Anda di halaman 1dari 124

KEKUATAN PEMBUKTIAN (BEWIJSKRACHT) TERHADAP PENGAJUAN

ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DISERTAI ALAT BUKTI

TERTULIS HASIL AUDIT DALAM PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

Tesis
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Mencapai Derajat S-2
Program Studi Magister Hukum Litigasi

Diajukan Oleh :
Ahmad Subandi
19/448072/PHK/10581

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak diproklamirkan, Indonesia hadir sebagai negara hukum. Hal ini

dapat dicermati dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 melalui Pasal 1 ayat (3). Dari Pasal tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat) dan

bukan berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).1 Gagasan negara hukum

telah dikemukakan oleh Plato. Menurut Plato dalam Ridwan HR,

menyebutkan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang

didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.2

Salah satu ciri dari negara hukum yang demokratis berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945, adalah menjunjung tinggi hak asasi manusia dan

menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 3 Indonesia menganut

sistem konstitusional, artinya penyelenggara negara diatur sedemikian rupa

oleh konstitusi yang berlaku, sebagai hukum dasar dan dasar hukum yang

menafikkan kekuasan yang bersifat absolut.4

Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi

dalam penyelenggaraan negara, yang sesungguhnya memimpin dalam

1
Supandriyo, 2019, Asas Kebebasan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana, Arti Bumi Intaran,
Yogyakarta, hlm. 1
2
Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 2
3
Supandriyo., Op.,Cit.,hlm. 1
4
H. Deddy Ismatullah & Beni ahmad Saebani, 2018, Hukum Tata Negara: Refleksi Kehidupan
Ketata Negaraan di Negara Repoblik Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 192
2

penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip “the

Rule of Law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian “nomocratie”,

yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, “nomos”.5 Salah satu

konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa, baik pemerintah maupun rakyat

sama-sama mengharapkan agar roda pemerintahan dijalankan menurut

hukum.6 Hukum mengatur seluruh bidang kehidupan, hukum mengatur

seseorang sejak masih dalam kandungan sampai masuk kedalam liang lahat. 7

Tidak saja formil hukum, melainkan juga matril hukum, karena hukum itu

pertama-tama adalah rasa keadilan.8

Agar hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya diperlukan adanya

kekuasaan, namun kekuasaan yang ada tidak boleh melanggar hak-hak dan

kepentingan individu, karena hukum juga berfungsi sebagai perlindungan

kepentingan manusia. Peran hukum sebagai pengayoman tercermin melalui

fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control), perubahan

sosial (social engineering) dan hukum sebagai sarana integratif.9 Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan,

melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan.10

Adapun berbagai macam persoalan kejahatan, baik kejahatan yang

bersifat konvensional maupun kejahatan yang sifatnya kebaharuan yang

sering timbul dan merupakan ujian bagi eksistensi Indonesia sebagai negara
5
Ni’matul huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press,
Yogyakarta, hlm. 2
6
SF Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 15
7
Eddy O.S. Hiariej, 2016, Hukum Pidana, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, hlm. 5
8
SF Marbun,.Op.,Cit., hlm. 15
9
Supandriyo.,Op.,Cit., hlm. 1
10
H.M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum,
Kencana, Jakarta, hlm.
3

hukum. Terjadinya musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada

akhir-akhir ini,11 korupsi merupakan persoalan yang cukup krusial. Kasus-

kasus korupsi yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa korupsi yang

dilakukan oleh para elit politik, khususnya para pemimpin negara, yang

dikenal dengan korupsi politik (political corruption) atau korupsi yang utama

(grand corruption), menimbulkan akibat yang sngat buruk bagi suatu

bangsa.12

Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia masuk dalam urutan negara

yang tingkat korupsi yang sangat tinggi.13 Tindak pidana korupsi sudah

meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah

kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan

semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan

masyarakat.14 Praktik korupsi yang terjadi secara meluas dan sistematis dapat

membawa bencana bagi kehidupan masyarakat dan juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.15 Oleh

karena itu, undang-undang tidak lagi menggolongkan korupsi sebagai

kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi telah menggolongkannya menjadi

kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).16

Menurut A.S. Harris Sumadiria dalam IGM Nurdjana, menyatakan

bahwa korupsi lahir karena ambruknya nilai-nilai sosial, korupsi kambuh


11
Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 68
12
O.C. Kaligis, 2008, Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi, PT. Alumni, Bandung, hlm. 2
13
Ibid., hlm. 3
14
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Bandung, hlm. 2
15
Bambang Waluyo, 2015, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
20
16
Ibid.
4

karena adanya penyalahgunaan tujuan wewenang dan kekuasaan dan korupsi

hidup karena sikap dan mental yang bobrok, baik pejabat tinggi maupun

pejabat rendah.17 Korupsi tidak saja akan menggerumus struktur kenegaraan

secara perlahan, tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang

terdapat dalam negara. Korupsi muncul dari struktur birokrasi dan akan

berimbas dengan menggerogoti struktur birokrasi tempat korupsi

berlangsung.18

Korupsi telah membudaya dalam penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia, kadang-kadang petugas negara menjadi pelaku dominan dan

kadang-kadang pelaku swasta yang paling berkuasa.19 Demikian ungkapan

yang sering didengar dan bahkan mungkin pernah diucapkan, istilah “uang

pelicin” uang administrasi dan sebagainya yang merupakan praktik-praktik

korupsi yang tidak asing lagi didengar. 20 Selama ini masyarakat hanya

menjadi penonton terhadap prilaku elit yang korup.21 Hal ini menuntut peran

dan berkerjanya hukum melalui penegakkan hukum di Indonesia.

Kekuasaan kehakiman sebagai wujud supremasi hukum dalam

ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan


17
IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mavia Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 33
18
Mansyur semma, 2008, Negara Dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 203
19
Pusat Kajian Anti Korupsi, 2008, Mega Skandal Korupsi Di Indonesia, PUKAT Korupsi FH
UGM, Yogyakarta, hlm. 1
20
Amiruddin, 2010, Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.
13
21
Gupta & Rekan, 2012, Korup & Orup, 64V-Denpasar, Denpasar, hlm. 25
5

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia.

Eksistensi hukum baru terasa jika terjadi sengketa, dan sarana terakhir

untuk menyelesaikan sengketa itu adalah melalui pranata pengadilan yang

diwujudkan dengan putusan hakim.22 Penegakan hukum tidak bisa dipisahkan

dari badan peradilan. Pengadilan (court) merupakan akhir dari suatu proses

peradilan. Sehingga wajar jika sering dikumandankan bahwa pengadilan itu

merupakan benteng daripada keadilan.23

Peradilan merupakan subfungsi penegakan hukum yang dilakukan

oleh Hakim bersama dengan Penuntut Umum dan Advokat dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia. Hukum acara pidana sebagaimana diatur Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pedoman dan

acuan dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia yang bertujuan

untuk mencari kebenaran matril (kebenaran yang sesungguhnya).

Keberlakuan hukum acara pidana adalah untuk memberi perlindungan kepada

hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum,

maka dalam KUHAP yang diutamakan mengenai perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia.24

Pada tahap peradilan merupakan tahap pembuktian dari segala fakta-

fakta hukum yang terjadi berdasarkan alat bukti yang dibenarkan meurut

22
Juniver Girsang, 2012, Abuse Of Power; Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum
Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing, Jakarta, hlm. 25
23
Fachmi, 2011, Keputusan Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hlm. 85
24
Suhartono RM, 1997, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1
6

peraturan perundang-undangan. Inti proses pemeriksaan persidangan adalah

pembuktian, dimana dalam pembuktian tersebut alat-alat bukti akan dinilai

oleh Majlis Hakim untuk memperoleh kesimpulan, keyakinan apakah

terdakwa bersalah atau tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.25 Pembuktian dalam hukum acara

pidana pada dasarnya dilakukan untuk memperoleh kebenaran dalam batas-

batasan yuridis dan bukan batasan yang mutlak, karena kebenaran yang

mutlak sukar diperoleh.26

Dengan memperhatikan posisi strategisnya pengadilan sebagai


tempat mendapatkan keadilan bagi para justiciabellen, maka menjadi
keniscayaan untuk memastikan pengadilan selalu on the track di
dalam menjalankan misi penegakan keadilan, yang indikasinya antara
lain bisa dilihat dari proses hingga dilahirkan produk utama
pengadilan, yaitu putusan pengadilan yang memenuhi aspek keadilan
kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi siapapun yang ingin
mendapatkan keadilan melalui lembaga tersebut.27

Ketentuan pokok mengenai pembuktian diatur dalam ketentuan Pasal

183 KUHAP menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurang dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Oleh karena itu dalam

membuktikan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, setidaknya

memiliki dasar sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dan dengan

25
Tolib Effendi, 2014, Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia),
Setara Press, Malang, hlm. 150
26
H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 185
27
Pusat Kajian Anti Korupsi, 2014, Pengadilan Yang (Tak Kunjung) Tegak, PUKAT Korupsi
FH UGM, Yogyakarta, hlm. 2
7

sekurang-kurangnya dua alat bukti itu hakim memperoleh keyakinan

berdasarkan alat bukti itu.

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu

perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai

bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran

adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 28 Ketentuan

mengenai alat bukti telah diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP

yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Salah satu bukti yang sah sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan

Pasal 184 ayat (1) diatas adalah keterangan ahli. Keterangan ahli dalam

ketentuan Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli

adalah keterangan yang diberikan oleh orang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan. Kehadiran orang ahli dalam proses penegakan

hukum sangat dibutuhkan untuk menjernihkan persoalan yang sedang

diselesaikan, terutama dalam bentuk kejahatan-kejahatan yang tergolong

dalam kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang sangat

28
Hadi Alamri, “Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana”, Lex Privatum, Vol V No. 1 Januari-Februari 2017
8

meresahkan seperti tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan sebagai

perkara yang sangat sulit dalam dibuktikannya.

Dalam hal tindak pidana korupsi khususnya yang menyangkut

kerugian keuangan dan perekonomian negara sebagaimana yang diatur dalam

ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016

yang menghapuskan frasa kata “dapat” sehingga kerugian negara meski

diidentifikasi dan terbukti secara jelas dan meyakinkan berapa kerugian

negara terlebih dahulu untuk bisa dijatuhi pidana.

Tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian keuangan dan

perekonomian negara selalu diawali dengan audit keuangan negara yang

dilakukan oleh Badsan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit

yang sering digunakan dalam mengaudit nominal kerugian negara akibat

tindak pidana korupsi. Adapun dalam acara pemeriksaan di persidangan,

auditor dari BPK seringkali dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk

memberikan keterangan ahli mengenai keahliannya dalam mengaudit

kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang sedang

disidangkan.

Dalam hal dihadirkannya seorang auditor dari BPK untuk memberikan

keterangan mengenai keahliannya dalam mengaudit kerugian negara yang

diduga keras merupakan tindak pidana korupsi seringkali menjadi perdebatan

antara Jaksa Penuntut Umum dengan Advokat selaku kuasa hukum dari
9

terdakwa yang bersangkutan, mengenai esensi dari ahli yang dihadirkan.

Dalam hal ini dapat kita lihat pada kasus persidangan perkara tindak pidana

korupsi yang berkenaan dengan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan

Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang diduga merugikan keuangan negara

senilai Rp. 4,5 triliun yang dilakukan oleh terdakwa Syafrudin Arsyad

Tumenggung.

Terdakwa Syafrudin Arsyad Tumenggung didakwa melanggar Pasal

2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55

ayat (1) Ke-1 KUHP didakwa yang disidangkan pada hari senin tanggal 6

Agustus 2018 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.29 Pada persidangan

tersebut, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan seorang saksi mantan Kepala

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glen MS Yusuf, dan seorang

ahli auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), I Nyoman Wara. 30

Menurut Yusril Ihza Mahendra selaku Tim Kuasa Hukum


Terdakwa berpendapat bahwa ini merupakan tragedi dalam proses
persidangan, karena orang bisa dihukum dengan dua alat bukti
keterangan surat dan keterangan ahli. I Nyoman Wara dihadirkan
sebagai ahli dan terkait alat bukti lain, bukti surat hasil pemeriksaan
audit BPK yang melaksanakan audit beliau sendiri. Kehadiran I
Nyoman Wara sebagai ahli untuk diminta menilai pekerjaan hasil
auditnya sendiri sehingga oleh Tim Kuasa Hukum Syafruddin Arsyat

29
Bangun Santoso, “Sidang BLBI, Yusril Persoalkan Ahli Yang Dihadirkan KPK”. News.com, 6
Agustus 2018.
30
Ahda Bayhaqi, “Yusril Keberatan Jaksa Hadirkan Auditor BPK Sebagai Ahli Dalam Sidang
BLBI”, Merdeka.Com, 6 Agustus 2018
10

Temenggung menganggap ini sangat tidak adil dalam proses


penegakan hukum.31

Dalam perkara a quo auditor yang dihadirkan sebagai ahli oleh Jaksa

Penuntut Umum untuk memberikan keterangan ahli pada esensinya,

sebelumnya telah memberikan bukti tertulis hasil audit kepada aparatur

penegak hukum. Dengan demikian kehadiran ahli untuk memberikan

keterangan ahli dipersidangan memiliki kesan bahwa satu orang dapat

menciptakan dua alat bukti sekaligus dalam pemeriksaan di persidangan.

Kendatipun terdapat alat bukti lain selain daripada bukti keterangan ahli dan

bukti tertulis itu. Namun kedua alat bukkti itu masih menjadi persoalan

tentang esensinya sebagai alat bukti yang dihadirkan di persidangan.

Berdasarkan latar belakang masalah dan kasus yang diuraikan diatas,

penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan menganalisis lebih jauh mengenai

esensi kekuatan pembuktian kesamaan alat bukti ganda dari bukti keterangan

ahli yang disertai bukti tertulis dalam penulisan hukum yang berjudul:

“Kekuatan Pembuktian (Bewijskracht) Terhadap Pengajuan Alat Bukti

Keterangan Ahli Disertai Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

31
M Anwar, “Sidang Kasus BLBI, Yusril Permasalahkan Saksi dari BPK”, Teropong Senayan, 6
Agustus 2018
11

1. Apa Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum Masih Menghadirkan Ahli Yang

Telah Memberikan Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi?

2. Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Tersangka/Terdakwa Untuk

Menghadapi Kesamaan Alat Bukti Ganda Oleh Aparatur Penegak Hukum

Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi?

3. Bagaimana Kekuatan Pembuktian Bukti Keterangan Ahli Disertai Bukti

Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagaimana uraian dari latar belakang dan

pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai

penulis dalam penelitian ini yaitu:

1. Tujuan Objektif

Adapun tujuan objektif dari penelitian ini yaitu:

a. Untuk mengetahui pertimbangan Jaksa Penuntut Umum masih

menghadirkan ahli yang telah memberikan bukti tertulis hasil audit

dalam perkara tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi Tersangka/Terdakwa

untuk menghadapi kesamaan alat bukti ganda oleh aparatur penegak

hukum dalam perkara tindak pidana korupsi.

c. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian bukti keterangan ahli disertai

bukti tertulis hasil audit dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Tujuan Subjektif
12

Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

penyusunan penulisan tesis guna memenuhi persyaratan akademis untuk

memperoleh gelar Magister Hukum Litigasi di Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dari

penelitian yang berjudul “Kekuatan Pembuktian (Bewijskracht) Terhadap

Pengajuan Alat Bukti Keterangan Ahli Disertai Bukti Tertulis Hasil Audit

Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangsi

pemikiran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menambah

bahan pustaka dalam bidang ilmu hukum yang berkaitan dengan

kekuatan pembuktian (bewijskracht) terhadap pengajuan alat bukti

keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit dalam perkara tindak

pidana korupsi.

b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu referensi bagi

peneliti berikutnya yang ingin mengkaji tentang permasalahan yang

sama atau permasalahan yang serupa dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis
13

a. Memberi masukan bagi Penuntut Umum terhadap pengajuan alat bukti

keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit dalam perkara tindak

pidana korupsi.

b. Memberi masukan bagi Advokat terhadap pengajuan alat bukti

keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit oleh Penuntut Umum

dalam perkara tindak pidana korupsi.

c. Memberi masukan bagi Hakim terhadap penilaian pengajuan alat bukti

keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit dalam perkara tindak

pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang telah dilakukan oleh

penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan

pencarian di internet bahwa tidak terdapat suatu penelitian yang sama atau

mirip dengan penelitian ini dengan judul “Kekuatan Pembuktian

(Bewijskracht) Terhadap Pengajuan Alat Bukti Keterangan Ahli Disertai

Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi” yang telah

dilakukan peneliti sebelumnya. Namun demikian, terdapat beberapa

penelitian yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini yang membahas

mengenai keterangan ahli tetapi terdapat perbedaan tajam, baik dari latar

belakang permasalahan maupun rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian-penelitian tersebut, yaitu:

1. Rafika Qirrata’ayun, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Dan Sistem

Peradilan Pidana, Tesis, Uniiversitas Indonesia, Tahun 2010 dengan judul


14

Kualifikasi dan Obyektivitas Ahli Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana.32

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitiannya yaitu:

a) Bagaimana kualifikasi ahli untuk dapat memberikan keterangan dalam

pemeriksaan perkara pidana ?

b) Bagaimana peran keterangan ahli hukum pidana dalam persidangan

perkara pidana dikaitkan dengan Ius Curia Novit ?

c) Bagaimana Hukum Acara Pidana mengatasi pertentangan pendapat

ahli ?

d) Apakah keberpihakan ahli merupakan suatu masalah dalam upaya

dalam mendapatkan kebenaran matril ?

Dari penelitian Rafika Qirrata’ayun diambil kesimpulan bahwa:

a) Berdasarkan beberapa doktrin dalam praktik yang dilakukan Aparatur

Penegak Hukum, kualifikasi ahli ditntukan berdasarkan pendidikan

formal yang telah ditempuh, dalam rentang waktu pengalaman ahli,

serta relevansinya dengan perkara yang sedang diperiksa. Kualifikasi

yang diperhitungkan adalah rekam jejak mengenai sikap moral ahli

berupa obyektivitas pertanggungjawaban mengenai keterangan yang

disampaikan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dibidanginya.

b) Keberadaan ahli hukum pidana sangat penting terutama jika

menyangkut isu hukum yang masih diperdebatkan atau aturan hukum

yang masih sumir.

32
Rafiqa Qurrata’ayun, 2010, “Kualifikasi dan Obyektivitas Ahli Dalam Pemeriksaan Perkara
Pidana”, Tesis, Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Dan Sistem Peradilan Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
15

c) Jika pertentangan pendapat ahli terjadi pada tahap penyidikan, maka

penyidik harus bisa menilai kebenaran pendapat ahli tersebut dengan

berbagai metode. Diantaranya adalah dengan meminta ahli

menyampaikan keterangan secara ringkas, menggunakan bahasa yang

mudah difahami oleh aparatur penegak hukum. Jika pertentangan

pendapat ahli terjadi pada tahap persidangan, hakimlah yang

memegang peran untuk mengatasi masalah tersebut.

d) Keberpihakan ahli dapat menjadi masalah dalam upaya mendapatkan

kebenaran matril, karena keterangan ahli memiliki kekuatan sebagai

alat bukti yang bisa menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan

seseorang bersalah atau tidak bersalah.

Perbedaan penelitian tesis ini yang berjudul “Kekuatan Pembuktian

(Bewijskracht) Terhadap Pengajuan Alat Bukti Keterangan Ahli Disertai

Alat Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

Bukti keterangan ahli memang merupakan pembahasan penulis, namun

penelitian yang diangkat oleh penulis ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Rafika Qirrata’ayun sebelumnya, yang hanya membahas

kualifikasi ahli dalam perkara pidana secara umum. Sedangkan dalam

penelitian ini penulis akan secara khusus membahas mengenai kekuatan

pembuktian terhadap pengajuan alat bukti keterangan ahli disertai bukti

tertulis hasil audit dalam perkara tindak pidana korupsi.


16

2. Syahirul Alim Kurniawan, Tesis, Tahun 2014, dengan judul Nilai

Pembuktian Dan Kualifikasi Keterangan Ahli Dari BPK dalam

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.33 Adapun yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitiannya yaitu:

a) Bagaimana nilai pembuktian keterangan ahli dari BPK dalam

pembuktian perkara tindak pidana korupsi ?

b) Bagamanakah kualifikasi dari ahli BPK yang dapat dijadikan acuan

bagi BPK dan aparat penegak hukum agar dapat dijadikan dasar

pertimbangan hakim dalam pemeriksaan perkara tindak pidana

korupsi ?

Dari penelitian Syahirul Alim Kurniawan diambil kesimpulan bahwa:

a) Keterangan ahli dari BPK diperlukan dalam penyidikan kasus korupsi

yang memerlukan perhitungan kerugian negara/daerah yang rumit dan

kompleks, sedangkan untuk kasus korupsi yang diuktikan dengan

kerugian negara sederhananya Penyidik dapat melakukan perhitungan

sendiri. Dalam tahap penuntutan keterangan ahli dari BPK diperlukan

untuk melengkapi berkas apabila Penuntut Umum menilai dalam

tahap penyidikan, pemeriksaan terhadap ahli belum lengkap.

Keterangan ahli dari BPK yang dihadirkan di persidangan dapat

membuat terang dan memperkuat terkait unsur telah terjadi kerugian

negara ditentukan oleh perkembangan yang terjadi setelah

33
Syahirul Alim Kurniawan, 2014, “Nilai Pembuktian Dan Kualifikasi Keterangan Ahli Dari
BPK Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
17

penghitungan kerugian selesai dan disesuaikan dengan fakta-fakta

yang terkait dalam persidangan. Pemberian keterangan ahli dari BPK

terkait dengan kasus korupsi Biaya Oprasional Kendaraan PT Jogja

Tugu Trans (JTT) diberikan berdasarkan Laporan Perhitungan

Keuangan Negara/Daerah, sedangkan terkait dengan kasus korupsi

Dana Hibah Tembakau Virginia di Kabupaten Bantul dihadirkan

secara lisan di Pengadilan berdasarkan LHP atas kepatuhan terhadap

Peraturan Perundang-undangan Kabupaten Bantul Tahun Anggaran

2010 No. 23c/LHP/XVIII.YOG/06/2010 tanggal 4 juni 2010.

Keterangan ahli dari BPK memiliki nilai sebagai alat bukti jika

bersesuaian dengan alat bukti yang lain di dalam persidangan.

b) Keterangan ahli dari BPK memiliki perbedaan jika dibandingkan

dengan keterangan ahli pada umumnya. Keterangan ahli dari BPK

adalah personifikasi dari institusi sebuah lembaga negara yaitu BPK

bukan keterangan ahli dalam kapasitasnya sebagai individu atau

perorangan. Maka dari itu bagi hakim, Surat Tugas sebagai ahli dalam

persidangan menjadi pertimbangan utama. Selanjutnya hakim akan

mempertimbangkan pengalaman, Status Kepegawaian, Pelatihan,

Kursus, dan Sertifikasi Keahlian. Bagi BPK dan Aparat Penegak

Hukum, latar belakang pendidikan formal Pemeriksa BPK tidak

dijadikan landasan atau dasar pertimbangan dalam menilai kualifikasi

ahli karena dalam praktek, pengalaman pemeriksa dalam melakukan

pemeriksaan khusus dapat menghadirkan ahli. Ahli dari BPK harus


18

menguasai ketentuan pengelolaan keuangan negara/daerah agar dapat

penjawab pertanyaan yang diajukan oleh hakim, penasehat hukum dan

penuntut umum dengan meyakinkan. Kualifikasi terkait dengan

seseorang yang dapat memberikan keterangan ahli di persidangan

yaitu jika:

1) Keterangan ahli dari BPK yang terkait dengan perhitungan nilai

dan jumlah kerugian negara berdasarkan pada laporan hasil

perhitungan kerugian negara, dan nama seseorang tersebut harus

tercantum dalam surat tugas perhitungan kerugian negara tersebut.

2) Keterangan ahli dari BPK menerangkan terkait dengan pembuktian

unsusr kerugian negara maka dapat dihadirkan seseorang dari BPK

yang berada diluar keanggotaan Tim penghitungan kerugian

negara.

3) Jika terkait dengan perhitungan nilai dan jumlah kerugian negara

yang dihadirkan adalah seseorang yang tidak masuk dalam

keanggotaan tim penghitungan kerugian negara maka keterangan

ahli dari BPK tersebut akan dikesampingkan oleh hakim.

Perbedaan penelitian tesis ini yang berjudul “Kekuatan Pembuktian

(Bewijskracht) Terhadap Pengajuan Alat Bukti Keterangan Ahli Disertai

Alat Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

Bukti keterangan ahli memang merupakan pembahasan penulis, namun

penelitian yang diangkat oleh penulis ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Syahirul Alim Kurniawan, yang membahas mengenai


19

kualifikasi keterangan ahli dari BPK dalam pemeriksaan tindak pidana

korupsi, dimana penelitian ini hanya membahas cakupan keterangan ahli

BPK dalan tahap-tahap pemeriksaan tindak pidana korupsi tanpa

menguraikan adanya bukti tertulis yang menyertainya. Sedangkan dalam

penelitian ini penulis akan secara khusus membahas mengenai kekuatan

pembuktian terhadap pengajuan alat bukti keterangan ahli disertai bukti

tertulis hasil audit dalam perkara tindak pidana korupsi.

3. Hanafi; Reza Aditya Pamuji, Jurnal, Tahun 2019, dengan judul Urgensi

Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana

di Indonesia.34 Adapun rumusan masalah dalam penelitiannya yaitu:

a) Bagaimana konstruksi hukum tentang ahli berdasarkan sistem peradilan

pidana di Indonesia ?

b) Bagaimana pengaruh keterangan ahli terhadapkekuatan pembuktian

dalam peradilan pidana di Indonesia ?

Dari penelitian Hanafi; Reza Aditya Pamuji diambil kesimpulan bahwa:

a) Konstruksi hukum pengaturan keterangan ahli diatur dalam Pasal 184

ayat (1) KUHAP poin nomor 2 yang termasuk dalam jenis-jenis alat

bukti yang sah menurut hukum setelah keterangan saksi. Secara

pengertian keterangan ahli diatur dalam Paal 1 angka 28 KUHAP yang

menyatakan bahwa keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan

oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna


34
Hanafi; Reza Aditya Pamuji, “Urgensi Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Berdasarkan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Al’Adl, Volume X No.1 Januari 2019.
20

kepentingan pemeriksaan. Dari rumusat tersebut terlihat bahwa telah

tercakup fungsi dari keterangan ahli, yaitu untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

b) Pengaruh keterangan ahli terhadap kekuatan pembuktian adalah bahwa

pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan

pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai

pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian yang

melekat pada alat bukti keterangan ahli.

Perbedaan penelitian tesis ini yang berjudul “Kekuatan Pembuktian

(Bewijskracht) Terhadap Pengajuan Alat Bukti Keterangan Ahli Disertai

Alat Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

Bukti keterangan ahli memang merupakan pembahasan penulis, namun

penelitian yang diangkat oleh penulis ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hanafi; Reza Aditya Pamuji yang membahas urgensi

keterangan ahli sebagai alat bukti berdasarkan sistem peradilan pidana di

Indonesia. Dimana dalam penelitiannya hanya membahas urgensi

keterangan ahli sebagai alat bukti dan pengaruhnya terhadap kekuatan

pembuktian dalam konteks umum dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia. Sedangkan dalam penelitian ini penulis akan secara khusus

membahas mengenai kekuatan pembuktian terhadap pengajuan alat bukti

keterangan ahli dengan disertai bukti tertulis hasil audit dalam perkara

tindak pidana korupsi.

BAB II
21

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dalam hal korupsi terdapat beragam istilah dan pemaknaan yang

ditujukan pada suatu perbuatan yang dikonkritkan pada perbuatan korupsi

yang merupakan konsekuensi dari segala bentuk tindakan dan perbuatan

yang dicela oleh masyarakat. Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi

berasal dari kata “corruptio” dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau

kebobrokan, dan dipakai untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan

yang buruk.35

Istilah korupsi kerapkali diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme

yang pada ihwalnya dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme) yang saat ini menjadi masalah yang serius untuk diberantas dan

ditanggulangi secara serius sebagai bagian dari program untuk memulihkan

kepercayaan masyarakat dalam rangka mendobrak pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan negara. Namun secara harafiah korupsi diartikan sebagai

kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak

bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina

atau memfitnah.36

Secara normatif berdasarkan sejarah hukum di Indonesia, istilah

korupsi pertama kali dijumpai dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor

35
H. Elwi Danil, 2011, Korupsi Konsep,Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.
Rajagrafindo Persada, Padang. hlm. 3
36
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta,
hlm. 9
22

Prt/PM-06/1957, istilah korupsi dimasukkan menjadi istilah hukum.

Ketentuan istilah korupsi dalam peraturan tersebut dimuat pada bagian

konsideran yang menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan

keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan

korupsi.37

Menururt Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan

Nepotisme, menegaskan bahwa korupsi adalah tindak pidana sebagaimana

yang dimaksud dalam peraturan perundang undangan yang mengatur

tentang tindak pidana korupsi.38 Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, memberikan pengertian bahwa tindak pidana

korupsi adalah setiap orang yang dikatagorikan melawan hukum, melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyelahgunakan kewenangan maupun

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.39

Adapun pengertian korupsi berdasarkan pendapat para ahli

memberikan pendapat mengenai korupsi sebagai berikut;

37
H. Elwi Danil, Op,.Cit, hlm. 5
38
Lihat, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
39
Lihat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
23

1) Klitgaard dalam Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani

Listianingsih40 memberikan definisi korupsi adalah suatu tingkah laku

yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatan dalam negara, dengan

tujuan dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang

menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, atau kelompok)

atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku

pribadi.

2) Black’s law Dictionary dalam Chatrina Darul Rosikah dan Dessy

Marliani Listianingsih,41 memberikan definisi korupsi adalah suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari

pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatan atau karakternya

untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang

lain bersamaan dengan kewajiban dan hak hak dari pihak lain.

3) Henry Cambell Black dalam H. Elwi Danil, 42 mengartikan korupsi

sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban

resmidan hak-hak dari pihak lain.

4) Jeremy Pope dalam Ruslan Renggong,43 menyatakan bahwa korupsi

adalah menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.

40
Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, 2016, Pendidikan Anti Korupsi
Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 2
41
Ibid.
42
H. Elwi Danil, Op.,Cit, hlm 3
43
Ruslan Renggong, 2016, Hukum Pidana Khusus; Memahami Delik-Delik Di Luar KUHP,
Prenada Media Group, Makasar, hlm. 61
24

5) Gardiner dan Olson dalam Muhammad Mustofa,44 memberikan definisi

korupsi yaitu menggunakan kekuasaan pemerintahan untuk tujuan bukun

untuk kepentingan pemerintahan.

6) Dewa Brata dalam Yudi Krisna,45 memberikan pengertian korupsi yang

mudah difahami oleh masyarakat awam yakni “Korupsi adalah Perbuatan

Mencuri, karena itu, korupsi satu trah dengan maling, nyolong, nodong,

jambret, ngecu, ngerampok, nggarong, nggrayah, ngerampas, ngutil,

malak, ngembat, nilep, merompak mencuri menipu menggelapkan,

memanipulasi, yang semuanya tergolong hina dari sudut moral.

Dari segenap uraian istilah yang disematkan pada perbuatan

korupsi diatas secara garis besar perbuatan korupsi selalu berhubungan erat

dengan kewenangan dan kekuasaan, baik atas suatu jabatan yang melekat

pada diri seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang untuk

mendapatkan keuntungan, baik secara pribadi, kelompok maupun golongan

yang memiliki dampak yang merugikan keuangan atau perekonomian

negara.

Pada dasarnya arti dan makna kandungan korupsi sangat luas dan

beragam, hal itu tergantug dari optik disiplin pendekatan yang dilakukan.

Dari sejumlah pemaknaan baik secara etimologi maupun terminologis,

korupsi mempunyai makna yang mengarah kepada prilaku buruk, ketidak

44
Muhammad Mustofa, 2010, Persekongkolan Birokrat-Korporat Sebagai Pola White Color
Crime di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm. 97
45
Yudi Kristiana, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif,
Thafa Media, Jakarta, hlm. 41
25

adilan, kecurangan, kezaliman, yang memiliki implikasi terhadap rusaknya

tata kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara bisa bangkrut

disebabkan karena korupsi.46

Namun pada prinsipnya apapun istilah yang digunakan korupsi

merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan tata etika serta moral

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana demage yang

ditimbulkan dapat menggerogoti sendi-sendi birokrasi penting dalam negara

yang dapat mengancam kesejahtraan dan menghambat pembangunan

bangsa.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam hal ini dapat digolongkan dalam

berbagai bentuk dan jenis.47 Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi dapat dirumuskan ke dalam

30 (tiga puluh) bentuk korupsi. Diuraikan dalam ketentuan pasal-pasal yang

secara spesifik perbuatan apa yang bisa dikenakan sanksi dari tindak yang

dirumuskan dalam undang-undang a quo. Adapun ke tiga puluh jenis dan

bentuk korupsi dapat dirincikan sebagai berikut;48

No Pasal No Pasal
1 Pasal 2 16 Pasal 10 huruf a
2 Pasal 3 17 Pasal 10 huruf b
3 Pasal 5 ayat (1) huruf a 18 Pasal 10 huruf c

46
Nurul Irfan, 2011, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta, hlm. 36
47
Mochtar Lubis, 1993, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 49
48
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, hlm. 19
26

4 Pasal 5 ayat (1) huruf b 19 Pasal 11


5 Pasal ayat (2) 20 Pasal 12 huruf a
6 Pasal 6 ayat (1) huruf a 21 Pasal 12 huruf b
7 Pasal 6 ayat (1) huruf b 22 Pasal 12 huruf c
8 Pasal 6 ayat (2) 23 Pasal 12 huruf d
9 Pasal 7 ayat (2) huruf a 24 Pasal 12 huruf e
10 Pasal 7 ayat (2) huruf b 25 Pasal 12 huruf f
11 Pasal 7 ayat (2) huruf c 26 Pasal 12 huruf g
12 Pasal 7 ayat (2) huruf d 27 Pasal 12 huruf h
13 Pasal 7 ayat (2) 28 Pasal 12 huruf i
14 Pasal 8 29 Pasal 12B jo Pasal 12C
15 Pasal 9 30 Pasal 13

Dari beberapa rincian tindak pidana korupsi yang ada dalam

muatan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diatas, perlu

adanya pengelompokan tindak pidana korupsi untuk memudahkan proses

identifikasi terhadap tindak pidana korupsi.49 Dari ke 30 (tiga puluh) bentuk

dan jenis tindak pidana korupsi diatas dapat dikualifikasikan lagi menjadi 7

(tujuh) jenis kelompok tindak pidana korupsi sebagaimana dalam tabel

berikut;

Tabel 1: Jenis-jenis tindak pidana korupsi

No Jenis Tindak Pidana Korupsi Pasal Tindak Pidana Korupsi


1 Kerugian Keuangan Negara Pasal 2
Pasal 3
2 Suap-Menyuap Pasal 5 ayat (1) huruf a

49
Brigita P. Manohara, 2017, Dagang Pengaruh, (Trading in influence) di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, hlm. 52
27

Pasal 5 ayat (1) huruf b


Pasal 13
Pasal 5 ayat (2)
Pasal 12 huruf a
Pasal 12 huruf b
Pasal 11
Pasal 6 ayat (1) huruf a
Pasal 6 ayat (1) huruf b
Pasal 6 ayat (2)
Pasal 12 huruf c
Pasal 12 huruf d
3 Penggelapan Dalam Jabatan Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10 huruf a
Pasal 10 huruf b
Pasal 10 huruf c
4 Pemerasan Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf g
Pasal 12 huruf f
5 Perbuatan Curang Pasal 7 ayat (1) huruf a
Pasal 7 ayat (1) huruf b
Pasal 7 ayat (1) huruf c
Pasal 7 ayat (1) huruf d
Pasal 7 ayat (2)
Pasal 12 huruf h
6 Benturan Kepentingan Dalam Pasal 12 huruf i
Pengadaan
7 Gratifikasi Pasal 12B jo Pasal 12C
Sumber : Diolah dari Komisi Pemberantasan Korupsi50

Adapun pengkualifikasian jenis-jenis tindak pidana korupsi ke

dalam 7 (tujuh) kelompok dijabarkan sebagai berikut;51

50
Komisi Pemberantasan Korupsi., Op.,Cit., hlm. 20
51
Ermansjah Djaja, 2013, Memberantas Korupsi Bersama KpK, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 57
28

1) Korupsi terkait dengan keuangan negara, yaitu; yang dilakukan dengan

cara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat

merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk

menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara.

2) Korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap, yakni menyuap pegawai

negri; memberi hadiah kepada pegawai negri karena jabatannya; pegawai

negri menerima suap; pegawai negri menerima hadian yang berhubungan

dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; dan hakim dan

advokat yang menerima suap.

3) Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, yakni pegawai

negri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai

negri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai

negri yang membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negri yang

membantu orang lain merusakkan bukti.

4) Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yakni pegawai negri

yang memeras; pegawai negri yang memeras pegawai negri yang

lainnya.

5) Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, yaitu pemborong yang

berbuat curang; pengawas proyek mebiarkan perbuatan curang rekanan

TNI/Polri berbuat curang; pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan

perbuatan curang; penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan


29

curang; pegawai negri menyerobot tanah negara, sehingga merugikan

orang lain.

6) Korupsi yang terkait dengan bantuan kepentingan dalam pengadaan,

yakni pegawai negri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.

7) Korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi, yakni pegawai negri yang

menerima gratifikasi dan tidan melapor kepada Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Selain bentuk dan jenis tindak pidana korupsi sebagaimana telah

dikualifikasikan ke dalam 7 (tujuh) kelompok diatas, masih ada tindak

pidana lain yang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi yang

tertuang dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak

pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu yaitu;52

1) Merintangi proses proses pemeriksaan tindak pidana korupsi

2) Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

3) Bank yang tidak memberikan keterangan rekning tersangka

4) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan

palsu

5) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau

memberi keterangan palsu

6) Saksi yang membuka identitas pelapor

Dari kualifikasi tindak pidana korupsi diatas, tindak pidana korupsi

memiliki sifat dan batasannya masing-masing sesuai dengan bentuk


52
Ibid., hlm. 58
30

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi, baik tindak

pidana yang menyangkut kerugian keuangan negara, suap-menyauap,

penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan

kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Meskipun terdapat perbedaan

dalam bentuk perbuatannya, tetapi memiliki implikasi yang sama, yakni

pada sifat yang merugikan orang lain dan bahaya bagi kehidupan bangsa

dan negara.

Oleh karena itu pemberantasan tindak pidanya korupsi meski

dilakukan lebih extra daripada tidak pidana lainya mengingat implikasi

buruk yang sangat luas yang ditimbulkan bagi kelangsungan negara dan

kesejahtraan masyarakat. Dengan demikian pengkualifikasikan 30 (tiga

puluh) jenis tindak pidana korupsi ke dalam 7 (tujuh) dapat mempermudah

penanganan bagi aparatur penegak hukum dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi yang semakin canggih dan masif di Indonesia.

3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun terus

meningkat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian

keuangan negara maupun dari segi kulitas tindak pidana yang dilakukan

semakin sistemik serta cakupannya melingkupi segenap aspek kehidupan

masyarakat. Dengan demikian kesadaran masyarakat akan bahaya yang

ditimbulkan oleh perbuatan korupsi sangat besar, karena menyangkut

kerugian keuangan dan perekonomian negara yang menjadi jantung

akomodasi kesejahtraan dan pembangunan bangsa. Menurut A. Rachman


31

Zainuddin dalam Jur Andi Hamzah menyatakan bahwa; “Sekarang, korupsi

dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga menyengsarakan suatu

bangsa”.53 Prilaku korupsi sudah sangat menghawatirkan, mengingat

kelangsungan perekonomian dan pembangunan dalam rangka

mensejahtrakan rakyat mejadi terhambat dan terhenti.

Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dalam

memeberantas tindak pidana korupsi sejak tahun 1950-an Indonesia telah

melakukan berbagai upaya strategis dengan mengeluarkan beberapa regulasi

hukum berupa peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan

tindak pidana korupsi.54 Regulasi hukum tersebut terus dilakukakan

pembaharuan dan peremajaan untuk dapat menyesuaikan dengan

perkembangan tindak pidana korupsi yang semakin canggih.

Pembaharuan hukum tidak sekedar memperbaharui peraturan

perundang-undangan hukum pidana saja, namun juga memperbaharui

sektor-sektor lain seperti ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana

melalui proses pendidikan dan pemikiran akademik.55 Adapun usaha untuk

melakukan peremajaan regulasi hukum mengenai tindak pidana korupsi

merupakan ruang lingkup daripada politik hukum pidana.56 Menurut

Sudarto, pengaturan hukum pidana merupakan cerminan idiology politik

dari suatu bangsa dimana hukum itu hidup dan berkembang, dan seluruh

53
Jur. Andi Hamzah, 2004, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 2
54
Moh Hatta (a), 2014, KPK dan Sistem peradilan Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1
55
Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Penyalahgunaan
Komputer , Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 11
56
M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika Jakarta. hlm.59
32

bangunan hukum bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan

konsisten.57

Kebijakan perubahan hukum tidak terlepas dari kepentingan yang

diatur untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, menyesuaikan dengan

kepentingan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia, berkenaan

dengan tujuan pemenuhan kepentingan masyarakat baik untuk saat ini

maupun yang akan datang, dalam rangka pembangunan sosial dan

kesejahtraan masyarakat. Adapun sejak kemerdekaan Indonesia telah ada

beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yaitu;58

1) Peraturan Penguasa militer yang terdiri atas;

a) Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh

Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan

Angkatan Darat.

b) Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1057 yang memuat

tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk

menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan

berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan

(perbuatan korupsi lainnya) lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang

dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).

c) Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/001/1057 merupakan

peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki

oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta

57
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 63
58
Evi Hartati, Op.,Cit, hlm. 22
33

benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil

menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.

d) Putusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor

PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.

e) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor

PRT/z.1/1/7.1958 tanggal 17 April 1958.

2) Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan,

dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini merupakan

perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1961.

3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19;TNLRI 2958)

tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi.

4) Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas KKN;

5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang bersih dan Bebas KKN;

6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

7) Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.
34

8) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Jika dilihat berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang

pernah berlaku.59 Pada hakikatnya Indonesia yang pertama mencanangkan

suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi di Asia. Penguasa

Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang dijabat oleh Jendral A.H

Nasution menciptakan suatu peraturan untuk memberantas korupsi yang

implikasinya sudah tampak pada tahun 1957,60 yang artinya bahwa

pengaturan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sudah cukup lama dan

terus dilakukan perubahan dan peremajaan demi menyempurnakan kembali

aturan yang sebelumnya demi mengakomodasi segala perbuatan korupsi

yang bersifat kebaharuan dalam rangka pemberantasan korupsi.

Konsekuensi dari perubahan dan pergantian regulasi hukum

mengenai tindak pidana korupsi menyebabkan tidak banyak aturan hukum

yang bertahan lama untuk mengatur tindak pidana korupsi, akan tetapi

perubahan regulasi yang dilakukan ditujukan untuk menyesuaikan

perkembangan tindak pidana korupsi yang terjadi. Oleh karena itu

diperlukan metode dan cara tertentu agar mampu membendung meluasnya

tindak pidana korupsi.

Mencermati konsideran Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

59
IGM Nuerdjana, Op., Cit, hlm. 76
60
Jur Andi Hamzah, Op., Cit, hlm 78
35

Korupsi yang menjadi dasar pemberantasan korupsi saat ini, sebagaimana

yang ditegaskan dalam ketentuan umum. Maka sesungguhnya kehadiran

undang-undang ini merupakan wujud dari kehendak hukum masyarakat

yang dituangkan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.61

Selain peraturan perundang-undangan nasional yang telah ada,

dalam rangka usaha pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia telah

meratifikasi beberapa perjanjian internasional kedalam hukum nasional

dalam rangka menyempurnakan dan mengefektifkan pemberantasan

korupsi, antara lain Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), 62 ke dalam

hukum nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006

tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Adapun yang

menjadi alasan diratifikasinya konvensi ini sebagai berikut;

1) Tindak pidana tidak lagi merupakan masalah lokal, akantetapi


merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya
kerjasama internasional untuk mencegah dan pemberantasannya
termasuk termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil
tindak pidana korupsi;
2) Kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas,
akuntabilitas,dan menejemen pemerintahan yang baik;63

Kebijakan pemerintah dengan meratifikasi konvensi ini merupakan

salah satu upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dalam konvensi

61
Yudi Kristiana, Op.,Cit., hlm. 77
62
Redatin Perwadi, 2010, Koruptologi, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 12
63
Konsideran huruf b dan huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
36

ini mensyaratkan bagi negara-negara yang meratifikasi untuk mengatur atau

mengkriminalisasi perbuatan sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi,

serta melakukan kerjasama dalam upaya memerangi dan memberantas

tindak pidana korupsi.

Konvensi internasional ini menunjukkan bahwa korupsi sudah

tidak lagi menjadi dimensi nasional namun sudah menjadi perbuatan yang

dikriminalisasi secara internasional dan menjadi musuh bersama bagi

negara-negara yang meratifikasinya. Dengan adanya kerjasama lintas negara

yang diikat oleh konvensi tersebut memiliki beberapa tujuan yaitu;

1) Meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk


mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan
efektif;
2) Meningkatkan, memudahkan dan mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknik dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi, termasuk memperoleh pengembalian
aset;
3) Meningkatkan integritas, akuntabilitas dan pengelolaan
masalah-masalah dan kekayaan publik yang baik dan bener.64

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang diwujudkan

dalam regulasi peraturan perundang-undangan nasional atau ketentuan

Konvensi Internasional yang dinasionalkan kedalam hukum nasional, dalam

upaya meningkatkan etos kerja dengan arah tujuan pada pemidanaan

terhadap pelaku, baik berupa pidana penjara maupun pidana denda atas

tindak pidana korupsi yang dilakukan adalah fungsi preventif dan represif

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

64
Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum Dan Khusus, PT. Alumni,
Bandung, hlm. 315
37

Adapun fungsi preventif sama dengan fungsi hukum pidana pada

umumnya, yakni untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak

melakukan perbuatan pidana.65 Dalam hal ini bertujuan untuk menakut-

nakuti agar mereka tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan

fungsi represif, dalam penanggulangan korupsi, isu pokoknya adalah

mengembalikan aset (aset recovery) tindak pidana korupsi, selain

pencegahan dan pemberantasann tindak pidana korupsi,66 serta memberikan

hukuman (pidana) kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan tersebut.

Apabila kedua fungsi tersebut dapat diejawantahkan dengan bersamaan

secara maksimal, maka akan sangat efektif dalam penanggulangan tindak

pidana korupsi yang terjadi.

B. Tinjauan Tentang Pembuktian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bukti” terjemahan dari

Bahasa Belanda, bewijs diartikan sebagai suatu yang menyatakan kebenaran

suatu peristiwa.67 Dalam kamus hukum bewijs diartikan sebagai segala sesuatu

yang memeperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidak benaran fakta lain

65
Eddy O.S. Hiariej,. Op.,Cit., hlm. 2.2
66
Agustinus Herimulyanto, 2019, Sita Berbasis Nilai Pengembalian Aset Tindak Pidana
Korupsi, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 1
67
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 3
38

oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberikan bahan kepada

hakim bagi penilaiannya.68

Pengertian bukti, membuktikan dan pembuktian dalam konteks hukum

tidak jauh berbeda dengan dengan pengertian pada umumnya.69 Membuktikan

berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai

kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.70

Menurut R. Subekti,71 yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan. Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.

Dengan demikian nampaknya bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan

dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.72

Menurut Munir Faudy,73 yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu

hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun

acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah

dlakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu

fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan

dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak

seperti yang dinyatakan itu.

68
Ibid., hlm 3
69
Ibid., hlm 3
70
Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit.,hlm. 3
71
R. Subekti, 2018, Hukum Pembuktian, Balai Pustaka, Jakarta. hlm. 1
72
R. Subekti., Op.,Cit., hlm. 1
73
Munir Fuady, 2018, Toeri Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT. Citra Aditya,
Bandung, hlm 1
39

Menurut Bambang Poernomo,74 menyatakan bahwa suatu pembuktian

menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi

atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak

dengan fikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang

menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana.

Menurut Andi Hamzah,75 Pembuktian sebagai upaya mendapatkan

keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna

memperoleh suatu keyakinan atas benar tidak perbuatan pidana yang

didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

Menurut Marcus Priyo Gunarto,76 menyatakan bahwa pembuktian

perupakan bagian yang sangat penting bagi hukum acara pidana. Dalam hukum

acara pidana pembuktian sangat esensial karena yang dicari dalam perkara

pidana adalah kebenaran matril.

Pembuktian tidaklah lepas dari beberapa definisi prihal bukti,

membuktikan dan pembuktian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bukti

merujuk pada alat-alat bukti termasuk barang bukti yang menyatakan

kebenaran suatu peristiwa. Sementara itu, pembuktian merujuk pada suatu

proses terkait mengumpulkan bukti memperlihatkan bukti, sampai pada

penyampaian bukti tersebut ke persidangan.77

“Secara umum dalam perkara pidana di Indonesia, masalah


pembuktian diatur di dalam KUHAP. Kata pembuktian terdapat dapat

74
Bambang Poernomo, 1995, Hukum Acara Pidana Pokok-Pokok Peradilan Pidana Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 38
75
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 77
76
Marcus Priyo Gunarto, 2018, Dekonstruksi Putusan Bebas & Putusan Lepas Dari Segala
Tuntutan Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 36
77
Eddy O.S. Hiariej,. Op.,Cit.,, hlm. 4
40

ditemukan sebanyak 13 (tiga belas) kali di dalamnya. Kata pembuktian


terdapat dalam Pasal 1 angka 16 dan Pasal 45 terkait mengenai
penyitaan. Pasal 66 mengenai beban pembuktian. Pasal 82 ayat (1)
huruf b dan Pasal 82 ayat (3) huruf d terkait mengenai Praperadilan.
Pasal 134 ayat (1) terkait mengenai penyidikan. Pasal 181 ayat (3)
terkait acara pemeriksaan biasa. Sebagai judul bagian keempat dari Bab
XVI mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 187 huruf b
dan huruf d terkait mengenai alat bukti surat. Pasal 188 ayat (3) terkait
mengenai alat bukti petunjuk. Pasal 197 ayat (1) huruf d terkait
mengenai isi dari surat putusan pemidanaan. Pasal 203 ayat (1) terkait
mengenai acara pemeriksaan singkat”.78
“Pembuktian merupakan hal yang sangat krusial dalam
menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Pembuktian merupakan
jantung dalam persidangan suatu perkara di pengadilan karena
berdasarkan pembuktianlah hakim akan mangambil putusan mengenai
benar-salahnya atau menang kalahnya seseorang dalam berperkara.
Pembuktian tidaklah mungkin terlepas dari hukum pembuktian itu
sendiri sebagai ketentuan-ketentuan pembuktian yang meliputi alat
bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai
pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan
beban pembuktian.
Ada empat hal terkait konsep pembuktian yang sangat
fundamental. Pertama, suatu bukti haruslah relevan. Artinya bukti
tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu
kebenaran dari suatu peristiwa hukum yang sedang disengketakan di
pengadilan. Kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima (admissible).
Bukti yang dapat diterima dengan sendirinya relevan. Namun tidak
sebaliknya, suatu bukti yang relevan, belum tentu dapat diterima.
Tegasnya, primifacie dari bukti yang diterima adalah bukti yang
relevan. Ketiga, apa yang disebut exclusionary rules atau exclusionary
discretion. Phyllis B. Gerstenfeld mendefinisikan exclusionary rules
sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang
diperoleh secara melawan hukum. Keempat, adalah evaluasi terhadap
bukti. Artinya, hakim harus menilai setiap alat bukti yang diajukan ke
pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu dengan bukti yang lain
dan kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar
pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.
Selain empat konsep fundamental dan faktor-faktor yang
berkaitan dengan pembuktian juga terdapat parameter dalam
pembuktian yaitu; Pertama adalah apa yang dimaksud sebagai
bewijstheorie, adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar
pembuktian oleh hakim di pengadilan. adapun teori pembuktian ini
meliputi positief wettelijk bewijstheorie, yang mana hakim terikat
secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang. Artinya jika
dalam pertimbangan, hakim hakim telah menganggap suatu perbuatan
78
Marcus Priyo Gunarto,. Op.,Cit., hlm. 36-37
41

terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-


undang tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan.
Sedangkan dalam kontek perkara pidana di Indonesia, teori pembuktian
yang dipakai adalah negatief wettelijk bewijstheorie. Dalam teori
pembuktian ini, dasar pembuktian itu menurut pada keyakinan hakim
yang timbul menurut alat-alat bukti dalam undang-undang secara
negatif. Pembuktian yang demikian bukanlah pembuktian yang mudah
karena di satu sisi secara objektif hakim harus berpegang kepada alat
bukti yang sah, namun disisi lain keyakinan hakim yang sangat
subjektif sifatnya harus menentukan benar-salahnya terdakwa.
Kedua, bewijsmiddelen yaitu alat-alat yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadi suatu peristiwa hukum. Apa saja yang
merupakan alat bukti yang sah di pengadilan, semuanya diatur dalam
hukum acara masing-masing. Dalam penyelesaian perkara perdata, alat
bukti yang sah digunakan adalah bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan sumpah dan ahli. Berbeda dengan
penyelesaian perkara pidana yang menggunakan lima alat bukti yang
sah, masing-masing alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat
petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan due process of law
sebagai prinsip-prinsip dalam hukum acara yang berlaku secara
universal, mengakui adanya empat alat bukti yaitu saksi, ahli, dokumen
dan real evidence atau physical evidance yang dalam kontek hukum
acara di Indonesia dikenal dengan istilah bukti.
Ketiga, Bewijsvoering yang diartikan sebagai penguraian cara
bagaimana alat-alat bukti diperoleh, dikumpulkan dan disampaikan di
depan sidang pengadilan. Dalam due process model, negara begitu
menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga semata-mata menitik
beratkan pada hal hal yang bersifat formalistis. Konsekuensi
selanjutnya, seringkali mengesampingkan kebenaran fakta yang ada.
Keempat, bewijslast atau burden of proof adalah pembagian beban
pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
suatu peristiwa hukum. Dalam perkara perdata yang diembani
kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang mendalihkan bahwa
ia mempunyai suatu hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri atau
membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa.
Hal ini berdasarkan asas actori incumbit probatio yang berarti siapa
yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Demikian pula dalam
perkara pidana berlaku asas actori incumbit onus probandi yang berarti
siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan sehingga jaksa
penuntut umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa.
Kelanjutan dari asas actor incumbit onus probandi adalah asas actore
non probante, reusabsolvitur yang berarti jika tidak dapat dibuktikan
maka terdakwa harus dibebaskan.
Kelima, bewijskracht yang dapat diartikan sebagai kekuatan
pembuktian dari masing-masing alat bukti. Penilaian tersebut
merupakan otoritas hakim yang menilai dan menentukan kesesuaian
42

antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Dalam hukum
acara pidana, kekuatan semua lat bukti pada hakikatnya adalah sama
dan tidak mengenal adanya hirarkitas. Dalam hukum acara perdata
meskipun tidak mengenal hirarkitas alat bukti, namun alat bukti tertulis
mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Terlebih akta authentik
adalah probatio plena yang berarti mempunyai kekuatan pembuktian
penuh dan sempurna yang kedudukanya sangat kuat kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Keenam, bewijs minimmum atau bukti minimum
yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim.
Berkaitan dengan bewijs minimmum, juga dikenal istilah probative
evidence. Artinya, bukti probatif cendrung membuktikan proporsi suatu
isu dalam sebuah kasus. Tegasnya, memberikan kesempatan pada triers
of fact atau hakim yang memeriksa fakta untuk menyimpulkan sebuah
fakta penting agar dapat diterima dipengadilan, nilai probatif suatu
bukti harus memiliki suatu bobot yang melebihi nilai prejudisialnya”.79

Pembuktian perkara tidak pidana pada dasarnya menjadi kewajiban

pihak yang mendalilkan, yang dalam hal tindak pidana merupakan kompetensi

dari jaksa penuntut umum. Hal ini berdasarkan asas actori in cumbit probatio,80

/ actori incumbit unus probandi / actor non probante, reus absolvitur, yang

berarti siapa yang menuntut haknya, dia yang wajib membuktikan / siapa yang

mendakwakan, dialah yang membuktikan, jika tidak bisa dibuktikan terdakwa

harus dibebaskan. Namun dalam perkembangannya beban pembuktian tidak

selamanya dibebankan pada jaksa penuntut umum, namun juga dapat

dibebankan kepada terdakwa. Dalam praktik, baik jaksa penuntut umum

maupun terdakwa atau penasehat hukumnya saling membuktikan di depan

persidangan.81

Lazimnya jaksa penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa

sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukumnya akan

79
Eddy O.S. Hiariej, “Pembukrian Terbalik Dalam Pengembalian Kejahatan Korupsi”, Pidato,
Pengukuhan guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30
Januari 2012.
80
Eddy O.S. Hiariej., Op.,Cit. hlm. 23
81
Eddy O.S. Hiariej., Op.,Cit. hlm. 23
43

membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan.82 Dalam

kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas

pembalikan beban pembuktian “berimbang” seperti dikenal di Amerika Serikat

dan juga Indonesia.83

C. Tinjauan Tentang Audit Keuangan Negara

Secara garis besar audit dapat diartikan sebagai suatu pemeriksaan yang

dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak independent terhadap laporan

keuangan yang telah disusun oleh menejemen beserta catatan pembukuan dan

bukti pendukungnya.84 Proses auditing tersebut dilaksanakan oleh auditor, yaitu

akuntan publik yang memberikan jasa pada auditan untuk memeriksa laporan

keuangan agar bebas dari salah saji.85

Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) merupakan suatu lembaga

negara yang didirikan berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 23E ayat (1)

menyebutkan bahwa “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab

tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang

bebas dan mandiri”. Dan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No

15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara menyebutkan bahwa “Pemeriksaan pengelolaan dan

tanggungjawab keuangan negara dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur

82
Lilik Mulyadi., Op.,Cit., hlm. 86
83
Ibid., hlm. 87
84
Boby Segah, “Dua Sisi Auditing; Eksternal dan Internal Pemerintah”, Anterior Jurnal, Vol.
18 Issue 1 Desember 2018.
85
Ibid.
44

keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara”.

Dalam menjalankan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab

keuangan negara BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis

pemeriksaan, yakni:

a. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan


pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan
ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan
opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan pemerintah.
b. Pemeriksaan kerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomis dan
efesiensi, serta pemeriksaan atas efektivitas yang lazim dilakukan
bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern
pemerintah.
c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan tujuan khusus, diluar pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja.86

Adapun kewenangan BPK untuk mengaudit kerugian negara yang

diduga diakibatkan oleh perbuatan yang melawan hukum diatur dalam

ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan

Pemeriksa Keuangan yaitu:

(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang


diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik secara sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola
BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2) Penilaian Kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang
berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan ganti kerugian, BPK berwenang
memantau;
a. Penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh
Pemerintah terhadap pegawai negri bukan bendahara dan
pejabat lain;
86
Penjelasan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
45

b. Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada


bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan
lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh
BPK; dan
c. Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang
ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya.87

Jika dalam pemeriksaan dimungkinkannya ditemukan kerugian negara

yang diakibatkan oleh perbuatan pidana maka selanjutnya BPK dapat

melakukan pemeriksaan investigatif lebih lanjut. Tujuan Pemeriksaan

Investigatif berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang No. 15 Tahun

2004 menyebutkan bahwa “Pemeriksaan dapat melaksanakan pemeriksaan

investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau

unsur pidana”. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-

Undang No 15 Tahun 2006 menyebutkan bahwa “apabila dalam pemeriksaan

ditemukan unsur pidana, BPK melapor hal tersebut kepada instansi yang

berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling

lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut”.

D. Tinjauan Tentang Keterangan Ahli

1. Definisi Ahli

Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia, ahli didefinisikan sebagai

seseorang yang mahir atau mempunyai keahlian dalam suatu keilmuan. 88

87
Lihat, Pasal 10 Undang-Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Negara
88
WJS. Purwadarmita, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. hlm. 24
46

Dalam Kamus Hukum, ahli sebagai deskundige zaakundige (Bahasa

Belanda) diartikan sebagai orang yang memiliki kemahiran dalam suatu

ilmu pengetahuan.89

Menurut Phyllis B. Gerstenfeld dalam Eddy O.S. Hiariej, 90

memberikan definisi saksi ahli atau expert witnesess sebagai saksi yang

berkualifikasi untuk menjadi ahli dalam bidangnya seperti ilmuan, ahli

medis, dan ahli khusus yang lain. Selanjutnya menurut Arthur Best dalam

Eddy O.S. Hiariej,91 berpendapat bahwa expert testimony atau kesaksian ahli

adalah kesaksian yang didasarkan pengalaman pada umumnya dan

pengetahuan yang didasarkan pada keahliannya terhadap fakta-fakta suatu

kasus.

Menurut Tristram Hodgkinson dan mark James dalam Eddy O.S.

Hiiariej,92 memberikan definisi ahli ke dalam dua diskripsi. Pertama,

berpengalaman, yaitu seorang yang berpengalaman dan mendapatkan

kecakapannya dari pengalaman tersebut. Kedua, terlatih oleh pengalaman

atau praktik, cakap, trampil sebagaimana seseorang yang memiliki

pengetahuan atau keterampilan tertentu dan menjadikan ia sebagai spesialis.

Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, KUHAP tidak

memberikan definisi mengenai ahli, namun memberikan pengertian

mengenai keterangan ahli.93 Pasal 1 butir 28 KUHAP menyatakan bahwa

keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

89
Soebekti, 2008, Kamus Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, hlm. 8
90
Eddy O.S. Hiariej.,Op.,Cit.,hlm. 65
91
Ibid., hlm. 62
92
Ibid., hlm. 62
93
Ibid., hlm. 63
47

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan.

2. Keterangan Ahli Pada Tahap Penyidikan

Penyidikan merupakan tahap awal dalam proses perkara pidana.

Dalam Bahasa Belanda penyidikan sama dengan opsporing. Menurut Pinto

dalam Afrialdo Masrizal, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan

permulaan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang segera

setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar sekedar beralasan,

bahwa ada terjadi suatu pelanggaran.94

Pada proses penyidikan aparat kepolisian yang diberikan

kewenangan untuk melakukan penyidikan kerap kali menemukan peristiwa-

peristiwa yang terjadi di kalangan masyarakat dengan perbuatan yang

dipadang sumir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Sehingga kehariran orang ahli sangan diperlukan untuk menjernihkan

persoalan apakah perbuatan yang terjadi di dalam masyarakat merupakan

perbuatan melawan hukum atau tidak. Dan jika suatu perbuatan yang terjadi

dinilai merupakan perbuatan yang melawan hukum, lantas bagaimana

mengkualifikasikan perbuatan tersebut dalam keberlakuan aturan positif

yang telah ada.

Diperkenankannya dapat memita keterangan ahli pada tahap

penyidikan dalam proses hukum acara pidana didasarkan pada ketentuan

Pasal 120 KUHAP sebagai berikut:


94
Afrialdo Masrizal, “Pelaksanaan Penyelidikan Dan Penyidikan Perkara Pidana Oleh
Kepolisian Terhadap Laporan Masyarakat”, JOM Fakultas Hukum Vol. III No. 2 Oktober
2016.
48

(1)Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta


pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2)Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di
muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut
pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta maertabat, pekerjaan atau jabatan yang
mewajibkan iamenyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.95
Keterangan ahli pada tahap penyidikan berfungsi untuk
memberikan masukan bagi penyidik dalam menempatkan atau
memperjelas suatu perkara pidana yang sedang diperiksa ataupun
untuk memposisikan fakta perkara itu apakah sudah terpenuhi atau
tidak terhadap pasal-pasal yang dikenakan bagi tersangka.
Pemeriksaan keterangan ahli hanya apabila penyidik menganggap
perlu, terutama terhadap orang-orang yang memiliki keahlian
khusus, dengan maksud agar peristiwa tindak pidana yang sedang
dilakukan penyidikan semakin terang.96

3. Keterangan Ahli Pada Tahap Penuntutan

Dalam tahap penuntutan, tindakan Jaksa Penuntut Umum untuk

melakukan penuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

menyebutkan bahwa dibidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan

wewenang untuk melakukan penuntutan.

Dalam rangka melengkapi berkas perkara keterangan ahli juga dapat

digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengacu pada ketentuan

Pasal 179 KUHAP yang menyebutkan bahwa “setiap orang yang diminta

pendapatnya sebagai orang ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli

lainnya wajib memberikan keterangan demi keadilan”. Keterangan ahli

95
Lihat, Pasal 120 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
96
Gigik Tri MR, Nurbaedah, “Perenan Keterangan Saksi/Ahli Dalam Proses Penyidikan Tindak
Pidana Untuk Menuju Terangnya Keadilan Dalam Proses Hukum Di Indonesia”, Mizan Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 1 Juni 2019
49

hanya apabila dianggap perlu oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dasar

ketentuan untuk terangnya suatu perkara demi keadilan.

4. Keterangan Ahli Pada Tahap Persidangan

Dalam rangka demi untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran

sejari, ketua sidang tidak hanya berpaut pada bahan dan keterangan yang

telah tertuang dalam berita acara penyidikan saja, tetapi harus berusaha

meminta keterangan ahli dan bahan baru dari terdakwa, Penuntut Umum

atau pihak yang berkepentingan.97 Memberikan keterangan ahli adalah

sebuah kewajiban, namun kewajiban tersebut dapat terlaksana apabila

kepadanya telah dilakukan permintaan (permohonan) menurut prosedur

yang berlaku baik oleh Penyidik, Jaksa atau Hakim menurut tahapan

pemeriksaan, termasuk oleh tersangka/terdakwa atau penasehat hukum.98

Seorang ahli yang diminta untuk menghadap di persidangan

sehubungan dengan keahliannya yang diperlukan dalam suatu perkara yang

disidangkan, maka ia wajib untuk datang memberikan keterangan ahli.

Bilamana ahli tersebut enggan atau menoilak dengan seangaja untuk tidak

memenuhi kewajibannya sebagai ahli dalam perkara yang sedang di

sidangkan. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 224 KUHP menyebutkan

bahwa;

Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru


bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya,
diancam:

97
M Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
230
98
Kurniawan Syahirul Alim, Op.,Cit., hlm. 55
50

1) Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama


sembilan bulan;
2) Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam
bulan.99

Adapun mengenai ketentuan keharusan memberikan keterangan ahli,

sama halnya juga dengan kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi

berlaku juga bagi orang yang memberikan keterangan ahli, maka ketentuan

sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 186 jo Pasal 169 KUHAP

tentang mereka yang tidak dapat didengar keterangan dan pendapatnya

dapat mengundurkan diri sebagai saksi, berlaku juga bagi ahli.

Adapun ketentuan mengenai pengecualian kewajiban sebagai saksi

atau ahli diamuat dalam ketentuan Pasal 170 KUHAP yang menyebutkan

bahwa;

1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya


diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta kebebasan dari
kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi yaitu
tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.

Permintaan keterangan ahli di sidang pengadilan diperlukan apabila

pada waktu pemeriksaan penyidikan belum diminta keterangan ahli. Akan

tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu

pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika ketua sidang

atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap

perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, dapat meminta

99
Lihat, Pasal 224 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
51

keterangan ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang

pengadilan.100

Berdasarkan ketentuan Pasal 180 ayat (1) KUHAP menyebutkan

bahwa “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan

yang timbul disidang pengadilan hakim ketua sidang dapat meminta

keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang

berkepentingan”. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan pada saat

sidang pengadilan berbentuk keterangan lisan dan secara langsung diberikan

dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitra.

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sitematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. 101

100
Kurniawan Syahrul Alim., Op.,Cit., hlm. 54
101
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitan Indonesia Press, Jakarta,
hlm. 43
52

Menurut Syaifudin,102 penelitian (reserch) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah

dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Menurut F Sugeng Istano,103

penelitian sebagai serangkaian kegiatan yang teratur yang membantu

pengembangan ilmu dalam mengungkapkan suatu kebenaran. Suatau penelitian

ilmiah yang menghasilkan jawaban ilmiah memerlukan metode penelitian.

Dengan metode penelitian, seseorang peneliti atau penulis hukum akan

mengetahui kualitas hasil penelitiannya.104

A. Jenis Penelitian

Penggolongan jenis-jenis research sangat tergantung kepada pedoman

dari segi mana penggolongan itu ditinjau. 105 Penelitian dalam penulisan hukum

ini adalah penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter

perspektif ilmu hukum.106 Penelitian hukum jika ditinjau dari sifatnya, terbagi

menjadi tiga yaitu;107

1. Penelitian eksploratoris (menjelajah) adalah penelitian yang dilakukan

apabila pengetahuan tentang suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang

atau bahkan tidak, yang bertujuan untuk memperoleh data awal;

2. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberi

data yang diteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya;

102
Azwar Saifudin, 2005, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 1
103
F. Sugeng Istano, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm. 2
104
Fajlurrahman Jurdi, 2017, “Logika Hukum, Kencana, Yogyakarta, hlm. 162
105
Sutrisno Hadi, 1987, Metodologi Research, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 3
106
Marzuki Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Yogyakarta, hlm. 35
107
Fajlurrahman Jurdi Op.,Cit., hlm 9-10
53

3. Penelitian eksplanatoris adalah penelitian yang dilakukan apabila

pengetahuan masalah yang terutama dimaksudkan untuk menguji hipotesa-

hipotesa tertentu.

Berdasarkan jenis penelitian diatas penelitian ini apabila dilihat dari

sifatnya merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang dilakukan untuk

memberikan gambaran yang jelas tentang kekuatan pembuktian (bewijskracht)

keterangan ahli oleh seorang auditor yang disertai alat bukti tertulis hasil audit

yang telah diberikan sebelunya dalam pemeriksaan perkara tindak pidana

korupsi.

Ditinjau dari bentuknya jenis penelitian hukum terbagi menjadi tiga

bentuk yaitu;108

a. Penelitian diagnostik merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk

mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu

gejala atau beberapa gejala;

b. Penelitian preskriptif merupakan suatu penelitian yang ditujukan

untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan

untuk mengatasi masalah tertentu;

c. Penelitian evaluatif merupakan penelitian yang umumnya dilakukan

apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan;

Apabila dilihat dari bentuknya, maka penelitian ini masuk dalam

katagori penelitian preskriptif yakni penelitian yang dilakukan untuk mencari

dan mendapatkan pemahaman, saran dan penyelesaian mengenai kekuatan

pembuktian (bewijskracht) pengajuan alat bukti keterangan ahli seorang


108
Soerjono Soekanto, Op.,Cit., hlm. 43
54

auditor yang disertai alat bukti terlulis hasil audit dalam perkara tindak pidana

korupsi.

Jenis penelitian apabila ditinjau dari dari sudut datanya, penelitian

hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu;109

a. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang datanya diambil dari

bahan pustaka.

b. Penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang datanya diperoleh

langsung dari masyarakat.

Dalam penulisan hukum yang berjudul “Kekuatan Pembuktian

(Bewijskracht) Terhadap Pengajuan Alat Bukti Keterangan Ahli Disertai Alat

Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi” penulis

menggunakan penelitian hukum normatif-empiris. penelitian hukum normatif-

empiris, yang dapat disebut juga penelitian hukum normatif-terapan (applied

law research) adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau

implementasi katantuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau

kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi

dalam masyarakat.110 Dalam penelitian ini peneliti menggabungkan data yang

diperoleh melalui penelusuran kepustakaan mengenai asas-asas dalam hukum

acara pidana sebagai das sollen dan penelitian lapangan mengenai penerapan

dari asas tersebut sebagai das sein.

B. Bahan Penelitian

109
Ibid., hlm. 11
110
Abdulkadir Muhammad, 2004, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
31
55

Pada dasarnya data dalam penelitian hukum terdiri dari data primer dan

data sekunder. Dalam penelitian penulis yang menggunakan penelitian

normatif-empiris, maka dalam penelitian ini data yang digunakan lebih

mengutamakan data primer yang berasal dari subjek penelitian. Selain itu data

juga akan diperoleh dari penelusuran kepustakaan yakni mengkaji dan

menelaah darta skunder. Data primer dan data skunder dalam penelitian ini

yaitu;

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya.111

Data primer diperoleh langsung melalui wawancara dan/atau survei di

lapangan yang berkaitan denagan prilaku masyarakat.112 Data primer

merupakan perolehan data dari penelitian lapangan yang dilakukan untuk

mendukung data sekunder dengan cara mewancarai narasumber.

Narasumber merupakan orang yang memiliki ilmu pengetahuan khusus dan

pengalaman terkait dengan data yang dibutuhkan.113 Wawancara merupakan

sutu proses interaksi dan komunikasi yang hasilnya ditentukan oleh kualitas

dari beberapa faktor yang saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan

yang lainnya.114 Adapun narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Hakim

Tipikor, Jaksa Penuntut Umum, dan Guru Besar Hukum Pidana.

2. Data Sekunder

111
Maria S.W Sumardjono, 2014, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Hukum, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 16
112
Zainal Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 23
113
Ibid.
114
Mukri Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 161
56

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan

kepustakaan.115 Dalam penelitian hukum data sekunder dapat digolongkan

menjadi 3 (tiga) karakteristik kekuatan mengikatnya.116 Data sekunder dalam

penelitian ini adalah;

a) Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum atau ketentuan yang

mengikat, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan

dengan objek penelitian,117 antara lain;

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara

Negara yang bersih dan Bebas KKN;

4) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5) Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

6) Undang-Undang No 30 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 19 Tahun

2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7) Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.

115
J. Supranto, 2003, Metode Penelitian hukum dan Statistik, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 2
116
Zainal Ali., Op.,Cit., hlm. 23
117
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 163
57

b) Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang mendukung bahan

hukum primer seperti buku-buku teks, artikel dalam berbagai majalah

ilmiah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literatur pendapat para

sarjana (doktrin).118 Adapun bahan-bahan yang berhubungan erat dengan

bahan hukum primer, yaitu;

1) Buku-buku yang berkaitan dan berisi materi tentang tindak pidana

korupsi.

2) Buku-buku tentang pembuktian dalam tindak pidana.

3) Bahan-bahan berupa artikel, jurnal, dan makalah yang membahas

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukti keterangan

ahli.

4) Hasil penelitian yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi, pembuktian tindak pidana korupsi, dan penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi.

5) Media masa yang memuat informasi yang berkaitan dengan

pemberanasan tindak pidana korupsi.

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang memberikan

pemahaman dan pengertian.119 Bahan hukum tersier atau bahan hukum

penunjang, pada dasarnya mencakup:120

118
M Hadin Muhjad dan Nunung Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer,
Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 51
119
Zainal Ali., Op.,Cit., hlm. 24
120
Soerjono Soekanto, 2014, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 33
58

1) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum skunder, yang lebih dikenal dengan nama

bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.

Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang-undangan,

bibiolografi hukum direktori pengadilan, ekslopedia hukum, indeks

majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang

hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu

politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum

dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

C. Lokasi dan Subyek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah kota Jakarta.

Karena lokasi yang dipilih oleh penulis merupakan lokasi berlangsungnya

persidangan tindak pidana korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas

(SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menghadirkan bukti

keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit di persidangan dalam kasus

digaan korupsi atas nama terdakwa Syafrudin Arsyad Tumenggung. Lokasi

ini dijadikan tempat sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan hasil


59

penelusuran penulis, pada lokasi tersebutlah tempat responden dan

narasumber dari penelitian ini melakukan perkerjaannya.

2. Subyek Penelitian

Penentuan subjek penelitian hukum ini menggunakan teknik

sampling. Teknik sampling atau pengambilan sampel dari populasi dapat

dibedakan dalam dua bentuk, ada yang bersifat probabilitas atau random

dan nonprobabilitas atau non random.121 Probabilitas atau random yaitu

setiap unit atau manusia dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama

untuk dipilih sebagai sampel.122 Berbeda dengan nonprobabilitas atau non

random, yaitu setiap unit atau manusia tidak mempunyai kesempatan yang

sama untuk dipilih sebagai sampel.123

Salah satu cara pengambilan sampel dengan cara nonprobabilitas

yaitu dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah

pengambilan sampel dengan menggunakan pertimbangan sendiri yang

berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang populasi untuk memilih

anggota sampel.124 Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam

penelitian hukum ini adalah menggunakan teknik purposive sampling.

Sampel dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa responden tersebut

dianggap mewakili populasi yang didasarkan hasil wawancara terhadap

beberapa responden dan narasumber dalam penelitian ini.

121
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
97
122
Ibid
123
Ibid, hlm. 103
124
Maria Sumardjono, Op.,Cit, hlm. 23
60

Adapun dalam penelitian hukum ini subjek penelitian terdiri dari

responden dan narasumber. Responden dalam penelitian hukum ini yaitu:

1) Hakim Tipikor Pengadilan Negri Jakarta Pusat

2) Komisi Pemberantasan Korupsi selaku Jaksa Penuntut Umum

3) Kuasa Hukum Terdakwa Syafrudin Arsyad Tumenggung

Sedangkan narasumber dari penelitian hukum ini yaitu;

1) Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum selaku Guru Besar

Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Sebagai pembanding dalam pemeriksaan data, penulis menggunakan

metode triangulasi, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

membandingkan informasi atau data dengan menggunakan informan yang

berbeda dengan cara mewawancarai responden dan narasumber.

D. Cara dan Alat Memperoleh Data

1. Cara Memperoleh Data

Cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dan penelitian lapangan.

Studi kepustakaan dan studi lapangan ini bertujuan untuk menjawab

permasalahan yang diteliti. Adapun cara yang digunakan penulis dalam

mengumpulkan data sebagai berikut;

a) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data skunder

dengan cara menghimpun, membaca, memahami data yang berupa data


61

skunder yang diperoleh dengan studi pustaka dari literatur-literatur,

jurnal hukum, peraturan perundang-undangan, skripsi, tesis, makalah,

serta sumber-sumber resmi dan terpercaya lainnya yang dapat

mendukung jalannya penelitian ini.

b) Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang

bertujuan untuk memperoleh data langsung dan keterangan yang jelas

dari pihak-pihak yang berkompeten dengan permasalahan yang sedang

diteliti yang dilakukan dengan metode wawancara. Wawancara

(interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to

face), ketika orang yang mewawancara mengajukan pertanyaan-

pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang

relevan dengan masalah penelitian kepada para responden dan

narasumber.125

2. Alat Memperoleh Data

Alat yang digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah studi

dokumen, yaitu dengan mempelajari dan menelusuri berbagai sumber

kepustakaan yang memberikan penjelasan terhadap objek penelitian.

Adapun alat yang digunakan dalam studi lapangan adalah berupa pedoman

wawancara. Dalam proses wawancara menggunakan alat perekam

(recorder) dan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara.

E. Analisis Data

125
Fred Kerlinger, 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Diterjemahkan Landung R.
Simatupang, Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta. hlm. 770
62

Analisis data adalah penjelasan mengenai proses memanfaatkan data

yang terkumpul untuk selanjutnya digunakan dalam memecahkan masalah

penelitian.126 Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode

kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Pendekatan analisis dengan

menggunakan metode kualitatif ini sejalan dengan sifat penelitian deskriptif

yang dilakukan oleh penulis, sehingga mampu mengerti dan memahami gejala

dan permasalahan yang diteliti.

Analisis data menggunakan pendekatan metode kualitatif ini merupakan

analisis mulai dari awal penelitian hingga akhir prnrlitian dengan memadukan

antara data primer, data skunder, serta komentar dan pendapat penulis

didalamnya. Perpaduan data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan data

yang diperoleh dari lapangan kemudian akan disusun dan disimpulkan sesuai

dengan kenyataan yang terjadi. Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut dapat

menjelaskan dan memberikan gambaran yang ada sehingga mampu

memberikan kesimpulan terhadap permasalahan yang ada.

F. Jalannya Penelitian

Dalam penelitian hukum normatif-empiris ini akan dilaksanakan

melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut;

1. Tahapan Persiapan

Pada tahap ini dilakukan mulai dengan mengumpulkan dan

mempelajari bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundang-undangan

dan buku-buku yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya

126
Maria S.W. Sumarjono, 2001, Panduan Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah Panduan
dasar, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 38
63

penyusunan usulan penelitian dan dikonsultasikan dengan dosen

pembimbing untuk mendapatkan kritik dan saran sebagai perbaikan usulan

yang dibuat.

2. Tahapan Pelaksanaan

Pada tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan data kepustakaan

dan mengkaji terhadap data skunder meliputi bahan hukum primer, skunder

dan tersier yang berkaitan dengan materi penelitian. Penelitian lapangan

dilakukan dengan wawancara baik secara daring/luring dengan para

narasumber menyesuaikan dengan situasi dan kondisi perkembangan

penanganan penyebaran covid-19 oleh pemerintah.

3. Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian adalah tahap pengumpulan dan klarifikasi

seluruh data yang diperoleh dengan metode pendekatan, kemudian diolah

dan dianalisis. Selanjutnya setalah selesai dianalisis, disusun dalam laporan

awal dan dikonsultasikan kepada dosen pembiumbing untuk memperoleh

saran dan kritik untuk perbaikan. Selanjutnya setelah proses perbaikan

menjadi laporan akhir penelitian dalam bentuk tesis dan diuji oleh dewan

penguji tesis.
64

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum Masih Menghadirkan Ahli Yang

Telah Memebrikan Bukti Tertulis Hasil Audit Dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi.

Korupsi adalah extraordinary crime yang pemberantasannya menjadi

perhatian khusus masyarakat. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi

yang selanjutnya disebut KPK adalah institusi antikorupsi negara yang

dibentuk berdasarkan Uundang-Undang No. 30 Tahun Tahun 2002 jo Undang-

Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang


65

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lahirnya badan khusus KPK ini dengan tugas dan kewenangan yang luas

sangat diharapkan dapat melakukan upaya pemberantasan korupsi secara

optimal di negara ini.127 KPK mempunyai tugas sebagaimana yang diatur

dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 yaitu:

a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana

Korupsi;

b. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksananakan

pelayanan publik;

c. Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;

d. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

e. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi;

dan

f. Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jika diidentifikasi tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 6 di atas maka tugas dan kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu

ada yang bersifat preventif dan bersifat represif. Kewenangan Komisi

Pemberantasan Korupsi yang bersifat preventif merupakan upaya Komisi

127
H. Muh. Asikin, 2020, Penerapan Hukum Dan Strategi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Studi Kasus BLBI, Kencana, Jakarta, hlm. 207
66

Pemberantasan Korupsi untuk menghalau sebelum terjadinya tindak pidana

korupsi. Hal itu dapat berupa tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan

dalam Pasal 6 huruf a, b, c dan d Undang-Undang No. 19 Tahun 2019.

Sedangkan upaya represif yang dilakukan Komisi Pemberantasan

Korupsi adalah upaya penindakan terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang

terjadi. Hal tersebut dapat berupa tindakan-tindakan sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 6 huruf e dan f Undang-Undang No. 19 Tahun 2019.

Pada upaya represif atau penal hukum terhadap tindak pidana korupsi yang

terjadi berupa upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta pelaksanaan

putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

menyebutkan bahwa “Penyidikan, penuintutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari

perkara lain guna penyelesaian secepatnya”. Menurut R. Wiyono, menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan “didahulukan” dalam ketentuan tersebut adalah

penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana korupsi

jika dibandingkan dengan pada waktu melakukan penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara yang bukan tindak pidana

korupsi. 128

Dalam Pasal 26 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 menyebutkan

bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

128
R. Wiyono, 2005, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 151
67

terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana

yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Yang

dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” baik dalam Pasal 26

maupun dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 seperti

diatas sudah tentu adalah hukum acara pidana untuk melaksanakan

penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

dalam perkara tindak pidana korupsi.129

Selanjutnya, dari adanya kalimat “kecuali ditentukan lain dalam

undang-undang ini” baik dalam Pasal 2 maupun dalam Pasal 39 ayat (1)

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, dapat diketahui bahwa yang menjadi

dasar hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai

berikut;

a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 30


Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana korupsi.
b. Jika dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tidak terdapat
ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi.
c. Jika di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tidak terdapat
ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, maka yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP. 130
129
Ibid.
130
Ibid., hlm. 152
68

Oleh karena itu tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 merupakan tindak pidana yang mempunyai ketentuan

Hukum Acara Khusus (butir a dan b) yang digabungkan dengan Hukum Acara

Umum (butir c) maka tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam Undang

No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tersebut merupakan atau termasuk tindak pidana khusus seperti

yang dimaksud oleh Keputusan Mentri Kehakiman RI tanggal 4 Februari 1982

Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.131

Penyelidikan sebagaimana yang sebutkan dalam Pasal 1 angka 5

KUHAP menyebutkan bahwa “penyelidikan adalah serangkaian tindakan

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan upaya

penyidikan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP

menyebutkan bahwa “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Adapun penyelidikan dan penyidikan dalam hal ini merupakan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

131
Ibid., hlm. 153
69

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga khusus yang dibentuk untuk

memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam Keputusan Mentri

Kehakiman RI tanggal 4 Februari 1982 Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982

tentang Pedoman Pelaksanaan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

menyebutkan bahwa penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri,

terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara

atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan

lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan tindakan pemeriksaan,

penyelesaian, dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.132

Setelah selesai tahap penyelidikan dan penyidikan maka selanjutnya

akan masuk pada tahap penuntutan. Penuntutan sebagaimana yang disebutkan

dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 KUHAP menyebutkan bahwa “Penuntutan

adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke

pengadilan negri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan

oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntut adalah penuntut umum pada

Komisi Pemberantasan korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi. Penuntut adalah Jaksa Penuntut Umum. 133

Dalam ketentuan Pasal 12A Undang-Undang No 19 Tahun 2019 menyebutkan

bahwa “Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan


132
Ibid., hlm. 154
133
Denny Indrayana, 2012, Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penegakan
Hukum Di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, hlm. 63
70

koordinasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Penuntut umum setelah menerima berkas dari penyidik paling lambat

14 (empat belas) hari kerja wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).134 Karena berdasarkan

Pasal 5 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, menyebutkan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan

satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus

perkara tindak pidana korupsi.

Adapun upaya penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi tidak berakhir hanya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan

Tipikor saja, namun penuntut umum juga melakukan penuntutan di sidang

pengadilan. Setelah pengadilan menerima surat pelimpahan perkara dan

berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, maka hakim akan

menyidangkan perkara tersebut dan menetapkan hari sidang.135

Selanjutnya pada hari sidang yang telah ditentukan, setelah Ketua

Majlis Hakim membuka sidang dan memerintahkan terdakwa dipanggil masuk

dan diperintahkan duduk di tempat yang sudah disediakan, selanjutnya hakim

menanyakan identitas terdakwa.136 Apabila identitas dibenarkan terdakwa maka

selanjutnya penuntut umum dipersilahkan untuk membacakan surat dakwaan.

Dan setelah dengan jelas terdakwa mendengarkan dan memahami dakwaan

yang dibacakan penuntut umum, maka selanjutnya terdakwa atau penasehat


134
Ibid
135
Suharto RM, 1997, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 14
136
Ibid
71

hukumnya dapat mengajukan keberatan atau eksepsi atas dakwaan yang

dibacakan penuntut umum.137

Selanjutnya setelah pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum dan

mendengarkan tanggapan dari terdakwa atau penasehat hukumnya atas surat

dakwaan yang dibacakan, maka acara sidang selanjutnya akan ditentukan oleh

ketua majlis hakim dengan acara pembuktian surat dakwaan. Pembuktian

merupakan muara penting dari tindakan penuntutan oleh penuntut umum.

Kewajiban penuntut umum disidang pengadilan ialah membuktikan tindak

pidana dakwaan. Pada prinsipnya menyatakan bahwa siapa yang mendakwakan

dialah yang wajib membuktikan (actor in combit onus probandi). Menurut J.

Gunawadi dalam Denny Indrayana, mengatakan bahwa siapa yang menyatakan

sesuatu maka ia harus membuktikannya (he who asserts must prove).138

Tindak pidana yang dirumuskan dalam dakwaan mengandung banyak

unsur. Satu persatu unsur-unsur pasal yang paling dekat atau dianggap paling

dekat tersebut dibuktikan. Dalam pembuktian terdapat 2 (dua) bagian

pembuktian. Pertama menggali untuk mengungkap fakta-fakta mengenai

terbuktinya setiap unsur tindak pidana.. Kedua membahas setiap unsur-unsur

tindak pidana dakwaan (analisis fakta maupun analisis hukum) dalam surat

tuntutan (requisitoir).139 Melalui pembuktian, segenap fakta-fakta hukum

berupa perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa akan

dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengajukan bukti-bukti yang

137
Ibid
138
Denny Indrayana, Op.,Cit, hlm. 38
139
Adami Chazawi, 2018, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Media Nusa Creative,
Malang, hlm. 229
72

telah ditentukan menurut hukum acara pidana. Membuktikan perbuatan tindak

pidana korupsi bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat tindak

pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime),

sehingga membutuhkan cara-cara yang extraordinary untuk

membuktikannya.140 Adapun hal yang dibuktikan dalam persidangan adalah

mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap

melanggar ketentuan tindak pidana.141 Dalam pembuktian, penuntut umum

menguraikan fakta-fakta dan alat-alat bukti di muka sidang pengadilan atas

dakwaan yang diajukan.142

Dalam undang-undang tindak pidana korupsi terdapat 7 (tujuh)

penggolongan macam-macam tindak pidana korupsi yaitu; (a) Kerugian

keuangan negara, (b). suap-menyuap, (c). penggelapan dalam jabatan, (d)

pemerasan, (e) perbuatan curang, (f) benturan kepentingan dalam pengadaan

dan (g) gratifikasi. Dari ke 7 (tujuh) jenis tindak pidana korupsi, sebagian kasus

tindak pidana korupsi yang terjadi selalu menjadikan kekayaan negara menjadi

objek sasaran, terkecuali tindak pidana korupsi yang berupa suap, gratifikasi

dan pemerasan.

Untuk membuktikan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan

negara bukanlah hal yang mudah, mengingat ketentuan berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 dalam pertimbangan

Mahkamah menyebutkan bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi

140
H. P. Pangebean, 2020, Pemulihan Aset Tindak pidana Korupsi Teori-Praktik dan
Yurisprudensi Di Indonesia, Buhana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 238
141
Ibid., hlm. 12
142
Suharto RM, Op.,Cit., hlm. 15
73

difahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus difahami benar-benar

sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak

pidana korupsi. Hal ini menjadikan perubahan paradigma tindak pidana korupsi

yang semula merupakan tidak pidana formil menjadi tindak pidana matril.

Dengan demikian pembuktian kerugian negara harulah nyata dan jelas

mengenai jumlah kerugian yang ditimbulkan. Oleh karena itu, audit kerugian

negara yang dilakukan oleh lembaga audit (BPK) merupakan hal yang sangat

penting bagi Jaksa Penuntut Umum KPK dalam membuktikan kerugian negara

akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa. Dengan mengaitkan

alat-alat bukti yang lain sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal

184 KUHAP dan Pasal 26A Undang-Undang No 19 Tahun 2019 sebagai

perluasan alat bukti petunjuk yang diperkenankan dan dibenarkan oleh hukum

acara pidana, sehingga menggambarkan tindak pidana korupsi sebagaimana

yang dimuat dalam dakwaan.143

Dalam pemeriksaan pembuktian di persidangan alat bukti hasil audit

dengan bukti lain seperti; bukti keterangan saksi dan bukti keterangan terdakwa

saja terkadang tidak cukup mampu membuat terang kejahatan dan kerugian

negara atas tindak pidana korupsi yang terjadi. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut

Umum KPK dalam menghadapi carut-marutnya pembuktian tindak pidana

korupsi, memerlukan kehadiran ahli untuk memberikan kesimpulan hasil audit

kerugian negara di muka persidangan untuk menjernihkan fakta-fakta

mengenai kerugian negara terhadap perkara tindak pidana korupsi yang

143
Hasil wawancara dengan Moch. Takdir Suhan (Jaksa Penuntut Umum Direktorat Penuntutan
Komisi Pemberantasan Korupsi) Pada tanggal 21 Mei 2021.
74

disidangkan.144 Mengingat tujuan pembuktian bagi Jaksa Penuntut Umum

adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti

yang ada, agar menyatakan putusan seseorang terdakwa bersalah sesuai dengan

surat atau catatan dakwaan.145

B. Perlindungan Hukum Bagi Tersangka/Terdakwa Untuk Menghadapi

Kesamaan Alat Bukti Ganda Oleh Aparatur Penegak Hukum Dalam

Perkara Tindak Pidana Korupsi.

Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan Hak

Asasi Manusia (HAM) dalam penegakan hukum, dan salah satu diantara

tuntutan itu berkenaan dengan kualitas penegakan Miranda Rule dan Miranda

Principle. Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi

sebagaimana yang disebutkan secara tegas dalam Pasal 28D ayat (1) UUD

1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di

depan hukum”.146 Masalah penerapan Miranda Rule sampai saat sekarang

sangat riskan sekali dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. 147

Dimana perlakuan-perlakuan diluar batas kemanusiaan dan kesewenang-

wenangan aparatur penegak hukum menjadi titik perhatian dalam mewujudkan

proses hukum yang adil.

144
Ibid.
145
Hari Sasangka & Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, CV Mandar Maju,
Surabaya, hlm. 13
146
Arifin Pratama Mapia, “Tinjauan Yuridis Hak Tersangka Untuk Mendapatkan Penasehat
Hukum Menurut Pasal 56 ayat (1) KUHAP”, Lex Crimen, Vol. VII No. 10 Desember 2018.
147
M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika, hlm. 97
75

Menurut Mardjono Reksodiputro dalam Heri Tahir, menyebutkan

bahwa istilah due process of law dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan

sebagai proses hukum yang adil. Lawan dari due process of law adalah

arbitary process atau proses yang sewenang-wenang. Maka dari proses hukum

yang adil, tidak saja berupa penerapan hukum atau peraturan perundang-

undangan (yang dirumuskan adil) secara formal, tetapi juga mengandung

jaminan hak atas kemerdekaan dari seorang warga negara.148

Sedangkan menurut Andi Hamzah juga menguraikan peradilan yang

jujur dan tidak memihak, hakim dalam menjalankan profesinya tidak

membeda-bedakan orang, yang mengandung makna bahwa hakim harus selalu

menjamin pemenuhan perlakuan sesuai dengan hak-hak asasi manusia terutama

bagi tersangka dan terdakwa.149 Dalam proses hukum yang adil (due process of

law) pada dasarnya, tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana yang

juga menyangkut mengenai perlindungan hukum berupa bantuan hukum.

Menurut Marjono, dalam Yesmil Anwar dan Adang, proses hukum yang adil

dan layak pada intinya adalah:

1. Hak seseorang tersangka dan terdakwa untuk didengar


pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi.
2. Dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh
penasehat hukum.
3. Dia berhak mengajukan pembelaan
4. Dan penuntut umum harus membuktikan kesalahannya di muka
suatu pengadilan yang bebas
5. Dan dengan hakim yang tidak berpihak. 150

148
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 27
149
Ibid,. hlm. 30
150
Yesmil Anwar & Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung, hlm.
334
76

Menurut Heri Tahir,151 menyatakan bahwa “sistem peradilan pidana

merupakan wadah dari proses hukum yang adil, sehingga tidak mungkin

membicarakan proses hukum yang adil tanpa adanya sistem peradilan pidana.

Demikian sebaliknya, proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh

dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya

perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa”. Oleh karena itu

proses hukum yang adil (due process of law) merupakan hak dari

tersanga/terdakwa yang tersangkut dalam proses penegakan hukum.

Hak due process dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum,

bersumber dari cita-cita “negara hukum” yang menjunjung tinggi “supremasi

hukum” (the law is supreme), yang menegaskan: “ kita diperintah oleh hukum”

dan “bukan oleh orang” (goverment of law and not of man).152 Menurut Yahaya

Harahap menyatakan konsep due process dikaitkan dengan landasan

menjunjung tinggi “supremasi hukum”, harus berpatokan dan berpegang pada

dalam menangani tindak pidana: tidak seorangpun berada dan menempatkan

diri diatas hukum (no one is above the law), dan hukum harus diterapkan

kepada siapapun berdasar prinsip “perlakuan” dan dengan cara yang jujur (fair

manner).153

Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana

harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional” serta harus “menaati hukum”.

Oleh karena itu, due process tidak “membolehkan pelanggaran” terhadap suatu

bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang
151
Ibid,. hlm. 7
152
M. Yahya Harahap, Op.,Cit., hlm. 95
153
Ibid., hlm. 95
77

lain. Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan

pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus “memedomani” dan

“mengakui” (recognized), “menghormati” (to respect for) dan melindungi (to

protect) serta “menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” (incoporation

doctrin), yang memuat berbagai hak, antara lain (sebagian diantaranya telah

dirumuskan dalam Bab VI KUHAP):154

1. The right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa


menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.
2. “Dilarang mencabut” atau “menghilangkan” (deprive) “hak hidup”
(life) “kemerdekaan” (liberty) atau “harta benda” (property) tanpa
sesuai denagan ketentuan hukum acara (without due process of law).
3. Setiap orang harus “terjamin terhadap diri” (person), “kediaman,
surat-surat” atas pemeriksaan dan penyitaan yang “tidak beralasan”
(unreasonable searches and seizures).
4. “Hak konfirmasi” (the right to confront) dalam bentuk “pemeriksaan
silang” (cross examine) dengan orang yang menuduh (melaporkan).
5. “Hak memperoleh pemeriksaan (peradilan)” yang cepat (the right to
a speady trial).
6. “Hak perlindungan yang sama” dan “perlakuan yang sama dalam
hukum” (equal protection and equal treatment of the law).
7. “Hak mendapat bantuan penasehat hukum” (the right to have
assistance of counsil) dalam pembelaan diri.155

Dari uraian hak-hak diatas merupakan hak tersanga/terdakwa dalam

penegakan hukum yang adil. Dengan demikian salah satu hal yang sangat

penting dalam penyelenggaraan proses hukum yang adil harus mencerminkan

perlindungan terhadap hak-hak tersangak/terdakwa, atau dengan kalimat lain

dalam mencapai proses hukum yang adil (due process of law), peradilan pidana

juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa

sebagai persyaratan terselenggaranya proses hukum yang adil. Menurut

Setiono dalam Gabrelia, menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah tindakan


154
Ibid., hlm. 95
155
Ibid., hlm. 96
78

atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang

oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati

martabatnya sebagai manusia.156

Penyelenggaraan peradilan pidana, harus sesuai dengan Undang-

Undang No. Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). KUHAP sebagai hukum acara pidana yang meliputi tata cara

peradilan pidana, juga harus menjadi pedoman yang mendasari

penyelenggaraan due process of law. Due process of law pada dasarnya bukan

semata-mata mengenai rule of law akan tetapi merupakan unsur yang essensial

dalam penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “a

law which hears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders

judgement only after trial” pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah

perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitary action of the

goverment.157

KUHAP sebagai pedoman dalam penyelenggaraan peradilan pidana

pada dasarnya bertujuan untuk; Pertama, untuk memperoleh kebenaran yang

hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan

hukum acara pidana secara tepat dan jujur. Kedua menentukan subyek hukum

berdasarkan berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan

suatu tindak pidana. Ketiga menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan

pengadila, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti
156
Gabrelia K.. Kaawoan, “Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Dan Terpidana Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan”, Lex Administratum, Vol. V No. 1 Januari 2017.
157
Yesmil Anwar & Adang, OP., Cit., hlm. 113-114
79

dilakukan orang yang didakwa itu.158 Menurut Van Bemmelen dalam Andi

Hamzah, tujuan hukum acara pidana sejalan dengan fungsi hukum yaitu

mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan

pelaksanaan keputusan.159

Prinsip KUHAP menurut H.L. Packer dalam Denny Indrayana,

merupakan manifestasi dari dianutnya asas fundamental yang menjadi basis

hukum acara pidana, yang berupa Presumption of Innocence (Asas Praduga

Tak Bersalah).160 Asas ini mengajarkan bahwa apapun tuduhan yang dikenakan

terhadap seseorang, ia wajib dianggap tidak pernah bersalah selama belum ada

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang

menyatakan, bahwa ia memang bersalah sebagaimana isi tuduhan yang

diarahkan kepadanya itu.161

Asas hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam hukum dan

penegakan hukum. Menurut Paul Scholten dalam Mansur Kartayasa,

menyatakan bahwa asas hukum merupakan dasar pikiran atau ratio legis dari

kaidah hukum. Asas dapat menjelaskan alasan dan tujuan serta jangkauan

penerapan kaidah tersebut dalam praktik hukum atau penyelenggaraan

kehidupan hukum masyarakat.162 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo,163

menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantung peraturan hukum, sebab;

158
Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 1.13
159
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, hlm. 6
160
Denny Indrayana, Op.,Cit., hlm. 39
161
Ibid., hlm. 39
162
Mansur Kartayasa, 2017, Korupsi & Pembuktian Terbalik, Kencana, Jakarta, hlm. 89
163
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 151
80

a. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu

peraturan hukum.

b. Sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis

dari peraturan hukum.

Menurur B. Arief Sidharta dalam Mansur Kartayasa, menyebutkan

bahwa asas hukum untuk:

“Menetapkan wilyah penerapan aturan hukum, kaidah penilai


dalam menetapkan legitimitas kaidah kritis terhadap aturan hukum,
kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum.
Menjaga atau memelihara konsistensi dan koherensi aturan-aturan
hukum. Kebertahanan matriil dalam tata hukum (materiele
stelselmatigheid) menunjuk pada tatanan asas hukum yang mendasari
dan menjiwai tata hukum. Tatanan asas hukum itu merupakan fondasi
dari tata hukum. Karena itu, asas hukum dapat diidentifikasi dengan
menggeneralisasi putusan-putusan hakim dan dengan mengabstraksi
dari sejumlah aturan hukum yang terkait pada masalah kemasyarakatan
yang sama”.164

Lebih lanjut B. Arief Sidharta juga menyebutkan bahwa asas-asas

hukum itu timbul dan berakar pada akal budi dan nurani manusia. Akal budi

dan nurani itulah yang menyebabkan manusia mempunyai kemampuan untuk

membedakan bagus-jelek, baik-buruk, adil tidak adil, dan manusiawi.

Kemampun inilah yang menumbuhkan kesadaran hukum dalam kesadaran

manusia, dan kesadaran hukum itulah yang melahirkan asas-asas hukum.165 Jadi

asas hukum adalah kaidah paling umum bermuatan etik yang dapat dirumuskan

dalam kaidah penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum. Asas hukum

adalah suatu meta-kaidah yang berada di belakang kaidah, yang memuat

164
Mansur Kartayasa, Op.,Cit., hlm. 89
165
Ibid., hlm. 89
81

kriteria nilai yang untuk menjadi pedoman berprilaku, memerlukan penjabaran

atau konkretisasi ke dalam aturan hukum.166

Dalam penegakan hukum pidana asas Presumption of Innocence

merupakan asas yang melekat pada diri tersangka/terdakwa dalam setiap tahap

prosedur pemeriksaan. Pada tahap pemeriksaan di persidangan, salah satu hak

tersangka/terdakwa adalah hak untuk memperolah bantuan hukum, guna

kepentingan pembelaan atas hak-hanya dalam proses pemeriksaan di

persidangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 KUHAP menyebutkan bahwa

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan

bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu

dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan

dalam undang-undang ini”.167

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya ketika


memutuskan Judicial Review UU Advokat menyebutkan bahwa UUD
1945, Pasal 1 ayat (3) secara tegas menyatakan Indonesia bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa
hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi
manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara,
kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau
menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin
pemenuhannya.168

Adapun pengertian bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

menyebutkan bahwa “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh

pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum”.

166
Ibid., hlm. 89
167
Luhut M.P Pangaribuan, 2003, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, hlm. 24
168
Muhammad Hasyim, 2020, Akses Bantuan Hukum Di Sulawesi Tenggara, Scopindo Media
Pustaka, Surabaya, hlm. 16
82

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003

Tentang Advokat, memberikan pengertian bahwa “Bantuan hukum adalah jasa

hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang

tidak mampu”. Bantuan hukum merupakan bagian dari pemberian jasa hukum

yang diberikan oleh advokat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1

angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa “Jasa

hukum adalah jasa yang diberikan oleh Advokat berupa pemberian konsultasi

hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,

membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum

klien”.

Menurut Roberto Concepcion, dalam Oktoberina & Savitri,169

menyebutkan bahwa bantuan hukum adalah pengungkapan yang bisa

digunakan untuk merujuk kepada segala bentuk dari jasa hukum yang

ditawarkan atau diberikan kepada masyarakat, ini dapat terdiri dari pemberian

informasi atau pendapat yang dapat diberikan mengenai hak, kewajiban dan

tanggungjawab dalam situasi tertentu, sengketa litigasi, atau proses hukum

yang dapat berupa semi peradilan administrasi atau yang lainnya.

Menurut Andi Muhammad & Abd Asis,170 menyebutkan bahwa bantuan

hukum adalah suatu pemberian bantuan hukum dalam bentuk hukum, kepada

tersangka/terdakwa oleh seorang ahli hukum/penasehat hukum/advokat, guna

memperlancar penyelesaian perkara.

169
Sirahayu Oktoberia & Niken Savitri, 2011, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, PT. Revika
Aditama, Bandung, hlm. 240
170
Andi Muhammad Sofyan & Abd Asis, 2017, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar,
Kencana, Jakarta, hlm. 111
83

Menurut Lasdin Wlas,171 menyatakan bahwa bantuan hukum adalah jasa

memberikan bantuan hukum dengan bertindak baik sebagai pembela dari

seseorang yang tersangkut dalam perkara pidana maupun sebagai kuasa dalam

perkara perdata atau tata usaha negara di muka pengadilan dan atau

memberikan nasehat hukum di luar pengadilan.

Menurut Frans Hendra dalam Febri Hamdayani,172 menyebutkan bahwa

bantuan hukum merupakan jasa huukum yang khusus diberikan kepada fakir

miskin yang memerlukan pembela secara cuma-cuma baik diluar maupun di

dalam pengadilan, secara pidana, perdata, dan tata usaha negara, dari

seseoarang yang mengerti seluk-beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah

hukum, serta hak asasi manusia.

Menurut H.M.A Kuffal,173 menyatakan bahwa bantuan hukum

merupakan kegiatan pelayanan hukum (legal service) yang diberikan oleh

penasehat hukum dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan

pembelaan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa sejak proses

penangkapan/penahanan sampai dengan diperolehnya putusan pengadilan yang

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Menurut Arief Sidharta, 174 menyebutkan bahwa bantuan hukum adalah

hal pemberian pelayanan jasa-jasa tertentu secara berkeahlian dan

terorganisasikan oleh para ahli dalam situasi-situasi problematis dan/atau

171
Lasdin Wlas, 1989, Cakrawala Advokat Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 119
172
Febri Hamdayani, 2016, Bantuan Hukum Di Indonesia, Kahmedia, Yogyakarta, hlm. 6
173
Kuffal H.M.A, 2003, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, hlm. 160
174
Yahman & Taringan Nurtin, 2019, Peran Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana,
Jakarta. hlm. 25
84

situasi-situasi konflik yang dapat ditangani dengan penerapan aturan-aturan

hukum dengan atau tanpa memanfaatkan prosedur-prosedur yuridis. Bantuan

hukum yang dimaksud dalam pengertian tersebut termasuk meliputi bantuan

hukum pada penyelesaian konflik secara formal di pengadilan (proses

pengadilan), dan bantuan hukum di luar proses peradilan.

Pemberian jasa bantuan hukum diperuntukkan bagi pencari keadilan

(klien) merupakan hak. Klien sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1

angka 3 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “Klien

adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum

dari advokat”. Pemberian jasa hukum berupa bantuan hukum diperuntukkan

bagi pencari keadilan yang memiliki permasalahan hukum.

Hak tersangka/terdakwa untuk didampingi Advokat (access to legal

counsel) merupakan suatu yang imperatif dalam rangka mencapai proses

hukum yang adil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 KUHAP menyebutkan

bahwa “Guna kepentiangan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama

dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang

ditentukan dalam undang-undang ini”. Dengan kehadiran Advokat sebagai

penasehat hukum dapat mencegah perlakukan tidak adil oleh Polisi, Jaksa atau

Hakim dalam proses introgasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan

dan hukuman.175

175
Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum Di Indonesia, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta, hlm. 104
85

Karena seringkali tersangka/terdakwa diperlakukan tidak adil dan

malah ada yang disiksa dan direndahkan martabatnya sebagai manusia. Di

dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 menyebutkan peruntukan

bantuan hukum beserta ruang lingkup bantuan hukum meliputi;

(1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang


menghadapi masalah hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik
litigasi maupun non litigasi.
(3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
Penerima Bantuan Hukum.

Adapun tujuan pemberian bantuan hukum sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 menyebutkan

bahwa penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk:

a. Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk


mendapatkan akses keadilan;
b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan
prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan
secara merata diseluruh wilayah negara Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Dalam hukum acara pidana memuat berbagai rangkaian tahapan

pemeriksaan mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di persidangan. Dari

setiap tahap pemeriksaan pemberian jasa hukum berupa bantuan hukum kepada

tersangka/terdakwa diperuntukkan untuk menjamin hak tersangka/terdakwa

tidak dilanggar serta terselenggaranya proses peradilan yang adil. Namun hal

yang sangat penting, dan merupakan tahapan yang menentukan bagi

tersangka/terdakwa adalah pembuktian di persidangan. Dimana dalam tahap


86

pembuktian merupakan penguraian segenap fakta-fakta hukum berdasarkan

alat-alat bukti yang dibenarkan menurut undang-undang untuk mengungkapkan

tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa berdasarkan surat dakwaan

yang dilimpahkan ke pengadilan.

Pembuktian di persidangan dalam perkara tindak pidana korupsi yang

merugikan keuangan negara, hal yang wajib dibuktikan oleh Jaksa Penuntut

Umum tidak hanya mengenai perbuatan terdakwa melainkan juga mengenai

jumlah kerugian negara yang ditimbukan oleh perbuatan terdakwa berdasarkan

dakwaan. Karena dalam tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan

negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016

menegaskan bahwa harus jelas kerugian negara yang sudah terjadi (actual

loss), tidak hanya indikasi kerugian (potential loss) belaka.

Pembuktian memupakan hal yang sangat menentukan dalam peradilan

pidana, karena melalui pembuktian nasib terdakwa ditentukan. Hak-hak

tersangka/terdakwa dalam peroses pemeriksaan pembuktian harus terpenuhi

dan dilindungi, terutama hak untuk membela diri atas tuduhan Jaksa Penuntut

Umum berdasarkan dakwaannya. Oleh karena itu, bantuan jasa hukum dari

Advokat sangat diperlukan oleh tersangka/terdakwa pada setiap tingkat

pemeriksaan terutama pada tahap pembuktian yang paling menentukan,

menyangkut hak-haknya yang perlu dibela dan dipertahankan.

Pada tahap pembuktian, keabsahan alat bukti menjadi hal utama yang

menjadi meta pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Dan satu

hal yang selalu menyertai dalam pembuktian tindak pidana korupsi yang
87

menyangkut kerugian negara adalah adanya bukti identifikasi audit atas

kerugian negara yang diajukan oleh Jakwa Penuntut Umum Komisi

Pemberantasan Korupsi sebagai dasar dari surat dakwaannya, sebagaimana

yang terjadi dalam acara sidang pembuktian kasus dugaan tindak pidana

korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafrudin Arsyad Tumenggung yang

dinilai merugikan keuangan negara hingga 4,5 Triliun.

Namun yang menjadi sorotan persoalan pembuktian adalah ketika

pengajuan alat bukti yang ditampilkan secara ganda, yakni bukan hanya bukti

tertulis hasil audit saja namun auditor yang melakukan audit juga dihadirkan ke

muka sidang sebagai ahli untuk dimintakan keterangan sebagai ahli atas bukti

tertulis hasil audit yang dilakukannya sebelumnya. Kendatipun ada alat bukti

lain selain alat bukti dokumen hasil audit dan keterangan ahli dari BPK, namun

bukti keterangan ahli dan bukti dokumen hasil audit cukup menjadi sorotan

dalam penegakan hukum. Dimana kedua bukti tersebut memiliki korelasi

sumber yang sama, sehingga keberadaannya dirasa tidak adil untuk diajukan

dalam proses pemeriksaan di persidangan.

Pada acara pemeriksaan sidang yang berlangsung pada tanggal 6

Agustus 2018 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam agenda sidang

pembuktian. Jaksa Penuntut Umum mengajukan seorang saksi yakni mantan

Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen MS Yusuf dan

seorang ahli Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara.176 Dalam

176
M. Anwar, “Sidang Kasus BLBI, Yusril Permasalahkan Saksi Dari BPK” Teropong Senayan,
tanggal 7 Agustus 2018
88

acara sidang yang sama Tim Kuasa Hukum Syafrudin Arsyad Tumenggung

mengajukan keberatan atas dihadirkannya ahli dari BPK I Nyoman Wara

terkait alat bukti dokumen hasil audit sebelumnya. Alat bukti ahli yang

dihadirkan dinilai bisa dualisme oleh tim kuasa hukum terdakwa Syafrudin

Arsyad Tumenggung, karena bisa keterangan ahli dan bukti surat.177

Jaksa menghadirkan ahli BPK I Nyoman Wara dan akan menjelaskan

hasil pemeriksaan audit BPPN tahun 2006 dan yang dilakukannya sendiri. Hal

itu merupakan tragedi dalam penegakan hukum yang tidak adil. Pasalnya, audit

yang dikerjakan ahli dituangkan dalam bentuk laporan yang kemudian menjadi

laporan resmi BPK lalu menjadi dokumen.178 Jika ahli menerangkan apa yang

dilakukan, apa yang ditemukan, dan bagaimana prosedur yang dilakukan, itu

artinya dia menilai pekerjaannya sendiri. Dan sangat aneh jika orang disuruh

menilai benar atau tidak atas perkerjaannya sendiri, hal itu sangat tidak

rasional.179

Menurut Yusril Ihza Mahendra,180 dalam penegakan hukum due process

of law, Advokat ditempatkan sebagai profesi hukum yang mulia (officium

nobile), dimana tugas dan fungsinya adalah untuk memberikan bantuan hukum

berupa pendampingan dan pembelaan kepada klien atau pencari keadilan

dalam rangka terselenggaranya peradilan bersih dan adil. Dengan adanya

bantuan hukum diharapkan proses hukum menjadi adil bagi

177
Fachrul Rozie, “Sidang BLBI Yusril Sebut Aneh Ahli BPK Nilai Pekerjaanya Sendiri”,
Liputan 6 tanggal 7 Agustus 2018
178
Ibid
179
Dery Ridwansah, “Yusril Keberatan Paparan Ahli BPK Di Sidang BLBI”, Jawapos.com,
tanggal 7 Agustus 2018.
180
Hasil wawancara dengan Ysril Ihza Mahendra (Kuasa Hukum Terdakwa Syafrudin Arsyad
Tumenggung) pada tanggal 17 Mei 2021
89

tersangka/terdakwa yang dituduh melakukan suatu tindak pidana, dan

diberikan kesempatan untuk membela diri dengan didampingi oleh penasehat

hukum. Bantuan hukum diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil

dan tidak manusiawi kepada tersangka/terdakwa selama dalam proses

pemeriksaan di setiap tingkat pemeriksaan. Inilah yang dinamakan dengan due

process of law atau proses hukum yang adil. Tersangka/terdakwa dilindungi

haknya sebagai orang yang menghadapi tuntutan hukum terdesak karena

diadili.181

Profesi Advokat sebagai bagian atau subsistem dari sisitem peradilan

pidana harus sanggup menyediakan pembelaan (access to legal counsel) bagi

semua orang.182 Setelah dibacakan surat dakwaan oleh penuntut umum,

penasehat hukum dalam rangka pembelaan dan pemberian bantuan hukum

kepada terdakwa pada pembuktian di persidangan, upaya perlindungan hukum

yang dilakukan oleh Advokat selaku kuasa hukum bagi klien dalam

menghadapi pengajuan bukti ganda dari jaksa penuntut umum adalah sebagai

berikut:

1. Memohonkan kepada Ketua Majlis Hakim yang memimpin jalannya

persidangan supaya mengklarifikasi kepada Jaksa Penuntut Umum terkait

keberadaan posisi status I Nyoman Wara sebagai saksi atau ahli, sebelum

mengangkat sumpah di depan persidangan, supaya tidak membingungkan

(confuse). Karena berdasarkan BAP terdapat perbedaan, yakni pada halam

13 (tiga belas) I Nyoman Wara diperiksa sebagai saksi, namun pada


181
Frans Hendra Winarta, Op.,Cit, hlm. 50
182
Frans Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 113
90

halaman 1 (satu) sebagai ahli. Hal ini menjadikan ketidak jelasan status dan

posisi I Nyoman Wara dalam proses pemeriksaan di persidangan.

2. Mengajukan pembelaan terdakwa (pledoi) atas pengajuan bukti ahli oleh

Jaksa Penuntut Umum ke dalam pemeriksaan di persidangan. Berdasarkan

Pasal 182 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa;

a) Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan

tuntutan pidana;

b) Selanjutnya terdakwa atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya

yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa

terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir.

c) Tuntutan pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara

tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua

sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepantingan.

Adapun pembelaan (pledoi) terhadap pengajuan bukti keterangan

ahli audit dari BPK untuk menilai audit BPPN tahun 2006 yang dilakukan

ahli sebelumnya. Menurut Ysril Ihza mahendra,183 seharusnya I Nyoman

Wara dihadirkan sebagai saksi fakta bukan sebagai ahli. Karena

keterangan mengenai hasil perhitungan, pada hakikatnya dia menerangkan

fakta, dan tidak bisa jadi ahli. Karena jika I Nyoman Wara sebagai ahli

maka pada hahikatnya dia akan menilai hasil perkerjaannya sendiri. Dan

hal itu saya rasa sangat tidak adil dalam pembuktian di persidangan.

183
Hasil wawancara dengan Ysril Ihza Mahendra (Kuasa Hukum Terdakwa Syafrudin Arsyad
Tumenggung) pada tanggal 17 Mei 2021
91

3. Pengajukan bukti pembanding atas bukti yang dihadirkan oleh Jaksa

Penuntut Umum. Pembuktian pembanding ini dalam pemeriksaan sidang

tindak pidana korupsi sering disebut dengan toeri pembuktian terbalik.

Sistem pembalikan pembuktian tersebut merujuk pada teori “keseimbangan

kemungkinan” (Balanced Probability Principle).184 Hal ini dikenal dengan

istilah affirmative defense.185 Dalam konteks hukum nasional Indonesia,

pembalikan pembalikan pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang

dikenal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam

undang-undang a quo pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa adalah

hak.186

Pembuktian oleh terdakwa yang menunjukkan bahwa dia tidak

bersalah telah melakukan suatu kejahatan dikenal dengan istilah exculpatory

evidience. Secara sederhana, exculpatory evidience diartikan sebagai bukti

yang cendrung meniadakan atau mengurangi kesalahan terdakwa.187 Bagi

terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya,

untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar

menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau

meringankan pidananya.188

184
H.P. Pangebean, Op.,Cit, hlm. 182
185
Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit., hlm. 24
186
Ibid.
187
Ibid.
188
Hari Sasangka & Lily Rosit, Op.,Cit, hlm. 13
92

Dari uraian upaya perlindungan hukum terhadap hak

tersangka/terdakwa diatas merupakan upaya perlindungan pada tahap praproses

pemeriksaan di persidangan. Namun pada tahap pasca putusan pengadilah

upaya yang bisa dilakukan apabila terdakwa tidak puas terhadap putusan

pengadilan yang dijatuhkan maka terdakwa bersama penasehat hukumnya

dapat mengajukan upaya hukum, baik dengan mengajukan upaya hukum biasa

atau upaya hukum luar biasa sebagaimana yang diperkenankan dalam hukum

acara pidana.

Oleh karena itu, Advokat selaku pengemban kewenangan memberikan

pendampingan dan pembelaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada

tersangka/terdakwa yang terjerat kasus hukum yang berlangsung, maka

advokat mengupayakan segala hal yang menjadi hak tersangka/terdakwa

terpenuhi, dan memastikan bahwa tidak ada hak tersangka/terdakwa yang

terbengkalai selama proses pemeriksaan perkara yang berlangsung, demi

terwujudnya peradilan yang adil dan tegaknya supremasi hukum di Indonesia.

C. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Disertai Bukti Tertulis Hasil

Audit Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Secara historis keberlakuan hukum formil di Indonesia sebelum

diberlakukannya KUHAP, Indonesia pernah memberlakukan Herzien

Inlandsch Reglement (HIR) sebagai dasar dan acuan dalam peradilan di

Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun

1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan

Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil,


93

menghapuskan dualisme dalam hukum acara pidana bagi golongan Indonesia

(Landraden) dan hukum acara pidana bagi golongan eropa (read van justitie).189

Sekalipun dengan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951

ditetapkan bahwa pada waktu itu hanya satu hukum acara yang berlaku untuk

seluruh Indonesia, yaitu H.I.R akan tetapi ketentuan yang tercantum di

dalamnya masih banyak ketinggalan dari ketentuan-ketentuan reglement op de

strafvordering (stbl. 1847 No. 40 jo 47) yang dahulu berlaku bagi golongan

bangsa eropa.190 H.I.R yang berasal dari zaman Pemerintah Hindia Belanda

dirasa kurang memenuhi jaminan-jaminan hak asasi manusia yang merupakan

asas negara hukum, dan selain dari itu ketentuan-ketentuan H.I.R perlu

disesuaikan dengan perkembangan hukum acara pidana pada waktu sekarang,

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.191

Selanjutnya dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai

penggati atas keberlakuan H.I.R sebagai acuan dan panduan hukum acara di

Indonesia, nilai-nilai hak asasi manusia mulai diatur dalam setiap tahap proses

peradilan, demi menuju proses yang adil (due process of law) dalam penegakan

hukum pidana di Indonesia. Menurut Eddy O.S. Hiariej menyatakan bahwa

landasan filosofis hukum acara pidana adalah untuk mengontrol jangan

samapai aparatur negara berindak sewenang-wenang.192

189
A Karim Nasution, 1976, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Direktorat
Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta, hlm. 12
190
Ibid., hlm. 13
191
Ibid..
192
Eddy O.S. Hiariej, “Diskursus Perubahan UU KPK Melemahkan Atau Menguatkan ?”,
Pidato, Bulaksumur Academician Club Pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 19
September 2019
94

Dalam hukum acara pidana berlaku ketentuan asas legalitas. Asas

legalitas dalam hukum pidana formil berarti setiap perbuatan pidana harus

dituntut. Asas legalitas dalam hukum acara mengandung 3 (tiga) makna yaitu,

(a) Lex scripta, yang berarti bahwa penuntutan dalam hukum acara pidana

harus bersifat tertulis; (b) Lex certa, yang berarti hukum acara pidana harus

memuat ketentuan yang jelas; (c) Lex stricta, yang berarti bahwa hukum acara

pidana harus ditafsirkan secara ketat.193

Dalam ketentuan hukum acara pidana, selain memuat tentang hak-hak

tersangka/terdakwa secara jelas sebagai ejawantah hak asasi manusia, yang

membedakan antara H.I.R dengan KUHAP juga memuat pencantuman

mengenai alat-alat bukti yang dibenarkan dalam proses hukum acara pidana di

Indonesia. Pada ketentuan H.I.R sebelumnya memuat ketentuan alat bukti

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 295 H.I.R. yang menyebutkan

bahwa alat bukti terdiri dari;

a. Kesaksian-kesaksian;

b. Surat-surat;

c. Pengakuan;

d. Isyarat-isyarat.

Sedangkan dalam ketentuan KUHAP sebagai perubahan atas H.I.R.

memuat ketentuan alat bukti sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal

184 ayat (1) menyebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;
193
Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit., hlm. 36
95

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti yang dimuat dalam Pasal 295

H.I.R, maka alat-alat bukti Pasal 184 ayat (1) KUHAP terdapat perbedaan

yaitu;194

1. Alat bukti pengakuan menurut H.I.R, dalam KUHAP diperluas menjadi

keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari

sekedar pengakuan terdakwa.

2. Dalam KUHAP ditambah alat bukti baru yang dulu dalam H.I.R bukan

merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.

Di dalam HIR juga telah mengenal keterangan ahli, tetapi fungsi dan

cara penggunaannya tidak sama dengan keterangan ahli menurut KUHAP.

Dalam HIR keterangan ahli bukanlah sebagai alat bukti, karena tidak disebut

dalam Pasal 295 HIR.195 Sementara menurut KUHAP keterangan ahli adalah

sebagai alat bukti, karena secara jelas disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP.

Fungsi keterangan ahli berdasarkan ketentuan Pasal 306 HIR dapat

digunakan hanya untuk memberikan keterangan pada hakim. Hakim boleh

mengambilnya sebagai pendapatnya sendiri dan boleh juga tidak. Tetapi kini

dalam KUHAP fungsi keterangan ahli menjadi lain. Kedudukan keterangan

ahli menjadi sama dengan alat-alat bukti yang lain. Peningkatan fungsi dan
194
Adami Chazawi, 2018, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Media Nusa Creative,
Malang, hlm. 32
195
Ibid.
96

kedudukan keterangan ahli menjadi alat bukti yang diterima. 196 Melihat

perkembangan yang ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang sangat pesatnya.

Dan, tidak mungkin aparatur penegak hukum dapat menguasai semua bidang

ilmu dan teknologi tersebut. Aparatur penegak hukum bukan manusia super

yang serba tahu. Karena itu sangat wajar apabila sekarang banyak aparatur

penegak hukum menghadirkan ahli dalam setiap tahap proses peradilan.

Ketentuan alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP diatas berlaku secara umum dalam pembuktian tindak pidana. Dalam

ketentuan KUHAP tidak tanggung-tanggung para pembentuk undang-undang

menempatkannya bukti keterangan ahli pada posisi yang kedua setelah alat

bukti keterangan saksi guna menjawab progresifnya dinamika hukum dalam

masyarakat. Menurut M. Yahya Harahap,197 menyatakan bahwa “melihat dari

letak urutannya saja, pembuat undang-undang menilainya sebagai salah satu

bukti yang penting artinya dalam perkara pidana. Menempatkan keterangan

ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan

dalam pembaharuan hukum. Mungkin pembuat undang-undang menyadari

sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada saat-saat perkembangan ilmu dan

teknologi keterangan ahli memegang peran dalam penyelesaian kasus pidana.

Perkembangan ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap

kualitas metode kejahatan. Sehingga memaksa kita untuk mengimbanginya

196
Ibid., hlm. 60
197
M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
285
97

dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan,

ketermpilan dan keahlian.

Menurut pengertiannya, keterangan ahli dijabarkan secara jelas dalam

ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyebutkan bahwa “Keterangan

ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Selanjutnya dalam ketentuan

Pasal 186 KUHAP menyebutkan bahwa “keterangan ahli ialah apa yang

seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”. Ketentuan tentang keterangan

ahli ialah keterangan yang dinyatakan di sidang pengadilan, perlu diperhatikan,

karena keterangan ahli dapat juga didapat di luar sidang pengadilan, pada tahap

penyidikan.

Dalam ketentuan KUHAP, memang ada beberapa pasal yang yang

dalam rumusannya menyebut kualifikasi keahlian. Misalnya ahli yang

mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu, ahli kedokteran

kehakiman atau dokter. Tetapi penyebutan itu bukanlah mengandung syarat

seorang ahli, melainkan menyebut bidang-bidang keahlian tertentu. Sudah

barang tentu bahwa masih banyak bidang keahlian yang tidak terbatas

banyaknya keahlian di luar bidang-bidang keahlian yang disebutkan dalam

pasal-pasal tersebut.198

Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan ahli, maka ahli dapat

dibedakan sebagai berikut;

198
Adami Chazawi, Op.,Cit., hlm. 61
98

1. Ahli yang menerangkan tentang hasil dari pemeriksaan sesuatu yang


telah dilakukannya berdasarkan keahlian khusus untuk itu. Misalnya
seorang dokter ahli forensik yang memberikan keterangan ahli di
sidang pengadilan tentang penyebab kematian setelah dokter tersebut
melakukan bedah mayat (otopsi). Atau seorang akuntan yang
memberikan keterangan disidang pengadilan tentang hasil audit yang
dilakukannya mengenai keuangan suatu instansi pemerintah.
2. Ahli yang menerangkan semata mata tentang keahlian khusus
mengenai suatu hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu
(tingkat penyidikan) misalnya ahli dibidang perakit bom yang
menerangkan di dalam sidang pengadilan tentang cara merakit bom.
Bahkan dalam praktik, seorang ahli hukum bidang keahlian/
konsentrasi khusus acapkali digunakan dalam sidang pengadilan.
mereka juga disebut seorang ahli.199

Pada pemeriksaan penyidikan demi untuk kepentingan peradilan,

penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan seorang ahli.

Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 133 KUHAP yang

menyebutkan bahwa; “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan

menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga

karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

dan atau ahli lainnya”. Jika keterangan ahli sangat diperlukan untuk

kepentingan peradilan. kalau keterangan ahli bersifat diminta, ahli tersebut

membuat laporan sesuai dengan yang dikehendaki penyidik.200

Sebagaimana yang diterangkan dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP

yang menyebutkan bahwa “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli

nyatakan di sidang pengadilan”. keterangan ahli juga dapat diberikan pada

waktu pemeriksaan oleh penyidik, atau penuntut umum yang dituangkan dalam

199
Ibid., hlm. 63
200
M. Yahya Harahap, Op.,Cit., hlm. 285
99

suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah waktu menerima

jabatan atau pekerjaan.201 Adapun selanjutnya mengenai penjelasan Pasal 186

KUHAP menegaskan jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan sidang, diminta untuk

memberikan keterangan dan dicatat dalam berita pemeriksaan. Keterangan

tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan

hakim.202

Selain keterangan ahli di muka sidang keterangan ahli juga dapat

diminta di luar sidang, sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal

133 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa “permintaan keterangan ahli

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam

surat itu disebut dengan tegas untuk pemeriksaan luka ataupun mayat dan atau

pemeriksaan badan mayat”. Kendatipun yang digariskan dalam ketentuan

Pasal 133 merupakan ahli kedoteran untuk mengidentifikasi korban baik luka,

keracuanan ataupun mati yang diduga karena peristiwa tindak pidana.

Namun dalam kejahatan yang semakin canggih saat ini keterangan ahli

tidak hanya dibutuhkan berkenaan dengan tindak pidana badan melainkan juga

tindak pidana yang tidak secara langsung menimbulkan korban, seperti tindak

pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, mengenai kerugian keuangan

negara tentunya sangat memerlukan keterangan ahli dari auditor keuangan

untuk mengidentifikasi secara jelas mengenai kerugian negara. Berdasarkan

ketentuan Pasal 133 ayat (2) yang dihubungkan dengan ketentuan Pasal 186

201
Ibid.
202
Ibid.
100

diatas, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang

sah dapat melalui mekanisme dan prosdur sebagai berikut;

1. Keterangan ahli diminta oleh penyidik pada tahap penyidikan

Adapun tata cara pemberian keterangan ahli pada waktu penyidikan

adalah sebagai berikut;

a. Atas permintaan penyidik, keterangan ahli diberikan pada saat


pemeriksaan penyidikan. Jadi pada saat penyidikan demi untuk
kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli. Permintaan itu
dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebut secara tegas untuk
hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan;
b. Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan.
Laporan tersebut berupa surat keterangan menyangkut persoalan yang
diminta oleh penyidik;
c. Laporan tersebut dibuat oleh ahli yang bersangkutan dengan mengingat
sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan; 203

Berdasarkan tata cara permintaan keterangan ahli diatas, maka

keterangan yang dituangkan dalam laporan mempunyai sifat dan nilai

sebagai alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Keterangan ahli diminta di sidang pengadilan

Pemeriksaan keterangan ahli di sidang pengadilan diperlukan apabila

pada waktu pemeriksaan penyidik belum diminta keterangan ahli. Akan

tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu

pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika ketua sidang

atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap

203
Ibid.
101

perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, dapat meminta kepada

ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan.204

Adapun tata cara pemberian keterangan ahli di sidang pengadilan

adalah sebagai berikut;

a. Apabila dianggap perlu dan dikehendaki, baik oleh ketua sidang


karena jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum,
terdakwa atau penasehat hukum, dapat meminta pemeriksaan
keterangan ahli dalam pemeriksaan disidang pengadilan;
b. Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk keterangan lisan
dan secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan;
c. Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita
acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera;
d. Dan untuk itu, ahli memberi keterangan lebih dulu mengucapkan
sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan.
Jadi, dalam tata cara dan bentu keterangan ahli disidang
pengadilan, tidak dapat diberikan hanya berdasarkan sumpah atau
janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, tetapi harus
mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia
memberikan keterangan;205

Dengan demikian dipenuhinya tata cara pemberian keterangan ahli

di sidang pengadilan di atas, maka bentuk keterangan ahli tertsebut menjadi

alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan keterangan ahli tersebut

mempunyai nilai kekuatan pembuktian.206 Adapun keterangan ahli yang

diberikan di sidang pengadilan tidak menjadi masalah, karena sifatnya

benar-benar murni sebagai alat bukti keterangan ahli, yang lahir dari hasil

pemberian keterangan secara langsung di sidang pengadilan.207


204
Ibid., hlm. 297
205
Ibid.
206
Ibid.
207
Ibid., hlm. 303
102

Akan tetapi, lain halnya dengan alat bukti keterangan ahli yang

berbentuk laporan. Alat bukti ini sekaligus menyentuh dua alat bukti yang

sah. Menurut Eddy O.S. Hiariej menyatakan bahwa “jika ahli dibawah

sumpah telah memberikan keterangan tertulis diluar persidangan dan

keterangan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan, keterangan ahli

tersebut merupakan alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli”.208

Adapun penjelasan keterangan ahli menyentuh dua sisi alat bukti

yang sah adalah sebagai berikut:

1. Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, tetap dapat

dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Sebagaimana yang ditegaskan

dalam penjelasan Pasal 186 menyebutkan bahwa “Keterangan ahli ini

dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau

penuntut umum yang dituangkan dalam sebuah laporan dan dibuat dengan

mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”. Bentuk

alat bukti keterangan ahli yang seperti itulah yang diatur dalam Pasal 133

ayat (1) KUHAP, yakni laporan yang dibuat oleh seorang ahli atas

permintaan penyidik atau taraf pemeriksaan penyidikan. Oleh penjelasan

Pasal 186 laporan seperti itu bernilai sebagai alat bukti keterangan ahli

yang diberi nama alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan.

2. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga

menyentuh alat bukti surat. Alasannya ketentuan Pasal 187 huruf c

KUHAP telah menentukan salah satu diantara alat bukti surat, yaitu “ Surat

keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan


208
Eddy O.S. Hiariej., Op.,Cit., hlm. 107
103

keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang meminta secara

resmi dan padanya”.

Memperhatikan bunyi ketentuan itu, salah satu bentuk alat bukti surat

yang dimaksud oleh Pasal 187 huruf c, termasuk kedalam bentuk surat

keterangan ahli. Benar Pasal 187 huruf c tidak menyebutkan dengan kata-kata

yang persis sama dengan apa yang disebut pada penjelasan Pasal 186. Akan

tetapi, kalau ditelaah dengan seksama, tidak ada perbedaan pengertian

keterangan ahli yang dituangkan dalambentuk laporan seperti apa yang disebut

pada penjelasan Pasal 186, dengan kalimat surat keterangan ahli yang memuat

pendapat yang berdasarkan keahliannya sebagaimana yang tertuang dalam

Pasal 187 huruf c.

Pada dasarnya, kedua susunan kalimat diatas mengandung pengertian

yang sama. Keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan tiada lain

daripada surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai suatu hal keadaan yang dimintakan kepadanya.209

Adapun penjelasan Pasal 186 yang menyebutkan dengan tegas saat membuat

laporan, yakni dibuat pada taraf pemeriksaan penyidikan. Sedangkan Pasal 187

huruf c bentuk surat keterangan ahli itu tidak jelas dengan tegas saat pada saat

pembuatannya. Hal itu tidak jadi persoalan. Karena titik berat persoalannya

bukan pada saat pembuatan keterangan itu oleh ahli. Namun yang menjadi

pegangan adalah bentuk laporan yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 186

209
Ibid., hlm. 303
104

adalah serupa nilai bobot pembuktiannya. Sama-sama sekaligus menyentuh

dua sisi alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang.210

Pada satu sisi keduanya dapat dikatagorikan dan dipergunakan sebagai

alat bukti surat. Pada sisi lain dapat juga dikatagorikan sebagai keterangan ahli.

Terserah kepada hakim untuk mempergunakan nama alat bukti yang akan

diberikan. Hakim dapat menilai dan menyebutnya sebagai alat bukti keterangan

ahli atau dapat pula menyebutnya sebagai alat bukti surat. 211 Dengan

keleluasaan itu hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum

memberi nama atas alat bukti tersebut tidak sama sekali menimbulkan

perbedaan penilaian pembuktian. Kedua alat bukti tersebut, baik alat bukti

keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama memiliki nilai pembuktian

yang bebas dan tidak mengikat (vrij bewijskracht).

Namun apabila ada beberapa alat bukti keterangan ahli, seperti

misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi keterangan soerang ahli auditor

BPK, yang satu berbentuk keterangan ahli berupa laporan, dan yang satu lagi

berupa keterangan ahli di sidang pengadilan. Namun kedua alat bukti tersebut

hanya menerangkan satu hal atau keadaan tertentu, seperti kerugian negara

yang berhubungan dengan perkara tindak pidana korupsi. Lantas apakah alat

bukti keterangan ahli yang demikian hanya dianggap satu atau dua alat bukti?

Dalam ketentuan seperti itu, harus di anggap hanya satu alat bukti. Keduanya

hanya bernilai satu pembuktian. Dan belum memenuhi minimum pembuktian

210
Ibid., hlm. 304
211
Ibid.
105

(bewijs minimmum) yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.212 Adapun jalan

pemikirannya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Apa yang diungkap dan diterngkan kedua alat bukti keterangan ahli itu,

hanya berupa penjelasan suatu hal atau keadaan tertentu, yaitu tentang

kerugian negara;

2. Sedangkan siapa pelaku tindak pidana korupsi, sama sekali tidak terungkap

dalam keterangan ahli tersebut;

3. Lagi pula, pada umumnya keterangan ahli hanyalah merupakan pendapat

ahli mengenai hal atau keadaan tertentu menurut pengetahuan dalam bidang

keahliannya. Yang artinya ahli menguraikan berdasarkan keahlian atau

pengalaman ahli secara umum tanpa mengerucut pada penilaian konkret atas

perbuatan terdakwa yang di sidangkan. Ahli pun tidak dibolehkan

memberikan penilaian terhadap salah satu tindaknya terdakwa berdasarkan

fakta persidangan yang ditanyakan kepadanya.213

Ditinjau dari segi jalan pemikiran diatas, memberikan gambaran bahwa

keterangan ahli pada umumnya hanya bersifat melengkapi dan mencukupi nilai

pembuktian alat bukti yang lain. Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa

didukung alat bukti lain, tidak cukup dan tidak memadai pembuktian kesalahan

terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan

Pasal 185 ayat (2) yang menegaskan bahwa seorang saksi saja tidak cukup

untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip inipun, berlaku untuk alat

212
Ibid., hlm. 305
213
Ibid., hlm. 107
106

bukti keterangan ahli. Bahwa seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap

cukup membuktikan kesalahan terdakwa maka harus disertai dengan alat bukti

lain.214

Karena dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat bukti pada

hakikatnya sama, tidak ada satu melebihi yang lain. Kekuatan pembuktiannya

sama-sama bersifat bebas (vrij bewijskracht). Tegasnya, alat bukti dalam

hukum acara pidana tidak mengenal hirarki.215 Hakim bebas menerima, atau

tidak menerimanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima

kebenaran keterangan dari seorang ahli. Akan tetapi, hakim dalam

mempergunakan wewenang kebebasan dalam menilai pembuktian, harus

benar-benar bertanggungjawab atas landasan moral demi terwujudnya

kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.216

Menurut Eddy O.S Hiariej, dalam keterangannya sebagai ahli di

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) penggolongan alat

bukti dalam teori pembuktian yang bersifat universal, yaitu: 217

1. Primary evidance, merupakan bukti langsung yang berkaitan dengan

peristiwa pidana (direct evidence). Bukti langsung ini terdiri dari saksi, surat

dan keterangan terdakwa.

2. Secondary evidance, merupakan bukti yang tidak memiliki keterkaitan

langsung dengan peristiwa pidana (indirect evidance), namun diperlukan

214
M. Yahya Harahap, Op.,Cit., hlm. 305
215
Eddy O.S. Hiariej,.Op.,Cit., hlm. 25
216
M. Yahya Harahap, Op.,Cit., hlm. 304-305
217
Eddy O.S. Hiariej, “Sidang Sengkata PILPRES 2019”, Pidato, Kesaksian Ahli di Mahkamah
Konstitusi, 21 Juni 2019.
107

untuk menjernihkan persoalan berdasarkan bukti sebelumnya. Bukti tidak

langsung ini dapat berupa keterangan ahli. Keterangan ahli diperlukan

dalam rangka memperkuat bukti physical evidance atau real evidance dalam

rangka membuat terang suatu peristiwa hukum.

3. Tertiary evidance, merupakan bukti yang berpijak dari bukti lain. Bukti ini

dalam ketentuan alat bukti disebut dengan bukti petunjuk. Bukti petunjuk

merupakan bukti yang berpijak dari bukti primary, sebagaimana ketentuan

Pasal 188 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa bukti petunjuk dapat

diperoleh dari; keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Adapun dengan adanya penggolongan alat bukti diatas, tidak

menjadikan nilai atau kekuatan dari masing-masing alat bukti sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) itu berbeda antara bukti yang satu dengan

yang lainnya. Namun penggolongan itu diperuntukkan dalam penggunaan alat

bukti di persidangan, guna membuktikan perbuatan pidana yang semakin

canggih terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Di dalam pembuktian,

apabila bukti prmary evidance tidak bisa membuktikan suatu tindak pidana,

maka akan beralih pada level bukti selanjutnya yaitu secondary evidance,

tergantung tingkat kecanggihan tindak pidana serta kerumitan dalam

membuktikannya.

Hal yang sama-sama kita ketahui bahwa yang menjadi persoalan dalam

proses pidana adalah penemuan dari kebenaran matriil atau kebenaran yang

historis. Sumber yang paling murni dari kebenaran tersebut adalah mengalami

sesuatu secara langsung.218 Persoalan kekuatan pembuktian setiap alat bukti


218
A. Karim Nasution, Op.,Cit., hlm. 20
108

dalam rangkaian penilaiaan mengenai suatu peristiwa pidana, guna

memperoleh kebenaran matril dari persoalan itu merupakan otoritas penuh dari

hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian antara alat bukti

yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada

bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak. 219

Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah

pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau tidak. 220 Oleh karena itu hakim

harus menilai keadaan-keadaan yang ia sendiri secara langsung tidak

mengalaminya, maka agar pembuktian suatu dapat dilakukan dengan sebaik-

baiknya, maka hakikat dari pembuktian itu menghendaki agar segala bahan

yang diperlukan untuk menentukan kebenaran tersebut disampaikan

sedemikian rupa kepada hakim, sehingga ia dapat memperoleh gambaran yang

jelas tentang suatu kejadian, seakan-akan terjadi dihadapannya, seakan-akan ia

sendiri mengalaminya secara langsung.221 Menururt hakim Yanto,222

menyatakan bahwa dalam pemeriksaan di persidangan yang berlaku saat ini

adalah seperti ini, dimana Jaksa Penuntut Umum atau Penasehat Hukum

diperkenankan seluas-luasnya untuk mengajukan seluruh alat bukti yang terkait

dengan perkara yang disidangkan di depan pengadilan, yang dengan seluruh

bukti yang diajukan hakim dapat menilai minimum bukti ia memperoleh

keyakianan dalam menjatuhkan putusan.

219
Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit., hlm. 25
220
Ibid.
221
A. Karim Nasution, Op.,Cit., hlm. 21
222
Fachrur Rozie, “Sidang BLBI, Ysril Sebut Aneh Ahli BPK Nilai Perkerjaannya Sendiri”,
Liputan 6 tanggal 07 Agustus 2018.
109

Untuk menarik putusan berdasarkan dalam kegiatan pembuktian harus

didasarkan pada dua hal yang tak terpisah, yakni alat-alat bukti dan keyakinan

hakim itu sendiri, keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri. Sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”. Oleh karena itu, dalam mengadakan suatu penilaian

mengambil keputusan, hakim harus hati-hati, harus cermat dan matang dalam

menilai dan mempertimbangkan lebih atau kurangnya kepastian yang dapat

diperoleh tentang fakta-fakta sebagai dasar penilaian dalam mengambil sebuah

putusan dalam suatu perkara.

Sebab jika setelah kegiatan pembuktian di jalankan, diperoleh fakta-

fakta (mendukung tindak pidana) dakwaan dari minimal dua alat bukti yang

sah, majlis hakim mendapatkan 3 (tiga) keyakinan. Yaitu; (a). Keyakinan

terbukti terjadinya tindak pidana, (b). Keyakinan bahwa terdakwa

melakukannya, (c). Keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya

peniadaan pidana selama persidangan), maka pidana (veroordeling)

dijatuhkan.223 Sebaliknya jika menurut keyakinan hakim tindak pidana

dakwaan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak). Namun

apabila tindak pidana dakwaan terbukti dilakukan oleh terdakwa, dalam

persidangan terbukti adanya dasar/alasan meniadakan pidana baik (dalam

maupun luar undang-undang), maka tidak dibebaskan, juga tidak dipidana.


223
Adami Chazawi, Op.,Cit., hlm. 26
110

Dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van alle

rechtsvervolging).224

Konsekuensi yuridis daripada putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap adalah pelaksanaan putusan itu sendiri. Sebgaimana

yang disebutkan oleh J. R Spencer dalan M. Yahya Harahap menyebutkan

bahwa; putusan hakim melalui badan peradilan sama dengan putusan Tuhan.

Sedemikian rupa kedudukan istimewanya yang dimiliki peradilan dan hakim

sehingga putusan yang dijatuhkan melalui badan peradilan adalah judicium dei

atau devinum judicium atau disebut that judgment was that of god.225 Apabila

putusan yang ditajuhkan hakim melalui peradilan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap (gazag van gewijsde, res judicata), putusan itu tidak dapat

diganggu guugat lagi. Siapapun tidak ada yang dapat mengubahnya. Putusan

itu meski dilaksanakan walalupun itu kejam dan tidak menyenangkan.226

224
Ibid., hlm. 27
225
M. Yahya Harahap, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 11
226
Ibid.
111

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sebagai hasil penelitian dan pembahasan diatas maka penulis dapat

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum masih menghadirkan ahli yang telah

memberikan bukti tertulis hasil audit dalam perkara tindak pidana korupsi

didasari kewenagan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menuntut pelaku

tindak pidana korupsi yang didakwakan dengan menggunakan Pasal 2 dan

Pasal 3 UU Tipikor tentu menjadi suatu kewajiban untuk membuktikannya

berdasarkan bukti-bukti yang diperkenankan berdasarkan Pasal 184 ayat (1)

KUHAP jo Pasal 26A UU Tipikor. Dalam pembuktian, JPU tidak hanya

membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan juga harus membuktikan

kerugian negara yang ditimbulkan (actual loss). Oleh karena itu, tentunya

kehadiran ahli sebagai alat bukti untuk mendukung pembuktian surat

dakwaan di persidangan sangat penting. Dimana selain sisi alat bukti

keterangan ahli berupa kesimpulan audit kerugian negara yang dijadikan

sebagai salah satu alat bukti surat, bukti keterangan ahli juga dapat

memberikan tambahan petunjuk menngenai konstruksi perkara yang


112

disidangkan, sehingga pada saat pembuktian di depan persidangan bisa

menguatkan surat dakwaan.

2. Perlindungan hukum bagi tersangka/terdakwa untuk menghadapi kesamaan

bukti ganda oleh aparatur penegak hukum dalam perkara tindak pidana

korupsi, Advokat selaku penasehat hukum terdakwa berperan mendampingi

dan membela tersangka/terdakwa di setiap tahap proses peradilan. Adapun

upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh Advokat terhadap

pengajuan lat bukti ganda oleh aparatur penegak hukum dalam sidang

pengadilan yaitu; a) Memohonkan kepada Majlis Hakim yang memimpin

jalannya persidangan, supaya mengklarifikasi kepada Jaksa Penuntut Umum

terkait keberadaan posisi ahli sebelum mengangkat sumpah di depan

persidangan, supaya tidak membingungkan (confuse). b) mengajukan

pembelaan terdakwa (pledoi) atas pengajuan alat bukti ganda oleh Jaksa

Penuntut Umum ke dalam pemeriksaan di persidangan. c) mengajukan bukti

pembanding atas bukti ganda yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dengan demikian selanjutnya memohonkan kepada Majlis hakim untuk

memutuskan putusan yang seadil-adilnya atas terdakwa yang melakukan

tindak pidana korupsi.

3. Kekuatan pembuktian keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit

dalam perkara tindak pidana korupsi sama dengan kekuatan alat-alat bukti

lainnya, yakni bersifat bebas dan tidak mengikat bagi hakim (vrij

bewijskracht). Bukti keterangan ahli disertai bukti tertulis hasil audit


113

dianggap sebagai satu alat bukti. Keduanga hanya bernilai satu pembuktian.

Karena kedua alat bukti tersebut hanya menerangkan satu hal atau keadaan

tertentu saja, yakni mengenai kerugian negara.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan diuraikan di atas,

maka permasalahan kekuatan alat bukti keterangan ahli disertai bukti tertulis

hasil audit dalam perkara tindak pidana korupsi, penulis memberikan saran

sebagai berikut;

1. Jaksa Penuntut Umum

Dalam mengajukan bukti untuk membuktikan suatu perkara yang di

sidangkan pengadilan, bukti yang diajukan diharapkan tidak hanya

mengutamakan sifat kuantitatif alat bukti, melainkan juga perlu

memperhatikan kulitatif dari bukti-bukti yang diajukan. Ketentuan konsep

pembuktian perlu juga diperhatikan sebagai pedoman dalam pembuktian

seperti; a), bukti harus relevan, b) bukti haruslah dapat diterima

(admissible), c) bukti harus diperoleh dengan cara-cara yang sah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan d) bukti harus

bisa dievaluasi oleh hakim.

2. Penasehat Hukum

Dalam memberikan perlindungan hukum Advokat sebagai profesi hukum

yang berperan dalam mendampingi, serta membela kepentingan hak-hak

hukum tersangka/terdakwa dalam proses peradilan. Advokat ditutut untuk

selalu berperan aktif dalam diperhatikan pemenuhan hak-hak


114

tersangka/terdakwa disetiap tahapan proses peradilan, demi berjalannya

proses peradilan yang adil dan bersih tanpa ada hak-hak tersangka/terdakwa

yang dicedrai dalam setiap tahap proses peradilan.

3. Hakim

Dalam memeriksa suatu perkara hakim harus menilai keadaan-keadaan yang

ia sendiri secara langsung tidak mengalaminya, sedangkan hakim dituntut

untuk menilai suatu perkara berdasarkan alat bukti seakan-akan terjadi

dihadapannya, seakan-akan ia sendiri mengalaminya secara langsung. Oleh

karena itu hakim harus hati-hati, harus cermat dan matang dalam menilai

dan mempertimbangkan lebih atau kurangnya kepastian yang dapat

diperoleh tentang fakta-fakta sebagai dasar penilaian hakim terhadap

perkara yang disidangkannya.


115

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A Karim Nasution, 1976, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses


Pidana, Direktorat Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta.

Abdulkadir Muhammad, 2004, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar


Grafika, Jakarta.

Adami Chazawi, 2018, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,


Media Nusa Creative, Malang.

Adami Chazawi, 2018, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,


Media Nusa Creative, Malang.

Agustinus Herimulyanto, 2019, Sita Berbasis Nilai Pengembalian Aset


Tindak Pidana Korupsi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Amiruddin, 2010, Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa, Genta


Publishing, Yogyakarta.

Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya,


Gramedia, Jakarta.

Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya.

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Andi Muhammad Sofyan & Abd Asis, 2017, Hukum Acara Pidana Suatu
Pengantar, Kencana, Jakarta.
116

Azwar Saifudin, 2005, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bambang Poernomo, 1995, Hukum Acara Pidana Pokok-Pokok Peradilan


Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Bambang Waluyo, 2015, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar


Grafika, Jakarta.

Brigita P. Manohara, 2017, Dagang Pengaruh, (Trading in influence) di


Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, 2016,


Pendidikan Anti Korupsi Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta
Timur.

Denny Indrayana, 2012, Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi


Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Total Media, Yogyakarta.

Denny Indrayana, 2016, Jangan Bunuh KPK, Intaran Publishing,


Indonesia Corruption Watch, PUKAT UGM, Yogyakarta, Bogor,
Melbourne.

Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.

Eddy O.S. Hiariej, 2016, Hukum Pidana, Universitas Terbuka, Tangerang


Selatan.

Ermansjah Djaja, 2013, Memberantas Korupsi Bersama KpK, Edisi


Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Bandung.

F. Sugeng Istano, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta.

Fachmi, 2011, Keputusan Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum


Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, PT. Ghalia
Indonesia Publishing, Jakarta.

Fajlurrahman Jurdi, 2017, “Logika Hukum, Kencana, Yogyakarta.

Febri Hamdayani, 2016, Bantuan Hukum Di Indonesia, Kahmedia,


Yogyakarta.

Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum Di Indonesia, PT. Elex


Media Komputindo, Jakarta.
117

Frans Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia
Bukan Belas Kasihan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Fred Kerlinger, 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Diterjemahkan


Landung R. Simatupang, Gadjah Mada Universitas Press,
Yogyakarta.

Gupta & Rekan, 2012, Korup & Orup, 64V-Denpasar, Denpasar.

H. Deddy Ismatullah & Beni ahmad Saebani, 2018, Hukum Tata Negara:
Refleksi Kehidupan Ketata Negaraan di Negara Repoblik
Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung.

H. Elwi Danil, 2011, Korupsi Konsep,Tindak Pidana dan


Pemberantasannya, PT. Rajagrafindo Persada, Padang.

H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra


Aditya Bakti, Bandung.

H.M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral & Keadilan: Sebuah Kajian
Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta,

H.P. Pangebean, 2020, Pemulihan Aset Tindak pidana Korupsi Teori-


Praktik dan Yurisprudensi Di Indonesia, Buhana Ilmu Populer,
Jakarta.

Hari Sasangka & Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
CV Mandar Maju, Surabaya.

Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, PT.


Alumni, Bandung.

Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan
Pidana Di Indonesia, Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi
Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mavia Hukum, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

J. Supranto, 2003, Metode Penelitian hukum dan Statistik, PT Rineka


Cipta, Jakarta.

Juniver Girsang, 2012, Abuse Of Power; Penyalahgunaan Kekuasaan


Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana
Korupsi, JG Publishing, Jakarta.
118

Jur. Andi Hamzah, 2004, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di


Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi,


Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.

Kuffal H.M.A, 2003, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum,


Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Lasdin Wlas, 1989, Cakrawala Advokat Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum Dan Khusus,
PT. Alumni, Bandung.

Luhut M.P Pangaribuan, 2003, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta.

M Hadin Muhjad dan Nunung Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum


Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta.

M Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan


KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan
Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.

M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika


Jakarta.

M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan


KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan
Peninjauan Kembali, Sinar Grafika.

M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan


KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika.

Mansur Kartayasa, 2017, Korupsi & Pembuktian Terbalik, Kencana,


Jakarta.

Mansyur Semma, 2008, Negara Dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,


Jakarta.

Marcus Priyo Gunarto, 2018, Dekonstruksi Putusan Bebas & Putusan


Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Maria S.W Sumardjono, 2014, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian


Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
119

Maria S.W. Sumarjono, 2001, Panduan Pembuatan Usulan Penelitian,


Sebuah Panduan dasar, PT Gramedia Pustaka, Jakarta.

Marzuki Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Yogyakarta.

Mochtar Lubis, 1993, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Moh Hatta (a), 2014, KPK dan Sistem peradilan Pidana, Liberty,
Yogyakarta.

Muhammad Hasyim, 2020, Akses Bantuan Hukum Di Sulawesi Tenggara,


Scopindo Media Pustaka, Surabaya.

Muhammad Mustofa, 2010, Persekongkolan Birokrat-Korporat Sebagai


Pola White Color Crime di Indonesia, Kencana, Jakarta.

Mukri Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif Dan Empris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Munir Fuady, 2018, Toeri Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT.
Citra Aditya, Bandung.

Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi,


UII Press, Yogyakarta.

Nurul Irfan, 2011, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta.

O.C. Kaligis, 2008, Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi, PT. Alumni,
Bandung.

Pusat Kajian Anti Korupsi, 2008, Mega Skandal Korupsi Di Indonesia,


PUKAT Korupsi FH UGM, Yogyakarta.

Pusat Kajian Anti Korupsi, 2014, Pengadilan Yang (Tak Kunjung) Tegak,
PUKAT Korupsi FH UGM, Yogyakarta.

R. Subekti, 2018, Hukum Pembuktian, Balai Pustaka, Jakarta.

R. Wiyono, 2005, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

Redatin Perwadi, 2010, Koruptologi, Kanisius, Yogyakarta.

Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta.
120

Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ruslan Renggong, 2016, Hukum Pidana Khusus; Memahami Delik-Delik


Di Luar KUHP, Prenada Media Group, Makasar.

Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

SF Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.

Sirahayu Oktoberia & Niken Savitri, 2011, Butir-Butir Pemikiran Dalam


Hukum, PT. Revika Aditama, Bandung.

Soebekti, 2008, Kamus Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitan


Indonesia Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2014, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan


Singkat, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Suharto RM, 1997, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika,


Jakarta.

Suhartono RM, 1997, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar


Grafika, Jakarta.

Supandriyo, 2019, Asas Kebebasan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana,


Arti Bumi Intaran, Yogyakarta.

Sutrisno Hadi, 1987, Metodologi Research, Yayasan Penerbitan Fakultas


Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tolib Effendi, 2014, Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan


Pembaharuan di Indonesia), Setara Press, Malang.

Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi


Penyalahgunaan Komputer , Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

WJS. Purwadarmita, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai


Pustaka, Jakarta.

Yahman & Taringan Nurtin, 2019, Peran Advokat Dalam Sistem Hukum
Nasional, Kencana, Jakarta.
121

Yesmil Anwar & Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya


Padjadjaran, Bandung.

Yudi Kristiana, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif


Hukum Progresif, Thafa Media, Jakarta.

Zainal Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Zulkarnain, 2008, Praktik Peradilan Pidana, In-Trans Publishing, Malang.


B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun


2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan


Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang


Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Putudan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016

C. Karya ilmiah

Afrialdo Masrizal, “Pelaksanaan Penyelidikan Dan Penyidikan Perkara


Pidana Oleh Kepolisian Terhadap Laporan Masyarakat”, JOM
Fakultas Hukum Vol. III No. 2 Oktober 2016.

Arifin Pratama Mapia, “Tinjauan Yuridis Hak Tersangka Untuk


Mendapatkan Penasehat Hukum Menurut Pasal 56 ayat (1)
KUHAP”, Lex Crimen, Vol. VII No. 10 Desember 2018.

Boby Segah, “Dua Sisi Auditing; Eksternal dan Internal Pemerintah”,


Anterior Jurnal, Vol. 18 Issue 1 Desember 2018
122

Gabrelia K.. Kaawoan, “Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Dan


Terpidana Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan”, Lex
Administratum, Vol. V No. 1 Januari 2017.

Gigik Tri MR, Nurbaedah, “Perenan Keterangan Saksi/Ahli Dalam Proses


Penyidikan Tindak Pidana Untuk Menuju Terangnya Keadilan
Dalam Proses Hukum Di Indonesia”, Mizan Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 8 No. 1 Juni 2019

Hadi Alamri, “Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Menurut


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, Lex Privatum, Vol
V No. 1 Januari-Februari 2017

Hanafi; Reza Aditya Pamuji, “Urgensi Keterangan Ahli Sebagai Alat


Bukti Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Al’Adl,
Volume X No.1 Januari 2019.

Rafiqa Qurrata’ayun, 2010, “Kualifikasi dan Obyektivitas Ahli Dalam


Pemeriksaan Perkara Pidana”, Tesis, Program Studi Pascasarjana
Ilmu Hukum Dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta.

Syahirul Alim Kurniawan, 2014, “Nilai Pembuktian Dan Kualifikasi


Keterangan Ahli Dari BPK Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

D. Makalah/Pidato

Eddy O.S. Hiariej, “Pembukrian Terbalik Dalam Pengembalian Kejahatan


Korupsi”, Pidato, Pengukuhan guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Januari 2012.

Eddy O.S. Hiariej, “Diskursus Perubahan UU KPK Melemahkan Atau


Menguatkan ?”, Pidato, Bulaksumur Academician Club Pada
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 19 September 2019

Eddy O.S. Hiariej, “Sidang Sengkata PILPRES 2019”, Pidato, Kesaksian


Ahli di Mahkamah Konstitusi, 21 Juni 2019.

E. Artikel majalah/ koran

Ahda Bayhaqi, “Yusril Keberatan Jaksa Hadirkan Auditor BPK Sebagai


Ahli Dalam Sidang BLBI”, Merdeka.com, 6 Agustus 2018
123

Bangun Santoso, “Sidang BLBI, Yusril Persoalkan Ahli Yang Dihadirkan


KPK”. News.com, 6 Agustus 2018.

Dery Ridwansah, “Yusril Keberatan Paparan Ahli BPK Di Sidang BLBI”,


Jawapos.com, tanggal 7 Agustus 2018.

Fachrur Rozie, “Sidang BLBI, Ysril Sebut Aneh Ahli BPK Nilai
Perkerjaannya Sendiri”, Liputan 6 tanggal 07 Agustus 2018.

M Anwar, “Sidang Kasus BLBI, Yusril Permasalahkan Saksi dari BPK”,


Teropong Senayan, 6 Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai