Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH MANAJEMEN FARMASI INDUSTRI

PERKEMBANGAN FARMASI DULU, SEKARANG, MASA DEPAN,


PERSEBARAN INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA DAN POTRET
INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA

OLEH :
KELOMPOK I
DEVITA SUBA MAIRI (O1A1 14 009)
FARADILA CAHYANI R. (O1A1 14 014)
NUR ALIF FATUH R. (O1A1 14 033)
REZKY NAHDIATI R. (O1A1 14 039)
RISNAH MUFTIAH (O1A1 14 083)
RISNAWATI N (O1A1 14 043)
SALMI (O1A1 14 045)
SITI HAJAR (O1A1 14 047)
SRI HASTUTI (O1A1 14 052)
WA ODE HELMINA (O1A1 14 061)
WA ODE MAULIDYANTI (O1A1 14 063)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Pertama-tama tidak lupa kami panjatkan puji dan syukur kepada Allah
S.W.T, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul Perkembangan Farmasi Dulu, Sekarang, Masa Depan, Persebaran
Industri Farmasi Di Indonesia dan Potret Industri Farmasi Di Indonesia ini yang
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dan dari mata kuliah Manajemen Farmasi
Industri.
Kami berharap makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai,
Manajemen Farmasi Industri khususnya materi tentang Perkembangan Farmasi Dulu,
Sekarang, Masa Depan, Persebaran Industri Farmasi Di Indonesia dan Potret Industri
Farmasi Di Indonesia.
Makalah ini tentu saja masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kami juga
berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi adanya perbaikan dalam
makalah-makalah selanjutnya.

Kendari, Februari 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................


A. Latar Belakang ......................................................................................
B. Rumusan Masalah .................................................................................
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................


A. Perkembangan Farmasi Dulu, Sekarang dan Masa Depan....................
B. Potret Farmasi Industry Di Indonesia ...................................................
C. Penyebaran Farmasi Industri Di Indonesia ...........................................

BAB III PENUTUP .......................................................................................


A. Kesimpulan ...........................................................................................
B. Saran .....................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Farmasi sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia berkembang seiring
dengan perkembangan peradaban manusia. Farmasi awalnya berupa pelayanan
yang berfungsi melindungi manusia dari penderitaan, namun sekarang telah
berkembang menjadi profesi yang menjanjikan. Seiring dengan perkembangan
teknologi dan informasi, kebutuhan akan farmasi berkembang. Pasar farmasi perlu
diorganisir dan pengorganisasiannya mulai mempengaruhi pasar industri. Tujuan
utama industri farmasi adalah untuk menghasilkan obat yang aman dan efektif
untuk digunakan dalam terapi (efficacy, safety, toxicity) dan untuk kepentingan
ekonomi suatu negara. Industri farmasi juga bertujuan untuk daya tahan setiap
negara (Agoes, 1999). Industri farmasi di negara maju biasanya berbasis riset
dengan cara mencari dan menemukan bioaktif baru, menghasilkan obat atau bahan
baku hasil penelitian sendiri kemudian mempatenkannya selama periode waktu
tertentu. Di negara maju, berkembang industri sintetis atau fermentasi farmasi,
industri manufaktur yang merakit obat jadi dari bahan baku yang dihasilkan oleh
industri farmasi lainnya, industri farmasi bahan alam yang menghasilkan produksi
berasal dari alam dalam berbagai bentuk dan dibakukan menurut ketentuan yang
berlaku. Selain itu berkembang pula industri jasa farmasi yang memberikan jasa
berupa penelitian, sintesis, formulasi, studi tentang pasar dan kecenderungan
permintaan atau penggunaan obat, membuat perkiraan perkembangan masa datang
yang diperlukan untuk mengambil keputusan. Ada juga industri farmasi produk
biologi yang produknya berupa vaksin, serum dan sebagainya (Agoes, 1999).
Di lihat dari sudut pandang dunia, industri farmasi di Indonesia selama
tiga puluh tahun terakhir tidak mengalami perubahan. Selama ini pemberlakuan
kebijakan pemerintah yang sarat dengan muatan proteksi telah membuat industri
farmasi nasional terninabobokan. Padahal sekarang ini, industri farmasi dituntut
untuk mampu melihat dan memperkirakan aspek mana yang sedang atau akan
mengalami hambatan serta alternatif-alternatif terbaik yang diperlukan untuk
mengatasinya. Ada berbagai masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia
mulai dari strukturnya, perilaku, kinerja sampai kebijakan yang menjadi pondasi
dasarnya. Kebijakan pemerintah lebih banyak mendorong berkembangnya sektor
perdagangan farmasi daripada produksinya (Biantoro, 2002). Industri farmasi
Indonesia masih relatif sederhana berupa industri manufaktur sehingga pasar
kurang berkembang. Padahal, industri farmasi manapun di dunia harus sudah
berbasis riset dengan berorientasi pada mutu (Agoes, 1999).
Secara struktural, industri farmasi nasional mempunyai kelemahan
mendasar. Sembilan puluh persen kebutuhan bahan baku obat masih harus di
impor. Situasi ini mencerminkan ketergantungan industri farmasi nasional
terhadap impor. Padahal, jumlah obat yang beredar di masyarakat yang mencapai
lebih dari 12 ribu jenis. Menurut Sampurno dan Ahaditomo dalam GP Farmasi
(2003), di negara maju asuransi kesehatan berperan sebagai kontrol harga obat.
Obat-obat yang mahal tidak akan masuk dalam daftar plafon harga obat yang
mereka susun karena 70 persen belanja obat ditanggung oleh asuransi. Di
Indonesia, ada regulasi yang mengatur harga obat sehingga produsen wajib
mencantumkan harga tertinggi. Jadi, pengaturan harga obat yang seharusnya
dikontrol oleh pemerintah dengan mekanisme pasar, kini dikontrol dengan
regulasi harga. Dilihat dari sisi lain, sektor farmasi di Indonesia menarik untuk
dikaji karena jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa, iklim
tropis, penyebaran penduduk yang tidak merata dan keadaan geografis
mengakibatkan banyaknya virus dan bakteri berkembang. Ini merupakan pasar
yang potensial bagi industri farmasi nasional dan dunia. Jadi tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa industri farmasi Indonesia merupakan peluang bisnis yang
menjanjikan (Biantoro, 2003).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah perkembangan farmasi dulu, sekarang dan masa depan ?
2. Bagaimanakah potret farmasi industri di Indonesia ?
3. Bagaimanakah penyebaran farmasi industri di Indonesia ?
C. Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui perkembangan farmasi dulu, sekarang dan masa depan.
2. Untuk mengetahui potret farmasi industri di Indonesia.
3. Untuk mengetahui penyebaran farmasi industri di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Farmasi Dulu, Sekarang Dan Masa Depan Sejarah


farmasi

Kata farmasi berasal dari kata (Pharma). Farmasi merupakan istilah yang
dipakai pada 1400-1600an. Farmasi dalam bahasa inggris adalah pharmacy,
bahasa yunani adalah pharmacon, yang artinya adalah obat. Farmasi merupakan
salah satu bidang ilmu professional kesehatan yang merupakan kombinasi dari
ilmu kesehatan, ilmu fisika, dan ilmu kimia. Yang mempunyai tanggung jawab
memastikan efektivitas dan keamanan penggunaan obat. Ruang lingkup farmasi
sangatlah luas termasuk penelitian, pembuatan, peracikan, penyediaan sediaan
obat, pengujian, serta pelayanan informasi obat.

Ilmuwan-ilmuwan yang berjasa dalam perkembangan farmasi dan kedokteran


adalah:
Hippocrates (460 - 370 Sebelum Masehi)
Dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran, belum dikenal adanya profesi
Farmasi. Saat itu seorang Dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus
merupakan seorang Apoteker yang menyiapkan obat. Buku tentang bahan
obat obatan pertama kali ditulis di Cina sekitar 2735SM, kemudian sekitar
tahun 400SM berdirilah sekolah kedokteran di Yunani. Salah seorang muridnya
adalah Hipocrates yang menempatkan profesi tabib pada tataran etik yang
tinggi. Di dunia Arab pada abad VIII, ilmu farmasi yang dikembangkan oleh
para ilmuawan Arab menyebar luas sampai ke Eropa. Seiring berkembangnya
ilmu kesehatan masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun
cara pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri.
Pada 1240M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi
antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal Two Silices.

Sejarah industri farmasi modern dimulai 1897 ketika Felix Hoffman


menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom ekstra
karbon dan lima atom ekstra hidrogen ke adlam sari pati kulit kayu willow. Hasil
penemuannya ini dikenal dengan nama Aspirin, yang akhirnya menyebabkan
lahirnya perusahaan industri farmasi modern di dunia, yaitu Bayer. Selanjutnya,
perkembangan (R & D) pasca Perang Dunia I. Kemudian, pada Perang Dunia II
para pakar berusaha menemukan obat-obatan secara massal, seperti obat TBC,
hormaon steroid, dan kontrasepsi serta antipsikotika. (Nezla Anisa, 2016).
a) Perkembangan Farmasi Dulu
Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan,
hanya berdasarkan pengalaman dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM)
berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan
zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat
aktifnya. Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan bapak kedokteran
dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis
tumbuhan. Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan
penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.
Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode
pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan
obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan
pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk
menghasilkan pengobatan yang lebih baik. Johann Jakob Wepfer (1620-1695)
berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat pada
hewan percobaan, ia mengatakan :I pondered at length, finally I resolved to
clarify the matter by experiment. Ia adalah orang pertama yang melakukan
penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada
hewan merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan
sebelum obat diujicoba secara klinik pada manusia.
Institut Farmakologi pertama didirikan pada th 1847 oleh Rudolf
Buchheim (1820-1879) di Universitas Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald
Schiedeberg (1838-1921) bersama dengan pakar disiplin ilmu lain
menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat meliputi reseptor obat,
hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga
diperkuat oleh T. Frazer (1852-1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di
Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di Jerman.
b) Perkembangan Farmasi Sekarang
Sejarah industri farmasi modern dimulai 1897 ketika Felix Hoffman
menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom ekstra
karbon dan lima atom ekstra hidrogen ke adlam sari pati kulit kayu willow.
Hasil penemuannya ini dikenal dengan nama Aspirin, yang akhirnya
menyebabkan lahirnya perusahaan industri farmasi modern di dunia, yaitu
Bayer. Selanjutnya, perkembangan (R & D) pasca Perang Dunia I. Kemudian,
pada Perang Dunia II para pakar berusaha menemukan obat-obatan secara
massal, seperti obat TBC, hormaon steroid, dan kontrasepsi serta antipsikotika.
Sejak saat itulah, dunia farmasi terus berkembang dengan didukung oleh
berbagai penemuan di bidang lain, misalnya penggunaan bioteknologi.
Sekolah-sekolah farmasi saat ini hampir dijumpai di seluruh dunia. Kiblat
perkembangan ilmu, kalau bolehh kita sebut, memang Amerika Serikat dan
Jerman (karena di sanalah industri obat pertama berdiri).
Dunia Farmasi masa kini telah banyak mengalami perkembangan yang
sangatpesat dengan majunya perkembangan dunia Iptek.Dulu, ketika manusia
mulai mengerti dan mendalami masalah kesehatan, terbentuklah satu profesi
yang bertanggung jawab dalam menanggulangi masalahini yang sering kita
sebut dengan dokter. Kemudian, seiring berjalannya waktu,semakin banyak
permasalah kesehatan yang ditemui. sehingga tak mungkin bagiseorang dokter
mendalami semua ilmu terkait bidang kesehatan. Selanjutnya,banyak terjadi
pemekaran bidang ilmu pengetahuan dari bidang kesehatan, salahsatunya
adalah ilmu farmasi.Jika mendengar kata farmasi, maka gambaran yang
terbentuk di masyarakat adalah seorang ahli obat-obatan. "tukang" buat obat-
begitulah sebutan yangsering terdengar.
Benar memang, farmasi adalah bagian dari ilmu kesehatan yang
mendalamimasalah terkait obat. Dulu, seorang farmasis berorientasi untuk
membuat sediaan(seperti sirup, tablet, kapsul,dan salep) obat sehingga
diharapkan dengan obattersebut, dapat menyembuhkan penyakit atau paling
tidak megurangi rasa sakitatau menghambat progresifitas penyakit. Ahli
farmasi berlomba-lomba dalammenemukan obat baru atau memodifikasi obat
sehingga dapat memberikan efekpenyembuhan yang lebih baik dari obat lain.
Namun ternyata, di lapangan ditemukan banyaknya masalah terkait
penggunaanobat. Seorang pasien menjadi "lebih sakit" akibat menggunakan
obat-obatantersebut. Kenapa?Banyak hal yang menyebabkan hal itu. Cipolle,
1998- meerangkan dalam bukunyabahwa ada 7 kategor masalah terkait obat,
yaitu membutuhkan tambahan terapiobat, terapi obat yang tidak perlu, terapi
salah obat, dosis terlalu rendah, dosisterlalu tinggi, reaksi obat yang merugikan,
dan kepatuhan.Hal ini kemudian menjadi permasalahan yang cukup menarik
perhatian di duniakesehatan. Berangkat dari kejadian-kejadian di lapangan
seperti di atas, makasekitar tahun 80-an, konsentrasi farmasi di Indonesia mulai
melakukanpengembangan ke arah patient oriented atau pelayanan yang
berorientasi padapasien yang ditekuni oleh ahli-ahli bidang farmasi klinis.
Sebenarnya di USA,farmasi klinis telah menjadi perhatian sejak sekitar tahun
60-an. Namun, diIndonesia farmasi klinis baru memperlihatkan perkembangan
di tahun 2000-andengan tercetusnya PP 51 yang memuat peraturan standar
pelayanan kefarmasian.
Lalu, apa yang dikerjakan oleh farmasis klinis di lapangan? Ini juga
menjadipertanyaan pertama saya ketika mendengar istilah farmasi
klinis.Contoh terdekatnya, selama ini ketika kita "singgah" ke apotek, kita tak
pernahtau siapa apoteker yang bertugas di apotek tersebut. Sehingga banyak
masyarakatyang beranggapan bahwa petugas yang selama ini melayani
pembelian obat diapotek adalah apoteker atau menyamakan antara asisten
apoteker denganapoteker. Selama ini, apoteker tak pernah ada di tempat ketika
apotek buka.Setelah PP 51 diberlakukan, apoteker wajib berada di tempat
selama apotek buka.Lalu, apa gunanya bagi masyarakat? Nah, jika Anda
mengalami sakit ringan atau perlu informasi mengenai obat-obatyang Anda
konsumsi, jangan sungkan untuk berkonsultasi dengan apoteker diapotek Anda.
Dengan Anda mengetahui informasi seputar obat yang Anda konsumsi, Anda
telah mengurangi resiko terkena masalah terkait obat seperti diatas. Misalnya,
ketika Anda diresepkan Antibiotik oleh dokter, hal-hal yang harusAnda ketahui
ialah bahwa Antibiotik haruslah diminum dengan waktu yang teraturdan
digunakan hingga obat yang diresepkan habis. Penggunaan antibiotik
tidakboleh dibarengi dengan antasida (obat mag) dan pemberian susu dalam
waktu yang berdekatan. Apoteker Anda akan menjelaskan hal-hal lain yang
perlu Andaketahui.
Obat akan menyembuhkan penyakit ketika diberikan dengan dosis dan
cara penggunaan yang tepat. Namun jika tidak, obat justru bisa membunuh
Anda secaraspontan atau perlahan-lahan.
Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan
teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan
dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun
lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para
anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.
Dilihat dari sisi pendidikan Farmasi, di Indonesia mayoritas farmasi belum
merupakan bidang tersendiri melainkan termasuk dalam bidang MIPA
(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang merupakan kelompok ilmu
murni (basic science) sehingga lulusan S1-nya pun bukandisebut Sarjana
Farmasi melainkan Sarjana Sains.
Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1997) dalam informasi
jabatan untuk standar kompetensi kerja menyebutkan jabatan Ahli Teknik
Kimia Farmasi, (yang tergolong sektor kesehatan) bagi jabatan yang
berhubungan erat dengan obat-obatan, dengan persyaratan : pendidikan Sarjana
Teknik Farmasi.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan
bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis,
pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.
Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, Pills, Profits and Politics,
menyatakan bahwa :
1. Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter
menuliskan resep rasional. Membanu melihat bahwa obat yang tepat,
pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu
mengenai bagaimana,kapan,mengapa penggunaan obat baik dengan
atau tanpa resep dokter.
2. Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakart dalam hal
produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk
mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat
melayani baik dokter maupun pasien, sebagai penasehat yang
berpengalaman.
3. Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah
penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep
yang irrasional. Sedangkan Herfindal dalam bukunya Clinical Pharmacy
and Therapeutics (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus
memberikan Therapeutic Judgement dari pada hanya sebagai sumber
informasi obat.
Di Inggris, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru dalam pendidikan
farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula menjadi bagian dari MIPA,
berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri secara utuh.rofesi farmasi
berkembang ke arah patient oriented, memuculkan berkembangnya Ward
Pharmacy (farmasi bangsal) atau Clinical Pharmacy (Farmasi klinik).

Di USA telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan profesional
lain memerlukan informasi obat tang seharusnya datang dari para apoteker.
Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker
merupakan informasi obat yang parah, tidak mampu memenuhi kebutuhan
para dokter akan informasi obat Apoteker yang berkualits dinilai amat
jarang/langka, bahkan dikatakan bahwa dibandingkan dengan apotekeer,
medical representatif dari industri farmasi justru lebih merupakan sumber
informasi obat bagi para dokter.
Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep Pharmaceutical Care
yang membawa para praktisi maupun para profesor ke arah wilayah
pasien.
Secara global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah
akarnya semula yaitu sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien.
Apoteker diharapkan setidak-tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat
baik bagi masyarakat maupun profesi kesehatan lain baik di rumah sakit, di
apotek atau dimanapun apoteker berada.
c) Perkembangan Farmasi Masa Depan
BPOM adalah badan resmi di Indonesia yang berhak memberi ijin untuk
beredarnya produk obat, obat herbal,makanan dan minuman yang boleh
beredar di Indonesia. Namun dalam sebagian besar pertimbangan untuk
regulasi dan pemilihan kepalanya yang ada di lembaga tersebut bukanlah orang
farmasi. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh menteri kesehatan yang diwakili
oleh profesi kedokteran. Sehingga farmasi Indonesia terasa belum bebas
sepenuhnya dan diakui sebagai profesi yang mampu berkembang walaupun
banyak berdiri pabrik-pabrik besar farmasi di negara ini.
Di lain pihak bahwa sebagian besar mental-mental lulusan farmasi
Indonesia masih memikirkan pekerjaan teknis-teknis saja. Belum begitu peduli
terhadap isu-isu yang terjadi dunia kefarmasian, terhadap regulasi yang
mengatur kefarmasian dan bersedia untuk merangkap kerja untuk bekerja di
sector public sebagai pembuat konsep regulasi. Oleh karena itulah maka
lulusan farmasi yang ada di masa yang akan datang haruslah berani membuka
diri untuk menerima ilmu-ilmu lain di luar farmasi untuk mendukung
keprofesiannya. Seperti ilmu hukum untuk mendukung farmasi dari sisi
undang-undang. Ilmu manajemen untuk mendukung farmasi dari sisi
kepemimpinan dan manajerial. Sisi psikologi untuk mendukung farmasi dari
sisi kepemimpinan dan interaksi dengan orang lain. Dan masih banyak ilmu-
ilmu yang secara parsial berhubungan dengan dunia kefarmasian seperti ilmu-
ilmu medis, bioteknologi, teknologi produksi dan lain-lain. Keterbukaan
farmasi untuk mau belajar lebih tersebut akan membuat pencitraan farmasi
akan dianggap baik dari segala sisi yang saling mendukung. Karena pencitraan
profesi ini tidaklah berhasil jika hanya ditinjau dari satu sisi saja. Namun tidak
semua ilmu tersebut harus diberikan kepada mahasiswa dalam kuliah. Hanya
ilmu-ilmu tertentu saja yang sesuai untuk diberikan kepada mahasiswa yang
sudah memilki focus terhadap bidang pekerjaannya nanti. Sehingga spesialisasi
farmasi seharusnya juga menyesuaikan cabang pekerjaan farmasi yang ada
tersebut. Aktif dalam kegiatan pembahasan tentang isu-isu yang terjadi di dunia
kefarmasian. Seorang apoteker haruslah mengusahakan pembelajaran seumur
hidup untuk mengikuti kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Serta mempertimbangkan aspek nine star of pharmacist yang diajarkan di
fakultas farmasi universitas airlangga bahwa farmasi adalah juga sebagai care
giver, decision maker, communicator, leader, manager, life long learner,
teacher, researcher dan pharmapreneur.
Oleh karena itulah maka secara garis besar fokus pekerjaan farmasi terbagi
menjadi dua bidang besar yaitu farmasi klinik dalam usaha pelayanan
kefarmasian kepada pasien dan farmasi industry dalam usaha riset serta
produksi obat-obatan dengan kualitas yang tinggi.Ditambah lagi akhir-akhir ini
juga telah ada tuntutan untuk menjamin kualitas dengan berkembangnyaobat-
obatan herbal yang memerlukan kajian yang berbeda dari obat-obatan modern.
Hal tersebut menjadipekerjaan farmasi juga. Dengan beragamnya tugas farmasi
tersebut maka institusi pendidikan farmasi jugaharus menyediakan
pengetahuan tentang berbagai pekerjaan farmasi tersebut. Farmasi haruslah
mau terbukamenerima ilmu-ilmu yang baru serta spesifik untuk fokus
bidangnya untuk saling mendukung pekerjaanfarmasi.
Komponen utama dalam dunia pendidikan adalah kurikulum. Begitu juga
pendidikan tinggi farmasi. Untuk mendapatkan lulusan yang berkompeten,
kurikulum farmasi pun harus berlandaskan kompetensi dan sesuai dengan
kebutuhan dunia kerja sehingga lulusan yang dihasilkan nantinya bisa dijamin
kualitasnya. Ini merupakan pekerjaan berat untuk seluruh stakeholder, baik itu
pemerintah, asosiasi perguruan tinggi farmasi maupun perguruan tinggi farmasi
itu sendiri.
Permasalahan kunci hari ini adalah pendidikan tinggi farmasi belum bisa
merespon permintaan dunia kerja dalam menghasilkan sumber daya manusia
yang diinginkan dan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya komunikasi yang berkelanjutkan antara perguruan tinggi sebagai
produsen dengan pemberi pekerja sebagai konsumen. Perguruan tinggi
farmasi berjalan dengan teori-teori yang notabene textbook tidak sejalan
dengan realita dunia kerja hari ini. Tak ayal, miss-link and match selalu
mewarnai hubungan keduanya. Dunia kerja hari ini masih menganggap bahwa
teori perkuliahan adalah sebuah kehidupan maya dan berbeda dengan dunia
kerja sebagai sebuah realita.
Untuk itu, ke depannya kurikulum dunia pendidikan tinggi farmasi harus
disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan dunia kerja. Agar sejalan, perlu
adanya sebuah korelasi antara perguruan tinggi farmasi dengan pihak yang
membutuhkan sumberdaya yang dihasilkan fakultas farmasi, baik itu industri,
pemerintahan, ataupun dunia usaha.
Untuk mewujudkan suatu kurikulum yang sesuai dengan permintaan dunia
kerja, perlu sebuah forum bersama antara pelaku dunia kerja sebagai pihak
yang membutuhan lulusan farmasi yang berkompeten, pemerintah sebagai
pengatur regulasi dan pihak perguruan tinggi sebagai penghasil lulusan.
Penting untuk membahas perkembangan baru kefarmasian, perubahan-
perubahan paradigma kefarmasian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
dunia kefarmasian sehingga nantinya akan tercipta sesuatu sinergisitas antar
semua pihak yang terlibat dalam dunia kefarmasian tersebut, sehingga peran
perguruan tinggi farmasi benar-benar terlihat sebagai poros depan kemajuan
dunia farmasi.

B. Potret Industri Farmasi Indonesia


Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik
farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV.
Chemicalien Rathkamp & Co dan NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van
Gorkom & Co. pada tahun 1865. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali
di Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896. Perkembangan
selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang kemerdekaan usai perusahaan-
perusahaan farmasi milik Belanda yaitu Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek
yang memproduksi pil kina dan Onderneming Jodium yang memproduksi Iodium
dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya
menjadi PT Kimia Farma (persero). Sementara pabrik pembuatan salep dan kasa,
Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri pada tahun 1918 menjadi perum
Indofarma yang saat ini menjadi PT Indofarma (persero). Perkembangan yang
cukup signifikan bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia adalah dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun
1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun
1968 yang mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia hingga saat ini.
Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri
yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan
merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN. Dari data Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005), pertumbuhan industri farmasi Indonesia
ratarata mencapai 14,10% per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional
yang hanya mencapai 5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004
mencapai lebih kurang Rp 20 triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun,
dan tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun). Akan tetapi jika dilihat dari omzet
penjualan secara global (all over the world), pasar farmasi Indonesia tidak lebih
dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia.

Gambaran pasar di atas ternyata belum disambut dengan sebuah proses


untuk menjadi lebih efisien dalam industri farmasi. Pengelolaan saluran distribusi
(distribution channel) dalam industri farmasi di Indonesia ternyata lebih
mengarah pada model Concentration. Model ini memberikan peluang bagi
produsen farmasi untuk mengurangi jumlah transaksi secara signifikan (Bowersox
dan Closs, 1996). Desain Pemerintah Republik Indonesia atas hadirnya Pedagang
Besar Farmasi (PBF) memungkinkan produsen farmasi untuk menghindarkan diri
dari risiko besarnya jumlah akun transaksi dengan peritel secara langsung.

Dari data badan POM RI taun 2005 menyebutkan terdapat 205 industri
farmasi di Indonesia, namun demikian yang aktif hanya tinggal 188 industri
farmasi, terdiri dari 4 BUMN, 30 PMA dan 154 industri farmasi nasional. Jika
dilihat dari penguasaan pasar, 54,5% pasar dikuasai oleh 20 industri farmasi dan
70 % pasar dikuasai oleh 60 industri farmasi, sedangkan sisanya (188 industri
farmasi ) memperebutkan 16 % sisa pasar. Jika dilihat lebih jauh, ternyata tidak
satupun industri farmasi Indonesia yang mendominasi pasar. SANBE FARMA
sebagai industry farmasi ranking pertama, hanya menguasai 7,25% sedangkan
KALBE FARMA (peringkat kedua) menguasai 5,99% pasar, sehingga pasar
farmasi Indonesia terpecah-pecah menjadi pasar yang kecil-kecil (ter-
fragmentasi). Hal ini tentu saja sangat tidak menguntungkan tatkala berhadapan
dengan pasar bebas (AFTA/WTO) yang sebentar lagi akan dihadapi.

Disamping pasar yang ter-fragmentasi masalah lain yang dihadapi industri


farmasi nasional antara lain:

1. Tidak ada industri bahan baku, hal ini mengakibatkan 95% bahan baku
masih harus di impor ( dharga bahan baku industry dalam negrti tidak
lebih murah dari bahan baku impor). Ketergantungan impor belum
diimbangi dengan upaya pengembangan baku local, selain memerlukan
biaya infestasi tinggi, daya tinggi, daya dukung peralatan masih belum
memadai.
2. Idle kapasitas produksi farmasi nasional mencapai 50% karena masih
belum adanya solusi yang tepat untuk menanggulanginya termaksud
alternative melalui toil manufacturing maupun konsep production house.
3. Penerapan aturan internasional terhadap standarisasi industry farmasi
tertutama menyangkut c-GMP , registrasi dan belum adanya koordinasi
terhadap pemerintah ( Badan POM ) dengan industry farmasi.
4. Kondisi industry farmasi nasional tidak merata disatu titik terdpat
sejumlah kecil industry farmasi yang sudah siap menghadapi pasar bebes,
bagi dari segi hardware , software maupun brainware ( SDM), disisi lain
banyka industry farmasi nasional yang belum memenuhi persyaratan
internasional.

Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita yang hanya
mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah
satu angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat
tertinggi adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Berikut adalah data konsumsi obat di negara-negara ASEAN:
Dan lagi, menurut Ronny H. Mustamu (2000) mengungkap bahwa
ketidakstabilan ekonomi-politik yang berdampak pada melemahnya nilai tukar
Rupiah terhadap valuta asing akan secara langsung berdampak pada industri
farmasi di Indonesia. Fakta bahwa lebih dari 90 prosen bahan baku berasal dari
negara lain, sangatlah menempatkan industri ini pada posisi rentan pada
ketidakstabilan ekonomi-politik tersebut. Seiring dengan melemahnya daya beli
masyarakat, maka beragam bentuk obat alternatif seperti jamu dan ramuan China
sangat mempengaruhi pertumbuhan pasar industri farmasi Indonesia.
Pertumbuhan konsumsi obat per kapita di Indonesia sesungguhnya masih kurang
menggembirakan nilainya (Grafik 1). Namun demikian, besarnya potensi volume
pasar dalam negeri Indonesia (dengan lebih dari 235 juta penduduk), memberikan
potensi keuntungan yang menjanjikan bagi para pemain asing (Grafik 2). Oleh
karenanya, meskipun pasar obat di Indonesia sarat dengan ketidakpastian dan
pemalsuan produk, namun para pemain asing sangat berminat untuk bekerja di
Indonesia. 31 pabrikan farmasi asing di Indonesia telah menguasai sekitar 50
prosen pasar produk farmasi nasional.
Tetapi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang
cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di
antara negara-negara ASEAN. Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia
tidak hanya disebabkan karena rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat
di Indoneisa berbeda dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia
misalnya, pola penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat
paten jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga obat branded generic. Dengan
makin membaiknya pendapatan per kapita dan sistem jaminan kesehatan
Indonesia di masa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar.
Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi postif dengan pertumbuhan industry
farmasi Indonesia di masa mendatang. Ekpor obat Indonesia dari tahun ke tahun
menunjukkan peningkatan meskipun nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5%
dari total penjualan industri farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya
harmonisasi regulasi farmasi ASEAN selambat lambatnya tahun 2010 maka akan
tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam arti tidak ada lagi
hambatan tarif maupun nontarif dalam perdagangan farmasi di region ASEAN. Ini
berarti terbuka peluang bagi industri farmasi untuk mengembangkan ekspor di
pasar ASEAN, tetapi pada saat yang sama pasar domestic Indonesia akan
terancam masuknya produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih leluasa di
Indonesia.

C. Penyebaran Farmasi Indonesia


Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri farmasi. Ada beberapa
faktor yang menjadi driver pertumbuhan industri farmasi nasional yaitu jumlah
penduduk Indonesia yang besar; kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan
kesehatan; tingkat perekonomian masyarakat yang terus meningkat; dan akses
kesehatan yang meningkat seiring implementasi BPJS Kesehatan. Sebagai
tambahan, rasio healthcare expenditure terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia saat ini masih relatif rendah (3,1%) sehingga potensi peningkatan
masih cukup besar. Healthcare expenditure per kapita Indonesia diperkirakan akan
tumbuh sebesar 14% per tahun, dari USD108 pada 2012 menjadi USD237 pada
2018. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, rasio healthcare
expenditure terhadap PDB maupun healthcare expenditure per kapita per tahun di
Indonesia saat ini termasuk rendah. Pasar farmasi nasional tumbuh rata-rata 12%
per tahun (CAGR) pada periode 2010-2014. Besar pasar farmasi nasional pada
tahun 2015 sekitar Rp62-65 triliun, dan akan meningkat menjadi Rp69 trilyun
pada tahun 2016. Pada 1H15, obat resep (ethical) mendominasi sekitar 61% pasar
farmasi nasional dan sisanya adalah obat bebas (over the counter/OTC). Sebagai
tambahan, obat resep dibedakan menjadi obat patent, generik bermerk (branded
generic) dan generik berlogo (OGB).

Struktur industri farmasi sangat terfragmentasi.


Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 239 perusahaan farmasi yang
beroperasi. Sebagian besar industri farmasi terdapat di Jawa Barat (94), Jawa
Timur (47), dan DKI Jakarta (37). Beberapa top players di industri ini adalah
Kalbe Farma, Sanbe, Soho, Pharos Indonesia, Dexa Medica dan Tempo Scan
Pacific. Total pangsa pasar lima besar pemain tersebut adalah sebesar 32%.

Persaingan di industri farmasi semakin ketat


Strategi diversifikasi usaha semakin banyak dilakukan oleh produsen
farmasi karena persaingan di pasar obat resep semakin ketat di era BPJS
Kesehatan. Banyak pemain di industri farmasi masuk lebih dalam ke sektor
consumerhealth (OTC, produk nutrisi, minuman energi dan produk kesehatan
lainnya), mengantisipasi ketatnya persaingan di pasar obat resep.

Pangsa pasar pemain domestik di industri farmasi cukup kuat


Sampai dengan tahun 2015, perusahaan farmasi domestik masih
mendominasi dengan penguasaan pangsa pasar sebesar 72%, sedangkan
perusahaan farmasi multinasional menguasai pangsa pasar sebesar 28%. Pasar
farmasi terdiri dari pasar obatresep dan obat bebas dimana masing-masing pangsa
pasarnya sebesar 61% dan 39%. Dari masing-masing pangsa pasar tersebut,
perusahaan domestik menguasai pangsa pasar sebesar 38% obat resep dan 34%
obat bebas, dimana sisanya dikuasai perusahaan multinasional.

Pemerintah melonggarkan batas kepemilikan asing hingga 100% untuk


industri bahan baku obat.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X yang
dirilis pada tanggal 11 Februari2016. Sebelumnya, ketentuan porsi kepemilikan
asing untuk industri bahan baku obat maksimal sebesar 85% berdasarkan Perpres
No.39 Tahun 2014. Melalui kebijakan baru ini, Pemerintah berharap dapat
menarik investasi lebih besar ke industri bahan baku obat. Dengan demikian,
ketergantungan impor bahan baku obat secara perlahan akan berkurang, dan
selanjutnya dapat menekan mahalnya harga obat di Indonesia. Kami memandang
kebijakan ini sebagai langkah positif dukungan pemerintah bagi pengembangan
industri farmasi nasional. Namun demikian, dampaknya baru akan dirasakan
dalam jangka menengah panjang. Di samping itu, aturan pelonggaran porsi
kepemilikan asing tersebut perlu disinergikan dengan berbagai upaya/kebijakan
teknis pengembangan bahan baku obat lainnya.

Perluasan wilayah ekspor ke negara-negara Timur Tengah serta Afrika


Utara mendorong PT Merck Indonesia melakukan ekspansi pabrik dengan
menambah fasilitas produksi tablet dan kapsul
PT Merck Indonesia menargetkan pada 2018 kapasitas produksi menjadi
dua kali lipat. Kapasitas produksi perusahaan saat ini mencapai 900 juta tablet dan
kapsul per tahun dengan utilisasi 77% atau sebesar 700 juta tablet dan kapsul pada
2015. Ekspansi tersebut akan dibagi menjadi empat tahap. Pada 2015 ekspansi
dimulai dengan menambah kapasitas infrastruktur berupa fasilitas pembuatan
produk solid atau tablet dan kapsul, dilanjutkan pada tahun ini hingga 2017
dengan penambahan fasilitas mesin. Pada 2018 perusahaan akan menambah
kapasitas pada produk obat cair.

PT Phapros mulai merambah produksi alat-alat kesehatan, terutama implan


untuk korban patah tulang yang selama ini kebanyakan masih impor
Data dari Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia menyebutkan pada
2014 pasar alat kesehatan diindonesia, termasuk implan mencapai Rp15
triliun,namun 90 persen di antaranya masih harus impor. Sementara Direktur
Utama PT Phapros, Iswanto,menyatakan bahwa pertumbuhan rata-rata alat
kesehatan dalam negeri selama lima tahun ini mencapai12,8%. Untuk
memperkuat bisnis alat kesehatan, Phapros sudah menyiapkan beberapa strategi,
seperti pemasaran produk implan "arthroplasty" bernama"Implancast" untuk
persendian lutut dan pinggul yang dilapisi dengan 'titanium nitride' sehingga dapat
mengurangi reaksi alergi pada tubuh.

Grup Kalbe
Memiliki pasar farmasi terbesar di Indonesia (13%), diikuti oleh Grup
Dexa Medica (5%), Sanbe (5%), Grup Soho (5%), Grup Pharos (4%), Grup
Tempo (3 %), dan Grup GlaxosmithKline (3%). Bila dilihat secara lebih rinci
berdasarkan jenis obat, para pemain utama di segmen Obat Etikal adalah Grup
Kalbe (13%), Grup Dexa Medica (7%), Sanbe (6%), Grup Sanofi Aventis (4%),
Grup Novartis (4%), Fahrenheit (4%), dan Interbat (3%). Sementara itu, pemain
utama di segmen OTC meliputi Grup Kalbe (14%), Grup Soho (8%), Grup Pharos
(7%), Grup Tempo (7%), Grup Abbott (5%), Konimex (5%) , dan Grup
GlaxosmithKline (4%).
Dari Pedagang Besar Farmasi, produk obat selanjutnya dipasarkan melalui
sub-distributor atau langsung ke pengecer seperti apotek, rumah sakit, toko obat,
dokter, dan toko-toko umum lainnya dengan menggunakan layanan medical
representative.
Pada 2010 terdapat sekitar 2.855 Pedagang Besar Farmasi dengan apotek
sebanyak 16.603 gerai dan toko obat 8.447 gerai. Di jalur ritel, persentase obat
yang dipasarkan melalui apotek sekitar 43%, melalui toko-toko umum sebesar
18%, melalui toko obat 14%, melalui dokter 13%, dan melalui rumah sakit
sebesar 12%.

Beberapa hal yang mempengaruhi omset penjualan apotek adalah lokasi,


kehadiran dokter yang membuka praktek pribadi dalam lokasi farmasi dan
persepsi publik tentang kelengkapan obat yang disediakan oleh apotek. Secara
umum, marjin keuntungan yang diperoleh oleh apotek dari penjualan obat rata-
rata sekitar 10% untuk Obat OTC, sedangkan untuk Obat Etikal sebesar 20% -
30%. Data yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan 2011, mencatat bahwa Pertumbuhan industri farmasi juga didukung
oleh pengembangan fasilitas distribusi farmasi, seperti Pedagang Besar Farmasi
sebagai grosir, apotek dan toko obat sebagai pengecer. Selama tahun 2007-2010,
apotek tumbuh rata-rata 35% per tahun, ini merupakan kenaikan tertinggi di
antara jalur distribusi lainnya. Pada tahun 2010 tercatat jumlah apotek di
Indonesia mencapai 16.603 gerai.

Persebaran bahan baku industri farmasi


Saat ini Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan akan obat sendiri,
hampir 90% kebutuhan obat berasal dari produksi dalam negeri, hanya industri
farmasi di Indonesia masih sangat tergantungdengan bahan baku impor, hampir
96% bahan baku yang digunakan industri farmasi masih diimpor.
Pasar farmasi Indonesia pada tahun 2011 berkisar sekitar 43 triliun rupiah
(Business Monitoring International Report, 2011; IMS, 2011), dari jumlah
tersebut diperkirakan market value untuk bahan bakuobat (BBO) yang digunakan
adalah kurang lebih sekitar 30%-nyaatau sekitar 14 triliun rupiah. Dari jumlah
tersebut sekitar 96%-nyamerupakan bahan baku impor. Jumlah ini dapat
diminimalisir jikaada kemandirian di bidang obat dengan menumbuhkan
industribahan baku obat dalam negeri.
Obat memiliki peranan ganda yaitu peran sosial dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat tetapi memiliki peran ekonomis yang cukup tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa obat mempunyai peranan strategis yang
mempengaruhi ketahanannasional, oleh karena itu kemandirian dalam produksi
obat-obatan harus diupayakan agar Indonesia tidak selalu tergantung dari negara
lain. Oleh karena itu upaya untuk melakukan kemandirian bahan baku obat jangan
hanya dilihat dari sudut ekonomi saja, karena pada tahap awal produksinya maka
bahan baku dalam negeri mungkin saja lebih mahal dari bahan baku impor.
Pengembangan bahan baku obat dalam negeri hendaknya juga dipandang
sebagai suatu upaya untuk menjaga ketahanan nasional di bidang obat, karena
akan sangat riskan bagi suatu negara sebesar Indonesia apabila kita tetap
membiarkan ketergantungan industri farmasi dalam negeri terhadap bahan baku
obat impor. Salah satu proses pengembangan bahan baku obat dalam negeri ialah
melalui pemanfaatan sumber daya hayati Indonesia.
Kekayaan sumber daya hayati Indonesia merupakan sumber daya yang
potensial di bidang farmasi yang selama ini belum dimanfaatkan sepenuhnya.
Keragaman hayati tanaman, mikroorganisme dan biota laut berkolerasi langsung
dengan keragamankimia yang memiliki potensi yang sangat besar bagi
pengembanganobat. Disisi lain berdasarkan pemetaan riset yang dilakukan
olehDewan Riset Nasional tahun 2006 2007 untuk bidang kesehatandan obat
menunjukkan bahwa aktivitas riset yang paling tinggiadalah riset obat alami dari
senyawa aktif alam walaupun padatahun 2011 riset terhadap bahan baku kimia
juga meningkat dengancukup pesat. Keanekaragaman hayati dan banyaknya riset
di bidangobat alami dan obat kimia selanjutnya didorong untukpengembangan
industri bahan baku obat baik bahan baku obat aktif maupun bahan baku
pembantu (eksipien).
Industri farmasi merupakan cabang industri kimia yang memiliki nilai
tambah yang sangat tinggi. Selain melalui pendekatan sintesiskimia, saat ini
industri farmasi berbasis bioteknologi mengalamiperkembangan yang sangat
pesat. Indonesia memiliki peluang dalampengembangan industri farmasi baik
dengan pendekatan sintesiskimia maupun bioteknologi. Peluang yang paling besar
untukIndonesia adalah pengembangan industri berbasis bioteknologi,mengingat
tipe industri ini tidak tergantung pada produk industrikimia hulu melainkan dapat
diproduksi langsung dalam sebuahbioreaktor atau fermentator. Sedangkan untuk
pendekatan industrisintesa kimia, Indonesia memiliki sumber bahan baku yang
sangatberlimpah berupa minyak bumi, gas alam, batubara dan agrokimia,dengan
industri kimia hulu dan kimia hilir yang sudah berkembangsejak tahun 1970-an.
Indonesia dapat memulai industri bahan bakusebagai salah satu cabang industri
kimia khusus.
Untuk mengurangi ketergantungan bahan baku obat, perlu ditumbuhkan
industri bahan baku obat di tanah air, dimana pemerintah dalam waktu 10 hingga
20 tahun kedepan perlu membuat rencana strategis berupa roadmap
pengembangan bahan baku obat di Indonesia serta menetapkan starting point dan
strategi yang harus ditempuh dalam mewujudkan peningkatan kemandirian bahan
baku obat di Indonesia.
Ada tiga stake holder utama yang memiliki peran sentral dalam
pengembangan dan penyedian bahan baku obat. Pertama industri farmasi yang
memiliki tanggung jawab dalam hal pengembangan bahan baku obat dalam
negeri. Kedua peneliti dan akademisi yang memiliki kapasitas untuk
pengembangan bahan baku obat. Ketiga adalah pemerintah yang harus memiliki
political will untukmelaksanakan peningkatan kemandirian bahan baku obat ini.
Pemerintah harus memberikan insentif dan membuat kebijakan yang kondusif
bagi industri untuk mengembangkan bahan baku obat, serta menciptakan berbagai
skema pendanaan penelitian untuk mendorong kolaborasi riset antara peneliti dan
industri. Pada saat ini ada beberapa pendapat untuk memasukan lembaga
pembiayaan keuangan seperti bank, koperasi dan lain lain sebagai salah satustake
holder penting dalam pengembangan industri bahan baku obat.
Kemandirian bahan baku obat perlu diupayakan dalam rangka mendukung
pembangunan kesehatan nasional. Kegiatan pengembangan bahan baku obat
merupakan kegiatan prioritas yang tercantum dalam RPJMN Pembangunan
Kesehatan 2010-2014 dan akan difokuskan pada upaya untuk mewujudkan
kemandirian industri farmasi dalam memproduksi bahan baku obat baik bahan
baku aktif maupun pembantu (eksipien) dengan semaksimal mungkin
menggunakan bahan baku lokal.
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 juga telah
mencantumkan penyediaan bahan baku obat dalam arah, kebijakan dan
strateginya dengan fokus untuk mengurangi ketergantungan bahan baku impor
dalam produksi obat. Dalam Kepmenkes No. 267/Menkes/SK/II/2010 tentang
Penetapan Roadmap Reformasi Kesehatan 2010-2014 dalam Reformasi
Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada butir (d) telah dicantumkan perlunya upaya
kemandirian di bidang bahan baku obat dan obat tradisional Indonesia melalui
pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Kerangka dasar pemikiran
Peta jalan kemandirian bahan baku obat disusun dengan mengikuti alur
dan kerangka dasar pemikiran seperti yang ditunjukkan pada diagram di bawah ini
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah
1. Perkembangan ilmu farmasi dari zaman ke zaman bisa di bilang sangat pesat,
pada masa kini farmasi masih kurang di kenal di masyarakat , bahkan
peranannya di bidang kesehatan masih kurang di perhatikan, perkembangna
farmasi masa depan akan lebih baik bila di tunjang dengan bekal pendidikan
yang memadai, untuk itu maka untuk memajukan dunia farmasi harus di mulai
dengan membangun sistem p endidikan farmasi yang berkualitas
2. Potret farmasi industry di Indonesia yaitu Sejarah industri farmasi di
Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama yang didirikan di
Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp & Co dan
NV. Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri
yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan
merupakan pasar farmasi terbedar di kawasan ASEA. Akan tetapi jika dilihat
dari omzet penjualan secara global (all over the world), pasar farmasi
Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia.
3. Penyebaran farmasi Indonesia Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri
farmasi. Ada beberapa faktor yang menjadi driver pertumbuhan industri
farmasi nasional yaitu jumlah penduduk Indonesia yang besar; kesadaran
masyarakat yang semakin tinggi akan kesehatan; tingkat perekonomian
masyarakat yang terus meningkat; dan akses kesehatan yang meningkat
seiring implementasi BPJS Kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. 1999. Perspektif Industri Farmasi Nasional Menuju Era Globalisasi.


Info Logkes. I(3).

Biantoro, L.C. 2003. Prospek Saham Sektor Farmasi masih Menjanjikan. Suara
Karya Ed.

Mustamu, R. H . 2007. Manajemen Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia.


Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan. 9(2).

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama:


Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai