Anda di halaman 1dari 9

#edisi revisi

Buku ini bukan tentang sejarah perjuangan Kapitan Pattimura, meskipun ada
beberapa segi yang kami sentuh. Mungkin akan dijumpai pula tema-tema lain di buku
ini. Tapi sepanjang bahasannya, hanya menjurus ke satu ruang dan waktu ketika
benteng Duurstede diserbu pada 15 Mei 1817 tetapi, motif penyerbuan terutama
tokoh sentralnya, dibengkokkan. Tokoh yang cocok antara motif dan kejadian, sebab
dan akibat. Bahkan tokoh yang cocok antara marga dan gelar.
Kapitan Pattimura dan Thomas Matulessy adalah dua sosok yang memang ada.
Tetapi, mereka bukan anak-anak dari satu bapak. Mereka bukan dari satu kesatuan
unit matarumah, sinonim dari marga. Pattimura adalah Pattimura, Matulessy adalah
Matulessy.
Matulessy bukan sebuah matarumah yang terasing. Thomas Matulessy adalah
korban ketidakjujuran. Ia, seperti Kapitan Pattimura, adalah manusia bermarga, yang
sama-sama tidak punya jarak dari sistem kekerabatan kekeluargaan yang disebut
matarumah.
Matarumah adalah saksi kehidupan kekerabatan manusia Maluku sedari dulu.
Hilang matarumah, hilang pula lah hubungan kekerabatan kekeluargaannya.
Sebelum menjadi marga, Pattimura dulunya adalah gelar. Di saat dunia
mempertanyakan siapa sosok Kapitan Pattimura yang sebenarnya, sebahagian
adalah mereka yang tahu dari mana asalnya pemberian gelar Pattimura. Termasuk,
siapa yang memandu jalannya gelar Pattimura menjadi terus hidup.
Sehubungan dengan bahan informasi tentang sosok Kapitan Pattimura yang sudah
kacau sedari awal, titik singgung buku ini kami persempit pada jejak-jejak yang
berkaitan.
Benteng Duurstede di Saparua yang diserbu itu bukan pusat festival suku-suku.
Bukan pusat festival marga-marga berkumpul bikin pentas seni budaya. Melainkan,
pusat skenario kejahatan Belanda terhadap rakyat tak berdosa.
Setelah menyimak isi buku ini. Perang Pattimura adalah puncak pembangkitan lakon
gelar. Puncak pembangkitan abstraksi tingkah laku suku-suku melawan masalah
yang sedang berlangsung. Bukan Belanda masalahnya. Tapi sifat kejahatan yang
menempel pada bangsa manusia Belanda pada waktu itu.
Akhirulkalam; apa pun komentar orang setelah buku ini kami tulis adalah sementara
dalam pemahaman. Tetapi matarumah Pattimura adalah permanen dalam

hubungan dengan hak identitas kekerabatan keluarga. Seperti halnya hubungan ahli
waris Matulessy dengan matarumah Matulessy adalah permanen yang tidak
gampang dibengkokkan begitu saja.

Kita tahu. Peradaban dunia dibangun dan jatuh ba-ngun oleh anak-anak
kebudayaan. Yang adil dan yang berbuat baik. Meletakkan sesuatu pada tempatnya
itu keadilan. Mengeluarkan sesuatu dari tempatnya itu ke-baikan.

Kebaikan dan keadilan yang menempel pada sifat Pattimura mungkin belum apaapa. Tetapi keadilan dan kebaikan itu sangat apa-apa. Sehingga, meletakkan jejak
Kapitan Pattimura pada tempatnya, berarti memotong spiral ketergantungan sikap
mempertahankan apa yang bukan untuk dipertahankan.
Silahkan menggerutu. Bahwa pengungkapan fakta di buku ini akan mengoreksi
Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1973 tentang pengangkatan Thomas
Matulessy alias Kapitan Pattimura sebagai Pahlawan Nasional. Silahkan.
Bahwa pengungkapan fakta ini akan mengoreksi mata pelajaran sejarah perjuangan
bangsa di bangku sekolah. Supaya tidak ada benih sengketa, antara anak cucu kita
di masa mendatang karena penempatan jejak peristiwa Pattimura yang provokatif;
buku ini kami suguhkan.
Tentu, ada banyak orang yang mengerti sejarah. Tetapi kemungkinan besar dari
mereka juga bisa salah sangka. Sehingga, mereka membicarakan sosok, tempat,
waktu, cara dan peralatan lainnya, karena mereka mengira yang dibicarakan itu
seperti keadaan mereka yang terbatas. Tak salah. Muncullah gagasan tentang
pentingnya metodologi dalam disiplin ilmu sejarah.
Pada saat kami memberikan perhatian pada berbagai jejak yang diabaikan. Diamdiam kami berpikir bahwa perhatian ini akan sangat berguna. Tapi begitu perhatian
ini kami sodorkan, sementara ada yang mempertanyakan metodologi penulisan.
Kami juga harus bersiap-siap menghadapi resiko memalukan, jika buku ini
menawarkan kesimpulan yang tidak tepat. Interpretasi memang tidak selamanya
benar.
Kalau saja kami bisa meloncati waktu 73.000 hari lalu, untuk melaporkan peristiwa
15 Mei 1817 melalui koran, radio atau televisi. Cukuplah kami menggunakan to be
news. Atau to be expose, to be describe, to be explanne, kalau peristiwa itu
diekspos di tabloid, majalah, jurnal atau bulletin.

Pengalaman kami selama bertahun-tahun sebagai jurnalis, juga dipandu oleh apa
yang disebut teory bu-ilding; jenjang terakhir dari panduan kerja jurnalistik.
Sesuai judul buku ini; teory building melihat pentingnya jejak tersembunyi bukan
hanya yang menopang kemunculan Pattimura dari gelar hingga menjadi
matarumah yang hanya berada di Negeri Latu untuk diangkat dan diisolasi.
Karena menyangkut sederet respon budaya lokal terhadap hak universal.
Apakah itu diartikan sebagai jejak penghormatan karena perbuatan yang berarti
gelar. Jejak berjuang mempertahankan rasa kebersatuan dan persaudaraan. Atau,
jejak mempertahankan diri dari serangan nilai-nilai luar yang tidak pantas.
Dengan teory building, jelas. Buku ini mengemukakan fakta. Sekalipun ada batas
antara teori seorang ahli di seberang sini dan jejak peristiwa di seberang yang lain.
Bagaimana fakta-fakta ini secara hidup menggambarkan sebuah sejarah di pentas
keilmiahan, itulah urusannya para ahli sejarah dengan metodologi mereka.
Benar Lawan Salah
BILA keadilan diartikan sebagai meletakkan sesuatu pada tempatnya. Polemik dan
kontroversi tentang tokoh Kapitan Pattimura bukan karena terlalu banyak opini-opini
oplosan di masyarakat. Tapi ketidakjujuran. Kapitan Pattimura akhirnya terpasung di
situ.
Pada November 1817, kapten Kapal perang Belanda, Q.M.R Verhuell membuat
sketsa Pattimura di atas kapalnya. Pada tahun Pada 1978, sektsa itu muncul di
majalah khusus yang diterbitkan Vrye Universiteit Van Amsterdam.
Pada tahun 1985, Des Alwi menemukan sketsa wajah tersebut dari Belanda.
Setahun kemudian sketsa itu muncul di harian Sinar Harapan edisi 30 Mei 1986.
Inilah foto asli Kapitan Pattimura, kata Des Alwi.
Begitu melihat respon Des Alwi. Dinding dada I.O Nanulaita seperti digedor-gedor.
Dengan mengatasnamakan Para Pemuka di Jakarta, ia langsung bikin reaksi
jenaka; pada 21 Juli 1986, Nanulaita melayangkan surat kepada Menteri Pemuda
Dan Olah Raga Abdul Gafur yang mempermasalahkan respon Des Alwi. Ia
hanya tetap mengakui foto lukisan Pattimura yang dilukis pada tahun 1951 dan
sudah diakui pemerintah.
Jauh sebelumnya, pada 1951. Panitia Peringatan Hari Pattimura dibentuk. Fokusnya
antara lain membuat foto profil Kapitan Pattimura. Hasilnya malah lebih jenaka; foto
Kapitan Pattimura yang sekarang beredar seperti diakui Thamrin Elly, analis
sejarah Pattimura foto itu sebenarnya adalah wajah seorang pelukis bernama
Kristian Latuputty. Ia melukis sebuah wajah persis seperti yang ia tatap sendiri di

depan cermin, ketika panitia Peringatan Hari Pattimura memintanya melukis wajah
Kapitan Pattimura.
Pada tahun 1960, Kodam XV Pattimura membentuk Tim Penggali sejarah Pattimura.
Hingga sekarang hasilnya tidak jelas.
Versi-versi Silsilah Thomas Matulesssy
Pada tanggal 20 Mei 1960, sebuah daftar silsilah berjudul Turun Temurun Kapitan
Matulessy di ttd di Itawaka, pulau Saparua, oleh Kapten Infantri F.L Siahainenia dan
Wattimena. Pada tanggal 26 Mei 1967, daftar silsilah itu diketahui dengan
tandatangan oleh wakil pemerintah Negeri Itawaka, pulau Saparua, A. Syaranamual.
Pada tanggal 5 Oktober 1987, silsilah Kapitan Matulessy itu disahkan di Jakarta.
Diteken oleh Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
Pada kepala daftar silsilah yang disahkan itu, digarisbawahi; Frans Matulessy
memiliki dua anak yakni Thomas Matulessy dan Yohannes Matulessy. Pada kolom
Thomas Matulessy daftar itu, diberi tanda kurung (Kapitan) dengan kalimat pendek,
tidak kawin.
Pada tanggal 28 Mei 1967, F.D Manuhuttu atas nama Ketua Saniri Negeri Haria,
menandatangani sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy. Berjudul Silsila
Pattimura. Sejajar judul daftar itu ada catatan; Matulessy berasal dari Itawaka.
Berbeda dengan silsilah Thomas Matulessy versi Itawaka yang menyebut nama ayah
Thomas dengan Frans Matulessy. Silsilah versi Haria menyebut nama ayah
Thomas Matulessy dengan Frans Pattimura.
Pada tanggal 5 Okrtober 1987, daftar silsilah Thomas Matulessy versi Haria ini juga
di teken oleh Frans Hitipeuw atas nama pemerintah. Jadi, pada hari itu mester Frans
mensahkan dua daftar silsilah Thomas Matulessy sekaligus.
Pada September 1976, I.O Nanulaitta menyusun lagi sebuah daftar silsilah Thomas
Matulessy yang diberi judul Silsilah Pattimura versi Ulath.
Kesamaan dari tiga versi silsilah yang di kemukakan di atas adalah, Thomas
Matulessy tidak kawin. Bedanya adalah temuan Nanulaitta. Bahwa, kakek buyut
Thomas Matulessy bernama Nusa Soleman Alam Syakti yang diperkirakan hidup
sekitar abad ke-14.

Kita belum bisa terburu-buru untuk langsung melihat apakah Nusa Soleman Alam
Syakti adalah benar kakek buyut Thomas Matulessy, sebelum berhenti pada kesan
yang ada di sini; ada bagian-bagian seperti permainan sulap dan teka-teki.
Hasil penelitian silsilah Thomas sebagaimana disahkan pemerintah mengungkapkan
silsilah Thomas bukan asumsi. Melainkan fakta. ada tiga versi; Itawaka, Haria, dan
Ulath.
Kalau sulap berkaitan dengan kelincahan tangan seperti halnya teka-teki berkaitan
dengan kelincahan otak. Kapitan Pattimura dari segi alias Thomas Matulessy adalah
hasil pengisian kolom teka-teki yang di sulap.
Pada 1980, seorang pemerhati sejarah Pattimura, yang bernama M. Nur Tawainella.
Mengemukakan dalil mengenai nama Kapitan Pattimura tetapi malah hampa dari
fakta, dalam artikelnya berjudul Menjernihkan Sejarah Pattimura.
Di dalam artikel itu. Menurutnya, Matulessy adalah hasil pengadopsian nama
berdasarkan dialektika orang Maluku yang memanggil nama Ahmad bermarga
Lussy selalu disingkat Mat. Jadilah migrasi nama dari Mat Lussy menjadi
Matulessy.
Sekalipun ada keinginan yang mungkin dapat dimengerti namun cara Tawainella
merupakan contoh kemujuran analogi dialektika yang luar biasa. Tapi malah salah
kaprah. Dari segi matarumah, analogi Tawainella lebih mengaburkan dari pada
menjelaskan. Seterusnya, polemik dan kontroversi.
Padahal, Matulessy bukan sebuah matarumah yang terasing. Kalau kita tak dapat
menahan hasrat untuk mengetahuinya, ini keterangannya...
Pada tahun yang tidak tercatat pasti. Seorang laki-laki bernama Kasimilali, putra Raja
Sahulau, Seram Barat, Maluku, mengungsi ke negeri yang sekarang bernama
Hulaliu, Haruku. Meminjam sebuah sumber, Di Hulaliu, Kasimilali menikah dengan
seorang gadis bernama Maria Bungasinga Taihuttu. Oleh ayah dari ibu Kasimilali,
pasangan ini diberi nama marga Matulessy.
Masih menurut sumber itu, Matulessy berasal dari kata-kata Mata Tula Lessya,
yang berarti lihat dan peliharalah.
Dari pasangan ini, lahir tiga orang anak antara lain Anthoni Matulessy. Dari pasangan
Anthoni Matulessy, lahir empat orang anak antara lain Thomas Matulessy.

Sekarang. Tidak hanya orang Hulaliu, keturunan marga Matulessy secara fisik.
Orang Haria dan orang Itawaka pun memandang diri mereka sebagai bagian dari
masa depan marga Matulessy.
Jika ini tak terbantahkan. Maka sangat salah kaprah, kalau Matulessy dianalogikan
sebagai hasil migrasi nama dari Mat Lussy. Tapi itu belum selesai.
Seperti dikemukakan sumber, pada suatu waktu tentara yang dipimpin Thomas
Matulessy pernah kehilangan keunggulan. Atas kejadian itu, Maria Matulessy, bibi
Thomas, kemudian menyerukan kepada Thomas; Hei anak, lebih baik berhenti saja,
karena lesi waa puti er nia yang maksudnya, dalam aksen Ambonlebe (lesi;
lebih; lebihkan) pada orang putih (Belanda) jua (saja) yang tentu lebih kuat.
Dikemudian hari, lesi waa puti menjadi marga Lesiputty. Di Hulaliu, marga
Lesiputty ini dipakai semenjak akhir 1817 hingga 1919. Itu artinya, marga Matulessy
tidak pernah dipakai semenjak kurun waktu itu.
Debat mengenai sikap mempertahankan mana benar mana salah bukanlah masalah
di sini. Melainkan, faktanya; Kapitan Pattimura, Thomas Matulessy, dan Ahmad
Lussy adalah tiga sosok yang memang ada. Tetapi mereka bukan anak-anak dari
satu bapak.
Tampaknya. Karena fakta tentang Pattimura dan Matulessy yang simpang siur di
pentas keilmiahan. Bertempat di di Kodam XV Pattimura, Ambon, pada tanggal 5-7
November 1993. Para ahli, para analis, dan para pemerhati sejarah, bersama
pemerintah, terlibat perlawanan argumentatif, dalam seminar tentang sejarah
perjuangan Pahlawan Nasional Pattimura.
Nah. Yang menarik dalam seminar tersebut adalah pernyataan Frans Hitipeuw yang
waktu itu mewakili Direktorat Sejarah dan Purbakala Depdikbud. Pernyataan yang
langsung disampaikan kepada mantan Raja Latu, Haji Sabri Pattimura, salah satu
peserta seminar tersebut. Bahwa, sosok Kapitan Pattimura sebenarnya adalah
seorang Muslim. Nanti akan muncul pada waktunya tetapi, menurut Hitipew kepada
Haji Sabri Pattimura, Sekarang belum saatnya.
Lepas dari pernyataan Frans Hitipew. Hasil seminar yang diselenggarakan oleh
Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku tersebut, merekomendasikan; demi kepastian
penulisan historiografi perjuangan Pattimura. Maka, peran marga Pattimura di negeri
Latu dan silsilah Thomas Matulessy di Saparua dan Haruku, perlu diteliti secara lebih
serius.

Lepas dari rekomendasi seminar yang mengasumsikan tokoh pejuang yang


simpang siur. Adakah kosa kata bahasa Indonesia yang pas untuk menggambarkan
bagaimana sosok yang simpang siur menjadi tokoh pahlawan nasional?
Bilamana pertanyaan seperti di atas tak bisa terjawab. Peningkatan apresiasi
masyarakat, generasi muda mendatang terhadap pelestarian nilai sejarah, itu
namanya cerita terhenti tanpa diakhiri.
Dari Pemimpin Gerakan Ke Penghulu Perang
Begitu turun dari Korps 500 tentara Ambon. Thomas Matulessy langsung bikin
rencana penyerangan terhadap penjajah Belanda. Korps 500 itu para milisi Inggris,
termasuk Ambon, termasuk Thomas Matulessy.
Korps itu didemobilisasi oleh Martin, Residen Inggris. Itu terjadi pada 24 Maret 1817,
ketika persetujuan Maluku dikembalikan kepada Inggris, diteken.
Yang menyatakan itu I.O Nanulaitta, dosen sejarah pada Universitas Padjajaran
Bandung yang ditulis dalam makalahnya Kronologis Jalannya Perang Pattimura.
Keterangan itu memberi kesan; Thomas Matulessy hanya membutuhkan waktu
sekitar satu bulan tiga minggu, sebelum tanggal 15 Mei 1817. Selama itu, Thomas
paling tidak melakukan tiga kali musyawarah penting dengan para tokoh masyarakat
setempat. Yakni, tanggal 3 Mei, tanggal 9 Mei, dan tanggal 14 Mei 1817.
Pertemuan pertama adalah atas inisiatif Thomas, mengumpulkan laki-laki dari Haria
dan Porto sebanyak seratus orang, di WaeHauw, Saparua.
Dalam musyawarah itu, semua yang hadir bersepakat untuk menyerang Belanda
termasuk, raja Sirisori dan Patih Haria karena sehari-harinya dianggap bersama
residen Belanda. Ini jelas dalam makalah Nanulaita.
Pertemuan kedua, tanggal 9 Mei 1817 terjadi di tempat yang sama. Di sini, Thomas
ditunjuk sebagai Pemimpin Gerakan. Dan, pertemuan pada 14 Mei 1817 yang
dikenal dengan musyawarah besar di Umekuhuil, Bukit Saniri. Thomas diangkat
sebagai Penghulu Perang atau Kapitan.
Dalam perspektif keabsahan pemberian gelar, kita boleh menduga-duga bahwa
musyawarah merupakan media legalitas bagi pengangkatan Thomas sebagai
kapitan.
Tapi kerangka ceritanya malah tambah rumit.

Ulasan redaksi koran Nasional edisi 18 Maret 1984 berdasarkan hasil wawancara
dengan ahli waris Thomas Matulessy, berjudul Sejarah Perjoangan Thomas
Matulessy/Kapitan Pattimurah (pakai h dibelakang) Yang Terpendam. Jelas
menyebutkan, Thomas sudah di beri gelar pada akhir April 1817. Ia telah terpilih
sebelum rapat Waehauw I dan II atau sebelum pada rapat di Umekuhuil.
Tampak; ahli waris Thomas Matulessy ini tidak sibuk memuji-muji isi Raport Porto.
Keabsahan pengangkatan Thomas sebagai kapitan seperti ada kerasukan ganda
karena motif awal mendeteksi fakta peristiwa, ditulis.
Di antara benar lawan salah; Thomas Matulessy adalah korban ketidakjujuran.
Dalam hal pengangkatannya dari pemimpin gerakan hingga penghulu perang. Ia
sangat tidak berbeda apabila peristiwa 15 Mei 1817 di Saparua itu disebut Perang
Matulessy atau Perang Saparua. Pelogikaan itu penting karena alasan logis yang
tersedia sudah lebih dari cukup.
Memang. Tidak mungkin bahkan mustahil, sejarah yang diceritakan hari ini akan
sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Bagi mereka yang terlibat
langsung dengan peristiwa itu, atau mereka yang mendengar peristiwa tersebut
diceritakan dari saksi mata. Mungkin mengingatnya, mencatatnya dengan cara
mereka.
Lalu, catatan itu mereka simpan baik-baik. Sebagai bahan perenungan berharga
tentang sebab, motif, waktu, pelaku, atau akibat terjadinya peristiwa tersebut.
Tapi kadang muncul orang yang tidak berhak. Mengambil catatan yang tersimpan.
Nilai peristiwa yang ditulis menjadi kacau balau, campur aduk antara pengalaman
para saksi mata dengan opini tamu tak berhak tadi.
Selanjutnya. Tadisi mencampuri urusan yang bukan haknya diikuti orang-orang
sesudahnya. Informasi yang diteruskan lebih parah lagi. Terjebak pada kebiasaan
memindahkan cerita dari mulut ke mulut. Menganalogikan bahasa yang malah salah
kaprah. Menyalin dari satu buku ke buku yang lain, tanpa analisa. Ini menjawab
pertanyaan tentang mengapa banyak masalah yang menggantung dalam penulisan
tokoh Pattimura.
Tim Penggali Sejarah Pattimura
Musibah adalah salah satu tanda keagungan Tuhan. Dalam musibah atau bencana,
manusia biasanya menemukan kandungan-kandungan nilai keadilan dan kebaikan.

Setidaknya, situasi pada akhir 1959 masa Trikora kandungan nilai-nilai tersebut
ditemukan; sebuah kapal KRI Kapitan Pattimura buntutnya pecah oleh tembakan
meriam Belanda.
Padahal, KRI Kapitan Pattimura itu baru saja dibeli dan masuk perairan Maluku.
Karena musibah kapal itu, di benak orang pun timbul berbagai spekulasi. Akhirnya,
hati orang Saparua tergerak. Mereka keluar memberi keterangan.
Mereka, bersaksi di hadapan dua orang perwira menengah yang di turunkan dari
Kodam Pattimura untuk ke Saparua, mencari jawaban atas musibah KRI Pattimura.
Dua perwira menengah itu adalah Kapten TNI Mawa dan Kapten TNI Siahaininia.
Dua perwira TNI itu pula lah yang kelak dimata orang Latu dan orang Saparua
dikenal sebagai Tim Penggali Sejarah Pattimura.
Setelah mendengar informasi dari masyarakat di Saparua bahwa data-data yang
lengkap tentang Kapitan Pattimura berada di Negeri Latu. Tim tersebut kemudian
menyurati Raja Negeri Latu, Raja Subuh Patty. Untuk membawa data-data dimaksud
ke Saparua. Raja Subuh Patty tidak datang, tapi ia segera menjawab.
Lima orang Latu langsung diutus ke Saparua. Mereka itu adalah satu anggota
Kakehan Haji Abdul Salam Parihua, satu orang maatewannyo (ilmuwan) Djen Patty,
satu orang penutur sejarah, Ahmad Patty, dan dua anggota saniri masing-masing
Abdul Latif Patty dan Ahmad Pattimura.
Mereka berangkat ke Saparua membawa order yang diminta tim penggali sejarah.
Data yang diminta tim penggali sejarah mengasumsikan apa?

Anda mungkin juga menyukai