil kajian literatur kemudian
dikelompokkan sesuai dengan variabel penelitian. Adapun
harapan responden pada permodelan pertama adalah:

90
i. Kompetensi yang berhubungan dengan Prestasi dan
Tindakan, sebagai berikut:
1) Bekerja untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku
2) Menetapkan dan bertindak dalam meraih sasaran diri
sendiri dan staf
3) Fokus pada perbaikan kinerja organisasi kesehatan di
Kabupaten atau Kota
4) Optimalisasi penggunaan sumber daya kesehatan
5) Melakukan perhitungan terhadap risiko
enterpreneurial di bidang kesehatan
6) Mengawasi dan memeriksa informasi yang
berhubungan dengan kesehatan
7) Perhatian terhadap kejelasan dan kepastian tindakan
yang dilakukan
8) Keinginan untuk mengurangi ketidakpastian dalam
pekerjaan
9) Tidak menyerah terhadap suatu penolakan
10) Mengenali dan memanfaatkan peluang-peluang
11) Memiliki kinerja lebih dari yang diharapkan
12) Mengantisipasi dan menyiapkan peluang dan masalah
13) Mencari informasi yang tepat
14) Memilih peluang-peluang potensial yang mungkin
berguna pada masa yang akan datang
15) Berkeliling melihat situasi kerja termasuk ke Puskesmas
dan Rumah Sakit
16) Menyusun rencana yang spesifik, realistis dan terukur
17) Menyusun rencana sesuai dengan visi, misi, dan tujuan
jangka panjang pembangunan daerah
18) Memahami prinsip dan teknik penganggaran
19) Menelaah anggaran
20) Merencanakan dan menyusun anggaran
21) Mengetahui pola pengelolaan anggaran
22) Mengatur dan mengelola sumberdaya kesehatan

91
23) Membagi tugas dan menjabarkan fungsi Dinas
Kesehatan dan jajarannya
24) Menempatkan sumber daya manusia sesuai dengan
kualifikasi dan kompetensinya
25) Membina kelancaran tugas pokok dan fungsi Dinas
Kesehatan dan jajarannya berdasarkan alur tugas, hak,
kewenangan dan tanggung jawab
26) Perencanaan mutu pembangunan kesehatan daerah
27) Pengembangan mutu pembangunan kesehatan daerah
28) Pengendalian dan evaluasi mutu pembangunan
kesehatan daerah
29) Memunculkan ide atau gagasan dan pemikiran baru
dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan
kesehatan daerah
30) Selalu terbuka terhadap berbagai masukan yang
bersifat konstruktif

ii. Kompetensi yang berhubungan dengan Pelayanan,


sebagai berikut:
1) Selalu mendengarkan masyarakat
2) Respon terhadap masyarakat
3) Menyadari perasaan masyarakat
4) Memiliki cara memahami masyarakat
5) Mencari informasi kebutuhan masyarakat di bidang
kesehatan dan menyesuaikan dengan pembangunan
kesehatan yang diselenggarakan
6) Mengambil tanggung jawab pribadi untuk
menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan bagi
masyarakat
7) Bertindak sebagai seorang penasehat terhadap
kebutuhan dan masalah pembangunan kesehatan
daerah
8) Bekerja dengan pandangan jangka panjang dalam
mengenali masalah pembangunan kesehatan daerah
9) Mengetahui kebutuhan masyarakat di bidang
kesehatan

92
10) Menanggapi keluhan masyarakat di bidang kesehatan
11) Ramah terhadap siapapun yang baru kenal

iii. Kompetensi yang berhubungan dengan Kepemimpinan,


sebagai berikut:
1) Mengantisipasi pengaruh suatu pembangunan di
bidang kesehatan daerah terhadap pandangan orang
lain
2) Menggunakan alasan, fakta, data-data, contoh nyata
dan demonstrasi
3) Melakukan pendekatan kepada para politisi dan
memberikan informasi untuk memperoleh pengaruh
4) Menggunakan keterampilan kelompok dalam
memimpin suatu kelompok
5) Memahami struktur organisasi informal
6) Mengenali batasan-batasan Dinas Kesehatan dan
jajarannya yang tidak terlihat
7) Mengenali masalah dan peluang yang memengaruhi
Dinas Kesehatan dan jajarannya
8) Membangun hubungan dengan banyak orang
9) Membagi informasi pribadi untuk menciptakan
dukungan atau empati

iv. Kompetensi yang berhubungan dengan Manajerial,


sebagai berikut:
1) Menunjukkan harapan positif kepada masyarakat
2) Memberikan arahan dan demonstrasi
3) Memberikan umpan balik negatif kepada perilaku
seseorang yang tidak sesuai dengan norma-norma yang
diharapkan
4) Mengidentifikasi dan merancang program baru untuk
kebutuhan pelatihan
5) Mendelegasikan tanggung jawab atau pekerjaan
dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan
staf
6) Menghadapi masalah kinerja staf dengan terbuka

93
7) Menetapkan standar dan kualitas pekerjaan
8) Menolak permintaan yang tidak masuk akal
9) Memberikan arahan yang terinci
10) Meminta ide dan pendapat dalam mengambil
keputusan atau merencanakan sesuatu
11) Menjaga staf tetap memiliki informasi dan hal-hal baru
tentang proses dalam kelompok, dan membagi
informasi yang relevan
12) Memperlihatkan harapan positif kepada staf
13) Menghargai staf yang berhasil
14) Mendorong staf dan membuat mereka merasa penting
15) Memberikan informasi pembangunan dan pelayanan
kesehatan
16) Melakukan usaha untuk memperlakukan tenaga
kesehatan secara adil
17) Menggunakan strategi kompleks untuk mendorong
moral dan produktivitas tenaga kesehatan
18) Memastikan bahwa kebutuhan tenaga kesehatan
terpenuhi
19) Menjamin staf masuk ke dalam misi, sasaran, dan
kebijakan pimpinan

v. Kompetensi yang berhubungan dengan Berpikir


(kognitif), sebagai berikut:
1) Menetapkan prioritas pekerjaan berdasarkan tingkat
kepentingan
2) Membagi pekerjaan yang rumit menjadi bagian-bagian
3) Mengenali penyebab suatu kejadian di bidang
kesehatan
4) Menggunakan logika dan pengalaman masa lalu dalam
mengenali masalah kesehatan
5) Melihat perbedaan antara situasi dan hal-hal yang
pernah terjadi sebelumnya
6) Mempraktekkan dan memodifikasi konsep atau
metoda yang pernah dipahami
7) Mengidentifikasi hubungan dalam data

94
8) Memeliharan keterampilan dan pengetahuan
9) Menunjukkan ketertarikan pada bidang administrasi
dan manajemen serta kebijakan kesehatan
10) Bersedia mendorong staf dalam menyelesaikan
masalah teknis
11) Belajar hal-hal baru yang berhubungan dengan
pekerjaan
12) Menyebarkan teknologi baru secara aktif

vi. Kompetensi yang berhubungan dengan Efektivitas


Pribadi, sebagai berikut:
1) Konsistensi pernyataan dan tindakan
2) Transparansi dalam segala situasi dan kondisi kerja
3) Perhatian terhadap nilai-nilai, norma atau etika yang
berlaku
4) Tidak mudah marah
5) Menolak keterlibatan yang tidak perlu
6) Tetap tenang dalam situasi yang rumit
7) Memiliki respon yang baik dalam menghadapi suatu
masalah
8) Melakukan tindakan meskipun ditentang orang lain
9) Merupakan pribadi yang percaya diri
10) Memiliki kepercayaan akan penilaian atau kemampuan
sendiri
11) Menyatakan suatu posisi yang jelas dan percaya diri
terhadap orang lain
12) Bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat
13) Belajar dari kesalahan, menganalisis kinerja dan mau
memperbaikinya
14) Mengenali kebenaran pendapat orang lain
15) Mudah beradaptasi terhadap perubahan pekerjaan
16) Menerapkan peraturan secara fleksibel
17) Mengubah perilaku sesuai dengan situasi
18) Bersedia membantu tenaga kesehatan dalam
menyelesaikan pekerjaan

95
19) Menggabungkan aktivitas pribadi untuk memenuhi
kebutuhan organisasi
20) Memahami kebutuhan kerja sama untuk mencapai
tujuan organisasi yang lebih besar
21) Memilih untuk memenuhi kebutuhan organisasi
daripada mengejar kepentingan sendiri

vii. Kompetensi yang berhubungan dengan Kepemimpinan


Lokal, sebagai berikut:
1) Mengetahui nilai-nilai utama budaya setempat
2) Mengakui dan menghargai nilai-nilai utama budaya
setempat
3) Mengembangkan dan memanfaatkan nilai-nilai utama
budaya setempat untuk pembangunan kesehatan di
daerah
4) Mengetahui adat-istiadat setempat
5) Mengakui dan menghargai adat-istiadat setempat
6) Mengembangkan dan memanfaatkan adat-istiadat
setempat untuk pembangunan kesehatan di daerah
7) Memahami bahasa daerah setempat
8) Mengembangkan dan memanfaatkan bahasa daerah
setempat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan
di daerah

Pengelompokkan komponen yang disesuaikan dengan


kajian literatur ke dalam masing-masing variabel kajian untuk
memperoleh bentuk permodelan adalah sebagaimana pada
Tabel 7.

96
Tabel 7 Rangkuman Variabel Kompetensi Permodelan Pertama
Variabel Komponen
A. Prestasi dan 1. Orientasi pada Prestasi
Tindakan 2. Perhatian dan Ketelitian terhadap
Kualitas Kerja
3. Proaktif dan Inisiatif
4. Mencari dan Memanfaatkan
Informasi
5. Perencanaan
6. Penganggaran
7. Pengorganisasian
8. Orientasi pada Mutu
9. Inovasi
B. Pelayanan 1. Memahami Orang Lain atau
Empati
2. Berorientasi pada Pelayanan
kepada Pengguna Jasa
3. Tanggap
C. Kepemimpinan 1. Dampak dan Pengaruh
2. Kesadaran Berorganisasi
3. Membangun Hubungan Kerja
D. Manajerial 1. Mengembangkan Orang Lain
2. Mengarahkan atau Memberi
Perintah
3. Kerjasama Kelompok
4. Memimpin Kelompok
E. Berpikir 1. Berpikir Analitis
2. Berpikir Konseptual
3. Keahlian
F. Efektivitas 1. Integritas
Pribadi 2. Pengendalian Diri
3. Percaya Diri
4. Fleksibilitas
5. Komitmen terhadap Organisasi
G. Kepemimpinan 1. Memahami Nilai Utama Budaya
Lokal 2. Memahami Adat Istiadat
3. Memahami Bahasa Lokal (Daerah)

97
C. Pendekatan Kuantitatif (Model Kedua)
Kompetensi Jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota.

Gambar 7. Hasil permodelan tahap kedua kompetensi jabatan


kepala dinas kesehatan kabupaten atau kota

98
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa
Kompetensi Prestasi dan Tindakan (achievement and action)
terdiri dari 9 sub variabel, yaitu: Orientasi pada Prestasi
(achievement orientation), Perhatian dan Ketelitian terhadap
Kualitas Kerja (concern for order), Proaktif dan Inisiatif
(initiative), Mencari dan Memanfaatkan Informasi
(information seeking), Perencanaan (planning), Penganggaran
(budgetting), Pengorganisasian (organizing), Orientasi pada
Mutu (quality oriented), Inovasi (innovation). Kompetensi
Membantu dan Melayani (helping and human service) terdiri
dari 3 sub variabel, yaitu: Memahami Orang Lain atau Empati
(interpersonal understanding), Berorientasi pada Pelayanan
kepada Pengguna Jasa (customer service orientation) dan
ketanggapan (responsiveness). Kompetensi Kepemimpinan
(leadership) terdiri dari 3 sub variabel, yaitu: Dampak dan
Pengaruh (impact and influence), Kesadaran Berorganisasi
(organizational awareness), dan Membangun Hubungan
Kerja (relationship building). Kompetensi Manajerial
(managerial) terdiri dari 4 sub variabel, yaitu:
Mengembangkan Orang Lain (developing others),
Mengarahkan atau Memberi Perintah (directiveness),
Kerjasama Kelompok (teamwork), dan Memimpin Kelompok
(team leadership). Kompetensi Berpikir (cognitive) terdiri dari
3 sub variabel, yaitu: Berpikir Analitis (analytical thinking),
Berpikir Konseptual (conceptual thinking), dan Keahlian
(expertise). Kompetensi Efektivitas Pribadi (personal
effectiveness) terdiri dari 5 sub variabel, yaitu: Integritas
(integrity), Pengendalian Diri (self control), Percaya Diri (self
confidence), Fleksibilitas (flexibility), dan Komitmen terhadap
Organisasi (organizational commitment). Kompetensi
Kepemimpinan Lokal (Local Specific Leadership) terdiri dari
3 sub variabel, yaitu: Memahami Nilai Budaya (Major
Cultural Values Understanding), Memahami Adat Istiadat
(Local Customs Understanding), dan Memahami Bahasa Lokal
(Local Language Understanding).

99
BAB VIII
KOMPETENSI JABATAN KEPALA
DINAS KESEHATAN KABUPATEN
ATAU KOTA

Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota merupakan


salah satu perangkat di daerah yang membantu Kepala
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang kesehatan yang mempunyai tugas membantu Bupati
atau Walikota melaksanakan Urusan Pemerintahan di bidang
kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas
Pembantuan yang diberikan kepada Daerah Kabupaten atau
Kota dengan fungsi perumusan kebijakan di bidang
kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian
penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan
dan PKRT serta sumber daya kesehatan; dan pelaksanaan
kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian,
alat kesehatan dan PKRT serta sumber daya kesehatan
membutuhkan Kepala Dinas Kesehatan yang memiliki
kompetensi yang mumpuni dan terstandarisasi untuk
menjamin terlaksananya pembangunan kesehatan yang
optimal dan mengurangi kesenjangan pembangunan
kesehatan antar Kabupaten atau Kota.
Kompetensi Kepala Dinas Kesehatan yang
terstandarisasi merupakan instrumen kemampuan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dalam mengelola
urusan daerah di bidang kesehatan yang menurut UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang meliputi:
upaya kesehatan, SDM Kesehatan, Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Makanan Minuman, dan Pemberdayaan
Masyarakat bidang Kesehatan. Kompetensi juga merupakan
sinergitas terhadap kualifikasi Kepala Dinas Kesehatan

100
Kabupaten atau Kota sebagaimana Permenkes Nomor 49
Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten atau Kota, yaitu PNS
dengan pangkat Pembina Utama Muda/Golongan IVc atau
Pembina Tingkat I/Golongan IVb dengan sekurang-
kurangnya 2 tahun masa kerja golongan, sekurang-kurangnya
Sarjana Strata-1 Kesehatan atau Diploma IV Kesehatan
dengan Sarjana Strata-2 bidang Kesehatan, pernah atau
sedang menduduki jabatan administrator paling singkat 2
tahun, atau sedang menduduki jabatan fungsional jenjang ahli
madya bidang kesehatan sekurang-kurangnya 2 tahun,
memiliki pengalaman kerja di bidang kesehatan secara
kumulatif sekurang-kurangnya 5 tahun, sekurang-kurangnya
telah mengikuti dan lulus Pendidikan dan Pelatihan
Kepemimpinan III, atau sederajat, telah mengikuti pelatihan
teknis sekurang-kurangnya tentang sistem pelayanan
kesehatan, sistem manajemen informasi kesehatan,
pengembangan komunitas, surveilans epidemiologi, dan
manajemen bencana
Identifikasi kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota disusun berdasarkan tugas pokok,
fungsi dan wewenang yang dimiliki Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota yang dinamis dan perlu terus
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan serta kebutuhan dan
perkembangan organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada 7 kompetensi
dengan 29 sub variabel yang valid dan reliabel sebagai
indikator kompetensi jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Adapun kompetensi dengan sub
variabel beserta indikator masing-masing Kompetensi
Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, adalah
kompetensi Prestasi dan Tindakan (orientasi pada prestasi,
perhatian terhadap kejelasan kualitas dan ketelitian kerja,
inisiatif, mencari dan memanfaatkan informasi, perencanaan,

101
penganggaran, pengorganisasian, orientasi pada kualitas, dan
inovasi), kompetensi membantu dan melayani (empati,
orientasi pada pelanggan, dan ketanggapan), kompetensi
kepemimpinan (dampak dan pengaruh, kesadaran
berorganisasi, dan membangun hubungan kerja), kompetensi
manajerial (mengembangkan orang lain, mengarahkan atau
memberi perintah, kerjasama kelompok, dan memimpin
kelompok), kompetensi berpikir (berpikir analitis, berpikir
konseptual, dan keahlian), kompetensi Efektivitas Pribadi
(integritas, pengendalian diri, percaya diri, fleksibilitas, dan
komitmen terhadap organisasi), kompetensi kepemimpinan
lokal (memahami nilai utama budaya dan memahami adat
istiadat setempat).

A. Kompetensi Prestasi dan Tindakan.


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orientasi pada
prestasi, selalu bertindak untuk meraih sasaran diri dan orang
lain, selalu fokus pada perbaikan proses dan hasil pekerjaan,
selalu berusaha untuk mengoptimalkan penggunaan sumber
daya, dan selalu memperhitungkan risiko kewirausahaan
merupakan indikator yang valid dan reliabel terhadap
variabel Orientasi pada Prestasi (achievement orientation)
sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota.
Kepala Dinas Kesehatan di era otonomi daerah dewasa
ini harus memiliki kompetensi untuk mencapai standar kerja
pemerintah daerah di bidang kesehatan termasuk Standar
Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan untuk
Kabupaten atau Kota, target-target dalam Rencana Strategis
(Renstra) Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, target-target
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), dan target-target program kesehatan daerah
lainnya. Kompetensi ini sangat diperlukan mengingat bahwa
jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
merupakan jabatan strategis dalam menentukan keberhasilan
pembangunan kesehatan di daerah. Selain itu bahwa aspek

102
kesehatan merupakan salah satu indikator Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan indikator
utama keberhasilan pembangunan di suatu wilayah.
Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS
juga menegaskan bahwa Orientasi pada Prestasi merupakan
salah satu indikator kompetensi jabatan bagi PNS.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota harus
selalu bertindak untuk meraih sasaran diri dan orang lain
dalam arti bahwa program-program pembangunan kesehatan
di daerah tidak hanya memperhatikan sasaran organisasi
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, tetapi juga harus
memperhatikan sasaran para stakeholder yang dalam hal ini
adalah semua pihak yang memiliki kepentingan atau concern
terhadap kesehatan. Pihak-pihak tersebut, antara lain: Kepala
Daerah atau Wakil Kepala Daerah, DPRD, Organisasi Profesi,
Organisasi Komunitas, Organisasi Masyarakat, dan
sebagainya. Dalam hal ini, Kepala Dinas Kesehatan dituntut
untuk mampu mensinkronisasikan berbagai sasaran dari
pihak-pihak tersebut dengan selalu berpedoman terhadap
tugas pokok dan fungsi jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota tanpa mengabaikan tujuan utama
pembangunan kesehatan itu sendiri yaitu untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota juga
diharapkan selalu fokus pada perbaikan proses pelayanan
kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil
pekerjaan dalam arti tidak cepat berpuas diri atas prestasi
yang dicapai. Perbaikan proses dan hasil pekerjaan tentu saja
merupakan salah satu kebutuhan pembangunan kesehatan di
daerah dewasa ini mengingat bahwa tuntutan dan kebutuhan
masyarakat di bidang kesehatan semakin meningkat seiring
dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan
pada era globalisasi dewasa ini. Keputusan Kepala BKN
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan juga menegaskan bahwa kemampuan

103
melakukan perbaikan secara terus-menerus merupakan salah
satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang yang
menduduki jabatan.
Keterbatasan sumber daya kesehatan di daerah dewasa
ini merupakan salah satu tantangan dan sekaligus peluang
dalam pembangunan kesehatan. Keterbatasan sumber daya
manusia kesehatan baik secara kualitas maupun kuantitas
sering mewarnai pelaksanaan pembangunan kesehatan di
daerah. Keterbatasan anggaran, keterbatasan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis, keterbatasan teknologi, dan
keterbatasan lainnya sering menjadi keluhan pemerintah
daerah. Dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota dituntut untuk selalu berusaha melakukan
optimalisasi penggunaan sumber daya kesehatan yang ada
sehingga dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif.
Penggunaan ilmu manajemen kesehatan sangat diperlukan
untuk mendukung kemampuan pengelolaan sumber daya
kesehatan di daerah.
Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
harus mampu memperhitungkan resiko kewirausahaan di
bidang kesehatan terlebih kebijakan pembangunan daerah
termasuk di bidang kesehatan yang mengarah pada
reinventing government. Keputusan Kepala BKN Nomor 7
Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bagi PNS telah menetapkan bahwa
kompetensi kewirausahaan harus dimiliki oleh PNS yang
menduduki jabatan. Penggalian berbagai sumber daya
kesehatan tentu saja selain memberikan manfaat juga
melahirkan berbagai risiko di bidang kesehatan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu seorang
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota harus mampu
melakukan perhitungan berbagai risiko tersebut. Seluruh
kompetensi tersebut akan membentuk seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota yang memiliki kompetensi
Orientasi pada Prestasi (achievement orientation).

104
Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa memeriksa
dan mengawasi informasi, memperhatikan kejelasan dan
kepastian dalam pekerjaan, dan memiliki keinginan
mengurangi ketidakpastian dalam pekerjaan merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel Perhatian
dan Ketelitian terhadap Kualitas Kerja (concern for order)
sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan dengan
indikator yang pernah dikemukakan oleh Spencer dan
Spencer (1993), Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013
tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan
bagi PNS, dan Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011
tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan.
Oleh sebab itu indikator ini diterapkan dalam merencanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi
Perhatian dan Ketelitian terhadap Kualitas Kerja (concern for
order).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota harus
selalu memiliki kemampuan untuk memeriksa dan
mengawasi informasi terutama yang berkaitan dengan
kualitas pekerjaan di bidang kesehatan. Adanya keluhan
masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas misalnya tentu
perlu diperhatikan, diperiksa informasi tersebut apakah
memang sesuai kenyataan atau hanya sekedar opini. Apabila
hal tersebut telah dilakukan maka tentu saja intervensi yang
dilakukan untuk perbaikan mutu pelayanan kesehatan di
Puskesmas akan tepat sasaran. Demikian juga seorang
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dituntut untuk
memperhatikan kejelasan dan kepastian dalam pekerjaan
dalam arti bahwa setiap pekerjaan harus diketahui secara jelas
latar belakang pekerjaan tersebut, standar dan prosedur
melakukannya, serta indikator apa yang dipergunakan untuk
menilai keberhasilannya. Seorang Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota juga harus selalu berusaha mengurangi
ketidakpastian dalam pekerjaan melalui penyusunan standar

105
dan prosedur kerja yang baik sehingga setiap tenaga
kesehatan dapat terlindungi dari ketidakpastian. Ketiga
indikator ini akan membentuk seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota yang memiliki kompetensi
Perhatian dan Ketelitian terhadap Kualitas Kerja (concern for
order). Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan
menegaskan bahwa salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
adalah selalu berorientasi pada kualitas. Demikian juga
Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS,
dan Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan.
Kajian ini juga menunjukkan bahwa tidak menyerah
terhadap suatu penolakan, mengenali dan memanfaatkan
peluang, memiliki kinerja yang melebihi dari yang
diharapkan, dan mengantisipasi dan selalu menyiapkan
peluang dalam menyelesaikan masalah merupakan indikator
yang valid dan reliabel terhadap variabel Proaktif dan Inisiatif
(initiative) sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan
dengan indikator yang pernah dikemukakan oleh Spencer
dan Spencer (1993). Demikian juga Keputusan Kepala BKN
Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bagi PNS menegaskan bahwa keuletan
dan kemampuan negosiasi merupakan indikator kompetensi
PNS yang menduduki jabatan. Oleh sebab itu indikator ini
dapat diterapkan dalam merencanakan, mengembangkan,
dan mengevaluasi kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi Proaktif dan
Inisiatif (initiative).
Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
harus memiliki sifat untuk tidak cepat menyerah terhadap
suatu penolakan dalam arti bahwa selalu berusaha dengan
berbagai cara agar program kesehatan yang ditawarkan dapat

106
dilaksanakan dan diterima oleh stakeholder. Seorang Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota juga harus memiliki
kemampuan untuk mengenali dan memanfaatkan berbagai
peluang yang ada baik lokal maupun global. Berbagai
program pembangunan kesehatan dewasa ini mengalami
kegagalan karena tidak memanfaatkan peluang yang ada.
Saat ini masih jarang ditemukan seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota memanfaatkan teknologi
komunikasi dalam mendukung berbagai proses peningkatan
kualitas pekerjaan. Otonomi daerah juga merupakan peluang
bagi lahirnya berbagai kreativitas pelaksanaan program
pembangunan kesehatan di daerah. Seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota juga dituntut untuk memiliki
kinerja yang melebihi dari yang diharapkan dalam arti tidak
hanya sebatas mencapai target tetapi melebihi target yang
telah ditetapkan dan selalu menyiapkan peluang dalam
menyelesaikan masalah di bidang kesehatan. Berbagai
tuntutan ini merupakan pembentuk kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi
Proaktif dan Inisiatif (initiative).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mencari
informasi yang berkaitan dengan kesehatan, memilih peluang
yang mungkin berguna di bidang kesehatan, dan berkeliling
melihat secara langsung situasi pekerjaan merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel Mencari
dan Memanfaatkan Informasi (information seeking) sebagai
salah satu kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan dengan indikator yang
pernah dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1993).
Demikian juga Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013
tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan
bagi PNS, dan Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011
tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan.
Oleh sebab itu indikator ini dapat diterapkan dalam
merencanakan, mengembangkan, dan mengevaluasi
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
khususnya kompetensi Mencari dan Memanfaatkan Informasi
(information seeking).

107
Kepala Dinas Kesehatan harus selalu mencari informasi
yang berkaitan dengan kesehatan. Era globalisasi dewasa ini
menuntut setiap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota harus memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
berbagai media informasi dan komunikasi yang dapat
dimanfaatkan dalam program kesehatan di daerah.
Kemampuan ini juga akan membuka berbagai peluang yang
dapat dipergunakan dalam pembangunan kesehatan di
daerah. Informasi tersebut bisa berasal dari luar dan dalam
Kabupaten atau Kota. Informasi dari luar Kabupaten atau
Kota dapat dipergunakan untuk pengembangan proses dan
hasil kerja, sedangkan informasi dari dalam Kabupaten atau
Kota dapat dimanfaatkan untuk perbaikan proses dan hasil
kerja. Informasi dari dalam dapat juga dilakukan dengan cara
melihat secara langsung situasi pekerjaan melalui berkeliling
melihat secara langsung sehingga diperoleh informasi yang
akurat dan up to date serta kontekstual. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota tidak cukup hanya menerima
laporan dari bawahan sebagai sumber informasi tetapi juga
turun secara langsung di lapangan untuk bahan verifikasi
laporan yang telah diterima. Berbagai indikator ini akan
membentuk kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota khususnya di bidang Mencari dan Memanfaatkan
Informasi (information seeking).
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa menyusun
rencana yang spesifik, realistis, dan terukur serta menyusun
rencana berbasis visi, misi, dan tujuan jangka panjang
merupakan indikator yang valid dan reliabel terhadap
variabel perencanaan (planning) sebagai salah satu
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Hasil ini tentu saja sejalan dengan indikator pejabat struktural
kesehatan menurut Permenkes RI Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan Kepala BKN Nomor
7 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bagi PNS, dan Keputusan Kepala BKN

108
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bahwa kompetensi perencanaan
merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Oleh
sebab itu indikator ini dapat diterapkan dalam merencanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi
perencanaan (planning).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dituntut
untuk memiliki kemampuan menyusun rencana yang spesifik
di bidang kesehatan, realistis, dan terukur serta menyusun
rencana berbasis visi, misi, dan tujuan jangka panjang.
Kompetensi di bidang perencanaan kesehatan ini sangat
diharapkan dari seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota. Penyusunan rencana kegiatan di bidang kesehatan
berbasis bukti (evidence based) selaras dengan perencanaan
di bidang kesehatan dengan pendekatan epidemiologi.
Penyusunan rencana berbasis bukti akan melahirkan rencana
kesehatan yang spesifik, realistis, dan terukur serta sesuai
dengan kebutuhan yang nyata dan bukan kebutuhan yang
dirasakan. Penyusunan rencana strategis Dinas Kesehatan
juga harus disusun sedemikian rupa sesuai dengan visi dan
misi Kepala Daerah Kabupaten atau Kota yang tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Kabupaten atau Kota, Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Kabupaten atau Kota, Rencana Pembangunan Provinsi
dan bahkan Rencana Pembangunan Nasional di bidang
kesehatan. Konfigurasi kemampuan inilah yang membentuk
kompetensi perencanaan (planning) jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa memahami
prinsip dan teknik penganggaran, menelaah anggaran,
merencanakan dan menyusun anggaran, dan memahami pola
pengelolaan keuangan merupakan indikator yang valid dan
reliabel terhadap variabel penganggaran (budgeting) sebagai
salah satu kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten

109
atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan dengan indikator pejabat
struktural kesehatan menurut Permenkes RI Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan Kepala BKN Nomor
7 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bagi PNS, dan Keputusan Kepala BKN
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bahwa kompetensi penganggaran
merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Oleh
sebab itu indikator ini dapat diterapkan dalam merencanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi
penganggaran (budgeting).
Kepala Dinas Kesehatan harus memiliki kemampuan
memahami prinsip dan teknik penganggaran keuangan
pemerintah daerah, mampu melakukan telaah anggaran,
mampu merencanakan dan menyusun anggaran, serta
memahami pola pengelolaan keuangan daerah sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kompetensi ini selain agar standar dan prosedur
penganggaran di bidang kesehatan dapat sesuai dengan yang
diharapkan juga untuk melindungi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dari jeratan hukum sebagai konsekuensi
kelalaian, kesalahan, ataupun pelanggaran hukum terkait
dengan perencanaan dan pengelolaan anggaran pemerintah
dalam jabatannya. Dewasa ini beberapa Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota menjadi terpidana
dikarenakan pemahaman terhadap penganggaran yang masih
kurang. Oleh sebab itu, kompetensi penganggaran
merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengatur dan
mengelola sumber daya organisasi, membagi tugas dan
menjabarkan fungsi, menempatkan SDM sesuai dengan
kualifikasi dan kompetensinya, dan membina kelancaran

110
organisasi berbasis alur, hak, dan kewajiban merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel
pengorganisasian (organizing) sebagai salah satu kompetensi
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu
saja sejalan dengan indikator pejabat struktural kesehatan
menurut Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan,
Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS,
dan Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bahwa
kompetensi pengorganisasian merupakan salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Oleh sebab itu indikator ini
dapat diterapkan dalam merencanakan, mengembangkan,
dan mengevaluasi kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi
pengorganisasian (organizing).
Kepala Dinas Kesehatan harus mampu mengatur dan
mengelola sumber daya kesehatan baik sumber daya manusia
maupun sumber daya lainnya, membagi tugas dan
menjabarkan fungsi, menempatkan SDM kesehatan sesuai
dengan kualifikasi dan kompetensinya, dan membina
kelancaran organisasi berbasis alur, hak, dan kewajiban.
Kompetensi ini tentu saja hanya dimiliki oleh seorang lulusan
pendidikan di bidang kesehatan mengingat bahwa
penempatan SDM sesuai dengan kualifikasi dan
kompetensinya hanya diketahui oleh tenaga kesehatan
sendiri. Berbagai kualifikasi tenaga kesehatan memiliki
bidang tugas dan kompetensi yang berbeda-beda. Analis
kesehatan misalnya akan lebih tepat ditempatkan di
laboratorium, sedangkan analisis kebijakan kesehatan lebih
tepat ditempatkan di Dinas Kesehatan. Demikian juga
pembagian tugas dan penjabaran fungsi setiap tenaga
kesehatan serta pembinaan kelancaran organisasi berbasis
alur, hak, dan kewajiban tenaga kesehatan hanya bisa

111
dilakukan oleh tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, kualifikasi
pendidikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
sebagaimana diamanatkan dalam Permenkes Nomor 49
Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten atau Kota, yaitu
sekurang-kurangnya Sarjana Strata-1 Kesehatan atau Diploma
IV Kesehatan dengan Sarjana Strata-2 bidang Kesehatan
sudah tepat.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa merencanakan
mutu, mengembangkan mutu, dan mengendalikan serta
melakukan evaluasi mutu merupakan indikator yang valid
dan reliabel terhadap variabel Orientasi pada Mutu (quality
oriented) sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan
dengan indikator pejabat struktural kesehatan menurut
Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan
Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS, dan
Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bahwa
kompetensi orientasi pada mutu pelayanan merupakan salah
satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Oleh sebab itu
indikator ini dapat diterapkan dalam merencanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya Orientasi
pada Mutu (quality oriented).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota tidak
hanya berperan sebagai regulator pembangunan kesehatan di
daerah tetapi juga sebagai provider bagi external customer
(masyarakat) dan internal customer (tenaga kesehatan) di
bidang pembangunan kesehatan. Perubahan orientasi mutu
kesehatan yang dulu hanya sebatas penerapan kegiatan yang
sesuai dengan standar dan prosedur yang telah ditetapkan
serta tidak melanggar kode etik profesi - tenaga kesehatan -

112
menjadi upaya untuk meningkatkan kepuasan (customer
satisfaction oriented), menuntut Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota untuk memiliki kemampuan
manajemen mutu kesehatan yang meliputi perencanaan,
pengembangan, pengendalian, dan evaluasi mutu pelayanan
baik secara medis maupun secara administratif. Kemampuan
inilah yang membentuk kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi Orientasi pada
Mutu (quality oriented).
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa memunculkan ide
dan pemikiran baru dalam peningkatan kinerja serta terbuka
terhadap berbagai masukan konstruktif merupakan indikator
yang valid dan reliabel terhadap variabel inovasi (innovation)
sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan dengan
indikator pejabat struktural kesehatan menurut Permenkes RI
Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar
Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan Kepala
BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS, dan Keputusan Kepala
BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi Jabatan bahwa kompetensi inovasi
merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Oleh
sebab itu indikator ini dapat diterapkan dalam merencanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya inovasi
(innovation).
Kepala Dinas Kesehatan harus mampu melakukan
inovasi dengan cara memunculkan berbagai ide dan
pemikiran baru dalam peningkatan kinerja kesehatan serta
terbuka terhadap berbagai masukan yang bersifat konstruktif.
Hal ini berarti bahwa seorang Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota tidak monoton atau dengan kata lain
harus mampu menerima berbagai ide dan pemikiran baru
dalam peningkatan kinerja organisasi Dinas Kesehatan

113
Kabupaten atau Kota, bahkan lebih dari itu harus memiliki
kemampuan melahirkan berbagai ide dan pemikiran baru.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota juga harus
selalu bersedia untuk dikritisi, dievaluasi dan bahkan harus
terbuka terhadap berbagai masukan yang bersifat konstruktif.
Kepala Dinas Kesehatan yang tidak memiliki kompetensi
seperti ini tentu saja akan melahirkan atau menimbulkan
sikap mau menang sendiri, menganggap orang lain tidak
memiliki potensi, dan lain sebagainya sehingga
kepemimpinannya akan cenderung otoriter.
Berdasarkan hasil analisis model, penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel Prestasi dan Tindakan
(achievement and action) valid dan reliabel untuk mengukur
Kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
dengan indikator meliputi: orientasi pada prestasi
(achievement orientation), perhatian dan ketelitian terhadap
kualitas pekerjaan (concern for order), proaktif dan inisiatif
(initiative), mencari dan memanfaatkan informasi
(information seeking), perencanaan (planning), penganggaran
(budgetting), pengorganisasian (organizing), orientasi pada
mutu (quality oriented), dan inovasi (innovation). Hasil ini
sejalan dengan Spencer dan Spencer (1993), ACHE (2001),
AONE (2005), U.S. Departement of Health and Human
Services (2002), Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan,
Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan, dan
Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa orientasi pada prestasi
atau untuk mencapai target kerja (achievement orientation),
perhatian dan ketelitian terhadap kualitas pekerjaan (concern
for order), proaktif dan inisiatif (initiative), mencari dan
memanfaatkan informasi (information seeking), perencanaan
(planning), penganggaran (budgetting), pengorganisasian
(organizing), orientasi pada mutu (quality oriented), dan

114
inovasi (innovation) dapat dijadikan sebagai indikator
kompetensi Prestasi dan Tindakan (achievement and action)
bagi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.

B. Kompetensi Membantu dan Melayani.


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mendengar
pendapat orang lain, respon terhadap pendapat orang lain,
memahami perasaan orang lain, punya cara untuk memahami
orang lain merupakan indikator yang valid dan reliabel
terhadap variabel Memahami Orang Lain atau Empati
(interpersonal understanding) sebagai salah satu kompetensi
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu
saja sejalan dengan indikator yang pernah dikemukakan oleh
Spencer dan Spencer (1993), sehingga teori yang pernah
dikemukakan tersebut dapat diterapkan dalam
merencanakan, mengembangkan, dan mengevaluasi
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
khususnya kompetensi Memahami Orang Lain atau Empati
(interpersonal understanding).
Kepala Dinas Kesehatan harus selalu bersedia
mendengar pendapat orang lain dan respon terhadap
pendapat orang lain. Kemampuan ini tentu saja untuk
melahirkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
yang memiliki rasa empati terhadap berbagai keluhan health
customer baik internal customer terlebih external customer.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang tidak
memiliki empati terhadap internal customer akan
menyebabkan rendahnya kinerja tenaga kesehatan yang pada
gilirannya akan berdampak pada rendahnya kinerja
organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang
dipimpinnya. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
yang tidak memiliki empati terhadap health external
customer akan membentuk opini publik bahwa mutu
pelayanan kesehatan rendah. Seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota juga harus mampu
memahami perasaan orang lain dan memiliki cara untuk

115
memahami orang lain. Apabila Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota tidak memiliki kemampuan ini atau
tidak memiliki cara untuk memahami orang lain, seorang
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota akan sulit
memotivasi tenaga kesehatan agar bekerja dengan baik
(internal customer) dan akan sulit melahirkan kebijakan
kesehatan, program kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan (external customer).
Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa mencari
informasi kebutuhan pengguna jasa dan menyesuaikannya,
bertanggung jawab terhadap penyelesaian masalah,
memberikan nasehat dalam hal kebutuhan dan masalah,
berorientasi pada kebutuhan pengguna jasa di masa depan
merupakan indikator yang valid dan reliabel terhadap
variabel Berorientasi pada Pelayanan kepada Pengguna Jasa
(customer service orientation) sebagai salah satu kompetensi
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu
saja sejalan dengan indikator yang pernah dikemukakan oleh
Spencer dan Spencer (1993), sehingga teori yang pernah
dikemukakan tersebut dapat diterapkan dalam
merencanakan, mengembangkan, dan mengevaluasi
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
khususnya kompetensi Berorientasi pada Pelayanan kepada
Pengguna Jasa (customer service orientation).
Mendengar pendapat orang lain, respon terhadap
pendapat orang lain, memahami perasaan orang lain, punya
cara untuk memahami orang lain, seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota juga harus selalu mencari
informasi kebutuhan pengguna jasa pelayanan kesehatan dan
menyesuaikannya, bertanggung jawab terhadap penyelesaian
masalah kesehatan, memberikan nasehat dalam hal
kebutuhan dan masalah, berorientasi pada kebutuhan
pengguna jasa pelayanan kesehatan di masa depan.
Kompetensi ini tentu saja saling melengkapi dan bermuara
pada orientasi pelayanan terhadap pengguna jasa pelayanan
kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota

116
bukanlah untuk dilayani melainkan untuk melayani. Hal ini
mengandung pengertian bahwa seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota bukan hanya abdi negara
tetapi juga sebagai abdi masyarakat. Oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Kota harus selalu berusaha mencari
informasi kebutuhan pengguna jasa pelayanan kesehatan dan
administrasi kesehatan dan dengan cepat dan tepat
menyesuaikan jasa yang ditawarkan sesuai dengan
kebutuhan tersebut. Kepala Dinas Kesehatan juga harus
tampil paling depan untuk bertanggung jawab apabila terjadi
masalah di bidang kesehatan di Kabupaten atau Kota,
terlepas dari siapa yang melakukan kesalahan sehingga
menimbulkan masalah kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota tidak hanya mengelola (me-manage)
sumber daya kesehatan yang ada terutama sumber daya
manusia kesehatan tetapi juga harus mampu bertindak
sebagai penasehat dalam hal kebutuhan dan masalah
kesehatan. Demikian juga dalam membuat berbagai program
di bidang kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota harus selalu berorientasi pada kebutuhan pengguna jasa
pelayanan kesehatan di masa depan. Kompetensi inilah yang
membentuk kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota dalam hal Berorientasi pada Pelayanan kepada
Pengguna Jasa (customer service orientation).
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa mengetahui
kebutuhan orang lain, menanggapi keluhan orang lain, dan
ramah terhadap siapapun yang baru kenal merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel
ketanggapan (responsiveness) sebagai salah satu kompetensi
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini
sejalan dengan indikator yang tercantum dalam Permenkes
Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar
Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan Kepala
BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi Jabatan, dan Keputusan Kepala BKN
Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar

117
Kompetensi Jabatan bagi PNS, sehingga indikator ini dapat
diterapkan dalam merencanakan, mengembangkan, dan
mengevaluasi kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi tanggap
(responsiveness).
Mengetahui kebutuhan orang lain, menanggapi
keluhan orang lain, dan ramah terhadap siapapun adalah
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Menurut Raymond (2004), ada 3
elemen kunci dalam model kompetensi, yaitu: karakteristik
kepribadian yang mendasar (underlying characteristics),
hubungan sebab akibat (causality), dan kinerja (performance).
Sifat-sifat menanggapi keluhan orang lain dan ramah
terhadap siapapun merupakan bagian integral dari
kepribadian seseorang (underlying characteristics) yang
memiliki hubungan sebab akibat dengan kinerja
(performance).
Berdasarkan hasil analisis model, penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel Membantu dan Melayani
(helping and human service) valid dan reliabel untuk
mengukur Kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota dengan indikator meliputi: memahami orang lain
atau empati (interpersonal understanding), berorientasi pada
pelayanan kepada pengguna jasa (customer service
orientation), dan ketanggapan (responsiveness). Hasil ini
sejalan dengan Spencer dan Spencer (1993), ACHE (2001),
NIPEC (2012), dan U.S. Departement of Health and Human
Services (2002), Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan,
Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan, dan
Keputusan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa memahami Orang
Lain atau Empati (interpersonal understanding), berorientasi
pada pelayanan kepada pengguna jasa (customer service

118
orientation), dan ketanggapan (responsiveness) dapat
dijadikan sebagai indikator kompetensi Membantu dan
Melayani (helping and human service) bagi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota.

C. Kompetensi Kepemimpinan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
mengantisipasi pengaruh tindakan terhadap pandangan
orang lain, memanfaatkan fakta dan data kesehatan dalam
menjelaskan gagasan, melakukan koalisi dan advokasi untuk
memperoleh pengaruh, dan mengelola keterampilan
kelompok merupakan indikator yang valid dan reliabel
terhadap variabel Dampak dan Pengaruh (impact and
influence) sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hasil ini tentu saja sejalan
dengan indikator yang pernah dikemukakan oleh Spencer
dan Spencer (1993), sehingga teori yang pernah dikemukakan
tersebut dapat diterapkan dalam merencanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi
Dampak dan Pengaruh (impact and influence).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota perlu
melakukan antisipasi pengaruh tindakan terhadap
pandangan orang lain dalam menjalankan tugasnya di bidang
kesehatan. Hal ini mengandung pengertian bahwa Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota selalu mengkaji setiap
tindakan yang dilakukan dari cara pandang orang lain. Untuk
mendukung hal ini maka seorang Kepala Dinas Kesehatan
harus memanfaatkan fakta dan data dalam menjelaskan
gagasan sehingga cara pandang yang berbeda dapat
diminimalisir dan setiap gagasan yang disampaikan dapat
dengan mudah mendapat respon positif dari orang lain
apalagi kelompok yang memiliki dampak terhadap
implementasi gagasan tersebut. Selain itu, seorang Kepala
Dinas Kesehatan juga harus mampu melakukan koalisi dan
advokasi untuk memperoleh pengaruh sehingga berbagai

119
program kesehatan yang dijalankan mendapat dukungan dari
berbagai pihak terutama pihak-pihak yang memiliki peranan
dalam memberhasilkan program kesehatan. Manajemen
keterampilan kelompok juga merupakan kompetensi yang
harus dimiliki oleh setiap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota. Pengelolaan keterampilan kelompok akan lebih
berdampak luas hasilnya dibandingkan dengan pengelolaan
keterampilan pribadi. Partisipasi masyarakat yang
diberdayakan secara dini dalam setiap program kesehatan di
daerah akan memperoleh daya dukung yang tinggi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
memahami struktur organisasi informal, mengenali batasan
organisasi yang tidak terlihat, mengenali masalah dan
peluang yang mempengaruhi organisasi, dan merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel Kesadaran
Berorganisasi (organizational awareness) sebagai salah satu
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Hasil ini tentu saja sejalan dengan indikator yang pernah
dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1993), sehingga teori
yang pernah dikemukakan tersebut dapat diterapkan dalam
merencanakan, mengembangkan, dan mengevaluasi
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
khususnya kompetensi Kesadaran Berorganisasi
(organizational awareness).
Memahami struktur organisasi Dinas Kesehatan dan
organisasi formal lainnya yang berhubungan dengan program
kesehatan di daerah tidaklah cukup bagi seorang Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Memahami struktur
informal merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota untuk
melengkapi pemahaman terhadap struktur organisasi formal.
Pengalaman membuktikan bahwa banyak program kesehatan
yang berhasil sebagai akibat keterlibatan organisasi informal,
baik dari pada saat perencanaan terlebih pada saat
pelaksanaan program. Pemahaman terhadap organisasi
informal ini merupakan langkah awal upaya untuk

120
memberdayakannya dalam berbagai program kesehatan di
daerah. Selain itu, seorang Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota juga tidak cukup hanya mengenali
batasan organisasi yang terlihat saja, tetapi juga harus
mengenali batasan organisasi yang tidak terlihat. Apabila hal
ini dapat terwujud, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota harus mampu juga untuk mengenali masalah dan
peluang yang mempengaruhi organisasi Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dan jajaran di bawahnya seperti
Puskesmas. Indikator-indikator inilah yang membentuk
kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
dalam hal Kesadaran Berorganisasi (organizational
awareness).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
membangun hubungan dengan banyak orang serta membagi
informasi pribadi untuk mendapat dukungan dan empati
merupakan indikator yang valid dan reliabel terhadap
variabel Membangun Hubungan Kerja (relationship building)
sebagai salah satu kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Hasil ini sejalan dengan indikator yang
pernah dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1993),
sehingga teori yang pernah dikemukakan tersebut dapat
diterapkan dalam merencanakan, mengembangkan, dan
mengevaluasi kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota khususnya kompetensi Membangun
Hubungan Kerja (relationship building).
Membangun hubungan dengan banyak orang serta
membagi informasi pribadi untuk mendapat dukungan dan
empati merupakan elemen dari membangun hubungan kerja.
Terciptanya jaringan kerja yang baik akan mempermudah
koordinasi dan sinkronisasi program pembangunan
kesehatan di daerah dengan program pembangunan sektor
lainnya bahkan program pembangunan sektor kesehatan
pada jenjang yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, seorang Kepala
Dinas Kesehatan harus memiliki kompetensi membangun
hubungan dengan banyak orang. Selain itu sharing informasi

121
perlu dilakukan guna mendapat dukungan dan empati dari
berbagai pihak terhadap berbagai program kesehatan di
daerah.
Berdasarkan hasil analisis model, penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel Kepemimpinan (leadership)
valid dan reliabel untuk mengukur Kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan indikator meliputi:
Dampak dan Pengaruh (impact and influence) Kesadaran
Berorganisasi (organizational awareness), dan Membangun
Hubungan Kerja (relationship building). Hasil ini sejalan
dengan Spencer dan Spencer (1993), ACHE (2001), AONE
(2005), dan U.S. Departement of Health and Human Services
(2002), Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan
Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan, dan Keputusan
Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Rob
(2016), mengenai 6 kunci kompetensi kepemimpinan, yaitu
penetapan visi dan pengambilan keputusan, komunikasi,
manajemen sumber daya manusia, kapasitas teknis, dan
kecerdasan emosional. Hal senada, sebagaimana
dikemukakan Rowitz (2016) bahwa kepemimpinan adalah
kreativitas dalam bertindak, kepemimpinan merupakan
kemampuan untuk melihat masa saat ini yang berhubungan
dengan masa depan, namun tetap menghargai masa lalu.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Dampak dan
Pengaruh (impact and influence) Kesadaran Berorganisasi
(organizational awareness), dan Membangun Hubungan
Kerja (relationship building) dapat dijadikan sebagai
indikator kompetensi Kepemimpinan (leadership) bagi
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.

122
D. Kompetensi Manajerial.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
menunjukkan harapan positif kepada orang lain, memberikan
arahan dan demonstrasi untuk melatih, memberikan umpan
balik negatif kepada perilaku yang buruk, dan
mendelegasikan tanggung jawab untuk pengembangan orang
lain merupakan indikator yang valid dan reliabel terhadap
variabel Mengembangkan Orang Lain (developing others).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa menghadapi
masalah kinerja orang lain dengan terbuka, menetapkan
standar dan kualitas kerja, menolak permintaan yang tidak
rasional, dan memberikan arahan secara terinci merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel
Mengarahkan atau Memberi Perintah (directiveness).
Indikator meminta ide dan pendapat dalam
memutuskan, menjaga orang lain tetap memiliki akses
terhadap informasi, memperlihatkan harapan positif terhadap
orang lain, menghargai keberhasilan orang lain, mendorong
orang lain dan membuat mereka merasa penting, berdasarkan
hasil penelitian ini menunjukkan hasil sebagai indikator yang
valid dan reliabel terhadap variabel kompetensi Kerjasama
Kelompok (teamwork).
Indikator memberikan informasi kepada tenaga
kesehatan, memperlakukan tenaga kesehatan secara adil,
menggunakan strategi untuk mendorong produktivitas
tenaga kesehatan, memastikan bahwa kebutuhan tenaga
kesehatan terpenuhi, dan menjamin orang lain masuk dalam
misi, sasaran, dan kebijakan kesehatan juga menunjukkan
hasil sebagai indikator yang valid dan reliabel terhadap
variabel kompetensi Memimpin Kelompok (team leadership).
Berdasarkan analisis model yang dilakukan dalam
penelitian ini, kompetensi Manajerial (managerial)
memenuhi syarat sebagai indikator yang valid dan reliabel
terhadap kompetensi jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota. Hasil ini sejalan dengan pendapat
Spencer dan Spencer (1993), NIPEC (2012) dan U.S.

123
Departement of Health and Human Services (2002),
Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan
Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan, dan Keputusan
Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS. Oleh
sebab itu kompetensi manajerial (managerial) ini dapat
dijadikan sebagai indikator kompetensi bagi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota.

E. Kompetensi Berpikir.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menetapkan
prioritas pekerjaan berbasis tingkat kepentingan, membagi
pekerjaan yang rumit menjadi beberapa bagian, mengenali
penyebab suatu kejadian merupakan indikator yang valid dan
reliabel terhadap variabel Berpikir Analitis (analytical
thinking).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
menggunakan logika dan pengalaman dalam mengkaji
masalah, melihat perbedaan situasi dan hal-hal yang pernah
terjadi, mempraktekkan dan memodifikasi konsep dan
metode, dan mengidentifikasi hubungan berbagai fenomena
berbasis data merupakan indikator yang valid dan reliabel
terhadap variabel Berpikir Konseptual (conceptual thinking).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
memelihara dan mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan kesehatan, menunjukkan ketertarikan pada
bidang kesehatan, mendorong orang lain menyelesaikan
masalah teknis pekerjaan, belajar hal-hal yang baru di bidang
kesehatan, dan menyebarkan teknologi baru di bidang
kesehatan secara aktif merupakan indikator yang valid dan
reliabel terhadap variabel Keahlian (expertise).
Berdasarkan analisis model yang dilakukan dalam
penelitian ini, kompetensi Berpikir (cognitive) memenuhi
syarat sebagai indikator yang valid dan reliabel terhadap

124
kompetensi jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota. Hasil ini sejalan dengan pendapat Spencer dan Spencer
(1993), AONE (2005), Permenkes Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan Kepala BKN Nomor
13 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan, dan Keputusan Kepala BKN Nomor 7
Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Kompetensi Jabatan bagi PNS. Oleh sebab itu kompetensi
berpikir (cognitive) dapat dijadikan sebagai indikator
kompetensi bagi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota.

F. Kompetensi Efektivitas Pribadi.


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsisten
pernyataan dan tindakan, transparan dalam segala situasi dan
kondisi kerja, dan memperhatikan nilai-nilai, norma, atau
etika yang berlaku merupakan indikator yang valid dan
reliabel terhadap variabel Integritas (integrity).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya haruslah konsisten
pernyataan dan tindakan. Hal ini mengandung pengertian
bahwa sebagai pejabat publik, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota harus konsisten dalam ucapan, sikap,
dan penampilan dengan tindakan yang dilakukan sebagai
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Konsistensi ini
juga mengandung pengertian tidak menutup-nutupi
kelemahan atau masalah dalam pekerjaan tetapi harus
transparan dalam segala situasi dan kondisi kerja sehingga
stakeholder memiliki kepercayaan terhadap integritas
kepribadian Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Demikian juga seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota harus memperhatikan nilai-nilai, norma, atau etika
yang berlaku di daerah sehingga melengkapi integritas
konsistensi pernyataan dan tindakan serta keterbukaan dalam
melaksanakan tugas. Sering ditemukan bahwa seorang

125
Kepala Dinas Kesehatan konsisten ucapan dan perbuatan
serta tidak menutup-nutupi kesalahan organisasinya, tetapi
cara penyampaian yang tidak sesuai dengan nilai-nilai,
norma, atau etika masyarakat setempat sehingga justru
menimbulkan masalah baru dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai pejabat publik. Oleh sebab itu,
ketiga indikator ini harus dimiliki oleh seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota sebagai kompetensi
integritasnya.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sikap
untuk tidak mudah marah, berani menolak terlibat dalam hal-
hal yang tidak perlu, bersikap tenang dalam situasi yang
rumit, dan memberi respon yang baik terhadap berbagai
masalah yang dihadapi merupakan indikator yang valid dan
reliabel terhadap variabel pengendalian diri (self-control).
Pengendalian diri harus dimiliki oleh seorang Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota seharusnya tidak mudah
untuk marah dalam pengertian bukan tidak boleh marah
tetapi mampu mengendalikan amarahnya ketika mengalami
suatu tekanan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
juga harus memiliki keberanian untuk menolak terlibat dalam
hal-hal yang tidak perlu dan tidak produktif. Kepala Dinas
Kesehatan juga harus selalu bersikap tenang dalam situasi
yang rumit sekalipun sebagai wujud pengendalian diri.
Demikian juga ketika menghadapi berbagai masalah
kesehatan, seorang Kepala Dinas Kesehatan harus merespon
dengan baik sehingga melalui sikap ini akan ditemukan solusi
perbaikan yang lebih objektif.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa berani
bertindak benar sekalipun ditentang orang lain, merupakan
pribadi yang percaya diri, memiliki kepercayaan penilaian
atas kemampuan sendiri, menentukan posisi yang jelas dan
percaya diri terhadap orang lain, bertanggung jawab atas
kesalahan yang diperbuat, dan selalu belajar dari kesalahan,
analisis kinerja dan memperbaikinya merupakan indikator
yang valid dan reliabel terhadap variabel percaya diri (self-
confidence).

126
Kebijakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota adakalanya ditentang oleh orang lain walaupun telah
dilakukan kajian secara mendalam dan komprehensif. Dalam
hal ini sifat berani bertindak benar walaupun ditentang orang
lain harus dimiliki oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota. Sifat seperti ini bukanlah otoriter sejauh program
atau kebijakan kesehatan yang ditawarkan bersifat evidence
based (berbasis bukti) dan tujuannya untuk kepentingan
masyarakat secara luas di bidang kesehatan. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota juga dituntut untuk memiliki
kepercayaan penilaian atas kemampuan sendiri dan tidak
tergantung pada suara-suara orang lain yang masih perlu
diuji kebenarannya. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota harus berani menentukan posisi yang jelas dan percaya
diri terhadap orang lain serta selalu siap untuk bertanggung
jawab apabila ada kesalahan yang diperbuat dalam arti tidak
melempar tanggung jawab kepada orang lain. Kepala Dinas
Kesehatan juga harus selalu belajar dari kesalahan, secara
berkala melakukan analisis kinerja kesehatan dan selalu
berusaha meningkatkan hasil dan proses pekerjaannya.
Kemampuan inilah yang membentuk seorang Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota memiliki kompetensi percaya
diri (self-confidence).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengenali
kebenaran pendapat orang lain, mudah beradaptasi terhadap
perubahan pekerjaan, menerapkan peraturan secara fleksibel,
dan merubah perilaku sesuai situasi merupakan indikator
yang valid dan reliabel terhadap variabel fleksibilitas
(flexibility).
Ada kesan bahwa kemampuan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota mengenali kebenaran pendapat orang
lain, mudah beradaptasi terhadap perubahan pekerjaan,
menerapkan peraturan secara fleksibel, merubah perilaku
sesuai situasi kontraproduktif dengan kompetensi percaya
diri sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tetapi apabila
ditelaah lebih lanjut justru kemampuan ini melengkapi

127
kompetensi percaya diri karena percaya diri yang berlebihan
akan menghasilkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota yang tidak fleksibel. Sebagai contoh bahwa ketika suatu
kebijakan kesehatan yang telah dikaji secara mendalam dan
komprehensif mendapat tantangan dari pihak lain, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dapat menunjukkan
data dan kajian bagi yang menentang kebijakan kesehatan
tersebut sehingga pihak lain dapat memahami landasan
kebijakan kesehatan tersebut dan mungkin pihak lain tersebut
juga memiliki data dan kajian yang justru dapat melengkapi
data dan kajian yang ada. Pada titik inilah yang dimaksud
fleksibilitas justru melengkapi percaya diri. Selain seorang
Kepala Dinas Kesehatan harus mampu beradaptasi terhadap
perubahan pekerjaan, misalnya terjadi pergantian
kepemimpinan daerah yang biasanya memiliki visi dan misi
yang berbeda dengan pendahulunya. Dalam hal ini Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota harus mampu secara
cepat beradaptasi dengan tugas-tugas sehari-hari
menyesuaikan dengan kepemimpinan baru. Dalam
menerapkan peraturan di bidang kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota juga harus fleksibel dan
bahkan mampu merubah perilaku agar bersifat kontekstual.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bersedia
membantu teman kerja dalam menyelesaikan masalah,
menggabungkan aktivitas pribadi untuk kebutuhan
organisasi, memahami kebutuhan kerjasama untuk tujuan
organisasi, dan lebih memilih kebutuhan organisasi daripada
kepentingan sendiri merupakan merupakan indikator yang
valid dan reliabel terhadap variabel Komitmen terhadap
Organisasi (organizational commitment).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota selaku
pimpinan organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
harus bersedia membantu teman kerja dalam menyelesaikan
masalah kesehatan dalam arti tidak membiarkannya sendiri
karena kinerja organisasi kesehatan merupakan kumulatif
dari kinerja seluruh staf yang terlibat dalam organisasi

128
kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan juga harus mampu
menggabungkan aktivitas pribadi untuk kebutuhan
organisasi dalam arti bahwa aktivitas pribadi merupakan
pendukung aktivitas organisasi dan bukan sebaliknya. Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota juga harus mampu
memahami kebutuhan kerjasama untuk tujuan organisasi dan
pada saat-saat tertentu harus lebih memilih kebutuhan
organisasi daripada kepentingan sendiri. Apabila semua hal
ini dijalankan dengan baik maka Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dikatakan memiliki kompetensi
Komitmen terhadap Organisasi (organizational commitment).
Berdasarkan hasil analisis model, penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel Efektivitas Pribadi (personal
effectiveness) valid dan reliabel untuk mengukur Kompetensi
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan
indikator meliputi: Integritas (integrity), Pengendalian Diri
(self control), Percaya Diri (self confidence), Fleksibilitas
(flexibility), dan Komitmen terhadap Organisasi
(organizational commitment). Hasil ini sejalan dengan
Spencer dan Spencer (1993), ACHE (2001), dan U.S.
Departement of Health and Human Services (2002),
Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, Keputusan
Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan, dan Keputusan
Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa Integritas (integrity),
Pengendalian Diri (self control), Percaya Diri (self confidence),
Fleksibilitas (flexibility), dan Komitmen terhadap Organisasi
(organizational commitment) dapat dijadikan sebagai
indikator kompetensi Komitmen terhadap Organisasi
(organizational commitment) bagi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota.

129
G. Kompetensi Kepemimpinan Lokal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memahami
nilai-nilai utama budaya setempat, mengakui dan menghargai
nilai-nilai utama budaya setempat, dan mengembangkan dan
memanfaatkan nilai-nilai utama budaya merupakan indikator
yang valid dan reliabel terhadap variabel Memahami Nilai
Utama Budaya (Local Major Cultural Value Understanding).
Demikian juga memahami adat-istiadat setempat, mengakui
dan menghargai adat-istiadat setempat, dan mengembangkan
dan memanfaatkan adat-istiadat merupakan merupakan
indikator yang valid dan reliabel terhadap variabel
Memahami Adat Istiadat (Local Customs Understanding).
Pemberdayaan kearifan lokal merupakan salah satu
indikator keberhasilan otonomi daerah. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota dalam melaksanakan
tugasnya harus memahami nilai-nilai utama budaya,
mengakui dan menghargai nilai-nilai utama budaya, serta
mengembangkan dan memanfaatkan nilai-nilai utama budaya
setempat atau lokal, demikian juga adat-istiadat di Kabupaten
atau Kota setempat. Provinsi Sumatera Utara yang memiliki
keanekaragaman nilai budaya dan adat-istiadat merupakan
tantangan tersendiri dan sekaligus peluang bagi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota dalam melaksanakan
berbagai program pembangunan kesehatan di daerah
berbasis kearifan lokal. Sudah saatnya beberapa program
kesehatan di daerah dilakukan melalui pendekatan nilai-nilai
budaya dan adat-istiadat setempat. Sebagai contoh, kebiasaan
memberi makan kepada ibu hamil pada usia kehamilan 7
bulan bagi sub suku Batak Simalungun dapat dimanfaatkan
sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada
ibu yang akan menghadapi kelahiran sang bayi. Demikian
juga kebiasaan pantang terhadap makanan tertentu bagi ibu
hamil pada suku Nias dapat dimanfaatkan sebagai sarana
menyampaikan pesan-pesan gizi ibu hamil. Penyampaian
pesan-pesan kesehatan melalui kolaborasi adat-istiadat
setempat lebih mudah berdifusi dalam kehidupan sosial

130
kemasyarakatan dan akan lebih mudah diterapkan. Oleh
sebab itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota harus
memiliki kompetensi pemahaman terhadap nilai-nilai utama
budaya daerah (Local Major Cultural Value Understanding)
dan adat istiadat daerah (Local Customs Understanding)
terlebih hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa
Kepemimpinan Spesifik Lokal (Local Specific Leadership)
valid dan reliabel untuk mengukur Kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan indikator
pemahaman terhadap nilai-nilai utama budaya daerah (Local
Major Cultural Value Understanding) dan adat istiadat
daerah (Local Customs Understanding).
Penelitian ini telah membuktikan bahwa dimensi dan
indikator kompetensi sebagaimana dikemukakan Spencer
dan Spencer (1993) serta indikator yang telah ditetapkan
dalam Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan
adalah dimensi dan indikator yang valid dan reliabel
pembentuk model kompetensi jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Penelitian ini juga telah
membuktikan bahwa dimensi Kepemimpinan Spesifik Lokal
dengan indikator pemahaman terhadap nilai-nilai utama
budaya daerah (Local Major Cultural Value Understanding)
dan adat istiadat daerah (Local Customs Understanding)
adalah dimensi dan indikator yang valid dan reliabel
pembentuk model kompetensi jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota yang merupakan tambahan
dari dimensi dan indikator sebelumnya. Dimensi dan
indikator terakhir inilah yang merupakan novelty (kebaruan)
penelitian ini.
Indikator kompetensi jabatan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota yang merupakan hasil penelitian ini,
apabila dikaitkan dengan penyusunan standar kompetensi
manajerial untuk jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota, indikator-indikator tersebut dapat dikelompokkan
sebagai berikut:

131
Kompetensi yang berhubungan dengan personal,
meliputi: perhatian terhadap kejelasan kualitas dan ketelitian
kerja, inisiatif, mencari informasi, inovasi, empati,
ketanggapan, berpikir analitis, berpikir konseptual, keahlian,
integritas, pengendalian diri, percaya diri, fleksibilitas, dan
komitmen terhadap organisasi.
Kompetensi yang berhubungan dengan organisasional,
meliputi: orientasi pada prestasi, perencanaan, penganggaran,
pengorganisasian, orientasi pada kualitas, orientasi pada
pengguna jasa, dampak dan pengaruh, kesadaran
berorganisasi, dan membangun hubungan kerja,
mengembangkan orang lain, mengarahkan atau memberikan
perintah, kerja sama kelompok, dan memimpin kelompok
Kompetensi yang berhubungan dengan lingkungan,
meliputi: pemahaman terhadap nilai utama budaya lokal, dan
pemahaman terhadap adat istiadat lokal.

H. Kebaruan (novelty)
Hasil penelitian ini merupakan pengembangan dimensi
dan indikator pembentuk model kompetensi yang
dikemukakan Spencer dan Spencer (1993) dan kebijakan
pemerintah Indonesia yang terkait dengan dimensi dan
indikator kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kepala
BKN Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi Jabatan bagi PNS dan Permenkes Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan. Penelitian ini telah menemukan
dimensi baru yang merupakan tambahan untuk melengkapi
dimensi kompetensi tersebut di atas yaitu Kompetensi
Kepemimpinan Lokal (Local Leadership). Kompetensi ini
pada hakekatnya sejalan dengan otonomi daerah yang
berorientasi pada pengembangan dan pendayagunaan
kearifan lokal dalam segala aspek pembangunan termasuk di
bidang kesehatan. Melalui kompetensi kepemimpinan lokal
ini diharapkan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian

132
berbagai program kesehatan di daerah dapat lebih bersifat
kontekstual dan sesuai dengan nilai-nilai utama budaya yang
dianut oleh masyarakat setempat dan adat istiadatnya.
Mengacu pada hasil penelitian ini maka dimensi dan
indikator pembentuk model kompetensi Kepala Kesehatan
Kabupaten Kabupaten atau Kota yang sebelumnya terdiri
dari: Dimensi Kompetensi Prestasi dan Tindakan, dengan
indikator orientasi pada prestasi, perhatian terhadap kejelasan
kualitas dan ketelitian kerja, inisiatif, mencari dan
memanfaatkan informasi, perencanaan, penganggaran,
pengorganisasian, orientasi pada kualitas, dan inovasi;
Dimensi Kompetensi Membantu dan Melayani, dengan
indikator empati, orientasi pada pelanggan, dan ketanggapan;
Dimensi Kompetensi Kepemimpinan, dengan indikator
dampak dan pengaruh, kesadaran berorganisasi, dan
membangun hubungan kerja; Dimensi Kompetensi
Manajerial, dengan indikator mengembangkan orang lain,
mengarahkan atau memberi perintah, kerjasama kelompok,
dan memimpin kelompok, Dimensi Kompetensi Berpikir,
dengan indikator berpikir analitis, berpikir konseptual, dan
keahlian; dan Dimensi Kompetensi Efektivitas Pribadi,
dengan indikator integritas, pengendalian diri, percaya diri,
fleksibilitas, dan komitmen terhadap organisasi;
ditambahkan Dimensi Kompetensi Kepemimpinan lokal,
dengan indikator pemahaman nilai utama budaya lokal dan
pemahaman adat istiadat setempat. Model tersebut dapat
dilihat pada Gambar 17.

133
Gambar 17. Model kompetensi jabatan kepala dinas kesehatan
kabupaten atau kota

Dimensi Kepemimpinan Spesifik Lokal yang terdiri


dari Pemahaman Nilai Utama Budaya dan Pemahaman Adat
Istiadat yang hidup dan berkembang di Kabupaten atau Kota
merupakan novelty penelitian ini yang merupakan
pengembangan Teori Spencer dan Spencer (1993)
sebelumnya. Pentingnya kompetensi kepemimpinan spesifik
lokal dalam proses pembangunan kesehatan daerah
didasarkan pada pertimbangan bahwa perwujudan praktis

134
kehidupan sehari-hari masyarakat akan beriringan dengan
sistem ide, gagasan, dan nilai-nilai budaya lokal dan adat
istiadat yang hidup dan terpelihara sejak lama. Sikap dan
perilaku yang muncul dari individu atau masyarakat
merupakan refleksi dari tatanan nilai yang selama ini
dipegang. Jadi kepemimpinan spesifik lokal berperan sebagai
sentuhan nilai-nilai lokal dalam menyikapi berbagai masalah
kesehatan yang terjadi sesuai dengan kehidupan dan tatanan
nilai yang selama ini dipegang oleh masyarakat lokal.
Nilai merupakan penghargaan yang diberikan
terhadap suatu fenomena atau benda agar fenomena atau
benda tersebut bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Nilai inilah yang memungkinkan individu atau
kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang
ingin dicapai atau sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Secara
dinamis, nilai dapat dipahami dari produk sosial dan secara
perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima
sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai (value)
merupakan wujud dari aspek afektif (affective dimensi) serta
berada dalam diri seseorang yang secara utuh dan bulat
merupakan suatu sistem dengan berbagai bentuk seperti nilai
sosial, nilai budaya, nilai ekonomi, nilai etika, dan lain-lain
yang terpadu jalin menjalin serta saling mempengaruhi secara
kuat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu, nilai
berhubungan dengan sikap seseorang sebagai warga
masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu
agama dan warga dunia. Pada hakikatnya budaya memiliki
nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan, dan
dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial
kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya merupakan
manifestasi, dan legitimasi masyarakat terhadap budaya.
Eksistensi budaya dan keragaman nilai-nilai luhur
kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan
sarana dalam membangun karakter warga negara, baik yang
berhubungan dengan karakter pribadi (private) terlebih
karakter publik.

135
Indonesia dari perspektif antropologi terdiri dari
ratusan suku yang masing-masing memiliki adat-istiadat
yang berbeda-beda Keberhasilan suatu bangsa dalam
mengembangkan kesadaran masyarakatnya akan tantangan
dan persaingan global dewasa akan melahirkan suatu bangsa
yang mampu bersaing dengan bangsa maju lainnya. Ketika
berbicara mengenai adat-istiadat yang terlintas di benak
adalah sesuatu yang bersifat lokal atau kedaerahan dan
berasal dari zaman dahulu kala atau warisan nenek moyang.
Memang benar bahwa adat-istiadat tidak bisa dipisahkan
dengan suatu komunitas atau daerah adat-istiadat tersebut
lahir dan berkembang. Praktek adat-istiadat merupakan
proses dan produk revitalisasi serta transformasi
pengetahuan dan budaya. Tidak hanya itu adat-istiadat
memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih strategis
dalam bernegosiasi ketika menghadapi arus globalisasi yang
berupaya menyeragamkan umat manusia dalam berbagai
aspek kehidupan. Oleh sebab itu ada beberapa hal penting
dalam adat istiadat, diantaranya bahwa adat-istiadat
diciptakan oleh anggota komunitas atau masyarakat itu
sendiri, menjadi panutan bagi anggota komunitas dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari, dan adat-istiadat tidak
dapat muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil revitalisasi
dan transformasi pengetahuan serta budaya. Adat-istiadat
merupakan hasil cipta karya anggota masyarakat itu sendiri
melalui serangkaian “ujian” sejalan dengan kehidupan
komunitas atau masyarakat tersebut karena anggota
masyarakat setempatlah yang paling mengetahui segala hal
secara terperinci mengenai karakteristik komunitas/
masyarakatnya. Adat-istiadat lokal merupakan salah satu
produk budaya. Kebudayaan sebagai sistem simbol bersama,
keyakinan, dan praktik yang diciptakan oleh sekelompok
orang sebagai mekanisme adaptif untuk kelangsungan hidup
dan perkembangan mereka dan kemudian ditransmisikan
kepada generasi berikutnya sebagai bagian dari pengetahuan
mereka. Sebagai sebuah produk budaya adat-istiadat menjadi
identitas komunitas atau masyarakat yang membedakannya
dengan komunitas atau masyarakat lainnya.

136
Setiap komunitas pasti memiliki nilai-nilai budaya dan
adat-istiadat yang khas sesuai dengan karakteristik dan
merupakan identitas masing-masing. Identitas mengacu pada
sebuah refleksi individu ataupun secara kolektif. Komunitas
sebagai masalah pilihan yang mencerminkan otonomi dan
penentuan nasib diri yang lebih besar pada ranah identitas,
sementara identitas komunitas sebagai cerminan dari
pengaruh berbagai faktor yang kompleks yang mendorong
dan menarik individu terhadap penyebaran dan perpaduan
atau pemeliharaan kekhasan budaya sosial dalam masyarakat
yang dominan.
Kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
etnis dan suku yang memiliki karakteristik, nilai-nilai budaya
dan adat-istiadat masing-masing. Misalnya saja, suku Batak
kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan
kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan
etnis Cina terkenal dengan keuletan dan Suku Bangka
Belitung yang terkenal dengan sikap saling tolong-menolong
dan kepeduliannya. Lebih dari itu, masing-masing memiliki
keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang
mengitari mereka. Karakter ini tentu tidak muncul serta-
merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal
itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka.
Keterujiannya dalam sisi ini membuat nilai-nilai budaya dan
adat-istiadat melekat kuat pada kehidupan masyarakat.
Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai yang berakar
kuat pada setiap aspek kehidupan setiap etnis atau suku.
Kepemimpinan spesifik lokal merupakan
kepemimpinan dengan kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal
berupa nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang telah
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kepemimpinan spesifik lokal melalui kearifan lokal sangatlah
tepat. Hal ini dikarenakan pembangunan kesehatan berbasis
kearifan lokal adalah pembangunan yang dilaksanakan
dengan pendekatan dan situasi konkrit yang masyarakat

137
sehari-hari. Pembangunan kesehatan dengan kepemimpinan
lokal merupakan pembangunan yang mempunyai relevansi
tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup dengan berpijak
pada pemberdayaan keterampilan serta potensi lokal pada
tiap-tiap daerah. Kearifan lokal sangat banyak dan beraneka
ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku
bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta
menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula.
Kepemimpinan spesifik lokal dalam bidang kesehatan dapat
digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-
masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari
potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber
daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Masyarakat
bukan hanya dianggap sebagai objek pembangunan
kesehatan tetapi juga subjek atau pelaku-pelaku
pembangunan kesehatan yang membawa nilai-nilai budaya
yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Kepala Dinas Kesehatan yang kurang memahami nilai-nilai
utama budaya dan adat istiadat lokal cenderung kurang
sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat. Akibatnya,
pimpinan kesehatan daerah kurang mampu menghargai dan
memberdayakan keragaman budaya daerah.
Era reformasi dan otonomi daerah telah memberikan
ruang dan kesempatan kepada setiap daerah untuk
mengembangkan dan mempertahankan kebudayaan serta
mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal selama hal tersebut
tidak bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang
memberikan mekanisme bagi pemangku kedaulatan rakyat.
Hakikatnya masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman
tradisi, suku, dan latar belakang kearifan lokal yang berbeda.
Kearifan lokal tersebut merupakan warisan leluhur atau
nenek moyang yang harus dilestarikan sebab kearifan lokal
secara tersirat merupakan identitas daerahnya. Jika kebebasan
dan kesamaan sebagaimana menurut sebagian pendapat
orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka
kebebasan dan kesamaan itu akan dapat dicapai apabila

138
semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian sepenuhnya
dalam pemerintahan. Cita-cita demokrasi dapat diwujudkan
dengan sesungguhnya bila setiap warga negara dapat
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Kepemimpinan kesehatan menduduki posisi vital
dalam pembangunan kesehatan. Keberhasilan pembangunan
kesehatan sangat ditentukan sejauh mana kompetensi yang
dimiliki seorang pemimpin. Kegagalan kepemimpinan sudah
dipastikan menyebabkan gagalnya upaya pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan. Lebih jauh, kepemimpinan
merupakan pengerahan dan pemanfaatan berbagai sumber
daya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan
itu. Kepemimpinan sebagai suatu proses sosial, meletakkan
bobotnya pada interaksi orang-orang, baik orang-orang yang
berada di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal,
atau yang berada di atas maupun di bawah posisi operasional
seseorang. Selain itu juga kepemimpinan kesehatan
merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat bukanlah tugas yang ringan, karena tidak hanya
berkaitan dengan permasalahan teknis tetapi mencakup
berbagai persoalan yang rumit dan kompleks. Kompleksitas
diskursus kepemimpinan kesehatan dilatarbelakangi oleh
keniscayaan akan adanya basis filosofis yang kuat untuk
melandasinya. Kepemimpinan kesehatan yang tidak dilandasi
filosofis yang kuat dan tidak ditopang oleh nilai-nilai budaya
dapat berakhir pada kegagalan. Sebaliknya, kepemimpinan
dengan landasan filosofis yang kuat akan bertahan lebih lama
dan adaptif.
Kebutuhan akan landasan filosofis itulah yang
menyebabkan diskursus kepemimpinan kesehatan lebih
rumit dan tidak sekedar persoalan teknis semata. Selanjutnya,
Dinas Kesehatan dapat dipahami sebagai tempat bagi
penyelenggaraan kepemimpinan kesehatan. Organisasi
Kesehatan merupakan suatu pranata sosial karena organisasi
kesehatan merupakan tempat yang dihuni orang-orang dari

139
berbagai latar belakang sosial, yang kemudian membentuk
suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya tertentu. Pada
organisasi Dinas Kesehatan dan perangkatnya inilah berbagai
nilai bertemu, bersatu, bekerjasama dalam mewujudkan visi-
misi bersama. Nilai-nilai dan budaya yang beragama itulah
sangat potensial untuk mendukung keberhasilan
kepemimpinan kesehatan, tetapi pada saat bersamaan dapat
menjadi penghambat. Dalam konteks inilah dapat dilihat
adanya infiltrasi kekuatan nilai-nilai budaya dalam
mempengaruhi jalannya kepemimpinan kesehatan. Nilai-nilai
budaya yang berdiam dalam jiwa-batin masyarakat secara
hampir kasat-mata berpengaruh besar terhadap keberhasilan
kepemimpinan kesehatan. Kenyataan inilah kiranya
dikatakan bahwa kepemimpinan kesehatan memiliki
landasan epistemologis untuk mendasarkan dirinya pada
nilai-nilai budaya. Dengan kata lain, inilah apa yang disebut
sebagai kepemimpinan berbasis budaya (culture-based
leadership). Tidaklah mengherankan apabila keragaman latar
belakang kultur berdampak secara serius pada praktik
kepemimpinan. Selaras dengan itu, Kepala Dinas Kesehatan
dituntut untuk bisa mengubah filosofi dari memperlakukan
setiap orang dengan cara yang sama menjadi mengenali
perbedaan masing-masing dan kekhasan komunitas yang
menjamin kesetiakawanan dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan. Adanya nilai-nilai khas masyarakat yang dapat
mendukung terselenggaranya pembangunan kesehatan
dengan arif, tepat sasaran dan tidak tercabut dari kebudayaan
lokal akan menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan dengan baik. Selain itu Kepala Dinas Kesehatan
harus „melek‟ terhadap nilai-nilai utama budaya setempat dan
adat-istiadat lokal sebagai aset yang sangat berguna untuk
kepentingan dan cita-cita pembangunan kesehatan yaitu
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

140
BAB IX
IMPLIKASI KEBIJAKAN

Pengujian kompetensi merupakan metode rekruitmen


seseorang yang akan menduduki suatu jabatan ketika metode
uji intelegensi dan prestasi akademik ternyata tidak mampu
memprediksi dengan tepat kinerja seseorang ketika
menduduki suatu jabatan. Metode uji kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota adalah cara yang
dilakukan untuk menguji kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki seseorang yang akan menduduki jabatan tersebut
berupa pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan sikap
perilaku yang diperlukan dalam menjalankan tugas-tugas dan
fungsi jabatan sehingga terlaksana dengan baik.
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara memberikan peluang diterapkannya pengujian
kompetensi dalam proses rekrutmen jabatan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Pengisian jabatan pimpinan
tinggi di daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif
berdasarkan kompetensi. Peraturan Menteri PAN dan RB
Nomor 13 tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi di Lingkungan Instansi Pemerintah
merupakan tindak lanjut kebijakan tersebut.
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara menegaskan ada 3 dimensi kompetensi, yaitu: (a)
kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi
pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman
bekerja secara teknis; (b) kompetensi manajerial yang diukur
dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau
manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan (c)
kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman
kerja berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Sebelum UU
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
Kementerian Kesehatan melalui Permenkes RI Nomor

141
971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar Kompetensi
Pejabat Struktural Kesehatan telah merumuskan standar
kompetensi sebagai berikut: (a) Kompetensi Dasar yang
meliputi integritas, kepemimpinan, perencanaan,
penganggaran, pengorganisasian, kerjasama dan fleksibel, (b)
Kompetensi Bidang yang meliputi orientasi pada pelayanan,
orientasi pada kualitas, berpikir analitis, berpikir konseptual,
keahlian teknikal, manajerial, dan profesional dan inovasi,
dan (c) Kompetensi Khusus yang meliputi pendidikan,
pelatihan dan pengalaman jabatan. Berdasarkan aspek
kualifikasi pendidikan, Permenkes Nomor 49 Tahun 2016
tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kabupaten atau Kota mensyaratkan kualifikasi
pendidikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
yaitu Sarjana Strata-1 Kesehatan atau Diploma IV Kesehatan
dengan Sarjana Strata-2 bidang Kesehatan. Hasil penelitian
ini mengembangkan standar, dimensi, dan indikator
kompetensi yang sudah ada tersebut dengan ditambahkannya
kompetensi kepemimpinan lokal yaitu memahami nilai-nilai
utama budaya lokal dan memahami adat-istiadat lokal.
Operasionalisasi pengukuran kompetensi sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara yang ditindaklanjuti Menteri PAN dan
RB melalui Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 13 Tahun
2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan secara Terbuka di
Lingkungan Instansi Pemerintah, khususnya untuk jabatan
Kepala Dinas Kesehatan memerlukan dimensi dan indikator
khusus berdasarkan hasil penelitian ini. Oleh sebab itu
Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan perlu
ditinjau kembali dan disesuaikan dengan hasil penelitian ini.

142
BAB X
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya


didapat kesimpulan bahwa kajian ini menghasilkan dimensi
dan indikator pembentuk Model Kompetensi Jabatan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, sebagai berikut: (1)
Prestasi dan tindakan, pelayanan, kepemimpinan, manajerial,
berpikir, efektivitas pribadi, dan kepemimpinan spesifik lokal
merupakan dimensi kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota; (2) Orientasi pada prestasi, perhatian
terhadap kejelasan kualitas dan ketelitian kerja, inisiatif,
mencari informasi, perencanaan, penganggaran,
pengorganisasian, orientasi pada kualitas, dan inovasi
merupakan indikator dimensi kompetensi prestasi dan
tindakan dalam model kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota; (3) Empati, orientasi pada pengguna
jasa, dan ketanggapan merupakan indikator dimensi
kompetensi pelayanan dalam model kompetensi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota; (4) Dampak dan
pengaruh, kesadaran berorganisasi, dan membangun
hubungan kerja merupakan indikator dimensi kompetensi
kepemimpinan dalam model kompetensi Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota; (5) Kemampuan
mengembangkan orang lain, mengarahkan atau memberikan
perintah, kerja sama kelompok, dan memimpin kelompok
merupakan indikator dimensi kompetensi manajerial dalam
model kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota; (6) Kemampuan berpikir analitis, berpikir konseptual,
dan keahlian merupakan indikator dimensi kompetensi
berpikir dalam model kompetensi Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota; (7) Integritas, pengendalian diri,
percaya diri, fleksibilitas, dan komitmen terhadap organisasi
merupakan indikator dimensi kompetensi efektivitas Pribadi

143
dalam model kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota; (8) Pemahaman terhadap nilai utama budaya lokal,
dan pemahaman terhadap adat istiadat lokal merupakan
indikator dimensi kompetensi kepemimpinan lokal dalam
model kompetensi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota.

144
DAFTAR PUSTAKA

ACHE, American College of Healthcare Executives, (2015).


Competencies Assessment Tool. USA: American Health
Manager Association;
AONE, The American Organization of Nurse Executives. (2005).
Nurse Executive Competencies Assessment Tool. USA:
Lippincott Williams and Wilkins;
AONE, The American Organization of Nurse Executives. (2006)
The Executive Master of Science in Nursing Program:
Competencies and Learning Experiences, USA: American
Organization of Nurse Executives;
Amstrong, M., (2001). The Art of HRD: Human Resource
Management. New Dehli: Crest Publishing House;
Barry R., (2006). Operations Management. Jakarta: Salemba Empat;
Briscoe D. R., Schuler R. S, and Claus L.M., (2009). International
Business Enterprises, Personnel Management, 3rd ed,
London: Routledge Global Human Resource Management
Series;
Browne, M.W. & Cudeck, R., (1993). Testing Structural Equation
Model: Alternative Ways of Assessing Model. London:
SAGE Publication Inc.;
Cooper, R.K. dan Sawaf, A, (1997). Executive EQ: Emotional
Intelligence in Leadership and Organisations. New York:
Grosset/Putnum;
Dubois, D.A., (1993). Competency-based Human Resource
Management, Palo-Alto: CA Davies-Black;
Ede, S.D. dan Amal,C.S., (2017). Administrasi Kesehatan
Masyarakat: Teori dan Praktek. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada;
Effendi, T., (2002). Pemimpin Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka;
Grant, S., and Young, R., (2010). Concepts and Standardization in
Areas Relating to Competence. International Journal of IT
Standards and Standardization Research, 8 (2):29-44;

145
Griffith, J.R., (1997). The Well-Managed Community Hospitals.
Health Care Management Review, 54 (1): 30–44;
Harris M.G. & Bleakley M., (2012). Competencies Required of
Health Service Managers in the 1990s. Austalian Health
Review, 14(4):363-79, diakses 8 Januari 2016 dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10121769;
Heffernan, M.M. and Flood, P.C., (2000). An Exploration of the
Relationships between the Adoption of Managerial
Competencies, Organisational Characteristics, Human
Resource Sophistication and Performance in Irish
Organisations, Journal of European Industrial Training, 24
(2/3/4): 128-136;
Hendratno, E.T., (2009). Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan
Federalisme, Jakarta: Graha Ilmu;
Henry F., (2017). Ilmu Manajemen Industri, diakses 24 Pebruari
2017 dari: http://ilmumanajemenindustri.com/14-prinsip-
manajemen-menurut-henri-fayol;
Hofstede, Geert, Gert J. H. and Michael M., (2010). Cultures and
Organization, 3rd edition. New York: Mc GrawHill;
Hooper, D., Coughlan, J. and Mullen, M. R., (2008). Structural
Equation Modelling: Guidelines for Determining Model Fit,
Journal of Business Research Methods, 6 (1): 53 – 60;
Hughes DL, Collins KS, , Doty MM, Ives BL, Edwards JN, Tenney
K. (1999). Diverse Communities, Common Concerns:
Assessing Health Care Quality for Minority Americans.
New York: The Commonwealth Fund;
Hutapea, P. dan Thoha N., (2008). Kompetensi Plus. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama;
Istianto, B., (2011). Manajemen Pemerintah dalam Perspektif
Pelayanan Publik. Jakarta: Mitra Wacana Media;
Joreskog, K.G & Sorbom, D., (1993). Structural Equation Modeling
with the SIMPLIS Command Language. Chicago: Scientific
Software International;
KBBI, (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;

146
Kementerian Kesehatan RI, (2014). Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI;
Koentjaraningrat, (2007). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia;
Kotter, J.P., (1998). Leading Change. Boston: Harvard Bussiness
School Press;
Laia, F., (2015). Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi dan
Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Pegawai pada
Humas Pemerintah Kota Gunungsitoli, Tesis. Padang:
Universitas Andalas;
Loma‟s Competency Dictionary, (2011). Loma Information that
Works, Atlanta: Windy Ridge Parkway;
Lucia, A.D, (2003). The Art and Science of Competency Models:
Pinpointing Critical Success Factors in Organizations. San
Francisco: Jossey-Bass Pfieffer;
Margaret D., (2003). Developing Management Skills. London:
Kogan Pentoville Road;
Marpaung, P., (2000). Analisis Perubahan Nilai Sosial Budaya dan
Pengaruhnya terhadap Pembangunan Wilayah di
Kecamatan Pangururan Kabupaten Tapanuli Utara. Medan:
Program Pasca Sarjana USU;
Mc.Clelland, S, (1992). Behavioral Event Interview (BEI),
Psychological Science, 9(5):66-69;
Meyer J.D., 1990. Emotional Intelligence, Imagination, Cognition
and Personality, Baywood Publishing Co. Inc., Yale
University;
Michael, Z., (2000). Creating a Culture of Competence. New York:
John Wiley and Sons, Inc;
Miller, Rankin and Neathey, (2001). Competency Framerworks in
UK Organization. London: CIPD;
Moe J.L., Pappas G. and Murray A., (2007). Transformational
Leadership, Transnational Culture and Political Competence
an Globalizing Health Care Services: A Case Study of
Jordan's King Hussein Cancer Center, Globalization and
Health, 3:11-20;

147
Nankervis, Alan R., Compton, Robert L., McCarthy,Terence E.,
(1996). Strategic Human Resource Management. South
Melbourne: International Thompson Publishing Company;
Ndraha, T., (2003), Kybernology 2: Ilmu Pemerintahan Baru.
Jakarta: PT. Asdi Mahasatya;
NIPEC, The Northern Ireland Practice and Education Council for
Nursing and Midwifery, (2012). Supporting Professional
Development: A Competence Assessment Tool for Team
Leaders, Belfast-Irlandia: Department of Health, Social
Services, and Public Safety;
Palan, R., (2007). Competency Management, A Practitoner Guide,
Specialist Management Resources. Kuala Lumpur: Sdn.
Berhad;
Pawlowski, J. M. and Holtkamp, P., (2012) Towards an
internationalization of the information systems curriculum.
In Proceedings of MKWI 2012, Braunschweig: Multi
Conference Business Information Systems;
Pelly, U., (1994). Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan;
Poloma M.M, (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada;
Rajamarpodang, D.J.G. (1992). Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku
Batak. Medan: Media Sarana;
Ranzijn, R., McConnochie, K., and Nolan, W., (2007). Place,
Connection, Relationship: Indigenous Identity in
Contemporary Psychology. Melbourne: Thomson;
Raymond, B., (2004). Clinical Information Systems: Achieving the
Vision. Oakland: Kaiser Permanente Institute for Health
Policy;
Rhymes J, Brown D.C., (2005). Summary Report Cultural
Competence in Primary Health Care: Perspectives, Tools
and Resources. Nova Scotia: Capital Health;
Robbins, Stephen P. and Timothy A.J., (2010). Perilaku Organisasi,
Edisi ke 16. Jakarta: Salemba Empat;
Rob Moodie, (2016). Learning about self: leadership skills for
public health, Journal of Public Health Research, 5 (679): 1-6;

148
Roe, R.A., 2014. What Makes a Competent Psychologist, European
Psychologist, 7(3): 192–202;
Ronald A., Heifetz dan Laurie D.L., (1998). The Work of
Leadership, diakses 8 Januari 2016 dari:
http://www.ucdenver.edu/academics/honors/UHDL/
admissions/documents/UHL%20Handbook%202014-
2015.pdf;
Rowe, C., (1995). Clarifying the Use of Competence and
Competency Models in Recruitment, Assessment and Staff
Development, Industrial and Commercial Training, 27(11);
Rowitz Louis, (2012). Public Health Leadership: Putting Principles
into Practice, Burlington Chicago: Jones & Bartlett Learning;

Rust E., (2008). Evaluator Competencies: Standard for the Practice


of Evaluation in Organization, Jossey Bass: John Willey and
Son;
Ryan D., (2008), Pacific Cultural Competencies: A literature
Review. Wellington: Ministry of Health Manatu Hauora;
Schumacker, R. E., & Lomax, R. G., (2010). A Beginner‟s Guide to
Structural Equation Modeling, 3rd ed. New York:
Routledge;
Sedarmayanti, (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia:
Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Bandung: PT. Refika Aditama;
Sihombing, T. M., (1986). Filsafat Batak: Kebiasaan-Kebiasaan Adat
Istiadat. Jakarta: Balai Pustaka;
Sparrow, P., (1997). Organisational Competences - A Valid
Approach for the Future, International Journal of Selection
and Assessment, 3(3): 168-177;
Spencer, L.M., & Spencer, S.M., (1993). Competence at Work:
Models for Superior Performance. New York: John Wiley
and Sons Inc.;
Haire J.D., McBride, T.D., (2016). Transdisciplinary Public Health:
Research, Methods, and Practice, San Francisco: Jossey-Bass;
Stuart, R. and Lindsay, P., (1997). Beyond the Frame of
Management Competenc(i)es: Towards A Contextually

149
Embedded Framework of Managerial Competence in
Organisations, Journal of European Industrial Training,
21:(26-33);
Sugiyono, (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta;
Sullivan, I.G., (2007). Burnout: A Study of A Psychiatric Center,
Professional Burnout in Medicine and The Helping
Proffesions. New York: The Haworth Press;
Takari M, (2017). Pelestarian Seni Budaya Tradisi dan Nilai
Kepemimpinannya oleh Masyarakat. Medan: Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara dan Departemen Adat dan Seni Budaya, Pengurus
Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia;
The Governance Institute, (2009). Leadership in Healthcare
Organizations, A Guide to Joint Commission Leadership
Standard. San Diego: The Governance Institute;
Tony W., (2009). Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya;
Trotter, A. and Ellison, L., (2001). Understanding Competence and
Competency, School Leadership for the 21st Century: A
Competency and Knowledge Approach, London: Routledge;
Tsai Y., (2011). Relationship between Organizational Culture,
Leadership Behavior and Job Satisfaction, BMC Health
Services Research, 98:1-9;
Tu H. and Yuan X., (2010). Chinese Culture, Chinese Corporation
Culture and Innovation, How does a Corporation
Implement Innovation Properly. RRC: Department of
Technology and Built Environment, University of Gavle;
Ulrich, (1998). The Leader of Future: Credibility x Caspability. San
Fransisco, CA: Jossey-Bass;
U.S. Department of Health and Human Services, (2002). Indicators
of Cultural Competence in Health Care Delivery
Organizations: An Organizational Cultural Competence
Assessment Profile. USA: Health Resources and Services
Administration, Department of Health and Human Services;

150
Van Beirendonck, L., 2009. Iedereen Competent – Het Handboek
voor Competentie Management, Leuven: Lannoo Campus;
Whitbeck, L. B. (2006). Some Guiding Assumptions and A
Theoretical Model for Developing Culturally Specific
Preventions with Native American People, Journal of
Community Psychology, 34(2):183-192;
White, R.P., Hodgson, P., and Crainer, S., (1997). The Future of
Leadership: A Whitewater Revolution. London: Pitman
Publishing;
Widjaja, HAW, (2007). Penyelenggaraan Otonomi Daerah di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada;
Woodruffe, C., (2000). Development and Assessment Centres:
Identifying and Assessing Competence, CIPD Publishing,
diakses tanggal 8 Januari 2016
dari:https://books.google.co.id/books/about/Developmen
t_and_assessment_centres.html?id=dUb9FFz0aL4C;
Wynne B. and Stringer D., (1997). A Competency Based Approach
to Training and Development. Boston: Pitman Publishing;
Zhanming L. dan Peter F. H., (2013). Competencies Required by
Senior Health Executives in New South Wales 1990–1999,
Australian Journal of Primary Health, (19): 256–26.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah
Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistim
Kesehatan Nasional.

151
Permenkes Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang Standar
Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 13 tahun 2014 tentang Tata Cara
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Instansi
Pemerintah

152
LAMPIRAN

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Menurut


Peringkat Kabupaten atau Kota di Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2013

PERINGKAT
NO KABUPATEN/KOTA SKOR
PROVINSI NASIONAL
1 Kota Pematang Siantar 0,6511 1 12
2 Kota Medan 0,6261 2 34
3 Kabupaten Toba Samosir 0,6190 3 42
4 Kota Sibolga 0,6158 4 46
5 Kota Tebing Tinggi 0,6003 5 64
6 Kota Binjai 0,5932 6 80
7 Kabupaten Simalungun 0,5898 7 88
8 Kabupaten Samosir 0,5858 8 96
9 Kota Tanjung Balai 0,5785 9 110
10 Kabupaten Batubara 0,5772 10 114
11 Kabupaten Serdang Bedagai 0,5766 11 118
12 Kabupaten Karo 0,5763 12 120
Kabupaten Humbang
13 0,5762 13 121
Hasundutan
14 Kabupaten Labuhan Batu 0,5677 14 139
15 Kabupaten Asahan 0,5597 15 160
16 Kabupaten Pakpak Barat 0,5486 16 193
17 Kabupaten Dairi 0,5485 17 194
Kabupaten Labuhan Batu
18 0,5454 18 205
Utara
19 Kabupaten Tapanuli Utara 0,5425 19 214
20 Kabupaten Langkat 0,5397 20 216
21 Kabupaten Deli Serdang 0,5347 21 236

153
Kabupaten Labuhan Batu
22 0,5088 22 307
Selatan
23 Kabupaten Tapanuli Selatan 0,5034 23 328
24 Kota Padang Sidempuan 0,4979 24 334
Kabupaten Mandailing
25 0,4575 25 427
Natal
Kabupaten Padang Lawas
26 0,4541 26 430
Utara
27 Kabupaten Nias Utara 0,4465 27 443
28 Kabupaten Nias Selatan 0,4251 28 466
29 Kota Gunungsitoli 0,4058 29 470
30 Kabupaten Padang Lawas 0,4018 30 472
31 Kabupaten Nias 0,3985 31 473
Kabupaten Tapanuli
32 0,3971 32 475
Tengah
33 Kabupaten Nias Barat 0,3690 33 486

Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2014)

154

Anda mungkin juga menyukai