Anda di halaman 1dari 9

Etnografi Suku Bali

Kebudayaan Bali

a. Sistem Religi dan Kepercayaan

Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu-Bali, tetapi ada segolongan kecil masyarakat
Bali yang menganut Islam, Kristen, dan Katholik. Penganut Islam terdapat di Karangasem,
Klungkung, dan Denpasar, sedangkan penganut agama Kristen dan Katholik terutama terdapat di
Denpasar, Jembrana, dan Singaraja.

Orang Hindu percaya adanya Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti yang berwujud :

1. Wujud Brahmana yang artinya menciptakan

2. Wujud Wisnu yang artinya melindungi serta memelihara

3. Wujud Siwa yang artinya melebur segala yang ada

Selain itu mereka juga mengenal konsep roh yang meliputi :

- Atman (roh abadi)

- Karmapala (Buah dari sebuah perbuatan)

- Punarbawa (kelahiran kembali dari jiwa)

- Moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kembali)

Semua konsep tersebut termaktub dalam kitab Weda.

b. Sistem Kekerabatan

Orang Bali dianggap sebagai warga masyarakat sepenuhnya jika sudah menikah. Perkawinan
adat Bali bersifat eksogami, sehingga orang Bali akan berusaha untuk kawin dengan orang-orang
yang dianggap sederajat dalam klen dan kasta (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah).

Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia. Secara
fisik, suami istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama ke tempat yang jauh.
Sekarang hukum itu tidak berlaku lagi.
c. Sistem Politik

Kelompok kesatuan adat di Bali disebut Banjar. Pusat banjar adalah bale banjar. Banjar dikepalai oleh
seorang kepala yang disebut klian banjar (kliang). Tugas klian banjar menyangkut segala urusan dalam
lapangan kehidupan sosial dan keagamaan.

Selain Banjar kesatuan adat masyarakat Bali meliputi :

1. Subak

Subak adalah badan hukum adat yang otonom yang mengurusi masalah irigrasi dan sekaligus sebagai
badan perencana aktivitas pertanian dalam suatu kelompok keagamaan. Subak dipimpin oleh seorang
yang disebut sebagai sedahan agung.

2. Seka

Seka adalah organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup khusus yang meliputi :

a. Seka yang bersifat permanen misalnya :

1. Seka baru (perkumpulan tari baris)

2. Seka truna (perkumpulan para pemuda)

3. Seka daha (perkumpulan gadis-gadis)

b. Seka yang bersifat sementara atau seka yang didirikan berdasarkan kebutuhan tertentu seperti :

1. Seka memula (perkumpulan menanam)

2. Seka manyi (perkumpulan menuai)

3. Seka gong (perkumpulan gamelan)

d. Sistem Kesenian

1. Tari Daerah

Diantara tarian dari Bali adalah tari Legong dan tari Kecak. Tari legong menceritakan kisah cinta Raja
Lasem, sedang tari kecak menceritakan kisah bala tentara monyet Hanuman dan Sugriwa dalam epos
Ramayana.

. Rumah Adat

Rumah adat Bali meliputi Gapura Bentar (pintu gerbang), balai begong (tempat istirahat raja dan
keluarga), balai wanikan (tempat adu ayam dan tempat pagelaran kesenian), Kori Agung sebagai pintu
masuk pada waktu upacara besar, dan kori Babetelan yang merupakan pintu lountuk keperluan keluarga.

3. Pakaian Adat
Pakaian pria berupa ikat kepala (destar) kain songket saput, sebilah keris terselip pada pinggang bagian
belakang.

Pakaian wanita memakai dua helai kain songket, stagen songket atau meprada, dan selendang/ senteng. Ia
juga memakai hiasan bunga emas dan bunga kamboja di atas kepala. Perhiasan yang dipakai adalah
subang, kalung, dan gelang.

Sumberlain ::

Asal-usul
1. Asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi:

1. Gelombang pertama terjadi sebagai akibat persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama
zaman prasejarah;

2. Gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara;

3. Gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh
pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih
untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara kebudayaan Jawa
klasik dengan tradisi asli Bali.

Budaya
Para gadis memakai sabuk, baju Bali asli
Para gadis Bali memakai kebaya modern

Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukir. Miguel Covarrubias mengamati
bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat
mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—
mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu
desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan
aktor berbakat.[2] Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan
daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.[3] Menurut Covarrubias, seniman Bali
adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli
apakah namanya akan dikenang atau tidak.[4] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga
ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan
bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.[5]

Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali.
Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik
pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya.[6]
Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut
Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam
serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[7]

Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, tetapi dengan bentuk wayang yang
lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang
terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama
Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.

Pertunjukan gamelan Bali di Kuta. Penari Legong di Ubud.

Penari Baris Poleng di Kuta.


Kepercayaan
Kepercayaan : Agama Hindu Bali

Pura, rumah ibadah umat Hindu Bali.

Kegiatan persembahyangan Hindu Bali di suatu desa di Sulawesi Tengah


.

Kantor sinode Gereja Kristen Protestan Bali di Mengwi Kabupaten Badung.

Sebagian besar suku Bali beragama Hindu. Sebanyak 3,2 juta umat Hindu Indonesia tinggal di
Bali,[1] dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran Siwa-Buddha, sehingga berbeda
dengan Hindu India.

Para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha
kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya
dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka.[8] Suku Bali yang telah ada sebelum
gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda
dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi animisme.

Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah
kolonial Belanda, beberapa naturalist, elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial
melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak
elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang
mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.[9]

Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal 11 November 1931 ketua Christian and
Missionary Alliance (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai
kecil dekat dusun Untal-untal di Desa Dalung. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut
agama Kristen Protestan dengan gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Desa
Blimbingsari di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana adalah salah satu desa di mana
penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.[10]

Tatacara penamaan
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang
khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang.
Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar
linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali
ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut
Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang
dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di
Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut
Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan
itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan
hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.

Sistem Strata Sosial


Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di Weda,
wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi
diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih
dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan
berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.

Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit. Pada
mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal
Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang
ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas,
tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata
sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.

Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para
panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa
militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3
kelas teratas untuk kalangan mereka.
 Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai Brahmana.
 Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna
Kesatria.
 Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal
dari Jawa diberikan warna Waisya.
 Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan
kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal
dengan istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali
kuno pra Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Jaba
setelah kehilangan kekuasaan mereka.

Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak
diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain
itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar
upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan
pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba
akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri
diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah
naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka
berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalisme.

Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam sistem penamaan masyarakat Bali.
Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.[11][12]

Faktor penghambat perubahan Sosial Budaya


 Sikap masyarakat yg tradisional
 Adat istiadat atau kebiasan
 Adanya prasangka terhadap Hal-hal Baru atau Asing
 perkembangan Ilmu Pengetahuan Yang Terlambat
 Kehidupan Masyarakat Terasing

Anda mungkin juga menyukai