Anda di halaman 1dari 115

SKRIPSI

Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien Penyakit Diabetes Melitus

Dengan Hipertensi Rawat Inap di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra

Periode Januari – Desember 2021

Disusun Oleh:

Ulfa Firda Qonita

NIM: 18110090

YAYASAN KADER BANGSA

UNIVERSITAS KADER BANGSA

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI STRATA 1

Tahun 2022
SKRIPSI

Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien Penyakit Diabetes Melitus

Dengan Hipertensi Rawat Inap di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra

Periode Januari – Desember 2021

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada

Fakultas Farmasi Program Studi Strata - 1 Farmasi Universitas Kader Bangsa

Palembang

Disusun Oleh:

Ulfa Firda Qonita

NIM: 18110090

YAYASAN KADER BANGSA

UNIVERSITAS KADER BANGSA

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI STRATA 1

Tahun 2022
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ulfa Firda Qonita

NIM : 18110090

Program/ Fakultas : Farmasi

Program Studi : Strata – 1 Farmasi

Dengan ini menyatakan bahwa benar Skipsi ini saya buat sendiri dengan tidak

melakukan tindakan plagiatisme, dan saya bertanggung jawab sepenuhnya atas

isi Skripsi ini. Apabila ternyata saya mengingkari pernyataan ini maka saya

bersedia menerima sanksi apapun dari universitas. Demikianlah pernyataan ini

saya buat, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Yang menyatakan

Ulfa Firda Qonita

i
HALAMAN PENETAPAN
SK.Rektor UKB No.272/B-SK.Skripsi/UKB/III/2022, tanggal 2 Maret 2022

REKTOR UKB MENETAPKAN


JUDUL DAN PEMBIMBING SKRIPSI

Nama : Ulfa Firda Qonita


NIM : 18110090
Program/Fakultas : Farmasi
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Judul : Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien

Penyakit Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Rawat

Inap di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra

Periode Januari – Desember 2021

Pembimbing I/ Materi : apt. Hairun Niza, M.S.Farm


Pembimbing II/ Teknis : Drs.apt. Martin Suhendri, M.Farm

Universitas Kader Bangsa Palembang


Rektor,

DR. Hj. Irzanita, SH., SE., SKM., MM., M.Kes

ii
HALAMAN PENETAPAN
SK.Rektor UKB No.272/B-SK.Skripsi/UKB/III/2022, tanggal 2 Maret 2022

REKTOR UKB MENETAPKAN


JUDUL DAN PENGUJI SKRIPSI

Nama : Ulfa Firda Qonita


NIM : 18110090
Program/Fakultas : Farmasi
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Judul : Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien

Penyakit Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Rawat

Inap di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra

Periode Januari – Desember 2021

Pembimbing I/ Materi : apt. Hairun Niza, M.S.Farm


Pembimbing II/ Teknis : Drs.apt. Martin Suhendri, M.Farm
Penguji III : Dr. apt. Suhatri, M.S

Universitas Kader Bangsa Palembang


Rektor,

DR. Hj. Irzanita, SH., SE., SKM., MM., M.Kes

iii
HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Ulfa Firda Qonira


NIM : 18110090
Program/Fakultas : Fakultas Farmasi
Program Studi : Strata – 1 Farmasi
Judul : Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada

Pasien Penyakit Diabetes Melitus Dengan

Hipertensi Rawat Inap di RSUD Prov.Sum-

Sel Siti Fatimah Az-Zahra Periode Januari

– Desember 2021

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan.


Pembimbing Materi Pembimbing Teknis

apt. Hairun Niza, M.S.Farm Drs.apt. Martin Suhendri, M.Farm

Menyetujui
a.n Rektor Universitas Kader Bangsa Palembang
Sekertaris Fakultas Farmasi

Eriska Agustin, M.S.Farm

iv
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Ulfa Firda Qonita
NIM : 18110090
Program/Fakultas : Farmasi
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Judul : Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien

Penyakit Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Rawat

Inap di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra

Periode Januari – Desember 2021

Telah diuji dan Lulus Pada :


Hari :
Tanggal :
Pembimbing I/ Materi : apt. Hairun Niza, M.S.Farm ( )
Pembimbing II/ Teknis : Drs.apt. Martin Suhendri, M.Farm ( )
Penguji III : Dr. apt. Suhatri, M.S ( )

Disahkan oleh
Universitas Kader Bangsa Rektor,

DR. Hj. Irzanita, SH., SE., SKM., MM., M.Kes

v
BIODATA

Nama : Ulfa Firda Qonita


NIM : 18110090
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Masgar, 31 Desember 1994
Agama : Islam
Anak ke : Kedua dari 3 saudara
Nama Orangtua :
Ayah : Alm. Tamrin B.A
Ibu : Dra. Nurbaiti
Alamat : Dusun Peninjauan Desa Bumi Agung Kec
Tegineneng Kab Pesawaran

PENDIDIKAN
2001 – 2007 : SD Negeri 03 Bumi Agung
2007 – 2010 : SMP Negeri 1 Tegineneng
2010 – 2013 :SMK Farmasi Cendikia Farma Husada
Bandar Lampung
2018 – 2022 : Strata 1 Farmasi Universitas Kader
Bangsa Palembang

vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Motto”

"Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik” (Ali bin Abitalib)

“Persembahan”

Alhamdulillahi Rabil’alamin
Atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala kupersembahkan karya ini untuk
Kedua Orang Tuaku Tercinta
Ayahku Tamrin B.A dan Ibuku Dra. Nurbaiti yang senantiasa memberikan kasih sayang,
motivasi dan taklupa selalu mendoakan untuk mencapai kesuksesanku
Terimakasih untuk kakakku Ulfa Maharizka , Oktika Ulva Rahayu dan adikku
Ferdi Tias adda’afi yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang
luar biasa demi keberhasilanku
Terimaksih untuk my best friend Afni Nur Rahma yang selalu ada saat keadaan
susah maupun senang
Terimakasih untuk aang yang sudah tulus ikhlas meberikan tempat tinggal yang
nyaman selama saya mengeyam pendidikan di kota Palembang
Terimakasih untuk pamanku tersayang Hasbari yang sudah memberi dukungan dan
doa untuk keberhasilanku.
Bapak dan Ibu Dosen yang dengan sabar selalu membimbingku
Teman Angkatan 2018 terimakasih atas doa dan motivasinya
Serta Almamater tercinta Universitas Kader Bangsa Palembang
tempatku menggali ilmu dan memahami arti dari kata perjuangan

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisa

Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien Penyakit Diabetes Melitus Dengan

Hipertensi Rawat Inap di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Periode

Januari – Desember 2021” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Kader Bangsa Palembang.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak,

oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih

yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Ferry Preska, ST., MSc., EE., Ph.D selaku Ketua Yayasan

Pendidikan dan Kesehatan Kader Bangsa Palembang.

2. Ibu DR. Hj. Irzanita, SH., SE., SKM., MM., M.Kes selaku Rektor

Universitas Kader Bangsa Palembang.

3. Ibu Prof. apt. Marlina, Ph.D selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Kader Bangsa Palembang.

4. Selaku Ka. Prodi S1 Farmasi Universitas Kader Bangsa Palembang yang

telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan untuk terselesaikannya

skripsi ini.

viii
5. Ibu apt. Hairun Niza, M.S.Farm selaku pembimbing materi yang telah

memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama penyusunan hingga

selesainya skripsi ini.

6. Bapak Drs.apt. Martin Suhendri, M.Farm selaku pembimbing teknis yang

telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan nasehat selama

penyusunan hingga selesai skripsi ini.

7. Bapak, Ibu Dosen beserta staf Program Studi Strata-1 Farmasi Universitas

Kader Bangsa Palembang.

8. Seluruh petugas rekam medis RSUD Siti Fatimah Az – Zahra Palembang

yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Kedua orang tuaku tercinta yang telah sabar dengan tulus dan ikhlas

mendukungku, untuk segala pengertian, pengorbanan, cinta, kasih sayang,

dan do’a yang tidak pernah berhenti tercurah demi keberhasilan penulis.

10. Teman – teman farmasi Universitas Kader Bangsa angkatan 2018 dan

semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas motivasi dan

bantuannya selama penelitian berlangsung hingga selesainya penulisan

skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas semua amalan dan kebaikan yang telah

diberikan kepada penulis. Semoga skripsi ini menjadi sumbangan yang

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua. Penulis menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis

ix
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi

ini. Akhir kata dengan segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

masyarakat pada umumnya.

Palembang, September 2022

Ulfa Firda Qonita

x
ABSTRAK

Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada Pasien Penyakit


Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Rawat Inap di RSUD
Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Periode Januari –
Desember 2021
Oleh:
Ulfa Firda Qonita
NIM: 18110090

Penyakit kronis ialah jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau


bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam
bulan. Penderita diabetes mellitus dalam perjalanan penyakit jarang
ditemukan dengan penyakit tunggal sehingga cenderung menerima terapi
lebih dari 5 obat. Banyaknya obat yang dikonsumsi pasien akan
meningkatkan probabilitas terjadinya interaksi sebesar 45,3%. Penelitian ini
merupakan penelitian non eksperimental observasiaonal dengan
menggunakan rancangan penelitian retrospektif untuk mengetahui gambaran
pola penggunaan obat dan potensi interaksi obat pada terapi pasien diabetes
meliitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra.
Sampel penelitian sebanyak 53 rekam medis pasien diabetes mellitus tipe-2
dengan hipertensi. Data yang disajikan dalam bentuk diagram/ tabel dan
persentase. Hasil dari penelitian ini dapat mengetahui bahwa golongan obat
antidiabetes yang diberikab pada pasien adalah insulin (65,55%), biguanit
(19,0%), sulfonilurea (12,1%), alfa-glukosidase (3,4%). Golongan obat
antihipertensi yang diberikan pada pasien adalah calcium channel blocker
(36,5%), angiotensin II reseptor blocker (30,2%), diuretik (17,7%),
angiotensin converting enzim (9,4%), dan beta blocker (6,3%). Dari total 53
pasien, sebanyak 24 pasien (45,3%) memiliki potensi interaksi obat dan
pasien tanpa interaksi obat pada resep sebanyak 29 pasien (54,7%).
Kata Kunci: Diabetes mellitus tipe-2, Hipertensi, Interaksi Obat, RSUD Siti
Fatimah Az-Zahra

xi
ABSTRAK
Analysis of the Occurrence of Drug Interactions in
Patients with Diabetes Mellitus with Hypertension Inpatient
at the Siti Fatimah Az-Zahra Provincial Hospital for the
Period January - December 2021
Oleh:
Ulfa Firda Qonita
NIM: 18110090

Chronic disease is a type of degenerative disease that develops or persists for


a very long time, which is more than six months. Patients with diabetes
mellitus in the course of the disease are rarely found with a single disease so
they tend to receive therapy with more than 5 drugs. The number of drugs
consumed by the patient will increase the probability of interaction by
45.3%. This study is an observational non-experimental study using a
retrospective study design to describe the pattern of drug use and potential
drug interactions in the treatment of type-2 diabetes mellitus patients with
hypertension inpatients at Siti Fatimah Az-Zahra Hospital. The study sample
consisted of 53 medical records of type-2 diabetes mellitus patients with
hypertension. The data are presented in the form of diagrams/tables and
percentages. The results of this study indicate that the classes of antidiabetic
drugs given to patients are insulin (65.55%), biguanite (19.0%), sulfonylurea
(12.1%), alpha-glucosidase (3.4%). Antihypertensive drugs given to patients
were calcium channel blockers (36.5%), angiotensin II receptor blockers
(30.2%), diuretics (17.7%), angiotensin converting enzyme (9.4%), and beta
blockers. (6.3%). From a total of 53 patients, 24 patients (45.3%) had
potential drug interactions and patients without drug interactions on
prescription were 29 patients (54.7%).

Keywords: type-2 diabetes mellitus, hypertension, drug interactions, Siti


Fatimah Az-Zahra Hospital

xii
DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAN ....................................................................................... i


HALAMAN PENETAPAN ................................................................................. ii
HALAMAN PENETAPAN ................................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v
BIODATA ........................................................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
ABSTAK ............................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... xii
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah ......................................................................................... 6
1.3 Pembatasan Masalah ....................................................................................... 6
1.4 Rumusan Masalah ........................................................................................... 7
1.5 Tujuan ............................................................................................................. 7
1.5.1 Tujuan Umum ........................................................................................... 7
1.5.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 7
1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 8
1.6.1 Secara Teoritis .......................................................................................... 8
1.6.2 Secara Praktis ........................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10
2.1 Diabetes Melitus ............................................................................................. 10
2.1.1 Definisi ..................................................................................................... 10
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ..................................................................... 11
2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus ......................................................................... 12
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus .................................................................. 12

xiii
2.1.5 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus ......................................................... 15
2.1.6 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 16
2.2 Hipertensi ....................................................................................................... 17
2.2.1 Definisi .................................................................................................... 17
2.2.2 Klasifikasi Hipertensi ............................................................................... 18
2.2.3 Etiologi .................................................................................................... 19
2.2.4 Patofisiologi Hipertensi ............................................................................. 20
2.2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................... 21
2.2.6 Diagnosa Hipertensi ................................................................................. 22
2.3 Terapi Farmakologi Pada Pasien Diabetes Melitus .......................................... 22
2.4 Terapi Farmakologi Pada Pasien Hipertensi .................................................... 29
2.5 Interaksi Obat .................................................................................................. 38
2.6 Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit .............................................. 40
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA ......................................... 56
3.1 Kerangka Konseptual ...................................................................................... 56
3.2 Bagan Kerangka Konseptual ........................................................................... 57
3.3 Hipotesa .......................................................................................................... 58
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 59
4.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 59
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................... 59
4.3 Populasi dan Sampel ....................................................................................... 60
4.4 Pengumpulan Data .......................................................................................... 61
4.5 Pengolahan Data ............................................................................................. 62
4.6 Analisis Data ................................................................................................... 64
4.7 Definisi Oprasional ......................................................................................... 65
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 67
5.1 Data Sosiodemografi Pasien ............................................................................ 68
5.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ................. 68
5.1.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa .............................................. 70

xiv
5.2 Data Penggunaan Obat ..................................................................................... 74
5.2.1 Golongan Obat ......................................................................................... 75
5.2.2 Jenis Obat yang Digunakan ...................................................................... 77
5.3 Analisis Potensi Interaksi Obat ........................................................................ 88
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 96
6.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 96
6.2 Saran ............................................................................................................... 96

xv
DAFTAR TABEL
TABEL
2.1 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC 7 ........................................................ 18
2.2 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja ............................. 26
2.3 Dosis Terapi Obat-Obat Antihipertensi ............................................................ 34
4.1 Operasional ..................................................................................................... 65
5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ........................ 68

5.2 Jenis Penyakit Penyerta Pada Pasien Diabetes Melitus tipe-2 ........................... 72
5.3 Jumlah obat yang diberikan pada pasien .......................................................... 74

5.4 Profil Golongan Obat Antidiabetes Mellitus ................................................... 75


5.5 Profil Golongan Obat Antihipertensi ............................................................... 76
5.6 Profil Obat Insulin ........................................................................................... 78

5.7 Profil Obat Biguanid ....................................................................................... 79


5.8 Profil Obat Sulfonilurea .................................................................................. 80

5.9 Profil Obat Alfa-glukosidase ........................................................................... 80


5.10 Profil Obat Calcium Channel Blocker ............................................................ 81

5.11 Profil Obat Angotensin II Reseptor Bloker .................................................... 83


5.12 Profil Obat Diuretik ....................................................................................... 84

5.13 Profil Obat (ACEI) ........................................................................................ 85


5.14 Profil Obat Beta-blocker ................................................................................ 85
5.15 Profil Obat Penyakit Penyerta ........................................................................ 86
5.16 Profil Interaksi Obat Antidiabetes dengan Antihipertensi ............................... 90
5.17 Profil Interaksi Obat Antidiabetes dengan Antidiabetes ................................. 94
5.18 Profil Interaksi Obat Antihipertensi dengan Antihipertensi ............................ 95

xvi
GAMBAR

GAMBAR
2.2 Algoritme Terapi Hipertensi ............................................................................ 38

3.2 Kerangka Konsep ............................................................................................ 57


5.1 Karakteristik Umur Pasien .............................................................................. 68

5.2 Karakteristik Jenis Kelamin ............................................................................. 68


5.3 Jumlah Penyakit Yang Diderta Berdasarkan Diagnosa ..................................... 71

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kronis ialah jenis penyakit degeneratif yang berkembang

atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih

dari enam bulan. Orang yang menderita penyakit kronis cenderung

memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan cenderung

mengembangkan perasaan keputusasaan dan ketidakberdayaan karena

berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari

penyakit kronis (Rosdiana, Ayu 2017).

Diabetes Melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan

terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolism karbohidrat,

lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara

absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. Gejala yang

dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria,

polifagia, penurunan berat badan, kesemutan (Rosdiana, Ayu 2017).

World Health Organization (WHO) memprediksi peningkatan jumlah

pasien yang terdiagnosis DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International

Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya peningkatan jumlah

1
pasien DM di Indonesia dari 10,3 juta pada tahun 2017 menjadi

16,7 juta pada tahun 2045 (Perkeni, 2019).

Prevalensi Diabetes Melitus berdasarkan Diagnosis Dokter pada

Penduduk. Semua Umur menurut Karakteristik di Provinsi Sumatera

Selatan Laki-laki 0,67% dan Perempuan 1,15% sedangkan Prevalensi

Diabetes Melitus di Indonesia pada tahun 2018 memiliki persentase

1,5% atau 1.017.290 penderita (Riskesdas 2018).

Selain DM, pasien biasanya juga mengalami penyakit penyerta

sehingga membutuhkan berbagai macam obat dalam terapinya. Terapi

dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) dapat mengakibatkan

terjadinya interaksi obat. Interaksi obat terjadi jika efek salah satu

obat berubah karena keadaan oba lain, makanan, minuman, atau

berbagai agen kimia lingkungan (Stockley, 2010).

Hipertensi merupakan penyaki kardiovaskular dan salah satu

penyakit kronis yang banyak dialami oleh masyarakat baik di negara

maju maupun negara berkembang (Hipertensi. Pharmaceutical Care.

2006.). Dikatakan hipertensi apabila kondisi pembuluh darah memiliki

tekanan darah yang tinggi, yaitu tekanan darah sistolik lebih besar

dari ˃120 mmHg dan tekanan darah diastolic lebih besar dari ˃80

mmHg yang menetap (Management of Hypertension 2006).

Penyakit kardiovaskular menyumbang sekitar 17 juta kematian

tiap tahunnya, hampir sepertiga dari total keseluruhan, dari

2
jumlah tersebut hipertensi memiliki jumlah 9,4 juta kematian dari

seluruh dunia. Hipertensi bertanggung jawab atas 45% kematian

yang berasal dari penyakit jantung iskemik dan 51% kematian

karena stroke. Pada tahun 2008 di seluruh dunia sekitar 40%

dari orang dewasa berusia 25 tahun ke atas telah di diagnosis

dengan hipertensi. Jumlah penderita hipertensi yang terus

meningkat dari 600 juta pada tahun 1980 menjadi 1 miliar pada

tahun 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi di wilayah Afrika

dengan angka 46% orang dewasa berusia 25 tahun ke atas,

sedangka angka terendah prevalensi 35% di temukan di Amerika

(World Health Organization. 2013).

Prevalensi hipertensi di Indonesia dari tahun 2013-2018 mengalami

peningkatan dengan pengukuran langsung pada penduduk yaitu 25,8%

menjadi 34,1%. Seluruh penduduk Indonesia 91,2% tidak mengalami

hipertensi dan 8,8% adalah penderita hipertensi dengan riwayat rutin

minum obat 54,4% dan tidak rutin minum obat 13,3% dengan alasan

merasa sudah sehat 59,8%, tidak rutin ke fasyankes 31,3%, minum

obat tradisional 14,5%, sering lupa 11,5%, tidak mampu beli obat

rutin 8,1%, tidak tahan efek samping 4,5%, obat tidak ada di

fasyankes 2,0% dan alas an lainnya 12,5% (RISKESDAS 2018).

Penyakit hipertensi masuk dalam urutan ke 3 dari 10 penyakit

3
terbesar di Provinsi Sumatra selatan, kurang lebih sekitar 30,44 %

atau 21.839 penderita (Riskesdas 2018).

Peningkatan tekanan darah yang berangsur lama dapat menimbulkan

kerusakan pada ginjal ( gagal ginjal), jantung (penyakit jantung

koroner) dan otak (penyebab stroke) bila tidak dideteksi secara dini

dan mendapatkan pengobatan yang memadai (Gray H. Kardiologi

2005). Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tinggi tidak

terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Kondisi ini dapat

menurunkan kualitas hidup pasien (Pharmaceutical Care. 2006.).

Hipertensi ini muncul akibat dari kondisi hiperglikemia dan

pembentukan AGEs yang akan meningkatkan tekanan oksidatif dan

menyebabkan disfungsi endhotelial dan disfungsi vascular. Disfungsi

endhotelial dapat menurunkan nitrit oksida yang dapat mengangu

regulasi tekanan darah, sedangkan disfungsi vascular mengakibatkan

kekakuan arteri yang meningkat, vasodilatasi menurun maka keadaan

ini akan menyebabkan tekanan darah meningkat atau terjadinya

hipertensi (Cheung dan Li, 2012)

Menurut American diabetes association (2017), penyakit diabetes

mellitus dan hipertensi merupakan penyakit menahun yang dapat

menyebabkankan terjadinya komplikasi akut hingga kronis. Penyakit

ini dapat memicu munculnya keluhan-keluhan lain atau bahkan

4
penyakit baru yang dikenal dengan penyakit penyerta. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh (Susilo et all 2018).

Komplikasi penyakit Diabetes Militus dan Hipertensi adalah pemicu

penggunaan obat bermacam – macam (polifarmasi) yang menyebabkan

terjadinya pola pengobatan yang tidak rasional termasuk terjadinya

interaksi obat (Syarif, A., Estuningtyas, A., dkk). Penggunaan obat

yang bermacam – macam ini tentunya memiliki kecenderungan untuk

meningkatkan terjadinya risiko gangguan kesehatan dan juga dapat

meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat atau drugs-drugs

interactions (DDI’s). Kemungkinan terjadinya interaksi obat akan

lebih besar pada pasien dengan penggunaan obat dalam jumlah yang

banyak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Salwe 2016), yang menyatakan bahwa angka prevalensi interaksi

obat sekitar 6% pada pasien yang mengonsumsi dua sampai empat

obat, 50% pada pasien yang mengonsumsi lima obat dan hamper

100% pada pasien yang mengonsumsi 10 obat. Hasil penelitian

kolaboratif Madania dkk. (2019), bahwa obat yang paling banyak

berinteraksi adalah obat hipertensi dan penyakit diabetes melitus.

Mempertimbangkan hal diatas, peneliti bermaksud melakukan

analisa penggunaan obat pada pasien hipertensi dan diabetes militus

dan melihat potensi interaksi antara obat diresepkan. Mengingat

pentingnya tinjauan tentang pengobatan pasien hipertensi dan diabetes

5
meltus agar mendapatkan terapi pengobatan secara rasional, untuk

meningkatkan kualitas mutu hidup pasien.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifiksi masalah pada

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pola pengobatan penyakit Diabetes Melitus dengan

Hipertensi pada pasien di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-

Zahra Palembang periode januari – desember tahun 2021

2. Bagaimana potensi interaksi obat yang terjadi pada pengobatan

Diabetes Melitus dengan Hipertensi di RSUD Prov.Sum-Sel Siti

Fatimah Az-Zahra Palembang periode januari – desember tahun

2021

3. Bagaimana hubungan jumlah obat terhadap potensi terjadinya

interaksi obat pada pasien Diabetes Melitus dengan Hipertensi di

RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Palembang periode

januari – desember tahun 2021

1.3 Pembatasan Masalah

Dari permasalahan yang sudah ada maka perlu ada batasan

masalah yang digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan

maupun pelebaran pokok masalah supaya memudahkan bagi peneliti

dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian akan tercapai.

6
Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1) Mengetahui terjadinya interaksi obat antidiabetik oral dengan obat

antihipertensi pada pasien di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-

Zahra Palembang periode januari – desember tahun 2021

1.4 Rumusan Masalah

Bagaimana potensi kejadian interaksi obat pada pasien Diabetes

Melitus dengan Hipertensi di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-

Zahra Palembang periode januari – desember tahun 2021.

1.5 Tujuan

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui potensi

interaksi obat pada pasien Diabetes Melitus dengan Hipertensi di

RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Palembang periode

januari – desember tahun 2021

1.5.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui gambaran karakteristik pasien, ketepatan

penggunaan obat antidiabetik oral dengan antihipertensi di

RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Palembang

periode januari – desember tahun 2021

7
2) Mengetahui hubungan antara jumlah obat dengan potensi

interkasi obat pada pasien Diabetes Melitus dengan

Hipertensi di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra

Palembang periode januari – desember tahun 2021

3) Mengetahui ada atau tidaknya potensi terjadinya interaksi

obat antidiabetik oral dengan antihipertensi di RSUD

Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Palembang periode

januari – desember tahun 2021

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber

pengetahuan dan referensi pada penelitian selanjutnya dalam

pengembangan ilmu kefarmasian terutama dalam bidang farmasi

klinis dan komunita mengenai hubungan antara jumlah obat dan

potensi terjadinya interaksi obat pada pasien dengan penyakit

Diabetes Melitus dengan Hipertensi.

1.6.2 Secara Praktis

Memberikan informasi dan pengetahuan kepada tenaga

kesehatan khususnya farmasi di RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah

Az-Zahra Palembang periode januari – desember tahun 2021

8
untuk mengurangi potensi terjadinya interkasi obat pada pasien

dengan penyakit Diabetes Melitus dengan Hipertensi.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau keduanya (PERKENI 2019)

Insulin merupakan hormone yang terbentuk secara alami dan

diproduksi oleh sel beta pankreas. Insulin dibutuhkan untuk

mengangkut gula dari darah ke dalam sel-sel tubuh yang kemudian

digunakan untuk menghasilkan energi (American Diabetes 2016).

Sel beta merupakan tempat terjadinya sintesis dan sekresi insulin.

Awal sintesis berawal dari salinan gen pada kromosom 11 kemudian

salinan tersebut akan mengalami proses yang akhirnya akan

menghasilkan insulin yang dikemas didalam granul-granul sekretorik.

Sekresi insulin diinduksi oleh kadar glukosa, kemudian terjadi reaksi

didalam sel. Perubahan rasio ATP/ADP akan memicu reaksi

depolarisasi membrane plasma, diikuti masuknya Ca2+ ekstrasel yang

berfungsi mengaktifkan eksositosis (Banjarnahor 2013).

10
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes militus berdasarkan etiologinya dapat dilihat seperti

dibawah ini :

1) Diabetes Militus TIPE 1

Dekstruksi sel beta pancreas, umumnya berhubungan dengan

defisiensi insulin absolute, autoimun, idiopatik (PERKENI 2019)

2) Diabetes Militus TIPE 2

Berfariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai

resistensi insulin (PERKENI 2019)

3) Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes yang didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga

kehamilan diman sebelum kehamilan tidak didapatkan diabetes

(PERKENI 2019)

4) Tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebeb lain

- Sindrom diabetes monogenic (diabetes neonatal, maturity onset

diabetes of the young) (PERKENI 2019)

- Penyakit eksokrin pancreas (fibrosis kistik, pancreatitis)

- Disebebkan oleh obat atau zat kimia (missal penggunaan

glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau setelah transplanasi

organ) (PERKENI 2019)

11
2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus tipe 2 berhubungan dengan insulin, yaitu pada

resistensi insulin dan ganguan sekresi insulin. Resistensi insulin adalah

turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa

oleh jaringan perifer dan dapat menghambat produksi glukosa oleh

hati. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada

permukaan sel. Ketidak mampuan reseptor dalam mengikat insulin,

maka terjadi resistensi pada sel pada Diabets Melitus tipe 2 disertai

dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian insulin menjadi

tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan

(Dipiro 2008).

Faktor genetik juga sangat berperan dalam Diabetes Melitus tipe 2.

Adanya ketidak normalan post reseptor dapat mengangu insulin

yang dapat menyebabkan resistensi pada insulin pada sel beta

pancreas (DiPiro 2008).

2.1.4 Patofisologi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi

insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu

merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai

“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari

obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita

diabetes mellitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatic

12
yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans

secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi

insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif

dan tidak absolute (Fatimah, Restyana Noor 2015).

Pada awal perkembangan diabetes mellitus tipe 2, sel B

menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya

sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak

ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi

kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pancreas akan

terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,

sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada

penderita diabetes mellitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua

factor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah,

Restyana Noor 2015).

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita

polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik

memiliki riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa

darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit

kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral arterial diseases

(PAD), konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis

kelamin, konsumsi kopi dan kafein (Fatimah, Restyana Noor 2015).

1. Obesitas (kegemukan)

13
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa

darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.

2. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan

tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya

tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.

3. Riwayat Keluarga

Diabetes Mellitus Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga

mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan

gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen

resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.

4. Dislipedimia

Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah

(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma

insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada

pasien Diabetes.

5. Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus

adalah > 45 tahun. 6. Riwayat persalinan Riwayat abortus berulang,

melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000gram.

6. Faktor Genetik

14
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental

Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial.

Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua

sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami

penyakitini.

7. Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan

peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini

dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak

aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari

lingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi

perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan

dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme

gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit

regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan

meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari

60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720

ml (Fatimah, Restyana Noor 2015).

2.1.5 kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

a. Pemeriksaan glucose plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

15
b. Pemeriksaan glucose plasma puasa ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glucose 75 gr.

c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan

klasik atau krisis hiperglikemia

d. Pemeriksaan Hba1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standardization

Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complication trial assay

(DCCT) (PERKENI 2021)

2.1.6 Manifestasi Klinis

Berbagai gejala dapat ditemukan pada penderita diabetes, kecurigaan adanya

DM apabila terdapat keduanya seperti dibawah ini (PERKENI 2015).

a. Poliuria (banyak kencing) merupakan salah satu gejala diabetes.

Hal ini terjadi ketika kadar glukosa melebihi ambang batas toleransi

gejala yang mengakibatkan glukosa dalam urin menarik air sehingga

urin menjadi banyak.

b. Polidipsia (banyak minum) disebabkan tingginya kadar glukosa dalam

darah menyebabkan dehidrasi pada sel tubuh akibat tekanan osmotic

yang menyebabkan cairan dalam sel keluar. Keluarnya glukosa dalam

urin akan menimbulkan keadaan diuresis osmotic. Efek keseluruhannya

adalah kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin. Untuk menjaga

urin agar tidak terlalu pekat, ginjal mempunyain sistem pengaturan

16
sendiri sehingga cairan tubuh ikut keluar bersama urin dan jaringan

tubuh mengalami dehidrasi.

c. Kelelahan disebabkan karena glukosa tidak dapat masuk kedalam sel

sehinga tidak ada ATP yang dihasilkan, sedangkan ATP adalah sumber

utama energy dalam tubuh.

d. Polifagia (banyak makan) disebabkan rendahnya glukosa yang masuk

kedalam sel sehingga metabolisme tubuh terjadi dengan cepat untuk

memenuhi kebutuhan glukosa dalam pebentukan ATP, akibatnya tubuh

merasa memerlukan asupan glukosa yang lebih banyak lagi dalam waktu

yang relatif lebih singkat dari orang normal

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi

Hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg

pada pengukuran di klinik atau fasyankes. Hipertensi merupakan

penyakit yang tidak dapat disembuhkan namun dapat dilalakukan

pencegakan dengan perubahan pola hidup sehat dan mengkonsumsi obat

antihipertensi (Johnson et al., 2019). Menurut JNC 7 tekanan darah

normal dengan batas ≤120/80 mmHg dan terjadinya krisis hipertensi saat

tekanan darah ≥180/120 mmHg.

17
2.2.2 klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC 7 Dengan batas usia 18 adalah

sebagai berikut :

Tabel 2.1 : Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC 7

Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120–139 80–89

Hipertensi stage 1 140–159 90–99

Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100

Hipertensi sangat terkait dengan diabetes tipe 2. Komorbiditas tambah

hipertensi pada diabetes menyebabkan risiko lebih tinggi penyakit

kardiovaskular (PKV), stroke, penyakit ginjal, dan retinopati diabetes

menyebabkan biaya perawatan kesehatan yang lebih besar (JNC 7).

Hipertensi primer mendominasi penyebab hipertensi yaitu 95 %

hipertensi adalah hipertensi primer yang disebut juga hipertensi esensial,

dan sisanya 5% adalah hipertensi sekunder. Salah satu penyebab

terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal yang biasa dikenal

dengan hipertensi renal (Kadir dan Akmarawita 2018).

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan sistolik dan tekanan diastolik

pada seorang diatas nilai normal. Tekanan darah sistolik adalah tekanan

18
darah pada saat jantung memompa darah ke seluruh tubuh (fase ejeksi)

yang biasanya di tulis pada nilai atas. Sedangkan tekanan darah diastolik

adalah tekanan darah pada saat jantung istirahat (dalam hal ini ventrikel

diisi oleh sejumlah darah dari atrium) (Kadir dan Akmarawita 2018).

2.2.3 Etiologi

Menurut etiologinya hipertensi dibagi atas dua macam yaitu :

a. Hipertensi Primer

Merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dengan

pasti. Diduga ada banyak faktor yang dapat menyebabakan naiknya

tekanan darah pada hipertensi primer sehingga sulit diketahui

penyebab pastinya, seperti faktor genetik, gaya hidup maupun

abnormalitas fisiologi dan sebagainya. Sebanyak 90% dari seluruh

kasus hipertensi yang terjadi merupakan hipertensi primer. (DiPiro

2008).

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang dapat diketahui

penyebabnya secara pasti. Hipertensi jenis ini terjadi kurang dari

10% dari jumlah seluruh kasus kenaikan tekanan darah yang

persisten. Penyebab yang paling umum adalah terjadinya disfungsi

ginal akibat penyakit ginjal kronis. Selain itu beberapa jenis obat –

obatan juga dapat menyebabkan terjadinya hipertensi sekunder ini,

19
seperti beberapa jenis steroid, NSAID (Inhibitor COX-2),

fenilpropanolamin dan analognya, dan sebagainya (DiPiro 2008)

2.2.4 Patofisiologi Hipertensi


Angiotensinogen
Bradykinin
Renin Substance P
Angiotensin I Enkephalins
Chymase ACE
CAGE
Chatepsin G
Angiotensin II
inactive fragments
Angiotensin II
reseptors
Aldosteron (Sub-type AT 1) sympathetic
Secretion (sodium activation
And water retention) vasocontriction

Blood pressure

Dalam kondisi normal, tekanan darah dalam tubuh diatur oleh banyak

faktor, oleh karena itu, banyak kemungkinan gangguan yang mungkin

menyebabakan terjadinya kenaikan tekanan darah. Faktor – faktor pengatur

tekanan darah tersebut diantaranya sistem Renin–Angiotensin–Aldosterone

(RAA), hormon pengatur keseimbangan natrium, kalium, dan kalsium,

serta mekanisme neurologis.

Sistem RAA merupakan sistem endogen pengatur kesimbangan cairan,

natrium, dan kalium, yang termasuk dalam komponen regulasi tekanan

darah didalam tubuh. Sistem ini sendiri dikendalikan oleh ginjal. Pada

bagian arteriola ginjal terdapat gromerular. Didalam nya terdapat renin,

20
suatu enzim yang akan disekresikan jika sel juxtaglomerular menangkap

sinyal berupa terjadinya penurunan tekanan darah dalam tubuh. Setelah

disekresikan, renin akan mengkatalisasi konversi angotensinogen menjadi

angiotensin I yang kemudian dikonversi lagi menjadi angiotensin II oleh

enzim angiotensin –convertin –enzyme (ACE). Enzim ini memiliki

beberapa reseptor didalam tubuh yang dapat mempengaruhi tekanan darah,

antara lain di otak, ginjal, myocardium, pembuluh perifer, dan kelenjar

adrenal. Dihasilkannya angiotensin II dapat menyebabkan kenaikan

tekanan darah melalui beberapa mekanisme, antaralain terjadinya

vasokonstriksi, peningkatan aktivitas saraf simpatik, pelepasan katekolamin

serta pelepasan aldosteron, suatu hormon yang mengatur keseimbangan

cairan, natrium, dan kalium (DiPiro 2008).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami peningkatan

tekanan sistole dan atau diastole, tetapi sebenarnya peningkatan ini terjadi

akibat 2 parameter yang meningkat yaitu peningkatan tahanan perifer total

tubuh dan peningkatan cardiac output / curah jantung. Sehingga dapat

dikatakan bahwa segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya peningkatan

salah satu atau keduanya, maka akan menyebabkan orang tersebut

mengalami peningkatan tekanan darah (hipertensi) (Kadir dan Akmarawita

2018).

21
2.2.6 Diagnosa Hipertensi

Diagnosis hipertensi primer dapat dilakukan dengan beberapa cara

meliputi :

1. Pemeriksaan fisik lengkap, terutama pemeriksaan tekanan darah.

2. Pemeriksaan penunjang meliputi tes urinalisis, pemeriksaan

kimia darah untuk mengetahui kadar potassium, sodium,

creatinine, HDL (High Density Lipoprotein), LDL (Low Density

Lipoprotein), glucose.

3. Pemeriksaan EGK (Adrian, Steven Johanes 2019)

2.3 Terapi Farmakologi Pada Pasien Diabetes Melitus

Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi 5 golongan:

a. Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue)

- Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan

sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama

adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

22
- Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi

insulin fase pertama. Efeksamping yang mungkin terjadi

adalah hipoglikemia. (PERKENI 2015)

b. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin

- Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan

glukosa di jaringan prifer. Metformin merupakan pilihan

pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Efek samping

yang mungkin terjadi berupa gangguan saluran pencernaan

seperti gejala dispepsia.

- Tiazolidindion (TZD).

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma),

suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,

dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan

glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan

retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada

23
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat

memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan

faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara

berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah

Pioglitazone (PERKENI 2015)

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

- Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa

dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan

kadar glukosa darah sesudah makan. Obat golongan ini

adalah Acarbose (PERKENI 2015).

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja

enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1)

tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.

Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan

menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah

(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah

Sitagliptin dan Linagliptin (PERKENI 2015).

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat

antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan

24
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara

menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang

termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,

Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (PERKENI

2015).

2. Obat Antihiperglikemia Suntik

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

- Krisis Hiperglikemia

- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard

akut, stroke)

- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang

tidak terkendali dengan perencanaan makan

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi (PERKENI

2015).

25
Jenis dan Lama Kerja Insulin

berdasar cara kerja insulin dibagi atas 5 jenis:

- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

- Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)

- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)

(PERKENI 2015).

Tabel 2.2 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja

Jenis Insulin Onset Puncak Lama Kemasan

Efek Kerja

Insulin analog kerja cepat (Rapid-Acting)

Insulin Lispro 5 – 15 1 – 2 jam 4 – 6 jam Pen / cartridge

(Humalog), insulin menit pen, vial pen

aspart

(Novorapid),

insulin glulisin

(Apidra)

Insulin manusia kerja pendek = insulin reguler (Short-Acting)

Humulin R, 30 – 60 2 – 4 jam 6 – 8 jam Vial, pen /

26
Actrapid menit cartridge

Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)

Humulin N, 1,5 – 4 4 – 10 jam 8 – 12 jam Vial, pen /

insulatard, insulin jam cartridge

basal

Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)

Insulin glargine 1 – 3 jam Hampir 12 – 24 pen

(Lantus), insulin tanpa jam

determir puncak

(Levemir), lantus

300

Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)

Degludec (Tresiba) 30 – 60 Hampir Sampai 48

menit tanpa jam

puncak

Insulin manusia campuran (Human Preximed)

70/30 Humulin 30 – 60 3 – 12 jam

(70% NPH, 30% menit

reguler) 70/30

Mixtard (70%

27
NPH, 30% reguler)

Insulin analog campuran (Human Preximed)

75/25 Humalogmix 12 – 30 1–4

(75% protamin menit jam

lispro, 25% lispro),

70/30 Novomix

(70% protamine

aspart, 30% aspart)

50/50 premix

28
2.4 Terapi Farmakologi Pada Pasien Hipertensi

Pemilihan obat ataun kombinasi yang cocok bergantung pada

keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi.

Terdapat golongan obat lini pertama (first line drug) yang bekerja

sebagai obat penurun tekanan darah yaitu Angiotensin Converting

Enzym Inhibitor (ACEI), Angiotensin Receptor Bloker (ARB), Beta

Bloker (BB), Calcium Channel Blokers atau Calcium Antagonist (CCB)

dan diuretik tipe thiazid (Irianto K 2015).

1) Diuretik

Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan

tubuh (lewat air seni), sehingga volume cairan tubuh berkurang dan

mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek

menurunkan tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama

pada hipertensi tanpa adanya penyakit lain (Dipiro 2015).

a) Golongan thiazid

Thiazid merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk

menurunkan tekanan darah. Obat diuretik jenis thiazid harus

digunakan sebagai pengobatan awal pada semua pasien dengan

hipertensi, penggunaan secara tunggal maupun secara

kombinasi dengan satu kelas antihipertensi lainnya (ACEI,

ARB, BB, CCB). Diuretika golongan thiazid ini bekerja pada

hulu tubuli distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium

29
klorida. Efek diuretika thiazid terjadi dalam waktu satu sampai

dua jam dan bertahan sampai 12-24 jam, sehingga obat ini

dapat diberikan cukup sekali sehari. Contoh dari golongan

thiazide adalah hidroklorothiazide (HCT) dan indapamid

(Dipiro 2015).

b) Diuretik kuat (Loop Diuretics)

Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel

tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-

,menghambat resorbsi air dan elektrolit. Mulanya kerjanya

lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan

thiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan sebagai

antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan gungsi

ginjal (kreatinin serum >2,5 mg/dL) atau gagal jantung

(Dipiro 2015).

c) Diuretik hemat kalium

Diuretik hemat kalium mencegah terjadinya hipokalemia.

Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila

dibrikan pada pasien dengan gagal ginjal atau bila dikombinasi

dengan penghambat ACE, ARB, β-Bloker, AINS atau dengan

suplemen kalium. Pengunaan harus dihindarkan bila kreatinin

serum lebih dari 2,5mg/dL (Dipiro 2015).

30
2) Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)

ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah pemberian

diuretik. ACEI menghambat perubahan Angiotensin I menjadi

Angiotensin II, dimana Angiotensin II membuat vasokontriktor

yang merangsang sekresi aldosteron. ACEI juga memblok

degradasi bradikinin dan merangsang sintesa yang dapat

meningkatkan vasodilatasi. Penghambat degradasi ini akan

memberikan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa contoh

obat yang termasuk kedalam golongan obat ini adalah catopril,

elanapril, lisinopril dan ramipril (Dipiro 2015). Salah satu

parameter farmakokinetik obat ACEI adalah captopil. Captopril

cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek,

sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah pasien akan

merespon dengan baik pemberian ACEI. Dosis pertama ACEI harus

diberikan dimalam hari karena penurunan tekanan darah mungkin

terjadi, efek ini akan meningkat jika mempunyai kadar sodium

rendah (Farmakologi Hipertensi 2007).

3) Angiotensin II Reseptor Bloker (ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1

(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). ARB yang ada pada saat ini

selektif untuk reseptor AT1. ARB menghambat secara langsung

reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin II

31
yang sudah diketahui yaitu sebagai vasokontriksi, pelepasan aldosteron.

Pemberian diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi

antihipertensi dari ARB. ARB tidak mempengaruhi metabolisme

bradikinin, maka obat-obat pada golongan ini dilaporkan tidak

mmemiliki efek samping batuk kring dan angiodema seperti yang sring

terjadi dengan ACE-inhibitor. Contoh obat-obat pada golongan ini

antara lain losartan, candesartan dan valsartan (Nafraldi 2012).

4) Penghambat Adrenoresepto Beta (β-Bloker)

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian

β-Bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain :

a) Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard

sehingga menurunkan curah jantung

b) Hambatan sekresi renin dengan akibat penurunan produksi

angiotensin II

Penggunaan β-Bloker sebagai obat tahap pertama pada

hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan

penyakit jantung koroner, pasien dengan aritmia. Contoh yang

termasuk dalam golongan ini adalah bisoprolol, atenolol dan

metoprolol (Nafraldi 2012).

32
5) Calcium Channel Bloker atau Calcium Antagonist (CCB)

Calcium Channel Bloker atau Calcium Antagonist (CCB)

menghambat influksi kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan

miokard. Di pembuluh darah antagonis kalsium menimbulkan relaksasi

arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Sehingga yang terjadi

adalah penurunan tekanan dan aliran darah ke jantung.

Ada dua sub kelas CCB yaitu dihidropiridine dan non dihidropiridine.

Keduanya sangat berbeda pada efek farmakodinamik yang lain. Efek

samping dari dihidropiridin adalah pusing, sakit kepala, edema perifer,

mood changes dan gangguan gastrointestinal. Efek samping pusing ,

sakit kepala dan edema perifer lebih jarang terjadi pada non

dihidropiridin verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya tidak

sekuat dihidropiridin (Nafraldi 2012).

6) Penghambat Adrenoreseptor Alfa (ɑ-Bloker)

Alfa Bloker selektif menghambat reseptor ɑ1. Hambatan reseptor ɑ1

menyebabkan vasodilatasi di arteriol dn venula sehingga menurunkan

resistensi perifer. Disamping itu venodilatasi menyebabkan aliran balik

vena berkurang dan selanjutnya menurunkan curah jantung. Vasodilatasi

inilah yang menyebabkan penurunan denyut jantung (Nafraldi 2012).

7) Adrenolitik Sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan

merangsang reseptor ɑ2 adrenegic di otak. Perangsangan ini

33
menurunkan aliran simpatetik di otak. Penurunan aktivitas simpatetik,

dapat menurunkan denyut jantung, aktivitas plasma renin. Klonidin

sering digunakan untuk hipertensi yang resisten, metildopa sering

digunakan sebagai obat lini pertama pada saat kehamilan

(Pharmaceutical Care. 2006)

Dosis terapi obat-obat antihipertensi dapat dilihat pada tabel berikut

ini 20 :

Tabel 2.3 Dosis Terapi Obat-Obat Antihipertensi

Golongan Obat Jenis Obat Kisar Frekuensi

Antihipertensi Dosis Harian

Lazim Lazim

(mg/hari

ACE inhibitor Benazepil 10-40 1

Captopril 25-100 2

Enalapril 5-40 1-2

Fisinopril 10-40 1

Lisinopril 10-40 1

Moeksipril 7,5-30 1

Perindopril 4-8 1

Quinapril 10-80 1

Ramipril 2,5-20 1

34
Trandopril 1-4 1

ARB Candesartan 8-32 1

Eprosartan 400-800 1-2

Irbesartan 150-300 1

Losartan 25-100 1-2

Olmesartan 20-40 1

Telmisartan 20-80 1

Valsartan 80-320 1-2

Diuretik Thiazid Klorotiazid 125-500 1-2

Klortalidon 12,5-25 1

Hidroklortiaz 12,5-50 1

id 2-4 1

Politiazid 1,25-2,5 1

Indapamid 0,5-5 1

Metolazon

Diuretik Loop Bumetamid 0,5-2 2

Furosemid 20-80 2

Torsemid 2,5-10 1

Diuretik Amilorid 5-10 1-2

Penahan Kalium Triamteren 50-100 1-2

35
Antagonis Eplerenon 50-100 1

Reseptor Spironolacton 25-50 1

Aldosteron e

BB Atenolol 25-100 1

Betaksonol 5-20 1

Bisoprolol 2,5-10 1

Metoprolol 50-100 1-2

Metoprolol 50-100 1

extended

release 40-120 1

Nadolol 40-160 2

Propanolol 60-180 1

Propanolol

long acting 20-40 2

Timolol

Golongan Obat Jenis Obat Kisar Frekuens

Antihipertensi Dosis i Harian

Lazim Lazim

(mg/har

i)

Kombinasi Karvedilol 12,5-50 2

penyekat Alfa Labetolol 200-800 2

36
dan beta

CCB non Diltiazem 180-420, 1

dihidropiridin Extended 120-540

release 1

Verapamil 80-130

immediate 1-2

release 120-480

Verapamil 1

long-acting 120-360

Verapamil

CCB Amlodipin 2,5-10 1

dihidropiridin Felodopin 2,5-20 1

Isradipin 2,5-10 2

Nicardipin 60-120 2

SR 30-60 1

Nifedipin

long acting

Agonis alfa-2 Klonidin 0,1-0,8 2

dan obat aksi Klonidin 0,1-0,3 1kali/min

sentral lainya patch 250- ggu

Oak Institute Metildopa 1000 2

Reserpin 0,1-0,25 1

Alpha-1 Bloker Doxazosin 1-16 1

37
Prazosin 2-20 2-3

terazosin 1-20 1-2

Vasodilator Guanfansin 0,5-2 1

arteri Monoksidin 2,5-80 1-2

Gambar 2.2 Algoritme Terapi Hipertensi (Pharmaceutical Care untuk

Hipertensi 2006)

2.5 Interaksi Obat

Secara umum interkasi obat dapat digambarkan sebagai suatu

interkasi antara suatu obat dan unsur lain yang dapat mengubah kerja

38
salah satu atau keduanya. Interaksi tersebut dapat bersifat potensiasi atau

antagonis satu obat oleh obat lainnya. Banyak interaksi obat tidak

berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang potensial berbahaya hanya

terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih derajat keparahan suatu

interaksi bervariasi dari satu pasien ke pasien lain. Obat-obat dengan

indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan obat-obat yang memerlukan

kontrol dosis yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan antidiabetes)

adalah obat-obat yang paling sering terlibat (BPOM RI 2015).

Interaksi farmakokinetik menurut stockley (2008) adalah interaksi

yang dapat mempengaruhi proses saat obat diserap, didistribusikan,

dimetabolisme dan diekskresikan (ADME) dapat meningkatkan ataupun

menurunkan kadar plasma obat. Sedangkan interaksi farmakodinamik

merupakan interaksi antara obat yang berkerja pada sistem reseptor,

tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang

adiktif, sinergistik, atau antagonisti, tanpa ada perubahan kadar plasma

ataupun profil farmakokinetik lainnya.

Contoh golongan obat antidiabetes yang terjadi interkasi dengan obat

antihipertensi (Stockley, edisi 8)

Golongan Obat Efek obat yang terjadi

Antidiabetes + Beta Bloker Menyebabkan hipoglikemia

Antidiabetes + Thiazid Diuretik Menyebabkan penurunan

39
sekresi insulin

Sulfonilurea + ACE inhibitor Menyebabkan hipoglikemia

Antidiabetes + ACE inhibitor Meningkatkan resiko

terjadinya hipoglikemia

Sulfonilurea + Calcium Chanel Meningkatkan hiperglikemia

Bloker

Antidiabetes + Loop Diuretik Menyebabkan peningkatan

kadar gula gula darah

Sulfonilurea + Loop Diuretik Meningkatkan kadar gula

darah

2.6 Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

A. Pelayanan Farmasi Klinik

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat

(Permenkes No 72 2016).

Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan

untuk.

1. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;

2. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

40
3. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak

rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar:

a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai; dan

b. pelayanan farmasi klinik.

2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai huruf meliputi:

a. pemilihan;

b. perencanaan kebutuhan;

c. pengadaan;

d. penerimaan;

e. penyimpanan;

f. pendistribusian;

g. pemusnahan dan penarikan;

h. pengendalian; dan

i. administrasi.

3) Pelayanan farmasi klinik meliputi:

a. pengkajian dan pelayanan Resep;

b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;

c. Rekonsiliasi Obat;

d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

41
e. Konseling;

f. Visite;

g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);

h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

j. dispensing sediaan steril; dan

k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).

a. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah

terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus

dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus

melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,

persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat

inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi :

a) Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan

pasien;

b) Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;

c) Tanggal resep; dan

d) Ruangan/unit asal resep.

Persyaratan farmasetik meliputi :

a) Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;

42
b) Dosis dan jumlah obat;

c) Stabilitas; dan

d) Aturan dan cara penggunaan.

Persyaratan klinis meliput :

a) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;

b) Duplikasi pengobatan;

c) Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

d) Kontraindikasi; dan

e) Interaksi obat.

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan

ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan

medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan

disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep

dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat

(medication error).

Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan resep akan

diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk

mendapatkan informasi mengenai seluruh obat atau sediaan

farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat

43
pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam

medik atau pencatatan penggunaan obat pasien.

Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat :

a) Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data

rekam medik atau pencatatan penggunaan obat untuk

mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat;

b) Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang

diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan

informasi tambahan jika diperlukan;

c) Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang

Tidak Dikehendaki (PKOD);

d) Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;

e) Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam

menggunakan obat;

f) Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;

g) Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap

obat yang digunakan;

h) Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;

i) Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;

j) Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat

bantuk kepatuhan minum obat (concordance aids);

44
k) Mendokumentasikan obat yang yang digunakan pasien

sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan

l) Mengidentifikasi terapi lain misalnya suplemen dan

pengobatan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.

Kegiatan :

a) Penelusuran riwayat penggunaan obat kepada pasien atau

keluarganya; dan

b) Melakukan penilaian terhadap pengatur penggunaan obat

pasien.

Informasi yang harus didapatkan:

a) Nama obat (termasuk obat non resep), dosis, bentuk sediaan,

frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat;

b) Reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi;

dan

c) Kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat

yang tersisa). Petunjuk teknis mengenai penelusuran riwayat

penggunaan obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur

Jenderal.

c. Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan

instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.

45
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan

obat (medication error) seperti obat tidak diberikn, duplikasi,

kesalaham dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat

(medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien

dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruangan

perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke

layanan kesehatan primer dan sebaliknya.

Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah :

a) Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan

pasien;

b) Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya

instruksi dokter; dan

c) Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya

instruksi dokter.

Tahap proses rekonsiliasi obat yaitu :

a) Pengumpulan data

Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang

atau akan digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis,

frekuensi, rute, obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan

dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping

obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek

46
samping obat, dicatat tanggal kejadian, obat yang

menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping,

efek yang terjadi dan tingkat keparahan.

Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien,

keluarga pasien, daftar obat pasien, obat yang ada pada

pasien dan rekam medik/medication chart. Data obat yang

dapat digunakan tidak lebih dari 3 bulan sebelumnya.

Semua obat yang digunakan oleh pasien baik resep

maupun obat bebas termasuk herbal harus dilakukan

prosesn rekonsiliasi.

b) Komparasi

Petugas kesehatan membandingkan data obat yang

pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau

ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan

ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut.

Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang

hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada

penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik

pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja

(intentional) oleh dokter pada saat penulisan resep maupun

tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu

adanya perbedaan pada saat menuliskan resep.

47
c) Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan

ketidaksesuaian dokumentasi.

Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus

dihubungi kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus

dilakukan oleh Apoteker adalah :

i. Menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut

disengaja atau tidak disengaja;

ii. Mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan

atau pengganti; dan

iii. Memberikan tanda tangan, tanggal dan waktu

dilakukannya rekonsiliasi obat.

d) Komunikasi

Melakukan komunikasi dengan pasien dan atau

keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan terapi

yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap

informasi obat yang diberikan.Petunjuk teknis mengenai

rekonsiliasi obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur

Jenderal.

d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan

penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang

independent, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang

48
dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, apoteker, perawat,

profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar

Rumah Sakit.

PIO bertujuan untuk :

a) Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan

tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak di

luar rumah sakit;

b) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang

berhubungan dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan

dan bahan medis habis pakai, terutama bagi komite/tim

farmasi dan terapi;

c) Menunjang penggunaan obat yang rasional.

Kegiatan PIO meliputi :

a) Menjawab pertanyaan;

b) Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;

c) Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi

sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit;

d) Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit

(PKRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat

jalan dan rawat inap;

e) Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga

kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya; dan

49
f) Melakukan penelitian.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO :

a) Sumber daya manusia;

b) Tempat; dan

c) Perlengkapan.

e. Konseling

Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat

atau saran terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada

pasien dan atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat

jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat

dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan

pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif

memerlukan kepercayaan pasien dan atau keluarga terhadap

Apoteker.

Pemberian konseling obat bertujuan untuk

mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko Reaksi Obat

yang Tidak Dikehendaki (ROTD) dan meningkatkan keamanan

penggunaan obat bagi pasien (patient safety).

Secara khusus konseling obat ditujukan untuk :

a) Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan

pasien;

b) Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;

50
c) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasan dengan

obat;

d) Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan

penggunaan obat dengan penyakitnya;

e) Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan;

f) Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;

g) Meningkatkan kemampuan pasien memecahakn masalahnya

dalam hal terapi;

h) Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan

i) Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat

sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan

meningkatkan mutu pengobatan pasien.

Kegiatan dalam konseling obat meliputi :

a) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;

b) Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang

penggunaan obat melalui Three Prime Questions;

c) Menggali informasi lebih lanjyt dengan memberi

kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah

penggunaan obat;

d) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan

masalah penggunaan obat;

51
e) Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek

pemahaman pasien; dan

f) Dokumentasi.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling obat :

a) Kriteria pasien:

i. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatric,

gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan

menyusui);

ii. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit

kronis (TB, DM, epilepsi dan lain-lain);

iii. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan

instruksi khusus (penggunaan kostikosteroid

dengan tappering down/off);

iv. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks

terapi sempit (digoksin, phenytoin);

v. Pasien yang menggunakan banyak obat

(polifarmasi); dan

vi. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan

rendah.

b) Saran dan peralatan:

1) Ruangan atau tempat konseling; dan

2) Alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).

52
Petunjuk teknis mengenai konseling akan diatur lebih

lanjut oleh Direktur Jenderal.

f. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap

yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim

tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara

langsung dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi

obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD),

meningkatkan terapi obat yang rasional dan menyajikan

informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional

kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar

rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan

program rumah sakit yag biasa disebut dengan Pelayanan

Kefarmasian d rumah (Home Pharmacy Care).

B. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik

Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan

pelayanan farmasi klinik adalah:

1. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien

Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik

pasien akan berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam

terapi. Faktor risiko tersebut adalah umur, gender, etnik, ras,

53
status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi

ginjal dan fungsi hati.

2. Faktor risiko yang terkait penyakit pasien

Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3

faktor yaitu: tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap

tingkat keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh

keparahan penyakit.

3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien

Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien

meliputi: toksisitas, profil reaksi obat tidak dikehendaki, rute

dan teknik pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute

dan teknik pemberian dan ketepatan terapi.

Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial

terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker

kemudian harus mampu melakukan:

1. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif

dan semi kuantitatif;

2. Melakukan evaluasi risiko; dan

3. Mengatasi risiko melalui:

a. Melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah

Sakit;

b. Mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;

54
c. Menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);

d. Menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan

e. Mengimplementasika rencana tindakan, meliputi

menghindari risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko,

menahan risiko dan mengendalikan risiko.

Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat

dalam setiap tahap manajemen risiko perlu menjadi salah satu prioritas

perhatian. Semakin besar risiko dalam suatu pemberian layanan dibutuhkan

SDM yang semakin kompeten dan kerjasama tim (baik antar tenaga

kefarmasian dan tenaga kesehatan lain/multidisiplin) yang solid. Beberapa

unit/area di Rumah Sakit yang memiliki risiko tinggi, antara lain Intensive

Care Unit (ICU), Unit Gawat Darurat (UGD) dan kamar operasi (OK).

55
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep pada penelitian ini diawali dengan adanya

pasien terdiagnosa Diabetes Melitus dengan Hipertensi yang

mendapat terapi pengobatan, kemudian di berikan obat Diabetes

Melitus golongan sulfonylurea, biguanida, glinid,tiazolidindion,

inhibitor alfaglucosidase dan obat Hipertensi golongan ACE-inhibitor

dan ARB, CCB, Beta Bloker, Alfa Bloker dan Diuretik. Evektivitas

pengobatan dapat dilihat dari ada atau tidaknya interaksi antara kedua

golongan obat tersebut. Uraian penjelasan tersebut dapat dilihat pada

gambar 3.2

56
3.2 Bagan Kerangka Konseptual

Variabel Bebas

Terapi farmakologi Diabetes


Melitus oral:
Golongan sulfonylurea,
biguanida,
glinid,tiazolidindion, inhibitor
alfaglucosidase

Variabel Terikat

Interaksi Obat

Variabel Bebas

Terapi farmakologi
Hipertensi: golongan ACE-
inhibitor dan ARB, CCB, Beta
Bloker, Alfa Bloker dan
Diuretik.

Gambar 3.2 kerangka konsep

57
3.3 Hipotesa

H0 : Tidak Terdapat kejadian interaksi obat antara obat Antidiabetik

oral dengan obat Antihipertensi di RSUD Prov.Sum-Sel Siti

Fatimah Az-Zahra Palembang periode januari – desember tahun

2021.

H1 : Terdapat kejadian interaksi obat antara obat Antidiabetik oral

dengan obat Antihipertensi di RSUD Prov.Sum-Sel Siti

Fatimah Az-Zahra Palembang periode januari – desember tahun

2021.

58
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non-eksperimental

observasional dengan rancangan penelitian retrospektif. Disebut

rancanga non-eksperimental observasional karna subjek uji yang

diamati tanpa mendapatkan perilaku terlebih dahulu. Evaluasi yang

dilakukan terhadap pasien yang mendapatkan penatalaksanaan

Diabetes Melitus dengan Hipertensi di RSUD Siti Fatimah Az-zahra

Palembang pada rekam medik pasien periode Januari – Desember

2021. Untuk melihat potensi terjadinya interaksi obat Diabetes

Melitus dengan obat Hipertensi di unit rawat inap Rumah Sakit Siti

Fatimah Az-zahra Palembang.

4.2 Waktu Dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu

Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan juni – juli

2022 difilling Rekam Medis RSUD Siti Fatimah Az-zahra dengan

alamat Jl. Kol. H. Burlian, Suka Bangun, Kec. Sukarami, Kota

Palembang, Sumatera Selatan.

59
4.2.2 Tempat Penelitian

Pelaksanaan ini dilakukan difilling rekam medis RSUD Siti

Fatimah Az-zahra dengan alamat Jl. Kol. H. Burlian, Suka Bangun,

Kec. Sukarami, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

4.3 Populasi Dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien rawat

inap dengan diagnosa Diabetes Melitus dengan Hipertensi di

RSUD Siti Fatimah Az-zahra Palembang.

4.3.2 Sampel

Merupakan suatu subkelompok dari populasi yang dipilih untuk

digunakan dalam penelitian (Amirullah 2015). Sampel dalam

penelitian ini adalah rekam medik pasien rawat inap dengan

diagnosa Diabetes Melitus dengan Hipertensi di RSUD Siti

Fatimah Az-zahra Palembang.

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam,

2017). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Pasien yang terdiagnosa Diabetes Melitus dan Hipertensi.

2. Pasien menggunakan antidiabetik oral.

3. Pasien dewasa usia 18-65 tahun.

60
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2017). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah

sebagai berkut :

1. Rekam medik tidak terbaca, rusak dan data tidak lengkap.

2. Pasien DM yang menggunakan terapi insulin.

3. Pasien wanita hamil dan menyusui.

4.4 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan Teknik

purposive sampling Pengambilan sampel dilakukan di unit Rekam Medik

RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Palembang. Besaran sampel

dihitung dengan menggunakan rumus Slovin. Potensi interaksi obat dievaluasi

dengan menggunakan literature utama yakni stockley’s drug interaction

(Karen Baxter, 2008). Langkah-langkah pengumpulan data adalah

sebagaiberikut:

a. Mengumpulkan rekam medik pasien dengan diagnosis diabetes melitus

dengan hipertensi di Instalasi Rekam Medik RSUD Prov.Sum-Sel Siti

Fatimah Az-Zahra Palembang pada periode 1 Januari – 31 Desember

2021.

61
b. Melakukan pengambilan sampel menggunakan Teknik simple purposive

sampling dan sampel sesuai dengan criteria inklusi dan ekslusi yang telah

ditentukan.

c. Data yang ada di rekam medik dimasukkan kedalam lembar pengumpulan

data.

d. Selanjutnya direkapitulasi dengan cara mencatat parameter-parameter

yang akan dianalisis antara lain pasien, usia, jenis kelamin, obat, interaksi

obat yang didapat serta efek samping obat yang ditimbulkan.

4.5 Pengolahan Data

Pada penelitian ini pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan yang

dibuat oleh peneliti berupa kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah populasi

dalam penelitian ini yaitu 91 sampel. Pada penelitian kali ini, besaran sampel

yang akan digunakan dihitung menggunakan rumus Slovin (Sugiyono, 2017).

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑒 )2

Keterangan:

n : Jumlah Responden

N : Jumlah Populasi

e : Batas Kesalahan (10% atau 0,1)

sehingga didapat perhitungan sebagai berikut :

91
𝑛=
1+91 (0,1)2

62
91
n= = 47,65
1,91

n = 47,65 dibulatkan menjadi 48

sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 48 sampel. Untuk

mengantisipasi kejadian drop out dan kelengkapan data, maka perhitungan

sampel penelitian ditambah 10%. Sehingga jumalah sampel dalam penelitian

sebanyak 53 sampel.

a. Editing

Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan data yang

tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik serta memudahkan

proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki dan kekurangan data

dapat dilengkapi dengan mengulang pengumpulan data atau dengan cara

penyisihan data.

b. Coding

Kegiatan pemberian kode tertentu pada tiap data yang termasuk kategori

sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau huruf

untuk membedakan antara data atau identitas data yang akan dianalisis

antara satu dengan yang lain.

63
a. Tabulasi

Proses penempatan data kedalam bentuk tabel yang telah diberikode

sesuai dengan kebutuhan analisis. Proses ini peneliti memasukkan data

yang telah disusun di Ms. Excel kedalam program SPSS.

b. Cleaning

Data nomor rekam medis, tanggal, gejala / keluhan, diagnose, data

penggunaan obat (dosis, rute pemberian, aturan pakai, watu pemberian)

yang dimasukkan data diperiksa kembali untuk memastikan data base

pasien bersih dari kesalahan yang selanjutnya dianalisis lebih lanjut.

4.6Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan program analisis statistika

terkomputerisasi. Hasil yang diperoleh selanjutnya akan diinterpretasikan

ke dalam bentuk data yang dikelola berdasarkan studi literatur

menggunakan buku teks Stockleys Drug Interaction 8th edition, drug

interaction facts, adverse drug interactions, dan di telaah menggunakan

aplikasi interaksi obat Medscape, drugs.com. Selanjutnya analisis data

dilakukan dengan menghitung persentase tingkat keparahan interaksi obat

mulai dari minor, moderat, sampai mayor.

64
4.7 Definisi Operasional

Definisi operasional peneliti yang dilakuan dalam penelitian kali ini adalah:

Tabel 4.1 Operasional

Variabel Bebas

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Operasional (Kode/Kategor Ukur

i/Skor)

Golongan obat Obat antidiabetik: Rekam medik 1 = ada Nominal

antidiabetik Sulfonilurea, Biguanid, kombinasi obat

dengan Tiazolidindion, Inhibitor hipertensi

golongan obat Alfa Glucosidase, 2 = tidak

antihipertensi Penghambat DPP-4, terdapat

(X) Penghambat SGLT-2 kombinasi obat

hipertensi

Obat Antihipertensi:

golongan ACE-inhibitor

dan ARB, CCB, Beta

Bloker, Alfa Bloker dan

Diuretik.

Variabel Terikat

65
Interaksi Obat Interaksi obat: Interaksi Stockleys 1 = ada Nominal

(Y) obat menyebabkan Drug interaksi obat

reaksi yang tidak Interaction, 2 = tidak ada

diinginkan oleh pasien drug interaksi

interaction

facts, adverse

drug

interactions,

Medscape,

drugs.com.

66
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Interaksi obat merupakan perubahan efek yang ada dalam suatu

obat pada saat pemakaiannya bersamaan dengan obat lain atau suatu

kejadian perubahan pada proses farmakokinetik dan farmakodinamik

obat. Kejadian ineraksi obat tidak hanya ditemukan secara teoritis

melaikan juga melalui studi – studi kasus yang digali pada terapi

pasien. Untuk mengatasi permasalahan interaksi obat farmasis harus

memberikan informasi terkait interaksi obat kepada pasien melalui

sumber – sumber yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Sehingga

kajian tentang interaksi obat yang dilakukan valid dan informasi yang

diberikan pada pasien benar. Penelitian mengenai analisa kejadian

interaski obat pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi

dilaksanakan diruang rekam medik rawat inap RSUD Siti Fatimah

Az-Zahra palembang pada bulan Mei 2021 menggunakan rekam

medik pasien periode Januari sampai Desember 2021 sejumlah 91

rekam medik dengan menggunakan teknik total sampling sampel yang

memenuhi kriteria inklusi sebanyak 53 Penelitian dilaksanakan dengan

merekapitulasi data demografi pasien dan data penggunaan obat.

67
5.1 Data Sosiodemografi Pasien

Data demografi pasien menggambarkan profil sampel di RSUD Siti

Fatimah Az-Zahra Palembang meliputi umur, jenis kelamin, komplikasi

penyakit berdasarkan diagnosis.

5.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia


Usia Frekuensi Persentase(%)
41- 50 tahun 4 8%
51 - 60 tahun 24 45%
61 - 70 tahun 20 38%
71 - 80 tahun 5 9%
Jumlah 53 100%
Jenis kelamin Frekuensi Persentase(%)
Laki –Laki 22 41%
Perempuan 31 59%
Jumlah 53 100%

Umur Jenis Kelamin


41-50 Tahun (4 orang) Laki - Laki (22 orang)
51-60 Tahun (24 orang) Perempuan (31 orang)
61-70 Tahun (20 orang)
71-80 Tahun ( 5 orang) 41%
9% 8% 59%

38% 45%

Gambar 5.1 karakteristik umur pasien Gambar 5.2 Karakteristika jenis kelamin

68
Umur pasien diabetes melitus tipe-2 komplikasi hipertensi rawat inap di

RSUD Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Palembang berkisar antara 41

– 80 tahun. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pasien diabetes melitus

tipe-2 komplikasi hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra,

dari total 53 pasien berada pada umur di atas 40 tahun. Pada penelitian ini

usia paling banyak mengidap diabetes melitus tipe-2 komplikasi hipertensi

yaitu pada usia 51 – 60 tahun sebanyak 24 orang pasien dengan persentasi

45% dimana pada usia ini merupakan usia pada lansia akhir dan pada usia

61 – 70 tahun 20 orang pasien dengan persentasi 38% dan pada usia 71 –

80 tahun 5 orang pasien dengan persentasi 9% dan pada usian 41 – 50

tahun 4 orang pasien dengan persentasi 8%. Hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa usia lebih dari 51 tahun beresiko menderita diabetes

melitus tipe 2. Secara teoritis, fungsional organ-organ tubuh akan

menurun seiring dengan bertambahnya umur. Hal tersebut merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes melitus pada

pasien lanjut usia (Rifandi Saputra).

Jumlah pasien diabetes melitus tipe-2 dengan hipertensi yang dirawat

inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra lebih banyak berjenis kelamin

perempuan dibandingkan dengan laki – laki.

Dari gambar diatas diketahui bahwa jumlah pasien wanita lebih banyak

dari pada jumlah pasien pria. Presentase jumlah pasien wanita sebesar 59%

sedangkan presentase jumlah pasin pria sebesar 41%. Menurut penelitian

69
(Achmad Rizki Azhari 2012) menyatakan bahwa pada kasus diabetes

melitus lebih banyak terdapat pada wanita dibanding pria hal ini

kemungkinan karena pada perempuan terjadi masa pra monopause dan

monopause dengan tambahan faktor – faktor lain seperti gaya hidup, kurang

aktifitas fisik, faktor stres, dan lain sebagainya.

5.1.3 Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa

Diagnosa pasien menggambarkan penyakit yang diderita oleh pasien

beserta jenis komplikasi dari penyaki. Pasien diabetes melitus tipe-2

dengan hipertensi yang dirawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra yang

dinyatakan memiliki diagnosa diabetes melitus dengan hipertensi

sebanyak 29 orang 55% dan 24 pasien 45% lainnya memiliki penyakit

penyerta.

Diagnosa penyakit
DM Type 2 + Penyakit lain (24 orang)
DM Type 2 + HT (29 orang)

45%
55%

Gambar 5.3 jumlah penyakit yang diderita berdasarkan diagnosa

Keterangan :

DM Type 2 = Diabetes mellitus tipe 2, HT = Hipertensi

70
Menurut teori penyakit penyerta yang sering terjasi pada pasien diabetes

mellitus tipe-2 adalah hipertensi. Hipertensi merupakan kondisi dimana

tekanan darah tinggi. Penyakit hipertensi pada diabetes mellitus adalah

komplikasi makroangiopati (kelainan pada pembuluh darah besar) ini

terjadi karena kondisi hiperglikemia dan pembentukan AGEs yang

akan meningkatkan tekanan oksidatif dan menyebabkan disfungsi

endhotelial dan disfungsi vascular. Disfungsi endhotelial dapat

menurunkan nitrit oksida yang dapat mengangu regulasi tekanan

darah, sedangkan disfungsi vascular mengakibatkan kekakuan arteri

yang meningkat, vasodilatasi menurun maka keadaan ini akan

menyebabkan tekanan darah meningkat atau terjadinya hipertensi

(Cheung dan Li, 2012).

Penyakit penyerta yang diderita oleh pasien diabetes melitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra terdiri atas

penyakit gastroenteritis, CHF (congestive heart failure), hiperlipidemia,

CVA (cerebrovascular accident) atau stroke, Gastroenteritis,

hiperurisemia, hipertiroid, syok septik, CKD (Chronic kidney disease),

PPOK (Penyakit paru obstruktif kronis).

Tabel 5.2 Jenis Penyakit Penyerta Pada Pasien Diabetes Melitus tipe-2

Jenis Penyakit Frekuensi Persentase(%)


CHF 7 29,2%

71
Hiperlipidemia 6 25%
CVA 3 12,5%
Gastroenteritis 3 12,5%
Hiperurisemia 1 4,2%
Hipertiroid 1 4,2%
Syok septik 1 4,2%
CKD 1 4,2%
PPOK 1 4,2%
Jumlah 29 100%

Pada penelitian ini, penyakit terbanyak (setelah hipertensi) pada

penderita diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit CHF (congestive

heart failure) dengan persentase 29,2%. CHF (congestive heart failure)

atau Gagal jantung Kongestif merupakan sindrom klinis yang kompleks

timbul dari fungsional atau struktural gangguan jantung yang merusak

kemampuan ventrikel untuk mengisi darah atau mengeluarkan darah.

Salah satu gejala sugestif sesak nafas yang dialami seperti saat sedang

istirahat atau aktivitas yang ditandai dengan takipnea, takikardi dan ronchi

paru (PERKENI, 2015).

Diabetes mellitus yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya

berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati.

Penyakit yang akibat komplikasi mikrovaskuler yang dapat terjadi pada

pasien diabetes yaitu retinopati dan nefropati diabetik (Waspadji, 2009).

72
Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus adalah hiperlipidemia.

Hiperlipidemia didefinisikan sebagai kelainan dalam metabolisme dari

lipid, dimana dicirikan adanya peningkatan atau ketidakseimbangan kadar

kolesterol total (K-total), kolesterol Low Density Lipoprotein (K-LDL),

kolesterol High Density Lipoprotein (K-HDL), dan trigliserida (TG).

Hiperlipidemia sekunder disebabkan akibat suatu penyakit lain seperti

Diabetes Melitus (PERKENI, 2015).

Pasien dengan penyakit CVA (cerebrovascular accident) atau stroke,

Gastroenteritis, hiperurisemia, hipertiroid, syok septik, CKD (Chronic

kidney disease), PPOK (Penyakit paru obstruktif kronis) bahwasannya

hiperglikemia dapat menyebabkan komplikasi lain seperti neuropati,

retinopati, hipertensi dan lain – lain.

5.2 Data Penggunaan Obat


Jumlah obat yang diberikan kepada pasien diabetes mellitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra paling

sedikit adalah 4 jenis obat dan paling banyak mencapai 10 jenis obat. Obat

– obatan meliputi obat intravena dan oral. Berikut gambar jumlah obat

yang dibrikan pada pasien selama perawatan, baik itu obat diabetes

mellitus tipe-2 komplikasi dengan hipertensi maupun obat untuk penyakit

atau indikasi lain.

Tabel 5.3 Jumlah obat yang diberikan pada pasien


Jumlah obat Jumlah pasien Persentase(%)

73
4 -7 Obat 25 47,2%
8 – 10 Obat 17 32,1%
11 – 13 Obat 10 18,9%
14 Obat 1 1,9%
Jumlah 53 100 %

Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi di RSUD Siti Fatimah

Az-Zahra yang mengkonsumsi 4 – 7 obat memiliki jumlah penyakit

penyerta yang beragam, terdiri atas 1 penyakit penyerta , dan 2 penyakit

penyerta tetapi tidak memiliki 2 penyakit penyerta yaitu pada 25 pasien.

Sedangkan terapi pasien yang mengkonsumsi 8 – 10 obat memiliki 1

hingga 2 penyakit penyerta. Namun seluruh pasien yang menerima terapi

11 – 13 obat, semuanya memiliki penyakit penyerta. Dan pasien yang

menerima obat 14 memiliki 2 penyakit penyerta dan dirawat selama 1

bulan. Dari tabel diatas diketahui bahwa semakin banyak penyakit

penyerta yang diderita pasien maka semakin banyak pula obat yang

dikonsumsi oleh pasien. Terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi pemberian obat pada pasien,diantaranya: pertimbangan

manfaat dan resiko, penggunaan obat yang paling dikenal dan teruji secara

klinis, penyesuaian obat dengan kebutuhan individual, dan pemilihan cara

pemberian obat paling aman (Dwi Bagus Pambudi 2019).

5.2.1 Golongan Obat

Beberapa obat yang berada dalam satu kelas terapi atau kelompok yang

74
sama dikatagorikan sebagai 1 jenis obat dengan asumsi obat – obatan

tersebut memiliki mekanisme atau efek yang sama. Berikut adalah daftar

obat dan golongan obat yang diberikan pada pasien diabetes mellitus

rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra pada tahun 2021.

Tabel 5.4 Profil Golongan Obat Antidiabetes Mellitus

Golongan Obat Antidiabetes Jumlah Pesentase


Obat (%)
Insulin 38 65,5%
Biguanid 11 19,0%
Sulfonilurea 7 12,1%
Alfa-glukosidase 2 3,4%
Jumlah 58 100%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa obat diabetes paling

banyak digunakan adalah insulin dibandingkan obat diabetes lain yakni

sebesar 65,5%. Penggunaan insulin biasanya dibutuhkan oleh orang

dengan diabetes melitus tipe 1. Tapi orang dengan diabetes tipe 2 juga ada

yang menggunakan insulin. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan dalam

buku (PERKENI 2015), bahwa walaupun sebagian besar penderita

diabetes melitus tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namaun hampir

30 % ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik

namaun terapi insulin dapat dimulai saat kadar HbA1c mencapai 8 - 10.

Dari data laboratorium pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi

yang dirawat di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun 2021 kebanyakan

75
pasien memiliki nilai HbA1c lebih diatas nilai normal yaitu rata – rata

8,2%.

Tabel 5.5 Profil Golongan Obat Antihipertensi

Golongan Obat Antihipertensi Jumlah Pesentase


Obat (%)
Calcium Channel Bloker (CCB) 35 36,5%
Angotensin II Reseptor Bloker 29 30,2%
(ARB)
Diuretik 17 17,7%
Angiotensin Converting Enzim 9 9,4%
(ACEI)
Beta-bloker 6 6,3%
Jumlah 96 100%

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pasien diabetes mellitus

tipe-2 dengan hipertensi yang dirawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-

Zahra tahun 2021 banyak menerima terapi obat antihipertensi golongan

CCB yaitu sebanyak 35 obat dengan persentase 36,5%. CCB

direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien

diabetes mellitus. Obat ini tidak mempengaruhi sensitivitas insulin atau

metabolisme glukosa. Menurut JNC 8 CCB lebih digunakan dikarenakan

obat ini cocok untuk mengatasi hipertensi pada pasien yang lanjut usia.

Dan menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat

saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive),

sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel.

Relaksasi otot vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan

76
dengan reduksi tekanan darah (Dipiro, rt al, 2008).

5.2.2 Jenis Obat yang Digunakan

Jenis obat tiap golongan yang digunakan oleh pasien diabetes mellitus

tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun

2021 dapat dilihat sebagai berikut :

1. Obat Antidiabetes

a. Insulin

Insulin yang diberikan pada pasien diabets mellitus tipe-2 dengan hipertensi

rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun 2021 terdiri dari novorapid,

levemir, lantus, apidra, novomix sansulin.

Tabel 5.6 Profil Obat Insulin

Jenis Insulin Jumlah Obat Persentase (%)


Novorapid 12 31,6%
Levemir 10 26,3%
Lantus 7 18,4%
Apidra 4 10,5%
Novomix 3 7,9%
Sasulin 2 5,3%
Total 38 100%

Insulin yang diberikan paa pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan

77
hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra adalah sebanyak 12

pasien menerima lantus, 10 pasien menerima levemir, 7 pasien menerima

lantus, 4 pasien menerima apidra 3 pasien menerima novomix dan 2

pasien menerima sansulin.

Novorapid merupakan tipe insulin yang berkerja cepat (rapid acting),

insulin ini memungkinkan pengggantian insulin pada waktu makan secara

fisiologis karena mula kejanya cepat. Levemir dan lantus merupakan jenis

insulin long acting. Insulin ini befungsi untuk menurunkan kadar glukosa

secara bertahap. Efek kedua insulin tersebut dapat bertahan hingga 24 jam

(katzung 2015). Sedangkan sansulin merupakan jenis insulin yang

berkerja sedang. Insulin ini digunakan sehari sekali dan berkerja maksimal

2 sampai 8 jam setelah injeksi (PIONAS 2015).

b. Biguanid

Golongan obat biguanid yang diberikan pada pasien diabetes mellitus

tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun

2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.7 Profil Obat Biguanid

Jenis Obat Jumlah Obat Persentase (%)


Biguanid
Biguanid 11 100%
Total 11 100%

78
Biguanid merupakan golongan obat antidiabetik oral. Dari total 53

pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti

Fatimah Az-Zahra 11 pasien menerima metformin. Secara teoritis

metformin merupakan pilihan untuk pasien dengan berat badan berlebih.

Metformin berkerja memperbaiki sensitivitas insulin, menghambat

pembentukan dlukosa dalam hati (PERKENI 2015).

c. Sulfonilurea

Golongan obat Sulfonilurea yang diberikan pada pasien diabetes mellitus

tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun

2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.8 Profil Obat Sulfonilurea

Jenis Obat Jumlah Obat Persentase (%)


Sulfonilurea
Glimepiride 7 100%
Total 7 100%

Sulfonilurea merupakan golongan obat antidiabetik oral yang dapat

menurunkan kadar glukos darah pada 85-90% pasien diabetes mellitus

tipe-2, tetapi hanya efektif apabila sel-sel beta Langerhans masih dabat

memproduksi insulin (PERKENI 2015). Dalam penelitian ini, obat dari

79
golongan sulfonilurea yang diresepkan adalah glimepirid, glimepirid lebih

sering digunakan karena jarang menimbulkan efek hipoglikemik.

d. Alfa-glukosidase

Golongan obat Alfa-glukosidase yang diberikan pada pasien diabetes

mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-

Zahra tahun 2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.9 Profil Obat Alfa-glukosidase

Jenis Obat Alfa- Jumlah Obat Persentase (%)


glukosidase
Acarbose 2 100%
Total 2 100%

Inhibitor alfa-glukosidase merupakan salah satu agen antidiabetik yang

berkerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa-glukosidase

dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunakan

penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial.

2. Obat Antihipertensi

a. Calcium Channel Blocker (CCB)

Golongan obat calcium channel blocker yang diberikan pada pasien

diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti

Fatimah Az-Zahra tahun 2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.10 Profil Obat Calcium Channel Blocker

80
Jenis Obat Calcium Jumlah Persentase (%)
Channel Blocker Obat
Amlodipin 25 71,4%
Diltiazem (Adalat) 6 17,1%
Nifedipin (herbesser) 4 11,4%
Total 35 100%

Obat antihipertensi yang diberikan pada pasien diabetes mellitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra adalah

golongan Calcium Channel Blocker. Golongan Calcium Channel Blocker

terdiri dari amlodipin amlodipin, nifedipin dan diltiazem. Dari total 53

pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti

Fatimah Az-Zahra, 25 pasien menerima amlodipin, 6 apsien menerima

diltiazem (herbesser) dan 4 pasien menerima adalat (nifedipin). Amlodipin

berkerja dengan cara menghambat ion kalsium masuk kedalam

vaskularisai otot polos dan otot jantung sehingga mampu menurunkan

kadar tekanan darah (lakshmi 2012). Amlodipin digunakan paling banyak

dikarenakan mempunyai kemampuan yang baik dalam menurunkan

tekanan darah dalam waktu singkat dan memiliki efek samping yang

ringan. Menurut JNC 8 CCB lebih digunakan dikarenakan obat ini cocok

untuk mengatasi hipertensi pada pasien yang lanjut usia. Berdasarkan data

rekam medis dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa umur pasien

kisaran antara 41 – 80 tahun.

81
Nifedipin berkerja dengan cara menghambat pemasukan kasium ke

dalam sel otot, terutama otot jantung dan pembuluh darah. Sel otot

memerlukan kasium untuk dapat berkontraksi, sehingga penurunan kadar

kalsium pada sel otot menyebabkan berkurangnya kontraksi otot. Efek

utama nifedipin adalah melemaskan dan melebarkan pembuluh darah kecil

sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Sedangkan diltiazem

merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan angina pektoris,

profilaksis, hipertensi esensial ringan sampai sedang.

b. Angotensin II Reseptor Bloker (ARB)

Golongan obat Angotensin II Reseptor Bloker yang diberikan pada

pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti

Fatimah Az-Zahra tahun 2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.11 Profil Obat Angotensin II Reseptor Bloker

Jenis Obat Jumlah Obat Persentase


Angotensin II (%)
Reseptor Bloker
Candesartan 29 100%
Total 29 100%

Selanjutnya obat yang digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra adalah

golongan Angotensin II Reseptor Bloker. Dari total 53 pasien, sebanyak

82
29 pasien menerima candesartan obat ini berfungsi melindungi fungsi

ginjal dan memiliki efek samping yang lebih sedikit seingga cocok untuk

penderita hipertensi yang juga menderita diabetes mellitus. Pemberian

terapi antihipertensi golonggan ARB merupakan terapi ilni pertama, pada

golongan ARB tidak ada reaksi signifikan yang merugiakn, dari segi

profil efek samping dan efektivitas biaya dapat ditoleransi dengan baik

(sabbah et,at 2013).

c. Diuretik

Golongan obat diuretik yang diberikan pada pasien diabetes mellitus

tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun

2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.12 Profil Obat Diuretik

Jenis Obat Diuretik Jumlah Obat Persentase


(%)
Furosemide 12 70,6%
Spironolacton 5 29,4%
Total 17 100%

Selanjutnya obat yang digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra adalah

golongan diuretik. Dari total 53 pasien, sebanyak 12 pasien menerima

83
furosemid dan 5 pasien menerima spironolacton. Furosemide adalah

diuretik yang berkerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion natrium

pada jerat Henle. Mekanisme aksinya adalah inhibisi reabsorpsi natrium

pada jerat Henle, menpengaruhi sistem kotrasport ikatan klorida,

selanjutnya miningkatkan ekskresi air, natrium, klorida, magnesium dan

kalsium.

d. Angiotensin Converting Enzim (ACEI)

Golongan obat Angiotensin Converting Enzim (ACEI) yang diberikan

pada pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di

RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun 2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.13 Profil Obat (ACEI)

Jenis Obat Angiotensin Jumlah Obat Persentase


Converting Enzim (%)
(ACEI)
Ramipril 7 77,8%
Captopril 2 22,2%
Total 9 100%

ACEI merupakan obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi.

Mekanisme aksinya dengan cara menghambat perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstruksi poten

84
yang juga merangsang sekresi aldosteron. Pada penelitian ini dari total 53

pasien yang rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra sebanyak 7 pasien

menerima ramipril dan 2 pasien menerima captopril.

e. Beta-blocker

Golongan obat Beta-blocker yang diberikan pada pasien diabetes

mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-

Zahra tahun 2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.14 Profil Obat Beta-blocker

Jenis Obat Beta-blocker Jumlah Obat Persentase


(%)
Bisoprolol 6 100%
Total 6 100%

Beta blocker telah digunakan pada banyak studi besar unruk hipertensi.

Sebelumnya obat ini disarankan sebagai obat lini pertama bersama diuretik.

Tetapi, pada kebanyakan trial ini, diuretik adalah obat utamanya, dan beta

bloker ditambah untuk menurunkan tekanan darah. Bisoprolol digunakan

pada pasien DM tipe-2 pada studi UKPDS dan menunjukkan efek yang

seimbang, walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan resiko

kardiovaskular dibanding dengan captopril (UKPDS 1999).

3. Obat Penyakit Penyerta

Golongan obat Penyakit Penyerta yang diberikan pada pasien diabetes

85
mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra

tahun 2021 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5.15 Profil Obat Penyakit Penyerta

Penyakit Golongan Jenis Obat Jumlah Persentase


Penyerta Obat Obat (%)
Saluran cerna Pompa proton Omeprazol 28 34,1%
inhibitor (PPI)
Lanzoprazol 22 26.8%
Antagonis Ondansetron 16 18,3%
reseptor
serotonin
Antiemetik Domperidon 10 13,4%
Protektan Sucralfat 3 3,7%
H2 blocker Ranitidin 3 3,7%
Total 82 100%
Antibiotik Sefalosporin Ceftriaxone, 20 80,0%
Cefixime
Makrolida Azitromicin 5 20%
Total 25 100%
Alagetik NSAID Paracetamol 15 78,9%
antipiretik
Ketorolak 4 21,1%
Total 19 100%
Obat SSP Psikotropik Alprazolam 5 62,5%
Diazepam 2 25,0%
Merlopam 1 12,0%
Total 8 100%

Omeprazole dan lansoprazol merupakan golongan obat pompa proton

inhibitor (PPI) dan merupakan obat yang terbanyak digunakan dibandingkan

86
obat penyakit penyerta yang lain yang diberikan pada pasien diabetes

mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-

Zahra. Dari total 53 pasien 28 pasien menerima omeprazol dan 22 pasien

menerima lansoprazol. Obat ini berkerja dengan menghambat sekresi asam

lambung, baik yang disebabkan oleh makanan, insulin atau kafein.

Gangguan fungsi saluran cerna ternyata merupakan masalah yang sering

ditemui pada penderita diabetes melitus, dimana terjadi apabila kadar

glukosa tinggi akan meningkatkan AGEs yang dapat menghambat ekskresi

nNOS (neuronal NOS) neuron mientrikus. Enzim NOS ini berperan dalam

pembentukan NO sel-sel saraf. Senyawa NO berperan dalam mengatur

reflex akomodatif dari fundus gester serta reflex peristaltik usus halus,

sehingga bila jumlah NO menurun akan menyebabkan terjadinya gangguan

fungsi sistem gastrointestinal (Pasricha, 2013).

Obat antidiabetes dan antihipertensi hampir semua golongan

menyebebkan gangguan dalam saluran cerna. Sehingga digunakan obat PPI

untuk mengurangi efek samping yang kemungkinan terjadi.

Antibiotik merupakan golongan obat terbanyak ke 2 diantar obat

penyakit penyerta yang digunakan pada terapi pasien diabetes mellitus tipe-

2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra. Daro total

53 pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat inap di RSUD

Siti Fatimah Az-Zahra, 15 pasien menerima ceftriaxone, 5 pasien menerima

cefeixime dan 5 pasien menerima azitromicin.

87
Digunakan antibiotik pada pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan

hipertensi dikarenakan untuk mengatasi infeksi bakteri yang disebabkan

oleh penyakit ulkus diabetikum, gangguan saluran pencernaan, dan untuk

mencegah infeksi kulit (kaki).

Paracetamol digunkan untuk mengatasi demam pada pasien diabetes

mellitus tipe-2 dengan hipertensi, paracetamol paling banyak digunkan

karena memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan obat

analgetik antipiretik lain.

5.3 Analisis Potensi Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan segala perubahan efek yang ada dalam suatu

obat dengan pemakaian bersamaan dengan obat lainnya atau suatu

kejadian terjadi perubahan pada proses farmakokinetika dan

farmakodinamika obat. Kejadian interaksi obat tidak hanya ditemukan

secara teoritis melaikan juga melalui studi-studi kasus yang digali pada

terapi pasien. Dari 53 pasien, ditemukan pasien dengan kemungkinan

interaksi pada 24 pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan hipertensi rawat

inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra. Berikut adalah gambar mengenai

jumlah kemungkinan interkasi obat pada pasien diabetes mellitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun 2021.

88
Interaksi Potensial berdasarkan Jumlah
Pasien

pasien dengan
45,3% kemungkinan terjadi
54,7% interaksi obat
tanpa interaksi obat

Gambar 5.4 Profil Interaksi Potensial Berdasarkan Jumlah Pasien

Berdasarkan studi dengan buku stockley’s Drug Interaction,

ditemukan pasien dengan kemungkinan terjadi interaksi obat pada resep

sebanyak 24 pasien 45,3%. Dan pasien tanpa interaksi obat pada resep

sebanyak 29 pasien 54,7%. Obat yang berpotensi mengalami interaksi

merupakan pasangan obat antidiabetes dan antihipertensi, serta pasangan

interaksi obat penyakit penyerta maupun antar obat penyakit penyerta.

Berikut adalah pasangan obat pada resep pasien diabetes mellitus tipe-2

dengan hipertensi rawat inap di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra tahun 2021

yang berpotensi mengalami interaksi.

Tabel 5.16 Profil Interaksi Obat Antidiabetes dengan Antihipertensi

Jenis Obat Jenis Interaksi Tingkat Efek Jumlah %


Keparahan Pasien
Insulin + Farmakodinamika Moderat Hipoglikemik 4 44,4%
Ramipril
Insulin + Farmakodinamika Moderat Hipoglikemik 3 33,3%
Aspirin
Insulin + Farmakodinamika Moderate Hipoglikemik 1 11,1%
Bisoprolol

89
Insulin + Farmakodinamika Moderate Hipoglikemik 1 11,1%
Diltiazem
Total 9 100%
Metformin Farmakodinamika Moderat Hipoglikemik 12 41,4%
+
Amlodipin
Metformin Farmakodinamika Moderate Hipoglikemik 7 24,1%
+ Ramipril
Metformin Farmakodinamika Moderate Hipoglikemik 6 20,7%
+
Furosemide
Glimepirid Farmakodinamika Moderate Hiperglikemik 3 10,3%
+ Bisoprolol
Glimepirid Farmakodinamika Moderate Hipoglikemik 1 3,4%
+ Ramipril
Total 29 100%

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis obat

antidiabetes yang kemungkinan terjadi interaksi dengan obat antihipertensi

yaitu insulin dan metformin. Sebanyak 4 obat berinteraksi dengan obat

insulin yaitu ramipril, aspirin, bisoprolol dan diltiazem dan 1 obat lain yang

berinteraksi dengan metformin yaitu ramipril.

Interaksi farmakodinamik yang terjadi dalam penelitian ini adalah

interaksi antara insulin dengan ramipril menyebabkan penurunan kadar

glukosa dalam darah (hipoglikemia) akibat dari meningkatnya sensitivitas

insulin. Meskipun ACE inhibitor merupakan obat pilihan pertama dalam

pengobatan hipertensi pada pasien DM dikarenakan efektivitas ACE

inhibitor yang dapat melindungi ginjal sehingga akan mengurangi resiko

terjadinya nefropati diabetik, obat ini harus diberikan perhatian karena

90
dapat berinteraksi dengan insulin dan obat antidiabetik oral lainnya.

Penanganan interaksi obat ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan

dosis yang diberikan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien, serta

mengarur waktu pemberian obat agar tidak terjadi interaksi obat.

Aspirin yang merupakan golongan salisilat merupakan interaksi

farmakodinamik dengan tingkat keparahan moderat yaitu meningkatkan

efek dari insulin sehingga memungkinkan terjadinya efek hipoglikemia.

Sebuah studi mengatakan bahwa interaksi antara insulin dengan aspirin ini

disebabkan adanya inhibisi prostaglandin yang merupakan prekursor

glucagon (Tatro, 2010). Akibat adanya inhibisi prostaglandin di mukosa

gastrointestinal yang menyebabkan iritasi mukosa gastrointestinal. Iritasi

mukosa gastrointestinal secara tidak langsung menyebabkan produksi

glukagon tidak terjadi. Bila kadar glukagon terusterusan rendah, tubuh

akan memproduksi insulin secara terus-menerus yang akan meningkatkan

resiko terjadinya hipoglikemia (Ardhani, 2015). Penggunaan kedua obat ini

juga harus dilakukan monitoring untuk melihat hasil terapi pada pasien.

Interaksi lainnya pada insulin yakni insulin dengan bisoprolol.

Menggunakan bisoprolol bersamaan dengan insulin dapat menyebabkan

hipoglikemia. Secara khusus, menghambat katekolamin dimediasi

glikogenolisis dan mobilisasi glukosa dalam hubungan dengan beta

blokade dapat menyebabkan hipoglikemia. Peningkatan yang signifikan

dalam tekanan darah dan bradikardi juga dapat terjadi selama hipoglikemia

91
pada penderita diabetes yang menggunakan insulin dan beta blocker karena

antagonis efek epinefrin pada beta-2 reseptor adenergik, yang mengarah ke

efek alpha – adrenergik menyebabkan vasokonstriksi (Tatro, 2009).

Penggunaan kedua obat ini juga harus dilakukan monitoring untuk melihat

hasil terapi pada pasien.

Selain itu insulin juga berinteraksi dengan diltiazem yang terjadi pada

1 orang pasien. Mekanisme terjadinya belum diketahui dengan jelas, tetapi

ada beberapa kasus mengatakan bahwa diltiazem mungkin mengurangi

efek hipoglikemik insulin (Tatro 2009). Jika obat ini digunakan bersama

akan berpotensi interaksi obat sehingga untuk menghindari peningkatan

dosis insulin, disarankan mengatur dosis obat yang diberikan dan

disesuaikan dengan kebutuhan pasien, serta mengatur waktu pemberian

obat agar tidak terjadi interaksi. Penggunaan kedua obat ini juga harus

dilakukan monitoring untuk melihat hasil terapi pada pasien.

Sedangkan interaksi diabetes lainnya adalah antidiabetes oral dengan

antihipertensi yaitu metformin dengan amlodipin, yang mana amlodipin

akan menurunkan efek dari metformin dengan efek antagonis (Madscape,

2020)

ramipril. Mekanismenya belum diketahui, tetapi apabila menggunkan

ramipril bersamaan dengan metformin dapat meningkatkan efek metformin

pada penurunan glukosa darah (Tatro, 2009). Pada pasien tersebut harus

dimonitoring kadar gula darah secara teratur, serta mengatur waktu

92
peberian obat agar tidak terjadi interaksi obat.

Selain itu juga metformin dengan furosemide jika digunakan

bersamaan menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Furosemide dapat

meningkatkan konsentrasi plasma metformin sebesar 22% dan metformin

dapat menurunkan konsentrasi furosemide dan eliminasi waktu paruh

furosemide masing – masing sebesar 31% dan 32% (Drugs.com, 2022).

Bisoprolol adalah antihipertensi yang jika digunakn bersama glimepirid

dapat mencegah atau menghambat reseptor beta-2 di pankreas sehingga

dapat menurunkan efek dari glimepirid dan akan mengakibatkan terjadinya

hioerglikemia. Sehingga perlu diamati kadar glukosa darah pasien bila

perlu diberi jeda waktu untuk penggunaannya (Medscape, 2020).

Glimepirid dengan ramipril, interaksi ini memiliki tingkat keparahan

moderat. Penggunaan kombinasi glimepirid dengan golongan obat ACEI

dapat berisiko hipoglikemia meningkat, dengan mekanisme peningkatan

sensitivitas insulin sementara oleh ACE Inhibitor. Monitoring yang

dilakukan adalah mengamati gejala hipoglikemia saat memulai terapi ACEI

pada pasien yang menerima terapi sulfonilurea (glimepirid) khususnya

pasien lanjut usia dan disfungsi ginjal (Tatro,2009).

Tabel 5.17 Profil Interaksi Obat Antidiabetes dengan Antidiabetes

Jenis Jenis Interaksi Tingkat Efek Jumlah %


Obat Keparahan Pasien

93
Metrormin Farmakokinetika Minor Menurunkan 1 100%
+ kadar AUC
Acarbose metformin
Total 1 100%

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat 1 jenis obat

antidiabetes yang kemungkinan terjadi interaksi dengan obat antidiabetes

sendiri yaitu metformin dengan acarbose. Metformin berpotensi interaksi

dengan acarbose. Efek interaksi yang terjadi adalah dapat menurunkan

kadar AUC metformin. Mekanisme tampaknya karena tertunda penyerapan

metformin diusus. Acarbose penghambat alpha-glukosidase mengurangi

bioavailabilitas metformin, efeknya selama 3 jam pertama setelah

pemberian bersama acarbose dan metformin (Tatro, 2009). Pasien harus

diindtruksikan tentang perlunya pemantauan rutin kadar glukosa darah dan

menyadari tanda – tanda hipoglikemia. Penggunaan kedua obat ini juga

harus dilakukan monitoring untuk melihat hasil terapi pada pasien.

Tabel 5.18 Profil Interaksi Obat Antihipertensi dengan Antihipertensi

Jenis Obat Jenis Interaksi Tingkat Efek Jumlah %


Keparahan Pasien
Ramipril + Farmakodinamika moderat Hipokalemia 1 50,0%
Furosemide
Ramipril + Farmakodinamika Major Hiperkalemia 1 50,0%
spironolacton
Total 1 100%

Interaksi yang terjadi antara furosemid dan ramipril yaitu

94
farmakodinamik sinergis. Kombinasi ramipril (ACE Inhibitor) dan

furosemid (Loop Diuretic) umumnya aman dan efektif, tetapi “first dose

hypotension” (pusing hingga pingsan) dapat terjadi. Pada semua pasien

yang mengkonsumsi diuretik, terapi dengan inhibitor ACE harus dimulai

dengan dosis yang sangat rendah. Interaksi yang menyebabkan “first

dose hypotension” belum sepenuhnya dipahami. Interaksi antara

furosemid dan ramipril juga dapat menyebabkan hipokalemia. Penyebab

hipokalemia akibat dari efek diuretik yang bekerja memperbanyak

pengeluaran kalium dan air (Stockley, 2008).

Selain itu juga menggunakan ramipril dengan spironolacton dapat

meningkatkan kadar kalium dalam darah (hiperkalemia), terutama jika

pasien mengalami dehidrasi atau memiliki penyakit ginjal, diabetes,

gagal jantung. Hiperkalemia dapat menyebabkan gejala seperti

kelemahan, kebingungan, mati rasa atau kesemutan dan detak jantung

tidak stabil (Drugs.com, 2022). Penggunaan kedua obat ini juga harus

dilakukan monitoring untuk melihat hasil terapi pada pasien.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisa Terjadinya Interaksi Obat Pada

Pasien Penyakit Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Rawat Inap di RSUD

95
Prov.Sum-Sel Siti Fatimah Az-Zahra Periode Januari – Desember 2021 dapat

dismipulkan bahwa:

1. a) Golongan obat antidiabetes yang diberikan pada pasien adalah insulin

(65,55%), biguanid (19,0%), sulfonilurea (12,1%), alfa-glukosidase (3,4%).

b) Golongan obat antihipertensi yang diberikan pada pasien adalah calcium

channel blocker (36,5%), angiotensin II reseptor blocker (30,2%), diuretik

(17,7%), angiotensin converting enzim (9,4%), dan beta blocker (6,3%).

2. Dari total 53 pasien, sebanyak 24 pasien (45,3%) memiliki potensi interaksi

obat dan pasien tanpa interaksi obat pada resep sebanyak 29 pasien (54,7%).

6.2 Saran

1. Adanya potensi interaksi obat pada resep menuntut farmasis untuk lebih

berhati-hati pada saat penyapan obat dan hendaknya apoteker berkonsultasi

dengan dokter jika menemukan masalah pada resep. Farmasis juga harus

berperan aktif dalam memberikan Pharmaceutical Care, seperti pemberian

konseling pasien terkait obat yang diberikan sehingga dapat mencegah

terjadinya interaksi obat potensial guna meningkatkan kualitas hidup pasen.

2. Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian secara prospektif

berdasarkan data penelitian sebelumnya sehingga dapat mengetahui data yang

lebih akurat dan mencegah terjadinya interaksi obat.

96

Anda mungkin juga menyukai