Anda di halaman 1dari 5

James T Collins: “Jangan Kuatir, Indonesia!


 December 8, 2015     

James T Collins saat memberikan ceramah pada sebuah seminar bahasa di Gorontalo, 2013
silam (Foto. Syam Terrajana)
KAWAN, Bahasa Indonesia itu mengagumkan. Konon, dia diyakini  telah membangkitkan
kesadaran nasional, melawan kolonialisme. Gara-gara (bahasa) Indonesia juga  dengan
mudah kita marah dan geram. Serampangan menuduh Malaysia  mencaplok kebudayaan kita.

Bahasa Indonesia itu ajaib. Gampang dibolak balik arti dan maknanya. Para pemegang
kebijakan, dengan lihay dan licik membahasakan dan menerjemahkan pasal demi pasal.dalam
berbagai perundang-undangan. Akibatnya? Hutan rimba kita yang begitu kaya dijual murah.
Jadi tambang, hutan industri atau kebun sawit. Pantai kita yang semampai ditimbun. Jadi hotel
berbintang ber-view memukau. Jadi toko super besar yang menjajakan birahi konsumtif.

Kita memang lihai sekaligus licik dengan bahasa Indonesia. Ada yang menggunakannya untuk
berdiplomasi, mengobral janji politik, membujuk rayu  kekasih hingga minta saham di Freeport.

Berikut ini adalah artikel hasil wawancara saya dengan professor James T Collins, seorang
guru besar pakar melayu. Pak Jim, begitu dia biasa dipanggil, menjelaskan panjang lebar soal
penyebaran bahasa melayu dan relevansinya pada Bahasa Indonesia  hari ini. Selamat
menyimak:

James T. Collins: Jangan Kuatir, Indonesia!

Sudah lebih dari 40 tahun dia berkeliling ke hampir seluruh pelosok nusantara. Menyaksikan
sekaligus mengagumi bahasa melayu yang digunakan dengan cara yang amat beragam oleh
para penuturnya, namun nyaris dapat dimengerti satu sama lain.

Pada 1969, untuk pertama kalinya dia mengunjungi Indonesia. Negara yang kala itu masih
belia, dengan penutur bahasa melayu terbesar di Asia Tenggara. Kelak dikenal  sebagai
bahasa Indonesia. Bahasa pemersatu.

Kecintaannya terhadap bahasa Melayu itu juga, kelak  mengantarkannya menjadi guru besar
linguistik bahasa Melayu-Polinesia pada  banyak universitas ternama di dunia.

James Thomas Collins, demikian nama lengkap penulis buku “Bahasa Melayu, Bahasa Dunia”
itu mengungkapkan, bahasa melayu, cikal bakal bahasa Indonesia mulai ditulis sejak abad VII.

Usia bahasa melayu sama tua dengan bahasa Inggris .

Tidak hanya berfungsi sebagai bahasa niaga yang luas penuturnya, bahasa melayu juga jadi
medium menyebarkan ajaran agama. Mulai Islam hingga Nasrani.

Pada masa lalu, bahasa Melayu juga pernah duduk sejajar bahasa Inggris . Ada banyak
manuskrip yang jadi saksi kejayaan bahasa Melayu. Di antaranya dua surat berbahasa melayu
dengan menggunakan aksara Arab. Dikirimkan oleh Sultan Abu Hayat, penguasa Ternate
kepada Raja Portugis, John III, 1521-1522.

Seratus tahun kemudian. Sultan Iskandar Muda di Aceh, mengirimkan sebuah surat diplomasi
berbahasa Melayu kepada Raja Inggris, King James I. Juga  dengan aksara Arab yang begitu
indah dan megah. Bahasa melayu begitu luwes digunakan di dua tempat yang saling
berjauhan.

Dan Bahasa Indonesia, menurutnya adalah masa depan bahasa melayu. Prospeknya cerah.

“Ini adalah bahasa besar, tidak perlu ragu dengan status, loyalitas penuturnya yang lebih dari
250 juta jiwa. Bahasa ini kukuh,” ujarnya, di sela-sela konferensi internasional bahasa melayu
yang digelar di Gorontalo, pertengahan November 2013 silam.

Karena itu juga, dia sama sekali tidak menyimpan keraguan sedikitpun pada hal-hal yang kerap
disebut sebagai ancaman bagi kelangsungan bahasa Indonesia. Bahasa asing misalnya.

Jim, demikian sapaan akrabnya, punya pandangan  berlawanan dengan pendapat kaum
puritan. Pihak  yang terlalu kuatir dengan tergerusnya bahasa Indonesia oleh berbagai macam
kosakata asing.

Menurutnya ilmu linguistik telah lama mengajarkan, bahwa setiap bahasa besar di
dunia,senantiasa mencomot dan meminjam kosakata dari berbagai bahasa. Tujuannya
untuk memperkaya bahasa itu sendiri.

Pun terhadap gejala berbahasa kaum urban di kota-kota besar, yang gemar mencampur
adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Baginya  itu
tidak cukup dijadikan momok bagi Bahasa Indonesia. Apalagi jika harus dikait-kaitkan dengan
soal nasionalisme.

Sensasi berbahasa ala Vicky Prasetyo yang heboh baru-baru ini misalnya, dinilainya tak lebih
sebagai sesuatu yang akan segera berlalu. Sebagaimana bahasa prokem, slang yang silih
berganti mencuat.

Semua fenomena itu tidak akan cukup perkasa untuk menumbangkan kekukuhan bahasa
Indonesia.

“Itu hanya mode saja, tidak akan terlalu banyak mempengaruhi bahasa Indonesia, dulu orang
selalu ribut dengan prokem, bahasa ini paling hanya menyumbang 2-3 kata saja, setelah itu
biasa lagi” ujarnya
.
Dulu di era 80an  dia ingat, trend berbahasa Belanda pernah melanda sebagian istri para
jenderal. Nyatanya wabah itu pupus juga.

Peneliti senior di Cornell University (1984) ini menilai, semua bahasa di dunia sudah sejak lama
mengalami fenomena “gado-gado berbahasa” semacam itu.

Memang menurutnya tak bisa dipungkiri, Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa penting di
dunia. Banyak digunakan orang untuk menekankan dan menjelaskan sesuatu.  Juga
kerap dipakai untuk sekedar hiburan. Bermain-main.
“Tapi jika kita buka kamus bahasa Inggris, mungkin hanya 15 persen kosakata yang merupakan
bahasa asli. Selebihnya pinjaman, dari Prancis, Latin, dari berbagai macam bahasa, itu lazim,”
kata pria yang juga mengajar  Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) itu.

Ada juga kritik menarik dilontarkan Jim. Menurutnya kecenderungan pemerintah Indonesia yang
suka mengeluarkan daftar padanan kata lokal untuk menggantikan kata-kata asing, tidak akan
memberi dampak berarti, terutama bagi masyarakat pengguna Bahasa Indonesia.

“Biarkan masyarakat memilih kata apa yang akan mereka pakai dalam bertutur sehari-hari,
dengan begitu bahasa Indonesia akan semakin kaya,” ujar  Profesor dan peneliti senior di
institut kajian etnik, National University of Malaysia itu.

Dulu di era orde baru, banyak kebijakan Soeharto yang mengatur penggunaan bahasa
Indonesia di tempat dan fasilitas umum. Seolah ada polisi bahasa yang dikerahkan.

Sekarang, katanya, nasib bahasa Indonesia ada di tangan masyarakat penuturnya; sampai
sejauh mana menginginkan pemerintah pusat terus menerus mengatur cara berbahasa bagi
masayakat di daerah. Dan sampai sejauh mana Indonesia ingin menutup diri, menghindari 
perkembangan yang natural terhadap Bahasa Indonesia.

Malaysia Caplok Budaya Indonesia?   

Kritik lainnya yang tak kalah menarik, adalah soal kecenderungan media massa di Indonesia
yang suka membesar-besarkan isu pencurian kebudayaan nusantara oleh Malaysia. Lagu
daerah, tari-tarian tradisional yang selama ini dikenal milik Indonesia misalnya.

“Bagaimana bisa, budaya yang sudah ratusan tahun tersebar kemudian dituntut kembali.
Banyak orang Jawa, Sumatera yang sudah ratusan tahun turun temurun menetap di Malaysia,
bahkan sudah dua menteri di Malaysia yang keturunan Bugis. Jangan-jangan nanti orang
Malaysia kelak dilarang masak rendang, sayur lodeh” ” tukasnya.

“ Saya pernah tinggal di sebuah kota di Malaysia, alamat rumah saya di jalan yang bernama
jalan Mandailing, kenapa begitu? Dulu pada abad kesembilan belas, sebelum negara Indonesia
dan Malaysia terbentuk, orang Mandailing dari Sumatera hijrah ke sana untuk membuka
pertambangan timah. Tentu saja mereka membawa kebudayaannya ke sana. Bahkan sampai
sekarang masih ada kampung di Malaysia yang menggunakan bahasa Mandailing, karena
mereka memang keturunan Mandailing. Jadi saya merasa aneh, jika sekarang orang Indonesia
marah karena menganggap  Malaysia mengklaim budaya mereka, mencuri lagu Tor-tor, lalu
pers Indonesia ramai-ramai memberitakan hal ini,” sambungnya panjang lebar. Jim kerap ulang
alik Malaysia-Indonesia sejak 1968.

Menurut hematnya, sebagai bangsa terbesar di Asia Tenggara yang menduduki peringkat lima
di dunia, Indonesia tak pantas menghayutkan diri dalam hal-hal yang disebutnya terlalu kecil
untuk diurusi itu.

Bangsa Indonesia, menurutnya akan menjadi lebih baik, dengan menjalankan demokrasi
sebenar-benarnya, mengupayakan kesejahteraan bagi segenap rakyatnya.
Terlepas dari semua itu, di balik kecintaannya terhadap bahasa melayu, Jim Collins mengaku
tidak ingin mengganti kewarganegaraannya.

“Saya tetap orang Amerika, mau jadi orang apa lagi? Saya tidak boleh dan tidak mau
menyembunyikan identitas saya, saya punya leluhur yang harus saya hormati,”katanya.

Artikel ini merupakan gabungan dari dua kali wawancara dengannya. Saya  lakukan
ketika beliau memberikan seminar di Gorontalo, kurun  2012-2013 silam. Dua artikel terpisah
pernah dimuat di situs jurnaltanggomo.com dan koran the Jakarta Post.  

Anda mungkin juga menyukai