OLEH :
KELOMPOK I
DEVITA SUBA MAIRI (O1A1 14 009)
FARADILA CAHYANI R. (O1A1 14 014)
NUR ALIF FATUH R. (O1A1 14 033)
REZKY NAHDIATI R. (O1A1 14 039)
RISNAH MUFTIAH (O1A1 14 083)
RISNAWATI N (O1A1 14 043)
SALMI (O1A1 14 045)
SITI HAJAR (O1A1 14 047)
SRI HASTUTI (O1A1 14 052)
WA ODE HELMINA (O1A1 14 061)
WA ODE MAULIDYANTI (O1A1 14 063)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Farmasi sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia berkembang seiring
dengan perkembangan peradaban manusia. Farmasi awalnya berupa pelayanan
yang berfungsi melindungi manusia dari penderitaan, namun sekarang telah
berkembang menjadi profesi yang menjanjikan. Seiring dengan perkembangan
teknologi dan informasi, kebutuhan akan farmasi berkembang. Pasar farmasi perlu
diorganisir dan pengorganisasiannya mulai mempengaruhi pasar industri. Tujuan
utama industri farmasi adalah untuk menghasilkan obat yang aman dan efektif
untuk digunakan dalam terapi (efficacy, safety, toxicity) dan untuk kepentingan
ekonomi suatu negara. Industri farmasi juga bertujuan untuk daya tahan setiap
negara (Agoes, 1999). Industri farmasi di negara maju biasanya berbasis riset
dengan cara mencari dan menemukan bioaktif baru, menghasilkan obat atau bahan
baku hasil penelitian sendiri kemudian mempatenkannya selama periode waktu
tertentu. Di negara maju, berkembang industri sintetis atau fermentasi farmasi,
industri manufaktur yang merakit obat jadi dari bahan baku yang dihasilkan oleh
industri farmasi lainnya, industri farmasi bahan alam yang menghasilkan produksi
berasal dari alam dalam berbagai bentuk dan dibakukan menurut ketentuan yang
berlaku. Selain itu berkembang pula industri jasa farmasi yang memberikan jasa
berupa penelitian, sintesis, formulasi, studi tentang pasar dan kecenderungan
permintaan atau penggunaan obat, membuat perkiraan perkembangan masa datang
yang diperlukan untuk mengambil keputusan. Ada juga industri farmasi produk
biologi yang produknya berupa vaksin, serum dan sebagainya (Agoes, 1999).
Di lihat dari sudut pandang dunia, industri farmasi di Indonesia selama
tiga puluh tahun terakhir tidak mengalami perubahan. Selama ini pemberlakuan
kebijakan pemerintah yang sarat dengan muatan proteksi telah membuat industri
farmasi nasional terninabobokan. Padahal sekarang ini, industri farmasi dituntut
untuk mampu melihat dan memperkirakan aspek mana yang sedang atau akan
mengalami hambatan serta alternatif-alternatif terbaik yang diperlukan untuk
mengatasinya. Ada berbagai masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia
mulai dari strukturnya, perilaku, kinerja sampai kebijakan yang menjadi pondasi
dasarnya. Kebijakan pemerintah lebih banyak mendorong berkembangnya sektor
perdagangan farmasi daripada produksinya (Biantoro, 2002). Industri farmasi
Indonesia masih relatif sederhana berupa industri manufaktur sehingga pasar
kurang berkembang. Padahal, industri farmasi manapun di dunia harus sudah
berbasis riset dengan berorientasi pada mutu (Agoes, 1999).
Secara struktural, industri farmasi nasional mempunyai kelemahan
mendasar. Sembilan puluh persen kebutuhan bahan baku obat masih harus di
impor. Situasi ini mencerminkan ketergantungan industri farmasi nasional
terhadap impor. Padahal, jumlah obat yang beredar di masyarakat yang mencapai
lebih dari 12 ribu jenis. Menurut Sampurno dan Ahaditomo dalam GP Farmasi
(2003), di negara maju asuransi kesehatan berperan sebagai kontrol harga obat.
Obat-obat yang mahal tidak akan masuk dalam daftar plafon harga obat yang
mereka susun karena 70 persen belanja obat ditanggung oleh asuransi. Di
Indonesia, ada regulasi yang mengatur harga obat sehingga produsen wajib
mencantumkan harga tertinggi. Jadi, pengaturan harga obat yang seharusnya
dikontrol oleh pemerintah dengan mekanisme pasar, kini dikontrol dengan
regulasi harga. Dilihat dari sisi lain, sektor farmasi di Indonesia menarik untuk
dikaji karena jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa, iklim
tropis, penyebaran penduduk yang tidak merata dan keadaan geografis
mengakibatkan banyaknya virus dan bakteri berkembang. Ini merupakan pasar
yang potensial bagi industri farmasi nasional dan dunia. Jadi tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa industri farmasi Indonesia merupakan peluang bisnis yang
menjanjikan (Biantoro, 2003).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah perkembangan farmasi dulu, sekarang dan masa depan ?
2. Bagaimanakah potret farmasi industri di Indonesia ?
3. Bagaimanakah penyebaran farmasi industri di Indonesia ?
C. Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui perkembangan farmasi dulu, sekarang dan masa depan.
2. Untuk mengetahui potret farmasi industri di Indonesia.
3. Untuk mengetahui penyebaran farmasi industri di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata farmasi berasal dari kata (Pharma). Farmasi merupakan istilah yang
dipakai pada 1400-1600an. Farmasi dalam bahasa inggris adalah pharmacy,
bahasa yunani adalah pharmacon, yang artinya adalah obat. Farmasi merupakan
salah satu bidang ilmu professional kesehatan yang merupakan kombinasi dari
ilmu kesehatan, ilmu fisika, dan ilmu kimia. Yang mempunyai tanggung jawab
memastikan efektivitas dan keamanan penggunaan obat. Ruang lingkup farmasi
sangatlah luas termasuk penelitian, pembuatan, peracikan, penyediaan sediaan
obat, pengujian, serta pelayanan informasi obat.
Di USA telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan profesional
lain memerlukan informasi obat tang seharusnya datang dari para apoteker.
Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker
merupakan informasi obat yang parah, tidak mampu memenuhi kebutuhan
para dokter akan informasi obat Apoteker yang berkualits dinilai amat
jarang/langka, bahkan dikatakan bahwa dibandingkan dengan apotekeer,
medical representatif dari industri farmasi justru lebih merupakan sumber
informasi obat bagi para dokter.
Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep Pharmaceutical Care
yang membawa para praktisi maupun para profesor ke arah wilayah
pasien.
Secara global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah
akarnya semula yaitu sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien.
Apoteker diharapkan setidak-tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat
baik bagi masyarakat maupun profesi kesehatan lain baik di rumah sakit, di
apotek atau dimanapun apoteker berada.
c) Perkembangan Farmasi Masa Depan
BPOM adalah badan resmi di Indonesia yang berhak memberi ijin untuk
beredarnya produk obat, obat herbal,makanan dan minuman yang boleh
beredar di Indonesia. Namun dalam sebagian besar pertimbangan untuk
regulasi dan pemilihan kepalanya yang ada di lembaga tersebut bukanlah orang
farmasi. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh menteri kesehatan yang diwakili
oleh profesi kedokteran. Sehingga farmasi Indonesia terasa belum bebas
sepenuhnya dan diakui sebagai profesi yang mampu berkembang walaupun
banyak berdiri pabrik-pabrik besar farmasi di negara ini.
Di lain pihak bahwa sebagian besar mental-mental lulusan farmasi
Indonesia masih memikirkan pekerjaan teknis-teknis saja. Belum begitu peduli
terhadap isu-isu yang terjadi dunia kefarmasian, terhadap regulasi yang
mengatur kefarmasian dan bersedia untuk merangkap kerja untuk bekerja di
sector public sebagai pembuat konsep regulasi. Oleh karena itulah maka
lulusan farmasi yang ada di masa yang akan datang haruslah berani membuka
diri untuk menerima ilmu-ilmu lain di luar farmasi untuk mendukung
keprofesiannya. Seperti ilmu hukum untuk mendukung farmasi dari sisi
undang-undang. Ilmu manajemen untuk mendukung farmasi dari sisi
kepemimpinan dan manajerial. Sisi psikologi untuk mendukung farmasi dari
sisi kepemimpinan dan interaksi dengan orang lain. Dan masih banyak ilmu-
ilmu yang secara parsial berhubungan dengan dunia kefarmasian seperti ilmu-
ilmu medis, bioteknologi, teknologi produksi dan lain-lain. Keterbukaan
farmasi untuk mau belajar lebih tersebut akan membuat pencitraan farmasi
akan dianggap baik dari segala sisi yang saling mendukung. Karena pencitraan
profesi ini tidaklah berhasil jika hanya ditinjau dari satu sisi saja. Namun tidak
semua ilmu tersebut harus diberikan kepada mahasiswa dalam kuliah. Hanya
ilmu-ilmu tertentu saja yang sesuai untuk diberikan kepada mahasiswa yang
sudah memilki focus terhadap bidang pekerjaannya nanti. Sehingga spesialisasi
farmasi seharusnya juga menyesuaikan cabang pekerjaan farmasi yang ada
tersebut. Aktif dalam kegiatan pembahasan tentang isu-isu yang terjadi di dunia
kefarmasian. Seorang apoteker haruslah mengusahakan pembelajaran seumur
hidup untuk mengikuti kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Serta mempertimbangkan aspek nine star of pharmacist yang diajarkan di
fakultas farmasi universitas airlangga bahwa farmasi adalah juga sebagai care
giver, decision maker, communicator, leader, manager, life long learner,
teacher, researcher dan pharmapreneur.
Oleh karena itulah maka secara garis besar fokus pekerjaan farmasi terbagi
menjadi dua bidang besar yaitu farmasi klinik dalam usaha pelayanan
kefarmasian kepada pasien dan farmasi industry dalam usaha riset serta
produksi obat-obatan dengan kualitas yang tinggi.Ditambah lagi akhir-akhir ini
juga telah ada tuntutan untuk menjamin kualitas dengan berkembangnyaobat-
obatan herbal yang memerlukan kajian yang berbeda dari obat-obatan modern.
Hal tersebut menjadipekerjaan farmasi juga. Dengan beragamnya tugas farmasi
tersebut maka institusi pendidikan farmasi jugaharus menyediakan
pengetahuan tentang berbagai pekerjaan farmasi tersebut. Farmasi haruslah
mau terbukamenerima ilmu-ilmu yang baru serta spesifik untuk fokus
bidangnya untuk saling mendukung pekerjaanfarmasi.
Komponen utama dalam dunia pendidikan adalah kurikulum. Begitu juga
pendidikan tinggi farmasi. Untuk mendapatkan lulusan yang berkompeten,
kurikulum farmasi pun harus berlandaskan kompetensi dan sesuai dengan
kebutuhan dunia kerja sehingga lulusan yang dihasilkan nantinya bisa dijamin
kualitasnya. Ini merupakan pekerjaan berat untuk seluruh stakeholder, baik itu
pemerintah, asosiasi perguruan tinggi farmasi maupun perguruan tinggi farmasi
itu sendiri.
Permasalahan kunci hari ini adalah pendidikan tinggi farmasi belum bisa
merespon permintaan dunia kerja dalam menghasilkan sumber daya manusia
yang diinginkan dan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya komunikasi yang berkelanjutkan antara perguruan tinggi sebagai
produsen dengan pemberi pekerja sebagai konsumen. Perguruan tinggi
farmasi berjalan dengan teori-teori yang notabene textbook tidak sejalan
dengan realita dunia kerja hari ini. Tak ayal, miss-link and match selalu
mewarnai hubungan keduanya. Dunia kerja hari ini masih menganggap bahwa
teori perkuliahan adalah sebuah kehidupan maya dan berbeda dengan dunia
kerja sebagai sebuah realita.
Untuk itu, ke depannya kurikulum dunia pendidikan tinggi farmasi harus
disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan dunia kerja. Agar sejalan, perlu
adanya sebuah korelasi antara perguruan tinggi farmasi dengan pihak yang
membutuhkan sumberdaya yang dihasilkan fakultas farmasi, baik itu industri,
pemerintahan, ataupun dunia usaha.
Untuk mewujudkan suatu kurikulum yang sesuai dengan permintaan dunia
kerja, perlu sebuah forum bersama antara pelaku dunia kerja sebagai pihak
yang membutuhan lulusan farmasi yang berkompeten, pemerintah sebagai
pengatur regulasi dan pihak perguruan tinggi sebagai penghasil lulusan.
Penting untuk membahas perkembangan baru kefarmasian, perubahan-
perubahan paradigma kefarmasian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
dunia kefarmasian sehingga nantinya akan tercipta sesuatu sinergisitas antar
semua pihak yang terlibat dalam dunia kefarmasian tersebut, sehingga peran
perguruan tinggi farmasi benar-benar terlihat sebagai poros depan kemajuan
dunia farmasi.
Dari data badan POM RI taun 2005 menyebutkan terdapat 205 industri
farmasi di Indonesia, namun demikian yang aktif hanya tinggal 188 industri
farmasi, terdiri dari 4 BUMN, 30 PMA dan 154 industri farmasi nasional. Jika
dilihat dari penguasaan pasar, 54,5% pasar dikuasai oleh 20 industri farmasi dan
70 % pasar dikuasai oleh 60 industri farmasi, sedangkan sisanya (188 industri
farmasi ) memperebutkan 16 % sisa pasar. Jika dilihat lebih jauh, ternyata tidak
satupun industri farmasi Indonesia yang mendominasi pasar. SANBE FARMA
sebagai industry farmasi ranking pertama, hanya menguasai 7,25% sedangkan
KALBE FARMA (peringkat kedua) menguasai 5,99% pasar, sehingga pasar
farmasi Indonesia terpecah-pecah menjadi pasar yang kecil-kecil (ter-
fragmentasi). Hal ini tentu saja sangat tidak menguntungkan tatkala berhadapan
dengan pasar bebas (AFTA/WTO) yang sebentar lagi akan dihadapi.
1. Tidak ada industri bahan baku, hal ini mengakibatkan 95% bahan baku
masih harus di impor ( dharga bahan baku industry dalam negrti tidak
lebih murah dari bahan baku impor). Ketergantungan impor belum
diimbangi dengan upaya pengembangan baku local, selain memerlukan
biaya infestasi tinggi, daya tinggi, daya dukung peralatan masih belum
memadai.
2. Idle kapasitas produksi farmasi nasional mencapai 50% karena masih
belum adanya solusi yang tepat untuk menanggulanginya termaksud
alternative melalui toil manufacturing maupun konsep production house.
3. Penerapan aturan internasional terhadap standarisasi industry farmasi
tertutama menyangkut c-GMP , registrasi dan belum adanya koordinasi
terhadap pemerintah ( Badan POM ) dengan industry farmasi.
4. Kondisi industry farmasi nasional tidak merata disatu titik terdpat
sejumlah kecil industry farmasi yang sudah siap menghadapi pasar bebes,
bagi dari segi hardware , software maupun brainware ( SDM), disisi lain
banyka industry farmasi nasional yang belum memenuhi persyaratan
internasional.
Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita yang hanya
mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah
satu angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat
tertinggi adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Berikut adalah data konsumsi obat di negara-negara ASEAN:
Dan lagi, menurut Ronny H. Mustamu (2000) mengungkap bahwa
ketidakstabilan ekonomi-politik yang berdampak pada melemahnya nilai tukar
Rupiah terhadap valuta asing akan secara langsung berdampak pada industri
farmasi di Indonesia. Fakta bahwa lebih dari 90 prosen bahan baku berasal dari
negara lain, sangatlah menempatkan industri ini pada posisi rentan pada
ketidakstabilan ekonomi-politik tersebut. Seiring dengan melemahnya daya beli
masyarakat, maka beragam bentuk obat alternatif seperti jamu dan ramuan China
sangat mempengaruhi pertumbuhan pasar industri farmasi Indonesia.
Pertumbuhan konsumsi obat per kapita di Indonesia sesungguhnya masih kurang
menggembirakan nilainya (Grafik 1). Namun demikian, besarnya potensi volume
pasar dalam negeri Indonesia (dengan lebih dari 235 juta penduduk), memberikan
potensi keuntungan yang menjanjikan bagi para pemain asing (Grafik 2). Oleh
karenanya, meskipun pasar obat di Indonesia sarat dengan ketidakpastian dan
pemalsuan produk, namun para pemain asing sangat berminat untuk bekerja di
Indonesia. 31 pabrikan farmasi asing di Indonesia telah menguasai sekitar 50
prosen pasar produk farmasi nasional.
Tetapi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang
cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di
antara negara-negara ASEAN. Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia
tidak hanya disebabkan karena rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat
di Indoneisa berbeda dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia
misalnya, pola penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat
paten jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga obat branded generic. Dengan
makin membaiknya pendapatan per kapita dan sistem jaminan kesehatan
Indonesia di masa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar.
Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi postif dengan pertumbuhan industry
farmasi Indonesia di masa mendatang. Ekpor obat Indonesia dari tahun ke tahun
menunjukkan peningkatan meskipun nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5%
dari total penjualan industri farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya
harmonisasi regulasi farmasi ASEAN selambat lambatnya tahun 2010 maka akan
tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam arti tidak ada lagi
hambatan tarif maupun nontarif dalam perdagangan farmasi di region ASEAN. Ini
berarti terbuka peluang bagi industri farmasi untuk mengembangkan ekspor di
pasar ASEAN, tetapi pada saat yang sama pasar domestic Indonesia akan
terancam masuknya produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih leluasa di
Indonesia.
Grup Kalbe
Memiliki pasar farmasi terbesar di Indonesia (13%), diikuti oleh Grup
Dexa Medica (5%), Sanbe (5%), Grup Soho (5%), Grup Pharos (4%), Grup
Tempo (3 %), dan Grup GlaxosmithKline (3%). Bila dilihat secara lebih rinci
berdasarkan jenis obat, para pemain utama di segmen Obat Etikal adalah Grup
Kalbe (13%), Grup Dexa Medica (7%), Sanbe (6%), Grup Sanofi Aventis (4%),
Grup Novartis (4%), Fahrenheit (4%), dan Interbat (3%). Sementara itu, pemain
utama di segmen OTC meliputi Grup Kalbe (14%), Grup Soho (8%), Grup Pharos
(7%), Grup Tempo (7%), Grup Abbott (5%), Konimex (5%) , dan Grup
GlaxosmithKline (4%).
Dari Pedagang Besar Farmasi, produk obat selanjutnya dipasarkan melalui
sub-distributor atau langsung ke pengecer seperti apotek, rumah sakit, toko obat,
dokter, dan toko-toko umum lainnya dengan menggunakan layanan medical
representative.
Pada 2010 terdapat sekitar 2.855 Pedagang Besar Farmasi dengan apotek
sebanyak 16.603 gerai dan toko obat 8.447 gerai. Di jalur ritel, persentase obat
yang dipasarkan melalui apotek sekitar 43%, melalui toko-toko umum sebesar
18%, melalui toko obat 14%, melalui dokter 13%, dan melalui rumah sakit
sebesar 12%.
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah
1. Perkembangan ilmu farmasi dari zaman ke zaman bisa di bilang sangat pesat,
pada masa kini farmasi masih kurang di kenal di masyarakat , bahkan
peranannya di bidang kesehatan masih kurang di perhatikan, perkembangna
farmasi masa depan akan lebih baik bila di tunjang dengan bekal pendidikan
yang memadai, untuk itu maka untuk memajukan dunia farmasi harus di mulai
dengan membangun sistem p endidikan farmasi yang berkualitas
2. Potret farmasi industry di Indonesia yaitu Sejarah industri farmasi di
Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama yang didirikan di
Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp & Co dan
NV. Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri
yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan
merupakan pasar farmasi terbedar di kawasan ASEA. Akan tetapi jika dilihat
dari omzet penjualan secara global (all over the world), pasar farmasi
Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia.
3. Penyebaran farmasi Indonesia Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri
farmasi. Ada beberapa faktor yang menjadi driver pertumbuhan industri
farmasi nasional yaitu jumlah penduduk Indonesia yang besar; kesadaran
masyarakat yang semakin tinggi akan kesehatan; tingkat perekonomian
masyarakat yang terus meningkat; dan akses kesehatan yang meningkat
seiring implementasi BPJS Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Biantoro, L.C. 2003. Prospek Saham Sektor Farmasi masih Menjanjikan. Suara
Karya Ed.