Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ANTROPOLOGI KESENIAN

ONDEL-ONDEL

Disusun oleh :

Jodicka Ramadhan
(0714111733019)

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kepercayaan Masyrakat Betawi

Ondel-Ondel merupakan bentuk dari interpretasi dan ekspresi diri masyarakat


Betawi yang mana sebagai masyarakat pendukung dari kesenian tersebut dan
merupakan bagian dari kebudayaannya. Oleh karena itu kita harus membicarakan
masyarakat Betawi secara umum terlebih dahulu. Menurut Ketua Lembaga
Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, masyarakat Betawi sudah bermukim di
kawasan yang sekarang dinamakan Jakarta, diperkirakan sejak 2500-15 SM. Dugaan
ini didasarkan kepada temuan bukti-bukti arkeologis yaitu artefak baik yang pernah
dihimpun pada masa Hindia-Belanda dan telah di inventarisasi maupun yang
tersimpan dalam koleksi Museum Nasional kini, ditambah dengan hasil ekskavasi di
situs Kalapa Dua sekitar tahun 1971.

Alat-alat atau artefak itu ada yang berupa kapak persegi, beliung, serpihan
batu, mute, gelang batu, bahkan pecahan-pecahan kreweng atau gerabah. Namun yang
menarik perhatian dalam daftar inventaris Museum yang telah dilakukan van Der
Hoop ternyata ada sebuah alat batu yang diperkirakan pacul temuan dari daerah
Jatinegara. Tempat-tempat temuan alat-alat batu dari zaman batu baru atau masa
bercocok tanam itu di daerah Jakarta dan sekitarnya, yaitu Pasar Minggu, Pasar Rebo,
Tanjung Timur, Kampung Salak dekat Pesing, Kampung Sukabumi, Cililitan, Sunter,
Condet di tepi jalan Jakarta-Bogor, dekat stasiun Jatinegara, kampung Kranggan,
dekat Pasar Rebo, kampung Karang tengah, Pasar Jumat, Kebayoran, Karet, Gedung
Ijo Pasar Jumat, Pondok Betung-Ciputat, Kebayoran Lama, kampung Pulo Jatinegara,
Kebon Sirih, Cawang, kampung Cipayung-Kebayoran, Pondong Pinang-Kebayoran,
Kebon Pala-Jatinegara, Kebon Nanas, Rawa Belong-Kebayoran, Rawa Lele, Kelapa
Dua dan di beberapa tempat lainnya.

Penggunaan nama Betawi sebagai nama suku bangsa telah dipergunakan


sekitar tahun 1644, berdasarkan dokumen tertulis (Testamen Nyai Inqua). Dapat
diduga sebelum kota pendudukan itu oleh Belanda diganti namanya menjadi Batavia,
sudah dikenal Betawi sebagai nama suku bangsa. Bahkan kata Betawi sebagai nama
tempat dan etnik, disebut dalam Babad Tanah Jawa.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan arkeologis tersebut maka kita dapat


mengetahui kondisi dan persebaran masyarakat Betawi. Namun, secara umum
masyarakat Betawi dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk komunitas dengan
kesamaan ciri-ciri kebudayaan didalamnya. Salah satu unsur yang erat kaitannya
dengan kesenian Ondel-Ondel adalah sistem kepercayaan masyarakat Betawi. Agama
Islam adalah agama yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Betawi, disamping
kepercayaan-kepercayaan yang mempunyai variasi dibeberapa masyarakat Betawi.
Hal ini seperti yang diutarakan oleh Probonegoro (1996) :

“Kepercayaan juga diperlukan karena untuk melangsungkan


kehidupan didunia dengan selamat, orang Betawi percaya akan adanya
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat kehidupan dapat pula
diartikan sebagai keyakinan religius yang dijalankan dalam suatu
bentuk tindakan , yaitu tindakan upacara sehubungan dengan adanya
kepercayaan akan adanya roh, hantu, jin dan kekuatan spiritual serta
terhadap daur hidup”

Dari kutipan tersebut kita dapat melihat bahwa disamping agama Islam yang
dijadikan pedoman hidup masyarakat Betawi, tetapi mereka masih memegang teguh
kepercayaan-kepercayaan yang diturunkan oleh para leluhur mereka. Kepercayaan
tersebut terkait dengan cara hidup mereka yang seperti kita ketahui pada saat itu masih
hidup dalam kondisi lingkungan kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat.
Masyarakat Betawi pada saat itu percaya jika mereka tidak menghargai kepercayaan
tersebut maka kehidupan mereka cenderung tidak selamat, seperti akan tertimpa
penyakit atau gangguan lain. Oleh karena itu sampai saat ini kita masih bisa melihat
kondisi di dalam masyarakat Betawi walaupun tidak benar-benar dilakukan secara
utuh seperti masa lalu.

Sejarah Ondel-Ondel

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ondel-Ondel sudah ada sejak


zaman dahulu pada masyarakat Betawi yang digunakan sebagai personifikasi roh
leluhur mereka yang digunakan dalam ritual-ritual tertentu. Orang Betawi mengatakan
bahwa Ondel-Ondel pada awalnya digunakan sebagai alat untuk mengusir roh-roh
jahat yang membawa suatu penyakit atau musibah disuatu kampung, sehingga dengan
cara mengarak Ondel-Ondel keliling kampung yang diiringi dengan tetabuhan
berbagai macam benda atau alat yang menimbulkan suara gaduh dan teriakan orang-
orang yang mengiringinya. Masyarakat Betawi dahulu masih menganut paham
animisme dan dinamisme yang mempercayai adanya roh-roh halus yang
bergentayangan mencari korban serta mendatangkan wabah penyakit yang datang
secara tiba-tiba, karena itu Ondel-Ondel dijadikan sebagai simbol penolak bala dan
melindungi masyarakat.

Saat ini bentuk kesenian Ondel-Ondel telah mengalami perubahan-perubahan


mengikuti perkembangan zaman. Jenis Ondel-Ondel saat ini ada 2, yaitu Ondel-Ondel
statis dan Ondel-Ondel dinamis atau arakan. Ondel-Ondel statis berupa Ondel-Ondel
dengan ukuran yang lebih kecil dari Ondel-Ondel dinamis yang biasanya digunakan
untuk suvenir atau pajangan. Rangka Ondel-Ondel jenis ini biasanya terbuat dari besi
agar lebih kuat digunakan sebagai pajangan atau menggunakan kayu seutuhnya.
Sedangkan Ondel-Ondel dinamis atau arakan biasanya memiliki ukuran kurang lebih
2,5 meter dengan diameter 80 cm. Rangka yang digunakan terbuat dari anyaman
bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat masuk didalamnya satu orang.
Pada bagian wajah atau kedok biasanya terbuat dari kayu, seperti kayu nangka atau
sengon, namun saat ini sudah banyak yang menggunaan fiber. Sementara rambutnya
terbuat dari bahan ijuk yang dihiasi semacam ronce-ronce terbuat dari batang lidi atau
bambu yang dibungkus dengan kertas/plastik berwarna. Untuk membedakan antara
laki-laki dan perepuan dapat dilihat dari bentuk dan warna topengnya, laki-laki
berwarna merah atau cokelat dengan alis mata tebal, mata lebar, dan berkumis
sedangkan yang perempuan berwajah putih, alis mata tipis, mata yang sedikit terlihat
sayu dan anting-anting ditelinganya.

Untuk musik sendiri jika dahulu Ondel-Ondel diiringi hanya dengan tetabuhan
perabot rumah tangga dan suara teriakan orang-orang yang mengaraknya, saat ini
musik pengiring kesenian ini paling sederhana menggunakan Tehyan, Gong, dan
Kendang. Bahkan bisa diiringi dengan lagu-lagu pecak silat atau bahkan semua jenis
lagu tergantung dari acara yang digelar.

Simbol dan Makna dalam Ondel-Ondel

Ketika kita membahas mengenai kesenian Ondel-Ondel, kita akan banyak


menemukan bentuk-bentuk simbolisasi dan makna yang terkandung didalamnya.
Menurut Geertz (1974) simbol adalah sesuatu hal yang digunakan untuk
mewakili sesuatu hal, dimana simbol tersebut tidak memiliki hubungan langsung
dengan hal yang diwakilinya, sehingga bersifat arbitrer atau acak. Sementara tanda
adalah sesuatu hal yang mewakili sesuatu hal itu sendiri, dimana tanda tersebut
memiliki hubungan langsung dengan hal yang diwakilinya.

Selanjutnya Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan simbol yang


tersedia dalam kehidupan umum sebuah masyarakat yang merujuk kepada share
meaning masyarakat tersebut. Oleh karenanya Geertz menyebutkan sifat dari
kebudayaan adalah ‘semiotik’, yaitu hal yang berkenaan dengan simbol maupun
lambang-lambang tertentu. Geertz (1992) juga mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis
dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian
berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Unsur untuk membentuk
kebudayaan adalah simbol dan makna yang menjelmakan pengetahuan tersebut
sehingga dapat dikomunikasikan.

Melihat penjelasan dari Geertz tersebut kita dapat melihat simbol-simbol


didalam kesenian Ondel-Ondel, yaitu :

a. Simbolisasi bentuk roh nenek moyang

Hal ini sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Ondel-Ondel merupakan


representasi dari roh para leluhur nenek moyang masyarakat Betawi yang disimbolkan
dalam bentuk boneka dan digunakan untuk menjaga mereka dari roh-roh jahat dan
gangguan lain. Sebelum mulai membuat Ondel-ondel, biasanya disediakan sesajen
yang berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam,
asap kemenyan, dan sebagainya. Demikian pula ondel-ondel yang sudah jadi, biasa
pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan
kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum
dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantias diadakan
ritual. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang
yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebut ngukup.

b. Simbol dan makna dalam proses pembuatan

Dalam pembuatan Ondel-Ondel harus mengikuti kepercayaan yang telah


diajarkan secara turun temurun. Para orangtua masyarakat Betawi sangat menghargai
dan meyakini akan kekuatan alam. Hal ini dilakukan mulai dari pemilihan bambu yang
sudah tua karena mereka menganggap jika bambu yang sudah tua tidak dapat
bereproduksi lagi jadi bambu yang muda atau belum tua tidak boleh diambil. Bambu
yang ingin ditebang juga harus tegak lurus, tidak boleh rebah karena selain kualitas
akibat proses penyinaran matahari juga bambu rebah diyakini tidak baik untuk
digunakan.

Bambu bukanlah yang rebung atau muda dan dalam melakukan penebangan
haruslah hati-hati. Tumbuhan juga makhluk hidup maka ketika akan kita tebang juga
harus menggunakan alat yang sangat tajam, sopan santun serta hati nurani, jangan
brutal agar tidak menyakiti pohon bambu tersebut. Kayu yang digunakan untuk topeng
juga harus dari pohon yang berbunga agar wangi sehingga orang yang memainkan
Ondel-Ondel bisa lebih nyaman.

c. Simbol dalam warna dan aksesoris Ondel-Ondel

Selanjutnya dalam pemilihan warna Ondel-Ondel juga sangat diperhatikan.


Untuk wajah Ondel-Ondel menggunakan warna merah untuk laki-laki dan putih untuk
perempuan. Warna merah menyimbolkan berani, tegas dan gagah seperti laki-laki
Betawi. Sedangkan putih melambangkan kesucian dan kebersihan wanita Betawi.
Penggunaan warna kostum Ondel-Ondel juga harus warna yang kontras dan terang.
Hal ini untuk memberikan kesan ceria, senang dan meriah serta untuk memberikan
penanda Ondel-Ondel tersebut sebagai “artis” atau ikon acara tersebut. Keunikan
Ondel-Ondel dapat kita lihat melalui warna-warna ini, yaitu Ondel-Ondel tanpa jenis
kelamin tetapi tetap bisa dibedakan.

Dapat kita lihat bahwa simbol dan makna yang terkandung didalam kesenian
Ondel-Ondel hampir secara keseluruhan menampilkan sistem kepercayaan dari
masyarakat Betawi. Kepercayaan akan roh leluhur dan roh jahat, ritual ngukup dan
sesajen serta simbol-simbol ikonik tersebut sangat erat kaitannya dengan pemaknaan
yang bersifat sakral.

Saat ini hampir simbol-simbol serta makna kesakralan dalam kesenian Ondel-
Ondel perlahan menghilang. Hal ini dikarenakan perubahan zaman yang menuju
kepada modernisasi membuat nilai-nilai sakral tersebut mengalami pergeseran.
Pergeseran tersebut dikarenakan proses profanisasi dan desakralisasi yang masuk
bersama modernisasi dan perlahan menghapus nilai-nilai sakral yang ada dalam
kesenian Ondel-Ondel.
Menurut Liem (2012), Profanisasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-
nilai budaya popular/modern dalam kegiatan kerohanian/spiritual yang sakral,
dimana popularisme tersebut menawarkan pendangkalan makna. Makna yang ada
tereduksi sehingga yang sanggup untuk dicerna adalah sesuatu yang instan dan sesaat,
hanya pada keadaan kesadaran subyektif yang temporal. Jadi, profanisasi merupakan
sebuah bentuk perubahan yang terjadi pada sesuatu yang sakral menjadi profan akibat
adanya nilai budaya popular atau modern. Sedangkan desakralisasi menurut Parsons
(1961), berarti suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul yang
berada pada beberapa aspek kehidupannya, hal ini dimaksudkan penghapusan
orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai.

Jika kita lihat konsep desakralisasi dan profanisasi hampir memiliki kesamaan.
Hal ini dikarenakan kedua kondisi dalam konsep tersebut ada ketika masyarakat
berada dalam proses modernisasi sehingga cenderung sekuler. Menurut Max Weber
dalam tulisan Eisenstadt (1968), berpendapat bahwa sekularisasi terjadi disebabkan
adanya proses rasionalisasi dan birokratisasi dalam struktur sosial masyarakat. Ia
misalnya berpandangan bahwa untuk
mencapai tujuan hidupnya, manusia berpijak kepada rationalitas, baik itu rationalitas
formal (formal rationality) yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan nilai
(value), ataupun rationalitas substantif (substantive rationality) yang bertali temali
dengan nilai. Masyarakat modern, dalam pengamatannya, cenderung berpegang
kepada rasionalitas yang pertama.

Proses profanisasi dan desakralisasi nilai-nilai kesakralan dalam kesenian


merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Saat ini yang terpenting adalah urusan
mencari rezeki. Selain itu, motif ekonomi dalam pencarian nafkah atau rezeki tersebut
dibarengi dengan adanya tanggungan moral dan para generasi muda masyarakat
Betawi sehingga untuk menanggulangi permasalahan perubahan tersebut harus
menggunakan solusi yang salah satunya adalah mengarak Ondel-Ondel untuk
mengamen dijalanan.

Strategi dalam menghadapi tantangan perubahan zaman ini dikatakan sebagai


Coping Mechanism. Menurut Hall dan Lindzey (1995), Coping Mechanism menunjuk
pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentolerasi,
mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.
Dengan kata lain, Coping Mechanism merupakan proses dimana individu berusaha
untuk menangani dan menguasai situasi stres akibat dari masalah yang dihadapinya
dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna mendapatkan rasa
aman pada dirinya. Coping Mechanism digunakan untuk menghadapi kondisi
profanisasi dan desakralisasi tadi sehingga muncul solusi mengarak Ondel-Ondel
untuk mengamen. Selain dapat menghasilkan uang kegiatan mengamen ini juga
menjadi sarana untuk melestarikan budaya Betawi.

Proses transformasi yang terjadi dalam kesenian Ondel-Ondel merupakan


fenomena wajar didalam kehidupan masyarakat Betawi. Kegiatan mengamen dengan
mengarak Ondel-Ondel merupakan bentuk mekanisme respon masyarakat Betawi
terhadap kondisi perubahan sosial yang terjadi akibat modernisme.
DAFTAR PUSTAKA

Eisenstadt, S. N

1968 Max Weber on Charisma and Institution Building. Chicago : The


University of Chicago Press

Geertz, Clifford

1974 Religion As a Cultural System dalam Interpretation of Culture. New


York : Basic Books Inc.

1992 Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Karnisius

Hall, Calvin. S dan Gardner Lindzey

1993 Psikologi Kepribadian 1 : Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).


Yogyakarta: Kanisius

Koentjaranigrat

1987 Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta : UI Press

Liem, Rinda

2012 Tinjauan Paradoks Nilai Sakral dan Profan Pada Produk Kerohanian
Dalam Analisa Semiotika Pemasaran dalam Jurnal Tingkat Sarjana
Seni Rupa dan Desain. Bandung : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Parsons, Talcott (et, al.)

1961 Theories of Society : Foundation of Modern Sociological Theory.


New york : Free Press. Hal 24-28

Probonegoro, Ninuk Kleden

1996 Teater Lenong Betawi : Studi Perbandingan Diakronik. Jakarta :


Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Anda mungkin juga menyukai