Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PORTOFOLIO RUMAH SAKIT

KASUS MEDIKOLEGAL

ASPEK HUKUM DOKTER DENGAN PERUSAHAAN FARMASI

Disusun Oleh :
dr. Aditya Kafi Amrullah

Pendamping :
dr. Layali Musafiroh
NIP. 198202252009032001

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SURADADI
SURADADI
2016

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Pelaksanaan Internsip Dokter Indonesia
di RSUD SURADADI
telah disetujui
pada tanggal :.............................2016

Disusun oleh :
dr. Aditya Kafi Amrullah

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Layali Musafiroh


NIP. 198202252009032001

LATAR BELAKANG
Permasalahan pelayanan kesehatan masyarakat sepertinya menjadi masalah
klasik yg tak kunjung terselesaikan di Indonesia.Salah satu faktor yangsangat
dirasakan masyarakat adalah tingginya biaya obat. Menurut Thabrani (FKM UI)
dalam biaya kesehatan masyarakat, biaya obat merupakan komponen terbesar dalam
pembiayaan kesehatan di Indonesia. Beliau juga mengutip dari Depkes drug and
health sector bahwa komponen belanja obat di Indonesia mencapai 39% dari total
biaya keseluruhan.1
Dalam Konas 2006 juga disebutkan bahwa, dari sudut keterjangkauan secara
ekonomis, harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat
tidak transparan.2 Survei dampak krisis ekonomi terhadap biaya obat dan ketersediaan
obat esensial antara 1997 2002 menunjukkan bahwa biaya resep rata-rata di sarana
pelayanan kesehatan sektor swasta jauh lebih tinggi dari pada di sektor publik yang
menerapkan pengaturan harga dalam sistem suplainya. Salah saru faktor yang
berkontribusi terhadap

harga obat di Indonesia menurut penelitian adalah biaya

promosi.3
Terkait hal ini, sudah menjadi rahasia umum di belahan mana saja di dunia
adanya hubungan mesra dokter dengan perusahaan farmasi.Hubungan dokter dan
perusahaan farmasi adalah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan kedua belah
pihak. Perusahaan obat butuh goresan pena para dokter untuk melariskan obatnya,
Di sisi lain, dokter juga membutuhkan berbagai support dari perusahaan obat baik
dalam hal informasi obat-obatan baru maupun support dalam bentuk yang lain.
Sayangnya hubungan mutualisme dokter-perusahaan farmasi ini terkait dengan pihak
ke tiga yaitu pasien. Dikarenakan support yang diberikan oleh perusahaan farmasi
kepada para dokter, mereka membebankan biaya promosi obat kepada komponen
harga obat yang nantinya akan dibayar oleh pasien. Artikel ini akan membahas:
Bolehkah dokter bekerjasama dengan perusahaan farmasi sesuai dg kode
etik kedokteran,kode etik farmasi, dan hukum?

Kerjasama Dokter dan Perusahaan Farmasi Ditinjau Dari Kode Etik


Kedokteran.
Di dalam kode etik kedokteran Indonesia (KodekI) yang dikeluarkan oleh
Majelis Kode Etik Kedokteran tahun 2001, pada poin Kewajiban umum pasal 3
dinyatakan bahwa dalam melakukan pekerjaannya seorang Dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang memengaruhi kebebasan dan kemandirian profesi.4
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 3 dirincikan bahwa perbuatan berikut
dipandang bertentangan dengan etik:
1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan
kedokteran dalam segala bentuk.
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya,
kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat,
perusahaan

alat

kesehatan/kedokteran

atau

badan

lain

yang

dapat

memengaruhi
pekerjaan dokter.
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan
obat, alat atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.
Berdasarkan butir-butir di atas, sangat jelas bahwa kerjasama dokter dengan
perusahaan farmasi jelas-jelas melanggar kode etik kedokteran.
Ditinjau dari kode etik perusahaan Farmasi
International Pharmaceutical Mananufacturer Grup (IPMG), asosiasi 24
perusahaan farmasi yang berbasis penelitian internasional yang beroperasi di
Indonesia dalam kode etiknya menyatakan pasal 4: perusahaan dilarang menawarkan
segala induksi, apresiasi, doorprize, insentif dan imbalan uang kepada profesi medis.5
Namun masih dalam pasal yang sama butir berikutnya diberikan peluang bagi
perusahaan anggota IPMG untuk memberikan sponsor bagi profesi medis untuk
mengikuti acara-acara ilmiah walaupun kemudian diatur lagi persyaratannya.
terdapat celah dalam kode etik IPMG ini terutama tentang dibolehkannya
perusahaan farmasi untuk memberikan sponsor bagi profesi medis dalam bentuk
keikutsertaan dalam acara-acara ilmiah.Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini tuntutan

terhadap profesi kedokteran sangat tinggi. Walaupun seorang dokter sudah menjadi
dokter umum, dokter spesialis atau dokter konsultan sekalipun, para Bapak dan Ibu
dokter masih dibebani kewajiban untuk mengikuti simposium-simposium dan
pelatihan dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan. Dikatakan hal ini
adalah demi meningkatkan kualitas layanan kepada pasien.
Di sisi lain, acara seperti simposium, seminar, workshop tentunya
membutuhkan biaya. Kenyataannya biaya yang musti dikeluarkan oleh seorang dokter
untuk dapat mengikuti acara-acara ilmiah sebagaimana disebutkan di atas tidaklah
murah. Apalagi jika dibandingkan dengan gaji

dokter yang bahkan jika sudah

menjadi dokter spesialispun hanya satu digit. Celah inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi. Dengan alasan untuk membantu para dokter
dalam rangka meningkatkan kapabilitas ilmunya dan merujuk kepada kode etik IPMG
yang membolehkan perusahaan farmasi memberikan sponsor dalam bentuk acaraacara ilmiah, para medical representative perusahaan farmasi dapat memberikan
penawaran tertentu kepada dokter. Berpikir rasional, jika ada seseorang datang kepada
kita, dan menyatakan kesediannya membantu kita dan seseorang tersebut secara kasat
mata dan jelas memiliki kepentingan terhadap kita, apakah mungkin bantuan yang
ditawarkan bersifat cuma-cuma? Sementara itu sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya dalam kode etik kedokteran Indonesia bahwa para dokter DILARANG
membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat
kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat memengaruhi pekerjaan dokter.
Apakah sponsorship dalam bentuk acara ilmiah tidak akan memengaruhi keputusan
dokter dalam memberikan terapi kepada pasien?
Sebuah tulisan dari seorang jurnalis Ray Minihan dan dimuat di British Medical
Journal edisi Mei 2003, bahwa pengeluaaran yang dibayarkan perusahaan farmasi
untuk untuk membiayai para dokter mengikuti acara-acara ilmiah berkaitan dengan
meningkatnya peresepan obat-obat milik perusahaan sponsor.6
Berikut kutipan kalimatnya, dinyatakan seperti di bawah ini:
Accepting meals and expenses for travel or accommodation for
sponsored educational meetings is common despite evidence that this is
associated with an increase in formulary requests for and prescribing of
the sponsor's drug.2,3 Most doctors attend company sponsored events

providing continuing medical education, 2 yet evidence shows that


these preferentially high-light the sponsor's drug.3 Many professional
societies rely heavily on industry sponsorship,5 just as their medical
journals rely on drug company funded trials, company advertisements,
company purchased reprints, and company sponsored supplements
despite the consequent conflicts of interest6 and evidence that
sponsored supplements are more promotional than other articles.7
Demikian juga dengan kesimpulan Ashley Wazana MD dari studi kepustakaan
yang dilakukannya terhadap tulisan ilmiah di Medline mengenai topic ini, hubungan
industri antara dokter dengan perusahaan farmasi memengaruhi pola peresepan dokter
yang bersangkutan dan juga memengaruhi prilaku profesionalnya.7
Hubungan dokter dan perusahaan farmasi ditinjau dari etika promosi obat
Pada tahun 2007, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menyikapi
derasnya kritikan ketika itu tentang kerjasama dokter dengan PBF ini melakukan
perundingan dengan farmasi yang menghasilkan sebuah kesepakatan bersama etika
promosi obat.8
Berikut salinan isi dari kesepakatan tersebut:
Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat:
1. Antara GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia
Bahwa untuk mewujudkan upaya promosi obat yang beretika dengan
tujuan mengingatkan kembali pelaksanaan etika profesi kedokteran dan etika
para pengusaha farmasi dalam rangka ketersediaan dan keterjangkauan
sediaan obat yang merupakan salah satu komponen penting untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengurus Pusat GP Farmasi
Indonesia bersama-sama dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan
disaksikan oleh Pemerintah dengan ini meneguhkan kembali tentan
2. GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia mewajibkan seluruh
elemen Pelaku Usaha Farmasi Indonesia yang tergabung dalam GP Farmasi
Indonesia dan kalangan profesi kedokteran yang tergabung dalam Ikatan
Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi lain di
lingkungan IDI) untuk menerapkan secara konsekuen pelaksanaan Etika

Promosi Obat dengan penuh tanggung jawab. Poin-poin etika promosi obat
dan kesepahaman yang dimaksud adalah:
3. Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang
menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang
bersangkutan

telah

menerima

komisi

dari

perusahaan

farmasi

tertentu.Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang


dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan /dikaitkan
dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.
4. Perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara
individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya
untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara
pendidikan

kedokteran

berkelanjutan.Perusahaan

farmasi

dilarang

memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk
menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut
berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator.
5. Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi
tidak boleh menawarkan hadiah/penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam
bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran
penggunaan obat/produk perusahaan tertentu.Pemberian donasi dan atau
hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi
kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual.
6. Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi
lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan
resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau
pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi
dengan GP Farmasi Indonesia untuk tindak lanjutnya.GP Farmasi Indonesia
dan Ikatan Dokter Indonesia meminta kepada para anggota, Pemerintah dan
Masyarakat untuk mengawasi dan memberikan informasi kepada GP Farmasi
Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia dari setiap penyimpangan dan
pelanggaran atas kesepakatan bersama ini. Untuk tindak lanjut terhadap
informasi yang masuk, GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia
sepakat membentuk tim khusus.

7. GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia meminta kepada


Departemen Kesehatan RI dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk mengambil
bagian dalam pembinaan dan pengawasan kepada para pelaku usaha farmasi
maupun anggota Ikatan Dokter Indonesia yang mengabaikan kesepakatan ini.
8. Untuk menghindari konsekuensi hukum yang dapat terjadi terkait dengan
promosi obat yang tidak etis, GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter
Indonesia mewajibkan seluruh anggotanya masing-masing mempelajari,
menghayati dan melaksanakan secara konsisten Kode Etik Pemasaran Usaha
Farmasi Indonesia, Kode Etik Kedokteran, Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.
Demikianlah Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat ini agar dilaksanakan sebaikbaiknya.
Ditandatangani oleh Ketua Umum PB IDI pada saat itu DR. Dr. Fachmi Idris,M.kes
denganPengurus Pusat GP Farmasi Indonesia Anthony CH. Sunarjo, MBA
Dari butir-butir kesepakatan yang tersebut di atas terlihat adanya kelonggaran
yang diberikan dalam hal etika promosi obat ini. Perusahaan farmasi diperkenankan
untuk memberikan sponsor namun tidak diperkenankan untuk memaksa dokter untuk
menuliskan resep dari perusahaan obat tersebut.
Kerjasama Dokter dan Perusahaan Farmasi ditinjau dari aspek hukum
Indonesia
Harmono, SH dalam harian Suara Jateng tentang aspek hukum hubungan
dokter dengan pasien menulis bahwa walaupun kolusi dokter dan perusahaan farmasi
susah dibuktikan, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun
2002 telah mengantisipasi kolusi dokter dan perusahaan farmasi dengan perangkat
hukum tentang Promosi Obat, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM
No. HK.00.05.3.02706. Pasal 9 menyebutkan : Industri Farmasi dan/atau Pedagang
Besar Farmasi dilarang : (a) Kerja sama dengan Apotik dan Penulis Resep, (b) Kerja
sama dalam pengresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis Resep dalam suatu
program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu, (c) Memberikan
bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, ticket) dan/atau
barang kepada Penulis Resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang

didistrubusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh


perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi
independen.
Pelanggaran terhadap Pasal 9 diatas diatur didalam Pasal 10, yaitu : Selain
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, terhadap Industri Farmasi dan/atau Pedagang Farmasi yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dapat dikenakan sanksi admisnistratif berupa : (a) Peringatan tertulis, (b) Penghentian
sementara kegiatan, (c) Pembekuan dari/atau pencabutan izin edar obat yang
bersangkutan, (d) dan sanksi administrative lain sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM, Pasal 62 Ayat
(1) UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyebutkan : Pelaku usaha
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Ayat
(2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).etentuan
Tulisan Harmono ini menyiratkan bahwa praktik kerjasama dokter dengan
perusahaan farmasi dapat dikategorikan pada tindak pidana karena dianggap
melanggar ketentuan pemerintah.
Senada dengan harmono, terkait dengan hubungan dokter dan perusahaan
farmasi Sugiri

mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai gratifikasi. Menurut

Sugiri istilah gratifikasi masih belum populer di Indonesia. Bahkan masyarakat


cenderung bisa menerima perilaku gratifikasi yang dilakukan oleh para pemegang
kekuasaan.Ada kebiasaan-kebiasaan dikalangan teman sejawat yang termasuk dalam
kategori gratifikasi. Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20/2001 gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut bisa
diberikan di dalam negeri maupun di luar negeri, baik yang memakai sarana
elektronik maupun yang tidak memakai sarana elektronik.12

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap


pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya. Menurut Pasal 12B UU No. 20/20018 bagi penerima
gratifikasi diganjar pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (Rp1 Milyar). Kecuali, apabila penerima gratifikasi
melaporkannya ke KPK dalam waktu 30 hari setelah diterimanya gratifikasi.10
Senada dengan Sugiri, penelitian Sri dkk menyimpulkan bahwa dalam
hubungan kerjasama pemasaran obat antara dokter dengan PBF tidak terdapat
hubungan hukum karena tidak memiliki akibat hukum. Namun, Sri dkk
jugamenyimpulkan bahwa kerjasama pemasaran obat antara dokter dengan
perusahaan farmasi dikaji dari aspek hukum perdata memenuhi asas konsensual
namun tidak sesuai dengan asas itikad baik, asas kekuatan mengikat, asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian nasional.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kerjasama pemasaran obat antara dokter dengan perusahaan farmasi adalah tidak
diperbolehkan. Ditinjau dari kode etik kedokteran jelas-jelas melanggar. Dari segi
kode etik perusahaan farmasi walaupun masih menunjukkan keragu-raguan namun
secara tersirat dapat disimpulkan kerjasama antara dokter dan perusahaan farmasi
adalah tidak diperkenankan kecuali pemberian sponsor dalam bentuk acara-acara
ilmiah dalam rangka peningkatan keilmuan para dokter. Namun dalam kode etiknya
terdapat larangan untuk mewajibkan secara tegas kepada para dokter yang disponsori
untuk menuliskan resep obat produk perusahaan mereka. Kemudian ditinjau dari
aspek hukum, sebagaimana kesimpulan dari penelitian Sri dkk di Bandung ,walaupun
hubungan dokter denga perusahaan farmasi tidak dinyatakan dalam bentuk tertulis
namun secara hukum perdata hubungan ini memenuhi asas konsensual namun tidak
memenuhi asas itikad baik, asas kekuatan mengikat, asas kebebasan berkontrak
menurut hukum perjanjian nasional.11
Yang menarik dari asas itikad baik ini adalah bahwa perjanjian yang dibuat
antara dua pihak seyogyanya tidak merugikan pihak lain. Terkait ini perjanjian antara

dokter dengan PBF

sangat jelas merugikan pasien karena biaya promosi yang

melambung dibebankan kepada harga obat yang ditagihkan kepada pasien.


Namun praktik kerjasama pemasaran obat antara dokter dengan perusahaan
farmasi ini tampaknya saat ini bukanlah hal yang tabu bagi kita masyarakat Indonesia.
Tidak aneh jika kita sering melihat para medical representative perusahaan obat antri
di tempat-tempat praktek dokter untuk melakukan semacam visitasi, yang tentu saja
ada tujuan yang diharapkan dengan kunjungan tersebut. Terkait hal ini, beberapa
langkah yang dapat dilakukan :
1. Sosialisasi kepada Dokter-dokter praktek bahwa hubungan kerjasama dokter
dan perusahaan farmasi adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum dan oleh
karenanya dapat dikenakan sangsi secara hukum
2. Memperbaiki system pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, ini yang
paling penting.
3. Peran pemerintah dalam mengatur regulasi harga obat
4. Terus mendidik dan mencerdaskan masyarakat mengenai penggunaan obat

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasbullahthabrany.BiayaObatBagiPesertaAskes di BerbagaiKlinik RSCM


diaksesdarihttp://staff.ui.ac.id/system/files/users/hasbulah/material/biayaobatp
esertaaskesdirscm.pdf
2. [RI] MenteriKesehatanRepublik Indonesia. 2006.
KeputusanMenteriKesehatanRepublik Indonesia
nomor189/MENKES/SK/III/2006 tentangKebijakanObatNasional. Jakarta
(ID): RI.
3. Sriana Aziz et al.2000. AnalisisKomponenHargaObat.
BuletinPenelitianKesehatan [internet] 28 (1):402.
tersediapadahttp://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/viewFil
e/2051/1232
4. [IDI] MajelisKehormatanEtikKedokteran Indonesia. 2004.
KodeEtikKedokteranIndonesia Dan
PedomanPelaksanaanKodeEtikKedokteranIndonesia. Jakarta; USU.
5. International Pharmaceutical Manufactures Group. 2013. KodeEtik IPMG
TentangPraktikPemasaranProdukFARMASI RevisiJuli 2013 [Internet].
Jakarta; IPMG [diunduhtanggal18 Desember 2013]. Tersediapada: www.ipmgonline.com
6. Ray Moynihan. 2003. Who pays for the pizza? Redefining the relationships
between doctors and drug companies [Internet].Inggris; BMJ [diunduhtanggal
18 Desember 2013]. Tersediapada: 10.1136/bmj.326.7400.1189
7. Ashley Wazana. 2000. Physicians and the Pharmaceutical IndustryIs a Gift
Ever Just a Gift?FREE [Internet].Amerika; JAMA [diunduhtanggal18
Desember 2013]. Tersediapada: http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?
articleid=192314
8. [RI] Menteri kesehatan republic Indonesia. 2007. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang
kebijakan obat nasional. Jakarta [ID]: RI
9. Harmono SH. 2013.
KerjasamaDokterdenganPerusahaanFarmasiMelanggarKodeEtikkah?
[Internet]. Jawa Tengah; SuaraJateng [diunduhtanggal 18 Desember 2013].
TersediaPada: http://www.suarajateng.com/2013/02/kerjasama-dokter-denganperusahaan.html
10. SugiriSyarief. 2006. PatofisiologiKorupsi Di BidangKesehatan:
KajianBeberapaKasus Di Indonesia [Internet].
Jurnalmanajemenpelayanankesehatan 09;1. [diunduh 18 Desember 2013].

TersediaPada: www.jmpkonline.net/images/jurnal/2006/Vol_09_No_1_2006/02_MK_Sugiri
Syarief_09_1.pdf
11. Sri Pujiastuti et al. 2004.
Kerjasamapemasaranobatantaradokterdanpedagangbesarfarmasi di
kotabandung, dihubungkandengankodeetikkedokterandankepmenkes no
3987/a/k/1973 MIMBAR [Internet] VOL XII NO 1.Tersediapada:
http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/File545
12. [RI] PresidenRepublik Indonesia. 2001. Undang-undangnomor 20 tahun 2001
tentangtindakpidanakorupsi. Jakarta [ID]: RI

Anda mungkin juga menyukai