Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN DOKTER DAN PERUSAHAAN FARMASI DITINJAU DARI

ASPEK ETIKA DAN HUKUM PIDANA


Mata Kuliah Komunikasi dan Isu Media (Critical Issue In Media and Communication)

Dosen : Dr.Herlina Agustin, MT

Oleh :

FITRI MANDIRI HATTA (210120160032)

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2017

1
Netizen Sebut Harga Obat Mahal Karena Suap Dokter

Posted on November 2, 2015 by Hasto Suprayogo in Berita Utama, Ekonomi with 0

Comments

Harga Obat Mahal Karena Suap Dokter- sumber foto: Istimewa

Pernah bertanya kenapa harga obat di Indonesia relatif mahal? Komite Nasional Penyusunan
Formularium Nasional (Fornas) punya jawabannya. Menurut Ketua Komite Nasional Penyusunan
Formularium Nasional, Iwan Dwiparahasto, mahalnya harga obat karena konsumen dibebani biaya
yang digunakan perusahaan farmasi untuk menyuap para dokter.

Iwan menyebut, biaya suap dokter mencapai 40% dari total harga obat yang harus ditanggung
konsumen. Itu untuk membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, bertanding golf, hingga membelikan
mobil, kata Iwan sebagaimana dikutip dari Tempo.co

Nilai bisnis obat di Indonesia pada tahun 2015 ini diperkirakan mencapai angka Rp 69 triliun. Wajar
kiranya, jika 205 perusahaan farmasi yang ada di tanah air bersaing keras untuk menguasainya. Salah
satu strategi yang dianggap ampuh untuk menangguk kue bisnis obat adalah lewat suap dokter.

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin tidak membantah adanya praktek
kelam semacam ini. Dalam etika kedokteran, dokter dibolehkan mendapat sponsorship berupa biaya
transportasi, penginapan, dan makan untuk pendidikan berkelanjutan seperti seminar atau simposium,
jelas Zaenal.

Pemantauan dilakukan terhadap perbincangan di media sosial, khususnya Twitter selama periode 2
November 2015. Pemantauan dilakukan menggunakan platform Evello Intelligent Tagging System.
Terdapat 1.108 tweet membicarakan tentang mahalnya harga obat di Indonesia.

Netizen menyebut, faktor utama mahalnya harga obat di Indonesia adalah suap dokter yang dilakukan
oleh perusahaan farmasi. Lewat 430 tweet, netizen menyebut perusahaan farmasi dan dokter
bekerjasama untuk menjual obat ke konsumen.

Lebih lanjut, netizen juga menyebut peran medical respresentative atau sales obat dari perusahaan
sangat kuat dalam praktek suap dokter ini. Hal tersebut diungkapkan netizen melalui cuitan sebanyak
295 tweet.

Sumber: http://eveline.co.id/ekonomi/netizen-sebut-harga-obat-mahal-karena-suap-dokter/

2
Pendahuluan
Ketika anda sakit dan memutuskan untuk pergi ke dokter, tentu anda berharap
mendapat kesembuhan. Berbekal resep dokter andapun menebus obat yang telah diresepkan
oleh dokter untuk anda. Seringkali kita terkejut dengan nominal yang harus dibayar untuk
menebus obat tersebut. Mahal!. Itulah harga kesehatan yang harus dibayar di negeri kita
tercinta ini. Karena ingin sembuh, mau tidak mau kita menebus obat tersebut. Pilihan untuk
menunda mendapatkan obat, bahkan terkadang hanya menebus setengah resep Karena
kondisi keuangan yang tidak memungkinkan akhirnya diambil Karena harga obat yang
diluar dugaan.
Kenapa harga obat begitu mahal?. Mahalnya harga obat seolah dianggap sesuatu
yang lumrah, tanpa mencari benang merah yang dapat menjelaskan mengapa harga obat
sedemikian mahal dan bagaimana mencari solusi atas realitas tersebut. Hal seperti ini terus
terjadi, sehingga masyarakat adalah satu-satunya pihak yang menjadi korban. Mungkin
benar jika pada akhirnya ada istilah di negara ini bahwa; orang miskin dilarang sakit.
Karena ketika kita sakit, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan, selain fasilitas medis,
obat-obatan adalah bagian dari kesembuhan yang paling penting. Realitanya makin mahal
biaya obat, maka makin tidak terjangkau bagi masyarakat umum terlebih masyarakat
miskin. Menurut Thabrani (FKM UI) dalam biaya kesehatan masyarakat, biaya obat
merupakan komponen terbesar dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia. Beliau juga
mengutip dari Depkes drug and health sector bahwa komponen belanja obat di Indonesia
mencapai 39% dari total biaya keseluruhan1.
Media massa kerap memberitakan, hubungan dokter dengan perusahaan farmasi
merupakan hubungan yang negatif dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga
obat di Indonesia semakin tak terjangkau. Industri farmasi melalui perusahaan yang
memasarkan obatnya dituduh dengan berbagai cara membujuk dokter untuk meresepkan
produknya. Sedangkan dokter diduga telah mengambil keuntungan dari peresepan obat
tersebut. Sudah menjadi rahasia umum di berbagai belahan dunia adanya hubungan bisnis
dokter dengan perusahaan farmasi. Hubungan dokter dan perusahaan farmasi adalah
simbiosis mutualisme. Sayangnya hubungan mutualisme atau hubungan saling

1
Hasbullah thabrany.Biaya Obat Bagi Peserta Askes di Berbagai Klinik RSCM diakses dari
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/hasbulah/material/biayaobatpesertaaskesdirscm.pdf , diakses 7
April 2017.

3
menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi ini terkait dengan pihak ke tiga yaitu
pasien. Dikarenakan support yang diberikan oleh perusahaan farmasi kepada para dokter,
mereka membebankan biaya promosi obat kepada komponen harga obat yang nantinya akan
dibayar oleh pasien.
Pertanyaannya ialah, benarkah hubungan bisnis yang dilakukan oleh dokter dan
perusahaan farmasi ditinjau dari kode etik kedokteran dan hukum?. Bagaimana solusi
alternative yang bisa dilakukan untuk memperbaiki fenomena hubungan bisnis antara dokter
dan perusahaan farmasi tersebut sehingga tidak merugikan pasien?

Mengapa Harga Obat Menjadi Mahal?


Kecurangan medis di Indonesia meskipun belum tersedia dalam data yang valid,
telah menjadi desas-desus yang cukup lama terdengar disemua kalangan. Selain itu
ditemukan berbagai kondisi, termasuk sistem pengelolaan organisasi kesehatan atau medis
yang belum tertangani secara maksimal sehingga berdampak pada munculnya potensi
kecurangan yang cukup besar. Salah satu penyebab terduga mengapa harga obat begitu
mahal ialah adanya indikasi Permainan kerjasama antara industri farmasi dan oknum
rumahsakit yang sudah terjadi sejak lama, bahkan seolah sudah menjadi rahasia umum.
Namun hal ini masih sulit dibuktikan. Hal ini terlihat dari respon masyarakat melalui banyak
cuitan seperti yang ditulisakan oleh artikel berita diatas, yang memperlihatkan bahwa
sebenarnya masyarakat sebagai pasien sudah mengetahui indikasi adanya hubungan bisnis
yang dilakukan oleh tenaga medis dengan perusahaan farmasi, namun masyarakat tidak
benar-benar mengetahui tindakan seperti apa yang harus dilakukan untuk memperjuangkan
hak-haknya sebagai konsumen, alih-alih membedakan mana tindakan dokter yang benar
atau salah dalam memberikan resep obat Karena ketidakpahaman pasien tentang
penyakitnya, sehingga pasien hanya menggantungkan harapan dan rasa percaya sepenuhnya
kepada dokter atau tenaga medis yang menangani penyakitnya.
Ketua Yayasan Pemberdaya Kesehatan Konsumen Indonesia dr. Marius Widjajarta
mengatakan secara kasat mata pasien awam tidak dapat melihat praktik kotor macam ini.
Alasannya, selama ini pasien percaya terhadap obat yang diresepkan dokter. Banyak
perusahaan farmasi dan sejumlah dokter menjalin hubungan mutualisme agar mendapat
untung berlipat, Karena sadar bahwa bisnis obat di Indonesia sangat menggiurkan. Tahun
2015 nilai bisnis farmasi bahkan mencapai Rp69 triliun. Sebuah contoh kasus nyata, dokter
dan rumah sakit di Jakarta-Bekasi pada tahun 2014 banyak menerima uang dari PT Interbat.

4
Tercantum 327 nama dokter di Jakarta, 95 dokter di Bekasi, dan 40 nama rumah sakit. Setiap
dokter menerima uang sebanyak Rp5 juta sampai Rp1 miliar per orang. Guru besar
farmakologi dari Universitas Gajah Mada, Iwan Dwiprahasto, mengatakan nilai bisnis obat
yang fantastis membuat perusahan farmasi berlomba memberikan hadiah dan komisi kepada
para dokter. Dana buat memberikan servis kepada dokter bisa mencapai 45% dari harga
obat. Akibatnya, harga obat menjadi mahal.
Dugaan banyaknya praktik pemasaran yang tidak sesuai dengan kode etik
pemasaran dibenarkan juga oleh International Pharmaceutical Manufacturers Group
(IPMG), sebuah organisasi yang terdiri dari 24 perusahaan farmasi internasional yang
berbasis riset di Indonesia. Akibat praktik kolusi tersebut harga obat merk atau paten yang
selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat di
luar negeri. Kolusi dalam praktik bisnis farmasi seperti ini sudah dianggap biasa oleh pelaku
bisnis industri di Indonesia. Menurut survei Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
pada 2012 terhadap rumahsakit di 22 provinsi Indonesia, 100 persen rumahsakit swasta
melakukan permainan resep obat bersama industri farmasi. Sementara 50 persen praktik itu
juga dilakukan rumahsakit pemerintah, antara lain rumahsakit Thamrin, rumahsakit umum
Sardjito di Yogyakarta, dan rumahsakit umum Cipto Mangunkusumo di Jakarta. Melalui
data tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan bisnis antara tenaga media atau institusi
kesehatan dengan perusahaan industry farmasi benar-benar sudah mendominasi pelayanan
kesehatan di Indonesia. Cukup meresahkan mengingat sebagian besar penduduk negara ini
masih masuk dalam kategori ekonomi menengah dan menengah kebawah. Bahkan di
institusi milik pemerintah (Rumah Sakit pemerintah) juga melakukan hal yang sama dengan
yang dilakukan oleh fasilitas medis swasta.
Ketua GP. Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan
soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik
Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi . Saya tidak bilang tidak ada, tetapi
memang tidak ada buktinya2. Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua
Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Adanya perselingkuhan diantara produsen obat
dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari
jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu

2
Koran Tempo, tgl. 16 Agustus 2007 dalam
https://gerakankonsumenmks.wordpress.com/2013/07/06/kerjasama-dokter-dengan-perusahaan-farmasi-
melanggar-kode-etikkah/, diakses 8 April 2017.

5
resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma
tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu
juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama.3
Melalui realitas tersebut, profesionalisme, etika dan landasan moral dokter (tenaga
medis) dipertanyakan. Dengan keahliannya, dokter bisa dengan mudah menulis resep yang
juga merepresentasikan kepentingan ekonomi pribadinya. Guna meraih iming-iming
mencapai target bonus penjualan obat dari pihak farmasi, dokter menjadi tidak sensitif
dalam memperhatikan kemampuan ekonomi pasiennya, sehingga yang terjadi justru
semakin menjerumuskan pasien (masyarakat) sebagai pihak yang dirugikan.

Kerjasama Dokter Dan Perusahaan Farmasi Ditinjau Dari Aspek Kode Etik
Kedokteran
Kode etik merupakan serangkaian ketentuan dan peraturan yang disepakati
bersama guna mengatur tingkah laku para anggota organisasi profesi, yang lebih
terkonsentrasi pada kegiatan meningkatkan pembinaan para anggota sehingga mampu
memberikan sumbangan yang berguna dalam pengabdian di masyarakat. Tiga alasan
yang dikemukakan Sumaryono mengenai pentingnya suatu kode etik yang tertulis adalah
antara lain: sebagai sarana kontrol sosial; sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik4. Suatu kode etik profesi yang baik
mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang
membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan.
Sejak tahun 1983 sebenarnya telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal
3 KODEKI menetapkan : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi. Namun pertanyaannya ialah,
apakah dengan adanya KODEKI ini perilaku dokter telah berubah?, sementara pelayanan
medis dokter semakin mengarah pada orientasi keuntungan belaka daripada orientasi
pelayanan sosial kepada masyarakat. Di dalam kode etik kedokteran Indonesia (KodekI)
yang dikeluarkan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran tahun 2001, pada poin Kewajiban
umum pasal 3 dinyatakan bahwa dalam melakukan pekerjaannya seorang Dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang memengaruhi kebebasan dan kemandirian profesi5.

3
Ibid.
4
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta, Kanisius, 1995), hal. 33
5
[IDI] Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. 2004. Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta; USU.

6
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 3 dirincikan bahwa perbuatan berikut dipandang
bertentangan dengan etik:
1.Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan kedokteran
dalam segala bentuk.
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan
keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat
kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat memengaruhi pekerjaan dokter.
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat
atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.
Melihat isi dari Kode Etik Kedokteran diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa apa
yang dilakukan oleh dokter dengan bekerjasama dengan industry farmasi seperti yang
terjadi di Indonesia sehingga merugikan pasien adalah bentuk pelanggaran terhadap Kode
Etik Kedokteran itu sendiri. Faktanya mengapa harga obat tetap tinggi dan hubungan
mutualisme antara dokter dan industry obat terus berjalan hingga sekarang?. Hal ini
dikarenakan Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi tidak
mempunyai sanksi yang keras. Keberlakuan kode etik profesi semata-mata berdasarkan
kesadaran moral anggota profesi, berbeda dengan keberlakuan undang-undang yang
bersifat memaksa dan dibekali dengan sanksi yang keras.

Kerjasama Dokter Dan Perusahaan Farmasi Ditinjau Dari Aspek Etika Promosi Obat
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari pada tahun 2007 menyikapi
derasnya kritikan ketika itu tentang kerjasama dokter dengan Perusahaan Farmasi dengan
melakukan perundingan yang menghasilkan sebuah kesepakatan bersama mengenai etika
promosi obat. Isi poin-poin dari Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat adalah sebagai
berikut6;
a. Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang
menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan
telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.

6
[RI] Menteri kesehatan republic Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang kebijakan obat nasional. Jakarta [ID]: RI

7
b. Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter
untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan /dikaitkan dengan
kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.
c. Perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara
individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk
biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan
kedokteran berkelanjutan.
d. Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada
seorang dokter untuk mengahdiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali
dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator.
e. Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak
boleh menawarkan hadiah/penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain
sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan
obat/produk perusahaan tertentu.
f. Pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan
untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara
individual.
g. Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi
lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi
organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari
anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan GP Farmasi
Indonesia untuk tindak lanjutnya.
Kesepakatan mengenai etika promosi obat yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan
pada waktu itu dinilai banyak celah dan justru merupakan sebuah langkah mundur. Melalui
aturan etika promosi obat tersebut perusahaan farmasi diperkenankan untuk memberikan
sponsor hanya tidak diperkenankan untuk memberi paksaan pada dokter untuk menuliskan
resep dari perusahaan tersebut. Ditambah lagi dengan adanya penerbitan etika promosi obat
ini hanya terbatas pada lingkungan organisasi masing-masing, sama sepertihalnya kode etik
profesi kedokteran Indonesia yang berlaku untuk kalangan dokter IDI. Sehingga aturan
semacam ini tidak memiliki perangkat hukum yang jelas dan pasti untuk dapat memberikan
sanksi pada suatu pelanggaran.

8
Kerjasama Dokter Dan Perusahaan Farmasi Ditinjau Dari Aspek Hukum
Meskipun kolusi dokter dan perusahaan farmasi susah dibuktikan, namun pada tahun
2002 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengantisipasi kolusi dokter dan
perusahaan farmasi dengan perangkat hukum tentang Promosi Obat, berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706. Pasal 9 menyebutkan : Industri
Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi dilarang : (a) Kerja sama dengan Apotik dan
Penulis Resep, (b) Kerja sama dalam pengresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis
Resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu, (c)
Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, tiket)
dan/atau barang kepada Penulis Resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang
didistrubusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan
farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen7.
Pelanggaran terhadap Pasal 9 diatas diatur didalam Pasal 10, yaitu : Selain dapat
dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, terhadap Industri Farmasi dan/atau Pedagang Farmasi yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dikenakan
sanksi admisnistratif berupa : (a) Peringatan tertulis, (b) Penghentian sementara kegiatan,
(c) Pembekuan dari/atau pencabutan izin edar obat yang bersangkutan, (d) dan sanksi
administrative lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku8.
Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM, Pasal 62 Ayat (1)
UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyebutkan : Pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)9.
Memperkuat pernyataan BPOM dengan dikeluarkannya perangkat hukum tentang
promosi obat, Yenny, Fitri. Z (2016) melalui penelitiannya yang berjudul Kolusi
Perusahaan Farmasi Dengan Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan Dari Perspektif Hukum
Pidana Korupsi, menyimpulkan bahwa; Praktek kolusi yang terjadi antara dokter dan

7
Harmono SH. 2013. Kerjasama Dokter dengan Perusahaan Farmasi Melanggar Kode Etikkah? Jawa
Tengah; Suara Jateng TersediaPada: http://www.suarajateng.com/2013/02/kerjasama-dokter-dengan-
perusahaan.html , diakses 8 April 2017.
8
Ibid.
9
Ibid.

9
perusahaan farmasi dibungkus dalam bentuk kerja sama dimana dokter akan menerima
diskon penjualan obat dari perusahaan farmasi yang diberikan dalam bentuk uang, barang
dan fasilitas lainnya dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk praktek Kolusi yang dapat
dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Suap yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1980 (UU Anti Suap) dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Undang-Undang Anti Korupsi). Kemudian, Dokter swasta yang berkolusi
dalam meresepkan obat terhadap pasien dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 3 Undang-
Undang Suap, dan bagi dokter yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat dikenakan
Pasal 12B Undang-Undang Anti Korupsi. Sedangkan bagi perusahaan farmasi yang
memberikan hadiah kepada dokter dikenakan pasal 2 Undang-Undang Anti Suap atau Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Anti Korupsi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Harmono SH, Ketua Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Banjarnegara bahwa menurut UU No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 12 huruf b menyebutkan tentang gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti
luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang,
ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan
fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat
4 tahun dan pidana denda paling sdikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan paparan diatas, hubungan bisnis antara dokter dan perusahaan farmasi
dengan adanya pemberian insentif berupa komisi dan lain sebagainya untuk keuntungan
kedua belah pihak namun disisi lain menimbulkan kerugian konsumen (pasien) dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, yakni tindak pidana korupsi.

Penutup
Berdasar uraian diatas, dalam praktik kerjasama pemasaran obat antara dokter
dengan perusahaan farmasi ini tampaknya saat ini bukanlah hal yang tabu bagi kita
masyarakat Indonesia. Kita dapat sama-sama melihat bahwa pengaturan kode etik, baik
kode etik kedokteran maupun kode etik yang mengatur promosi obat yang dikeluarkan
oleh Menteri Kesehatan bukanlah alat yang efektif untuk menghentikan praktek kecurangan
yang dihasilkan dari hubungan kurang sehat (bisnis) antara kedua belah pihak tersebut, yang

10
akhirnya hanya merugikan masyarakat sebagai konsumen (pasien). Terbukti bahwa
fenomena ini tetap terjadi hingga sekarang tanpa landasan hukum yang kuat dengan
ditemukannya fakta dilapangan bahwa masyarakat awam tidak banyak yang menyadari
bahwa mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan harga yang mereka harus keluarkan. Ketidakefektifan kode etik sebagai alat
penegakkan hokum terjadi dikarenakan aturan kode etik tersebut yang hanya mengikut
lingkungan kerja tertentu dan tidak memiliki kekuatan hokum objektif yang mengikat.
Dengan adanya aturan hukum objektif yang memasukkan hubungan bisnis antara
dokter dan perusahaan farmasi yang tidak sehat ini, beralasan bagi konsumen untuk
menyampaikan laporan atau pengaduan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
karena telah terjadi perbuatan melawan hukum, yaitu tindak pidana korupsi.
Terkait hal ini, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan :
1.Sosialisasi kepada Dokter-dokter praktek bahwa hubungan kerjasama dokter dan
perusahaan farmasi adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum dan oleh karenanya dapat
dikenakan sangsi secara hukum .
2. Menggunakan pendekatan kebijakan hukum. Merujuk pada pasal 33 UUD 1945 tentang
berbagai sektor produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.,
pemerintah dapat saja mengambil langkah untuk memonopoli kegiatan produksi obat.
Meskipun monopoli negara dalam sudut pandang pasar bebas memang bukan sesuatu yang
dapat dikatakan baik, namun sebenarnya permasalahan pokoknya adalah pada sistem
manajemen dan administrasi yang diterapkan. Masih terdapat opsi reformasi sistem
pengelolaan dan sistem pelaporan administratif agar lebih transparan dan akuntabel.

3. Jikalau penerapan monopoli kegiatan produksi obat tidak dapat diterapkan, maka
pemerintah dapat berperan besar dalam hal mengatur regulasi harga obat.
4. Memperbaiki system pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia .
5. Menyusun dan melengkapi perangkat aturan dan hukum yang lebih spesifik yang
berkaitan dengan praktik kecurangan medis.
6. Terus mendidik dan mencerdaskan masyarakat mengenai penggunaan obat dan hak-
haknya sebagai konsumen.

11
Refferensi

Budianti, Agus. Resep Dokter: Antara Medis Dan Budaya Yang Tidak Etis. Law Review
Volume XIII, No. 3 Maret 2014
Hermawan, Sigit, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi Dalam Bingkai Intellectual
Capital Dan Teleology Theory, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
[IDI] Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia
Dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta; USU. 2004
[RI] Menteri kesehatan republic Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang kebijakan obat nasional. Jakarta
[ID]: RI
Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta : Kanisius, 1995
Yenny, Fitri.Z. Kolusi Perusahaan Farmasi Dengan Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan
Dari Perspektif Hukum Pidana Korupsi. Masters thesis, Universitas Andalas, 2016
Falanta, Evilin, Beragam industri farmasi melakukan pendekatan ke rumahsakit maupun
dokter untuk menjual obatnya ke pasien, cara pintas meraup laba kendati melanggar
hukum, http://pindai.org/2014/03/27/bau-tak-sedap-obat-rumahsakit/
Harmono SH. 2013. Kerjasama Dokter dengan Perusahaan Farmasi Melanggar Kode
Etikkah? Jawa Tengah; Suara Jateng TersediaPada:
http://www.suarajateng.com/2013/02/kerjasama-dokter-dengan-perusahaan.html ,
diakses 8 April 2017.
Hasbullah thabrany.Biaya Obat Bagi Peserta Askes di Berbagai Klinik RSCM diakses dari
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/hasbulah/material/biayaobatpesertaaskesdirscm.
pdf , diakses 7 April 2017.
Hasri, Eva Tirtabayu, Antisipasi Kecurangan Medis Melalui Pendekatan Kebijakan,
https://mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/1442
Koran Tempo, tgl. 16 Agustus 2007 dalam
https://gerakankonsumenmks.wordpress.com/2013/07/06/kerjasama-dokter-dengan-
perusahaan-farmasi-melanggar-kode-etikkah/
Maswardi, K, Hubungan Dokter Dan Perusahaan Farmasi Ditinjau Dari Aspek Etika Dan
Hukum,https://www.academia.edu/6620173/HUBUNGAN_DOKTER_DAN_PERUS
AHAAN_FARMASI_DITINJAU_DARI_ASPEK_ETIKA_DAN_HUKUM
Redaksi, Kongkalikong Bisnis Obat,
http://membunuhindonesia.net/2015/11/kongkalikong-bisnis-obat/

12

Anda mungkin juga menyukai