ONDEL-ONDEL
Disusun oleh :
Jodicka Ramadhan
(0714111733019)
Alat-alat atau artefak itu ada yang berupa kapak persegi, beliung, serpihan
batu, mute, gelang batu, bahkan pecahan-pecahan kreweng atau gerabah. Namun yang
menarik perhatian dalam daftar inventaris Museum yang telah dilakukan van Der
Hoop ternyata ada sebuah alat batu yang diperkirakan pacul temuan dari daerah
Jatinegara. Tempat-tempat temuan alat-alat batu dari zaman batu baru atau masa
bercocok tanam itu di daerah Jakarta dan sekitarnya, yaitu Pasar Minggu, Pasar Rebo,
Tanjung Timur, Kampung Salak dekat Pesing, Kampung Sukabumi, Cililitan, Sunter,
Condet di tepi jalan Jakarta-Bogor, dekat stasiun Jatinegara, kampung Kranggan,
dekat Pasar Rebo, kampung Karang tengah, Pasar Jumat, Kebayoran, Karet, Gedung
Ijo Pasar Jumat, Pondok Betung-Ciputat, Kebayoran Lama, kampung Pulo Jatinegara,
Kebon Sirih, Cawang, kampung Cipayung-Kebayoran, Pondong Pinang-Kebayoran,
Kebon Pala-Jatinegara, Kebon Nanas, Rawa Belong-Kebayoran, Rawa Lele, Kelapa
Dua dan di beberapa tempat lainnya.
Dari kutipan tersebut kita dapat melihat bahwa disamping agama Islam yang
dijadikan pedoman hidup masyarakat Betawi, tetapi mereka masih memegang teguh
kepercayaan-kepercayaan yang diturunkan oleh para leluhur mereka. Kepercayaan
tersebut terkait dengan cara hidup mereka yang seperti kita ketahui pada saat itu masih
hidup dalam kondisi lingkungan kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat.
Masyarakat Betawi pada saat itu percaya jika mereka tidak menghargai kepercayaan
tersebut maka kehidupan mereka cenderung tidak selamat, seperti akan tertimpa
penyakit atau gangguan lain. Oleh karena itu sampai saat ini kita masih bisa melihat
kondisi di dalam masyarakat Betawi walaupun tidak benar-benar dilakukan secara
utuh seperti masa lalu.
Sejarah Ondel-Ondel
Untuk musik sendiri jika dahulu Ondel-Ondel diiringi hanya dengan tetabuhan
perabot rumah tangga dan suara teriakan orang-orang yang mengaraknya, saat ini
musik pengiring kesenian ini paling sederhana menggunakan Tehyan, Gong, dan
Kendang. Bahkan bisa diiringi dengan lagu-lagu pecak silat atau bahkan semua jenis
lagu tergantung dari acara yang digelar.
Bambu bukanlah yang rebung atau muda dan dalam melakukan penebangan
haruslah hati-hati. Tumbuhan juga makhluk hidup maka ketika akan kita tebang juga
harus menggunakan alat yang sangat tajam, sopan santun serta hati nurani, jangan
brutal agar tidak menyakiti pohon bambu tersebut. Kayu yang digunakan untuk topeng
juga harus dari pohon yang berbunga agar wangi sehingga orang yang memainkan
Ondel-Ondel bisa lebih nyaman.
Dapat kita lihat bahwa simbol dan makna yang terkandung didalam kesenian
Ondel-Ondel hampir secara keseluruhan menampilkan sistem kepercayaan dari
masyarakat Betawi. Kepercayaan akan roh leluhur dan roh jahat, ritual ngukup dan
sesajen serta simbol-simbol ikonik tersebut sangat erat kaitannya dengan pemaknaan
yang bersifat sakral.
Saat ini hampir simbol-simbol serta makna kesakralan dalam kesenian Ondel-
Ondel perlahan menghilang. Hal ini dikarenakan perubahan zaman yang menuju
kepada modernisasi membuat nilai-nilai sakral tersebut mengalami pergeseran.
Pergeseran tersebut dikarenakan proses profanisasi dan desakralisasi yang masuk
bersama modernisasi dan perlahan menghapus nilai-nilai sakral yang ada dalam
kesenian Ondel-Ondel.
Menurut Liem (2012), Profanisasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-
nilai budaya popular/modern dalam kegiatan kerohanian/spiritual yang sakral,
dimana popularisme tersebut menawarkan pendangkalan makna. Makna yang ada
tereduksi sehingga yang sanggup untuk dicerna adalah sesuatu yang instan dan sesaat,
hanya pada keadaan kesadaran subyektif yang temporal. Jadi, profanisasi merupakan
sebuah bentuk perubahan yang terjadi pada sesuatu yang sakral menjadi profan akibat
adanya nilai budaya popular atau modern. Sedangkan desakralisasi menurut Parsons
(1961), berarti suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul yang
berada pada beberapa aspek kehidupannya, hal ini dimaksudkan penghapusan
orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai.
Jika kita lihat konsep desakralisasi dan profanisasi hampir memiliki kesamaan.
Hal ini dikarenakan kedua kondisi dalam konsep tersebut ada ketika masyarakat
berada dalam proses modernisasi sehingga cenderung sekuler. Menurut Max Weber
dalam tulisan Eisenstadt (1968), berpendapat bahwa sekularisasi terjadi disebabkan
adanya proses rasionalisasi dan birokratisasi dalam struktur sosial masyarakat. Ia
misalnya berpandangan bahwa untuk
mencapai tujuan hidupnya, manusia berpijak kepada rationalitas, baik itu rationalitas
formal (formal rationality) yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan nilai
(value), ataupun rationalitas substantif (substantive rationality) yang bertali temali
dengan nilai. Masyarakat modern, dalam pengamatannya, cenderung berpegang
kepada rasionalitas yang pertama.
Eisenstadt, S. N
Geertz, Clifford
Koentjaranigrat
Liem, Rinda
2012 Tinjauan Paradoks Nilai Sakral dan Profan Pada Produk Kerohanian
Dalam Analisa Semiotika Pemasaran dalam Jurnal Tingkat Sarjana
Seni Rupa dan Desain. Bandung : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB