Anda di halaman 1dari 172

1

Pendahuluan

Dari mana memulai membuka penangguhan


ini? Pada tanggal 21 Maret 1817, Van den Berq
dilantik sebagai residen Belanda di Saparua. Tapi
tugasnya di sana cuma seumur jagung. Pada
tanggal 15 Mei 1817, jasad residen itu dan istri-
nya tergeletak di benteng Duurstede, kota
Saparua. Kedua laki bini itu tewas bersama bala
tentaranya, setelah dihajar dalam suatu per-
tempuran sengit oleh sebuah pasukan khusus
dari Seram Barat, bernama Kakehan.
Menjelang seratus tiga puluh tujuh tahun,
drama penyerangan itu kemudian ditulis oleh M.
Sapija, tetapi tampil dalam bentuk buku yang
paling banyak mengundang polemik dan kon-
troversi, berjudul ‘Sejarah Perjuangan Pattimura
Pahlawan Indonesia.’ Buku itu pertama kali di-
cetak pada 1954, kedua pada 1957, dan cetakan
ketiga pada 1959.
Dalam kurun waktu dua ratus tahun, pe-
ngetahuan tentang Kapitan Pattimura khusus-
nya, pertama kali didapat melalui buku karya M.
Sapija tersebut.)*
Tapi, mengapa pengetahuan tentang sosok itu,
kemudian menuai polemik dan kontroversi?

*
Perlawanan Thomas Matulessy sudah banyak ditulis oleh para
penulis Belanda, dengan kata ‘Matulesia,’ dan tidak pernah ada
kata ‘Pattimura.’

166
Polemik dan kontroversi adalah ketidakpuasan
yang mengambil bentuk, mengasumsikan ada
yang diabaikan. Mengabaikan dalam apa?
Pertama, M. Sapija dalam buku itu meng-
aliaskan Thomas Matulessy sebagai Kapitan
Pattimura. Pernyataan itu yang dari tahun ke
tahun membuat sosok Kapitan Pattimura seperti
tidak memiliki awal yang dapat ditetapkan,
malahan sebuah penjeratan dalam pemahaman.
Kalau data-data tentang Thomas Matulessy alias
Kapitan Pattimura itu memang valid, kenapa
seminar sejarah perjuangan Pattimura di Ambon
pada November 1993, justru merekomendasikan
kepada para ahli, untuk meneliti kembali silsilah
Matulessy?
Karena, kedua, dari data-data yang ada,
Kapitan Pattimura dan Thomas Matulessy adalah
dua sosok yang memang ada. Tetapi mereka
bukan anak-anak dari satu bapak. Kapitan
Pattimura adalah Kapitan Pattimura, Thomas
Matulessy adalah kapitan Thomas Matulessy,
seorang Kristen taat yang tetap harus dihormati.
Dari data-data yang ada, peristiwa 15 Mei
1817 di Saparua adalah sebuah peristiwa
khusus, di mana para pelakunya adalah sebuah
pasukan khusus, dari sebuah organisasi rahasia,
organisasi kemiliteran jaman kuno di Seram
Barat yang bernama Kakehan.
Ketiga, jika banyak kalangan yang bertanya
tentang dialiaskannya Thomas Matulessy sebagai
Kapitan Pattimura itu berdasarkan fakta atau
bukan, tentu tak dapat diabaikan begitu saja
dengan ukuran nilai sendi adat dan filsafah
hidup orang Maluku yang tahu fam atau marga
itu apa, gelar itu apa, kapitang itu apa, Pattimura
itu apa, dan akhirnya juga tahu peristiwa 15 Mei
1817 di Saparua itu sebenarnya peristiwa apa.
Ditilik dari satu sisi, penjelasannya sederhana;
terjadinya peristiwa ‘Perang Pattimura’ dite-

166
rangkan oleh fakta, Belanda diserang pada 15
Mei 1817 di dalam benteng Duurstede, kota
Saparua. Tapi itu fakta tentang variabel peristiwa
yakni waktu dan tempat. Bukan fakta ten-
tangThomas Matulessy itu Kapitan Pattimura.
Bah-kan, sejauh pemahaman yang ada,hanya
variabel itu yang dibesar-besarkan, yang selalu
muncul berulang-ulang.
Ditilik dari sisi lain, dari sudut pandang orang
awam, mendengarkan cerita tentang peristiwa15
Mei 1817 itu dapat menjadi alasan untuk me-
nanyakan yang lebih peka lagi; dari mana
faktanya peristiwa itu di sebut ‘Perang Patti-
mura?’
Kalau definisi fakta menyerang dirumuskan
sebagai tindakan seseorang atau kelompok orang
mendatangi kelompok lain untuk melawan.
Maka, mengapa harus terjadi penyerangan, se-
perti apa, bagaimana, kapan persisnya, apa saja
buktinya, dan seterusnya.
Kebutuhan mencocokkan hubungan antara
variabel fakta peristiwa —tidak hanya waktu
dantempat—membawa konsekuensi dalam bagai-
mana peninggalan jejak peristiwa itu diangkat,
diisolasi, dan diterangkan. Hubungan antara
pelaku dan peristiwa, antara motif dan kejadian,
sebab-akibat, sama pentingnya dengan hubung-
an antara sejarah dan keterangan fakta; harus
tidak boleh menyerang akal sehat kita.

Naskah Tetua Adat Negeri Latu


Sebuah lakon, lakon siapa pun, pada zaman
apa pun, dicirikan lewat bukti sejarah dalam
cara kita melihat, bernalar dan berbuat. Kita bisa
mengenali jejak lakon itu pada lingkup seni,
agama, atau sejarah pergerakan yang dipelajari
lewat dokumen, monumen, dan kisah tutur.
Yang terakhir ini di Ambon diistilahkan dengan
‘kapatah,’ atau prosa lirik, kidung tradisional.

166
Pemahaman praktis tentang Pattimura dapat
diperoleh dengan menyelidikinya.
Mari kita tinggalkan buku M. Sapija, dengan
melacak dokumen lainnya. Kita mulai dengan
sebuah jepitan kertas ketikan manual yang
disusun tetua adat Negeri Latu.
Disaat banyak pernyataan dan pertanyaan
tentang Thomas Matulessy itu sebenarnya Ka-
pitan Pattimura atau bukan. Mula-mula kita
membayangkan orang yang menghindar dari
arena ‘benar’ lawan ‘salah.’
Ibarat memilih menyelam di dasar laut. Yang
ingin didengar orang itu hanyalah detak jantung.
Kemudian, kita pun membayangkan ada saatnya
bagi orang itu harus muncul ke permukaan.
Sekedar untuk menarik nafas.
Maka, kemunculan itu diilustrasikan dengan
contohsikap para tetua adat Negeri Latu; tempat
marga Pattimura berasal. Pada Juni 1980,
mereka keluar memberikan kesaksian adat.
Tentang rapat paripurna majelis adat tiga batang
air di Seram Barat, yang tergabung dalam
Kakehan.
Itulah Rapat Saniri Tiga Batang Air; Tala, Eti,
dan Sapalewa, seperti ditulis dalam naskah itu
berjudul Terbukalah Sejarah Asli Kapitan
Pattimura Dan Perjuangan Anak Cucunya.
Mereka, tetua adat Negeri Latu itu adalah; Haji
Kadir Riring, Haji Abdul Gafur Sosal, Haji Hasan
Riring, Maklum Riring, Haji Arifin Sosal, dan
Ahmad Patty. Keterangan mereka dalam naskah
yang di susun itu dengan peran adat masing-
masing.
Diantara hamparan ‘Gunung Hitu’ —Tujuh
Gunung— pegunungan yang sambung-menyam-
bung dan langit Ama Latu yang tak berujung.
Mereka, tetua adat itu, memberikanapa yang
nyaris hilang, yang kemudian saya sadari sebagai

166
anugerah terbesar bagi kita yang dirundung
kegelisahan akibat pembengkokkan berbagai
fakta Pattimura.
Kesaksian adat itu dituturkan kepada Haji
Abdul Latief Pattimura dan Muhammad Saleh
Wakano. Pada waktu keterangan itu disusun,
Haji Abdul Latief Pattimura adalah Imam Besar
Masjid Al-Fajri Negeri Latu.
Pada tanggal 20 juni 1980, kesaksian itu
kemudian dirapikanoleh sebuah tim, beranggo-
takan; Muhammad Nur Pattimura, Abdul Rac-
hman Patty, A. Kadir Pattimura (guru Lan), Kadir
Baharuddin Patty, Usman Wakano, dan Ayyoto
Pattimura.
Pada 1984, Haji Usman Wakano dan Haji
Muhammad Syaiful Pattimura memberikan
kepada saya; sebuah jepitan kertas. Berjumlah
27 halaman ketikan manual. Buku ini —
demikian pula judulnya— terinspirasi dokumen
tersebut.
Dokumen tetua adat Negeri Latu bukanlah
satu-satunya bukti jejak Kapitan Pattimura. Tapi
dokumen itu adalah petunjuk yang hidup, untuk
mengawali pengungkapan fakta peristiwa seja-
rah. Peristiwa 15 Mei 1817 terjadi, melalui
rencana majelis Kakehan dalam pleno adat yang
digelar di belakang Negeri Latu, tiga hari men-
jelang drama berdarah tersebut.
Kalau kita mau kembali lagi ke keterangan M.
Sapija, ia memang yang mulai ‘mempublikasikan’
Pattimura lewat bukunya pada 1954. Beberapa
hal dalam buku itu tampak betul, tapi ternyata
tidak.
Karya M. Sapija itu malah memasuki ajalnya
pada 1960, ketika Kodam XV Pattimura, Ambon,
membentuk sebuah tim penggali sejarah. Tim itu
dibawah koordinator dua perwira menengah
yakni Kapten TNI Siahainania dan Kapten TNI

166
Ma’wah. Pembentukkan tim penggali sejarah,
bagaimanapun mengasumsikan karya M. Sapija
tak bisa dipercaya.
Harus kita renungkan pula. Musibah adalah
salah satu tanda keagungan Tuhan. Dalam musi-
bah atau bencana, manusia biasanya menemu-
kan kandungan-kandungan nilai keadilan dan
kebaikan.
Setidaknya, situasi pada akhir 1959 —masa
Trikora— kandungan nilai-nilai tersebut ditemu-
kan; sebuah kapal ‘KRI Kapitan Pattimura’
tertembak buntutnya dan pecah, oleh meriam
Belanda.
Seperti diakui Haji Sabri Pattimura, mantan
Raja negeri Latu, KRI Kapitan Pattimura itu baru
saja dibeli dan masuk perairan Maluku. Karena
musibah kapal itu, di benak orang pun timbul
berbagai spekulasi. Akhirnya, nilai jejak jalan
Soloise, sebuah jalan di Saparua jualah, yang
menggerakkan kesadaran orang Saparua untuk
keluar memberi keterangan.
Mereka, orang Saparua, bersaksi di hadapan
dua perwira menengah yang mencari jawaban
atas musibah KRI Pattimura. Setelah mendengar
informasi dari masyarakat di Saparua bahwa
data-data yang lengkap tentang Kapitan Patti-
mura berada di Negeri Latu. Tim tersebut kemu-
dian menyurati Raja Negeri Latu, Raja Subuh
Patty. Untuk membawa data-data dimaksud ke
Saparua. Raja Subuh Patty tidak datang, tapi ia
segera menjawab.
Lima orang Latu langsung diutus ke Saparua.
Mereka itu adalah satu anggota Kakehan Haji
Abdul Salam Parihua, satu orang maatewannyo
(ilmuwan) Djen Patty, satu orang penutur se-
jarah, Ahmad Patty, dan dua anggota saniry
Negeri Latu masing-masing Abdul Latif Patty dan
Ahmad Pattimura. Mereka berangkat ke Saparua
membawa order yang diminta tim penggali se-

166
jarah. Data yang diminta tim penggali sejarah
mengasumsikan apa?

Kerangka Analisa
Saya memang menawarkan fakta Kapitan
Pattimura dalam buku ini ―sesuatu yang mung-
kin peka tapi inilah faktanya. Fakta, antara motif
dan kejadian, sebab dan akibat, pelaku dan
tempat, marga dan gelar, fakta yang didapat
sesudah perang. Termasuk keahlian-keahlian
khusus dan makna peristiwanya yang di-
tangguhkan.
Kendatipun naskah tetua adat negeri Latu
menjadi sumber utama penulisan buku ini.
Namun, bagaimana membuka penangguhan
makna sesuai judulnya, saya masih harus ber-
juang untuk memenuhi kebutuhan sumber pe-
ngetahuan yang beragam. Dalam sebuah pe-
ristiwa sejarah tidak ada sebab tunggal.
Bagaimana kita tahu pasti penangguhan-pe-
nangguhan itu, saya telusuri dari berbagai sim-
bol, sikap, dan pernyataan, antara lain dari
pernyataan sejarahwan Maluku Frans Hitipeuw.
Misalnya, tentang sosok Kapitan Pattimura.
Menurut Hitipeuw, Pattimura itu sebenarnya
seorang muslim, nanti juga akan muncul, tapi
sekarang belum waktunya.
Selain pernyataan Hitipeuw, saya juga me-
nelusuri foto sketsa Pattimura yang dibuat oleh
kapten kapal Belanda Verhuell. Sketsa itu dibuat
di atas kapal pada November 1817. Ketika Des
Alwi menemukan sketsa itu di Belanda dan me-
nyatakan “Ini foto asli Kapitan Pattimura,” dosen
sejarah pada Universitas padjadjaran Bandung,
I.O Nanulaita yang mengatasnamakan para
pemuka Maluku di Jakarta, menolak foto sketsa
tersebut.

166
Pernyataan Hitipeuw dan Nanulaita, sebenar-
nya cuma dua contoh cacing pita opini yang tak
berujung. Dalam sikap dan pernyataan mereka,
tidak tampak usaha untuk menyelaraskan nilai
perjuangan di tengah upaya pencarian origina-
litas Pattimura. Nanulaita bahkan sangat ter-
kenal karena membenarkan lukisan Pattimura
yang beredar sekarang, yang sebenarnya adalah
wajah seorang pelukis bernama Christian Lat-
tuputi, yang melukis wajahnya sendiri di depan
cermin ketika panitia Hari Pattimura pada 1951
memintanya untuk melukis profil Pattimura.
Sikap dan pernyataan semacam itu mau tak mau
harus saya pakai dalam kerangka analisa.
Apakah peristiwa 15 Mei 1817, pada akhirnya
berarti hanya tentang sosok Kapitan pattimura?
Tanpa komando kelompok satu suara keber-
satuan dan keahlian khusus, kemenangan Patti-
mura atas Belanda adalah mustahil.
Perintah majelis adat Kakehan untuk me-
nyerang Belanda sekali lagi telah terdengar sejak
peristiwa itu. Karena Kakehan adalah organisasi
kemiliteran sekaligus organisasi rahasia jaman
kuno di Seram Barat, apa yang terdengar me-
ngenai organisasi ini pun menjadi tertutup rapat.
Bila memang Kakehan adalah organisasi pe-
tarung favorit di Seram Barat, maka peralatan
perang para anggota seperti parang dan sala-
waku bukan cendramata dari manufaktur kuno
Alifuru Seram.
Dengan absennya beberapa kekhususan
pasukan Pattimura, dan apa itu Kakehan sebagai
pasukan khusus, kerangka analisa saya juga
harus mengingat ulang cerita orang tatua me-
ngenai Tiga Batang Air; Tala, Eti, dan Sapalewa,
yang mau tak mau membuat saya terbawa arus
kepada apa yang dinamakan Nunusaku, karena
memiliki mata rantai yang panjang dengan watak
dan prilaku Kakehan.

166
Hubungan Brigade Kakehan sebagai fakta
pasukan pemukul, tidak sebatas melihat ke-
rangka majelis adatnya. Dari naskah tetua adat
negeri Latu, kita mendapat keterangan berharga;
seorang laki-laki bernama Alim bin Aijran
Pattimura, diangkat menjadi kapitan justru kare-
na kemampuannya yang melampaui kemampuan
para ksatria Kakehan.
Kita tidak dapat mengerti dengan baik, ke-
mampuan ilmuwan Alim Pattimura yang bagai-
mana, termasuk, mengapa para anggota Kake-
han disebut sebagai organisasi ‘komando pasu-
kan khusus’ Alifuru Seram, tanpa mengetahui
terlebih dahulu tentang gambaran induknya
yakni Kakehan.
Sekalipun mitos dan legenda sering dianggap
sebagai penggambaran peristiwa masa lalu yang
tak mampu diterima akal. Toh, untuk kepen-
tingan verifikasi dan analisa ilmiah, vagina
kekhususan Kakehan yang terbungkus dalam
mitos, cerita dongeng, bagi saya perlu diukur
dengan teoritisi-teoritisi geolog, antropolog, so-
siolog dan arkeolog.
Seperti yang saya gunakan di sini, antara lain
pendapat Subyakto, antropolog Universitas Indo-
nesia (UI) dalam esai terbatas Kebudayaan
Ambon, dan keterangan dari sejarahwan UI ke-
lahiran Ambon R.Z. Leirissa dalam bukunya,
Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia.
Riset geolog BelandaL. Rutten dan W. Hotz,
melalui karya mereka Geological, Petrographical,
And Palaeotological Results In The Island Of
Ceram, juga saya gunakan.
Apakah para ‘patih,’ atau seorang tokoh yang
memiliki banyak samaran, karena mereka mem-
punyai banyak cara untuk mencapai tujuan?
Fenomena penyamaran saya lihat dengan teori
antropolog lewat buku Tafsir Kebudayaan, karya
Clifford Geertz.

166
Sekalipun saya merasa lahir dan dibesarkan
di tengah lingkungan adat, teori-teori tentang
adat tetap saya pertimbangkan misalnya dari
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneka lewat
karya mereka, Hukum Adat Indonesia. Di mana
tidak ada kecocokan, disana tak kan ada ob-
yektifitas pemahaman.
Penggunaan bahasa daerah merupakan feno-
mena linguistik luar biasa bagi manusia dalam
berinteraksi. Bagaimana membangkitkan sema-
ngat kebersamaan rakyat republik-republik
pedesaan, mulai dari cara-cara mereka untuk
tunduk dan patuh kepada leluhur, dalam
mengawetkan tradisi penghormatan, hingga
sidang pleno adat Kakehan untuk menyerang
penjajah, mereka, para leluhur itu menggunakan
kapatah-kapatah.
Untuk mengukur kesalahpahaman verbal,
apakah yang dimaksud dengan kapatah, apakah
kapatah-kapatah yang digunakan itu hanya dari
bahasa Alune atau campuran Alune-Wemale,
penting saya gunakan riset lapangan E. Wat-
timury, Ny. A. Haulussy, dan J. Pentury lewat
karya mereka Struktur Bahasa Alune.
Kehormatan didapat dari perbuatan. Dalam
naskah tetua adat negeri Latu menyebutkan,
bahwa Pattimura adalah gelar yang diberikan
oleh para datuk. Untuk memastikan siapa para
datuk itu, saya gunakan buku Bongarna Siani-
par, Horas Dari Tanah Batak Untuk Indonesia,
dan paparan ahli sejarah pendidikan tradisional
Hasan Muarif Ambary, dalam esainya Pesantren
Sebagai Basis Pendidikan Generasi Masa Depan.
Buku Sianipar membantu memahami datuk
secara harfiah, dan esai Ambary memastikan
latar belakang kemunculan leluhur Kapitan
Pattimura. Periode-periode peran ulama yang di-
paparkan Ambary, bahkan menuntun kita ke
pemahaman, bahwa Perang Pattimura merupa-

166
kan salah satu puncak abstraksi intuisi peran
ulama.
Selain buku M. Sapiya berjudul Sejarah
Perjuangan Pattimura Pahlawan Indonesia,argu-
menttasi-argumentasi para ahli didalam Seminar
Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Pattimura
yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Dep-
dikbud Provinsi Maluku di Ambon pada tanggal 5
hingga 7 Nopember 1999, sudah pasti saya
sertakan.
Sesudah menyaksikan adegan itu di bagian
dua tentang ‘Benar’ Lawan Salah,’ dan bagian
tiga tentang ‘Sumpah Parang,’ buku ini saya
lanjutkan dengan bagian empat, tentang“Formula
Kerahasiaan, Dibalik Kekhususan Kakehan.” Ini
bab kombinasi antara sejarah perlawanan dari
kebiasaan menjadi kewajiban. Termasuk, bagai-
mana menjadi ‘patih’ yang mewujud dalam ke-
khusuan brigade Kakehan. Kemudian, “Telusuri
Desa Pesisir Seram Barat Yang Pertamakali
Masuk Islam,” saya tempatkan di bagian lima.
Selanjutnya, “Membuka Penangguhan Makna”
di bagian enam, “Kapitan Alim bin Aijran
Pattimura,” di bagian tujuh, bagaimana jalannya
perintah majleis adat Kakehan, hingga penyer-
buan pasukan ke benteng Duurstede, saya tem-
patkan di bagian delapan. Sesudah perang, tentu
ada hasil yang didapat. Misalnya, penemuan dan
pemeliharaan putri residen Belanda yang dise-
lamatkan, saya tempatkan di bagian sembilan.
Petunjuk untuk lebih memahami apa itu tiga
batang air, saya tempatkan di bagian sepuluh,
dan bagian sebelas sebagai penutup.
Sebelas bagian buku ini, apakah berkaitan
atau bertentangan, namun inilah upaya saya,
membukanya.

166
166
Kapal perang Freget Maria Reygersbergen

166
2
Benar Lawan Salah

Bila keadilan diartikan sebagai meletakkan


sesuatu pada tempatnya. Polemik dan kontro-
versi tentang sosok Kapitan Pattimura bukan
karena terlalu banyak opini-opini oplosan di
masyarakat. Tapi ketidakjujuran. Sosok Kapitan
Pattimura yang sebenarnya seperti terpasung di
situ.
Pada November 1817, kapten Kapal perang
Belanda, Q.M.R Verhuell membuat sketsa Patti-
mura di atas kapalnya. Pada tahun Pada 1978,
sektsa itu muncul di majalah khusus yang
diterbitkan Vrye Universiteit Van Amsterdam.1
Pada tahun 1985, Des Alwi menemukan
sketsa wajah tersebut dari Belanda. Setahun
kemudian sketsa itu muncul di harian Sinar
Harapan edisi 30 Mei 1986. “Inilah foto asli
Kapitan Pattimura”, kata Des Alwi.2

11
J.A Pattikayhatu, makalah Lukisan Profil Pahlawan Nasional
Pattimura Yang Dipermasalahkan,Seminar Sejarah Perjuangan
Pahlawan Nasional Pattimura, Kanwil Depdikbud Provinsi
Maluku, Ambon 5-7 November 1993.

22
Sinar Harapan”, edisi 30 Mei 1986.

166
Begitu melihat respon Des Alwi. Dinding dada
I.O Nanulaita seperti digedor-gedor. Dengan
mengatasnamakan para pemuka di Jakarta, ia
langsung bikin reaksi jenaka; pada 21 Juli 1986,
Nanulaita melayangkan surat kepada Menteri
Pemuda Dan Olah Raga —Abdul Gafur— yang
mempermasalahkan respon Des Alwi. Ia hanya
tetap mengakui foto lukisan Pattimura yang
dilukis pada tahun 1951 dan sudah diakui
pemerintah.
Pada 1980,M. NurTawainella, seorang pemer-
hati sejarah Pattimura, mencoba mencari jawab
atas pertanyaan tersebut. Dalam artikelnya di
Panji Masyarakat berjudul Menjernihkan Sejarah
Pattimura, Tawainella mengemukakan dalil me-
ngenai nama Kapitan Pattimura tetapi malah
hampa dari fakta.
Didalam artikel itu. Menurutnya, Matulessy
adalah hasil pengadopsian nama berdasarkan
dialektika orang Maluku yang memanggil nama
‘Ahmad’ ―bermarga Lussy― selalu disingkat
‘Mat.’ Jadilah migrasi nama dari ‘Mat Lussy’
menjadi ‘Matulessy.’3
Sekalipun ada keinginan yang mungkin dapat
dimengerti. Namun cara Tawainella merupakan
contoh kemujuran analogi dialektika yang luar
biasa, tapi malah salah kaprah. Dari segi ma-
tarumah, analogi Tawainella lebih mengaburkan
dari pada menjelaskan. Seterusnya, polemik dan
kontroversi.Padahal, Matulessy bukan sebuah
marga atau matarumah yang terasing.
Jauh sebelumnya, pada 1951. Panitia Peringa-
tan Hari Pattimura dibentuk. Fokusnya antara
lain membuat foto profil Kapitan Pattimura. Ha-
silnya malah lebih jenaka; foto Kapitan Pattimura
yang sekarang beredar—seperti diakui Thamrin
Elly, analis sejarah Pattimura— foto itu sebenar-
33
Periksa, majalah Panji Masyarakat nomor 295, edisi 1 Juni
1980.

166
nya adalah wajah seorang pelukis bernama
Christian Lattuputi. Ia melukis sebuah wajah
persis seperti yang ia tatap sendiri di depan
cermin, ketika panitia ‘Peringatan Hari Pattimura’
memintanya melukis wajah Kapitan Pattimura.
Kemudian, tim penggali sejarah Pattimura di-
bentuk oleh Kodam XV Pattimura, Ambon pada
1960.

Versi-versi Silsilah Thomas Matulesssy


Pada tanggal 20 Mei 1960, sebuah daftar
silsilah berjudul Turun Temurun Kapitan
Matulessy di ‘ttd’ di Itawaka, pulau Saparua, oleh
Kapten Infantri F.L Siahainania dan Wattimena.
Pada tanggal 26 Mei 1967, daftar silsilah itu
‘diketahui’ dengan tandatangan oleh wakil
pemerintah Negeri Itawaka, pulau Saparua, A.
Syaranamual.
Pada tanggal 5 Oktober 1987, silsilah Kapitan
Matulessy itu disahkan di Jakarta. Diteken oleh
Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan RI.
Pada kepala daftar silsilah yang disahkan itu,
digarisbawahi; ‘Frans Matulessy memiliki dua
anak yakni Thomas Matulessy dan Yohannes
Matulessy’. Pada kolom ‘Thomas Matulessy’
daftar itu, diberi tanda kurung (Kapitan) dengan
kalimat pendek, “tidak kawin”.4
Pada tanggal 28 Mei 1967, F.D Manuhuttu
atas nama Ketua Saniri Negeri Haria, menan-
datangani sebuah daftar silsilah Thomas Ma-

4 4
Frans Hitipew, makalah; “Historiografi Maluku Yang
Tradisional dan Modern”, seminar Sejarah Perjuangan Pahlawan
Nasional Pattimura, Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku, Ambon
5-7 Nopember 1993

166
tulessy. Berjudul ‘Silsila Pattimura.’5 Sejajar judul
daftar itu ada catatan; “Matulessy berasal dari
Itawaka”.
Berbeda dengan silsilah Thomas Matulessy
versi Itawaka yang menyebut nama ayah Thomas
dengan “Frans Matulessy”. Silsilah versi Haria
menyebut nama ayah Thomas Matulessy dengan
“Frans Pattimura”.
Pada tanggal 5 Okrtober 1987, daftar silsilah
Thomas Matulessy versi Haria ini juga di teken
oleh Frans Hitipeuw atas nama pemerintah. Jadi,
pada hari itu mister Frans mensahkan dua daftar
silsilah Thomas Matulessy sekaligus.
Pada September 1976, I.O Nanulaitta me-
nyusun lagi sebuah daftar silsilah Thomas Matu-
lessy yang diberi judul “Silsilah Pattimura versi
Ulath.”6
Kesamaan dari tiga versi silsilah yang di
kemukakan di atas adalah, Thomas Matulessy
tidak kawin. Bedanya adalah temuan Nanulaitta.
Bahwa, kakek buyut Thomas Matulessy bernama
Nusa Soleman Alam Syakti yang diperkirakan
hidup sekitar abad ke-14.7
Kita belum bisa terburu-buru untuk langsung
melihat apakah Nusa Soleman Alam Syakti
adalah benar kakek buyut Thomas Matulessy,
sebelum berhenti pada kesan yang ada di sini;
ada bagian-bagian seperti permainan sulap dan
teka-teki.
Hasil penelitian silsilah Thomas sebagaimana
disahkan pemerintah, mengungkapkan silsilah
Thomas bukan asumsi. Melainkan fakta; ada tiga

55
Ibid....

66
Ibid....

77
Ibid....

166
versi, yaitu versi Itawaka, Haria, dan dan versi
Ulath.
Kalau sulap berkaitan dengan kelincahan
tangan seperti halnya teka-teki berkaitan dengan
kelincahan otak. Kapitan Pattimura dari segi
‘alias’ Thomas Matulessy adalah hasil pengisian
kolom teka-teki yang di sulap.
Kalau kita tak dapat menahan hasrat untuk
mengetahui marga atau matarumah Matulessy,
apa yang diungkapkan M. Sapiya mungkin
menarik;
Pada tahun yang tidak tercatat pasti. Seorang
laki-laki bernama Kasimilali, putra Raja Sahulau,
Seram Barat, Maluku, mengungsi ke negeri yang
sekarang bernama Hulaliu, Pulau Haruku. Ini
menurut Sapiya yang, persisnya, lebih lanjut;
“Di Hulaliu, Kasimilali menikah dengan seorang
gadis bernama Maria Bungasinga Taihuttu. Oleh
ayah dari ibu Kasimilali, pasangan ini diberi
nama marga “Matulessy.”8
Menurut Sapiya, ‘Matulessy’ berasal dari kata-
kata “Mata Tula Lessya”, yang berarti “lihat dan
peliharalah”.
Dari pasangan ini, lahir tiga orang anak
antara lain Anthoni Matulessy. Dari pasangan
Anthoni Matulessy, lahir empat orang anak an-
tara lain Thomas Matulessy.
Sekarang. Tidak hanya orang Hulaliu, ketu-
runan marga Matulessy secara fisik. Orang Haria
dan orang Itawaka pun memandang diri mereka
sebagai bagian dari masa depan marga Ma-
tulessy.
Jika ini tak terbantahkan. Maka sangat salah
kaprah, kalau Matulessy dianalogikan sebagai
88
Dikutip dalam M.Sapiya, Sejarah Perjuangan Pattimura;
Pahlawanh Indonesia, penerbit Djambatan, cet ketiga, 1959; xiv

166
hasil migrasi nama dari Mat Lussy. Tapi itu
belum selesai.
Seperti dikemukakan Sapiya, pada suatu wak-
tu tentara yang dipimpin Thomas Matulessy
pernah kehilangankeunggulan. Atas kejadian itu,
Maria Matulessy, bibi Thomas, kemudian menye-
rukan kepada Thomas;
“Hei anak, lebih baik berhenti saja, karena ‘lesi
waa puti er nia…’ yang maksudnya, ―dalam
aksen Ambon― lebe (‘lesi’; lebih; lebihkan) pada
orang putih (Belanda) jua (saja) yang tentu lebih
kuat.9
Dikemudian hari, mengutip Sapiya, ‘lesi waa
puti’ menjadi marga “Lesiputty”. Di Hulaliu,
marga Lesiputty ini dipakai semenjak akhir 1817
hingga 1919.
Karena fakta tentang sosok Pattimura dan
Matulessy yang simpang siur di pentas keil-
miahan. Bertempat di Kodam XV Pattimura,
Ambon, pada tanggal 5-7 November 1993. Para
ahli, para analis, dan para pemerhati sejarah,
bersama pemerintah, terlibat perlawanan argu-
mentatif, dalam seminar tentang sejarah perjua-
ngan Pahlawan Nasional Pattimura.
Hasilnya, merekomendasikan; demi kepastian
penulisan historiografi perjuangan Pattimura.
Maka, peran marga Pattimura di negeri Latu dan
silsilah Thomas Matulessy di Saparua dan Ha-
ruku, perlu diteliti secara lebih serius.1010
Di antara ‘benar’ lawan ‘salah’; Thomas Matu-
lessy adalah korban ketidakjujuran. Dalam hal
pengangkatannya dari penghulu perang hingga
silsilahnya yang disusun. Ia sangat tidak berbeda

99
ibid...
1010
Periksa rekomendasi hasil Seminar Sejarah Perjuangan
Pahlawan Nasional Pattimura, Kanwil Depdikbud Provinsi
Maluku, Ambon 5-7 November 1993.

166
apabila peristiwa 15 Mei 1817 di Saparua itu
disebut “Perang Saparua” atau “Perang Matu-
lessy,” seperti halnya penamaan peristiwa pada
Perang Iha (1632-1651), Perang Hoamual (1625-
1656), Perang Banda (1609-1621), Perang Hitu
(1520-1605), atau Perang Diponegoro (1825-
1830).
Memang. Tidak mungkin bahkan mustahil,
sejarah yang diceritakan hari ini akan sama
persis dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Bagi mereka yang terlibat langsung dengan pe-
ristiwa itu, atau mereka yang mendengar
peristiwa tersebut diceritakan dari saksi mata.
Mungkin mengingatnya, mencatatnya dengan
cara mereka.
Lalu, catatan itu mereka simpan baik-baik.
Sebagai bahan perenungan berharga tentang
sebab, motif, waktu, pelaku, atau akibat ter-
jadinya peristiwa tersebut.
Tapi kadang muncul orang yang tidak berhak.
Mengambil catatan yang tersimpan. Nilai peris-
tiwa yang ditulis menjadi kacau balau, campur
aduk antara pengalaman para saksi mata dengan
opini tamu tak berhak tadi.
Selanjutnya. Tadisi mencampuri urusan yang
bukan haknya, diikuti orang-orang sesudahnya.
Informasi yang diteruskan lebih parah lagi. Ter-
jebak pada kebiasaan memindahkan cerita dari
mulut ke mulut. Menganalogikan bahasa yang
malah salah kaprah. Menyalin dari satu buku ke
buku yang lain, tanpa analisa. Ini menjawab
pertanyaan tentang mengapa banyak masalah
yang menggantung dalam penulisan tokoh Patti-
mura.
Ketika fakta peristiwa terpasung di antara
kubu ‘benar’ lawan ‘salah.’ Tak terpikir oleh kita
betapa dekatnya nilai sendi adat dan filsafat
hidup orang Maluku dengan kebenaran; pada
Pemilu pertama 1955 Sapija diusung oleh Partai

166
Komunis Indonesia ―PKI untuk menjadi anggota
DPR.
Jika polemik dan kontroversi merupakan la-
han subur bagi indoktrinasi watak PKI, maka
buku Sapiya seperti sudah disiapkan jauh se-
belumnya untuk mengacak-acak kerukunan
hidup orang basudara Maluku yang berlandas-
kan nilai sendi adat.
Setelah Gestapu―Gerakan 30 September
1966, Sapiya ditangkap karena terlibat partai ter-
larang. Buku Sapiya seperti bukti peninggalan
watak PKI yang disusupkan melalui sistem
penulisan sejarah, supaya provokatif.
Jika kita sedang terenyuh menghadapi wajah
karakter bangsa, maka pemutarbalikkan fakta
bagi siapa saja adalah adegan paling puncak dari
drama reruntuhan nilai kearifan anak bangsa.

166
166
166
166
3
Sumpah Parang

Seorang Jenderal Tentara Nasional Indonseia


(TNI), pada Mei 2001 mengundang saya untuk
menjadi tim perumus seminar Lembaga Keta-
hanan Nasional (Lemhanas) Kurus Singkat Ang-
katan (KSA) IX di jalan Kebun Sirih Jakarta
Pusat.
Di sela-sela suasana perumusan itu, sang
Jenderal bertanya; “Mas Luthfi ada punya hu-
bungan dengan pahlawan Pattimura?” Duh!
Sebagai seorang yang bermarga Pattimura, sa-
ngat sering saya ditanyai seperti yang di ajukan
sang jenderal. Dan, selama itu, selama mereka
yang selalu bertanya tentang yang mana yang
benar tentang Pattimura, hanya satu hal yang
harus saya buktikan. Hanya satu hal, yakni buka
mulut, buka mulut, dan buka mulut atau akan
ditanyai terus.

Misterius
Manusia dalam kasus tertentu pernah memi-
lih untuk menutup mata dan mulut. Pilihan
itulah yang melahirkan kata ‘musteion’, dari kata
kerja bahasa Yunani yang artinya menutup mata

166
atau mulut; sebuah kata yang menurutJohn
Maecquarie, berakar dalam pengalaman tentang
kegelapan dan kesunyian seperti ditulis dalam
bukunya Thinking About God.1
Meminjam Karen Armstrong, tiga kata seperti
‘mitos’, ‘mistisisme’, dan ‘misteri’, memiliki hubu-
ngan erat secara linguistik dengan musteion.2
Sekalipun peristiwa Perang Pattimura di-
terangkan oleh fakta, sosok Kapitan Pattimura
mestinya tidak menjadi polemik, tidak menjadi
kontroversi, tidak ‘misterius’, andaisemua va-
riabel fakta peristiwa sejarah ini sudah di-
kemukakan sedari awal.
Polemik dan kontroversi mengasumsikan ada
yang diabaikan. Ketika apa yang
diabaikanituharusdipahamitetapisulit. Maka,
yang mana yang benar, dan yang mana yang
salah tentang sosok Pattimura menandakan ciri
misterinya; menjadi sulit dipahami, menandai
kebungkaman yang tidak lazim.
Jika kata “mitos” sering dipakai sebagai sino-
nim untuk kebohongan, maka pernyataan bahwa
Thomas Matulessy itu Kapitan Pattimura adalah
mitos: tidak benar, tak dapat dibuktikan.
Melihat analis para ahli tentang Kapitan Patti-
mura tetapi tetap masih misteri, kita makin jadi
tahu bahwa upaya mengetahui Pattimura yang
sebenarnya ibarat cerita detektif.
Dari sudut pandang cerita detektif, yang me-
narik dari peristiwa Perang Pattimura adalah
perdebatan sengit soal sosok, soal figur pahla-
wannya, bukan peristiwanya.
Dari sudut pandang alasan penyerangan, yang
menarik dari peristiwa 15 Mei 1817 adalah
1 1
Karen Armstrong; op-cit; 283

22
Ibid …

166
eksodus orang-orang Iha dari pulau Saparua,
bukan peralihan kekuasaan dari Inggris kepada
Belanda.
Dari sudut pandang pelaku penyerangan, yang
menarik dari peristiwa 15 Mei 1817 adalah fak-
tanya yang misterius, bukan aksi heroiknya.
Dari sudut pandang penulisan sejarah peris-
tiwa itu, yang menarik dari sana adalah manipu-
lasi fakta peristiwanya, dan karenanya termini-
pulasi pula nilai-nilai yang terkandung di dalam-
nya.
Dari sudut pandang pemberian gelar Patti-
mura sebagai pahlawan Nasional, yang menarik
dari Kapitan Pattimura adalah digabungkannya
duamatarumah atau marga sekaligus; bukan soal
harus ada pemberian gelar pahlawan nasional
atau tidak.
Jika kata ‘misteri’ dianggap sebagai sesuatu
yang perlu dijelaskan, kita yang sedang meme-
cahkannya adalah detektif.
Menjadi detektif disini adalah menjadi sema-
cam orang pemecah misteri. Berarti kita harus
turun; masuk ke dalam detil, untuk menjumpai
pokok masalah dari muka ke muka. Label
‘Alifuru’ (antropologi), ‘maweng’ (bentuk keperca-
yaan kuno), dan ‘Latu’ (kekuasaan), sebagai label
jaman akan kita jumpai pada bab sebelah.
Meskipun kisah sejarah Kapitan Pattimura
seperti memuat sukma kepercayaan manusia
yang memancing amarah, curiga, kecewa, saling
tidak percaya dan selalu bermandi perselisihan.
Namun salah satu kekuatan label jaman, me-
wujudkan dirinya dalam apa yang disebut ‘aniki
lopuro’ atau sumpah parang.

Sumpah Parang
Apa artinya orang Latu yang menyimpan ba-
nyak fakta peristiwa Perang Pattimura tetapi

166
baru diungkapkan dalam bentuk naskah tetua
adat pada Juni 1980?
Melihat analogi dialektika yang salah kaprah.
Atau kerja tim penggali sejarah Pattimura yang
akhirnya membengkokkan fakta, jelas. Karena
orang Latu secara subyektif punya pengalaman
buruk mempercayai orang.
Saya pun merasakan langsung. Ketika pene-
lusuran bahan tambahan di Negeri Latu untuk
menerbitkan buku ini. Ada saling tidak percaya
dari masyarakat setempat. Sembari dalam hati
saya berpikir ini bukan sejarah tabu untuk
disentuh.
Selain karena pengalaman analogi dialektika
oleh analis sejarah M. Nur Tawainella. Rupanya,
apa yang saya rasakan langsung itu karena
adanya tantangan adat. Yaitu apa yang disebut
aniki lopuro atau ‘sumpah parang’.*
Memang. Istilah ini sudah sering saya dengar
di masa kanak-kanak. ’Aniki lopuro,’ makna
harfiahnya adalah ‘gigit parang,’ atau ‘sumpah
parang’; bahwa, Perang Pattimura adalah juga
sebuah peristiwa rahasia untuk tidak harus
diceritakan.
Ketika isi naskah tetua adat Negeri Latu yang
mengisahkan para anggota Kakehan terdiri dari
para kapitan dari tiga batang air Tala, Eti, dan
Sapalewa. Mula-mula saya berkesimpulan; aniki
lopuro berkaitandengan konsekuensi fisik dan
moral dari kesalahan kisah ini diceritakan; akan
menuai banyak masalah jika fakta keterlibatan
para kapitan tiga batang air tidak diletakkan
sesuai sebaran nilai kolektifitas keintiman
mereka para kapitan.
Ada juga informasi yang beredar di masya-
rakat. Orang Latu memilih merahasiakan fakta
peristiwa 15 Mei 1817 yang sebenarnya, agar
**
Aniki Lopuro, Bahasa Negeri Latu; ‘Sumpah Parang.’

166
dapat menarik garis yang jelas antara dapat dan
tidak dapat menjaga sebaran nilai kolektifitas
tersebut. Sembari membiarkan fakta-fakta yang
ada berbicara sendiri.
Yang jelas. Supaya jejak peristiwa tidak men-
jadi suara-suara terasing. Orangtua saya Haji
Daud Pattimura dan Haji Abdullah Pattimura
akhirnya angkat bicara kepada saya pada 2012.
Tentang orang-orang Latu yang ditangkap Be-
landa dan dibawa ke Saparua, segera setelah
penyerahan putri residen Belanda dari Raja Latu
kepada pemerintah Kerajaan Belanda, pada
tahun 1824.
Saat penyerbuan ke benteng Duurstede, putri
itu ditemukan oleh pasukan Pattimura. Setelah
diselamatkan, putri itu kemudian dibawa ke
Latu, dan dipelihara oleh marga Riring hingga
usia tujuh tahun. Menurut Kadir Baharuddin
Patty (cucu dari Raja Latu, Fajar Patty), putri itu
dipanggil Puane.
Karena adanya bukti pemeliharaan putri itu di
Latu. Mudah saja bagi Belanda. Menjadi bukti
kuat bahwa yang menyerang Belanda di benteng
Duurstede ternyata pasukan dari Latu. Karena
bukti itu, orang-orang Latu pun ditangkap, dan
dibawa ke Saparua untuk menjalani hukuman.
Di Saparua, hukuman yang dijalani orang
Latu adalah mencabut rumput dengan gigi, dan
mencungkil sebuah gunung batu cadas dengan
parang tanpa ulu (gagang).
Gunung batu cadas yang dicungkil itu se-
panjang sekitar 60 meter, lebar sekitar lima
meter, untuk menjadi fasilitas umum, sebuah
jalan raya yang sekarang bernama ‘Soloise’,
sebuah jalan menuju kota Saparua.
Haji Daud Pattimura dan Haji Abdullah
Pattimura adalah ponakan dari Haji Jafar
Pattimura. Waktu itu, remaja Haji Jafar Patti-

166
mura inilah, yang pergi pulang Latu-Saparua.
Untuk membawa perbekalan, makanan secara
sembunyi-sembunyi kepada orang Latu yang
menjalani hukuman, sambil juga menjalani hu-
kuman bilamana ketahuan.
Sengsaranya hukuman, yang untuk melu-
kiskannya bahasa Indonesia kekurangan kata
itulah. Yang bikin mereka berdiri sebagai laki-
laki, mengeluarkan sumpah parang. “Si aniki
lopuro, si amato” (Mereka menggigit parang, ber-
sumpah untuk tak pernah lagi bercerita tentang
Pattimura). Karena terlalu berat pikulannya, jika
diungkap.
Konsekuensi fisik dan moral dari salah tafsir
makna filosofi aniki lopuro, juga menjadi hirauan
para analis. Dalam ulasanZainul Samalehu,
analis sejarah Pattimura, “Menjadi cerita umum,”
kata Samalehu, “Setiap kali upacara HUT
Pattimura tanggal 15 Mei yang diadakan secara
meriah, selalu membawa korban.”1
Kasus bentrok antar warga, bahkan berujung
pada hilangnya nyawa pada setiap peringatan
Hari Pattimura 15 Mei yang menjadi hirauan
analis, menunjukkan; berbagai jejak yang di-
tinggalkan oleh tetua para leluhur, seperti
mengeksplorasi ketertarikan. Kerahasiaanlah,
kekhususan ketertarikan itu.

11
Zainul Samalehu, artikel; “Menjernihkan Masalah Pahlawan
Pattimura”, koran “Suara Maluku” edisi 3 Nopember 1993.

166
Ekspedisi Belanda Di Saparua

166
4
Formula Kerahasiaan

Hanya beberapa orang yang tahu; serangan


terhadap Belanda 15 Mei 1817 berlangsung sa-
ngat cepat. Yang tahu itu antara lain sejarahwan
Universitas Indonesia (UI), Richard Zakawerus
Leirissa;
“Serangan itu dilakukan dengan serentak.
Tiba-tiba tak ada lagi suara yang terdengar.
Tembok-tembok benteng dipanjat dengan bantuan
bambu-bambu yang diletakkan oleh beberapa
orang yang telah ditugaskan untuk itu. Beberap
jam kemu-dian tak ada lagi perlawanan. Di
antara penghuni benteng itu, hanyalah seorang
anak kecil yang diselamatkan oleh Matulessy
sendiri”.1
Soalnya bermula dari kerahasiaan. Saya bu-
kan ahli gaib, bukan ahli sembunyi-sembunyi,
bukan ahli gelap-gelapan. Tapi kalau tidak salah
para ahli bahasa juga bersepakat; kerahasiaan
berkaitan erat dengan hal-hal yang sifatnya gaib,
yang diam-diam, yang tersembunyi, yang gelap. 2
1 1
Lihat, R. Z Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional
Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastera Universitas
Indonesia Jakarta, 1975; 47

22
Kunjungi, http:www.artikata.com

166
Kalau boleh kita pakai istilah ‘asal-usul,’ dari
mana sebenarnya asal-usul kerahasiaan? Penga-
laman apa yang memalingkan orang paling sak-
sama secara antropologis, menjadi tunduk dan
patuh pada cara-cara gaib, yang diam-diam,
gelap dan tersembunyi?
Sebelum menjumpai paradoks-paradoks peng-
alaman, kita bahas dulu ‘mereka’ yang suka
main rahasia-rahasia, yang sembunyi-sembunyi;
biasanya itu mereka yang punya kuasa, para
‘patih,’ para raja.
Kekhususan Kapitan Pattimura dan pasu-
kannya, penuh dengan kerahasiaan yang me-
nantang logika. Para sejarahwan atasnama pe-
merintah, melalui tim pembuat profil Pattimura
sejak 1951, bisanya mengakui itu dan berhenti di
situ.
Makanya itu, yang dapat kita lakukan, adalah
menelusuri bagaimana kerahasiaan-kerahasiaan
itu terbungkus. Maweng, Kakehan, dan Latu
(dengan sub babnya) di sini, akan berkonsentrasi
tentang isi bungkusan tersebut.
Karena ‘Alifuru’ menyangkut kerahasiaan an-
tara kepercayaan dan keyakinan, antara huruf
dan tutur, antara nafas dan teknik-teknik me-
ngendalikan nafas sebagai senjata rahasia manu-
sia kuno di Seram, menjadi terlalu bagus untuk
saya abaikan di bagian muka bab ini.

Alifuru
Kemunculan kata ‘Alifuru’ dapat kita telusuri
pada abad ke-9 SM. Di atas keramaian kontak
perdagangan internasional di Persia, kata ini
muncul untuk pertama kalinya. Yaitu, sebagai
bahasa isarat.

166
Ketika bahasa Aram (Arab kuno) dan tuli-
sannya yang diambil dari bahasa Ibrani, dan
menjadi bahasa internasional dalam perdaga-
ngan dan diplomasi semenjak abad ke-9 SM.
Kata ‘alif’ dan ‘alef’ pun ramai dipergunakan.
Dua kata yang artinya sama yakni satu atau
tunggal, dipergunakan terutama, ketika bahasa
Aram menjadi media komunikasi resmi di se-
luruh kerajaan Persia yang bahasanya berma-
cam-macam.
Ketika sesama pedagang di jaman itu, saling
menyapa yang kebetulan berasal dari satu ja-
zirah Arab, kata ‘alef’ pun muncul, sebagai isarat
bahwa mereka sama-sama berasal dari satu
suku bangsa. Landasan cerita ini dikemukakan
oleh Rabbi Avner Sahertian dalam karyanya,
Anak Kunci Israel yang Hilang Di Indonesia.3
Kesetaraan kata ini adalah cikal bakal
penggunaan istilah Alifuru, yang berarti pendu-
duk asli di pulau Seram. Tetapi, asli secara apa?
Pertanyaan belum terjawab, hingga kita amati
orang Seram, orang Ambon dan sekitarnya, da-
lam pergaulan sehari-hari yang menggunakan
kata ‘ale,’ (dari kata ‘alef’uru’) yang maksud dan
artinya saudara.
Karena di Seram ada dua kelompok suku,
yang dianggap sebagai penduduk asli yaitu suku
Alune dan suku Wemale. Selanjutnya, kalau
benar penggunaan kata ‘ale’ dalam kehidupan
sehari-hari tadi, berkaitan dengan ekspresi per-
saudaraan yang mengental. Maka, terminologi
penduduk asli dari kata Alifuru, tidak ada
kaitannya dengan penduduk asli dalam arti suku
atau unit. Melainkan, ekspresi persaudaraan.
Asli di sini menunjukkan standar pengakuan.
Bahwa, sesama anak Seram adalah satu keturu-

33
Rabbi Avner Sahertian, Anak Kunci Israel yang Hilang Di
Indonesia, Pustaka Solomon, Yogyakarta; 2010;22

166
nan, satu leluhur, satu komunal, yang hidup
mereka (pernah) sangat dekat lebih dekat dari
sekedar persaudaraan.
Pada tahun 2008, Yoyok Widoyoko dan ka-
wan-kawan menerbitkan sebuah buku berjudul
The Wonderfull Islands Maluku. Dalam buku itu,
mereka memperkenalkan leluhur orang Seram
berasal dari Melanesia, ras yang berkaitan de-
ngan kebiasaan berburu dan meramu. Ras ini
sudah ada di sana semenjak 40.000.60.000
tahun silam.4 Karena dataran Seram dulunya
tidak begini, kita bisa menggunakan analisa
Robert Cribb, ahli sejarah Indonesia pada Uni-
versitas Queensland, Australia, sebagai hujah ras
Melanesia menginjakkan kaki di tanah pra
Seram.
Ketika permukaan laut masih 200 meter lebih
rendah dari sekarang, Indonesia bagian barat
dulunya adalah suatu dataran subkontinental
yang mungkin sekali ditutupi hutan kering yang
cocok bagi masyarakat pemburu.Hingga muncul
zaman es, terakhir terjadi tujuh belas ribu tahun
lalu seperti dicatat Cribb dalam tulisannya,
Bangsa: Menciptakan Indonesia.5
Masih menurut Cribb; hutan kering berubah
jadi hutan tropis basah, karena iklim yang basah
sebagai imbas naiknya permukaan laut, Mela-
nesia pun berpindah ke arah timur, setelah ling-
kungan berburu di daerah barat telah berubah
menjadi hutan basah.6
Orang Latu menyebut ‘arune’ berarti kain.
Kata ‘Alune’ (suku asli Seram), menurut E.

44
Dikutip dalam Yoyok Widoyoko, dkk, The Wonderfull Island
Maluku, Gibon Group Publication, Jakarta, 2008; 84-93
55
Lihat tulisan Robert Cribb, Bangsa: Menciptakan Indonesia
dalam Donald K Emmerson, (et.al), Indonesia Beyond Soeharto,
GPK Jakarta, 2001: 4-5

66
Ibid...

166
Wattimury, Ny. A Haulussy, J. Pentury dalam
karya mereka, Struktur Bahasa Alune, disebut
‘Alune,’ karena suku tersebut pandai menenun.7
Dengan kamune dan lia, suku Alune sudah
sedari dulu dapat membuat pakaian. Pakaian
yang khusus bagi laki-laki disebut cidaku.
Meskipun masyarakat berburu ras Melanesia
agak sulit ditemukan bukti fisik mereka di
Seram. Namun berburu, meramu, dan menenun
sama-sama memiliki prasyarat. Yakni, keahlian;
dari cara menggunakan panah dan tombak, hing-
ga cara menggunakan ramuan untuk kesalahan
menggunakan panah atau tombak. Dari cara
mencari dan mengumpulkan bahan-bahan seper-
ti akar-akaran, kayu-kayuan, daun-daunan yang
diperlukanuntuk membuat obat, hingga cara
mencari serat daun muda dari sejenis pohon
sagu sebagai benang, atau cara menggunakan
alat untuk menenun yang disebut kamune, atau,
lia(sejenis batu yang dipakai untuk menumbuk
semacam kulit pohon), untuk dijadikan cidaku.
Seperti halnya menggunakan panah atau
tombak, meramu dan menenun membutuhkan
ilmu. Ilmu tentang bagaimana mendapatkan dan
menggunakan alat. Bahkan membutuhkan ilmu
tentang kesabaran, keikhlasan, kesetiaan, disip-
lin, ketelitian, pengorbanan, dan kemurahan
hati. Ini menggambarkan kecerdasan manusia
dan dalam cara menggunakannya.
Selain menawarkan kesenangan, menenun
juga menjadi wilayah ekspresi kejiwaan atas
fantasi liar dan berani setelah manusia dikuasai
kekalutan, kebimbangan dan ketegangan akibat
ketidaktahuan akan jawaban-jawaban alam.

77
E. Wattimury, Ny. A Haulussy, J. Pentury, Struktur Bahasa
Alune, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1996; 5

166
Kegunaan teknis berburu, meramu dan me-
nenun sudah pasti diketahui. Tapi kesabaran,
keikhlasan, kesetiaan, disiplin, ketelitian,
pengor-banan, yang menelurkan keahlian
sebagai apa pun yang kita pikirkan, bukan hanya
didapat dari berburu atau menenun.
Seperti ilmu mana pun yang itu untuk sebuah
keahlian khusus, pada akhirnya adalah
pengalaman, latihan, dan keyakinan.
Serangan yang serentak, yang tiba-tiba tak
ada lagi suara terdengar, itu sungguh nyata bagi
yang punya pengalaman dan keyakinan, karena
serangan yang serentak mengejar tema-tema ini;
maut, kejantanan, kekuasaan, dan kehilangan.
Pertanyaan bagaimana kita menangkap kuali-
tas-kualitas dalam ilmu-ilmu khusus dan kare-
nanya keahlian khusus seperti pemindahan titik
gravitasi ke dalam apa yang pada dirinya meru-
pakan bentuk keyakinan, kita teruskan dengan
melacak jejak ilmu batin.

Alif-Hu
Berdasarkan periode penggunaan bahasa
Aram (Arab kuno; Ibrani) dan pengaruhnya,
Rabbi Avner ingin memperlihatkan bahwa akar
penggunaan kata Alifuru bisa dilacak dari periode
perdagangan internasional yang sempat berpusat
di Persia pada abad ke-9 SM tersebut.
Periode itu seperti rumah makan. Bukan saja
tempat atau pelayanan. Tapi juga lalulalang ke-
budayaan. Masalahnya, dengan menggunakan
Struktur Bahasa Alune sebagai alat pengukur;
ada kemungkinan kata Alifuru persisnya bukan
begitu.
Contoh; orang Latu menyebut “uru” artinya
“kepala”. Suku Alune menyebut “uru” artinya

166
“sulit,”8 8 Ketika huruf “R” diucapka oleh orang
Sirisori (salah satu negeri di Pulau Saparua),
misalnya, akan menjadi “D” atau jadi “L” jika “R”
diucapkan oleh orang Hualoy (salah satu negeri
tetangga Latu), maka kata “Alif” yang dimaksud-
kan bisa jadi “Arif” yang artinya “Bijak”.
Demikian pula kata “uru” yang dimaksudkan bisa
jadi “hulu” yang artinya “kepala”. Kata Alifuru
bisa jadi berkaitan dengan Arafuru. Ada lagi, kata
Nuaulu (‘ulu’ artinya ‘kepala’), untuk menun-
jukkan suku terasing di Seram.
Masih dengan Struktur Bahasa Alune, terdapat
asimilasi fonemis, yakni, perubahan fonem
karena pengaruh fonem tertentu dalam kata yang
dimasukinya.9
Membandingkan terminologi ‘kepala pertama’
versi Struktur Bahasa Alune, memang berguna
untuk mendapat gambaran apakah kata Alifuru
yang digunakan, memang begitu maksudnya
atau bukan.
Nah. Bila benar manusia melakukan sem-
bahyang bukan hanya fisik tapi juga ada
kegiatan bathin, bahwa manusia sebenarnya
tidak cukup mengatasi masalah secara formal
lahiriah saja. Saya merasa perlu meminjam
sebuah asumsi sangat tidak umum, yang
menunjukkan kedalaman analisa seorang analis
sejarah, Jafar Patty. Tentang Alifuru yang sebe-
narnya, merupakan jejak verbal kasar yang
belum sempat dilunakkan, dan tidak sebatas
pengertian aborijinal atau penduduk asli Seram.
Bilamana ilmu itu bertitik saja tidak apalagi
bersuara. Maka, contoh paling dekat untuk

88
Ibid

99
Ibid

166
memperbandingkan jenis ilmu yang kita pikirkan
adalah ilmu kebathinan.
Adanya satu komunitas masyarakat yang
bernama “Seram Bati” di Gorom, Seram Timur,
contoh, mungkin merupakan petunjuk terpen-
dam dalam gejala sosial masyarakat. Apakah
komunitas yang bernama “Bati” tersebut, ada
secara kebetulan, atau memiliki kaitan dengan
sebuah keadaan tertentu yang melahirkan kata
Alifuru?
Atas pertanyaan semacam ini, Jafar Patty
melihat akar kata kedua dari Alifuru dari sudut
yang berbeda. Menurutnya, akar kata yang
kedua dari Alifuru bukan “uru”, melainkan
“hu,”yang maksudnya “kepala,” dalam arti
“induknya sifat,” “ibunya sifat,” “intinya sifat,”
“sarinya sifat”; hakekat dari segala sifat.
Suatu figur sosial yang sewaktu-waktu dapat
memaksakan kenyatan-kenyataan secara gravi-
tatif adalah Seram Bati tersebut; kemampuannya
untuk bisa berubah, misalnya menjadi seekor
buruang ‘taong,’ menunjukkan adanya sebuah
ciri yang sedemikian rupa sampai orang lupa
bertanya ciri itu bisa ada di sana secara apa.
Kata “bati”, yang sebenarnya berasal dari kata
“bathin”, yang dimaksudkan sebagai adanya
pewaris ilmu bathin. Dengan pendekatan terse-
but, manusia awal dari maksud kata Alifuru, tak
ada kaitannya dengan awal kedatangan manusia
secara fisik. Melainkan, sisi bayangan pemantik
persoalan-persoalan hidup secara bathin.
Dari kebatinan, diakui bahwa menjadi manu-
sia tidak sekedar dapat merasa, tapi juga
bagaimana merasakan perasaan-perasaan yang
teramat dalam hingga tak dapat diterjemahkan
seperti sabar, pasrah, atau hormat. Dari kemam-
puan merasakan perasaan-perasaan terdalam,
diakui pula bahwa menjadi manusia tidak hanya
bernafas tapi juga mengendalikan nafas, dengan

166
teknik-teknik mirip yoga. Bilamana pengendalian
nafas semata pasrah karena Allah, Clifford Geertz
menyebutnya, “Hu-Allah-hu, sebagai tarikan na-
fas dan hembusan nafas kata Allah yang
mengucapkan namaNya sendiri.”1010
Alifuru adalah bentuk verbal penolakan terha-
dap segala yang berbau lahiriah. Karena berbagai
kondisi, tugas mental penuntasan ilmuwan tak
bisa sampai tembus ke akar-akar bahkan,
memungkinkan mereka meloncati yang namanya
syariat.
Bila benar tugas para wali juga melakukan
pelunakan-pelunakan tradisi spiritual selain
Islam ―dan karenanya ilmu bathin bukan hanya
dalam ajaran Islam. Maka, Kakehan dan Alifuru
adalah bukti tentang tutur dan huruf yang belum
sempat dilunakkan.
Dalam kasus serangan yang tiba-tiba tak ada
suara yang terdengar, Leirissa tidak sekadar
melihat fenomena kekhususan sebuah pasukan.
Tapi ia sebenarnya memaksudkan Alifuru,
Kakehan,dan Latu sebagai petunjuk pengeta-
huan tentang yang tak diketahui. Yakni, kerja-
kerja ‘maweng’ yang mewujud pada anggota
Kakehan, sisi bayangan para patih.
Alifuru hanyalah lapisan tipis, yang menutupi
kebutuhan akan sikap pernyataan kepercayaan
yang lebih dalam.

Maweng
Sebelum agama datang dan mengakhiri oto-
ritas ritual manusia yang tak masuk akal.
Pegangan manusia dalam bentuk ritual sangat
banyak. Dengan mencoba memahami bagian
yang khas, dan dinamikanya dari segala bentuk

1010
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
1992;66

166
pegangan manusia di jagad bumi. Berarti, kita
membicarakan tentang pegangan manusia yang
memiliki ciri khas.
Sebelum Islam dan Kristen masuk, ciri khas
agama di Seram Barat adalah Kakehan. Masuk-
nya Islam dan Kristen mengakhiri otoritas
Kakehan, dan menggeser fungsinya dari spritual
ke sosial.
Logika ini diisyaratkan oleh adanya jejak
verbal di Seram, Ambon yang merujuk pada kerja
ritual yang disebut ‘maweng,’ artinya ‘perantara.’
Maweng adalah kata sifat yang menjelaskan
suatu kemampuan dan keahlian khusus, misal-
nya kemampuan melihat hal-hal diluar
jangkauan.
Di kampung-kampung, para tatua adat dan
pemuka agama seperti imam, khotib, atau pen-
deta bukan peramal secara artifisial. Tetapi
begitu manusia dililit masalah, imam atau pen-
deta selalu menjadi sasaran pelarian manusia.
Keahlian kontak person para pemuka agama
dengan obyek dan peristiwa-peristiwa alam,
dalam hubungan dengan permasalahan-per-
masalahan hidup manusia, menawarkan ‘pemu-
ka-pemuka agama’ untuk memainkan peran se-
perti yang dianalisa antropolog Universitas In-
donesia (UI) Subyakto. Yakni sebagai “maweng”;
perantara antara dunia dengan roh-roh nenek
moyang dan dunia gaib.1111
Bila kehadiran tetua adat dan ‘pemuka agama’
untuk mereproduksi realitas maweng, maka
imam dan pendeta sekarang ini adalah simbol
transformasi kerja-kerja paramaweng dalam
agama di jaman kuno.

1111
Subyakto, dalamManusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Koentjaraningrat (ed); penerbit Djambatan Jakarta, cet
keduapuluh dua 2007; 173-189.

166
Karena pegangan, (sarana), cara (metoda), dan
pelaksana (perantara), merupakan tiga unsur
yang berkaitan dengan sistem pengukuhan diri
dengan ‘Yang Suci.’ Maka, dalam bidang spritual
di jaman kuno Alifuru Seram, maweng adalah
unit Kakehan, yang memimpin sarana sosial
pengukuhan diri, mediator, antara dunia dengan
roh-roh nenek moyang dan dunia gaib. Klop;
sebuah kata yang diawetkan dalam hubungan
bahasa-ritual, yakni kata mawe yang diartikan
sebagai ramal.
Dalam kehidupan nyata, kekuatan kolektif
dijelaskan oleh apa yang kita sebut ‘jamaah,’
sebagai kekuatan kebersamaan manusia dalam
mencapai tujuan dan perjuangan melawan
realitas objek-objek mati. Ada jamaah, berarti
ada pula pemimpin jamaah.
Semenjak kebutuhan akan pemimpin jamaah,
apa yang disebut dengan ‘kharisma,’
masuk.12 12Lima manusia adikodrati yang hidup
pada abad ke-6 SM, umpamanya.
Karena teladan-teladan mereka
mempengaruhi umat manusia sejak dahulu
hingga sekarang, Arnold Toynbee menjuluki
mereka sebagai lima Peramal Besar; Zarathustra,
Phytagoras, Konfu-sius, Deutero Isayah, dan
Siddharta Gautama.1212
12 12
Sosiolog Jerman Max Weber mengemukakan; “…Suatu
kwalitas tertentu dalam kepribadian seseorang, dengan itu dia
akan dibedakan dari orang biasa, dan diperlakukan sebagai
seseorang yang memperoleh anugerah kekuasaan adikodrati,
adimanusiawi, atau setidak-tidaknya kekuatan, kwalitas yang
sangat luar biasa. Kekuatannya sedemikian rupa sehingga, tidak
terjangkau oleh orang biasa tetapi dianggap sebagai berasal dari
bayangan atau sebagai teladan dan atas dasar itu individu
tersebut diperlakukan sebagai seorang pimpinan. Lihat, The
Theory of Social and Economic Organization, terjemehan oleh A.M
Henderson dan Talcott Persons, Talcott Persons (ed), New York,
Oxford University Press, 1947; 359

1212
Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitik,
Kronologis, Naratif, dan Komperatif. Pustaka Pelajar, 2007;235-

166
Meskipun kelima Peramal Besar itu hidup
pada zamannya sendiri-sendiri, namun mereka
melakukan pembongkaran pada agama tradisio-
nal masyarakatnya, ketika manusia melangkah
keluar dunia menuju ketidaktahuan dan terjebak
dalam apa yang disebut ‘di diluar jangkauan.’
Setelah manusia berpindah cara, dari pra
peradaban. Cara mendekati yang suci pun ber-
ubah. Medium-medium benda mati yang tadinya
sebagai cara mendekati yang suci, bergeser ke
kekuatan kolektif masyarakat manusia. Dengan
alasan tersebut, hubungan manusia dengan rea-
litas tertinggi itu merupakan hubungan kolektif
dan institusional, bukan individual dan personal,
menurut Toynbee.1313
Dalam konteks agama kuno di Seram,
‘Maweng’ adalah jejak verbal dari para pemimpin
kekuatan kolektif yang kita pikirkan.
Jika Kakehan disebut sebagai bentuk agama
kuno di Seram, maka itulah yang disebut agama
mistik. Mengutip Karen Armstrong, agama mistik
lebih dekat dan cenderung lebih membantu pada
saat-saat sulit daripada keimanan yang didomi-
nasi otak.1414
Setelah waktu berubah menjadi sejarah, sis-
tem dan praktek lembaga spritual pun berubah.
Kakehan kemudian menjadi organisasi militer,
para maweng menjadi ‘patih,’ sesuai keahlian
masing-masing.

236

1313
Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitik,
Kronologis, Naratif, dan Komperatif. Pustaka Pelajar, 2007;235-
236

1414
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan
Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen Dan Islam
Selama 4.000 Tahun, penerbit Mizan Ban-dung, cet VI, 2003;284

166
Latihan-latihan inisiasi mempertanda ada
cara individu dalam mencapai status tertentu.
Manakala status tertentu diperoleh melalui
latihan-latihan inisiasi. Maka, patih di sini tak
ada kaitannya dengan gelar publik, melainkan,
berkaitan dengan skill atau keahlian dalam
status tertentu, terhadap situasi tertentu yang
lambat laun menjadi ‘penghulu; apakah itu
diartikan sebagai ‘penghulu bagi orang sakit’
(tabib), ‘penghulu tanah (ama-nopuny),’ ‘penghulu
perang (kapitan, panglima),’atau ‘penghulu ja-
maah (imam, pendeta).’
Kombinasi sifat antara sarana, kekuatan ko-
lektif, cara pendekatan, dan kebutuhan akan
siapa yang mendekatkan. Lambat laun membawa
kita untuk ketemu dengan apa yang disebut
‘penghulu,’ kemudian memijar pada penggunaan
kata untuk khalifah, Imam, khotib di dalam Islam
yang menjelaskan harus ada wakil Tuhan di
bumi, harus ada pemimpin jamaah, harus ada
juru khotbah.
Penghulu adalah sisi bayangan Kohen, yang
menjelaskan harus ada yang mengurus agama
diantara mereka, orang-orang Israel setelah
Musa. Penghulu adalah sisi bayangan Petrus,
kemudian harus dipanggil Paus, yang menje-
laskan ada Penunjukkan Pemimpin agama dalam
Kristen.
Bilamana penghulu berkaitan dengan gelar
status. Gelar itu di Seram diistilahkan dengan
‘Ina Latu,’ ‘Upu Latu,’ ‘Latu Patty,’ seperti halnya
di Bali dengan Ida Bagus, Gusti, Pasek, Dauh dan
seterusnya, yang berhubungan dengan sebuah
jenjang khusus di dalam sebuah tangga status
Bali.1515

1515
Clifford Geertz, op-cit; xi

166
Belakangan, apa yang kita peroleh dari Upu
Latu, Patty, Imam, Pendeta, Sultan, Kapitan, Ko-
hen, Paus, Raja, lebih mengarah pada pengertian
fungsinya ketimbang patih-nya, ketimbang subs-
tansinya; sifat kekhususan seseorang hingga
pantas mendapat status, gelar.

Kakehan
Dengan menganalisa hubungan antara Alifuru
dan Maweng sebagai jejak, antara bentuk-bentuk
praktek kepercayaan tradisional, dengan
keimanan yang memampukan manusia menaruh
keyakinan akan kebenaran proporsi-proporsi
kepercayaan menghadapi tantangan. Maka, Ka-
kehan sebagai organisasi kemiliteran adalah
hasil transformasi pengalaman empiris dari
spritual ke sosial.
Perang Pattimura, kalau mau ditinjau ulang
pada kurun waktu itu, kita akan menemukan
kemustahilan Belanda yang kuat bisa diserang
jika tidak ada sebab yang luar biasa.
Sama mustahilnya, kapitan-kapitan di Seram
Barat yang tergabung dalam Kakehan, harus
berkola-borasi, melakukan pleno adat, menyusun
rencana, dan menyeberang lautan dari Seram ke
Saparua jika tidak ada kejahatan luar biasa dari
bangsa penjajah.
Selain para kapitan dari tiga batang air Tala,
Eti dan Sapalewa yang menjadi anggota, Kake-
han juga beranggotakan”nituo”.
Mengutip pengakuan tetua di Negeri Latu,
nituo adalah sebangsa manusia yang tidak ke-
lihatan, seperti sebangsa “moro” di Halmahera,
Maluku Utara.
Setidaknya, semenjak maweng atau perantara
yang menentukan cara bagaimana sesuatu itu
semestinya tidak kelihatan, telah ada cara-cara

166
kerja yang bersifat rahasia, menempel pada
Kakehan.
Bila nituo adalah sisi bayangan maweng dan
karenanya kerahasiaan Kakehan. Maka, bagai-
mana sesuatu itu semestinya, itulah petunjuk
terpendam tentang Kakehan sebagai organisasi
rahasia jaman kuno di pulau Seram.
Bila ‘rahasia,’ diartikan sebagai sesuatu yang
disembunyikan, atau yang tersembunyi; sesuatu
yang sukar dipahami. Maka, dengan tidak me-
ngesampingkan realitas perjuangan para patih di
Ambon, Saparua dan sekitarnya dalam melawan
penjajah, sebelum maupun sesudah peristiwa 15
Mei 1817. Tidak sulit untuk melihat bagaimana
kecepatan, ketepatan sebagai kekhususan, yang
sukar dipahami, keluar dari aksi para patih
dalam peristiwa 15 Mei 1817, sebagaimana di-
akui Leirissa di muka.
Serangan serentak, yang tiba-tiba tak ada lagi
suara yang terdengar, itulah ciri pelaku orang-
orang khusus, untuk sebuah operasi khusus.
Untuk situasi yang bersifat khusus, Kakehan
memapankan kekhususan. Dalam urusan-urus-
an khusus, Kakehan memberikan formula ke-
khususan tersebut.
Keahlian-keahlian khusus pada manusia
mungkin sudah menjadi perhatian khusus pula
dalam sistem kurikulum di bangku sekolah
formal. Tapi dalam konteks maweng, patih, ha-
nya bergantung pada manusia itu hidup dengan
lingkungannya.
Kehadiran para patih dalam organisasi Ka-
kehan, sekaligus menolak keanehan. Kalau Ka-
kehan organisasi kemiliteran jaman kuno di
pulau Seram, dengan para patih yang mem-
punyai keahlian masing-masing. Dan, pergera-
kan rakyat Saparua dan sekitarnya terhadap
penjajah Belanda mencapai ambang batas ke-

166
mampuan. Maka, kemunculan para patih sebagai
pasukan khusus, sebagai pasukan pemukul dari
Seram, mestinya tidak mengherankan.
Makanaya itu, dalam Perang Pattimura, kata
M. Sapija, “Seram adalah pusat perlawanan me-
lawan penjajah.”1616 Membaca apa yang tersirat
antara sikap Kakehan dan berhenti pada 15 Mei
1817. Kita akan melihat gambaran tentang skill-
skill para patih yang mewujud dalam satu
kelompok, lebih dari sekedar sebuah organisasi
adat; bagaimana usaha-usaha heroik mereka,
kemampuan dan kesetiaan mereka akan suatu
tujuan, kemunculan mereka dengan bakat-bakat
intuisi yang direncanakan, dipersiapkan, tidak
spontanitas.

Ana Manawo
Ada kisah kecil, sekurang-kurangnya ini kisah
saya sewaktu masa anak-anak di kampung,
Negeri Latu. Tentang tiga orang tetua yang masih
jelas wajah mereka di benak saya, yaitu Haji Ali
Patty, Haji Kadir Riring, dan Haji Abdussalam
Parihua.
Ketiganya berkaca mata tebal. Haji Ali Patty
meninggal dunia sekitar tahun 70-an, dalam usia
seratus tahun lebih. Terhadap ketiga tetua ini,
orang negeri Latu menyebut mereka Ana
Manawo, yaitu para anggota Kakehan.
Menurut Subyakto dalam esai terbatasnya
berjudul Kebudayaan Ambon, Kakehan adalah
organisasi rahasia jaman kuno di pulau
Seram.1717 Tapi, apanya yang rahasia;
organisasinya, cara-cara kerja anggotanya, atau
kedua-duanya?

1616
M. Sapija, Op-cit; 1954; 29

1717
Subyakto, Op-Cit...

166
Selain gambarannya yang singkat seperti di-
kemukakan Subyakto. Sejauh ini tidak ada defi-
nisi yang pas secara antropologis tentang Ka-
kehan. Kecuali upacara-upacara inisiasi, seba-
gaimana digambarkan Leirissa;
“Perlawanan lainnya yang ditulis dalam seja-
rah adalah perlawanan yang dilakukan oleh
rakyat pulau Seram yang berdiam di pedalaman.
Perlawanan ini dipimpin oleh apa yang dinama-
kan Kakehan. Kakehan adalah suatu organisasi
tradisionil penduduk Seram.
Intinya adalah upacara-upacara inisiasi di-
mana seorang perjaka dilatih menjadi dewasa.
Selama upacara itu, ia diajarkan dengan cara-
cara yang cukup mengesankan, bagaimana se-
seorang harus bertindak dalam alam dewasa dan
bertanggungjawab dalam masyarakat. Ini berarti,
para pemuda itu diikat pada suatu hal tertentu.
Hal ini adalah pengalaman mereka selama
upacara tersebut. Mereka dilatih menghormati dan
mentaati orang-orang yang menyelenggarakan
upacara itu. Dan memang ada semacam organi-
sasi dengan wakil-wakilnya di segenap Seram
Barat. Pada waktu-waktu tertentu diadakan upa-
cara-upacara yang dihadiri oleh orang-orang yang
telah dianggap menjadi anggota (yaitu dicap
dengan tatouage).1818
Mengenai anggotanya, tetua adat negeri Latu
secara tepat menyebut, anggota Kakehan berasal
dari anak lelaki tertua, yang direkrut dari setiap
matarumah. Perekrutan dimaksud pada usia
berapa, tak ada penjelasan rinci.
Penelusuran saya mula-mula seperti umum-
nya anak lelaki yang suka cerita pendekar.
Dengan tokoh karakter para jagoan legendaris
yang kebanyakan kalem, tak gampang dipancing
berkelahi, kecuali puncak ketersinggungannya

1818
R.Z. Leirissa, Op-cit; 49

166
dikorek, yang kebanyakan mereka langsung
menghilang sesudah mereka membereskan suatu
perkara.
Hingga saya fokus selama bertahun-tahun,
dan hampir pasti; sebelum menjadi organisasi
rahasia seperti dinilai Subyakto, Kakehan itu
mulanya adalah agama kuno di pulau Seram,
khususnya di Seram Barat.
Mula-mula saya melihat bentuknya secara
linguistik; suatu sebutan yang berhubungan
dengan pegangan, supaya apa pun yang menjadi
urusan manusia dalam hidup jadi selamat,
menjadi terarah, bahasa Latu memakaikata
‘kakeh.’
Makna kata ini beda tipis dengan bahasa Jawa
kuno tentang manusia yang harus mempunyai
pegangan dalam hidup supaya tidak liar, yang
melahirkan kata “a” (tidak) dan “gam” (sesat)
yang terkenal dengan istilah ‘agama.’
Di sini, ‘Kakeh(an)’dan ‘a-gama’ memiliki ke-
serupaan dalam hal fungsi dan makna; pe-
gangan, keyakinan. Dalam pengertian yang
sama, Kakehan berarti agama.
Ketika kita membayangkan situasi yang di
hadapi masyarakat terhadap persoalan-per-
soalan‘di luar jangkauan. Maka, Kakehan adalah
kekuatan kolektif sebagai sarana pendekatan
terhadap “Yang Suci”.

Nunusaku
Ketika manusia sedang berjuang mencapai
suatu tujuan, bahkan perjuangan itu tampak
sangat ekstrim, maka perjuangan itu menje-
laskan ada sesuatu yang harus ditaati. Itulah,
hukum.
Air Bah, zaman glasial, musim wabah penya-
kit, banjir, tsunami, angin topan, gunung berapi,
musim kemarau, dan bencana alam lainnya, itu

166
semua hukum alam, yang membawa pesan
bahwa kuasa manusia terbatas; ada yang maha
segala-galanya, di banding kemampuan manusia.
Karena terus dihantui fakta kuasa manusia
yang terbatas; nenek moyang kita dari zaman ke
zaman selalu waspada. Tak ada yang bisa
memastikan kapan seekor binatang buas akan
menyerang, atau banjir besar memusnahkan
mereka.
Atas kemampuan mereka berpikir, menganti-
sipasi, dan mencipta. Mereka dapat terus ber-
tahan hidup, beranak pinak, dan berperadaban;
membangun rumah, membuat sistem perkebu-
nan, menyalurkan pengetahuan, bahasa, seni,
musik, kepada anak cucu mereka.
Sebelum domestikasi manusia berlanjut, per-
bedaan mengenai fenomena alam dan fenomena
sosial masyarakat antara jaman dahulu dan
sesudahnya, dijelaskan oleh cara meletakkan
fenomena-fenomena tersebut.
Sekalipun kita mendapatkan versi yang ber-
beda, cerita-cerita kuno di Seram Barat tentang
Air Bah, juga menjadi tidak mengherankan.
Seperti sudah kita tinjau di muka, keserupaan
pengalaman spiritual manusia ada di mana-
mana. Memahami bagian kepercayaan yang
khas, dan dinamikanya dari segala bentuk
pegangan manusia seperti di Seram terhadap
Nunusaku. Berarti, kita membicarakan keperca-
yaan manusia kuno di Seram Barat yang me-
miliki ciri khas.
Secara linguistik, Nunusaku dari kata ‘nunu’
dan ‘saku.’ (Latu, nunu; beringin, saku; batu.
‘Batu,’ di sini makna kiasan). Secara harfiah,
‘nunusaku’ artinya beringin batu.
Awal kemunculan Nunusaku, konon karena
sebuah banjir besar, Air Bah. Tapi tidak ada
dewa atau maha raja hebat dalam kisah air bah

166
versi Seram Barat. Melainkan kemunculan se-
buah pohon yang bernama ‘beringin’ atau
waringin. Yang terpenting dari kemunculan
pohon itu adalah bentuknya, dan dengan demi-
kian nanti sebutannya, ‘Nunusaku;’ konon,
kemunculan pohon itu, bentuknya mirip alpha-
bet Arab ke-25, ‘nun.’
Atas kaitan itu, kebanyakan orang di Seram
Barat percaya, ’nun’ telah membentuk kata
’nuunusaku,’ dan kata ini mendapat makna un-
tuk pertama kalinya, yakni, sebagai medium
spiritual. Bahkan, sebagai lembaga kedaulatan
atau kerajaan.
Tapi itu menurut cerita. Artinya, ada yang
percaya, ada yang tidak. Yang dipercaya,
Nunusaku adalah sebuah kerajaan kuno yang
pernah ada di Seram. Yang tidak percaya adalah
ketika apa yang dipercaya, meminta bukti jejak-
jejak apa yang ditinggalkan. Pertanyaannya; jejak
kerajaan seperti apa yang dimaksudkan? Atau
pertanyaannya kita ganti, langsung ke inti; apa
maksudnya kerajaan di sini?

Telaga Emas
Ketika saya menelusuri jejak legenda Nunu-
saku, praktis saya diliputi kabut kebingungan.
Hingga Raja Latu Ridwan Patty, Usman Wakano
―guru di Negeri Latu yang banyak mencatat
masalah masalah lampau― dan Ismail Riring,
menantang saya pada November 2012, untuk
mengunjungi sebuah tempat, di hulu sungai tala.
Tempat itu bernama ‘Riu Hurawanno.’
Kata ‘Riu Hurawanno,’ berasal dari bahasa
Latu. Di sekitar tempat itu, tumbuh sebuah po-
hon yang tingginya sekitar tiga meter. Tumbuh-
nya di atas sebuah batu. “Itulah pohon beringin,
Nunusaku, Beringin Batu,” kata Raja Latu,
Ridwan Patty.

166
Pohon itu dahulunya berbuah tiga, dengan
cabang tiga yang, masing-masing cabang men-
jurus ke arah tiga batang air; Tala, Eti, dan
Sapalewa. Usman Wakano bahkan mencatat itu
dalam buku kecil, Penduduk Asli Negeri Latu dan
Kebudayaannya.19 19 Dalam buku kecil yang
ditulis Usman Wakano, tidak disebutkan periode
ke-munculan legenda itu. Tapi, sejauh
pengamatan saya tentang penggunaan bahasa
Latu. ’Riu,’ secara harfiah artinya ‘membengkok,’
dan ‘hurawanno’ artinya ‘emas.’
Kata ‘bulan’ juga sering disebut dengan
‘hurawanno.’ Kata ‘Riu Hurawanno,’ dengan de-
mikian berasal dari campuran kata sifat yang
dimaknai; sifatnya keemasan berbentuk bulan
sabit, ‘riu.’
Ibarat manusia, Nunusaku mendapati dirinya
menghadapi pemaknaan dari sifat obyek, tempat
sekitar ia tinggal. Tapi, mungkinkah Riu Hura-
wanno yang dimaksudkan adalah elemen ca-
haya? Cahaya apa, yang bagaimana?
Di sini, nuansa legenda memang tak dapat
dibantah. Tetapi, sebuah teori, berguna supaya
apa yang dipercaya menjadi teratur dan tidak
simpang siur.
Untuk memastikan adanya petunjuk tentang
elemen cahaya di dalam tanah dan bebatuan
sekitar Riu Hurawanno, ke dalam arti geologi, H.A
Brouwer pun menulis buku Geologische Onder-
zoekingen in WestCeram pada 1919. K. Deninger
juga, angkat pena untuk menulis buku Zur
Geologie von Mittel Seran (Ceram) Palaeontogra-
phie pada 1918; mereka bersepakat, di dalam
tanah dan bebatuan pulau Seram ada elemen
cahaya, buah kemanisan dari perkelahian biotik
dan abiotik, setelah menggambarkan bekas-
bekas jenis binatang dan tumbuhan. Riset dua
19 19
Naskah tulisan tangan, enam halaman; 1980

166
geolog Belanda juga menarik, L. Rutten dan W.
Hotz. Setelah mereka mengais-ngais tanah dan
air di bumi Seram, pada 1917-1919, mereka pun
menuangkan hasil riset itu dalam sebuah buku,
Geological, Petrographical, And Palaeotological
Results In The Island Of Ceram.2020
Dengan meminjam teori para geolog ini; saya
kok percaya; separuh dari cerita tentang Riu
Hurawanno dan karenanya Nunusaku, adalah
fenomena alam, keajaiban alam, menjadi telaga
emas, yang bagi orang di Seram belum tersedia
tempat untuk masuk ke ruang logika.
Jatuhnya meteor, tenggelamnya benua hingga
kuburan raksasa karena materi vulkanik gu-
nung berapi, itu semua keajaiban alam. Manusia
lah, yang menggambarkannya sebagai bencana-
bencana maha dahsyat, dengan istilah gelologi,
‘katastrofi; jatuhnya meteor yang merubah eko-
sistem, tenggelamnya Sunda Land karena naik-
nya muka laut pada 900 SM, dan pada 7.200 SM
yang membuat pulau-pulau nusantara jadi
terpisah seperti sekarang, atau terkuburnya
bangunan purba ‘Borobudur’ selama 800 tahun,
oleh materi vulkanik gunung Merapi, baru
kemudian ditemukan Raffles pada tahun 1800.
Untuk menahan arus cerita agar tak terjebak
mitos, kita bisa amati contoh para ilmuwan
dunia, dengan panduan para Ahli Kitab, yang
terus menggali cerita tentang Nuh dan jejak Air
Bah yang kejadiannya beribu-ribu tahun.
Ingat, ahli geologi Louis Agassiz yang muncul
pada 1840 dengan teorinya tentang gerakan
lambat lempeng-lempeng es di atas bumi, kemu-
dian dikaitkan dengan Air Bah, dan mendapat
kata sepakat ilmiah. Bahwa perkembangan alam

2020
Karya L. Rutten dan W. Hotz dirapikan kembali oleh J. P
Van Der Sluis dalam Geology West Seran, J.H De Bussy –
Amsterdam; 1950; 8.

166
semesta seragam, bertahap, dan selalu terkena
dampak proses-proses logis yang sama.
Setelah melakukan riset pada sampel-sampel
dari dasar Laut Hitam, ahli geologi William Ryan
dan Walter Pitman meluncurkan sebuah buku
pada 2000, berjudul, Air Bah Nuh; Penemuan-
Penemuan Ilmiah Baru Tentang Peristiwa yang
Merubah Sejarah. Buku itu menyatakan, Air Bah
bukan suatu banjir yang merusak, melainkan
sebuah genangan tetap ―banjir yang tak surut,
yang menghalau sebuah bangsa keluar dari
tanah tempat mereka tinggal, dan memaksa
mereka mencari tempat tinggal yang lain.2121
Karena jauh dari hiruk-pikuk penelitian ilmi-
ah, Nunusaku yang dianggap kerajaan, berada di
antara ada dan tiada.Entah para analis sejarah
tertarik dengan legenda Nunusaku atau tidak.
Tak pernah hilang di benak anak Seram tentang
penegasan Nunusaku. Bebepara bahkan pasti,
beberapa lagi samar. Yang pasti adalah Tala, Eti,
dan Sapalewa itu mengalir dari Nunusaku.
Bila kepercayaan dan praktek tradisional
nenek moyang Alifuru Seram, tidak memainkan
peran positif dalam kehidupan mereka. Maka
praktek tradisional dan kepercayaan itu pasti
tidak akan bertahan lama. Di mana tidak ada
tidak ada transformasi, di sana tak kan ada
kepercayaan terhadap nilai-nilai.
Segera setelah apa yang dipercaya berkaitan
dengan masa lalu, dengan Nunusaku maka,
tugas berat sedang menanti pakar hidrolog untuk
mengunjungi Riu Hurawanno; obyek yang bisa
jadi dapat menjelaskan sebuah masa lalu.
Mungkin itu tentang sebuah bendungan lumpur
2121
Dikutip dari Susan Wise Bauer, Sejarah Dunia Kuno, Dari
Cerita-Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma,Penerbit PT. Alex
Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta, cetakan kedua,
2011; xiv-xv

166
yang terbentuk untuk alasan bantuan alam
kepada manusia yakni kesuburan tanah dan air
tetapi, bobol akibat beban air yang terhimpun
dan melepaskan banjir besar. Who know’s?
Toh, kenyataan pula. Bahwa teori macam apa
pun bermula dari kejadian, dari peristiwa yang
diinformasikan, tutur maupun catatan. Karena
informasi, datanglah para ahli, peneliti, lahirlah
teori-teori.
Kalau dibalik peristiwa ada peristiwa lainnya,
di balik makna kata ada makna lainnya. Maka,
peristiwa glasiasi, contoh, adalah hasil dari
proses sebelumnya yakni peristiwa perubahan
iklim.
Ketika tidak ada jaminan bahwa ada manusia
yang menyaksikan secara langsung proses pe-
rubahan iklim sebelum glasiasi, makainformasi
yang kita peroleh mengenai perubahan iklim,
mengenai glasiasi, merupakan hasil kesimpulan
yang ditarik. Demikian pula, kemunculan kata
’nun’ atau ‘kerajaan,’adalah hasil kesimpulan
yang ditarik.
Punahnya jejak kerajaan Nunusaku karena
faktor alam bolehlah tetapi, kata “Kerajaan
Nunusaku,” adalah hasil subyektifitas penaf-
siran.
Kalau periode awal kontak kebudayaan lewat
perdagangan dan siar agama dijadikan starting
point, maka kesimpulan tentang ’nun’ atau ‘ke-
rajaan’ yang sudah pasti ditarik. Tapi, kalau riset
geolog yang dijadikan starting point, maka istilah
‘kerajaan,’ adalah kesan yang didapat tentang
Nunusaku sebagai pusat perkumpulan. Bukan
pusatnya manusia berkumpul tetapi, pusat
terkumpulnya sifat, energi alam. Klop; daerah di
mana Nunusaku berada di sebut ‘Riu Hura-
wanno.’

166
Setelah mendapat gambaran ini, maka ‘Riu
Hurawanno,’ adalah laboratorium paling bagus
untuk mengamati standar pusat-pusat perkum-
pulan sifat alam di Seram Barat.
Mitos dan legenda ada bertebar di mana-
mana. Penggambaran peristiwa masa lampau
yang tidak mampu memasuki ruang logika,
justru besok atau lusa diluruskan oleh disiplin
ilmu lain seperti dalam contoh kasus Ryan dan
Pitman.
Sekarang sudah bisa kita bayangkan; ke-
kuatan dan ketahanan tiga batang air, tidak
mungkin harus dilambangkan dengan Nunu-
saku, andai Nunusaku tidak pernah menjadi
sumber inspirasi bagi kekuatan dan ketahanan
masyarakat setempat. Nunusaku menunjukkan
standar pusat perkumpulan energi, sehingga
dikukuhkan sebagai lambang persatuan.
Karena standar pusat perkumpulan energi
yang menawarkan kekuatan, ketahanan, dan
kesejahteraan itulah, menceburkan mereka yang
percaya, ke dalam apa yang disebut “kagum”.
Kagum adalah perasaan simultan oleh teror
dan daya tarik, oleh cinta dan ketakutan, oleh
pesona dan horor. Kalau sudah begitu, mereka
yang kagum, akan melangkah keluar dunia
menuju ketidak-tahuan meski akhirnya terbung-
kus kembali dalam suatu nasib yang dalam
sosiologi agama disebut “diluar jangkauan”.
Teoritisi-teoritisi geolog yang kita pertimbang-
kan mengisyaratkan; keinginan untuk mengeta-
hui persoalan masa lalu tidak selalu harus di-
ukur dengan adanya fakta terlihat atau tidak.
Banyak jejak peradaban manusia yang punah,
musnah karena faktor pengaruh alam; erosi bisa
mengubah bentuk suatu dataran yang tadinya
tinggi menjadi rendah. Naiknya kerak bumi pun

166
dapat menjadi sebab berubahnya dataran rendah
menjadi dataran tinggi.
Supaya dampak perubahan tinggi rendah sua-
tu dataran terhadap kehidupanbukan omong
bual, para ahli menyarankan kita untuk melihat
pola perubahan flora dan fauna dari suatu
daerah. Flora dan fauna akan mati begitu terjadi
perubahan dataran dari tinggi ke rendah atau
sebaliknya karena, kondisi-kondisi iklim yang
ikut berubah. Hal yang sama juga berlaku pada
penghuninya.
Sebuah jejak verbal di kampung menjadi pe-
tunjuk yang seksi. Yakni, kata ‘tanah-tano.’ Dari
segi pengalaman emperis nenek moyang orang
Seram, ‘tanah-tano’ bukan terminologi yang ke-
betulan.
Sacara harfiah, ‘tanah-tano’ artinya “tanah
yang tertanam”. Dengan pengertian ini, ‘tanah-
tano’ adalah istilah tentang peristiwa alam;
apakah itu diartikan sebagai naiknya kerak bu-
mi, atau pengalaman emperis tentang gempa
yang maha dahsyat, yang dicontohkan dalam
peristiwa meletusnya Krakatau pada 1883, yang
membengkokkan tanjung Elpaputih, di Seram
Barat, karena tsunami.
Meskipun Nunusaku cuma legenda, teori an-
tropolog klasik sudah mengaitkan pengalaman
empiris manusia, dengan fenomena alam. Se-
buah fenomena alam bagi manusia moderen,
mungkin hanya sebatas atau merupakan sebuah
“itu.” Tapi menurut antropolog Henri Frankfort;
bagi manusia jaman kuno, “itu” adalah sekaligus
sebuah “Dia”2222; pohon beringin, laut, api,
sungai, angin, matahari, adalah simbol mereka
atas sesuatu yang mahahebat.

2222
Henri Frankfort, et.al, Before Philosophy, Penguin Books,
1949; 12-14

166
Di tengah evolusi pemikiran manusia untuk
merumuskan apa itu hukum, apa itu peraturan
dan maknanya bagi kehidupan dikemudian hari,
alternatif “Dia” melalui Nunusaku bagi manusia
kuno di Seram Barat, masuk. Setelah, Nunusaku
sebagai fenomena alam, berkaitan dengan kehi-
dupan, dengan hukum dan peraturan, dengan
perbuatan dan pembalasan.
Bagaimana mengukur teori Frankfort dengan
jejak alternatif ‘Dia,’ diilutrasikan dengan contoh
penggunaan sebuah kata dalam pergaulan
sehari-hari, di Ambon. Yakni, kata ‘bunuh.’
Untuk memotong ayam, contoh, atau me-
matikan saluran air, atau aliran listrik. Umum-
nya orang menggunakan kata ‘matikan,’ (air,
listrik atau potong ayam). Tapi orang Ambon,
sedari dulu hingga sekarang menggunakan kata
‘bunuh.’
Karena “itu” bagi manusia kuno adalah se-
kaligus sebuah “Dia.” Maka, penggunaan kata
‘bunuh,’ merepresentasikan pandangan bahwa
api, air, adalah bagian dari alam yang hidup
dengan sifat masing-masing; secara sempit akan
membakar dan membasahi, dan secara bebas
akan membunuh dalam kebakaran atau banjir
besar. Kelak, ‘bunuh’ menjadi bukti teori Frank-
fort, antara manusia dulu dan sekarang, tentang
fenomena kehidupan, hukum, peraturan, per-
buatan dan pembalasan.
Belajar dari fenomena alam dan kehidupan,
segera setelah “itu” adalah sekaligus sebuah
“Dia,” pernah, saya di masa kecil melihat orang
di kampung; bertingkah dalam istilah yang di-
sebut ‘lori,’ yakni sikap setengah berlari menge-
lilingi kampung.
Menurut cerita tetua di kampung, cara itu
untuk melindungi kampung dari berbagai macam
bencana musibah. Karena fenomena alam deng-
an kehidupan; mereka tidak harus menung-gu

166
sampai teror alam benar-benar mendahului ber-
tindak.
Bilamana kehidupan, mencakup manusia dan
dewa, yang masing-masing punya rumah. Maka,
pemaknaan Nunusaku sebagai medium spritual
tampak beda tipis dengan Nagarakertagama ten-
tang waringinatau pohon beringin. Seperti ditulis
Vlekke; Waringin merupakan pohon yang di-
anggap suci di desa-desa di Jawa. Karena pohon
beringin dipercaya senafas dengan rumah dan
candi. Candi adalah tempat tinggal para dewa,
rumah adalah tempat tinggal manusia hidup. 2323
Kita tahu, sejarah adalah tentang manusia
dan kehidupannya dalam konteks waktu ter-
tentu. Waktu itu sendiri, dalam pengertian
sejarah, berupa sebuah garis memanjang yang
lurus ke depan, dan menunjukkan kesinambu-
ngan. Dengan berkesinambungannya waktu
masa lalu, sekarang dan yang akan datang; masa
sekarang ditentukan oleh masa lalu, dan masa
yang akan datang ditentukan oleh masa se-
karang.
Bila benar manusia dapat memperbarui diri
dan kepribadian lewat sejarah. Amboi, masa yang
akan datang bukan saja dapat dibayangkan lewat
sejarah. Melainkan, Seram Barat dan Kekehan
seperti pepatah Latin yang mewujud; “Ubi
societas ibi justicia”; di mana ada masyarakat dan
kehidupan, di sana ada hukum, keadilan.

Saniry Aypasa
Mengutip pengakuan tetau adat Negeri Latu,
pengukuhan Kakahan menjadi organisasi kemi-
literan terjadi dalam sebuah pleno adat Saniry
Aypasa.

2323
Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, KPG.
2008;86

166
Suasana yang berkecamuk pada suatu jaman,
tampaknya menjadi alasan Kakehan menjadi
organisasi kemiliteran.
Oleh karena sering dikelilingi ancaman dari
lingkungan sekitar, nenek moyang kita dari
waktu ke waktu harus tetap dalam keadaan
waspada. Tak ada yang tahu persis kapan
Portugis atau Belanda akan menyerang mereka;
membunuh, merusak dan membakar harta ke-
kayaan mereka seperti dalam operasi hongi
tochten. Bagi para anggota Kakehan, itulah masa
ketika dengan ‘iman’ (baca; adat), mereka saling
mengamankan.
Seperti diceritakan dalam naskah tetua adat
Negeri Latu, Kakehan dibentuk berdasarkan
kepentingan keamanan bersama antara para
hena-upu atau amang-upunyo yaitu para tuan
tanah. Di Seram Barat, para tuan tanah ini
secara unit tergabung dalam apa yang disebut
Patasiwa.
Operasi hongi-tochten (1615-1665), menurut
Subyakto, memaksa kelompok Patasiwa Putih di
Seram, untuk berpindah ke daerah Patalima.
Gambaran tentang hongi-tochten adalah aksi
brutal; pengrusakan, pembakaran, perampokan,
kerusuhan, keributan, kekacauan, huru-hara;
sinonim dari haru biru. Maka, reaksi haru biru
adalah perlawanan. Perlawanan menjelaskan ada
sebab-akibat; ada api ada asap.
Tapi siapa yang melawan, kelompok mana
persisnya? Inilah pertanyaan yang masih tersesat
dalam wacana kaum intelektual.
Karena perlawanan itu sangat mungkin di
lakukan oleh ’Ana Manawo’ maka, Kakehan
sebagai organisasi kemiliteran dibentuk jauh
sebelum hongi-tochten.

166
Seperti diketahui, orang-orang Thionghoa,
Arab, Hindia, adalah suku bangsa yang sudah
datang mendahului Portugis ke Pulau Seram.
Bagaimanapun, kedatangan suku bangsa itu
ada yang menawarkan untung-rugi, pencerahan,
ketakutan, atau sebaliknya, dan lain sebagainya.
Jika pembagian kelompok Patasiwa dan
Patalima dan karenanya rapat Saniry Aypasa
berkaitan dengan acmaman, resistensi kelompok.
Maka, pleno Saniry Aypasa yang membentuk
Kakehan sebagai organisasi militer sangat
mungkin terjadi jauh sebelum abad ke-7. Sebab,
dari segi kedatangan bangsa Tionghoa dan
bangsa Arab itulah, bertepatan dengan periode
yang menandai dimulainya perdagangan dan
siar-siar agama di Seram.
Hubungan antara separuh watak manusia
Kakehan, yang ditampilkan dalam periode per-
dagangan, kebudayaan, dan siar Islam, diukur
melalui dua bentuk yang unik. Adanya piring-
piring tua buatan Cina di pedalaman Seram,
umpamanya, yang ukurannya besar. Atau, peng-
gunaan kata ‘wari’ (Latu; adik), yang semula dari
kata ‘wali,’ (Arab; yang dicintai, tersayang).
Dalam model peninggalan piring-piring tua
yang ukurannya besar, bisa jadi sebagai contoh
klasik tentang pelayanan kemartabatan para
‘presiden’ republik-republik pedesaan atau
dorpsrepublieken, istilah M. Huliselan, yang
menggambarkan indah-nyaperlakuan sesama
kelompok masyarakat pedesaan, dalam maka-
lahnya Partisipasi Seluruh Masyarakat Dalam
Perang Pattimura.2424

2424
Huliselan, makalah; Partisipasi Seluruh Masyarakat Dalam
Perang Pattimura, disampaikan pada seminar Sejarah
Perjuangan Pahlawan Nasional Pattimura, Kanwil Depdikbud
Provinsi Maluku, Ambon 5-7 Nopember 1993

166
Karena sifatnya perkumpulan, Kakehan memi-
liki sistem kepemimpinan kolektif, yang berang-
gotakan nitu-nitu dan kapitan-kapitan dari tiga
batang air yakni Tala, Eti, dan Sapalewa.
Dalam fungsi dan praktek Kakehan yang ber-
geser tadi, sifat-sifat maweng tetap menempel
pada malesi (anggota, perajurit) dan kapitan
(panglima, komandan). Misalnya, pada sistem
pemerintahan.
Dewan desa atau lembaga tertinggi tingkat
desa disebut Saniry. Saniry ini dibantu oleh
suatu pasukan yang dikepalai oleh Kapitan. Dan
Kapitan di bantu oleh malesi atau perajurit.
Di dalam sistem kepemimpinan Kakehan yang
bersifat kolektif, mekanisme kekuasaan menjadi
otoritas Saniry. Bagi para kapitan dan anak cucu
tiga batang air; Tala, Eti dan Sapalewa, sanirynya
adalah ‘Saniry Aypasa.’
Kata ‘Aypasa’ secara harfiah artinya ‘kayu
gupasa.’ Istilah yang secara antropologis muncul
karena, kelompok Patasiwa pada jaman dulu
ketika melakukan sidang pleno khusus di suatu
tempat bernama Sabain Latale, itu mereka
duduk di bangku yang terbuat dari kayu gupasa.
Kata ini, ‘Aypasa,’ adalah kata yang simbolik.
Simbol tentang sifat dan watak para peserta
pleno adat itu supaya hasilnya kuat seperti kayu
gupasa. Hasil pertemuan itulah yang dinamakan
‘Saniry Aypasa’; simbol tentang kekuatan dan
kekuasaan. Simbol ini juga yang memungkinkan
kemunculan kata ‘Ayyo,’ sinonim untuk Raja.
Perjalanan nenek moyang kita dalam
menemukan bentuk-bentuk pengukuhanbukan
saja spritual yang kisahnya teramat panjang,
menawarkan banyak tenaga maha dahsyat untuk
menjalani bahkan menaklukkan tantangan
hidup.

166
Mereka memapankan perbedaan kisah antara
keharusan sebuah pegangan dan kekuatan
produktif latihan inisiasinya. Patih; seterusnya
patty yang artinya ‘raja’ yang terus kita pakai,
adalah jejak verbalnya.

Patih; Patty-Raja; Kekuasaan


Mari kita coba teruskan, menggali cerita kita
untuk melihat bagaimana atau pada titik mana
kita tiba pada tambang purba peradaban
manusia Seram, di dalam keputusan mengenai
keikhlasan, kesetiaan, disiplin, ketelitian,
pengorbanan, bahkan jelan menuju kekuasaan.
Di waktu kecil, saya teramat sering dilarang
oleh orang tua untuk tak pernah sekali-kali
memasuki kamar perempuan, sekalipun itu
kamar perempuan sekandung.Tapi hanya seba-
tas itu saya dilarang, tanpa penjelasan.Di
tambah dengan pemikiran setelah dewasa yang
hanya menjangkau gejala sosial, klop; jejak
pendidikan Kakehan hanya sepotong-sepotong
saya dapat.
Di dalam Al-Qur’an, Allah melarang penganut
Islam mendekati zina. Di dalam memahami latar
nenek moyang orang Seram, gejala sosial paling
mengental adalah kebiasaan mereka, suka
berperang.
Membandingkan larangan zina dan gejala so-
sial nenek moyang kita yang suka berperang
tampaknya berguna sebab, berkaitan dengan
reaksi berjuta sel syaraf manusia dan penga-
ruhnya terhadap kekuatan jiwa.
Apa yang disebut keteguhan jiwa, itu ber-
kaitan dengan istilah yang sering orang Ambon
bilang, ’sombar’, sinonim dari sukma kekuasaan;
tidak ada ‘kekuatan’ bertarung bagi mereka yang
tidak memiliki sombar.

166
Pada saat manusia melakukan kontak badan,
memeluk dan saling berciuman; istri, suami,
anak, atau siapa saja. Maka, detik itu pula lang-
sung tercipta jutaan jaringan sel syaraf yang
memantik rasa berani, takut, suka, rindu,
hormat, dendam, rasa cinta, sayang, benci, me-
nyesal, dan lain sebagainya.
Subyek kontak berbeda, reaksi sel syaraf
berbeda. Seorang pemuda perkasa tetapi tampak
lemah fisik secara kasak mata, dikarenakan
sukmanya yang tidak betah di dalam raga yang
lemah.
Maka, menjadi mudah bagi kita untuk me-
ngerti sekarang; mengapa orang tatua di kam-
pung suka mengambil jarak, terutama pada saat
bersalaman dengan seorang asing. Ajaran-ajaran
Kakehan dengan rasionalitas sombar, sukma,
energi, bukannya tidak berkaitan.
Tidak ada jenis petarung yang tangguh bagi
diri yang tak punya sombar. Hanya orang yang
sombarnya tetap kuat di raga yang bisa muncul
ikut arena pertarungan. Terjawab sudah, menga-
pa anak laki-laki sangat dilarang memasuki
kamar perempuan, hatta itu saudara sekandung.
“Ana Manawo”, artinya “anak laki-laki” tetapi
makna kata ini tidak sekedar tafsiran pejantan.
Contoh didikan Kakehan yang diilustrasikan,
tidak sebatas pengertian sombar bertarung dalam
pengertian fisik, melainkan” bertarung dalam
pengertian melawan sifat-sifat emosional dalam
kesinambungan hidup masyarakat.
Di dalam kehidupan nyata, hakekat anak laki-
laki dilarang masuk kamar perempuan tampak
tidak sebatas pengertian ketahanan sombar
untuk tugas-tugas bertarung.
Di dalam kehidupan agama, kita dengar
sebuah hadits Nabi bahwa isi neraka jahannam

166
kebanyakan perempuan dan ulama yang tidak
mengamalkan ilmunya.
Bagi yang mengamatinya, pengertian ‘perem-
puan’ tidak dimaksudkan sebagai sesosok makh-
luk berambut panjang buah dada montok bokong
bahenol.Perempuan yang dimaksudkan adalah
nafsu; suka curiga, mudah dihasut, batul di
hadapang putar bale di balakang, mudah di-
bangkitkan, dan sifat-sifat emosional lainnya.
Maka, larangan untuk tidak boleh mendekati
kamar perempuan adalah larangan untuk tidak
membuka pintu bagi masuknya sifat emosional.
Seperti halnya, pengekangan nafsu adalah jalan
menuju kekuasaan.
Ketika pemahaman tentang jalan menuju
kekuasaan tertanam melalui kelompok, melalui
Kakehan, kita hanya dapat menafsirkan maksud
’tak kan pernah boleh masuk kamar perempuan
hatta saudara kandung’ sebatas ajaran-ajaran
kelompok.
Ketika memahami jalan itu tertanam melalui
watak individual, maka larangan mendekati
kamar perempuan dapat ditafsirkan sebagai sisi
bayangan dari inti Sumpah Palapa. “Pengekangan
nafsu”, tulis Michael Malley, “Adalah jalan menu-
ju kekuasaan yang telah lama tertanam dalam
kebudayaan Hindu-Budha, Jawa.”2525

Gupasa
Sesudah kita melihat motif ketahanan diri
dalam metaphor anak laki-laki tak boleh mema-
suki kamar perempuan, kebiasaan menanam
pohon beringin dan pohon gupasa oleh para
anggota Kakehan di setiap tempat mereka mela-

2525
Dikutip dalam Kurnia Effendi, Kakawin Gajah Mada,
Pustaka Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2009; 8-12

166
kukan pleno adat, juga menjelaskan adanya jejak
kekuatan dan ketahanan.
Di Seram khususnya ―termasuk Ambon dan
Saparua― orang harus pandai-pandai menebang
pohon terutama pohon gupasa dan pohon beri-
ngin.
Memang tidak ada akibat hukum langsung
dari menebang dua jenis pohon itu.Tidak ada.
Menebang dua jenis pohon itu bersentuhan
dengan hukum setelah berurusan dengan akibat
adatnya.
Kebiasaan menanam pohon beringin bukan
saja sebagai tanda persatuan dan persaudaraan
tiga batang air tetapi, sekaligus sebagai lambang
perlindungan, ketahanan tiga batang air yang tak
mudah digoyahkan.
Contoh ketidakpandaian menebang pohon
dengan akibat hukum diilustrasikan dalam ka-
sus para teknisi PT. Djayanti yang menggusur
pohon-pohon di hutan Waisarissa, Seram Barat
pada mula pembukaan jalannya proyek perusa-
haan kayu lapis itu.
Di sana ada satu pohon yang tak bisa gigusur
meski sudah dicoba dilakukan dengan berbagai
alat berat; itulah pohon beringin, yang terakhir
kali ditanam oleh para anggota Kakehan dalam
pleno adat terakhir mereka.
Di Ambon juga begitu. Silahkan tanya siapa
yang menebang pohon besar, pohon gupasa di
jalan tikungan sebelah kanan dari Suli belok ke
Natsepa, sebelum akhirnya dipanggil juga M.
Saleh Wakano dari Latu ke Suli untuk menebang
pohon itu. M. Saleh Wakano mungkin bukan
tuan tanah negeri Suli tetapi, pohon itu ditanam
oleh para anggota Kakehan yang menyebar ke
Ambon melawan penjajah. M. Saleh Wakano ada-
lah tetesan darah Kakehan.

166
Sedangkan di Saparua, seperti diakui I.O
Nanulaita ketika melakukan riset di sana pada
tahun 1976, ia mengaku menyaksikan orang
sekitar menebang pohon gupasa tapi pohon yang
ditebang tak pernah bisa ditebang. Itulah pohon
yang ditanam pasukanKakehan dalam Perang
Pattimura sebelum para pasukan penyerang itu
masuk menyerbu benteng Duurstede.
Dalam naskah tetua adat negeri Latu yang
menggambarkan rute perjalanan Kapitan Patti-
mura dan pasukannya ―dari Latu hingga
Saparua― tempat yang disaksikan I.O Nanulaita
itu bernama ‘Paso-Wonnyo’ yang artinya ‘Se-
pohon Gupasa.’
Jika kekuatan dan keahlian didapat dari
proses belajar dengan peristiwa alam maka,
kekuatan, ketahanan, dan persaudaraan tiga
batang air didapat dari proses belajar dengan
pengelompokkan melalui Kakehan.
Bertepatan dengan studi-studi klasik yang
belum terlalu membongkar apa itu maweng
secara antropologis. Kakehan adalah perkumpu-
lan para peramal besar, para patih, para maweng
di Seram Barat. Bukan untuk melakukan
pembongkaran agama tradisional, tapi sebagai
kekuatan kolektif di dalam ritus, menuju pe-
ngukuhan diri dengan yang suci. Setelah itu,
mewujud sebagai brigade pembebasan, menen-
tang berbagai bentuk ancaman.
Jika ilmu sejarah tidak memiliki kebebasan
untuk mengamati obyek penelitiannya secara
langsung melalui panca indra, tapi mempelajari
peninggalan-peninggalan dari realitas, melalui
metodologi seperti di katakan Leirisaa. Rahasia
kemapanan Kakehan sedang tersembunyi di
balik motto; ‘Nunu pari hatu, hatu pari nunu,’ dan
menjadi tugas para ahli sejarah.
Sembari membayangkan tekad anak cucu
Seram untuk sanggup mengolah sikap dengan

166
mekanisme makro persatuan, kekuatan, per-
saudaraan, dan saling mengamankan setelah
mendengar nama Kakehan atau Saniry Aypasa.
Kakehan diperhitungkan karena kerahasiaan dan
kebungkaman yang tidak lazim. Ini dia per-
nyataan Leirissa;
“Ilmu sejarah tidak memiliki kebebasan untuk
mengamati obyek penelitiannya secara langsung
melalui panca indra, sebab, biasanya obyek itu
telah silam di masa lampau. Tetapi sebagai peng-
gantinya, ilmu sejarah mengendalikan pening-
galan-peninggalan dari masa lampau yang masih
ada sekarang. Secara teknis, ilmu sejarah tidak
mempelajari realitas, tapi mempelajari peningga-
lan-peninggalan dari realitas, melalui metodo-
logi.”2626

Negeri Latu, 2016, (Foto : Ancha Sapsuha)

Latu
Latu, negeri ini terletak sekitar 42 kilometer
arah barat Kairatu, Seram Barat. Bagi yang ingin
ke sana ditempuh jalur dari Kairatu melalui
2626
R.Z Leirissa; Perjuangan Pattimura Dalam Lintasan Ilmu
Sejarah, makalah; op-cit...

166
pesisir pantai. Inilah negeri adat, negeri sejarah:
tempat kelahirannya Kapitan Alim bin Aijran
Pattimura. Inilah negeri penghubung garis merah
masa antara adat Seram Barat zaman lampau,
zaman sekarang, dan zaman yang akan datang,
yang tak kan dapat diganti dengan apa pun jika
garis merah penghubung ini, terputus.
Di negeri Latu sekarang sudah banyak yang
berubah. Terutama perubahan fisik; sarana
infrastruktur jalan, jembatan, kesehatan dan
pendidikan. Luar biasa. Jika dibanding dengan
generasi saya, mau melanjutkan sekolah ke SMP,
paling dekat harus ke negeri Rumahkay. Atau,
menyeberang laut ke Hatawano, Ihamahu,
Saparua, kalau mau.
Sebelum ada jalan raya trans-seram 1984,
melanjutkan sekolah ke SMP di Rumahkay sama
repotnya dengan melanjutkan sekolah ke Hata-
wano; para orang tua harus menyediakan perahu
semah; panggayo, tidak dipukul ombak kalau
laut lagi tenang. Tapi waktu itu teramat bebas,
tidak dihantui perasaan was-was seperti seka-
rang, terutama semenjak konflik horizontal 1999-
2004.
Ketika saya di Sekolah Dasar ―SD, tenaga
guru yang asli orang Latu cuma tiga orang; Abu-
bakar Wenno, Usman Wakano dan Muznah
Patty. Selebihnya, bahkan kebanyakan adalah
dari Rumahkay; Kakerissa, Wairatta, Akerina,
Corputty, dan Haumasse.
Di zaman saya, kepala sekolah SD adalah
Muhammad Arief Haulussy, dari Iha, Saparua.
Mereka adalah pahlawan yang tak kan pernah
bisa saya berikan ijazah. Sekarang, tenaga guru
di Latu, mulai dari SD sampai SMA hampir
semuanya orang Latu. Sekarang kalau mau
masuk SMP tinggal melangkah. Tak perlu lagi
repot-repot seperti di zaman lampau. Bukan
cuma itu. Secara ekonomis, sudah ada pasar,dan

166
hampir dikata tak ada lagi yang tak dapat
dijangkau, meskipun, semua sudah serba mahal.
Secara administratif pemerintahan, Latu seka-
rang bahkan sudah menjadi pusat kegiatan
administratif kecamatan, yaitu Kecamatan Ama
Latu, buah kemanisan pemekaran wilayah se-
menjak ada Kabupaten Seram Bagian Barat pada
2004.
Tapi itu fisiknya. Orang muda menepi teruta-
ma ketemu kalangan tua yang sedang lewat se-
perti di masa saya kanak-anak, sudah tak
terlihat. Sekalipun perubahan di Latu dapat di-
kata sudah luar biasa, namun sebagimana
negeri-negeri lain, negeri Latu harus melewati
perjalanan sejarah yang sangat panjang sebelum
menjadi seperti sekarang.
Sekalipun letak atau lokasi geografis, demog-
rafis, ekosistem, sosial-politik, dan budaya ter-
masuk teknologi yang sangat cepat, sebagai
faktor yang mungkin saja bekerja di belakang
perjalanan sejarah suatu negeri. Namun, faktor
adat pastilah sangat erat kaitannya dengan
terbentuknya negeri Latu, menjadi seperti kea-
daannya sekarang ini.
Latu sebagai pusat administrasi kecamatan
seperti sekarang, mulanya hanya sebuah negeri.
Negeri Latu sekarang, adalah tempat yang ke-
delapan, setelah berpindah-pindah turun dari
gunungm dari tempat ke-1, bernama Sabain
Latale. Ke-2, bernama ‘Wanate Wony’ (pohon
bambu), ke-3, ‘Huo Wony’ (pohon pinang). Tem-
pat ini juga disebut ‘Ailakille,’ dan ‘Amano Kuate.’
Setelah itu, ke tempat ke-4, ‘Lolo Inoluwei’
(tangkai anak panah). Kemudian, tempat yang
ke-5, ‘Wai-noa’ atau ‘Siamaru.’ Ke-6, ‘Amano
Hahany’ atau Latu Leparissa Makatita Satu.
Selanjutnya ke-7, Latu Leparissa Makatita Dua,
atau ‘Amang Anairo,’ dan ke-8, ‘Latu.’

166
Ada suatu masa ketika dunia kanak-kanak se-
perti hanya ingin dipandu oleh cerita dan
permainan. Di antara rumah-rumah penduduk
negeri Latu yang ada sekarang, di situ lah saya
yang bocah kampung, penuh dunia bermain.
Macam-macam jenis permainan dunia anak ke-
cil. Salah satunya mencari buah kenari. Di sana,
ada satu pohon kenari, namanya ‘iya horop.’
‘Iya’ dari kata ‘ay’ selanjutnya ‘yallo’ artinya
‘pohon kenari,’ dan, ‘horop’ artinya ‘huruf.’
Secara ajaib, setiap biji kenari yang dipecah
selalu muncul huruf yang warnanya coklat.
Huruf yang muncul selalu hanya satu, menempel
di permukaan kulit dalam isi kenari. Yang paling
sering muncul adalah huruf ‘h’, ‘jim,’ dan ‘nun,’
alphabet Arab. Pohon kenari ajaib itu sekarang
masih tegak berdiri sebagai bukti keajaiban-
keajaiban cerita masa kecil.
Selain bergairah mencari buah kenari, saya
juga suka bermain menangkap burung. Cara
paling seru mencari burung adalah memasang
dodeso alias jebakan; seutas tali nilon diikat
pada ujung tongkat kayu atau bambu. Panjang
nilon sekitar seperdua panjang tongkat, nilon
dibuat dalam bentuk lingkaran setapak kaki
manusia. Tongkat ditancap membengkok ke ta-
nah, kemudian nilon berbentuk lingkaran tadi
ditutupi dedaunan.
Sekalipun itu hanya dodesonya dunia kanak-
kanak, namun di sini lah serunya; saya dan
teman-teman suka lari terbirit birit balik pulang
ke rumah, kalau hari sudah menjelang sore.
Karena, ketika kami masih asik mencari area
yang pas untuk memasangt dodeso, tanpa se-
ngaja kami terjebak masuk dalam area angker,
bernama “Worinno”.
Di hari lain, saya mengikuti orang tua ke
kebun. Letaknya sekitar delapan kilometer arah
Rumakay. Sebelum adanya pembukaan jalan

166
raya ―trans seram― kami selalu jalan kaki
melalui jalan setapak dengan waktu tempuh
jarak sekitar 6-7 jam pergi pulang. Pada waktu
pulang, kami suka ambil jalan lewat pantai.
Sambil melepas lelah, kami tiduran di bawah
pohon bagaikan terhempas di atas sebuah
kanvas lukisan raksasa dengan pesona pantai
pasir putih, laut biru, nyiur melambai, batu
karang aneka warna.
Antara Latu dan Rumakay, ada sebuah dusun
bernama Wailey. Dusun ini dulunya disebut
‘Namatotur.’ Kata ini mungkin berasal dari kata
‘Namo’ yang artinya ‘pelabuhan’: kapal jenis apa
pun hampir bisa berlabuh di sini, karena lautnya
yang jarang memuntahkan ombak. Antara Latu
dan Wailey ―sekitar enam kilometer dari Latu, di
situlah sebuah tanjung yang bernama ‘Amoullo.’
Diwaktu yang lain, sebagai kenangan penting
bagi saya dikemudian hari, adalah ketika kami
menyeberangi lautan dengan perahu semah
―perahu dari sebatang kayu dilengkapi cadik, ke
negeri Iha, pulau Saparua. Di pesisir tanjung
pantai Tuhaha, ada satu tanjung yang kami
singgah di sana, namanya ‘Kohu.’
Sementara dunia bermain saya menjadi cerita
seru, ada yang justru lebih seru tapi bukan dari
dunia bermain. Mulai dari cerita bibi kami
dengan tak-umpet masa kecilnya di Latu dengan
keranjang bayi milik putri residnen Belanda,
tentang legenda marga Pattimura yang tak boleh
makan gurita, hingga kisah tentang sebuah kapal
putih yang berlabuh di pelabuhan negeri Latu.
Nah, cerita paling seru adalah cerita tentang para
‘ana manawo’ atau para anggota Kakehan.
Serunya, bukan gambaran fisik melainkan gam-
baran mental para anggota Kakehan yang saya
dapatkan.
Kapal putih yang berlabuh itu kapal Belanda,
berlabuh di namo (pelabuhan) Latu pada 1824.

166
Dari sana, pada tahun itu, keluar perintah Be-
landa bahwa seekor ayam pun tak kan terlihat
berkeliaran di kampung, jika putri Residen
Belanda yang diselamatkan oleh pasukan Ka-
pitan Pattimura tidak segera diserahkan kepada
Belanda. Dari sana juga keluar ultimatum Belan-
da bahwa semua penduduk harus membuang
segala peralatan yang terbuat dari besi, terutama
parang dan sejenisnya. Kalau ada penduduk
yang ketahuan menyimpan parang, senjata lain-
nya pasti akan disiksa.
Sejenis ikan cumi yang bernama gurita itu,
menurut cerita nenek kami, itulah yang ‘menarik
rakit leluhur’ di mana satu diantara anak cu-
cunya mereka kelak menjadi Kapitan Pattimura.
Dan, keranjang bayi itu adalah ranjangnya Jeane
Lubbert Van den Berq, putri Residen Belanda. Si
kaw-kaw ―orok kemerahan, yang pada hari
naaas 15 Mei 1817 di Saparua, ditemukan oleh
pasukan Kapitan Pattimura di sudut kamar
orang tuanya di dalam asrama yang disem-
bunyikan dalam sebuah peti. Setelah dise-
lamatkan, sang putri kemudian dibawa ke negeri
Latu, selanjutnya dipelihara oleh marga Riring
dengan sapaan “Puane”.
Di sekitar tempat yang sekarang telah dibang-
un sebuah mesjid di Latu, di sekitar situlah
‘Worinno,’ tempat di mana para anggota Kakehan
dulu melakukan sidang paripurna, pleno adat
pada 12 Mei 1817. Apakah tempat ini digunakan
oleh para anggota Kakehan untuk pleno adat
secara kebetulan, atau karena memang sudah
menjadi kebiasaan. Kalau memang karena kebia-
saan, kita terdorong untuk menanyakan lagi
kebiasaan apa, siapa, yang bagaimana, dan sete-
rusnya, terutama kaitannya dengan kata ‘Latu.’
Kalau Worinno di gunakan sebagai tempat
pleno adat karena kebiasaan, mari kita periksa
dulu apa yang dimaksud dengan kebiasaan.

166
Tafsiran kebiasaan dapat kita temukan pada
pendapat Soekanto dan Taneko, ahli hukum
adat. Bahwa, ‘kebiasaan adalah perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama,’ seperti
tertulis dalam karya mereka Hukum Adat
Indonesia.2727
Makna teks ini sangat luas. Konteksnya, an-
tara lain menyampaikan pesan bahwa kebiasaan
kita menentukan seperti apa kita. Seperti halnya
kebiasaan nenek moyang kita, menentukan citra
tentang anak cucu mereka.
Apa yang menjadi kewajiban kita hari ini
adalah kebiasaan nenek moyang kita di hari
kemarin. Bahwa hubungan antara teks dan
konteks, teori dan praktek, seringkali berselisih,
mungkin saja. Tapi dalam pengertian paling
ketat, adat adalah tradisi, kebiasaan, budaya.
Adat adalah hal-hal yang immaterial, dari kata
dasarnya ―’a,’ artinya ‘tidak,’ dan ‘dato,’ yang ar-
tinya ‘sifat kebendaan.’2828 Sistem kepercayaan,
atau apa pun yang ada dalam isi kepala yang
berkaitan dengan norma, dengan nilai sosial
kemasyarakatan, itulah adat dalam pengertian
paling luas.
”Adat”, tulis Roberto M. Urger, Guru Besar
hukum Universitas Harvard dalam karyanya,
Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum Dalam
Masyarakat Modern, ”Dapat dijumpai dalam se-
tiap bentuk kehidupan sosial, tetapi ada situasi-
situasi tatkala lingkup pengaruhnya nyaris eksk-
lusif.”2929
2727
Soerjono Soekanto dan Soleman b Taneka, “Hukum Adat
Indonesia”, Penerbit Rajawali Jakarta, cet. Kedua, 1983; 22

2828
Ibid; 83

2929
Roberto M. Urger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum Dalam
Masyarakat Modern, Nusa Media, cet kedua, 2008; 65

166
“Hukum adat”, meminjam Soekanto dan Ta-
neko, adalah adat-istiadat yang mempunyai
akibat hukum. Sanksi adat-istiadat, masih me-
nurutnya, adalah dikeluarkan dari masyarakat.
Sedangkan sanksi hukum adat, adalah menda-
pat hukuman, dan pemutihan keadaan.3030
Jadi, seperti umumnya dipahami orang, adat-
istiadat adalah standar implisit prilaku, bukan
standar peraturan yang dirumuskan. Adat-
istiadat lebih bersifat tersirat daripada terungkap
secara lisan. Sifatnya justru sangat keras lagi
jika merujuk pada konsekuensi. Bagaimana
kerasnya sifat adat-istiadat, kita dapat mengu-
kurnya dengan satu contoh sumpah adat di
Seram Barat, dengan kapatah, yang selalu di-
pegang teguh dari dulu hingga sekarang;
“Yami mata neka po umu lamo, Imi kuane
menesa bale, Solase, solase, bale nunue, Seiya
ilesi lumati kusue, keu ulete tulu urau mete.”
Artinya: “Kami akan meninggal. Harus, kalian
harus. Kamu harus bersatu bagaikan akar
beringin membelit batu, dan batu membungkus
akar beringin.”
“Barangsiapa yang melanggar, matahari ter-
benam bersamamu. Bila ke gunung akan jadi
kusu untuk dimakan binatang buas, turun ke laut
jadi makanan laut”.)*
Sumpah itu, mengasumsikan ada satu, dua,
tiga peristiwa yang sangat keras yang pernah
dialami, yang konsekuensinya adatnya ada lebih
dari satu.
Jika manusia adalah anak kebiasaannya,
bukan anak bapak-bapaknya seperti dikatakan

3030
Soekanto dan Taneko; op-cit ….91

))

**
Kusu=musang...

166
Ibn Khaldun.31 31Maka, tafsiran-tafsiran di atas
menunjukkan pertemuan adat adalah ‘bapaknya’
Kakehan. Upacara, atau ujian yang harus di-
jalani oleh setiap anak laki-laki untuk menjadi
anggota yang disebut ‘inisiasi,’ adalah salah satu
kebiasaan Kakehan.
Di Latu, kebiasaan tersebut dijaga dan di-
pelihara dalam rahim yang bernama Worinno.
Kebiasaan inilah yang melandasi Worinno dija-
dikan tempat pleno adat Kakehan, untuk secara
adat bersepakat menyerang penjajah Belanda di
Saparua.
Sekarang, mari kita tinjau lagi pengertian kata
‘Latu.’Semua orang Maluku tahu kata ‘Latu’
artinya ‘raja.’ Tapi, sedikit saja yang percaya
bahwa kata asli Maluku Tengah untuk arti ‘raja’
adalah kata ‘Pasa Yuru,’ ‘Ayyau,’ ‘Upu Latu,’
atau‘Ina Latu.’
Adanya tradisi yang melahirkan kata, dan kata
itu nanti digunakan, dipertahankan atau dihi-
langkan, tetap merupakan hasil akumulasi
tradisi, baik orang pribadi maupun kelompok.
Mulai dari tradisi kekerabatan keluarga hingga
tradisi penghormatan yang mewujud dalam
marga dan gelar. Latu dan maknanya tak
mungkin ada tanpa adanya tradisi.
Tradisi-tradisi penghormatan yang dijalani
dari zaman ke zaman, kelak menjadi akar ke-
lahiran gelar. Jika ‘patih’ secara harfiah artinya
‘inti-sari-patih, ’marga dan gelar adalah anak-
anak dari penghormatansecara sosial, karena
keahli-an. Latihan inisiasi menjadi keharusan,
sebab tidak ada gelar ‘patih,’ jika tidak ada
proses ‘inti-sari-patih’.

31 31
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Pustaka Firdaus
Jakarta, 2000;453

166
Ketika kita berpikir tentang kata-kata, um-
pamanya; Perdana, Patih, Raja, Kapitan, Sultan,
Jazirah, Penghulu, mula-mula kita mengakui itu
sebagai jejak verbal yang menghubungkan ada-
nya kontak kebudayaan antar suku bangsa.
Kalau akar kata ‘yuru,’ contoh, berasal dari
bahasa Ibrani yaitu ‘uru’ yang artinya ‘manusia.’
Dan, kemunculan kata ini berkaitan dengan
periode penggunaan bahasa Aram. Atau, kata
’beta,’ contoh lainnya, adalah kata ganti orang
pertama tunggal untuk orang Maluku Tengah
yang artinya ‘saya,’ ‘aku.’ Di mana kata ini
berasal dari Melayu kuno tetapi awal peng-
gunaannya bukan secara universal seperti seka-
rang melainkan, diucapkan hanya oleh seorang
Raja yang menyebut dirinya di hadapan rakyat
dengan kata ‘beta,’ sebaliknya rakyat menyebut
diri mereka dengan kata ‘hamba’ dihadapan raja.
Tetapi, dengan adanya kata ‘Pasa Yuru,’
‘Ayyau,’ ‘Upu Latu,’ ‘Ina Latu,’ atau kata ‘au,’
‘yau’ yang artinya ‘saya,’ ‘aku.’ Maka, Perdana,
Patih, Raja, Kapitan, Sultan, Jazirah, Penghulu
bukan saja ‘beta’; adalah pemenang dalam
‘perang’ kata-kata. Bagian ini tidak untuk
memperlebar analisa suku kata asli atau tidak.
Tetapi, untuk menguji pelunakkan kebenaran
kasar Alifuru Seram dalam makna kata ke-
pemimpinan dan keahlian; berkaitan dengan pe-
ngaruh kontak kebudayaan atau tidak.
Tapi pengaruh kontak kebudayaan juga
menjadi paradoks serius makna kekuasaan
klasik. Kata ‘Latu’ (raja), contoh; dalam makna
kata raja, ternyata awet sekali sedari dulu hingga
sekarang.
Ketika kita berpikir tentang bagaimana nenek
moyang kita mendapatkan dan menggunakan
kata-kata, berapa banyak jumlah kata asli yang
sudah hilang atau tergantikan, sudah tidak lagi

166
menjadi urusan di sini. Melainkan, tentang
makna kata klasik yang terus diawetkan.
Bilamana kata ‘Latu’ terus dipertahankan,
pijaran kata eksotik klasik itulah yang meman-
carkan radiasi mematikan dalam ‘perang’ kontak
kebudayaan.
Dalam urusan khusus yang bersifat publik,
Latu di sini menunjukkan standar kepemilikan
keahlian; ahli menjabarkan makna status yang
mewujud dalam marga dan gelar, dalam gelar
status maupun gelar publik.
Dalam ketangguhan bertindak; Latu di sini
menunjukkan standar kepemilikan kerahasiaan,
yang berkaitan dengan yang gaib, yang diam-
diam, yang tersembunyi, yang gelap, yang bia-
sanya menjadi urusan yang punya kuasa, para
‘patih,’ atau para raja, yang akhirnya ya Latu
juga. Dengan mengaitkan standar kepemilikan,
kita menemukan kecocokan antara Latu sebagai
‘patih, yang punya kuasa atau raja, dengan keah-
lian dan kerahasiaan.
Sekarang, persoalan serius yang dihadapi
negeri Latu secara fisik, adalah bagaimana meng-
gunakan warisan kekuasaan sesuai cetakan
lamanya, yang mencitrakan Latu sebagai standar
kepemilikan keahlian, dan standar kepemilikan
kerahasiaan.

Latu-Hatawano
Walaupun para pasukan penyerang memu-
tuskan rakit sebagai kendaraan ke Saparua
menyerang Belanda, kendaraan itu tidak mem-
punyai hubungan jika posisi Latu dan Hatawano
(Saparua), dibanding sekarang.
Pada Agustus 1883, gunung Krakatau mele-
tus. Pada Mei 1817, pasukan Kapitan Pattimura
menggempur Belanda, menggunakan rakit. Di
muka sudah kita tinjau teori geolog Louis

166
Agassiz, tentang perkembengan alam semesta
seragam, bertahap, dan selalu terkena dampak
proses logis yang sama.
Pada hari minggu 26 Agustus 1883, jutaan ton
abu dan magma di Selat Sunda mencari jalan ke
permukaan dan tumpah ke samudera melalui
peristiwa letusan gunung Krakatau. Bunyi letu-
san itu terdengar hingga ratusan kilometer,
dengan tinggi gelombang air laut 40 meter.
Mayat-mayat terdampar hingga ke pesisir Afrika.
Ingat, Perang Pattimura terjadi jauh sebelum
Kratau meletus. Perang terjadi bulan Mei, musim
dimana nyaris tak ada ampunan angin, hujan,
dan ombak.
Dengan meminjam teori Agassiz, kemungkinan
jarak antara Tanjung Amoulo dan Pia sebelum
tsunami, adalah berdekatan sehingga rakit men-
jadi kendaraan yang sangat masuk akal.
Kita bahkan masih bisa mengamati peng-
gunaan kata “Hatawano” sebagai contoh untuk
melihat kemungkinan dimaksud. Pertama, telaah
makna harfiah “Hatawano”; terdiri dari kata
“hata” yang artinya “bertengadah”, dan “wano”
yang artinya “rimba”. Kedua, telaah penggunaan
kata ini, dimaksudkan sebagai daerah dimana
Nolot, Itawaka, Iha, Ihamahu, Tuhaha, berada.
Ketiga, kata “rimba” yang dimaksudkan adalah
Seram.
Menurut Boelen M seperti di kutip M. Sapiya,
Hatawano dulunya adalah nama sebuah negeri
yang terletak di sebelah timur Itawaka.3232
Latu dan Itawaka memang bertengadah tetapi,
kata bertengadah dan karenanya kemunculan
kata ‘Hatawano,’ sangat mungkin disebabkan

3232
Dikutip dalam M.Sapiya, Sejarah Perjuangan Pattimura;
Pahlawanh Indonesia, penerbit Djambatan, cet ketiga, 1959; 18

166
posisi geografis yang benar-benar pernah sangat
dekat, dibanding sekarang.
Yang dekat tapi mahal bahkan sulit, justru
benteng duurstede di Saparua. Benteng itu di-
bangun oleh Nicolaas Schaghen pada 1691.
‘Duurstede’ artinya kota mahal. Sudah pasti,
penjajah maling kudisan membuat benteng,
supaya orang tak gampang masuk.
Tapi menurut naskah tetua adat negeri Latu,
pasukan Kakehan memasuki benteng itu
gampang sekali, cepat sekali, tepat sekali. Lihat
anggota Kakehan yang terdiri dari nituo, sejenis
makhluk manusia tak terlihat. Kecepatan dan
ketepatan menyerbu benteng pada 15 Mei 1817,
menunjukkan adanya kekhususan Kakehan.
Jika denyut nituo pada Kakehan berjalan di
situasi tertentu yakni disaat sulit secara seren-
tak. Pergerakan total anggota Kakehan disaat itu,
menjadi jumlah pergerakan sifat agama mistik
yang cenderung lebih membantu pada saat-saat
sulit.
Sudah jamak, kalau tiap agama memiliki se-
buah sikap pernyataan kepercayaan. Misalnya,
‘syahadat’ dalam syariat Islam, sebagai sebuah
pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan
akan keesaan Tuhan (Allah) dan Muhammad
sebagai rasulNya.
Salah satu aspek dari sikap kejamakan itu
yang jarang didiskusikan adalah, bagaimana
sikap itu dalam agama mistik. Kalau ‘syahadat’
digunakan dalam syariat Islam, pernyataan ke-
percayaan terhadap yang lain jadi gugur. Maka,
dalam Kakehan sebagai agama kuno, sebagai
agama mistik, ‘Hu’ juga begitu; ‘Hu’ adalah per-
nyataan kepercayaan yang paling dikeramatkan
oleh para anggota Kakehan.
Dalam posisinya menghadapi perlawanan
besar-besaran yang harus digugurkan, ‘Hu’

166
adalah senjata spritual paling menggugurkan
musuh dalam perlawanan besar-besaran, lebih
membantu pada saat-saat sulit dari sekedar
cerminan dari ‘syahadat.’ Sebelum Islam masuk
ke Seram Barat dengan pembongkaran dan pelu-
nakkan terhadap jenis sikap pernyataan ke-
percayaan, ‘Hu’ adalah senjata kebenaran kasar,
rahasia Kakehan, yang kelak menjadi jejak ver-
bal, ‘Alif-Hu; Alifuru.’
Dengan memperhatikan bentuk, sikap Alifuru
Seram dari pernyataan kepercayaan singga
‘maweng’ yang lebih abstrak; kesimpulannya,
masalah makna dalam kepercayaan Alifur Seram
diungkapkan hanya secara implisit, fragmentaris.
Di antara seluruh jumlah pergerakan anggota
Kakehan yang fragmentaris disaat sulit itu. Ada
satu yang berbeda; Kapitan Alim bin Aijran
Pattimura.
Perbedaan yang pertama ditunjukkan oleh
sikap dasar total anggota Kakehan, mengang-
katnya sebagai panglima perang 15 Mei 1817.
Pengangkatan itu menjadi bukti meyakinkan dari
sifat Alim bin Aijran Pattimura, yang tidak
pernah terbukti sebagai salinan sketsa nama-
nama yang diklaim orang selama ini.
Lintasan kekuasaan pemerintahan raja Latu
berikut ini, selalu dan selalu menjadi tuan
rumah Alim bin Aijran Pattimura.
Raja-Raja Latu:Ke-1, (raja), Kapitang Sama-
yang Mahakatita, ke-2, (raja), Dastur Patty, ke-3,
(raja), Roboh Patty, ke-4, (raja) Ahad Patty, ke-5,
(raja), Rustambi Patty, ke-6, (raja), Ridwan Patty,
ke-7, (raja), Hakim Patty, ke-8, (raja), Latulori
Patty, ke-9, (raja), Patty Ailaw. Ke-10, (raja), Patty
Usmani, ke-11, (raja), Pohon Patty, ke-12, (raja),
Ahral Patty, ke-13, (pejabat), Aisyah Patty, ke-14,
(pejabat), Aminah Patty, ke-15, (raja), Fajar Patty,
ke-16, (pejabat), Idris Patty, ke-17, (pejabat),

166
Ahad Patty, ke-18, (raja), Subuh Patty (1889-
1962), ke-19, (pejabat), Kahar Patty.
Ke-20, (pejabat), Bahrayn Patty, ke-21, (peja-
bat), Agil Patty, ke-22, (pejabat), Badaru Sa-
mallo.33 33Ke-23, (pejabat), Abdul Latief
Patty(1962-1966). Ke-24, (pejabat), Samman
Patty (1967-1968). Ke-25, (raja), Alimon Patty
(1968-1979). Ke-26, (pejabat), Salim Tupamahu
(1979-1985).34 34Ke-27, (raja) Sabri
Pattimura.35 35Ke-28, (pejabat), Rasyid Wakano,
ke-29, (raja), Sitti Nur Patty, ke-30, (pejabat),
Usman Wakano, ke-31, (raja), Kadir Patty, ke-32,
(pejabat), Hasanuddin Patty, ke-33, (raja),
Ridwan Patty, S.Sos.I.

33 33
Keterangan Kadir Baharuddin Patty kepada kami pada 16
November 2012; Ketika peristiwa RMS terjadi (September 1950),
Raja Subuh Patty mengungsi ke Ambon selama lima tahun lebih.
Ketika masyarakat Latu tawanan RMS terkumpul di Wailey,
kekosongan Raja dijabat oleh Kahar Patty kurang lebih dua
tahun, dan dilanjutka oleh pejabat Agil Patty sekitar satu tahun
lebih, kemudian diteruskan oleh pejabat Badaru Samallo kurang
lebih tiga tahun.

34 34
Dikutip dalam A.R Patty, “Perkembangan Pemerintah Negeri
Latu dari Masa ke Masa”, naskah tulisan tangan, Juli 1983.

35 35
Raja Sabri Pattimura mengundurkan diri dengan hormat
karena diangkat oleh pemerintah Negara untuk menjadi Kepala
Kejaksaan Piru. Posisi Raja Latu selanjutnya dijabat oleh Rasyid
Wakano.

166
166
5
Telusuri Desa Pesisir
Seram Barat

Kalau ada satu yang berbeda diantara seluruh


jumlah pergerakan dalam kasus anggota Ka-
kehan disaat sulit. Kapitan Pattimura lah, satu
orang itu. Tapi di muka peradaban Alifuru
Seram, situasi sulit bukan cuma di malam 15 Mei
1817.
Jauh sebelum menjadi satu yang berbeda itu,
Pattimura adalah salinan sketsa Perdana, Patih,
Raja, Mangkubumi; koordinator ‘petugas lapa-
ngan’ (korlap) yang berlalulalang di muka per-
adaban Alifuru Seram.
Setelah kata-kata seperti Perdana, Patih, Raja,
Kapitan, Sultan, Jazirah, Penghulu, mengusir
‘Pasa Yuru,’ ‘Ayyau,’ ‘Upu Latu,’ ‘Ina Latu,’‘yau’

166
dalam ‘perang’ kata-kata, watak kebenaran kasar
Alifuru Seram masih perlu dilunakkan, oleh kor-
lap tersebut.
Apa artinya sejenis makhluk tak terlihat yang
disebut nituo? Apa artinya serangan itu sangat
cepat, tiba-tiba tak ada lagi suara yang ter-
dengar? Serangan sangat cepat secara apa?
Mungkinkah, karena ada aksi pada suatu jarak
yang lebih cepat dari cahaya?
Para analis tidak meninjau pertanyaan-per-
tanyaan ini sama sekali. Padahal, kemenangan
Pattimura dan pasukannya tidak cukup disim-
pulkan dengan kekalahan Belanda atau serangan
sangat cepat, tiba-tiba tak ada lagi suara ter-
dengar.
Ketika M. Sapija menulis bukunya pertama
kali pada 1954, sumber yang dia pakai adalah
“Raport Porto;’ sebuah catatan seorang guru
bermarga Risakotta, tertanggal 23 Nopember
1817.1
Menurut Raport Porto, Thomas Matulessy
melakukan tiga kali musyawarah penting dengan
masyarakat setempat. Dalam musyawarah per-
tama, semua yang hadir bersepakat untuk me-
nyerang Belanda, termasuk raja Sirisori dan
Patih Haria, karena sehari-harinya dianggap
bersama residen Belanda. Dalam musyawarah
kedua 9 Mei 1817, Thomas ditunjuk sebagai
“Pemimpin Gerakan”. Dan, dalam musyawarah
ketiga 14 Mei 1817 yang dikenal dengan mu-
syawarah besar di Umekuhuil atau Bukit Saniri,

11
Mengenai ‘Raport Porto,’ Dr. J.B Sitanala dalam kata
pengantarnya di buku M. Sapija (cetakan pertama 1954,
pengantar tertanggal 14 September 1953), justru menyatakan
raport itu ditulis oleh seorang guru dari Porto, dalam bahasa
Indonesia, bernama Strudiek; Periksa kata pengantar buku M.
Sapija cetakan pertama 1954

166
Thomas diangkat sebagai “Penghulu Perang” atau
Kapitan. Itu jelas dalam makalah Nanulaita.2
Dalam perspektif keabsahan pemberian gelar,
kita boleh menduga-duga bahwa musyawarah
merupakan media legalitas bagi pengangkatan
Thomas Matulessy sebagai kapitan.
Adakah dalam ‘Raport Porto’ mencatat kata
‘Pattimura?’ Justru itu yang saya heran, karena
saya sudah baca Raport Porto itu, tidak ada satu
pun kata Pattimura tercatat di situ, demikian
jawab analis sejarah, Thamrin Ely, kepada saya
dalam suatu waktu penelusuran.
Kalau isi Raport Porto dan penamaan peris-
tiwa 15 Mei 1817, merupakan dua sisi yang tak
dapat dipisahkan satu sama lain. Pengukuran
yang satu untuk verifikasi, tidak berpengaruh
pada yang lain. Ini berarti, tidak ada masalah
dari nama peritiwa 15 Mei 1817 sebagai ‘Perang
Saparua’ atau ‘Perang Matulessy.’
Jangan lupa, prinsip edukasi dan inspirasi
juga menjadi bagian dari kegunaan mempelajari
ilmu sejarah. Di mana ada kejanggalan, di sana
tak kan ada obyektivitas pemahaman.
Tujuh belas tahun setelah buku Sapija terbit,
tidak pernah ada kemajuan dalam persolan
verifikasi Raport Porto dalam kaitan Thomas
Matulessy dialiaskan sebagai Kapitan Pattimura.
Hingga, Panglima Kodan XV Pattimura Brigjen
TNI Wing Wirjawan, mengutus sebuah tim ke
negeri Latu pada 1971, untuk mengetahui siapa
nama Kapitan Pattimura yang sebenarnya.
Setelah tim tersebut mendapat informasi dari
Haji Abdul Latief Pattimura, Imam Besar Mesjid
Al-Fajri Negeri Latu, bahwa Kapitan Pattimura
sebenarnya bernama Alim bin Aijran Pattimura,
tim itu kemudian kembali ke Ambon.

22
Op-Cit; ...

166
Mesjid Alim Pattimura
Dalam sebuah upacara peletakan batu per-
tama pembangunan mesjid di Pandankasturi
Batumerah, Ambon pada 11 Agustus 1971. Pang-
lima Kodan XV Pattimura Brigjen TNI Wing
Wirjawan, memberi nama mesjid itu dengan
‘Mesjid Alim Pattimura.’ Nama mesjid, mema-
tahkan Pattimura bukan kristen.
Pada tanggal 12 Agustus 1971, pemberian
nama mesjid Alim Pattimura, menjadi berita di
halaman muka koran Berita Yudha berjudul ‘Alim
Pattimura Diabadikan Sebagai Nama Mesjid’.
“Berbeda dengan kebanyakan bangunan-ba-
ngunan mesjid yang pada umumnya diberi nama
dengan bahasa Arab”, tulis koran itu, “Tetapi
bagi mesjid di Pandankastruri diberi nama “Alim
Pattimura”.3 3
Pastilah, bukan kebetulan kalau Panglima
Kodam XV Pattimura Brigjen TNI Wing Wirjawan
memberi nama mesjid itu, ‘Mesjid Alim Patti-
mura’. Tapi itu baru permulaan.
Bulan Juni 1980, sembilan tahun setelah
pembangunan mesjid yang dinamakan ‘Mesjid
Alim Pattimura,’ tetua adat negeri Latu keluar
memberikan kesaksian adat, tentang fakta pela-
ku penyerangan dan fakta tentang nama Kapitan
Pattimura yakni bernama Alim bin Aijran Patti-
mura. Fakta, yang mematahkan prinsip pemerin-
tah mengaliaskan Thomas Matulessy sebagai
Kapitan Pattimura.
Hanya untuk nama mesjid Alim Pattimura dan
kesaksian adat negeri Latu, bukan berarti Kanwil
(Kantor Wilayah) Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Depdikbud) Provinsi Malauku

33
Koran Berita Yudha edisi Maluku, edisi 12 Agustus 1971

166
harus membikin seminar sejarah perjuangan
Pattimura.
Karena tidak punya alasan untuk menolak
nilai perjuangan Pattimura tidak sebatas tempat
di Pandankasturi, yang dibangun mesjid, atau isi
naskah tetua adat negeri Latu, sejarah perjua-
ngan Pattimura diseminarkan di Ambon pada
tanggal 5-8 November 1993.
Kalau data dan informasi dari para ahli dalam
forum seminar itu, sahih membuktikan perjua-
ngan Pattimura sebagai bagian dari budaya
bangsa untuk meningkatkan integritas nasional. 4
Kesimpulannya, integritas yang memancarkan
energi nasional hingga hari ini tidak secara
langsung dan kontinu dari fisik seorang Patti-
mura.
Sekarang kita paham kenapa di Pandan-
kasturi itu dibangun mesjid, bukan tugu atau
patung. Sebab, dulunya pada daerah itu dan
karenanya integritas; tabiat, moral, prilaku, ke-
jujuran, pada suatu waktu energinya sangat
besar.

Telusuri Desa Pesisir di Seram Barat


Kendatipun cerita-cerita rakyat, kapatah-ka-
patah, syair, nyanyian,dan jugulu-jugulu (teka-
teki) bisa menerangkan seluk-beluk budaya
bangsa dan integritas nasional, pembangunan
mesjid dan dinamakan ‘Mesjid Alim Pattimura,’
menunjukkan adanya distribusi peran ulama.
Makanya, kita tidak bisa mengerti dengan baik
kenapa gelar Pattimura diberikan, oleh siapa,
kepada siapa, dalam situasi apa, di muka apa,
sebelum meninjau periode-periode peran ulama,
apa yang mereka bawa, untuk apa, akhirnya

44
Periksa Hasil Seminar Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional
Pattimura tahun 1993; 3

166
secara sahih memahami Pattimura, seperti yang
dikatakan sejarahwan UI Leisrissa; “Untuk me-
ngetahui siapa Kapitan Pattimura yang se-
benarnya, telusuri desa pesisir di Seram Barat
yang pertama kali masuk Islam.”5
Dalam suasana Seminar Sejarah Perjuangan
Pattimura 1993 di di Ambon itu, ketika sedang
rehat, Frans Hitipeuw, salah satu pemakalah
seminar, menyatakan kepada Sabri Pattimura,
salah satu peserta seminar yang juga mantan
Raja Latu. Bahwa, “Pattimura sebenarnya adalah
seorang muslim, nanti juga akan terbuka, tapi
sekarang belum saatnya.”6
Pada 8 November 1993, selesai seminar, ketua
panitia penyelenggara MA. Manuputty, ketua tim
perumus M Huliselan, dan kepala kantor wilayah
Depdikbud Provinsi Maluku Zua Fasihu, mene-
ken sebuah dokumen berjudul, ‘Hasil Seminar
Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Pattimura
tahun 1993.’
Dalam dokumen itu, antara lain tertulis, “Agar
supaya terdapat kepastian dalam penulisan his-
toriografi Maluku, khususnya perjuangan Patti-
mura dan kawan-kawan, maka perlu diteliti
silsilah Thomas Matulessy di Saparua dan Ha-
ruku, dan peran marga Pattimura di negeri
Latu.”7
Herannya, meskipun penting, rekomendasi
seminar itu tidak pernah diperhatikan serius
hingga hari ini. Anehnya lagi, kita sendiri tidak
55
Keterangan Sudjud Siradjuddin kepada saya, setelah mantan
anggota DPR RI itu menanyakan tentang Kapitan Pattimura
kepada sejarahwan UI, Leirissa; 2012.

66
Bahan catatan tambahan dari Sabri Pattimura kepada saya,
2012

77
Hasil Seminar Sejarah Perjuangan Pattimura, Ibid; 12-13

166
yakin apakah tanggal 15 Mei yang diperingati
setiap tahun itu hari Pattimura atau hari
Matulessy.

6
Membuka Penangguhan Makna

Sebuah kode menjadi bermakna sekali hanya


jika kode itu dibongkar. Betapapun, kehidupan
rakyat-rakyat kecil membekas seperti dalam
cerita-cerita rakyat, kapatah-kapatah, syair, nya-
nyian, atau jugulu-jugulu (teka-teki) sebagai
prosa. Dengan gaya bahasa dalam cerita tentang
kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan
atau malah kesangsian yang kita dengar di
kampung-kampung, prosa jelas menyuarakan
kode kebudayaan. Dalam seluk-beluk perjuangan
manusia, kelompok masyarakat sampai dengan
integritas nasional, kode-kode itu menyelinap.

Kunci utama untuk membuka kode ke-


budayaan yang menyelinap adalah kebudayaan
masyarakat itu sendiri. Jika makna satu bait
dalam sebuah kapatah atau sebuah nyanyian

166
bisa dijelaskan oleh bait-bait lainnya, maka tak
perlu ada kunci lain untuk membuka makna
kapatah atau nyanyian tersebut.
Setelah bait-bait nyanyian atau kapatah, pen-
jelasan juga harus dicari dalam penciptanya.
Sifat lingkungan setempat juga menjadi kunci
untuk membuka kode kebudayaan. Di luar
kunci-kunci tersebut, kode-kode kebudayaan
telah dibuka oleh berbagai ahli sejarah seperti
antropolog, ahli agama, geolog, ahli hukum, dan
lain-lain.
Karena prosa sebagai kode kebudayaan mem-
punyai tingkat makna, pendapat dan per-
timbangan ahli bahasa juga menjadi bagian
penting sebagai kunci membuka kode kebu-
dayaan. Setelah kode kebudayaan dibuka oleh
berbagai ahli, maka penafsiran suku bangsa
dengan karakteristiknya, diterima dengan
terbuka.
Dari kode kebudayaan kita tahu, setiap zaman
memiliki karakteristik masyarakat. Satu peris-
tiwa juga bisa menciptakan satu figur pahlawan.
Zaman berubah, karakter masyarakat pun ber-
ubah. Struktur masyarakat berubah, pola hidup
mereka pun ikut berubah. Di dalam perjuangan
pastilah ada pelaku.Setiap pelaku perjuangan
pastilah memiliki latar belakang. Perang tidak
sebatas rumusan reaksi terhadap penindasan,
ketika sudah ada tradisi sebagai sebab lain
sebelum perang itu bergerak, dari kebiasaan
menjadi kewajiban.
Ke mana pun pola hidup komunitas masya-
rakat mengarah, di dalamnya pasti ada sifat-sifat
yang cenderung kepada kemajuan dan kemun-
duran, kepada kesalahan dan kebenaran, kepada
kebaikan dan kejahatan, bahkan kepada kepuna-
han.Makanya, dalam masyarakat ada perjua-
ngan, perdamaian, ada penjajahan, ada perang.

166
Kebanyakan orang tahu, bumi ini pernah di-
bagi oleh Paus Aleksander VI pada tahun 1493
―di luar batas-batas wilayah Barat Kristen―
menjadi Spanyol dan Portugis, menurut garis
bujur. Tapi tidak semua orang tahu; pembagian
bumi itu juga kode kebudayaan yakni budaya
kekuasaan tradisional.
Mengutip sejarawan Inggris Arnold Toynbee
dalam bukunya Sejarah Umat Manusia, dua
penguasa laut Kristen Barat membuat sebuah
perjanjian pada 1494 yang menyetujui sebuah
garis lebih ke Barat dari garis yang dibuat oleh
Paus Aleksander. Pada 1529, Spanyol dan Por-
tugis membuat lagi sebuah perjanjian baru yang
kembali mengubah garis pembatas sebelumnya.
Di sini, Portugis mendapatkan kepulauan Mo-
luccas, dan Spanyol mendapatkan Kepulauan
Filipina.1
Kejadian-kejadian sesudah Paus Aleksander
membagi bumi sudah teramat banyak dikupas
para ahli. Kita pun sudah memahami obyek
Maluku yang mengkondisikan bangsa-bangsa
dunia, ―bukan hanya Spanyol dan Portugis―
mengunjungi Maluku kemudian menjajah pen-
duduknya berabad-abad.
Tampaklah, gambaran tentang keinginan Spa-
nyol dan Portugis kepada Paus Aleksander, atas
hak-hak mereka terhadap daerah-daerah yang
diketemukan, menunjukkan awal jawaban bagi
pertanyaan tentang keabsahan mereka dimata
daerah yang diketemukan; adalah keabsahan
tradisional.
Ketika citra tradisional dimaknai atau identik
dengan agama, motif kehadiran dua bangsa itu di
Maluku pun dipahami sebagai versi luas misi
keagamaan. Di sini kita boleh menduga, motif
11
Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitik,
Kronologis, Naratif, dan Komperatif. Pustaka Pelajar, 2007; 684

166
kedatangan Spanyol dan Portugis ke Maluku di-
bungkus dengan sebuah fatwa Paus Aleksander.
Karena yang tak dapat dilotak dari kehadiran
kedua bangsa itu di Maluku adalah penginjilan.
Fakta ini memungkinkan dibicarakannya kaitan
antara motif kehadiran dua bangsa itu, dengan
perlawanan, perang di Maluku. Perlawanan
mengasumsikan ada yang dipertahankan.
Cara menganalisa motif perlawanan boleh saja
berbeda-beda. Tetapi situasi masyarakat Maluku
yang tak terbantahkan oleh ulah penjajah kala
itu adalah fakta universal; keonaran, intimidasi,
adu-domba, hingga yang tadi itu; penginjilan.
Padahal, penduduk di Maluku Utara dan Ambon
serta sekitarnya hingga sampai ke kepulauan
Banda dan Kei, telah memeluk agama Islam ber-
puluh-puluh tahun sebelum orang-orang Por-
tugis membawa agama Katolik memasuki daerah
Maluku seperti ditulis KH. Saifuddin Zuhri.2
Dari pembagian bumi sebagai kode kebu-
dayaan kekuasaan tradisional, muncul figur
pahlawan bangsa seperti Spanyol dan Portugis.
Karena satu peristiwa bisa menciptakan satu
figur pahlawan, maka dalam masyarakat disetiap
zaman selalu ada seorang luar biasa untuk
dijadikan tokoh panutan. Orang tersebut boleh
jadi nabi, imam, raja, pendeta, guru, petani;
boleh siapa saja tetapi tetap harus berkemam-
puan luar biasa di antara orang-orang biasa
dalam komunitas masyarakatnya.
Jika kita percaya pendapat yang menyatakan
bahwa setiap orang biasanya mendapatkan
pemimpin yang sesuai dengannya. Dan, sang pe-

22
KH. Saifuddin Zuhri, ibid; 367-368. Lihat juga Rusli Andi Atjo
dalam karyanya “Portugis di Ternate: Rangkaian Peristiwa dan
Peperangan”, Maryam RL Lestaluhu dalam karyanya Sejarah
Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di daerah
Maluku, PT.Alma’arif Bandung, 1988; 35.

166
mimpin menelurkan sifat dan sikapnya, maka
dari segi periode kausal yang banyak terputus,
kita boleh menduga-duga bahwa tradisi lisan
yang telah memonopoli budaya komunikasi
khususnya di Maluku, tampak sangat mungkin
melestarikan kaitan antara kode kebudayan
untuk kelak melahirkan gelar.
Kapitan Pattimura yang sebenarnya seorang
muslim, atau untuk mengetahui siapa dia harus
menelusuri desa pesisir di Seram Barat yang
pertama kali masuk Islam, bukanlah akhir dari
pernyataan Hitipeuw dan Leirissa. Tapi, keadaan
awalnya, dan keadaan itu penyebaran, perluasan
peran, dan penyamaran sebagai kode-kode
kebudayaan yang perlu dibongkar.
Sejauh ini kita hanya mendengar tentang
Pattimura memiliki banyak samaran; bukankah
kita seharusnya membicarakan tentang fenome-
na penyamaran?
Dengan mencoba memahami fenomena pe-
nyamaran, berarti kita membicarakan tentang
salah satu kode kebudayaan, yakni, teknik ma-
nusia menyesuaikan diri baik dengan lingkungan
maupun orang lain.
Fenomena Seram Bati yang sewaktu-waktu
dapat memaksakan kenyataan secara gravitatif
adalah titik temu sementara bagi kode kebu-
dayaan manusia Alifuru Seram. Begitu pula ke-
biasaan para anggota Kakehan yang selalu me-
nanam pohon beringin atau pohon gupasa di
setiap tempat mereka melakukan sidang pleno
adat, tampak meringkaskan kearifan kebudayaan
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Seperti halnya kemenangan Pattimura dan
pasukannya, yang cukup disimpulkan dengan
serangan yang serentak, yang tiba-tiba tak ada
lagi suara terdengar, dan mengabaikan meng-
abaikan kemungkinan ada aksi pada suatu jarak
yang lebih cepat dari cahaya. Fenomena penya-

166
maran dan penggunaan bahasa daerah juga
nyaris tidak ditinjau oleh para analis, dalam
hubungan dengan kata ‘Pattimura.’ Bahkan, pa-
da situasi mana manusia melakukan penya-
maran, nyaris luput dari hirauan.
Bagaimana keanekaragaman pandangan ten-
tang Pattimura terselip. Maka bahasa daerah dan
fenomena penyamaran sebagai kebudayaan, dan
datuk sebagai sketsa ulama di sini, akan ber-
konsentrasi tentang keyakinan terhadap perju-
angan tokoh pahlawan ini.

Fenomena Penyamaran
Teknik penyesuaian diri adalah bagian dari
muka kebudayaan. Muka itu secara teori di-
sederhanakan antara lain oleh antropolog Clyde
Kluckhohn, diteruskan oleh antropolog Clifford
Geertz.
Dalam buku Tafsir Kebudayaan, Geertz, penu-
lisnya, mengambil beberapa inti dari kebudayaan
versi Kluckhohn, yakni; 1), warisan sosial yang
diperoleh individu dan kelompoknya, 2), cara
berpikir, merasa dan percaya, dan, 3), seperang-
kat teknik penyesuaian diri baik dengan ling-
kungan luar maupun dengan orang-orang lain,
termasuk gudang untuk mengumpulkan hasil
belajar.3
Soekanto dan Taneko mengambil lompatan
Kluckhohn, ke satu kata yang sudah saya sing-
gung di muka, yakni ‘adat.’
Satu warisan pikir di Negeri Latu, dari cara
merasa dan percaya, untuk seperangkat teknik
penyesuaian diri, akibat ulah penjajah maling
kudisan jaman kolonial, adalah penyamaran.

33
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta,
1992;4-5

166
Jika kita amati lebih mendalam, penyamaran
apa pun, berkaitan dengan makna apa saja yang
kita pikirkan, kehadirannya bersifat publik.
Sebagaimana diketahui, Maluku pra kolonial,
memiliki bahasa daerah di semua desa. Bahwa
tiap bahasa daerah merupakan campuran antara
bahasa Melayu kuno, Jawa kuno, atau Ibrani
(Arab kuno), itu soal lain. Tapi alat komunikasi
sehari-hari jaman itu bahkan hingga sekarang di
sejumlah desa muslim, adalah bahasa daerah. Di
Seram, bahkan ada penduduk yang masih
menggunakan istilah “bahasa tanah”.
Penyamaran dipengaruhi oleh ancaman. An-
tara ancaman maling kudisan dan bahasa dae-
rah, tampak; penduduk yang melakukan pe-
nyamaran, mengantarkan teori Kluckhohn ten-
tang teknik penyesuaian diri kepada satu kesim-
pulan label zaman.
Suatu kasus, misalnya; semua orang tahu apa
itu pohon kelor, atau daun kelor. Semua orang
juga tahu makna sifat nilai tukar publik yang
disebut “duit”. Tapi dalam kasus tertentu, di
situasi tertentu,makna sifat tukar publik ini juga
bisa disamarkan, misalnya di Latu; mengguna-
kan kata ‘kerello’—dari kelor— yang maksudnya
‘duit’; ‘berduit.’
Penggunaan kata kerello, secara kebudayaan
adalah seperangkat teknik verbal manusia me-
nyesuaian diri. Tapi kata ini muncul, karena
ancaman melahirkan penyamaran.
Bilamana sebuah ancaman membawa kesu-
litan dan kesusahan, sedih dan getir, maka
seperangkat teknik verbal manusia menyesuaian
diri atasnama penyamaran, itu tafsir kebuda-
yaan.
Dalam motif ini, penggunaan kata ‘kerello’
sudah tidak ada kaitannya lagi dengan ancaman
yang melahirkan penyamaran, atau makna pe-

166
nyamaran yang bersifat publik. Melainkan, me-
nunjukkan standar perasaan tak sedap, pahit,
sinonim dari berbagai kesulitan dan kesusahan;
sedih dan getir, akibat wajar dari ancaman.
Orang Latu cukup mengajukan pertanyaan
dengan kata, ‘sallo,’ yang artinya ‘apa;’ ‘kenapa,’
jika ada masalah yang berkaitan dengan sebab
dan akibat, antara mitos dan misterius.
Kalau pertanyaan antara ancaman dan akibat
wajarnya, yang menawarkan rasa pahit, getir tak
sedap, kata tanyanya bukan dengan ‘sallo,’ tapi,
‘murrah.’
Jika kata itu langsung diucapkan kepada
orang pertama tunggal; kau, akan berbunyi,
‘ummurah’ (kamu kenapa?).
Jika kata itu diucapkan kepada orang ketiga
tunggal; dia, akan berbunyi, immurah’ (dia ke-
napa?) Jika itu kepada orang ketiga jamak;
mereka, akan berbunyi, ‘simmurah’ (mereka
kenapa?).
Kemudian, jika kata itu ditujukan kepada
orang kedua jamak; kalian, akan berbunyi,
‘mimmurah’ (kalian kenapa?). Selanjutnya, jika
itu ditujukan kepada orang pertama jamak;
kami, akan berbunyi, ‘mammurah’ (kami kena-
pa?). Dan, kepada obyek tunggal; ia, akan berbu-
nyi, emmurah (barang itu kenapa?).
Lantas, apa hubungannyamurrah dengan
‘Pattimurah?’ Bagaimana ejaannya; patih dan
murrah (pisah), atau ‘patihmurrah’ (sambung),
atau patih maha murah?
Bukankah tidak adil menjadikan bahasa dan
teknik penyesuaian diri bertanggungjawab atas
penggunaan kata ‘murrah’?

166
Secara linguistik, ‘murrah’ berasal dari bahasa
Arab, artinya ‘pahit,’ ‘getir.’4
Karena arti kata ‘murrah’ yang demikian,
Syaikh Bakr Abdullah dalam kitabnya ‘Tasmi-
yatul Maulud’ seperti diringkas oleh Abu Ab-
dullah Al-Bantuly, menyatakan hukumnya mak-
ruh, bagi umat Islam yang memberi nama
anaknya dengan nama ‘murrah.’5 Makanya itu,
dalam nama-nama muslim, jarang kita dengar
ada yang bernama ‘Murrah.’
Kecuali, nama seorang tokoh bani Quraisy,
yang dikenal sebagai leluhur Nabi Muhammad,
seorang pemberani yang disegani, yang sering
dimintai pendapat atas berbagai masalah oleh
kaumnya. Bernama, Murrah bin Ka’ab, bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fihr bin Malik.6
Murrah bin Ka'ab, merupakan penggali sumur
Al-Rawa yang terletak tak jauh dari padang
Arafah, yang pernah digunakan oleh suku
Quraisy.

Datuk
Jangan salah.Sejarah Islam di Indonesia, kata
orientalis Harry J. Benda, adalah sejarah per-
luasan peradaban santri dan pengaruhnya cukup
luas terhadap kehidupan agama, sosial, dan
politik di Indonesia.7

44
Syaikh Bakr Abdullah Zaid, dalam kitab Tasmiyatul Maulud,
diringkas oleh Abu Abdullah Al-Bantuly, Juli 2011.
http//ainuamri.wordpress.com/arti sebuah nama. Periksa juga,
Ahmad M. Hemaya, Islam A Profoun Insight, Tranguil Soul, 2012;
340

55
Ibid...

66
Asy Syaikh Yasien, Muhammad Dimata Cendekiawan Barat,
ISBN; 9795610961; 19

166
Dengan perluasan peradaban santri yang
mengagumkan, para generasi Murrah bin Ka’ab
bukan tidak mungkin, memacu pengaruh mereka
hingga ke Indonesia.
Kalau ilmu itu ada sifatnya, misalnya rahasia.
Menurut tafsiran Bongarna Sianipar dalam
bukunya, Horas Dari Tanah Batak Untuk Indo-
nesia, ilmu karena sifatnya itu, dimonopoli oleh
golongan tertentu. Golongan inilah yang disebut
‘datuk.’8
Datuk adalah guru tempat bertanya. Datuk,
masih menurut Sianipar, bahkan merangkap
dukun. Datuk suka merantau dari daerah satu
ke daerah lain dan, dengan demikian memainkan
peran penting sebagai jembatan penyebaran ilmu
dan pemakaian aksara.9
Informasi yang pernah saya baca dalam se-
buah artikel di koran, seorang patih yang sangat
disegani di Ambon dan sekitarnya bernama Patih
Murah, sudah semenjak abad ke-14.
Di hadapan keanekaragaman pandangan ten-
tang Pattimurayang mengendap. Yang kita perlu-
kan disini adalah memilih; bukan kisah yang
terdekat, melainkan fakta kejadian yang masuk
akal.
Di Ambon, umpamanya; Perang Kapahaha,
kalau mau dihitung waktunya, tergolong peris-
tiwa perang yang cukup lama dalam sejarah
perlawanan Maluku terhadap penjajah —1636-
1646, setelah Perang Hitu (1520-1605).

77
Luthfi Pattimura (ed), Visi Pembangunan Indonesia, LSKPI
Press, cet pertama Januari, 1998; 17-18

88
Bongarna Sianipar, Horas Dari Tanah Batak Untuk Indonesia,
Rumah Indonesia, Jakarta, 2012: 159

99
Ibid...

166
Dalam rentang perlawanan selama sepuluh
tahun itu, tentu ada banyak kisah yang meng-
endap; ada kemelut batin, ada suaka pribadi.
Bahkan ada yang cari selamat, menjadi peng-
hianat, inlander.
Antara suaka pribadi, kemelut batin dan in-
lander, (Belanda; penghianat), ada sifat peris-
tiwa-peristiwa yang menopang kemunculan se-
buah kata yang kelak menjadi gelar.

Murrah?
Hasil penelusuran Jafar Patty, seorang analis
sejarah Pattimura; situasi yang menopang ke-
munculan ‘Pattimura dan menjadi terus hidup
adalah, pada Perang Kapahaha.
Dalam suatu ruang dan waktu ketika Perang
Kapahah yang berlangsung selama sepuluh
tahun itu, kata ini, ‘murrah,’ dimantapkan kem-
bali, dari sekelompok pasukan terhadap sikap
seorang Patih, seorang muballiqh, sang panglima
mereka.
Ceritanya; ketika sang Patih ini bersama pa-
sukannya akan menyerang Portugis di benteng
Kapahaha, tiba-tiba sang Patih melihat di depan
benteng sudah berdiri pasang badan dua kapitan
bertalenta dimana sang Patih kenal dekat dengan
keduanya.
Melihat kejadian itu, sang Patihini pun me-
rasa kecewa, sedih; pahit, getir, karena ada ka-
pitan yang menjadi inlander. ‘Murrah,’ muncul
dari para pasukan setelah melihat ekspresi sang
panglima perang.
Pos pasukan yang akan menyerang Portugis
itu, berada persis di Pandankasturi, Batu Merah
Ambon; tempat dibangunnya mesjid Alim Patti-
mura tersebut.
Pemberian nama Alim Pattimura sebagai nama
mesjid itu, dengan demikian adalah simbol

166
penghormatan masyarakat setempat yang tahu
sejarah antara obyek dan pemantapan kata
‘pattimura.’ Mesjid Alim Pattimura adalah wujud
kombinasi pengakuan antara penghargaan dan
nilai-nilai sikap perjuangan para ulama yang
terpendam.
Untuk meneruskan pelacakan rute dan
perluasan peradaban santri yang mengagumkan
oleh Pattimura, pembeberan tujuh periode peran
ulama oleh ahli pendidikan tradisional Hasan
Muarif Ambary, penting;
Pertama, abad 12–15.Di sini terjadi sosialisasi
Islam dan kader ulama. Kedua, pada akhir abad
15-16, pesantren sebagai pusat penyiapan kader
elit birokrasi. Ketiga, ulama dan pesantren men-
jadi alat legitimasi kekuasaan, pada pertengahan
abad 16 sampai pertengahan abad 17. Keempat,
separuh dari abad 17 mulai muncul jarak antara
pesantren dengan birokrasi. Kelima, peranan
ulama diturunkan sedemikian rupa, sehingga
ulama menjadi salah satu milik raja. Ini terjadi
pada akhir abad 17 sampai akhir abad 18.
Keenam, penghancuran pesantren pada akhir
abad 18. Misalnya, Kajoran, Giri, Sumenep, dan
lain-lain. Dan ketujuh, pada 1819, pesantren
mulai menjauhi pusat kekuasaan seperti ditulis
Ambary dalam Pesantren Sebagai Basis Pendi-
dikan Generasi Masa Depan.1010
“Pada masa-masa perjuangan menegakkan
kemerdekaan”, tulis Ambary, “Pesantren menjadi
salah satu supplier laskar yang diperhitungkan
dan banyak ulama menjadi komandan badan-
badan perjuangan”.1111

1010
Luthfi Pattimura (ed), op-cit; 17-18

1111
Ibid...

166
Tingkat pendidikan Islam dan keislaman da-
lam periode peran ulama dimulai dengan penga-
jaran, pengajian Al Qur’an dan Hadits.
Lidah muslim Ambon yang terkenal faseh
membaca Al Qur’an merupakan contoh keber-
hasilan pengajaran huruf hijaiyah dan membaca
Al Qur’an dalam periode ini.
Mengutip Ambary, pengajian Al Qur’an di-
klasifikasi sebagai Tingkat Rendah, kemudian
pengajian Kitab (Ilmu sharaf, nahu, tafsir, dan
lainnya) sebagai Tingkat Menengah, dan penga-
jian Tingkat Tinggi seperti Pesantren Keahlian,
Perguruan Thareqat, Takhasus.1212
Khusus untuk di negeri Latu, Pada tahun
1700, paling tidak ada tiga orang banga Arab
yang masing-masing namanya tercatat; Sultan
Djamali, Sultan Anshori, dan Sultan Lawadjin.
Tiga ulama ini membawa missi Islam ke Latu
seperti dicatat Imam Besar mesjid Al-Fajri, Negeri
Latu Haji Abdul Latief Pattimura.1313
Di Ambon dan sekitarnya, apa yang terisi da-
lam periode peradaban perluasan santri, sebagai
buah kemanisan peran ulama, dibuktikan de-
ngan banyaknya naskah kuno dalam bahasa
Arab seperti Barzanji, Khotbah Rawiyan, Khotbah
Idul Fitri/Adha, dan naskah kuno lainnya, yang
berada di pulau Ambon misalnya di Seith, Hila,
dan Kaitetu.1414

1212
Ibid...

1313
Dikutip dari catatan ahli waris, H. Abdul Latief Pattimura, H.
M. Syaiful Pattimura di Masohi, Maret 2012.

1414
Khusus mengenai naskah kuno di Maluku, lihat Hj. Musda
Mulia, H. Rosehan Anwar, H.E Badri Yunardi dalam Kataloq
Naskah Kuno Yang Bernafaskan Islam di Indonesia jilid II,
Balibang Agama, Dept Agama RI, 1998/1888; 191-213.

166
Kisah mengenai Nur Cahya, seorang murid
wanita kesayangan Imam Ridjali, mungkin men-
jadi salah satu contoh keberhasilan penga-jaran
penulisan aksara Arab paling fenomenal di
Ambon; pada 1590, wanita ini menulis sebuah
Al-Qur’an di gunung Wawane.1515
Sembari menunggu hasil kreatifitas mendalam
dari para ahli linguistik, mengenai pengaruh gaya
bahasa dan kata-kata dalam kehidupan sehari-
hari, dalam arti ada pengaruh tekanan bunyi
pengucapan kata, bolehlah kita menduga bahwa,
kata-kata seperti wari, kususnya di Seram Barat,
adalah jejak peran ulama di sana. Penggunaan
kata ‘wali,’ yang sekarang menjadi ‘wari,’ —se-
lanjutnya ‘wari-wa’ yang artinya adik-kakak—
menggambarkan hubungan persaudaraan misal-
nya antara Latu (Muslim), dan Hunitetu (Kristen).
Secara linguistik, kata ini, ‘wali,’ meminjam
kajian Saifuddin Zuhri, memiliki dua arti; per-
tama, artinya “Yang menyintai atau dicintai”,
sudah pasti berkaitan dengan Allah. Kedua,
artinya “Penguasa atau yang memerintah.” 1616
Wari-Wa, sesungguhnya merupakan jejak ver-
bal dari para wali; dari kata ‘wali,’ menjadi ‘wari,’
yang menunjukkan tingkat rasa kasih sayang
cinta kasih mendalam dan menjalar antara
sesama kakak-beradik, khususnya di Seram.
Analogi murid yang pintar, berarti guru jauh
lebih pintar yang berarti pula ada yang bikin
guru dan murid menjadi pintar.
Ketika pengetahuan yang lebih tinggi dan
rumit dalam periode peran ulama menjadi wila-
yah Tingkat Tinggi seperti Perguruan Thareqat,
Takhassus dan menjadi urusan orang pintar
terutama kyai, maka peran orang pintar bukan
1515
Ibid...
1616
KH. Saifuddin Zuhri, Op-cit; 247

166
saja melahirkan para jenius sekelas Imam Ridjali
atau muridnya Nur Cahya, di Ambon, umpama-
nya. Melainkan juga melahirkan hakekat kata-
kata seperti “Maluku”, “Nusa Ina”, kata-kata di
dalam kapatah, tak terkecuali kata ‘Pattimura.’
Selera dari pengajian tingkat tinggi seperti
ilmu thareqat, adalah pemilik ilmu-ilmu khusus
untuk urusan khusus yang bersifat publik.
Pattimura dengan demikian bukanlah sebuah
nama yang baru muncul pada peristiwa 15 Mei
1817, tapi seorang generasi Murrah bin Ka'ab
yang diberi gelar ‘Patih Murah’ sekurang-kurang-
nya sebelum abad ke-14.
Dan nama ini terkenal, karena kemampuan
menggempur benteng-benteng kehidupan mental
Melanesia yang mengendap. Kelak, ia menjadi
seseorang yang selalu dipikirkan tetapi tak dapat
dilihat. Itulah Pattimura.
Karena penyamaran, kita terlambat memperte-
mukan nama-nama seperti Laino Patih Tuha
Iwamusole, Patih Luhu Siale, Patih Iha Laine,
Kapitan Maraktusalawane, atau Kapitan Huku-
malawane, dalam hubungan dengan nama Ka-
pitan Pattimura, sebagai wujud tugas mental
para datuk, seolah tidak berkaitan.
Dalam hubungan Patih-Murrah menjadi Patti-
mura, Frans Hitipew dalam makalahnya berju-
dul, ‘Historiografi Maluku Yang Tradisional dan
Modern,’ menulis;
“Ada sekitar tujuhbelas kapitan yang sangat
berjasa membantu Pattimura.Antara lain kapitang
dari negeri Latu, kemudian menggantikan nama-
nya dengan ‘Pattimurah’ (pakai ‘h’ di belakang),
karena takut di tangkap Belanda”.1717

1717
Frans Hitipew,op-cit; 9

166
Dengan menulis ‘Pattimurah,’ (pakai ‘h’ di be-
lakang), tak diragukan lagi. Hitipew adalah ba-
gian dari sejarahwan yang tak ingin nyasar di
antara keragaman persepsi.Dia tampak hafal be-
tul hubungan antara Patih-Murrah dan menjadi
‘Pattimurah.’
Dalam ulasan koran di Maluku edisi 18 Maret
1984, penulisan ‘Pattimura’ juga pakai ‘h’ di
belakang, seperti dalam judul ‘Sejarah Perjoa-
ngan Thomas Matulessy/Kapitan Pattimurah
Yang Terpendam.’1818
Kendatipun pernyataan Hitipeuw itu petunjuk
tentang Pattimura dari Latu, namun maknanya
masih berupa kode yang perlu dibongkar, karena
belum menghadirkan semua yang menggambar-
kan seorang Kapitan Pattimura sebagai muslim
sebagaimana dia akui.
Walhasil, ‘benar’ lawan ‘salah’ menjadi saling
kejar-mengejar dengan kepastian, menyusul Ka-
pitan Pattimura yang telah menjadi ikon perla-
wanan lokal bernilai universal.
Tapi, “murrah”-pattimura” sebagaimana dike-
mukakan, bagaimanapun adalah representasi
sifat ingin tahu yang besar atas apa saja yang
dilihat dan dirasakan masyarakat, yang kon-
sistenmenjaga nilai-nilai ilmu yang ia ilmui;
‘Alim.’
Pengajian tingkat tinggi seperti ilmu Tha-
reqatyang akan diuraikan di bab berikut, men-
jelaskan pula adanya kemampuan orang memi-
liki ilmu-ilmu khusus, untuk urusan khusus
yang bersifat publik. Maka, Patih-Murrah; Patti-
mura, adalah jejak verbal sekelompok pasukan
terhadap ekspresi pemilik ilmu khusus, kemu-
dian menjadi marga atau matarumah ‘Pattimura’
yang cuma berada di Negeri Latu.

1818
Koran “Nasional”, edisi 18 Maret 1984

166
Kejadian yang menopang kemunculan kata
‘murrah; pattimura’ itu mungkin kebetulan. Tapi,
kejadian dimana orang menggunakan pernyataan
murrah, ummura, immure, mimmura, mammura,
emmura, itu berlangsung terus menerus, kapan
saja, dimana saja, bisa oleh diapa saja.
Maka, ‘murrah’ disini menunjukkan standar
makna bersifat publik; tentang minat dan rasa
ingin tahu yang besar atas apa yang dilihat dan
disaksikan.
Penggunaan pernyataan murrah dan karena-
nya bahasa daerah, merupakan fakta yang ber-
langsung terus menerus dibanding kejadian yang
memunculkan sikap atau ekspresi sebagai fakta
kebetulan.
Secara intelektual, semua manusia adalah
intelektual tetapi, dalam fungsi sosial tidak se-
mua manusia adalah intelektual.19 19
Sejauh ini, dua golongan intelektual versi
Antonio Gramsci adalah intelektual profesional
dan intelektual organik.
Intelektual profesional adalah pujangga, ilmu-
wan, penulis, dan lain sebagainya.Sedangkan
intelektual organik adalah elemen pemikir dan
pengorganisasi kelas tertentu.2020
Dengan pendekatan ini, kemunculan sang
Patih dan pasukannya di muka benteng Kapa-
haha tak ada kaitannya dengan fakta kejadian
kebetulan atau fakta kejadian terus menerus.
Melainkan, berkaitan dengan peran idealisme
berjuang. Di sini, kemunculan mereka sudah

19 19
Antonio Gramsci, Sejarah dan Budaya, terjemahan,
penerbit Pustaka Promethea, cet pertama, Desember 2000; 129-
130.

2020
Ibid...

166
berkaitan dengan minat dan rasa ingin tahu yang
besar, atas jalan keluar penderitaan yang dilihat
dan dirasakan masyarakat.
Supaya dapat mengeluarkan ide-ide cemer-
lang, mereka-mereka seperti guru, imam, pen-
deta, pujangga, penulis —yang tergolong inte-
lektual profesional— dalam proses belajar
mengajar atau kerja-kerja cerah-mencerahkan,
tidak bisa muncul secara kebetulan karena
mereka dituntut prasyarat minimal yakni, harus
memiliki data dan informasi yang banyak.
Intelektuak organik juga begitu; harus punya
keahlian.
Jelaslah; intelektual baik profesional maupun
organik, adalah dia-dia juga; sisi bayangan dari
apa yang kita sebut ‘Patih.
Bahwa kemudian orang menginterpretasikan
Pattimura sebagai sang Patih Yang Maha Murah,
ya boleh-boleh saja. Toh, ada fenomena penya-
maran dan kemungkinan pengaruh tekanan
bunyi bahasa yang menopangnya dari belakang.
Adanya fenomena penyamaran mungkin men-
jadi sebab, cerita tentang kehadiran yang mela-
hirkan sikap ekspresi para pasukan terhadap
sang Patih menjadi terputus. Apakah itu juga
erat kaitannya dengan pengetahuan tentang akar
kemunculan kata ‘Pattimura’ menjadi simpang
siur?
Meskipun perlawanan Pattimura dan pasu-
kannya terhadap Belanda terbukti cukup efektif,
namun pemberontakan rakyat Maluku terhadap
penjajah pada umumnya tidak seimbang dengan
kemampuan administrasi dan teknologi bangsa
Eropa.
Jika makna kode kebudayaan terbuka ter-
hadap sejumlah penafsiran, maka keprihatinan
kita bukan kode itu dibuka seenaknya, karena
banyak pembaca yang tidak terimbang. Tetapi,

166
kita juga patut prihatin oleh penulis profesional
yang tidak memenuhi syarat secara metodologis.
Inilah kekhawatiran yang tulus dari saya.
Meski, rasa khawatir ini sebenarnya erat sekali
kaitannya dengan penjajahan bukan saja ter-
hadap tubuh, melainkan juga terhadap pikiran
orang-orang Maluku. Akibatnya, kode yang
unggul dari budaya kita banyak yang berubah
arah.

166
Klipping korang Berita Yudha, edisi 12 Agustus 1971

166
7
Alim bin Aijran Pattimura

Bagaimanapun, Pattimura adalah seorang ula-


ma mujahid. Profilnya ini lebih sederhana, tapi
mengilhami penjelasan yang terlontar dari Hi-
tipeuw dan Leirissa.
Jika kita percaya pendapat yang menyatakan
bahwa setiap orang tua, menelurkan sifat-sifat-
nya. Atau, manusia adalah anak kebiasaannya,
bukan anak dari bapak-bapaknya seperti disetir
Ibn Khaldun. Maka dari segi pemberian gelar,
Pattimura adalah wujud kelestarian sifat dan
pembawaan hidup generasi manusia Murrah bin
Ka’ab yang sudah tak bisa diduga-duga.
Pertanyaan yang sudah lama kita tunda untuk
ditanyakan adalah; siapakah sebenarnya gene-
rasi Murrah yang namanya dilestarikan dalam
gelar?
Salah satu sumber silsilah Pattimura di Latu,
M. Saleh Wakano, secara tepat menyebut ge-
nerasi dimaksud, sebagai leluhur Kapitan Patti-
mura, adalah Chatib Nur Bathin, seorang mu-
balligh dari Irak yang tugasnya merangkap se-
bagai Panglima dan disebut ‘kapitan’ setelah
masuk ke Seram.*
Dari Chatib Nur Bathin, menurut naskah te-
tua adat negeri Latu, lahir Pohon Datuk. Dari
Pohon datuk, lahir Aijran Pattimura beristri
Amatullah.

**
Wawancara, 1999

166
Pada tahun 1777, pasangan Aijran dan istri-
nya Amatullah melahirkan seorang anak laki-laki
di negeri Latu. Masih menurut naskah tetua adat
Negeri Latu, putra mereka itu diberi nama ‘Alim;’
sebuah nama yang kelak diharapkan menjadi
seorang laki-laki yang berilmu pengetahuanyang
berguna bagi masyarakat.
Yang tak kalah penting dari ciri laki-laki Alim
adalah kemauannya yang keras, dan selalu mau
berkorban demi kepentingan orang banyak. Pen-
didikan agama Islam sudah pasti mengalir dari
leluhurnya sejak kecil.
Karena warisan pendidikan agama Islam dari
Alim Pattimura dan leluhurnya di di Negeri Latu.
Menjadi adat di Negeri Latu sedari dulu, tentang
tugas seorang imam mesjid di negeri Latu, selalu
dari marga Pattimura.
Mengingat kembali cerita nenek saya Hajjah
Zainab Pattimura, yang juga mendengar cerita
dari orang tuanya, perawakan Alim Pattimura
tidak terlalu tinggi, berambut agak panjang dan
sering dikuncir.
Setelah dewasa, Alim Pattimura kemudian
menikah dengan wanita kesayangannya bernama
Sarune Wattimury. Menurut tetua adat negeri
Latu, Sarune sang istri ini juga ikut berjuang
bersama suaminya Alim Pattimura dan pasu-
kannya menentang penjajah ke Saparua.
Dari Sarune, Alim Pattimura dikarunai sem-
bilan orang anak yakni, Haji Abdul Rachman
Pattimura, Arsyad Pattimura, Jamaluddin Patti-
mura, Subuh Pattimura, Sa’ban Pattimura, Ab-
dul Pattimura, Siti Sarah Pattimura, Maimunah
Pattimura, dan Poisina Pattimura.
Jadi, Alim Pattimura adalah nama Kapitan
Pattimura yang sebenarnya. Alim Pattimura
adalah Alim Pattimura, yang tak pernah meng-
klaim diri sebagai siapa-siapa.

166
Tak heran, Sabri Pattimura, mantan Raja
Latu, menyatakan bahwa Alim Pattimura adalah
seorang muslim taat dimana ia adalah seorang
guru mengaji, penyebar ajaran Islam. Sabri Patti-
mura di dalam artikelnya dengan tebal meng-
garisbawahi pernyataan bahwa, “Thomas Matu-
lessy adalah Pahlawan Thomas Matulessy, Patti-
mura adalah Pahawan Pattimura.”1
Apa yang ada dalam pernyataan H. Sabri
Pattimura yang terkenal dalam pandangan sifat
Alim Pattimura?
Seperti diceritakan tetua adat, namanya me-
mang tak pernah jauh dari surau dan huruf. Dari
keterangan di atas, jelas ia keturunan Arab tapi
darah Latu mengalir di tubuhnya. Setiap pagi
dan sore ia berada di surau mengajarkan anak-
anak menulis dan membaca Al-Qur’an. Ia bukan
tentara, tapi berkemampuan memimpin pasukan
militer jaman kuno di Seram, Kakehan; Alim bin
Aijaran Pattimura, tumbuh dalam keluarga pe-
nyiar agama.
Mengutip naskah tetua adat negei Latu, Alim
diangkat menjadi kapitan termuda, diantara ge-
nerasinya, dalam usia 25 tahun. Atas kemam-
puannya yang luar biasa, menghantarkan Alim
menjadi panglima perang Tiga Batang Air dalam
usia 40 tahun. Alim diangkat menjadi kapitan
termuda, mengasumsikan usia para anggota
Kakehan rata-rata di atas dua puluh lima tahun.
Alim diangkat sebagai kapitan, sebagai anggota
Kakehan dan diangkat sebagai panglima perang
juga menyelipkan asumsi penting. Yakni, kecen-
derungan penyaluran segala macam bentuk ke-
mampuannya yang sangat kuat.
Bila benar setiap momentum didorong oleh
cita-cita, harapan dan impian manusia —dan
11
Sabri Pattimura, artikel, “Menjernihkan Sejarah Pahlawan
Pattimura”, koran Suara Maluku edisi 28 Oktober 1993

166
karenanya harapan itu mewujud— makin
jelaslah Chatib Nur Bathin adalah pembawa
sumber kekuatan tersendiri bagi Alim. Pada
akhirnya, kekuatan itu menyangkut kombinasi
dorongan kuat antara tutur dan huruf.
Untuk peristiwa-peristiwa penting, masyarakat
Seram menandainya dengan kapatah. Itulah
tutur. Tapi kapatah hanya untuk setiap peristiwa
khusus. Untuk kehidupan di mana pun, ada
banyak tutur dan tidak semuanya bersifat
kapatah. Hanya ada satu hal yang mempunyai
sifat sangat otonom diantara sekian peristiwa
yang berjalan di atas keseharian. Yakni, hal-hal
biasa, peristiwa-peristiwa yang biasa, yang seder-
hana-sederhana saja.
Kalau Alim berada di surau setiap pagi dan
sore mengajarkan anak-anak menulis dan mem-
baca Al-Quran, lantas apa yang biasanya dilaku-
kan seorang pengajar, seorang guru kalau bukan
tenaga dan pikiran, teladan dan perbuatan, per-
juangan dan pengorbanan, dan setumpuk kebia-
saan lainnya dari seorang guru karena itu me-
reka, guru-guru lalu layak dinobatkan sebagai
pahlawan?
Dalam tipe masyarakat tutur, sebuah peris-
tiwa sejarah ditandai dengan kapatah. Dalam
kebiasaan diri Alim seperti mengajar, mengajar,
dan mengajar menjadikannya orang yang mengu-
bah arah sejarah. Para pembawa perubahan
itulah yang kelak disebut sebagai pahlawan.
Dalam masyarakat tradisional, penentuan
masalah apapun hampir tidak ada yang namanya
partisipasi masyarakat. Tatkala kita melihat
pengaruh Kapitan Alim Pattimura yang ditandai
dengan tunduknya Raja Latu yang akan diurai-
kan di baba berikut, atas permintaannya kepada
Raja untuk memerintahkan para kapitan dan
nitu-nitu dari tiga batang air untuk berkumpul
dalam rangka menyusun pasukan menyerang

166
Belanda di Saparua, terkandung pengertian bah-
wa Alim bukanlah warga biasa jika mau dikira.
Karena itu, di samping perlu pemahaman
utuh terhadap kondisi masyarakat setempat.
Dalam memahami sosok Kapitan Alim Pattimura
pun, tetap harus dengan melihat kebiasaannya,
kesehariannya yang tiap pagi dan sore berada di
surau. Sebab, adalah mustahil bagi seseorang
mendapatkan ide mengenai sesuatu yang tidak
diketahuinya —dan karenanya gagasan Alim
Pattimura mendatangi Raja Latu, dalam rangka
pleno adat Kakehan. Tidak tertarik pada sesuatu
yang diketahui, berarti pula tidak ada ide.
Ide adalah hasil kombinasi informasi yang
terkumpul di dalam pikiran seseorang. Ide yang
baik untuk dikeluarkan bahkan tidak ada, jika
data atau informasi yang terkumpul hanya ada
satu. Hanya orang yang memiliki minat yang
besar, rasa ingin tahu yang besar yang bisa
mendapatkan data atau informasi yang banyak.
Ide Kapitan Alim Pattimura mendatangi Raja
Latu, dan para anggota Kakehan melakukan
sidang pleno adat, pastilah karena situasi yang
menekan.
Pula, ide adalah hasil kombinasi informasi
yang terkumpul di dalam pikiran.Adalah mus-
tahil bagi seseorang atau sekelompok orang un-
tuk mendapatkan ide mengenai sesuatu yang
tidak diketahuinya.
Ibarat memisahkan batu permata dari lumpur,
membebaskan anakcucu Nusa Ina yang sedang
teraniaya di Saparua, adalah ide yang disepakati
sidang pleno adat Kakehan.Ini membawa kita
ketemu dengan syarat penting bagi seseorang
yang akan mendapat informasi yang banyak,
yakni kemampuan untuk mengamati situasi
dengan tajam.
Cara pandang seperti ini, membawa kita
ketemu dengan logika peristiwa bahwa Perang

166
Pattimura bukan kejadian yang bersifat kebetu-
lan. Pendapat yang hampir universal terkait apa
yang ada di balik rencana induk penyerangan
terhadap Belanda adalah, bahwa penyerangan
tersebut menyangkut perjuangan yang jauh lebih
luas daripada sebuah tim eksekutor yang
menyeberang lautan ke Saparua.
Untuk memahami motif perjuangan yang lebih
luas itu, ‘telusuri desa-desa pesisir’ menjadi kode
paling kuat bahwa penyerangan pasukan Kapitan
Pattimura terhadap Belanda, itu menyangkut
jihad; tradisi Kapitan Alim Pattimura yang meng-
ilmui ilmu agama, syiar Islam dan konsep
ummah bahkan konsep menghormati ulama,
mengilmui pribadi yang utuh, yang menempat-
kan derajat, martabat, dan harkat, manusia satu
dengan yang lain menjadi penjelas motif berjuang
Kapitan Alim Pattimura. Sang Patihyang memim-
pin pasukan ke benteng Kapahaha itu, adalah
Aijran, kalau bukan bapaknya Pohon Datuk,
anak Chatib Nur Bathin.
Sesudah memimpin pasukan menyerang Be-
landa di benteng Duurstede di Saparua 15 Mei
1817. Ulama mujahid detektif thareqat ini pun
menghilang, dengan pertanyaan-pertanyaan
membingungkan, hingga sekarang.
Konsekuensi dari fenomena Alim Pattimura
yang langsung menghilang adalah, wacana yang
meluas. Di mana salah satunya atau kebanyakan
adalah saling mengklaim asal Pattimura lebih
menonjol.
Sebelum Alim menghilang, dengan pertanya-
an-pertanyaan membingungkan. Ia sempat meni-
tipkan pesan kepada anak cucu tiga batang air,
supaya kekuatan dan persatuan dan persaudara-
an, laksana akar beringin melingkari batu, batu
membungkus akar beringin. Amanat itu disam-
paikan dengan kapatah; ‘Nunu pari hatu, hatu
pari nunu.’

166
Adagium tiga batang air itu, cuma beda tipis
dengan The Examplar Theory of History; sebuah
teori klasik yang berpendapat, bahwa sejarah
adalah teladan bagi kehidupan manusia, karena
sejarah mengajarkan nilai-nilai dan norma-nor-
ma yang bisa dijadikan pedoman bagi kehidupan
manusia.
Keuntungan bagi saya dari naskah tetua adat
negeri Latu adalah, fakta tentang pelaku penye-
rangan yakni para kapitan dari tiga batang air
yang tergabung dalam Kakehan. Kekurangan dari
naskah yang saya dapat juga ada; tidak ada
nama tokoh-tokoh kunci dari para kapitan itu,
untuk lebih detil setidaknya penting dalam me-
mahami profil pasukan pemukul.
Walaupun kita tak bisa membantah kekhu-
susan Pattimura dan pasukannya dalam Ka-
kehan, penalaran kita selalu berjalan untuk
mendapatkan satu gambaran umum tentang apa
sebenarnya aksi pada suatu jarak yang lebih
cepat dari cahaya.
Peristiwa 15 Mei 1817 memang bukan peris-
tiwa fisika sehingga, fokus perhatian harus kita
arahkan ke zat dan energi seperti panas, cahaya,
atau bunyi. Tapi, dalam kenyataan non-lokal,
interaksi bisa tidak menghilang karena jarak,
bisa terjadi seketika lebih cepat dari cahaya, dan
bisa menghubungkan lokasi-lokasi tanpa melin-
tasi ruang, juga sudah dibahas oleh para
fisikawan.
Mengutip J.P McEvoy, mantan ilmuwan pene-
liti yang terakhir berkarier sebagai penulis dan
wartawan; dunia bukan penampakan fenomena
lokal, tapi didukung kenyataan gaib yang tak
terperantarai dan memungkinkan interaksi yang
lebih cepat dari cahaya, bahkan seketika seperti
ditulis dalam bukunya, Mengenal Teori Kuantum.
Pada bagian akhir bukunya itu,McEvoy meng-
aitkan filsafat mistik timur seperti interaksi

166
voodoo, mitos Haiti-Afrika, sebagai contoh po-
puler interaksi dalam kenyataan non-lokasi.2
Tapi keterangan yang saya dapat dari tetua
adat negeri Latu, menghilangnya Kapitan Patti-
mura secara gaib, berkaitan dengan kehendak
bebas supaya anak cucunya tidak ikut campur
dengan metode kepercayaan Alifuru Seram. Saya
memilih percaya itu.

22
J.P McEvoy, Mengenal Teori Kuantum,Mizan, Bandung, cet
pertama, Agustus 1997; 170

166
CHATIB NURBATIN

POHON DATUK

AIJRAN PATTIMURA

KAPITAN ALIM PATTIMURA

DjamaluddinPattimura ArsyadPattimura Abdullah Pattimura SubuhPattimura H. A. RahmanPattimura Sa’banPattimura Siti Sara Pattimura MaimunahPattimura PoisinaPattim
↓ ↓ ↓ ↓ ↓
AlimPattimura NazaruddinPattimur BijimaPattimura H. DjafarPattimura
MasuaraPattimura a ZuhraPattimura Muh. SalehPattimura
BakriPattimura
Seri Pattimura ↓ SamiaPattimura IdrisPattimura

Hj.
H. Said Pattimura
SyahnurPattimura
H. H. DjafarPattimura
H. Abdul Fatah
AbdulhaerPattimura ↓
Pattimura
DjaminaPattimura H. Abdul
BalyanPattimura
IlyasPattimura LatiefPattimura
ArsyadPattimura PoisinaPattimura
KadirPattimura AdaweyaPattimura
DjaelanPattimura AtibaPattimura
AbdurraufPattimura AisahPattimura
Muhammad SalehPattimura
Pattimura IdrisPattimura

H. Abdullah Pattimura
AijaranPattimura
AlimPattimura
NurdinPattimura

M. SalehPattimura

166
8
Perintah Mejelis Adat; Kapatah
Prosa lirik yang digunakan dalam setiap
peristiwa-peristiwa tertentu, itulah ‘kapatah.’1

Amang Anairo, (Latu; kampung kecil) di dekat


kiroku, ujung Negeri Latu merupakan kampung
kecil bersuasana duka menjelang tahun 1817.
Kampung ini sedemikian kecil dan dukanya se-
hingga waktu itu sebuah jalan setapak saja su-
dah cukup. Jalan setapak itu membentang dari
kali kiroku hingga Negeri Latu.
Walaupun peristiwa Perang Pattimura itu ter-
jadi dua ratus tahun yang lalu. Kisahnya dimulai
dari amang anairo yang waktu itu berpenduduk
orang-orang Iha. Mereka, orang-orang Iha ini,
gara-gara kekejaman Belanda, harus menyebe-
rangi lautan dari Iha, pulau Saparua ke Seram,
untuk bermukim di Latu selama 87 tahun, de-
ngan raja mereka bernama Patih Sahri Pattiiha.2
Selain di Latu, sebahagian lagi orang Iha yang
eksodus itu harus berkumin di Luhu, Seram
Barat. Sedangkan mereka yang tetap tinggal di
Iha juga terpecah; separuh tetap menetap men-
jadi Iha, separuhnya lagi berpindah menjadi pe-

11
E. Wattimuri, Ny. A. Haulussy, dan J. Pentury,op-cit; 5

22
Catatan M. Saleh Wakano melalui Haji Muhammad Syaiful
Pattimura

166
meluk Kristen, dan menjadi sebuah negeri yang
sekarang bernama Iha Mahu.
Sekarang, negeri induk Iha malah sudah tidak
ada; dibakar habis rata dengan tanah. Negeri
induk Iha benar-benar sudah dibuang dari kehi-
dupan nyata di pulau Saparua. Iha telah dihapus
dari sejarah mereka, setelah menjadi korban
konflik Ambon (1999-2004).
Padahal, Iha dulunya adalah sebuah kerajaan
Islam cukup ternama di Maluku. Makanya, Pe-
rang Iha yang berlangsung selama 19 tahun
(1632-1651) di masa Portugis, karena skenario
penjajah untuk menghantam habis ketahanan
kerajaan Islam tersebut. Buktinya, setelah kera-
jaan Iha runtuh pada 1651, penduduknya pun
mengalami eksodus besar-besaran. Termasuk
yang menetap di negeri Latu dan negeri Luhu. Itu
pun sudah bukan generasi eksodus yang
pertama.
Pada saat peristiwa Perang Pattimura 1817,
jumlah penduduk negeri Latu adalah, 560 jiwa,
di bawah perintah Patih Tuha. Penduduk Ru-
mahkay, pada waktu itu, berjumlah 407 jiwa, di
bawah perintah Patti Yansen Corputty. Penduduk
Kamarian, pada waktu itu berjumlah 358 jiwa,
diperintah oleh seorang kaya bernama Anthony
Tomatala. Dan, penduduk Hatusua pada waktu
itu, berjumlah 161 jiwa, diperintah oleh seorang
kaya bernama Baltas Kartama Liring. 3
Sedangkan penduduk pulau Saparua, totalnya
dalam catatan M. Sapija, sekitar 10 ribu dari
sekitar 11 negeri di Saparua jaman itu, yang ke-
banyakan beragama Islam.4

33
Ahli waris, HM. Syaiful Pattimura, op-cit...

44
M. Sapija, Op-cit; 23

166
Nah, pasca kejatuhan Kerajaan Iha, kita seka-
rang dapat membayangkan; berapa ratus jiwa
yang ditekan pada jaman itu. Di mana dianta-
ranya harus eksodus ke Latu dan tinggal di
amang anairo, yang lambat laun, mengusik
kepekaan para muballiq yang tugasnya merang-
kap sebagai panglima.
Siapa yang bisa memastikan, kalau perla-
wanan demi perlawanan dari rakyart Saparua
dan sekitarnya terhadap penjajah sebelum 15
Mei 1817, tidak ada kaitannya dengan kejatuhan
Kerajaan Iha?
Supaya negeri Latu sebagai pintu masuk
penyiaran agama Islam di Seran Barat, tidak
menjadi korban tragis seperti yang dialami Iha.
Atau, bisul skenario penajajah yang mengerikan
tidak sampai merembet ke negeri Latu dan
sekitarnya, disusunlah rencana; Belanda harus
dihajar duluan.
Kerisauan mengenai kejahatan Belanda, mula-
mula menjangkiti Kapitan Alim Pattimura. Sang
Kapitan lalu menghadap Raja Latu, Raja Pohon
Patty. Ia meminta sang Raja untuk mengumpul-
kan para anggota Kakehan.
Dibalik permintaan Kapitan Alim kepada Raja
Latu, di suatu pelosok jiwa sang Raja Latu, juga
telah mengalir dalam darah, kebutuhan untuk
menghajar penjajah.
Terutama, karena upaya sekuat tenaga Be-
landa melakukan missi kristenisasi di Ambon
dan sekitarnya; pada tahun 1615, pendeta per-
tama dikirim dari Belanda, bernama Casparus
Wiltenz. Sesudah dia, dikirim lagi pendeta Sebas-
tian Danckers pada tahun 1618. Belum lengkap,
kalau Gubernur Jenderal J.P Coen tidak turun
tangan, melakukan dendam halus kepada pen-
duduk, pada tahun 1619. Menurut M. Sapija,
bentuk turun tangan J.P Coen di jaman itu ada-
lah, memberikan satu pound beras tiap hari ke-

166
pada tiap-tiap anak sekolah supaya masuk
Kristen.5
Maka, eksodus orang-orang Iha makin meru-
bah duka menjadi amarah. Setelah merestui
permintaan Kapitan Alim Pattimura, maka mela-
lui siwalete atau marinyo (humas) Kakehan, Raja
Pohon Patty meminta semua kapitan tiga batang
air dan nitu-nitu untuk berkumpul. Keyakinan
akan prinsip sepenanggung penderitaan hidup,
segera mewujud.
Prinsip sepenanggungan selalu memberikan
jalan keluar. Kalau kita membayangkan seutas
tali, yang diikat, dibikin menjadi semacam ruas,
sendi, maka bahasa Latu menyebut ruas-ruas itu
dengan kata, ‘bukutiro.’
Bukutiro ini, menjadi cerita kecil yang penting
dalam bagaimana melihat kearifan prilaku da-
tang berkumpul di Worinno (alun-alun Kakehan
komunikasi antar sesama anggota Kakehan, un-
tuk di Negeri Latu). Penelusuran saya di Latu
menjelang buku ini dicetak, bahwa anggota Ka-
kehan mendapatkan informasi untuk berkumpul,
itu melalui Siwalette.
Cara Siwalette menyampaikan informasi kepa-
da para anggota Kakehan, adalah, dengan memo-
tong setiap ruas tali yang disebut ‘bukutiro.’ Be-
rapa jumlah bukutiro yang sudah dipotong, itulah
jumlah undangan yang sudah beredar kepada
para anggota Kakehan.
Tali yang dibikin ruas,bukan tali nilon seperti
yang dijual di pasar. Tapi dari serabut hitam
yang menyelimuti bagian atas pohon serbaguna
55
Ibid; 17; Kalau di atas saya pakai istilah ‘dendam halus,’
karena saya pernah dengar sebuah cerita, J.P Coen, sang pendiri
Batavia, membawa kebencian dan dendam setengah mati
terhadap orang Maluku. Sebabnya, kapten kapal yang dulu
membawanya ke Maluku sebelum ia diangkat menjadi Gubernur
Jenderal, tewas dibunuh oleh penduduk lokal dalam dalam
sebuah negosiasi.

166
yang kita kenal dengan enau, atau aren (gomuti
palm). Mengenai jenis tali ini, bahasa Latu me-
nyebutnya ‘lahuwo.’
Melalui ‘undangan lahuwo,’ para ksatria
Kakehan itu pun datang. Di Worinnno12 Mei
1817 mereka berkumpul. Hari itu, dengan tenang
mereka duduk, menantikan perintah dari Ka-
pitan Alim Pattimura, yang saat itu dikawal oleh
dua kapitan Riring bertalenta luar biasa, yakni
Kapitan Namaransaria, dan Kapitan Waenoho.
Karena kapatah digunakan dalam setiap peris-
tiwa-peristiwa tertentu, seperti upacara penguku-
han hubungan persaudaraan antar kampung
yang disebut ‘pela’, atau upacara perkawinan.
Dan, pleno adat Kakehan, persiapan perang, si-
tuasi peperangan, kemenangan dalam peperang-
an juga termasuk peristiwa penting.
Maka, dalam pleno adat, Kapitan Alim Patti-
mura menyampaikan maksudnya, dengan ka-
patah;
“Ite pusue pitane au selu pusumi,
Au lupu pusumi pitane tua nitu-nitu mei ete,
meire ena au betee pitane-pitanetua nitu-nitu,
Itere wane behe wawaliomalauSapanorua,
Walando iyonoko, au bete behe pitane
tua nitu-nitu iraa ite eu parang ai sire,
au tumata ilae waeu ai imi.”
|”Para Kapitan, dan nitu-nitu yang saya hor-
mati, maksud saya kumpulkan para kapitan dan
nitu-nitu ditempat ini, untuk menyampaikan sesu-
atu kepada saudara-saudara.
Sekarang, kita telah mengetahui, bahwa, sau-
dara-saudara kita di Saparua, sangat susah, ka-
rena disiksa dan ditindas oleh Belanda. Jadi,
saya perintahkan saudara-saudara kapitan dan
nitu-nitu, agar semua bersiap, untuk berangkat ke
Saparua, berperang melawan mereka, dan saya
sendiri adalah sebagai pemimpin pasukan.”

166
Antusiasme Kapitan Alim Pattimura juga di-
sambut dengan antusias oleh semua ksatria
Kakehan. Hari itu, Worinno menjadi saksi akan
sebuah perencanaan pembalasan kekejaman
Belanda. Tujuan dan rasa kebersatuan dalam
satu pasukan, telah tercipta.
Semangat yang mewujud dengan cepat, harus
cepat pula merangkum semua yang dibutuhkan.
Mulai dari hari keberangkatan, hingga penentuan
jenis kendaraan yang akan digunakan. Dan,
tanggal 15 Mei 1817, itulah waktu penyerangan
yang ditetapkan. Selain itu, juga menelurkan
keputusan tentang rakit sebagai kendaraan yang
akan dipakai.
Yang dilakukan Kapitan Alim Pattimura sete-
lah pleno Kakehan di Worinno, adalah menem-
patkan tekad para kapitan dan nitu-nitu bulat-
bulat dengan sasaran utama menyerang Belanda
di Saparua.
Kendatipun Kapitan Alim Pattimura adalah
panglima perang tiga batang air, Tala, Eti dan
Sapalewa, namun ia tidak serta merta langsung
menjadi pemimpin pasukan, atau menjadi pang-
lima perang ke Saparua. Kepastiannya masih
merupakan hasil perhitungan yang hati-hati.
Pesona inisiasi masih membayang di benak para
kapitan, anggota Kakehan yang lain; apakah Alim
Pattimura mampu menjadi panglima perang ke
Saparua atau tidak.
Bekas batu bertuah yang terbelah di sebuah
lokasi bernama Lahatuni, umpamanya. Atau
sebuah bekas jalan raya yang juga terbelah jadi
jurang di daerah yang sama. Itulah jejak Kapitan
Alim Pattimura, ketika ia masih harus diuji
kesaktiannya, sebelum diangkat menjadi pangli-
ma perang 15 Mei 1817 di Saparua.
Amoullo,adalah nama sebuah tanjung sekitar
enam kilometer arah barat dari Latu.Lahulahu,
adalah nama sebuah tempat yang terletak antara

166
Wasa dan Pia, Saparua. Kohu, juga; nama se-
buah tempatdi Saparua.
Ketika penyerangan itu benar-benar akan di-
laksanakan, dengan rakit yang sudah disiapkan.
Sementara kita harus melihat apa yang meno-
pangnya dari belakang, untuk mengetahui ke-
munculan nama sebuah obyek.
Suasana berubah sesaat sebelum berangkat.
Ada unsur khusus; musteion dalam pesona yang
menggerakan tekad mereka di Amoullo. Di sini,
mereka diam, membisu, menutup mulut. Mereka
berdoa. Karena kebisuan itu, obyek itu kemudian
dinamakan Amoulo, yang artinya ‘membisu.’
Sebelum kebisuan tiba, Kapitan Alim membagi
pasukan perang atas empat kelompok, menjadi
semacam SSK (‘satuan setingkat kompi’), yang
masing-masing di pimpin oleh empat mawenno,
yaitu mauwe Salaputa, mauwe Hunteru, mauwe
Hataanno, dan mauwe Siaana. Berangkatlah me-
reka.
Dengan kapatah, Kapitan Alim Pattimura pun
berkata;
“Huturua,huttoru, Tala, Eti, Sapalewa,
Mi saa, lehi sawa, Sapanorua, hariyooo…”

|“Duapulu, tigapuluh, dengan semangat Tala,


Eti, dan Sapalewa, naik, naiklah, untuk menuju
ke Saparua…”
Antara Wasa dan Pia, pasukan Pattimura pun
mendarat. Di sini, pasukan Kapitan Pattimura
dijemput oleh Kapitan Akay, seorang kapitan dari
Kulur.
Selanjutnya, Kapitan Akay membawa jalan
bagi pasukan Pattimura dari momolonno (kegela-
pan) ke Lahulahu.
Setiba di tempat itu, para pasukan beristira-
hat sejenak sambil menyantap perbekalan. Kare-

166
na mereka menyantap perbekalan seadanya,
tanpa lauk, Kapitan Alim pun berkata;
“…me ku ane lahu-lahu nia”.
”Mari kita makan seadanya saja”.
Atas peristiwa itu, lokasi tersebut kelak dise-
but dengan nama Lahu-lahu.’
Kendatipun mereka makan seadanya, lahu-
lahu, kesegaran baru menawarkan pikiran dan
gagasanbaru;
“…Sepuka mawane aselu lakini helereka,aselu
lakine tai helereka”
|“…Semua mawane (peramal), coba mawi
(ramal) perjalanan ini, baik atau tidak”.
Demikian, Kapitan Alim menawarkan kepada
empat orang ‘komandan ssk’ para mawennotadi,
untuk meramal perjalanan mereka.
Tapi; “Sepuka matuane aselu lakine kaiti
matuane ni”.
Demikian jawab dengan kapatah dari empat
‘komandan,’ mawenno. |“Semua ini kami serah-
kan kepada Kapitan yang mengaturnya. Kapitan
lebih tahu semuanya”.
Tak lama pikir. Suara komando Kapitan Alim
Pattimura pun menggelegar, dengan kapatah;
”Hiya,
hiya,
hiyaoo,
hiya…”

|”Siap,
siap,
siap,
semua bersiap…”

Pasukan pun bergerak menyusuri pantai. Tapi,


penyusuran yang tak lama. Kapitan Alim Patti-

166
mura meminta pasukan berhenti, dan berka-
patah;
“Pisie souwo nehere umese ni, mo se huairo
eweting, ku kohuru”.
|“Semua rencana, posisi yang sudah kita
susun, di tempat ini kita bongkar kembali.”
(‘kohu,’ Latu; ‘bongkar,’ membongkar’).
Dengan semangat, pasukan kembali bergerak
menuju kota Saparua.Memang, semua serba
pengujian.
Bukan hanya Kapitan Alim Pattimura yang
ditantang kesaktiannya seperti yang diminta di
Laha-tuni. Empat ‘komandan ssk,’ mawenno itu;
mauwe Salaputa, mauwe Hunteru, mauwe Hata-
anno, dan mauwe Siaana, pun diminta menun-
jukkan kesanggupan mereka.
Kali ini benar-benar seperti akrobat; masing-
masing mawenno menghentakan kaki ke tanah.
Serentak, kaki mereka pun masuk ke tanah
sampai mata kaki.

Manawa Kabaressy
Untuk meyakinkan tekad pasukannya, Kapi-
tan Alim Pattimura lagi-lagi melakukan hal yang
sama; menghentakan kaki kanannya. Maka,
terjadilah longsor. Tempat itu pun berubah jadi
sebuah lubang besar menganga lebar.
Melihat kejadian itu, Sarune, istri Kapitan
Alim Pattimura yang selalu setia menemani dan
ikut bersama pasukan, dengan senyum bangga
menyatakan;
“Yale manawa kabaressy, u makana we hatu-
manawa.”
|”Kamu adalah laki-laki perkasa, keras seperti
batu laki-laki”.
Tampaknya, tugas berat menanti pakar geolog
untuk meneliti struktur tanah yang bebatu cadas

166
itu. Sebab, jika digali dengan besi baja sekalipun
tampak sulit untuk masuk, seperti diakui Sabri
Pattimura dalam artikelnya “Menjernihkan Seja-
rah Pahlawan Pattimura”1
Terjawab sudah, asal kata “Kabaressy” yang
sering dipakai. Sesudah itu, yang terjadi adalah
pergerakan pasukan, mendekati benteng Duurs-
tede.
Formasi penyerbuan makin siap. Tapi keda-
tangan pasukan mulai diketahui penjajah Be-
landa. Begitulah kalau sudah ketahuan. Dari
dalam benteng, senapan, meriam, mulai memun-
tahkan peluru.
Dalam hujan peluru yang hebat, Kapitan Alim
Pattimura berdiri di depan sambil membentang-
kan kedua tangannya, Kapitan Alim Pattimura
terus memberi komando;
”Lawa-mena Ohulala”*
|”Lari ke depan, tumpahkan darah”.
Bahkan, dengan semangat tiga batang air,
agar tekad pasukan bisa menembus benteng,
Kapitan Alim Pattimura pun berkapatah;
“Hiti
hiti,
wailateru,
hala,
halawailateru.
Hiti sala lesiau,
hala, sala lesiau.
Ture ture, halae, halae ee.
Yau wahitilotomina,
yau mi halahalemuri.
Yupa, yupa lee,pasalori, lori ee.
Hitie, hiti ee,
hala e,
hala ee.
Hiya,
hiya,

166
hoy, hoy,
hiyooo…”

|”Angkat, angkat tiga batang air.


Pikul, pikul tiga batang air.
Siapa angkat lebih dari saya,siapa pikul lebih
dari saya.
Hantam, hantam, pikul, pikul.
Saya pikul di depan,kami pikul dari belakang.
Potong, potongmereka.
Guling, guling mereka.
Angkat, angkat, pikul, pikul,
Maju…maju…maju terus.”
Dengan kapatahdi atas, semangat pasukan
yang hanya bersenjatakan parang, seperti memi-
liki elektromagnetik, dan menjadi retrograde bagi
Belanda.
Kapitan Alim bahkan berhasil meloncati din-
ding benteng yang tinggi, dengan teriakan;
“…Yau lesini”
|”…Saya telah menang…”
Mengetahui Kapitan Alim telah berada
didalam benteng, semua pasukan pun
menyerang masuk dengan kapatah;
”Matuane lessy ooo”
|”Paitua sudah menang…”

Tak ada waktu yang terbuang. Terjadilah per-


tempuran sengit. Yang tak bisa ditutu-tutupi,
adalah Belanda harus membayar ongkos dengan
mayat serdadunya, bergelimpangan dimana-
mana.
Sedangkan yang lain melarikan diri dengan
tali peluncur melalui tembok belakang.Vini vidi
vici(datang, berjuang, menang), bagi pasukan
Pattimura. Dan, vini vidi mati bagi pasukan
Belanda.

166
Penemuan Putri
Mayat-mayat tentara Belanda terkapar di-
mana-mana. Di dalam hati Serune, istri Kapitan
Alim merasa bahwa ini belum beres. Harus ada
bukti bahwa Belanda memang sudah dilumpuh-
kan. Serune, pun berkata kepada Kapitan Alim
Pattimura, suaminya;
“Ufe parentah, betau ufitane salaluwo ena ehe
usutase walanda bey parang mene ite supuwo”:
|”…perintahkan, adakan penyelidikan ke
asra-ma Belanda, mungkin kita akan
menemukan sesuatu hasil daripada peperangan
ini…”
Seketika itu, Kapitan Pattimura segera meme-
rintahkan Kapitan Namaransaria, dan Kapitan
Waenoho, untuk menyelidiki seluruh isi asrama.
Begitu dua pengawal Kapitan Alim itu masuk ru-
mah Residen Van den Berq, ternyata sang Resi-
den dan istrinya sudah tak bernyawa.
Tetapi apa yang sebenarnya bikin dua kapitan
ini penasaran, adalah diketemukan satu peti di
sudut kamar.
Segera setelah dibuka, peti itu berisi seorang
bayi perempuan yang masih hidup. Dialah si
orok, Jeane Lubbert Van den Berq, putri Residen
Belanda di Saparua. Atas temuan itu, pengawa-
san makin ditingkatkan.

“Saya Thomas...”
Kapitan Waenoho mengawasi peti, sementara
Kapitan Namaransaria meneruskan penggeleda-
han. Di salah satu sudut kamar, Kapitan Na-
maransaria tiba-tiba terperangah oleh sesosok
laki-laki yang bersembunyi. Tiba-tiba, “…Yale-
sei”?|“Siapa kamu,” tanya Kapitan Namaransaria
dengan pedang kepada laki-laki tersebut.

166
Dengan rasa takut yang luar biasa, laki-laki
itu pun menjawab, “Saya Thomas”. Dan, Kapitan
Namaransaria kembali bertanya, “Kamu Thomas
Belanda”? “Tidak”, jawab laki-laki itu. “Saya
Thomas, babu residen Van den Berq”
Mendengar jawaban itu, Kapitan Namaransa-
ria langsung memegang leher Thomas untuk di
eksekusi. Serentak, Thomas meminta ampun
berkali-kali.
Thomas pun tidak jadi dibunuh. Setelah ke-
dua Kapitan itu membawa Thomas dan putri
Residen Van den Berq menghadap Kapitan Patti-
mura, justru Kapitan Pattimura memerintahkan
agar Thomas harus dibunuh.
Mendengar keputusan tersebut, Thomas pun
menangis, memohon ampun sambil bersimpuh di
lutut Kapitan Pattimura.
Atas kemurahan Kapitan Pattimura, Thomas
pun diampuni, tetapi dengan syarat; malam itu
juga, Thomas harus melakukan tabaus (berte-
riak) dengan suara lantang sambil berjalan me-
ngelilingi kota Saparua, dengan teriakan;
“…Matuwane Lesi Manawa Kabaresi; Kapitan
Alim Pattimura…..”
| ”Paitua telah menang; Laki-Laki Perkasa
Kapitan Alim Pattimura”.
Memang, tidak ada petunjuk pasti yang me-
nyebutkan bahwa Thomas yang diampuni Ka-
pitan Alim Pattimura pada saat itu adalah
Thomas Matulessy.
Namun yang pasti, pekikan itu dilakukan Tho-
mas dengan keras, disepanjang jalan. Tapi itu
hanya pembebasan sesaat, hanya pekikan sesa-
at.
Sebab, begitu beberapa tentara Belanda yang
lolos memergoki Thomas sedang tabaus, iapun
ditangkap. Thomas dituduh penghianat Belanda.

166
Malam itu juga Thomas digiring ke Haria dengan
menggunakan obor sebagai penerang jalan.
Kelincahan Kapitan Alim Pattimura memimpin
pertempuran, serta kemurahan hatinya menyela-
matkan Thomas dan sang Putri, ia pun digelar
dengan “Kapitan Pattimura Kabaressy,” (Kapitan
Pattimura yang Perkasa).
Setelah mendengar laporan empat mawenno
yang diperintahkan Kapitan Alim untuk mencari
Thomas, memang Thomas sudah ditangkap Be-
landa. Tapi masih ada beberapa serdadu Belanda
yang ngumpet di sebuah gunung. Malam itu juga,
Kapitan Alim pun kembali menyiapkan pasukan.
Sasaran kali ini adalah gunung itu, “gunung
perkadel”.
Dengan kapatah;
“…Sahu Ria,Sahu Rau, Henane, Heyale, Lawa
Mena Ohulala…”
|“…Loncat ke darat, loncat ke laut, kiri,
kanan, maju kedepan, tumpahkan darah…”
Selesai membereskan beberapa serdadu Be-
landa termasuk Mayor Betjes yang ngumpet di
gunung itu. Malam itu juga, pasukan Kapitan
Alim kembali ke benteng duusrtede. Tapi mereka
berada di benteng tidaklah lama. Sebuah kapal
muncul dari arah selatan menuju pelabuhan
Saparua. Akan ada serangan balasan? Itu sudah
pasti. Segeralah, pasukan bergegas meninggal-
kan benteng. Mereka berjalan menyusuri pantai,
dibalik pohon-pohon. Setelah mengetahui di-
mana kepastian kapal itu akan mendarat, for-
masi pun disusun. Kemudian, terdengarlah
kapatah;
“…Hutulua, hutelu, pailei, impele, lawamena
ohu-lala…” |”Dua-puluh, tigapuluh, disana pele,
disini pele, lari kedepan, tumpahkan darah…”

166
Serdadu Belanda yang turun dari kapal itu
pun diserbu. Sebahagian tewas, sebahagian lagi
naik ke kapal dan melarikan diri.
Sekarang, berbeda dengan semangat dan
kemampuan pasukan Pattimura yang sebelum-
nya seperti elektromagnetik. Kini mereka mulai
lelah. Terlebih lagi, sang putri Residen yang di-
gendong oleh Serune.

Waesisil
Sekarang, bukan hanya kemenangan pasukan
Pattimura terhadap Belanda yang penting untuk
dicatat. Kemunduran fisik mereka sesudah itu
pun mempertanda akanada peristiwa penting.
Ketika sang putri Residen yang kehausan makin
manjadi hirauan Serune, Kapitan Alim pun
berkata;
“…U berdoa do’a we Allah, u sisi haturo tua
mu lopuro, waelo e hoka...”
|“…Berdoalah kepada Tuhan, dan cungkil
batu itu, air akan keluar…”

Atas peristiwa itulah, tempat tersebut dinama-


kan Waisisl: Wai artinya “air”, dan ”sisil”, artinya
“cungkil”. Dari Lahu-lahu, kini pasukanmulai
kembali ke Latu.

Rinalo...Rinalo...
Dalam ayunan dayung di laut yang tenang,
udara yang sejuk, mereka, para brigade Ana
Manawo mulai mengumandangkan kapatah;
“Rinaloo…rinalo,
Yamasai, rinalo..
Rinambutiya, rinalo..
Heloke, manutaranno, tara yaru, leu emaoo…
Manu rusinya rusia yaru leu emaoo...
Yale matam buti buti tau eselu yamie,
yale mata, mata mete tau eselu yamie

166
|“Menang…menang…
Kami kembali dengan kemenangan…
Kami bagaikan burung talang, yang terbang
bebas di angkasa…
Atau burung siang yang terbang dengan gagah
perkasa…
Walaupun kamu dengan senjata, tak dapat
mengalahkan kami…
Lebih dari itu pun, tak mampu memenangkan
kami…”
Mungkin karena menyadari, bahwa sekalipun
akan ada tepuk tangan yang menyambut keme-
nangan mereka. Namun tidak semua rasa ke-
menangan itu bisa harus dibawa pulang.
Setiap ada missi, di sana ada resistensi. Mere-
ka tampak memperhitungkan kekejaman Belan-
da terhadap anak cucu mereka, kelak. Itu me-
nampak dalam sebuah kapatah sebelum tiba
diLatu. Kapatah ini dikumandangkan berulang
kali;
“ Nusa oo, nusa oo…
Nusa Ina ,Ina oo…
Nusa, sama ria…
Nusa Ina, Ina oo…
Nusa sama lepe…
Nusa leku, lekuno oo…

“Oh pulau, puluku…


Pulau Ibu, pujaanku…
Di tempat ini aku bersumpah
Oh pulau, pulauku tercinta…
Dipangkuanmu, rahasia selalu kututup.
Bila terbuka, hukuman pulau
Pasti berlaku padaku…”
Setelah tiba di negeri Latu, para amano-puny
beserta semua warga sudah menunggu di balai
desa, memperlihatkan gelombang rasa lega dan

166
bangga. Kapitan Alim Pattimura dan pasukannya
pun disambut dengan kapatah;
“…Niwele…nau wele ooo..
Ina hena…Latu ooo...
Waeriomo…Waekumba…
Rumaee… lee sane...
Waekumba ruma kata eee, kata siolo...
Kata rahi eni kata ee siolo sanee”

|”Saudara-saudara tersayang…
Aku adalah sebagai orang tuamu…
Aku menerima saudara-saudara…
Kemudian kujaga bagaikan sekumtum bunga,
dalam rumah…
Sebagai tuan rumah, aku hanya menyampai-
kan sio kasiang…
Atas pengorbanan saudara-saudara dalam
peperangan…
Kasihan…kasihan…apa mau dikata…”
Usai acara penyambutan tersebut, Putri Re-
siden Van den Berq pun diserahkan kepada Raja
Pohon Patty, disertai satu kain merah putih
ukuran sekitar duapuluh meter, satu kayu kain
bermotif manusia dengan ukuran yang sama,
dan satu buah kimono. Beberapa bulan
kemudian Kapitan Alim Pattimura pun menghi-
lang.
Kata-kata terakhirnya kepada para kapitan
dan nitu-nitu dari tiga batang air, adalah;
”…Nunu pari hatu, hatu pari nunu…”
|“…Keutuhan Waehata Telu, tiga batang air;
Tala, Eti, dan Sapalewa, laksana akar beringin
membungkus batu, atau batu membungkus akar
beringin…”
Teori-teori sejarah bahasa mungkin telah
mempertemukan hubungan antara gaya bahasa
dengan kondisi kekinian. Tapi, dalam kesempa-
tan ini, saya ingin menyatakan bahwa untuk
situasi tertentu, kapatah memiliki peranan sen-

166
tral dalam kehidupan nenek moyang Alifuru
Seram.
Dalam situasi genting, kapatah menjadi Peng-
hubung antara komandan dengan pasukan. Ini
berarti, kapatah merupakan salah satu peng-
gerak kebangkitan semangat pasukan perang.
Kapatahtelah memberikan daya dorong yang
bersifat membebaskan. Karena itu, variabel-va-
riabel penting untuk menopang kesinambungan
nilai-nilai tradisional semacam ini, membutuh-
kan cara pengisolasian secara lebih serius.
Demikian pula sidang majelis adat Kakehan,
yang dilaksanakan atas perintah majelis adat tiga
batang air.
Jika para anggota Kakehan tidak memperli-
hatkan persetujuan mereka menyerang Belanda,
bahkan, jika Kapitan Alim Pattimura tak mampu
membuktikan kesanggupannya ketika kesaktian-
nya diuji, sebelum menjadi panglima perang,
barangkali tak akan ada istililah Kapitan Patti-
mura
Persetujuan Kakehan merupakan bentuk
penggunaan kekuasaan adat atas peristiwa 15
Mei 1817 secara bersama-sama, tidak sepihak
atau semena-mena.
Kalau hak dan otoritas Kakehan datang dari
kapitan-kapitan tiga batang air, yang secara adat
menginstruksikan perang. Maka, kekuasaan
kapitan-kapitan telah dilimpahkan kepada para
anggota Kakehan.
Kalau sudah mendapat persetujuan para
anggota Kakehan, peran anggota Kakehandi sini
memiliki keabsahan untuk menjadi korektor
pelaku penyerangan Perang Pattimura.
Menyibak fakta Kapitan Pattimura berarti me-
luruskan nilai peristiwa berjalan menurut arah.
Jika jejak pra dan pasca peristiwa merupakan

166
dua sisi dalam satu keping mata uang yang tak
terpisahkan sebagai fakta. Maka, negeri Latu
memiliki hubungan paling kuat dalam menjelas-
kan fakta peristiwa Perang Pattimura; di sini, ada
bukti jejak para pelaku penyerangan. Ada bukti
yang didapat sesudah perang yakni pemeliharaan
putri residen Belanda. Dan, ada bukti surat
keputusan atau besluit dari Pemerintah Kerajaan
Belanda yang memberikan penghargaan kepada
Raja Latu karena penyelamatan dan pemelihara-
an sang putri tersebut.
Adanya fakta keterlibatan para kapitan tiga
batang air dalam drama penyerangan 15 Mei
1817 dan, fakta pemeliharaan putri Residen
Belanda di Latu. Maka, pemahaman selama ini
wabilkhusus tentang klaim asal Kapitan Patti-
mura, dikarenakan fakta-fakta ini belum ter-
ungkap.
Sekalipun orang boleh beranggapan bahwa
cukup banyak hal yang di tambah-tambah dalam
sejarah Perang Pattimurayang memang ada, se-
perti halnya banyak yang diada-adakan dalam
cerita tentang Thomas Matulessy yang belum
tentu ada. Namun, tak di ragukan lagi di sini;
Perang Pattimura adalah peristiwa yang berjalan
atas perintah sidang majelis adat Kakehan.
Kolaborasi kapitan-kapitan tiga batang air
merupakan wujud energi fitrah solidaritas. Mes-
kipun ada kejahatan Belanda yang hebat, kita
mungkin meragukan terjadinya Perang Pattimu-
ra, jika tak ada energi solidaritas yang mewujud
dalam kolaborasi kapitan-kapitan.
Kita bahkan lebih ragu lagi dengan kolaborasi
kapitan-kapitan, kalau tidak ada nilai-nilai yang
dijunjung tinggi yang tak pernah dihiraukan
ongkos dan kegunaannya.
Jika keputusan-keputusan monumental yang
merubah kondisi hanya bagi mereka yang me-
miliki derajat moral; jika agama disebut sebagai

166
sumber nilai paling kaya dalam sejarah; jika
manusia biasa belum ditakdirkan untuk mampu
melahirkan kapatah-kapatah; maka nilai-nilai
yang terkandung dalam Kakehan merupakan
contoh yang menjelaskan mata rantai respon
budaya lokal, terhadap hak universal; menje-
laskan mata rantai respon kaum intelektual tra-
disional terhadap berbagai bentuk penindasan.
Intelektual tradisional yang sudah pasti berasal
dari bukan mutasi ras tunggal seperti halnya
mereka bukan dari periode sejarah tunggal.
Mereka benar. Tiga ahli bahasa itu; E. Watti-
mury, Ny. A. Haulussy, dan J. Pentury. Hasil
riset mereka soal bahasa orang Seram Barat yang
bukan hanya dari bahasa Alune tetapi juga
bercampur dengan bahasa Wemale, tak terban-
tahkan.
Lihat kapatah-kapatah para kapitan, mulai
pleno adat hingga aksi heroiknya. Bahwa pe-
nyerangan 15 Mei 1817 itu melibatkan suku
Alune dan Wemale sekaligus, seharusnya tidak
mengherankan.
Kapatah-kapatah yang dikemukakan dalam
perang 15 Mei 1817 semenjak pelono Kakehan
12 Mei 1817 di Worinno, cukuplah menjadi ala-
san untuk menyatakan bahwa kapatah bukan
sekedar kidung tradisional tetapi sekaligus meru-
pakan alat komando untuk menyemangati tekad
pasukan, dan memenangkan perang.
Bukan hanya alat dalam pengertian komando,
tetapi alat dalam arti fungsinya, yang dibuktikan
dengan tempat-tempat seperti yang di Lahatuni
atau, di Waesisil.
Demikian halnya jejak-jejak yang ditinggalkan
itu, bukan saja jejak dalam arti hasil akrobatik,
tetapi juga kepastian arah jalannya kesanggupan
manusia dengan alam sekitar. Itulah yang men-
jadi ikon kepahlawanan Maluku yang tercermin

166
dalam kata-kata seperti ”Kabaressy”, atau ”Lawa
Mena Ohu Lala”.
Adanya bekas batu bertuah, atau jalan raya di
Lahatuni yang terbelah, mungkin menempatkan
Kapitan Alim Pattimura dalam posisi utama ka-
rena cerita tentang uji kesaktian dan batu ber-
tuah itu memang ada.
Latar belakangnya sebagai seorangf muballiqh
merangkap panglima, juga menempatkannya pa-
da posisi paling tepat untuk memimpin pasukan
Kakehan sebagai pasukan pemukul di Saparua.
Ketika Kapitan Alim Pattimura dicoba diubah
menjadi alias untuk kepentingan golongan ter-
tentu, hasilnya tak lain kecuali karikatur tentang
bom waktu. Karena, sebagai seorang pejuang
yang berprinsip, nilai pembebasan yang telah
diperjuangkannya jelas tidak bisa diuji hanya
dengan bukti-bukti pragmatis.
Keputusan Presiden RI nomor 078/TK/1973
yang menetapkan Thomas Matulessy alias Kapi-
tan Pattimura, itu bukti pragmatis.

166
Pertempuran Waisisil

166
9
Penyerahan Putri

Dalam karyanya Maluku Dalam Perjuangan


Nasional Indonesia, R.Z Leirissa menulis;
“Di antara penghuni benteng itu, hanyah seo-
rang anak kecil yang diselamatkan oleh Matu-
lessy sendiri.”1
Karena tidak disebutan siapa anak kecil yang
diselamatkan itu, laki atau perempuan, siapa
namanya, bagaimana proses penyelamatannya,
adakah bukti pemeliharaan jika Matulessy yang
menyelamatkan; kita menjadi tidak mengerti
dengan baik, karena cerita soal anak kecil yang
diselamatkan itu tidak dengan panduan fakta
yang memadai.
Sekalipun fakta pemeliharaan anak kecil itu
akhirnya berada di Negeri Latu. Hanya beberapa
orang yang tahu, kapitan siapa yang pertama kali
menemukan anak kecil itu. Mereka yang tahu itu
adalah para tetua adat Negeri Latu;
“Keduanya diperintahkan untuk menuju rumah
residen Van den Berq. Setelah mereka sampai di
11
Lihat R.Z Leirissa; Op-Cit...

166
rumah residen, mereka jumpai residen dan istri-
nya sudah tak bernyawa. Mereka terus melang-
kah masuk ke dalam kamar rumah residen dan
pada sudut kamar tersebut, tampak oleh mereka
sebuah peti. Mereka segera menghampiri peti ter-
sebut dan membukanya. Ternyata isinya adalah
seorang putri residen yang masih hidup,” seperti
ditulis dalam naskah tetua adat Negeri Latu.”2
Keduanya yang dimaksudkan itu adalah Ka-
pitan Namaransaria dan Kapitan Wainoho. Dua
kapitan bertalenta ini adalah pengawal Kapitan
Pattimura.

Tarik-Ulur Penyerahan Putri


Setelah diselamatkan, sang putri kemudian di-
bawa ke Negeri Latu. Selanjutnya dipelihara
olehkapitan Simele dan kapitan Otaa, di suatu
lokasi di belakang negeri Latu. Lokasi itu ber-
nama Tapire-wony. “Tapire” dalam bahasa Wema-
le artinya “putri”.
Kapitan ini, sebenarnya perwakilan dari tiga
batang air, Tala, Eti, dan Sapalewa. Setelah di-
pelihara hingga usia tujuh tahun, putri itu pun
dijemput oleh Pemerintah Kerajaan Belanda pada
tahun 1824. Melalui de Kock, jenderal Belanda
yang waktu itu berkedudukan di Masohi, serah
terima sang Lady, Puane, dari Raja Latu, Ahral
Patty, kepada Belanda pun diteken.
Mengutip keterangan Haji Daud Pattimura,
besluit itu diteken dengan tulisan Belanda oleh
Jenderal de Kock, dan diteken oleh Raja Latu
dengan tulisan Arab.
Dalam proses penyerahan sang putri. Ada dua
unsur khusus di sini; pertama, Belanda mem-
berikan ultimatum kepada Raja Ahral Patty.

22
Naskah tetua adat Negeri Latu,Terbukalah Sejarah Asli
Kapitan Pattimura Dan Perjuangan Anak Cucunya, 20 Juni 1980;
13

166
Bahwa seekor ayam pun tak kan terlihat ber-
keliaran di negeri Latu jika sang putri tidak se-
gera diserahkan.
Kedua, leher, tangan, dan kaki sang putri
ketika diserahkan; dikalungi pisang susu, telur-
telur ayam dan kentang.
Terhadap unsur pertama, ada dua pendapat;
yang satu menyatakan putri diserahkan karena
hasil negosiasi antara Raja Ahral Patty dengan
kapitan Simele. Pendapat satunya lagi menyata-
kan putri diserahkan karena permohonan terus-
menerus dari saudara perempuan Simele yang
kawin dengan matarumah Wakano, bernama
Khatib Patikuna.
Yang pasti, tarik-ulur penyerahan sang putri
di sini dikarenakan status kepemilikan sang
putri waktu itu; milik pelaku penyerangan 15 Mei
1817 yang notabene adalah para kapitan tiga
batang air.
Terhadap unsur kedua; pisang susu, telur
ayam dan kentang yang mengalungi leher, ta-
ngan dan kaki sang putri saat diserhakan, men-
jelaskan; para pasukan penyerangan 15 Mei
1817 adalah para patih, para kapitan dari tiga
batang air tetapi diantara mereka masih ada
yang beraliran animisme.
Selain bukti besluit dari Pemerintah Kerajaan
Belanda kepada Raja Latu. Ucapan terimakasih
juga disertai satu kain berwarna putih merah de-
ngan panjang sekitar 20 meter. Dan satu kain
bergambar manusia berukuran sama dengan
kain putih merah. Dan satu buah kimono.
Manusia dapat dikelabui dengan kata-kata,
tetapi Jeane Lubbert Van den Berq yang di-
selamatkan dan dipelihara di Latu adalah ke-
nyataan yang tak dapat berbohong. Di jaman itu,
putri ini disebut “Puane”. Itulah kenyataan yang
penuh kesunyian. Memang, ada yang mencerita-

166
kannya, tetapi sebagian dari kebenaran cerita itu
pada akhirnya terbenam dalam rahasia mereka,
pelaku yang sebenarnya. Kita menggali nilai pe-
ristiwanya, selalu bergantung pada ahlinya. Akan
tetapi, para ahli juga manusia biasa, daya ingat
mereka bisa saja lemah dan terbatas.
Dan, disaat kita menapak kaki zaman yang
berbeda, mendapat informasi dari generasi sesu-
dahnya, kita mewarisi persepsi baru yang lambat
laun memisahkan kita dari apa yang diketahui
para ahli sebelumnya. Ditambah dengan adanya
efek kumulatif trauma fisik, maka hak untuk
masuk dan menggali nilai peristiwanya lebih
dalam makin menghadapi kerumitan.
Dengan alasan tersebut, naskah tetua adat
negeri Latu yang baru ditulis pada akhir 1980
adalah pendayagunaan hakekat nilai keadilan
dan kebaikan yang besar.
Kesan digenggamnya erat-erat informasi ten-
tang sosok Kapitan Pattimura sebelum naskah
itu ditulis, mengingatkan kita pada representasi
sifat ajaran Kakehan yang selalu menjaga kera-
hasiaan; bagaimana meletakkan sesuatu pada
tempatnya, dan bagaimana mengeluarkan sesua-
tu dari tempatnya. Bahwa orang tua kita tidak
mau dosa sejarah turun ke anak cucu mereka,
ternyata berbau pikiran yang sangat obyektif.

166
Penyer
ahan Putri (Foto : Ilustrasi)

166
Residen Belanda Van den Berq

10
Tiga Batang Air

Sedikit ragu sebenarnya saya bicara tentang


Tala, Eti dan Sapalewa. Pertama, cerita tentang
Tala, Eti, dan Sapalewa bagi sabahagian besar
analis adalah legenda di Seram Barat. Dan
karenanya, kedua, kepercayaan terhadap legenda
melebihi kepercayaan terhadap cerita-cerita
lainya.

166
Tapi, demi hirauan para ahli sejarah dengan
metodologi mereka, fokus sorotan ini saya
teruskan. Sebab, keterlibatan para kapitan dari
tiga batang air; Tala, Eti dan Sapalewa sebagai
pasukan khusus dalam Perang Pattimura, bukan
hoax.

Tala, Eti, Sapalewa


Bagi setiap anak berdarah Seram Bagian
Barat (SBB), Maluku, tiga ruas air bernama ‘tala,’
‘eti,’ dan ‘sapalewa,’ sangat melegenda. Sedari
dulu; tala, eti dan sapalewa selalu akrab dengan
sebutan ‘tiga batang air.’
Batang air maksudnya ruas air, selanjutnya
tala dengan sebutan Talabatai (batang air tala),
Eti dengan sebutan Etibatai, (batang air eti), dan
Sapalewa dengan sebutan Sapalewabatai (batang
air sapalewa).
Talabatai, terletak di petuanan Negeri Tala,
Kabupaten SBB. Etibatai, terletak di petuanan
Negeri Eti, dekat ibukota SBB, Piru. Dan Sa-
palewabatai, terletak di daerah bagian Taniwel,
Kabupaten SBB.
Bila penggambaran peristiwa masa lalu yang
tidak punya tempat di ruang logika disebut
‘legenda.’ Maka tala, eti dan sapalewa adalah
simbol, penggambaran peristiwa masa lalu. Bagi
setiap anak cucu Seram di bagian barat, ke-
percayaan terhadap penggambaran itu sudah
turun temurun, tentang tiga batang air, ber-
sumber dari Nunusaku, yang menawarkan ke-
kuatan, ketahanan, dan kesejahteraan.
Kita dapat melihat permulaan dari apa yang
dipercaya, di pohon beringin dan pohon gupasa
yang selalu ditanam oleh para anggota Kakehan
pada setiap mereka melakukan pleno adat.
Kenapa begitu?

166
Sejak Saniry Aypasa menetapkan Kakehan se-
bagai organisasi militer, semenjak itu pula, ke-
kuatan dan ketahanan tiga batang air, selalu di-
lambangkan dengan pohon beringin atau wa-
ringin. Perlambangan dengan pohon yang disebut
‘Nunusaku.’
Dengan adanya petunjuk tentang bentuk
kepercayaan kuno di Seram, petunjuk tentang
bentuk lembaga pemerintahan adat, dan petun-
juk tentang transformasi pengalaman dari spiri-
tual ke sosial. Kita mendapat petunjuk pula,
bahwa evolusi budaya nenek moyang orang
Seram erat dibimbing oleh proses seleksi alam.
Sekalipun teori-teori geologis atau antropologis
tidak mutlak benar, kita masih tetap percaya
terhadap teori-teori itu karena sifatnya yang
rasional.
Kita boleh saja mengambil rute memutar de-
ngan mengelilingi masalah ekspresi-ekspresi;
seni, agama, hukum adat, untuk menyatakan
betapa padatnya khazanah budaya, nilai kearifan
lokal. Tapi ada suatu saat dimana kita akan
berhenti; bahwa semua khazanah budaya itu
bersumber pada watak. Dan watak masyarakat
mengisyaratkan representasi sifat kondisi alam.
Sifat orang Seram secara vertikal disebut
berakar pada keluarganya, jika tidak pada agama
nenek moyangnya. Secara horisontal berakar
pada kelompok, jika tidak pada alamnya. Dari
kacamata hukum, adat bermula dari hubungan-
hubungan itu. Dari segi fungsi, adat akan
langsung angkat bicara ketika akar hubungan itu
sedang terancam.
Demikianlah. Ketika jalur pengairan secara
fisik di Seram Barat bukan cuma tala, eti, dan
sapalewa. Maka, tiga batang air itu hanyalah
siloka, penggambaran, simbol. Apakah itu di
artikan sebagai penggambaran hati manusia,
perkataan manusia, dan perbuatan manusia da-

166
lam kehidupan nyata. Atau, diartikan sebagai
penggambaran tentang kelahiran Trio King; Latu,
Luhu, dan Lisabata.
Bahwa ada banyak seruan hukum kausal
yang terabaikan dalam kerangka memahami
cerita kemunculan Trio King, pastilah.
Tapi, di antara banyak pemikiran yang ter-
kemas, di dalam pandangan tentang tiga batang
air tetapi belum dibongkar; ada bukti verbal,
yakni kapatah: fatwa Saniri Aypasa dalam ben-
tuk Semanno kepada Latu dengan julukan Laino
Patih Tuha Iwamusole (Raja yang memerintah
dari pesisir pantai sampai ke pegunungan), ke-
pada Luhu dengan julukan Patih Luhu Siale (Raja
yang memerintah di daerah Tanjung Sial), dan
dan kepada Lisabata dengan julukan Patih Louw
Laine (Raja yang memerintah di daerah utara
Seram). Latu, Luhu, dan Lisabata adalah peng-
hulunya Tala, Eti dan Sapalewa.
Keterlibatan para kapitan dari tiga batang air;
tala, eti dan sapalewa, dalam Perang Pattimura,
karena komitmen mereka terhadap kisah yang
dipercaya.
Kita dapat menyaksikan komitmen ini, dengan
melihat apa yang sebenarnya terjadi pada struk-
tur fatwa dalam masa kejayaan Saniry Aypasa,
kepada Laino Patih Tuha Iwamusole, kepada Patih
Luhu Sialo, dan kepada Patih Low Laine dalam
bentuk kapatah, yang menunjukkan kemunculan
Trio King dibuktikan dengan satu alat panduan
teori sejarah yakni “Kapatah”.
Kapatah-kapatah dimaksud, dengan irama-
nada semanno, diungkapkan sebagai berikut;1
Kepada Raja Latu;

11
Semanno, adalah kapatah, yang lebih khusus diartikan
sebagai puji-pujian kepada para leluhur.

166
“...Nunusaku Huaikala Husa Meito, Ire Nalai
Patih Tuha. Patih Tuha Musole, Patih Tuha Laino.
Nisaniria Uhale Wailo Tala, Ire Nalai Patih Toma-
tala”
Kepada Raja Luhu;
“...Nunukaiyela Ekala Husa Meito, Ire Nalai
Patih Luhu, Patih Luhu Sialo. Nisaniria Uhale
Wailo Eti...”
Dan, kepada Raja Lisabata;
“...Nunumbutiya Ekala Husa Meito, Ire Nalai
Patih Iha, Patih Iha Laino. Nisaniria Uhale Wailo
Sapalewa.”
Pada suatu tempat dan waktu yang lain, anak
cucu Seram Barat pernah mendengar syair;
“Nunusaku sama ite, samaite waelateru”
|”Nunusaku memberi kita kepada tiga batang
air”.
Atau, kapatah yang lain;
“Henamasa ite lete Nunusaku, Nunusaku sa-
ma ite waelateru”
|”Kemarin kita di Nunusaku, Nunusaku telah
membagi kita atas tiga batang air”.
Itulah kapatah, yang diangkat nenek moyang
tiga batang air, yang mengingatkan anak cucu-
nya untuk segera kembali pada segala keputusan
yang sudah digariskan bersama, jika terjadi per-
tentangan di antara mereka.
Selain irama “kapatah”, ada juga yang di sebut
“semanno” dengan contoh “Nau wele, nau wele
oo...”
Selain kapatah dan semanno, kita juga men-
dengar “laannyo” dengan contoh, ”mabuang tetu
lete...”
Yang lain adalah “hiya hollo” dengan contoh,
”...hiya, hiya...hoo hiya...”

166
Betapa pun cerita tentang tala, eti da, sapa-
lewa yang mengalir dari Nunusaku, dianggap
sebatas oral history di mata para teoritisi-
teoritisi. Tetap saja mengandung pengenalan
latar bela-kang, pengenalan masa lampau;
tentang keper-cayaan yang memilki ciri khas.
Kemunculan cipta, rasa dan karsa, sebelum
akhirnya mewujud dalam sikap membela sepa-
ruh nilai prinsip dasar tanpa memperhitungkan
kegunaan ataupun ongkosnya, harus diakui
karena kontribusi legenda.
Kalau pemantik persaudaraan tiga batang air;
tala, eti dan sapalewa, ditafsirkan sebagai akibat
wajar dari sifat para alumni “Fakultas Peradaban
Kakehan”, maka akibat wajar itu pasti pula
karena sistem kelembagaan “Universitas Nunu-
saku”.
Kendatipun kita mempunyai cara pendekatan
yang berbeda, apa yang diwariskan para alumni
Kakehan dan Nunusaku, tetap menarik perha-
tian kita.
Kapatah yang berbunyi, ‘Nunu pari hatu, hatu
pari nunu,’ bermakna “Keutuhan anak cucu tiga
batang air laksana akar beringin membungkus
batu, atau batu membungkus akar beringin.”
Seperti yang tersirat dari kapatah itu, pasti
ada peristiwa yang menandai dimulainya sikap
kagum dan khidmat terhadap Nunusaku, sebe-
lum dimulainya kapatah, ‘Nunu pari hatu, hatu
pari nunu.’

Inna: Ina
Di dalam iklim pra peradaban, Nunusaku yang
mengalirkan tiga batang air; Tala, Eti, dan Sa-
palewa, bagi manusia kuno Seram Barat seperti
induk yang melahirkan. Dari interpretasi ini,
maka kata ‘Ina’ bukan mustahil masuk dan

166
mendapat makna untuk pertama kalinya yakni,
metafora tentang obyek yang melahirkan.
Dalam bahasa daerah orang Maluku Tengah,
Ina berarti ‘Ibu.’ Bagi yang merenungkannya,
pewaris bahasa daerah Maluku Tengah sangat
beruntung memiliki perkataan Ina karena, kata
ini tidak langsung menunjukkan keperempuanan
seperti pada perkataan ‘per-empu-an’ yang mem-
punyai arti sama; empu berarti: ‘ibu,’ ‘induk,’
‘pangkal.’
Untuk memahami mengapa kata Ina yang
muncul dan bukannya kata ‘perempuan,’ atau
kata ‘Dewi’ seperti halnya metafora tentang
obyek yang memakmurkan, menyuburkan, dan
men-sejahterakan yang sering dilambangkan
dengan Dewi Sri, kita harus mengingat saudara
sepu-punya takjub, yakni persaksian.
Sebelum kata Ina mendapat maknanya seperti
sekarang, Ina adalah sebuah kata seru yang
diucapkan sebagai pernyataan takjub. Menelaah
cerita tentang awal kemunculan Nunusaku
secara lebih mendalam, menjelaskan apa yang
dimaksud dengan pernyataan takjub.
Berangkat dari kemunculan kata ‘Nun’ sebagai
hasil kesimpulan yang ditarik atas cerita, maka
‘Nun’ muncul sebagai refleksi atas cerita tentang
obyek yang kemunculannya sangat menakjub-
kan. Ya, pohon beringin itu. Kata ‘Ina,’ muncul
sebagai refleksi atas cerita tentang kemunculan
pohon beringin yang direkonstruksikan seolah
sungguh terlihat dan sungguh berlangsung. Jika
demikian, kemungkinan terdekat akar kata Ina
adalah ‘inna,’ yang berarti ‘demi,’ ‘yang se-
sungguhnya.’
Bandingkan dengan idialeg (orang Latu) dalam
kehidupan sehari-hari; begitu melihat atau men-
dengar sesuatu yang mengagetkan, yang meng-
agumkan, yang bikin takjub, selalu dengan ka-
limat; ‘inna e,’ sungguh menakjubkan, sungguh

166
mengagumkan, sungguh mempesonakan. Sung-
guh nikmat, sungguh sakit, sungguh mati. Me-
lalui pergeseran fonem konsonan; ‘inna’-‘ina,’
sekarang berarti ‘ibu, induk.’
Dari akar katanya, ‘inna’ berkonotasi sumpah
atas adanya hubungan antara apa yang terlihat
dan apa yang sesungguhnya berlangsung, mela-
lui cerita yang direkonstruksikan. Rekonstruksi
cerita yang, bahkan menyangkut semua benda
dan peristiwa yang kontak dengan kehidupan
mereka, nenek moyang kita, seperti langsung
berbicara menyampaikan keindahan dan keta-
kutan, hidup dan kematian, harapan dan kepu-
tus-asaan, janji dan ancaman, teror dan daya
tarik, horor dan yang mempesonakan.
Citra alam yang mewujud dalam Nunusaku,
dan peristiwa-peristiwa alam dalam kehidupan
manusia saling berhubungan, walaupun pola
hubungan itu sangat kompleks. Entah kemun-
culan kata Nusa Ina yang berarti “Pulau Ibu”
berkaitan dengan tempat kemunculan Nunusaku,
atau berkaitan dengan metafora tentang obyek
yang melahirkan, atau, tidak ada kaitannya
samaskali dengan kedua hal juga menjadi dilema
hipotesis kita.
Akan tetapi, yang benar-benar bukan metafora
adalah peradaban Ina dalam kehidupan nyata
orang Seram alias Nusa Ina. Contoh paling dekat
untuk memastikan berlangsungnya penyampaian
kehidupan dan kematian, harapan dan keputu-
sasaan, keindahan dan ketakutan, pesona, janji
dan ancaman, adalah ibu kita. Kodratnya sebagai
perempuan di depan mata kita sehari-hari, mulai
dari persiapan datang bulan hingga mengan-
dung, melahirkan, menyusui, mendidik anak
hingga dewasa mungkin sudah dianggap hal
biasa. Itu kodrat perempuan. Tapi ada hal lain
yang lebih dari sekedar kodratnya yakni, per-
adabannya dalam sejarah masyarakat dunia.
Ambil contoh; bercocok-tanam.

166
Dalam teori-teori sosial klasik hingga modern,
kita hanya dijejali gejala-gejala sosial atau ben-
tuk-bentuk pergeseran masyarakat dan hanya
sedikit yang mau melihat persoalan-persoalan
dasar. Pendekatan teori sosial terhadap sejarah
masyarakat kita tampak sekitar pola-pola hidup;
suka berperang, berburu, atau suka berpindah
tempat. Ketika kaum lelaki di zaman nomadik
harus pergi berburu, sang ibu yang karena kod-
ratnya pastilah tak bisa ikut. Entah nanti mem-
bawa pulang hasil buruan atau tidak, lelaki atau
sang suami ketika pulang dari berburu sudah
melihat berbagai jenis sayur dan ubi-ubian ber-
jejer di pelataran rumah, berbagai jenis sayur
dan ubi-ubian sudah siap terhidang untuk
dilahap di meja makan.
Dalam konteks inilah, menurut para ahli,
sejarah peradaban manusia di bidang bercocok
tanam, awalnya dari seorang Ina, bukan dari
seorang ama, atau bapak. Gelora laki-lakilah
yang mengambil alih sejarah peradaban manusia
bidang satu ini. Jadi, sagu dan kasbi yang
menjadi makanan pokok kita orang Nusa Ina
sehari-hari, merupakan bukti kehadiran Ina
dalam kehidupan nyata orang Nusa Ina.
Karena menyangkut pengetahuan tentang hu-
bungan manusia dengan manusia, dan penge-
tahuan tentang hubungan manusia dengan alam
sekitar kita, maka makna kata Ina yang diwarisi
teramat dalam dan luas. Kata ina sungguh ter-
amat netral. Dari perspektif ini, kata Ina di
masyarakat Maluku Tengah menjadi terus hidup
bahkan terkenal karena wujud fungsinya.
Kesadaran yang makin dalam akan wujud
fungsi Ina, bahkan menciptakan situasi yang me-
nolak masuknya perkataan Nusa Dewi, atau
Nusa Empu, di mana Nusa, Dewi, dan Empu
adalah kata-kata yang sama berasal dari bahasa
Jawa kuno atau Sangsekerta. Makin keliha-
tanlah, nusa membuntuti ina menjadi Nusa Ina

166
karena esensinya, bukan nusa melainkan pada
ina.
Dengan menelusuri jejak evolusi kesadaran
ma-nusia, kita akan menemukan ciri, watak
manusia pada zamannya. Mulai dari cara
manusia memperlakukan mayat di buang di
tempat sampah, hingga cara manusia memper-
lakukan sesama sebagai dewa.
Ketika cerita Air Bah menjadi sedikit dari su-
dut pandang sejarah, dari sudut pandang komu-
nikasi spiritual justru menjadi sangat sentral;
dari sudut inilah, kesadaran dan kekaguman
manusia terus terpelihara. Nunadalah hasil in-
teraksi spiritual atas sebuah pengalaman em-
piris. Jika Ina merupakan obyek yang mela-
hirkan, mendidik dan membesarkan secara me-
taforis. Maka, Nunusaku secara metaforis adalah
gambaran tentang wadah kekuatan perlindungan
Ina bersemayam.
Perasaan senasib setelah keluar dari ‘diluar
jangkauan,’ bahkan mengabadikan sebuah gau-
ngan kata, ‘Upu Lanite,’ atau ‘Ina Ume,’ sebagai
sisi bayangan kepercayaan yang sama karena
merasa memiliki leluhur komunal yang sama.
Begitu kita mau langsung masuk ke perbin-
cangan seputar bentuk kekuasaan-kekuasaan
terkecil di masyarakat, metafora Ina juga me-
ngabadikan kata ‘Hena’ (ina=ibu); ‘Hena Upu,’
atau ‘Upu Aman.’
Mengamati sejarah peradaban bercocok-tanam
secara lebih saksama, ambil contoh, mem-
beritahukan bahwa “Upu Hena”, atau “Upu
Aman”, adalah kata-kata yang terselip diantara
sisi bayangan sejarah persekutuan adat yang
belum dibongkar.
Dari segi nilai kemanusiaan universal, maka
“Hena Upu”, “Upu Aman” “Uli”, adalah bentuk
budaya memerdekakan diri. Inilah sisi bayangan
adat yang mempertebal anggapan bahwa manu-

166
sia adalah sama dalam taraf kemartabatan se-
hingga cukup bagi M. Huliselan menggarisba-
wahinya sebagai “dorpsrepublieken”, atau “re-
publik-republik pedesaan” seperti ditulis dalam
makalahnya, Partisipasi Seluruh Masyarakat
Dalam Perang Pattimura.2

11
Penutup

Siapa pun yang mau memahamai sejarah,


mereka tak dapat berdiri di luar fakta peristiwa.
Beberapa peristiwa penting di Saparua menjelang
15 Mei 1817, direkam oleh seorang guru yang
sudah kita tinjau di muka.
Dari catatan itu pula lah, menjadi sumber bagi
M. Sapija untuk menulis bukunya, ‘Sejarah
Perjuangan Kapitan Pattimura Pahlawan Indone-
sia’ yang menimbulkan sensasi pemahaman se-
22
M. Huliselan, makalah; op-cit...

166
jarah. Sayang sekali, “Raport Porto” yang di-
anggap sebagai sumber penulisan bagi M. Sapija,
bukan didapat dari penulisnya langsung atau
ahli warisnya. Sebab, Risakotta sudah menye-
rahkan “Raport Porto” itu kepada Overste Groot,
kapten kapal perang Belanda Fregat Maria
Reygersbergen yang berada di pelabuhan Porto,
usai pertempuran di Haria dan Porto, seperti
digarisba-wahi I.O Nanulaitta. 1
Isi ‘Raport Porto’ yang dikutip Nanulaita, me-
ngajak pembaca untuk memperhatikan makna
fakta peristiwa bukan cuma variabel waktu dan
tempat. Apa artinya Raja Negeri Latu, Raja Su-
buh Patty, mengutus lima orang warganya ke
Saparua untuk membawa order yang diminta tim
penggali sejarah yang dibentuk Kodam Pattimu-
ra?
Dalam wawancara bersama Z.M.A Matulessy,
ahli waris Thomas Matulessy, di atas kertas
koran Nasional edisi 18 Maret 1984, berjudul
‘Sejarah Perjoangan Thomas Matulessy/Kapitan
Pattimurah (pakai “h” dibelakang) Yang Ter-
pendam,’ ahli waris Thomas Matulessy itu jelas
tidak sibuk memuji-muji isi “Raport Porto”.
Kelihatan, dalam isi wawancara, menyatakan,
Thomas sudah diberi gelar pada akhir April 1817.
“Ia telah terpilih sebelum rapat Wae-hauw I dan
II, atau sebelum pada rapat di Ume-kuhuil.2
Karena ‘Raport Porto’ itu tidak didapat dari
penulisnya langsung atau ahli warisnya seperti
dikatakan Nanulaita, maka apa pun bisa terjadi,
termasuk perubahan isinya. Misalnya; kalau kita
amati lagi isi buku M. Sapija;

11
Nanulaita, makalah; op-cit...

22
Koran “Nasional”, edisi 18 Maret 1984

166
“Pada tanggal 3 Mei 1817, saudara laki-laki
Thomas Matulessy yang bernama Johanes Ma-
tulessy, dengan lima orang kawannya masing-
masing bernama Hermanus Latuperissa, Bastian
Latuperissa, Nicolaas Pattinasarani, Marawael
Hattu, dan Jeremias Tamaella, mengunjungi se-
mua rumah-rumah di Haria dan meminta supaya
semua orang laki-laki segera berkumpul dalam
hutan Haria yang berbatas pada Tiouw dan
Paperu.”3
Jadi, yang mana yang benar; Thomas atau
Yohanes? Petunjuk ke kerangka analisa tokoh,
pelaku yang sebenarnya sebagai fakta peristiwa,
makin tambah rumit. Keabsahan pengangkatan
Thomas sebagai kapitan, tampak seperti ada
kerasukan ganda saat motif awal mendeteksi
fakta peristiwa, ditulis.
Dalam ‘Raport Porto,’ jelas; ada musyawarah
penting dengan masyarakat, ada kesepakatan
Thomas Matulessy diangkat sebagai kapitan, dan
kesepakatan masyarakat untuk menyerang Be-
landa. Tapi, kenapa fakta dokumen itu justru
tidak diakui oleh ahli waris sendiri, Z.M.A
Matulessy?
Tigabelas tahun sesudah naskah tetua adat
negeri Latu disusun, Z.M.A Matulessy —ahli
waris Thomas Matulessy— memberikan pernya-
taan di Koran, bahwa penentuan Perang Patti-
mura berasal dari Saniri Tiga Batang Air dalam
rapat kilatnya Seram Barat, karena Belanda
adalah musuh bebuyutan.4 Bila pernyataan ahli
waris ini tak terbantahkan; Thomas Matulessy
adalah korban ketidakjujuran.

33
Periksa buku M. Sapija, certakan pertama, 1954; 41

44
Z.M.A Matulessy, wawancara, koran Suara Maluku edisi 11
Mei 1993

166
Tapi ketidak-jujuran itu baru di permulaan,
dipermukaan. Gerakan separatis RMS (Republik
Maluku Selatan) terhadap warga Latu pada 27
September 1950 mengajukan dua pertanyaan
tetapi tidak memerlukan jawaban. Pertama, ba-
gaimana mungkin para anggota RMS bisa tahu
ada kimono, ada kain merah putih, ada ke-
ranjang bayi milik putri Residen Belanda, dan
peninggalan-peninggalan Kapitan Alim Pattimu-
ra, yang tersimpan di rumah Abdul Karim Patty,
dan rumah itu langsung dibakar pada hari itu?
Kedua, adakah alasan mengapa negeri Latu yang
seolah menjadi sasaran kebrutalan RMS?
Kalaupun ada jawaban untuk kedua perta-
nyaan ini, barangkali berbentuk hipotesa tentang
hubungan antara negeri Latu yang menyimpan
banyak fakta Kapitan Pattimura dengan upaya
penghancuran fakta-fakta dimaksud melalui ge-
rakan RMS.
Kalaupun kita masih berharap dapat mem-
peroleh gambaran keji RMS dalam hubungan
korban jiwa khusus orang Latu, kita bisa melihat
catatan yang ada di Latu yang Insya Allah sudah
dimaafkan, betapapun mengerikan; jumlah
korban 673 nyawa manusia.
Bagi mereka yang tidak merasakan bagaimana
warga lari pontang-panting naik-turun gunung
berbulan-bulan, kehabisan makanan, kena pe-
nyakit, mati kelaparan, mungkin akan mengira
jumlah korban di atas seperti mengada-ada. Te-
tapi, tangisan orang Latu yang tak bisa dihapus
dengan ingatan adalah kebrutalan RMS pada
1950 itu; pembantaian warga, pembakaran ru-
mah penduduk hingga pembakaran tempat
ibadah, mesjid.
Gambaran ini sekarang harus dijadikan lebih
konkret dalam hubungan dengan apa yang di-
sebut penegakkan supremasi hukum dan keja-
hatan kema-nusiaan. Sebagai organisasi, RMS

166
jelas harus dituntut untuk bertanggungjawab,
tanpa mengacaukan fokus perhatian terhadap
fakta Pattimura. Ini era hukum dan HAM, bung.
Latu sesudah pembantaian RMS menambah satu
lagi daftar nilai berjudul, “daerah bekas keja-
hatan kemanusiaan RMS.”
Daftar nilai ini menjadi bahan cerita turun te-
murun; dari bapak, ibu, turun ke anak. Dari
anak, ke anaknya. Dari anaknya turun ke anak-
nya lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. Di
Latu, selain peristiwa 1950, moralitas sesama
anak Maluku yang galau dalam RMS masih di-
pertontonkan pada 1955 dan pada 2 Maret 1963
yang dikenal dengan peristiwa ‘Leisiwal,’ oleh
gerakan RMS juga. Semakin lebar daftar nilai
kejahatan kemanusiaan RMS diceritakan, tangi-
san makin tak bisa dihapus dengan ingatan.
Dari kisah eksodus orang Iha dari pulau
Saparua ke Seram. Dari nama-nama tempat yang
ada di negeri Latu dan Saparua bukan hanya
‘Tapirewony’ atau ‘Waesisi.’ Dari analis sejarah-
wan, antropolog, hingga naskah tetua adat Negeri
Latu, termasuk kapatah-kapatah yang ada di
dalam naskah tersebut. Mula-mula kita menda-
pat gambaran tentang motif tentara Belanda di
Saparua harus diserang. Kemudian gambaran
tentang jejak pasukan pemukul yakni Kakehan.
Mulai dari duka eksodus orang Iha yang me-
mantik ide Kapitan Pattimura untuk mendatangi
Raja Latu, meminta supaya Raja Latu mengum-
pulkan para anggota Kakehan. Hingga jejak
tentang tempat penyusunan rencana menyerang
Belanda melalui sidang pleno adat.
Juga, jejak sistem komuniasi dalam mengum-
pulkan para anggota Kakehan. Termasuk, jejak
menjalankan aksi penyerangan dari Latu ke
Saparua, rencana menggunakan alat transportasi
yang disepakati, tempat merubah kembali ske-
nario penyerangan, hingga kesan misterius pasu-

166
kan pemukul dari para anggota Kakehan itu
sendiri.
Sementara Belanda bergulat dengan perta-
nyaan-pertanyaan usai kekalahan mereka pada
15 Mei 1817, pekikan kebebasan hak dan per-
lindungan nilai kemanusiaan bergema di be-
lahan dunia lain. Bahwa Indonesia ketika itu
masih di bawah ketiak penjajah, pastilah. Akan
tetapi, yang kelak mewujud dari pekikan itu dan
menjadi tuan bagi para pemburu kebebasan hak
dan kesetaraan adalah demokrasi.
Semenjak HAM dan demokratisasi masuk,
hidup orang basudara Maluku khususnya yang
bersendikan adat budaya, tidak menjadi lebih
sehat, lebih percaya satu sama lain, tidak benar-
benar toleran, dan tidak lebih merdeka di dalam
bangsanya sendiri. Jika Perang Pattimura dari
sudut pandang adat terjadi sebagai akumulasi
nilai-nilai sosial masyarakat yang tersumbat.
Maka, dari sudut pandang HAM, informasi me-
ngenai fakta peristiwa tersebut bukan saja ada
diantara kita yang berhak untuk mendapat-
kannya. Melainkan, hak atas informasi mengenai
akibat dari keluputan mengangkat nilai yang
terkandung di dalam fakta peristiwa.
Jika HAM dan demokratisasi menyangkut hak
kebebasan nilai-nilai kemanusiaan universal, di
mana hak itu menyangkut Pattimura adalah,
pemeliharaan dan penempatan atas hak identitas
matarumah, yang memiliki latar sejarah masing-
masing, yang tidak boleh dibelokkan atau di-
bengkokkan.
Kita tak dapat menipu diri kita, bahwa ber-
bagai jejak yang ditinggalkan oleh para pen-
dahulu ―bukan hanya oleh mereka dalam Perang
Pattimura ―juga sekalgus merupakan cerminan
semangat menegakkan HAM, sisi bayangan soli-
daritas, wajah cinta sosial, yaitu rasa tanggung-
jawab akan mereka yang hidupnya telah menyen-

166
tuh hidup kita, dan kerelaan kita untuk ber-
sama-sama merasakan nasib mereka.
Kerelaan bersama merasakan nasib mereka
justru bukan hal baru; pada tahun 1971, total
jumlah penduduk Maluku Tengah; 378.870 jiwa,
dari total jumlah penduduk Maluku waktu itu,
1.088.965 jiwa. Dari jumlah total penduduk
Maluku Tengah, tak terkecuali Saparua, 194.
145 adalah laki-laki, dan 184. 725 perempuan. 5
Usia harapan hidup manusia memang kian
meningkat secara medis dan sosial; kian maju
tetapi, jumlah penduduk Maluku pada zaman
penjajah pastilah bukan asumsi sekarang. Dalam
konteks kerelaan dan solidaritas penduduk yang
relatif itu, maka secara retrospektif, semangat
sepenanggung penderitaan sungguh luar biasa.
Mereka yang berjuang, sepenanggungan bukan
manusia-manusia super. Superioritas mereka
adalah, terbukti mengilhami terbentuknya nilai-
nilai perjuangan bangsa yang mengagumkan,
karena kesadaran utuh akan nilai solidaritas
kemunisiaan.
Bagaimana kesadaran solidaritas dengan
jumlah itu dalam konteks motif penjajah? Bila
diukur dari Partugis menginjakkan kakinya di
Maluku pada 1512, sementara di sana sudah ada
seorang Patih Murrah yang di segani semenjak
abad ke-14, apakah itu artinya kita harus terus
berdiri di atas penafsiran-penafsiran yang ada?
Sebab, faktanya, selain kasus Iha, penduduk
Ambon dan sekitarnya adalah Islam, kemudian
menjadi Katolik setelah Portugis masuk, kemu-
dian memeluk lagi Protestan karena masuknya
Belanda.
Seperti apa penentuan Perang Pattimura se-
bagaimana dinyatakan Z.M.A Matulessy —ahli
waris Thomas Matulessy, sudah diuraikan oleh
55
Lihat esai Subyakto, dalam Koentjaraningkat…op-cit; 174

166
tetua adat negeri Latu melalui bab enam dan bab
delapan buku ini. Bahwa orang Latu yang me-
nyimpan banyak bukti, tapi baru diungkap-kan
lewat sebuah naskah tetua adat, itu karena di
mata mereka, orang Latu, pengungkapan fakta
peristiwa Pattimura dari tahun ke tahun ditandai
oleh guna, bukan makna.
Maluku secara fisik dan moral pada suatu
waktu, boleh jadi sangat membutuhkan dorong-
an fisik dan moral. Karena kegunaan itu, Panitia
Hari Pattimura dibentuk, buku M. Sapiya mun-
cul, Tim Penggali Sejarah Pattimura dibentuk.
Bahkan, silsilah Thomas Matulessy harus disah-
kan oleh pemerintah pusat, kendati ada tiga versi
sekaligus.
Dari segi kehati-hatian, orang Latu memilih
merahasiakan fakta peristiwa 15 Mei 1817 yang
sebenarnya, agar dapat menarik garis yang jelas
antara guna dan makna.
Dari segi guna dan makna, orang Latu yang
menyimpan banyak fakta peristiwa tetapi baru
diungkapkan pada Juni 1980, karena orang Latu
secara subyektif punya pengalaman buruk mem-
percayai orang. Dan, secara obyektif karena fakta
pelaku penyerangan itu menyangkut para
kapitan tiga batang air, di dalam Kakehan. Mak-
nanya, Perang Pattimura adalah atas perintah
sidang majelis adat.
Kendatipun buku karya M. Sapija tidak ber-
hasil mengilhami banyak kecurigaan tentang
mengapa Thomas Matulessy dikecualikan dari
sejarah. Namun seperti apa peristiwa Perang
Pattimura dan karenanya sosok Kapitan Patti-
mura dari perspektif transformasi budaya ber-
juang cepat dan tepat; menjadi tugas para ahli
lah, dengan metodologi mereka.
Di tengah upaya memahami sosok Kapitan
Alim Pattimura, kita telah meninggalkan per-
tanyaan tak terjawab apakah Kapitan Pattimura

166
sebenarnya hanya kelanjutan dari kapitan-ka-
pitan yang lain, yang telah masuk ke dalam fase
patih yang maknanya tidak dipercepat? Jawaban
atas pertanyaan ini bergantung sekali pada
jawaban kita atas pertanyaan lain yang sudah
kita tinjau sekilas di bagian muka.
Jika ada suatu kisah yang memadatkan kece-
patan dan ketepatan para patih dari Kakehan
dalam Perang Pattimura, itulah ‘De Schreeuw
Van De Witte Kakatoe’ (Penerbit, Leopold, 1978,
tebal 87 halaman), yang ditulis oleh Johan
Febriccus, seorang anak residen Van den Berq
yang lolos dari kematian ketika penyerbuan
benteng Duurstede 15 Mei 1817.
Dalam sebuah tulisan di koran Nasional
berjudul ’45 Menit Dari Haria Ke Tulehu,’ Piet
Saimima, penulisnya, menyatakan Johan ber-
umur lima tahun ketika ayah, ibu dan kedua
adiknya masing-masing seorang lelaki dan
perempuan, mati terbunuh dalam penyerbuan
benteng Duurstede.
Ketika berusia 65 tahun, Johan pun berkun-
jung ke Saparua, berusaha mencarikan orang
yang menolongnya dulu dan kuburan keluarga-
nya. Usai bertemu dengan orang-orang tua yang
sebaya dengannya ketika timbul pemberontakan
15 Mei 1817, dia pun angkat pena, menulis buku
tersebut. Kemudian, diterjemahkan oleh H.B
Jasin, berjudul, ‘Teriakan Kakatua Putih.’
Buku Johan itu, bagaimanapun telah menam-
bah kekuatan dari kisah anak-anak residen Van
den Berq yang selamat, yang kepastiannya masih
terpasung di antara ‘benar’ lawan ‘salah.’
Lepas dari kecepatan, ketepatan dan kekhu-
susan para kapitan tiga batang air dalam Perang
Pattimura, yang ingin digambarkan Johan; se-
panjang membaca sejarah perjuangan, belum
pernah kita temukan kisah sejarah yang hori-
zonnya sebegitu gelap, misterius, mengancam,

166
dan sekaligus terancam, seperti dalam buku
yang saya tulis ini.

166
Gerombolan RMS dibawah pimpinan Soumokil

Terima Kasih Kepada;

Buku ini ternyata sulit dari yang pernah saya


bayangkan. Saya sangat ingin mengunyah ke-
arifan sesepuh tetua adat Negeri Latu, orang tua,
kakak, saudara, teman; terimakasih untuk ka-
lian semua karena beruntung mendapatkan dan
mendengar langsung cerita dari; Haji Abdul Latief
Pattimura (alm), Haji Kadir Riring (alm). Haji
Abdul Gafur Sosal (alm), Haji Hasan Riring (alm),
Maklum Riring (alm), Haji Arifin Sosal (alm), M.
Saleh Wakano (alm),Ahmad Patty (alm), Hajjah
Asia Pattimura (alm), Haji Taher Pattimura, Haji
Daud Pattimura (alm), Haji Sabri Pattimura, Haji
Abdullah Pattimura,Muhammad Nur Pattimura,
Abdul Rachman Patty (alm), Haji A. Kadir
Pattimura (guru Lan), Kadir Baharuddin Patty,
Haji Usman Wakano (alm), Ayyoto Pattimura

166
(alm), Raja Negeri Latu Ridwan Patty, Abdur-
rahman Pattimura, Mu’anawiyah Pattimura,Jafar
Patty,Haji Muhammad Syaiful Pattimura, Hairun
Tunny, Abidin Wakano,Syaiban Patty, Ahmad
Wakano, Abdul Mutayib Tupamahu, Haji Said
Pattimura, Haji Fadel Wakano, Djad Patti-mura,
Djais Patty, Sam Patty,Sudjud Sira-djuddin,
Abdullah Patty, Ali Elly,Rusli Sosal,Saipuddin
Sapsuha,Yusuf Wakano, Farhani Wakano, dan
Ikatan Pelajar Mahasiswa Ama Latu (IPMAL).

LUTHFI PATTIMURA, lahir di


Ambon 26 Oktober 1963, adalah
editor buku-buku strategis nasional
pada lembaga penelitian lingkung-
an dan masyarakat di Jakarta;
Lembaga Studi Komunikasi Pemba-
ngunan Indonesia (LSKPI Press).
Karya bukunya antara lain; ‘Visi
Pembangunan Indonesia’ (LSKPI
Press, Jan. 1988). ‘Selamatkan Indonesia’ (LSKPI Press,
Nop. 2000). ’Manajemen Otonomi Daerah: Birokrasi, Keu-
angan Ekonomi, Sosial’ (LSKPI Press, cet pertama 2011,
cet kedua 2003) dan ‘Penataan Ruang Menuju Kesejah-
teraan Masyarakat’ (LSKPI Press, Des. 2005). Mantan
wartawan di beberapa media cetak ibukota Jakarta, Re-
daktur di Majalah FORUM Keadilan (2015-), dan Pendiri
LSKPI Press, Maret 1996; Direktur Exekutif LSKP Press
1996-

166
Referensi Tambahan

A.R Patty
1983; Perkembangan Pemerintah Negeri Latu
dari Masa ke Masa (naskah tulisan
tangan).
Arnold Toynbee
2007; Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitik,
Kronologis, Naratif, dan Komperatif.
Pustaka Pelajar.
Antonio Gramsci
2000; Sejarah dan Budaya, terjemahan,
penerbit Pustaka Promethea, cet
pertama, Desember.
Bronislaw Malinowski

166
1974; Crime and Custom in Savage Society,
London Routledge.
Bernard H.M Vlekke
2008; Nusantara: Sejarah Indonesia, KPG.
Bongarna Sianipar
2012; Horas Dari Tanah Batak Untuk Indonesia,
Rumah Indonesia, Jakarta.
Clifford Geertz
1992; Tafsir Kebudayaan, Kanisius,
Yogyakarta.
Diane Collinson
2001; Lima Puluh Filosof Dunia Yang
Menggerakan, Raja Grafindo Persada
Jakarta.
Donald K Emmerson, (et.al)
2001; Indonesia Beyond Soeharto, GPK Jakarta
E. Wattimury, Ny. A. Haulussy,
J. Pentury
1996; Struktur Bahasa Alune, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Emile Durkheim
1954; The Elementary Forms Of The Religious
Life, V terjemahan oleh Joseph Ward
Swain. Glencoe, III: the Free Press,
George Allen and Unwin Ltd.
Frans Hitipew
1993; Makalah, Historiografi Maluku Yang
Tradisional dan Modern.
Hj. Musda Mulia, H. Rosehan Anwar,
H.E Badri Yunardi
1998; Kataloq Naskah Kuno Yang Bernafaskan
Islam di Indonesia jilid II, Balitbang
Agama, Dept Agama RI.
Henri Frankfort, et.al
1949; Before Philosophy, Penguin Books.
I.O Nanulaitta
1993, makalah;Kronologis Jalannya Perang
Pattimura
1993, makalah;Tokoh Pattimura dan Para
Pembantu Serta Identitasnya.
Ibn Khaldun
2000; Muqaddimah Ibn Khaldun, Pustaka
Firdaus Jakarta.

166
Ibn Katsir
2002; Kisah Para Nabi (edisi Indonesia),
Pustaka Al-Kautsar Jakarta.
J.A Pattikayhatu;
1993, Makalah; Lukisan Profil Pahlawan
Nasional Pattimura Yang
Dipermasalahkan.
Jujun S. Suriasumantri, (ed),
2006; Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor
Indonesia, cet keenambelas.
KH. Saifuddin Zuhri
1981; Sejarah Kebangkitan Islam Dan
Perkembang-annya Di Indonesia, Penerbit
PT. Al-ma’arif Bandung, cet ketiga.
Karen Armstrong
2003; Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan
Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang
Yahudi, Kristen Dan Islam Selama 4.000
Tahun, penerbit Mizan Bandung, cet VI.
2004; Berperang Demi Tuhan:
Fundamentalisme da-lam Islam, Kristen,
dan Yahudi. Mizan, Bandung
Koentjaraningrat (ed)
2007; Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
penerbit
Djambatan Jakarta, cet keduapuluh dua.
L. Rutten dan W. Hotz,
1950; Geology Of East Seran, J.H De Bussy –
Amsterdam.
Luthfi Pattimura (ed)
1998; Visi Pembangunan Indonesia, LSKPI
Press, cet pertama Januari.
2000; Selamatkan Indonesia, LSKPI Press,
Nopember
2005; Penataan Ruang Untuk Kesejahteraan
Masyara-kat LSKPI Press, cet pertama
Desember.
M. Huliselan,
1993; Makalah. Partisipasi Seluruh Masyarakat
Dalam Perang Pattimura.
Maryam RL Lestaluhu
1988; Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam
Terhadap Imperialisme di daerah Maluku,
PT.Al-ma’arif Bandung.

166
M. Sapija
1959; Sejarah Perjuangan Pattimura: Pahlawan
Indonesia, penerbit; Djambatan Jakarta,
cet. ketiga.
Usman Wakano
1980’ Penduduk Asli Negeri Latu dan
Kebudayaannya; (naskah tulisan
tangan).
Richard Z. Leirissa
1975; Maluku Dalam Perjuangan Nasional
Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas
Sastera Universitas Indonesia.
Soerjono Soekanto dan Soleman b Taneka
1983; Hukum Adat Indonesia, Penerbit Rajawali
Jakarta, cet. Kedua.
Yoyok Widoyoko, dkk
2008; The Wonderfull Island Maluku, Gibon
Group Publication, Jakarta.
― Tetua Adat Negeri Latu, 1980, Terbukalah Sejarah
Asli Kapitan Pattimura, naskah tidak
dipublikasikan.
― Hasil-hasil Seminar Sejarah Perjuangan Pahlawan
Nasional Pattimura, Kanwil Depdikbud Provinsi
Maluku, Ambon 5-7 Nopember 1993.
― Prisma, 12 Desember 1981.
― Koran Berita Yudha, edisi 12 Agustus 1971.
― Koran Nasional, edisi 18 Maret 1984.
― Koran Sinar Harapan, edisi 30 Mei 1986.
― Koran Suara Maluku;1993, edisi; 11 Mei,
3 Nopember, 8 Nopember, 28 Oktober.
― Koran Pelita, 8 November 1990.
Hasil-hasil Seminar Sejarah Perjuangan Pahlawan
Nasional Pattimura, Kanwil Depdikbud Provinsi
Maluku, Ambon 5-7 Nopember 1993.
I.O Nanulaitta
1993, Makalah;Kronologis Jalannya Perang
Pattimura
1993, makalah;Tokoh Pattimura dan Para
Pembantu Serta Identitasnya.
M. Huliselan,
1993; Makalah. Partisipasi Seluruh Masyarakat
Dalam Perang Pattimura.
J.A Pattikayhatu;
1993, Makalah; Lukisan Profil Pahlawan
Nasional Pattimura Yang
Dipermasalahkan.

166
Frans Hitipew
1993; Makalah, Historiografi Maluku Yang
Tradisional dan Modern.

166

Anda mungkin juga menyukai