Anda di halaman 1dari 154

UNIVERSITAS INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA


KEHUTANAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH
KHUSUS (PERDASUS) NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG
PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN
DI PROVINSI PAPUA

T E S I S

NIXON NIKOLAUS NILLA


NPM : 1006755872

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JULI 2012

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : NIXON NIKOLAUS NILLA

NPM : 1006755872

Tanda Tangan :

Tanggal : 03 J u l i 2012

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : NIXON NIKOLAUS NILLA
NPM : 1006755872
Program Studi : Pascasarjana
Judul Tesis : Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada
Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji : Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H.,M.A (………………......)

Pembimbing : Dr. Ignatius Sriyanto, S.H.,M.H (………………......)

Penguji : Dr. Surastini Fitrasih, S.H.,M.H (………………......)

Ditetapkan di : J a k a r t a.
Tanggal : 03 Juli 2012

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
segala berkat, rahmat dan penyertaan yang dari pada-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua”.

Proses penegakan hukum di bidang kehutanan dilakukan melalui suatu sistem


yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system). Sistem
peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh
karena itu, hal ini sangat berhubungan erat sekali dengan Perundang-Undangan pidana itu
sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena Perundang-
Undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana yang akan
diwujudkan dalam suatu bentuk penegakan hukum.

Dengan demikian, dalam tesis ini akan membahas tentang penegakan hukum
terhadap tindak pidana kehutanan berdasarkan peraturan daerah khusus (Perdasus) nomor
21 tahun 2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Berdasarkan
fakta dalam lingkungan masyarakat adat di provinsi Papua selaku pengguna hak ulayat
memberikan petunjuk bahwa pengeloaan hutan secara umum dilakukan oleh Negara untuk
kemakmuran seluruh warga Negara Indonesia, di samping itu pula secara khusus
pengeloaan hutan secara adat (hutan adat) di kelola juga oleh masyarakat adat khususnya di
Provinsi Papua, demi kepentingan dan kemakmurannya sendiri yang diamanatkan dalam
Otonomi Khusus. Penegakan hukum dalam pengelolaan hutan khususnya hutan adat yang
berbasis berkelanjutan pada prinsipnya sangat memerlukan suatu bentuk aturan hukum adat
untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di suatu wilayah
adat, sehingga dengan demikian Pemerintah Daerah Provinsi Papua menganggap sangat
perlu untuk membentuk suatu peraturan yang secara khusus dapat melindungi dan
mengakomodir semua hak-hak masyarakat adat di Provinsi Papua pengelolaan hutan
adatnya masing-masing, seperti pengelolaan hutan berkelanjutan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka pada tanggal 20 Desember 2008
dikeluarkan dan disahkannyalah suatu Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Provinsi
Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua
sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua. Sehubungan hal tersebut diatas, untuk melakukan suatu penegakan
hukum terhadap tindak pidana kehutanan pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus
Papua (Perdasus) Nomor 21 tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di
Provinsi Papua, sudah barang tentu tidak sejalan dengan eksistensi dan implementasi dari
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasca dikeluarkanya Peraturan
Daerah Khusus Papua. (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan Di Provinsi Papua serta akan berpengaru terhadap regulasi pengelolaan hutan
berkelanjutan di Provinsi Papua.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan pihak-pihak lain, tesis ini
tidak mungkin terwujud, oleh karena itu pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis
menghanturkan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pimpinan Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang telah memberikan ijin dan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Fakultas Hukum Program
Pascasarjana di Universitas Indonesia;

2. Bapak Rektor dan Wakil-Wakil Rektor Universitas Indonesia;

3. Ketua Progran Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rosa
Agustina, S.H., MH., dan Kepala Sub Program Magister Ilmu Hukum Dr. Nurul
Elmiyah, S.H., MH.;

4. Prof. H. Marjono Reksodiputro, S.H., MA., selaku Ketua Konsentrasi Hukum dan
Sistem Peradilan Pidana, dan Dr. Ignatius Sriyanto, S.H.,M.H, selaku Dosen
Pembimbing Utama yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan tesis ini, serta Ibu Dr. Surastini Fitrasih, S.H.,M.H, selaku penguji yang
dengan sabar telah menguji tesis ini.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


5. Bapak dan Ibu Dosen, yang dengan penuh dedikasi yang tinggi telah memberikan
pelajaran dan pengetahuan kepada kami selama proses pembelajaran;

6. Seluruh Staf Administrasi pada Program Ilmu Hukum dan Staf Hukum Sekretariat
Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, serta Staf Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, yang telah mendukung kelancaran selama proses belajar
mengajar;

7. Kedua Orang Tua penulis, yaitu Bapak Dominggus Nilla dan Ibu Maria Magdalena
Maniagasi, kemudian kepada (Alm) Bapak Mertua ku dan Ibu Mertua ku Yohana Ruru
Mangera dan kepada Istri Ku yang tercinta Dian Novita Bualangi, SE, beserta kedua
Mutiara ku tersayang Mardo Alesandro Nilla Mahuse, Marsya Agnesia Nilla Mahuse,
dan Calon Mutiara ku yang akan dilahirkan, terima kasih yang tak terhingga atas segala
kasih sayang, perhatian, semangat, dan kepercayaannya, karena berkat Doa dan
dukungan kalian semua, penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi S.2 ini pada
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia;

8. Saudara dan sahabat ku seperjuangan Jhon Ilef Malamassam, Dede Hendra, Sigid,
Devid, Abdi Reza, dan Hajar, serta semua rekan-rekan sesama Mahasiswa Program
Pascasarjana Universitas Indonesia tahun angkatan 2010 yang tidak sempat penulis
sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang, bahu membahu dalam rangka
menyelesaikan proses perkuliahan ini, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya
selama ini semoga tidak terlupakan dan semoga sukses untuk kalian semua, serta kepada
semua pihak yang telah membantu, baik secara moriil dan materiil kepada penulis dalam
penyelesaian studi ini, kiranya Allah Bapa, Allah Anak dan Perantaraan Roh Kudus
yang empunya hidup ini memberkati kita semua.

Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pihak-
pihak yang telah banyak membantu, yang tidak disebutkan pada penulisan ini karena
keterbatasan penulis.

Sebagai manusia yang penuh keterbatasan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa


tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun metode penyajian,

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


sehingga dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua kritik, pendapat dan saran
yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya, demi penyempurnaan tesis ini.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi
pihak-pihak yang meluangkan waktunya untuk membaca tesis ini dan semoga tesis ini dapat
pula memberikan tambahan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum Kehutanan,
khususnya dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.

Salemba, 03 Juli 2012

Nixon N. Nilla Mahuse

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
Ini :

Nama : Nixon Nikolaus Nilla


NPM : 1006755872
Program Studi : Pascasarjana
Departemen : Pendidikan Dan Kebudayaan.
Fakultas : Hukum Universitas Indonesia
Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan Peraturan


Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan Di Provinsi Papua.

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta.
Pada tanggal : 03 Juli 2012

Yang Menyatakan

(NIXON NIKOLAUS NILLA)

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Nixon Nikolaus Nilla


Program Studi : Pascasarjana-Sistem Peradilan Pidana
Judul : Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah
Khusus (PERDASUS) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Di Provinsi Papua.

Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya
masyarakat hukum adat Papua selaku pengguna hak ulayat. Sejak berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia
mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat Papua atas sumber daya alam,
termasuk di dalamnya sumber daya hutan. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan dengan
keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Papua yang dilakukan melalui jalinan
kerjasama setara dan adil, dengan tetap perpegang pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan dan
pemerataan. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yaitu jenis penelitian yang didasarkan
pada pemikiran bahwa telaah terhadap permasalahan yang nampak dalam fenomena masyarakat hukum adat
di Provinsi Papua yang menggunakan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua sebagai dasar dalam pengelolaan hutan
berkelanjutan dengan dikeluarkanya Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA,
kemudian untuk mengumpulkan data penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara
terhadap para ahli hukum dan petugas penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, instansi pemerintah
serta Akademisi. Sedangkan Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konsep (conceptual
approach). Pendekatan Undang-undang dilakukan untuk meneliti pasal-pasal yang berkaitan dengan
Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2008, sedangkan pendekatan konsep digunakan untuk
memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan Kehutanan, serta mencari kejelasan mengenai persepsi
(pandangan) masyarakat Papua dan aparat penagak hukum di Papua tentang Peraturan Daerah Khusus
Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, maka di peroleh beberapa kesimpulan bahwa Penerapan Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan di Provinsi Papua sebagai implementasi Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 telah
diberlakukan di Papua. Dalam penerapannya, fakta membenarkan bahwa adanya perdasus kehutan tersebut
telah di terima oleh masyarakat Papua khususnya hampir sebagian besar masyarakat adat di Papua, namun
penerapannya belum efektif secara menyeluruh. Hal ini akan menjadi dilema ketika masyarakat hukum adat
diperhadapkan dalam dua kondisi aturan yang bertentangan atau tidak sejalan, maka sangat diperlukan
regulasi yang bisa membatasi dan memperjelas kedudukan kedua jenis hukum tersebut, dengan kata lain
adanya singkronisasi dan harmonisasi aturan Perdasus kehutanan Papua dan aturan-aturan dari menteri
kehutanan, dimana apabila hukum adat masih diakui keberadaannya, maka penting bagi negara untuk
memberikan ruang bagi pemberlakuan hukum-hukum adat sepanjang dapat menjamin kemakmuran bagi
warga Negara dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.

Kata Kunci : Eksistensi, Implementasi, Regulasi, Sinkronisasi, Harmonisasi, Peraturan Daerah Khusus
Nomor 21 Tahun 2008 tantang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


ABSTRACT

Name : Nixon Nikolaus Nilla


Study Program : Post Graduate-Criminal Justice System
Title : Law Enforcement Against Foresty Criminal Act (Illegal Logging) by a Special Local
Regulation Number 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua
Province.

Forest management in Papua province has so far not improve the welfare of the Papuan people, especially the
indigenous people of Papua as users of customary rights, and not strengthen the fiscal capacity of government
in the province of Papua. Forests in Papua province is a creation and gift of Almighty God, must be used wisely
for the welfare of mankind, both current generation and future. Since the enactment of the Law of the Republic
of Indonesia Number 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province, the state and people of Indonesia
recognize, honor and respect the rights of Papuan indigenous people over natural resources, including forest
resources. Forest management in Papua province is done by partisanship, protection and empowerment of
indigenous people of Papua, in order to achieve prosperity and independence in the Republic of Indonesia.
Forest management in Papua province through the fabric of equal and fair cooperation, while perpegang on the
principles of environmental sustainability, fairness, equity and human rights.The method used is the Judicial
Normative, the type of research that is based on the notion that the examination of the problems evident in the
phenomenon of indigenous people in Papua province that uses the Papua Special Local Regulation
(Perdasus) No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua Province as the basis of sustainable
forest management by the Governor Regulation No. 13 of 2010 on IUPHHK-MHA, and then to collect data on
field research carried out using interview techniques to legal experts and law enforcement officers in this case
the police, prosecutors, judges, government agencies and academics. While the research approach used in
this study is to use the approach of legislation (Statute approach) as well as the approach to the concept
(conceptual approach). The law approach taken to examine the articles associated with the Papua Special
Local Regulation No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua province, while the concept of
the approach used to understand the concepts related to forestry, as well as seek clarity on the perception the
law of Papua and Papua enforcement officials on the Papua Special Local Regulation No. 21 of 2008 on
Sustainable Forest Management in Papua Province.Based on the results of research that has been done, then
obtained a conclusion that the implementation of Sustainable Forest Management in Papua province as the
implementation of the Special Local Regulation No. 21 of 2008 has been enacted in Papua. In practice, a fact
confirmed that the Special Local Regulation No. 21 of 2008 has been accepted by the people of Papua in
particular most of the indigenous people in Papua, but its application has not been effective as a whole. This
will be a dilemma when confronted indigenous peoples in the two conditions of a rule that contradicts or is
inconsistent, it is necessary regulations that could restrict and clarify the legal status of both types, in other
words, the synchronization and harmonization of rules Special Local Regulation No. 21 of 2008 and rules
minister of forestry, which if customary law is recognized, it is important for countries to make room for the
application of customary laws to ensure prosperity for all citizens in sustainable forest management.

Keywords : Existence, implementation, regulation, synchronizing, Harmonization, Special Local Regulation No.
21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua province.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………............................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN .…………………………………………….............................. iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………............................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………………………......... viii
ABSTRAK .………..…………………………………………………………………………… ix
ABSTRACT ....………………………………………………………………………………… x
DAFTAR ISI ………………………….…………….…………………………………............ Xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………………… xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………………... Xv
1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………………….. 1
1.2 Perumusan Masalah ..…………………………………………………………………… 8
1.3 Tujuan Penelitian ..……………………………………………………………………… 10
1.4 Manfaat Penelitian .……………………………………………………………………… 11
1.5 Kerangka Teori .………………………………………………………………………… 11
1.6 Kerangka Konseptual ..………………………………………………………………… 22
1.7 Metode Penelitian .……………………………………………………………………… 26
1.8 Sistematika Penulisan ..…...….………………………………………………………… 27

2 PENGELOLAAN HUTAN DITINJAU DARI HUKUM DI BIDANG


KEHUTANAN…………………………………………………………………………….... 28
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Hutan dan Hasil Hutan .…………………………………. 28
2.1.1 Pengertian Hutan, Kehutanan, Asas dan Tujuan Kehutanan ...…….…………… 31
2.1.2 Status, Fungsi, Dan Pengurusan Hutan ..……………………………................ 36
2.1.3 Pengelolaan Hutanan ...…………………………………………………............ 49
2.1.4 Perizinan Kehutan Dan Perlindungan Hutan ....………………………………… 53
2.1.5 Pemanfaatan Hutan ……………………………………………………………… 56
2.2 Instrumen Perizinan Tindak Pidana Kehutanan .…...…………………………….……. 70

3 EKSISTENSI, IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI


PAPUA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN
1999 TENTANG KEHUTANAN..................................................................................... 88
3.1 Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, Pasca Dikeluarkan Peraturan
Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Provinsi Papua ………………………….................................................................... 97

3.1.1 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus


Provinsi Papua …………………………………………………………………. 99
3.1.2 Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan dalam
Peraturan Daerah Khusus Papua ……………………………………………… 107
3.2 Hak dan Kewajiban Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Masyarakat Hukum Adat …………………………………………………………….. 113
3.3 Pengaturan Sanksi dalam Perdasus 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan …............................................................................................................ 115
3.4 Penerapan Hukum Yang Menjadi Kendala Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Kehutanan Di Provinsi Papua ………………………………………………………… 116
3.4.1 Tumpang Tindih Aturan Hukum ......................................................................... 116
3.4.2 Sanksi Pidana Terhadap Pelaku ………………………………………………… 122
3.5 Analisa Putusan Pengadilan Kasus Tindak Pidan Kehutanan Di Provinsi Papua .…..... 124

4 PENUTUP ............................................................................................................................ 133


4.1 Kesimpulan ..…………………………………………………………………………… 133
4.2 Saran-Saran .…………………………………………………………………………… 134

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perdasus Papua Mengatur Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat dalam
Pengelolaan Hutan …………………………………………………………………............................... 96

Tabel 3.2 Prosedur Perizinan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum
Adat (IUPHHK-MHA) …………………………………………………………….................................. 99

Tabel 3.3 Rangkuman Jenis Izin dan Bentuk Usaha pada Hutan Produksi ………………….......... 100

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Peta Suku Wilayah Adat Provinsi Papua dan Papua Barat ……………………............. 95

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.1 Putusan Peninjauan Kembali atas nama H. Romzan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya hutan merupakan salah satu ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang
memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini.
Sebab di dalam hutan telah diciptakan segala makhluk hidup baik besar, kecil, maupun
yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di samping itu, di dalamnya juga hidup sejumlah
tumbuhan yang menjadi hamparan, yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal ini menjadi
sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik, yang dipergunakan untuk membangun
bangsa dan negara. Oleh karena itu, aset yang terdapat di dalam hutan sangat dibutuhkan
untuk menambah pendapatan negara dan pendapatan daerah, sehingga dengan adanya
pengelolaan hutan tersebut dapat pula menopang pendapatan masyarakat yang bermukim di
sekitar hutan.

Sejak awal dekade 1970-an, sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan


peranan penting dalam pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa
non migas, pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak
pembangunan daerah. Karenanya, guna mempertahankan produktivitasnya sumber daya ini
perlu dijaga kelestariannya. Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau
dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan
pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan
semakin meningkat. 1Pembangunan kehutanan mempunyai landasan filosofis,2 landasan
konstitusional,3 dan landasan operasional,4 yang ketiganya telah ditetapkan secara nasional. Di

1
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010).
2
Dalam landasan filosofis dijelaskan bahwa pembangunan kehutanan raerupakan suatu bagian dari
pembangunan nasional maka harus mampu pula menunjukkan rangkaian usaha yang mancarminkan pengamalan Pancastla,
terutama sila kelima Pancasila. Dengan berpegang teguh pada Pancasila, maka bangsa Indonesia dalam membangun
kehutanan akan tetap terjaga dan selalu berada dalam rangkuman kiprah pembangunan nasional.
3
Landasan konstitusional pembangunan kehutanan diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa hutan sebagai salah satu kekayaan alam dengan
keanekaragaman fungsinya, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

1
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
samping ketiga landasan tersebut menjadi dasar pembangunan kehutanan, maka landasan yang
bersifat teknis operasional juga menjadi landasan dalam pelaksanaan pembangunan
kehutanan. 5

Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar
untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi yang sangat besar
tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang
memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia, setelah Saire dan Brasil. Hutan
di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropis dataran rendah dan
dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau
(mangrove), selain itu negara Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan
terluas di dunia. Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta hektar,
Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar. 6

Lebih jauh Agung Nugroho mengemukakan, terakhir, sektor kehutanan berperan


dalam upaya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah
pedalaman yang terpencil. Kegiatan pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan telah
mendorong sektor kehutanan menjelma menjadi tulang punggung ekonomi regional. Fakta
paling aktual atas fenomena tersebut adalah besarnya kontribusi sektor kehutanan terhadap
angka Produk Domestik Brutto (PDB) 7. Dengan peran dan kontribusi dalam pembangunan
ekonomi tersebut, sektor kehutanan secara langsung maupun tidak juga telah membantu
terwujudnya proses integrasi sosial kultural berbagai komunitas.

Beranjak dari hal di atas, untuk mengembangkan sumber daya hutan sebagai
pemasok dana pembangunan, diperlukan suatu data base sumber daya hutan yang dimiliki
oleh Indonesia. Namun demikian, untuk mengetahui secara pasti berapa luas hutan di
Indonesia, sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh
beberapa alasan: Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang

4
Landasan operasional dalam pembangunan kehutanan antara lain adalah : Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Ho.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan pembangunan hutan dan kehutanan.
5
Salim, Dasar-Dasar Kehutanan, (Jakarta Sinar Grafika) 1997, hal., 1.
6
Ibid.
7
Ibid.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Departemen Kehutanan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan pengertian ini dan Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1980 luas hutan di Indonesia diperkirakan seluas
143,8 juta ha. Kedua, pelaksanaan inventarisasi hutan relatif terlambat dan ini masih
berlanjut. Keadaan ini menyulitkan penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai
contoh, hasil penelitian Report selama Tahun 1985-1989 atas dasar hasil foto udara 1982,
memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63% dari seluruh luas hutan Indonesia.
Penelitian paling akhir oleh proyek kehutanan 1990 FAO/RI, memperkirakan bahwa
wilayah hutan yang paling efektif hanya 109 juta ha atau 57% dari luas daratan nasional.
Angka yang sering digunakan untuk luas lahan hutan adalah 140,3 juta ha, terdiri atas 30,8
juta ha hutan lindung, 18,8 juta ha cagar alam dan taman nasional, 64,3 juta ha hutan
produksi, dan sekitar 26,6 juta ha hutan telah dialokasikan untuk dikonversi menjadi lahan
pertanian, perumahan, transmigrasi, dan tata guna lahan bukan hutan lainnya 8.

Kini kawasan hutan Indonesia tercatat seluas 104.876.635 atau sekitar 54,6% dari
keseluruhan total luas daratan. Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan 18.154.507 hektar (339)
unit. Kawasan hutan tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, kawasan suaka alam
yang terdiri atas cagar alam 2.283.142 hektar (168) unit dan suaka margasatwa 3.612.323
hektar (42) unit. Sementara kawasan hutan pelestarian alam meliputi Taman Wisata
299.117 hektar (75) unit, Taman Bum 248.932 hektar (13) unit, Taman Nasional
11.458.993 hektar (30) unit dan Taman Hutan Raya 252.089 hektar (11) unit. Selain
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga
terdiri atas hutan lindung seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472 Daerah Aliran
Sungai (DAS). 62 DAS di antaranya termasuk DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan
176 DAS prioritas III. Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi
Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 28.675.811 hektar
dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.717.786 hektar. 9

8
Ibid.,hal. 2
9
Ibid.., hal. 5

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Khusus untuk Provinsi Papua, Hutan di Papua hampir 80% (delapan puluh
persen) dari luas wilayah Provinsi Papua 10, yang mana luas kawasan hutan Papua seluas
31.079.185 hektar 11, merupakan salah satu pusat keanekaragaman biodiversity dunia,
dengan 16.000 spesies flora. Selain itu terdapat 124 genera angiosperma yang bersifat
endemik, dibandingkan dengan 59 genera di Kalimantan, 17 di Sumatera dan 10 di Jawa.
Kekayaan sumberdaya hutan ini belum banyak berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Papua. Berdasarkan Human Development Index Provinsi Papua
menduduki peringkat kedua dari bawah setelah Nusa Tenggara Barat 12.

Sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, perekonomian


Provinsi Papua sebagai bagian dari perekonomian nasional dan global diarahkan dan
diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-
usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sember daya alam dilakukan
dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat hukum adat, memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan
pembangunan berkelanjutan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memanfaatkan sumberdaya alam harus dilakukan berdasarkas prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap menghormati hak-hak
masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha. 13

Fakta bahwa di Papua terdapat sekitar 250 suku atau marga yang mempunyai
bahasa berbeda dan dalam satu komunitas yang relatif kccil, di sisi lain menguasai areal
hutan masyarakat hukum adat yang cukup besar. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
masyarakat hukum adat sangat tergantung pada hutan, namun dalam pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan selama ini masyarakat hukum adat belum banyak dilibatkan.

10
Pemerintah Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Peraturan Pelaksanaannya, (Dinas Kehutanan dan
Konservasi Provinsi Papua, (Provinsi Papua, 2011)
11
Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua”, http://mrpapua.wordpress.com/Blog Majelis Rakyat
Papua, diunduh 08 Mei 2012.
12
Lihat Penjelasan Atas Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Op.cit., hal. 2
13
Hadi Setia Tunggal, Himpunan Peraturan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintah Aceh
dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cet. 1, (Jakarta : Harvarindo, 2011).

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Sejalan dengan semangat otonomi khusus Papua maka diperlukan adanya
keberpihakan kepada masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan pembangunan di Provinsi
Papua. Keberpihakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan percepatan pembangunan
dalam rangka mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Keberpihakan terhadap masyarakat
hukum adat meliputi empat bidang pembangunan yang merupakan kebutuhan primer
masyarakat hukum adat yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktui dan ekonomi. 14

Salah satu bentuk keberpihakan tersebut adalah melalui pelaksanaan pengelolaan


hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat, dalam bentuk pemberian kesempatan kepada
masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan masyarakat hukum adat. Pemberian hak
pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat ditekukan
dalam bentuk Kesatuan Pcngelolan Hutan Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya
disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHK).

Pengawasan dan pengendalian diperlukan untuk menjamin bahwa pengelolaan


hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat Papua dilaksanakan berdasarkan prinsip,
kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari. Lestari fungsi produksi, lestari fungsi
ekologi, dan lestari fungsi sosial budaya masyarakat hukum adat.

Guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari


berbasis masyarakat hukum adat Papua, maka perlu ditetapkan pengaturan dalam bentuk
Peraturan Daerah Khusus. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pengelolaan hutan
masyarakat hukum adat dilakukan dengan berasaskan manfaat, lestari, pengakuan dan
penghormatan terhadap hak masyarakat adat, penghormatan HAM, keadilan dan
demokrasi, kebersamaan dan transparansi, peningkatan nilai tambah dan keuntungan
finansial bagi daerah dan kesejahteraan umat manusia. 15

Pengelolaan hutan dalam bentuk pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan


hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat dilakukan oleh masyarakat hukum
adat baik sendiri maupun bersama mitra untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan warga masyarakat lain dengan tetap

14
Ibid., hal. 28
15
Ibid.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


mengikuti prinsip-prinsip pelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial
budaya. 16

Bentuk konkrit hak masyarakat Papua dituangkan dalam dua peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah dan peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi
Papua.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2005 luas hutan Provinsi Papua
40.803.131,95 Ha, banyak pihak diantaranya lembaga internasional dan pemerintah daerah
Papua melihat potensi hutan Papua sebagai satu lokasi penting untuk pengembangan
proyek penyerapan dan penyimpanan karbon dalam skema REDD (Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation). Namun pertanyaan pentingnya adalah
bagaimana mengamankan hak-hak masyarakat adat/masyarakat hukum adat papua
berdasarkan kondisi kebijakan yang ada, baik kebijakan nasional maupun kebijakan lokal
dalam kerangka Otonomi Khusus Papua.

Perdasus Papua tidak seperti UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang
berikan pengertian hutan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan biologis dan pendekatan
politis. Perdasus kehutanan Papua hanya memakai pengertian hutan secara biologis yaitu
hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati
yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Perdasus Kehutanan Papua menentukan bahwa hutan masyarakat adat adalah


hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian hutan masyarakat
adat di Perdasus ini membuat perubahan substantive terhadap pengertian hutan adat yang di
atur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tenatang Kehutanan yang menyatan bahwa hutan adat
adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. Penegasan
substantif itu memisahkan hutan adat dengan hutan Negara, bahkan lebih jauh, Perdasus
kehutanan Papua ini tidak menegaskan adanya penguasaan kawasan hutan berbasiskan hak
lain diluar hutan Masyarakat Hukum Adat.

16
Ibid., hal. 43

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Kendali yang tetap dipegang pemerintah adalah pada penetapan siapa Masyarakat
Hukum Adat yang berhak mengelola hutan, penetapan fungsi-fungsi hutan berupa
konservasi, lindung, dan produksi serta kendali perizinan pemanfaatan hasil hutan maupun
kawasan tersebut. 17

Persoalan lain yang kemudian dipolemikkan adalah Permenhut yang bertentangan


dengan semangat UU Otsus Papua. Permenhut sendiri berisikan sejumlah poin, antara lain
masyarakat local diperbolehkan menjual kayu ke luar daerah kecuali harus membayar
iuran. Soal Perdasus Kehutanan Papua, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Marthin
Kajoi, berpendapat, pihaknya telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengakomodir
semua kepentingan masyarakat adat. “Saya sudah tidak mau lagi pengalaman beberapa
tahun lalu terulang yaitu tentang Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA),”
ujarnya dalam sebuah pertemuan di Sentani.

Menurut bekas Koordinator Forest Wacth Indonesia Regio Papua, Lindon


Pangkali, “Kebijakan ini tentu belum bisa memuaskan semua pihak terutama masyarakat
adat. Mereka pasti kecewa. Apalagi di dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dalam
Pasal 5, tetap mengganggap hutan negara dapat berupa hutan adat. Artinya, hutan negara
yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap)”.
Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau
sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam
pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh Negara sebagai
organisasi.
Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, masyarakat
adat tentu akan mengalami goncangan. Meski untuk beberapa peristiwa ini tidak terjadi.
Tidak juga meniadakan hak-hak masyarakat sepanjang hutan masih ada dan diakui
keberadaannya. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada
pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.

17
“Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat dalam Otonomi Khusus di papua”
http://www.docstoc.com/docs/33395264/Politik Hukum Pengakuan hak Masyarakat Adat dalam Otonomi-Khusus,
diunduh 12 Desember 2011.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Dalam pengertian-pengertian tersebut, disatu sisi, jelas bertentangan dengan
definisi masyarakat adat menurut Konggres Masyarakat Adat Nusantara (1999), yaitu
komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial
budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya. 18

Carut marut dan konflik sumberdaya lahan hutan di Indonesia adalah ranah
sosiologi politik negara yang menzalimi properti lahan yang seharusnya menjadi domain
rakyat. Ketika negara menyatakan bahwa semua sumberdaya alam dikuasai negara, maka
rakyat pasti melakukan perlawanan untuk memperoleh hybrid tenure baru dalam kehidupan
mereka… dan itu artinya “konflik” akan segera berlangsung dan berkepanjangan. Semua
kegiatan yang berlabel HKM (Hutan Kemasyarakatan), Hutan adat, Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Desa, kemitraan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di
Jawa, Kemitraan pada Hutan Tanaman Industri MHBM (Manajemen Hutan Berbasis
Masyarakat), semuanya mencerminkan hybrid tenure yang sesungguhnya dapat dibaca
sebagai langkah peredam konflik, dan dapat juga dibaca sebagai tindakan rejim politik
kapitalis yang anti pada etnositas, karena memang ciri kapitalisme adalah “anti etnositas”
tersebut. Tidak banyak orang mengerti teori-teori sosial yang dalam, tetapi mereka sudah
berani bicara sosial, sehingga seringkali bicara sosial kemasyarakatan sektor sumberdaya
alam, termasuk tenure bagai orang meraba-raba tanpa tau apa yang diraba, maksud hati
ingin membela kepentingan masyarakat, tetapi justru diperalat oleh (negara) kapitalis yang
anti etnik tersebut untuk lebih menyesengsarakan rakyat. 19

Dari perkara-perkara Tindak Pidana Kehutanan yang terjadi di Papua sebelum


dikeluarkannya Perdasus dan Pasca dikeluarkanya Peraturan Daerah Khusus Provinsi
Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua
serta Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), apakah tidak bertentangan atau
tidak sejalan dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

18
http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/tong-pu-tanah/2406-perdasus kehutanan-dan-kph-di-
papua--keberpihakan-setengah-hati di unduh tangga 11 Desember 2011.
19
Hak Masyarakat dalam pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan, www.wg-tenure.org,
diunduh tanggal 12 Desember 2011

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


1.2 Perumusan Masalah

Proses penegakan hukum di bidang kehutanan dilakukan melalui suatu sistem


yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system). Sistem
Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan. 20 Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan
hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan
pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena
perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in
abstracto” yang akan diwujudkan delam penegakan hukum “in concreto”. 21 Lebih lanjut
menurut Prof. Satjipto Rahardjo bahwa “apabila kita berbicara mengenai penegakan
hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-
konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum
merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. 22

Pada tanggal 20 Desember 2008 telah dikeluarkan dan disahkannya Peraturan


Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan di Provinsi Papua. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah membuka peluang kepada masyarakat
hukum adat untuk dapat memperdagangkan hasil hutan maupun non hutan sebagaimana
yang diamandatkan dalam Pasal 38 UU Otsus dan Perdasus 21 Tahun 2008.

Ada juga yang menganggap bahwa kebijakan pemerintah daerah terhadap


masyarakat adat tidak terlepas dari sikap kabur dan tidak konsisten yang ditunjukkan oleh
pemerintah pusat. Salah satu bukti aktual adalah sikap pemerintah pusat, dalam hal ini
Departemen Kehutanan, yang menganggap pemberian Izin Pemanfaatan Kayu Masyarakat
Adat (IPKMA) sebagai kebijakan yang Illegal karena bertentangan dengan Undang-
Undang yang lebih tinggi. Padahal menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua,

20
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi MAnusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 84
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Jakarta : Penerbit P.T. Alumni,
2005), hal 197.
22
Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, http : / / www . legalitas .org /incl-php /buka.php ? d
= art+4&f = penegakan%20hukum%20Oka .htm ), di unduh tanggal 09 Desember 2011

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


kebijakan IPKMA justru dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah daerah
mau tidak mau terkena pengaruh atau dampak dari sikap tidak konsisten pemerintah pusat.
Itu sebabnya dalam konteks mencegah ketidakonsistenan pemerintah pusat dalam
melaksanakan UU Otsus Papua, Dewan Adat Papua (DAP) mengusulkan agar dibuat
sebuah peraturan pemerintah yang menjelaskan posisi UU Otsus dihadapan berbagai
peraturan Perundang-Undangan yang ada. 23

1.3 Pertanyaan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka untuk mempertajam


peneliti merumuskan permasalahan “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Kehutanan berdasarkan Pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus)
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua”
dengan pembatasan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah eksistensi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan


pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua?

2. Bagaimanakah implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang


Kehutanan terhadap Provinsi Papua dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua?

3. Bagaimanakah upaya Pemerintah Provinsi Papua mewujudkan hak-hak masyarakat


hukum adat Papua dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian sebagaimana tersebut di


atas, maka penelitian ini bermaksud memperoleh data serta jawaban masalah-masalah yang
berkenan dengan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan
Pasca keluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008

23
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia, (Jakarta, Oktober
2006), hal. 193-194

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua, sehingga dapat dibuat suatu
deskripsi secara rinci untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Maka secara ringkas
tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah eksistensi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus)
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan terhadap Provinsi Papua dihubungkan dengan Undang-
Undang Nomor 21Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
3. Untuk Mengetahui bagaimanakah upaya Pemerintah Provinsi Papua mewujudkan hak-
hak masyarakat hukum adat Papua dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi
Papua.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan


Pasca keluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua” diharapkan dapat meberikan
manfaat untuk :
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap aparatur
hukum dan pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum serta bermanfaat bagi
para akademisi untuk menunjang perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai
tindak pidana kehutanan
2. Manfaat Praktis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para penegak
hukum yang tergabung dalam system peradilan pidana (integrated criminal justice
system) untuk dapat menerapkan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum,
khususnya dalam tindak pidana kehutanan dan mempertimbangkan hak-hak masyarakat
hukum adat yang mengacu pada Otonomi Khusus.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


1.6 Kerangka Teori

Penegakan hukum tidak hanya didasarkan pada pendekatan yuridis saja tetapi
juga dilengkapi dengan pendekatan sosio politis dan sosio kultur sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muladi. 24 Sedangkan Soerjono Soekanto menyatakan secara
konsepsional, “inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, pemeliharaan, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut
dikatakannya keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor ini mempunyai hubungan yang saling berkaitan
dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Faktor-faktor tersebut adalah : 25

1. Hukum (Undang-undang)
2. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.
5. Dan factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Lebih lanjut Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil


tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum
(structure of the law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal
culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi
perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang
dianut dalam suatu masyarakat.

Tentang struktur hukum (structure of the law), Friedman menjelaskan :

“To begin with, the lega system has the structure of a legal system consist of
elements of the kind : the number and size of courts; their jurisdiction...structure

24
Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, Undip, Semarang, 1995, hal. 21.
25
Soerjono Sukanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
(Jakarta : 1983), hlm. 5.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


also means how the legislature is organized….. what procedures the police
departemen follows, and so on. Structure, in a way, is a kind of cross section of
the legal system…. a kind of still photograph, with freezes the action”. 26

Struktur hukum (legal stucture) terdiri jumlah (jenjang) pengadilan dan ukuran
(yuridiksi) dari pengadilan, bagaimana lembaga pembentuk undang-undang dilaksanakan,
prosedur apa yang harus diikuti dan dijalankan oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi
struktur hukum terdiri dari lembaga yang dimaksudkan untuk menjalankan perangkat
hukum yang ada. Di indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum
Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 27

Substansi hukum (substance of the law) menurut Friedman adalah :

“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual
rules,norms,and behavioural patterns of people inside the system...the stress here
is on living law, not just rules in law books”. 28

Yang dimaksudkan substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum (legal substance) menyangkut
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan
menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Intinya ialah bukan saja aturan tertulis
dalam bentuk peraturan perundang-undangan tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat.
Sedangkan mengenai budaya hukum (legal culture), Friedman berpendapat :

“the third component of a legal system, of legal culture. By this we mean people’s
attitudes towards law and legal system their belief...in other words,is the
eliminate of social though and social force wich determines how law is used
avanded and afused”. 29

Budaya hukum (legal culture) yang merupakan sikap manusia termasuk budaya
hukum aparat penegak hukumnya terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun
penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapka dan sebaik
apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-

26
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York : W.W. Norton and Company,1984) hal. 5-6
27
Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal.8.
28
Lawrence M. Friedman, American Law, Ibid
29
Ibid.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan
berjalan secara efektif.

Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika salah satu saja
unsur tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan penegakan hukum di masyarakat
menjadi lemah. Penegakan hukum yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni
sistem peradilan pidana (SPP) yang terdiri dari 4 komponen (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Muladi mengatakan bahwa dalam Sistem
Peradilan Pidana juga diperlukan adanya keterpaduan dan sinkronisasi antar sub sistem.
Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural (structural syncronization),
sinkronisasi substansial (substansial syncronization) dan sinkronisasi kultural (cultural
syncronization). 30

Penyidikan dan penuntutan memegang peranan penting dalam hal penegakan


hukum dalam tindak pidana Kehutanan, penyidik merupakan instansi penegak hukum yang
pertama kali mengetahui suatu peristiwa pidana Kehutanan, baik itu mengetahui sendiri
atau melalui laporan. Sedang penuntut umum merupakan instansi penegak hukum yang
berperan untuk membuktikan dipengadilan tentang tindak pidana Kehutanan yang di
dakwakan. Mengingat peran penting penyidikan dan penuntutan dalam penegakan hukum
dalam tindak pidana Kehutanan, maka salah satu hal yang penting adalah masalah
sinkronisasi dalam sub sistem penyidikan dan penuntutan itu sendiri, baik secara struktural,
substansial maupun kultural. Menurut Purnadi Purbacaraka, bekerjanya hukum bukan
hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka, melainkan aktivitas birokrasi
pelaksanannya. 31

Istilah penegakan hukum dapat dipergunakan terjemahan dari "rechtshandhaving," yang


dimaksud disini adalah hukum yang "berkuasa" dan "ditaati" melalui sistem peradilan pidana
yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. 32 Koesnadi

30
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., h.1-2
31
Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum dalam Mensukseskan Pembanguan, (Bandung: Alumni,
1977), hal.80.
32
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia….. Op. cit., hal. 78-79

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Hardjasoemantri mengemukakan bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas
diberbagai kalangan, yaitu bahwa penegakan hukum hanya melalui proses pengadilan.

Ada pula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata
tanggung jawab aparat penegak hukum. Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh
masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat
bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi masyarakat berperan dalam penegakan
hukum. Masyarakat yang tidak membuang sampah di sungai sudah ikut menegakkan hukum,
karena membuang sampah di sungai adalah pelanggaran.33

Menyangkut istilah penegakan hukum, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa pengertian


penegakan hukum merupakan pelaksanaan hukum secara konkret dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Di samping istilah-istilah penegakan hukum, terdapat istilah
penerapan hukum tetapi tampaknya istilah penegakan hukum paling sering digunakan. 34

Selanjutnya, Andi Hamzah rnenyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalam Bahasa
Indonesia, selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa
penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini
diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu polisi,
jaksa dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup
yang lebih luas. 35

Pendapat lain dikemukakan Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa para penegak
hukum ada kemungkinan dihadapkan pada halangan-halangan, baik yang berasal dari diri sendiri
maupun lingkungan. Halangan-halangan yang dimaksud adalah :

1. Keterbatasan kemampuan untuk menenpatkan diri dalam peranan pihak lain dengan
siapa dia berintefaksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga sulit sekali untuk membuat
suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan materil.

33
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, Cet. II Edisi I, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press), Hal. 375-376.
34
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 181.
35
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995) hal. 61.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


5. Kurangnya daya inovatif yang sebenamya merupakan pasangan konservativisme. 36

Dari kelima halangan yang dikemukakan Soerjono Soekanto di atas merupakan


halangan yang bersumber dan melekat pada diri pribadi penegak hukum. Berhubungan
dengan kelima hal yang dapat menghambat penegakan hukum yang baik, lebih lanjut Soerjono
Soekanto menulis sebagai berikut :

1. Berbicara masalah penegakan hukum tanpa menyinggung manusia yang menjalankan


penegakan hukum itu merupakan pembicaraan yang steril. Apabila kita membicarakan
masalah penegakan hukum hanya berpegang pada keharusan-keharusan sebagaimana
tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka kita hanya memperoleh gambaran sterilitas
yang kosong. la baru menjadi berisi manakala dikaitkan dengan pelaksanaannya yang konkrit
oleh manusia.

2. Masalah yang kedua adalah berhubungan soal lingkungan dari penegakan hukum
tersebut. Masalah lingkungan ini dapat dikaitkan dengan manusianya secara individu,
serta dengan penegakan hukum sebagai lembaga. 37 Dalam lingkup pekerjaan hukum
dalam masyarakat, Robert. B. Seidmen, 38 mengajukan tiga komponen inti yang
mendukung bekerjanya hukum dalam masyarakat (termasuk aspek penegakannya).
Ketiga unsur dimaksud adalah : (a) lembaga pembuat peraturan; (b) lembaga penerap
peraturan; (c) pemegang peran itu sendiri.

Ketiga unsur pendukung penegakan hukum yang diajukan Robert. B. Seidman itu
didasarkan pada empat dalil sebagai berikut :

1) Setiap peraturan hukum memberi tahu tentang bagaimana seorang pemegang


peran diharapkan bertindak;
2) Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu
respons terhadap peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan yang
ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas lembaga pelaksana, serta
keseluruhan kompleks kekuatan sosial politik dan Iain-lain mengenai dirinya ;
3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksanaan itu akan bertindak sebagai respons
terhadap peraturan-peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan
hukum yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, kekuatan sosial politik dan

36
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1986,
hal. 24.
37
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Sinar Baru, (tanpa
tahun), hal. 22.
38
Ibid, hal. 5.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


lain-lainnya yang mengenai diri mereka, serta umpan balik yang datang dari para
pemegang peran itu;
4) Bagaimana pembuat Undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksi, kekuatan
sosial politik, ideologi, dan Iain-lain yang mengenai diri mereka, serta umpan
balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi. 39

Berhubungan dengan persoalan penegakan hukum, I.S. Susanto, mengajukan


empat elemen yang berpengaruh terhadap kualitas penegakan hukum, yaitu Undang-
undang, pelanggar, korban (masyarakat), dan aparat penegak hukum. Keempat komponen
itu berada dalam hubungan yang saling mempengaruhi dan berlangsung dalam wadah
struktur politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam situasi tertentu. 40

Khusus mengenai substansi suatu undang-undang hal yang perlu dicermati adalah
persoalan mengenai "cacat" yang terdapat dalam undang-undang antara lain seperti
kepentingan-kepentingan yang ada di balik undang-undang, siapa atau kelompok
masyarakat adat mana yang akan memperoleh keuntungan lebih besar melalui peraturan
itu, apakah undang-undang tersebut cukup adil dan manusiawi.

Dimensi pelanggar hukum yang perlu diperhatikan adalah hal yang menyangkut
pandangan atau persepsi mereka terhadap undang-undang dan peraturan daerah,
korban/masyarakat, dan aparat penegak hukum, serta pandangan pelanggar hukum
terhadap bekerjanya hukum. Sedangkan faktor korban berhubungan dengan persepsi
mereka tentang apa yang dianggap sebagai kejahatan dan penegak hukum, kepentingan-
kepentingan yang ada, kesadaran dan sikap korban terhadap hak-hak yang diatur dalam
ketentuan hukum.

Faktor aparat penegak hukum merupakan faktor yang menempati posisi strategis,
bahkan menempati posisi kunci dalam menegakkan hukum. Untuk itu hal yang perlu diberi
perhatian khusus adalah yang berhubungan dengan "kepentingan-kepentingan" dan hal-hal
yang melatarbelakangi tindakan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai organisasi dalam
berinteraksi dengan pelanggar, korban dan masyarakat pada umumnya41. Dalam berbagai kajian

39
Ibid, hal. 27.
40
I.S. Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Dalam masalah-masalah Hukum Nomor 9,
tahun 1992, hal. 17.
41
Ibid, hal. 17.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


sistematis tentang penegakan hukum dan keadilan perteori (by theory) terdapat lima pilar hukum
yang harus di penuhi agar penegakan hukum efektif. Kelima pilar hukum dimaksud adalah aparat
penegak hukum, peralatan penegakan hukum, masyarakat sebagai adressat hukum, dan birokrasi
penegakan hukum.42

Penegakan hukum yang baik akan tercermin pada cara kerja komponen dalam
Sistem Peradilan Pidana (SPP), yakni Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai
penuntut umum, Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang berwenang mengadili, dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai lembaga perubahan perilaku. Komponen sistem peradilan pidana
tersebut secara empiris mempunyai tugas yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama
dalam menegakkan hukum 43. Keberhasilan kerja dalam mencapai tujuan penegakan hukum
harus dilihat secara integratif. Artinya keberhasilan komponen yang satu merupakan
keberhasilan komponen yang lain atau kegagalan komponen yang satu merupakan
kegagalan komponen lainnya. Oleh karena itu, kebersamaan dan kerjasama yang baik antar
komponen dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana sangat diperlukan dalam
mencapai tujuan penegakan hukum pidana. Dalam lingkup penyelenggaraan peradilan
pidana, Romli Atmasasmita menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan sistem peradilan
pidana seharusnya lebih diutamakan pandangan yang mengangkat kebersamaan dan
semangat bekerjasama yang tulus dan ikhlas serta positif diantara aparatur penegak hukum
dan mengemban tugas menegakkan keadilan hukum (legal justice). 44
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana harus sesuai dengan cita-cita
penegakan hukum, serta mempertimbangkan dinamika dan perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu penegakan hukum yang hanya melalui pendekatan yuridis semata-mata
sudah tidak memadai lagi, sehingga penegakan hukum perlu dilengkapi dengan pendekatan
sosio politis dan sosio kultural. 45
Mengenai Sisten peradilan pidana Mardjono Reksodiputro memberikan
pengertian sisten peradilan pidana sebagai :

42
Lihat dalam Anto Tabah, "Polri dan Penegakan Hukum di Indonesia", Dalam Kunarto (penyunting),
Merenungi Kritik Terhadap Polri (buku 2), Jakarta, Cipta Manunggal, 2005, hal. 83.; Bandingkan pula dengan
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1986.
43
Tujuan penegakan hukum melalui penyelenggaraan peradilan pidana adalah "the prevention of crime
and treatment of offenders (pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum)".
44
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung, Bina Cipta, 1986, hal. 26.
45
Sukarton Marmosudjono, Menegakkan Hukum Di Negara Pancasila, Ceramah Jaksa Agung RI di
Universitas Bengkulu, 1988, hal. 26.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


"Proses dari suatu rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang maju secara teratur : mulai dari penyidikan, penangkapan,
penahanan, penuntutan, diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh hakim, dipidana
dan akhirnya kembali ke masyarakat”. 46

Sementara itu, menurut Barda Nawawi sistem peradilan pidana pada hakekatnya
identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem "penegakan hukum" pada dasarnya
merupakan "sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan. hukum''. Kekuasaan/kewenangan
menegakkan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah "kekuasaan kehakinan".
Oleh karena itu, sisten peradilan pidana atau sistem penegakan hukun pidana pada hakekatnya juga
identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana”.47 Sistem peradilan
pidana yang pada hakekatnya merupakan “sistem kekuasaan penegakkan hukum pidana” atau

sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”, diwujudkan atau diimplementasikan dalam
empat subsistem, yaitu :

a. Kekuasaan “penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik);


b. Kekuasaan “penuntutan" (oleh badan/lembaga penuntut umum);
c. Kekuasaan "mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana" oleh badan pengadilan); dan
d. Kekuasaan "pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksana/ eksekusi) 48

Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana
dipandang sebagai masalah sosial. Ada empat pertimbangan yang melandasi pemikiran
Hulsman yaitu :

a) Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan;


b) Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan;
c) Sistem peradilan pidana tidak terkendalikan; dan
d) Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar. 49

Selama ini menurut Hulsman telah terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan
kejahatan atau penjahat, bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat

46
Mardjono Reksodiputro, Op.,cit, hal. 93
47
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 39-40.
48
Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 40.
49
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, op.
cit., hal. 98

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


tidak selalu berarti bahwa jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus ada pidana. Dalam
konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam
menemukan bentuk lain dari pengendalian sosial (social control) 50

Mengenai pengertian sistem peradilan pidana, Remington dan Ohlin menyatakan


sebagai berikut :

Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem


terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek
administrasi dan sikap atau ringkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya. 51

Michael J. Allen dalam Textbook on Criminal Law, menyatakan bahwa:

"criminal justice system is a tool of social control representing the agglomeration


of powers, procedures and sanctions which surround the criminal law"52.
Menurut Allen, hukum pidana memiliki peranan penting untuk menetapkan
ukuran-ukuran (to set parameters) berjalannya sistem peradilan pidana. 53

Norval Morris, sebagaimana dikutip oleh Mardjono Reksodiputro,


menggambarkan system peradilan pidana secara singkat, sebagai suatu system yang
bertujuan untuk "menanggulangi kejahatan", salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat
diterimanya. 54

Sedangkan Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu


jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai arana utamanya,
baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

50
Ibid
51
Remington dan Ohlin, dalam Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 14. Lihat juga Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 2.
52
Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, Fifth Edition, London: Blackstone, 1999, hal. 2.
53
Ibid
54
Norval Morris, “Intruduction”, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated Approach,
UNAFEI, 1982, hal. 5 sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam
Sistem Peradila Pidana (Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan, Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia, 2007, hal 140.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dari kerangka atau konteks
sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa
yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang
nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus
diperhatikan dalam penegakan hukum. 55

Dalam masalah penanggulangan kejahatan sebagaimana dikemukakan sistem


peradilan pidana, dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan
masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan
dengan diajukannya pelaku ke sidang pengadilan dan menerima pidana. Gambaran di atas
adalah memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas dan
tujuan sistem, termasuk didalamnya adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun
mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak
mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu. Bagi beberapa kalangan
dalam masyarakat, menganggap sistem ini menghasilkan keadilan, sementara sebagian
yang lain untuk mengurangi kejahatan dan ada juga yang mengganggap bahwa keduanya
adalah produk yang dihasilkan oleh sistem peradilan pidana. 56 Dengan demikian cakupan
tugas maupun tujuan sistem ini memang luas, yaitu :

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;


b) Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c) Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Komponen-komponan yang bekerja sama dalam system ini
adalah terutama instansi (badan-badan) yang kita kenal dengan nama
kepolisian - kejaksaan - pengadilan - dan pemasyarakatan. 57

55
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UniversitasDiponegoro,
1995, hal. 4.
56
Freda Adler, Gerhard O.W. Mueller dan Willian S. Laufer, Criminology, New York : McGraw Hill,
1991, hal 343.
57
Mardjono Reksodiputro, “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana
(Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua,
Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
2007, hal 140.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Menurut Romli Atmasasmita, yang juga sependapat dengan Sanford Kadish,
menyatakan bahwa pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan
normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga bentuk pendekatan tersebut
saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur keberhasilan dalam menanggulangi
kejahatan. 58

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, maka pengertian system


peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita merupakan kesatuan mekanisme penegakan
hukum yang didukung unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan unsur lembaga
pemasyarakatan yang bergantung pada sistem hukum (legal system) dan politik kriminal
(criminal policy) yang dianut dan dipergunakan oleh setiap negara. 59 Namun berdasarkan
pendekatannya terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Pendekatan normatif, yang memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian,


kejaksaan pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana
peraturan perundangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari system penegakan hukum semata;

2. Pendekatan administratif, sistem yang digunakan adalah system administrasi yang


memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen
memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang
bersifat vertical sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi
tersebut;

3. Pendekatan sosial, sistem yang digunakan adalah sistem sosial yang memandang
keempat aparatur penegak hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas

58
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, op. cit.,
hal. 16. Lihat juga Sanford Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, vol. 2, The Free Press, 1983, hal. 450. dan
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta: Kencana,
2010, hal. 5.
59
Ibid., hlm. 125

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut
dalam melaksanakan tugasnya. 60

1.7 Kerangka Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto suatu kerangka konsepsionil merupakan kerangka


yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti 61.
Konsep merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah, sehingga konsep
sangat penting bagi cara pemikiran maupun komunikasi dalam penelitian 62. Adapun
pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya
disebut IUPHHK-MHA adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan
produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, pengolahan,
penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan kayu yang diberikan
kepada masyarakat hukum adat pemilik hak ulayat pada areal hutan milik adatnya.

2. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu
atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang
meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

3. Faktur Angkutan Kayu Olahan Rakyat selanjutnya disebut FAKO Rakyat adalah
dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FAKO Rakyat dipergunakan dalam
pengangkutan hasil hutan berupa kayu olahan dari tempat penampungan kayu olahan
dari tempat penampungan kayu olahan didalam areal IUPHHK-MHA.

4. Penerbit FAKO Rakyat adalah petugas dari Dinas Kabupaten/Kota setempat yang
berkualifikasi Pengawas Tenaga Teknis (WASGANIS) yang diangkat dan diberi
wewenang untuk menerbitkan FAKO Rakyat.

60
Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 17. Lihat juga pendapat Romli dalam Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 7.
61
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), Hal. 133
62
Ibid.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


1.7. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Pemilihan jenis


penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa telaah terhadap permasalahan yang
nampak dalam fenomena masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang
menggunakan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor : 21 Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua sebagai dasar
dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dengan dikeluarkanya Peraturan Gubernur
Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA, namun tidak terlepas
kemungkinan untuk mengumpulkan data penelitian lapangan dengan melakukan
wawancara dengan para ahli hukum dan petugas penegak hukum dalam hal ini
polisi, jaksa, hakim, instansi pemerintah serta Akademisi.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah


pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Pendekatan Undang-undang dilakukan untuk meneliti
Pasal-Pasal yang berkaitan dengan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus)
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi
Papua, sedangkan pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep
yang berkaitan dengan Kehutanan, serta mencari kejelasan mengenai persepsi
(pandangan) masyarakat Papua dan aparat penagak hukum di Papua tentang
Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua.

3. Jenis dan Sumber Data

1) Data Primer :

Melalui informasi dan penjelasan dari Masyarakat Hukum Adat


di Provinsi Papua, aparat pememerintah atau pejabat daerah dalam hal ini
Kepala Biro Hukum Provinsi Papua atau petugas penegak hukum yang
yang pernah menangani kasus tindak pidana kehutanan di Papua, serta

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


berbagai putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana Kehutanan
setelah diberlakukannya UU Otsus dan peraturan perundangan lain seperti
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berkaitan dengan materi
penelitian hukum ini.

2) Data Sekunder :

Diperoleh melalui studi kepustakaan untuk memperoleh bahan


hukum primer dengan bahan hukum sekunder yaitu berupa peraturan
Perundang-Undangan yang mempunyai relevansi dengan sistem
pemerintahan di Provinsi Papua, putusan-putusan perkara tindak pidana
kehutanan sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Daerah Khusus
Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan Di Provinsi Papua, Undang-Undang Otonomi bagi Provinsi
Papua, Peraturan Gubernur, serta pembahasan lainnya yang berhubungan
dengan permasalahan ini.

4. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara, yang dilakukan terhadap narasumber yang dianggap relevan


dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka. Beberapa
narasumber tersebut diantaranya adalah Melalui informasi dan penjelasan dari
Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua, aparat pememerintah atau pejabat
daerah, Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku penuntut umum dan Hakim yang
pernah atau sedang menangani perkara tindak pidana Kehutanan. Pemilihan
narasumber ini karena ingin mengetahui sejauh mana perbelakukan UU Otsus
terhadap masyarakat hukum adat dalam Tindak Pidana kehutanan di Provinsi
Papua, begitupula peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder
berupa kepustakaan hukum, literatur/bahan bacaan serta bahan hukum tersier
berupa bahan yang diambil dari media massa yang memuat penelitian yang
dapat menunjang dan digunakan sebagai informasi.

2. Studi Dokumen, dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang


mempunyai relevansi dengan sistem pemerintahan di Provinsi Papua, putusan-

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


putusan perkara tindak pidanana kehutanan sebelum dan sesudah berlakunya
Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua, Undang-Undang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua, peraturan-peraturan Gubernur, serta pembahasan
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan ini.

5. Analisa Data

Data yang bersifat kajian-kajian teoritis dalam bentuk konsepsi-konsepsi,


pandangan-pandangan, dokumen hukum atau perundang-undangan, serta hasil
wawancara akan diolah agar dapat mempermudah menganalisis. Meteode
pengelolahan data yang digunakan adalah pengelolahan data secara kualitatif,
sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk deskriptif analisis yaitu suatu
metode dalam meneliti keadaan suatu kelompok manusia, objek, pemikiran dan
suatu peristiwa yang terjadi. 63

6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua adalah
merupakan salah satu kabupaten dari 5 (lima) Kabupaten di Provinsi Papua, sebagai
Kabupaten percontohan untuk di sosialisasikannya Peraturan Daerah Khusus
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
Oleh karena itu, teknik penentuan sampel lokasi termasuk multi stage sampling
area. Artinya dalam meneliti persepsi (pandangan) masyarakat asli Papua dan
persepsi (pandangan) aparat penegak hukum di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua
terhadap keberadaan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008, secara
khusus perkara Tindak Pidana Kehutanan di Papua, dianggap representative untuk
mewakili ke 4 (empat) Kabupaten lain yang termasuk dalam program pensosialisasi
Perdasus tersebut dan Kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Papua.

63
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indah, 1999), hal. 63.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


1.8 Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab, yang mana
pada tiap bab berisi hal-hal yang didapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB 1 : Pendahuluan.

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan


masalah, pernyataan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, kerangka konseptual, metodologi penelitian, dan juga
sistematika penulisan.

BAB 2 : Pengelolaan Hutan Ditinjau dari Hukum di Bidang Kehutanan

Bab ini akan menguraikan tinjauan umum mengenai hutan dan hasil hutan,
Instrumen Perizinan Kehutanan, Sumber Hukum Kehutanan di Indonesia,
serta uraian secara umum tentang hutan dan hasil hutan, jenis-jenis tindak
pidana dibidang kehutanan dan instrumen Undang-Undang Kehutanan.

BAB 3 : Eksistensi, Implementasi Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua


Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.

Adapun dalam bab ini akan membahas Implementasi Undang-undang


Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan
Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, serta upaya-upaya pemerintah
Provinsi Papua mewujudkan hak-hak masyarakat adat dalam Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

BAB 4 : Merupakan bab penutup, berisi mengenai kesimpulan dan saran.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


BAB 2
PENGELOLAAN HUTAN DITINJAU DARI HUKUM
DI BIDANG KEHUTANAN

Dalam bab 2 ini akan diuraikan pemahaman umum tentang hal-hal yang mendasar
sehubungan dengan tindak pidana kehutanan yang terdiri dari tinjauan umum hutan dan hasil
hutan, jenis-jenis tindak pidana kehutanan serta sumber hukum tindak pidana kehutanan di
Indonesia. Hal ini menurut peneliti penting agar diperoleh batasan-batasan terhadap tindak
pidana kehutanan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 1999 serta.

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Hutan dan Hasil Hutan.

Pengertian mempunyai makna yang sangat penting untuk mengetahui sesuatu.


Dalam artian pengertian akan memberikan gambaran mengenai apa-apa yang terdapat
dalam suatu ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan khusus, misalnya ilmu
hukum. Hal ini berlaku pula pada ilmu hukum Kehutanan.

2.1.1. Pengertian Hutan, Kehutanan, Asas dan Tujuan Kehutanan.

Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan "hutan", misalnya hutan


belukar, hutan perawan, dan Iain-lain. Kata hutan dalam Bahasa Inggris disebut
dengan forrest, sedangkan untuk hutan rimba disebut dengan jungle. Tetapi pada
umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-pohonan yang tumbuh
tidak beraturan. 64

Dalam Black's Law Dictionary :

“Forest is a tract of land, not necessarily wooded reserved to the king or


a grantee, for hunting deer and other game.” 65
Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon yang dipesan oleh raja
untuk berburu rusa dan permainan Iain.

Ahli kehutanan Herman Haeruman J.S. menyatakan :


64
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa,cet. I, (Jakarta : Erlangga,
1995), Hal. 11.
65
Gerner B.A, Black’s Law dictionary, Seventh Edition, (Texas : West Group, Dallas), hal. 660.

28
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
"Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya
melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir maupun erosi dan
sebagainya, serta ekosistem penyangga dan pendukung kehidupan bagi
banyak makhluk," 66

Sementara itu Mochtar Lubis menyatakan sebagai berikut :

"Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbim-tumbuhan berkayu


seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet, kelapa sawit
ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai hutan."67
Sedangkan pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh
Sukardi adalah sebagai berikut :

"Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga
suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan
lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan / pepohonan
baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup
rapat (horizontal dan vertikal). 68
Menurut Pasal 1 huruf b UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
didefinisikan sebagai :

"Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya


alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan,"

Pasal 1 huruf a UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud


dengan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 huruf a di atas, menurut peneliti


hanya ada pengertian kehutanan, tidak termasuk pengertian hukum kehutanan.
Pengertian hukum kehutanan menurut Idris Sarong Al Mar, yaitu serangkaian
kaidah-kaidah atau norma (tidak tertulis) dan peraturan (tertulis) yang hidup dan
dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan 69. Sementara itu menurut Biro

66
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1980), Hal. 6.
67
Muctar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. 196.
68
Sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I, (Yogyakarta :
Universitas Admajaya, 2005), Hal. 12.
69
Idris Sarong Al Mar, dalam Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997),
hal. 6.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan mengemukakan bahwa hukum
kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut
dengan hutan dan pengurusannya 70. Menurut Salim, dari dua defenisi hukum
kehutanan tersebut ada tiga rumusan hukum kehutanan, yaitu : (1) adanya kaidah
hukum kehutanan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis; (2) mengatur hubungan
antara negara dengan hutan dan kehutanan; dan (3) mengatur hubungan antara
individu (perseorangan dengan hutan dan kehutanan) 71. Dengan berpatokan pada
pendapat tersebut, peranan sumber daya hutan memiliki nilai strategis, karena hutan
sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan
dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun
ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola,
dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi ke-sejahteraan rakyat
Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang 72.

Menilik dengan saksama mengenai manfaat sumber daya hutan tersebut


selama lebih kurang 25 tahun terakhir ini, di mana eksploitasi sumber daya dan
tekanan pembangunan mempunyai pengaruh terhadap hutan. Secara keseluruhan,
Bappenas telah menyoroti faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia, yaitu : (a)
pertumbuhan penduduk dan penyebarannya tidak merata; (b) konversi hutan untuk
pertambangan dan pengembangan perkebunan; (c) pengabaian atau ketidaktahuan
mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam
memanfaatkan sumber daya alam; (d) program transmigrasi; (e) pencemaran
industri dan pertanian pada hutan lahan basah; (f) degradasi hutan bakau karena
dikonversi menjadi tambak; (g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan; dan
(h) introdusir spesies eksotik 73.

Mengacu pada faktor-faktor yang menyebabkan hutan mengalami


tekanan, untuk mengatasinya perlu tetap mengacu pada asas yang terkandung di

70
Ibid.
71
Ibid.
72
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
73
Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup (Jakarta : 1996), hlm. 13

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan kehutanan berasaskan
manfaat dan lestari 74, kerakyatan dan keadilan 75, kebersamaan 76, keterbukaan 77, dan
keterpaduan 78. Sejalan dengan asas yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 41 tersebut, khusus mengenai tujuan penyelenggaraan kehutanan diatur
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa,
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : (a) menjamin keberadaan hutan
dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proposional; (b) mengoptimalkan
aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi
produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang
seimbang dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (d)
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan Mngkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal; dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan
berkelanjutan.

Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam
pembangiman bangsa dan negara, keterlibatan negara dalam penataan dan
pembinaan serta pengurusannya sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh hutan
merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

74
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya,
serta ckonomi.
75
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara
sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam
pemberian wcwenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktik monopoli,
monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
76
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara
sinergi antara masyarakat setcmpat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan
usaha kecil, menengah, dan koperasi.
77
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan
penyelenggaraan kehutanan mengikut sertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
78
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan
kehutanan diJakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, scktor lain, dan masyarakat
setempat.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 dinyatakan bahwa, semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ayat (1)). Penguasaan hutan oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah
untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan; fb) menetapkan status wilayah tertentu sebagai
kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur dan
menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur
perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (ayat (2)).

Dalam kaitannya dengan ketentuan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor


41 Tahun 1999 di atas, dalam penjelasannya, khususnya yang berkaitan dengan ayat
(1) menyangkut hasil hutan dinyatakan bahwa hasil hutan tersebut dapat berupa: (a)
Hasil nabati beserta turunannya seperti, kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan,
jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan Iain-lain, serta bagian dari tumbuh-
tumbuhan atau yang diha-silkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan; (b) Hasil
hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa bum,
satwa elok, dan Iain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
(c) Benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan
ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber
air; udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang; (d) Jasa
yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan
keunikan, jasa berburuan, dan Iain-lain; (e) Hasil produksi yang langsung diperoleh
dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang
merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu
lapis, dan pulp.

2.1.2 Status, Fungsi, Dan Pengurusan Hutan

Kedudukan atau status hutan di Indonesia perlu dilakukan penetapan


status dan fungsi agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran terhadap status hutan
tersebut. Penetapan status dan fungsi sangat penting diwujudkan untuk menghindari

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


klaim atau tuntutan dari masyarakat yang saat ini gencarnya menuntut pengakuan
atas hutan hak mereka. Dalam tuntutannya tersebut, sebagian kalangan masyarakat
ingin membedakan secara jelas antara hutan negara dan hutan hak. Sebab di dalam
benak sebagian masyarakat, menganggap bahwa hutan hak adalah hutan yang tetap
di bawah pengawasan masyarakat, khususnya masyarakat adat dan tidak boleh ada
campur tangan negara. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini, telah diatur
mengenai status hutan, agar ada gambaran kepada semua kalangan bahwa walaupun
negara menguasai hutan yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, tetapi juga
mengakui hutan yang telah diakui keberadaannya baik oleh perorangan atau
masyarakat yang dalam bentuk hutan hak.

Berkaitan dengan hal ini, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun


1999 dinyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri atas: (a) hutan negara,
dan (b) hutan hak (ayat (1)). Oleh karena itu, hutan negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat (ayat (2)). Sementara itu, pemerintah
menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan
hutan adat diterapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (ayat (3)). Apabila dalam
perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka
hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (ayat (4)).

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999


tersebut, dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa hutan negara dapat
berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada
masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya
disebut hutan rakyat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan
yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan di dalam pengertian hutan
negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dima-sukannya hutan adat dalam pengertian
hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan
pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan
hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.

Menilik pengakuan hukum adat atas pengelolaan akan hutan dalam


Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan kelanjutan
dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terdahulu mengakui akan hak
masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini terlihat pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria, yang dalam Pasal 5
menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum pertanahan di Indonesia, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pembangunan Kependudukan dan
Kesejahteraan Masyarakat, yang pada inrinya menjamin hak atas pemanfaatan yang
menguntungkan dari lahan yang merupakan warisan berdasarkan hukum adat.

Dalam kenyataannya, pemerintah selalu memperhatikan kepentingan


masyarakat di sekitar hutan sebagai perwujudan dari kepedulian pemerintah
terhadap masyarakat yang telah menjaga dan mengurus hutan secara swadaya.
Bentuk perwujudan perhatian pemerintah tersebut, sejalan dengan kebijakan yang
diberikan sesuai dengan peralihan pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang
lainnya. Hal ini terlihat pada waktu Djamaludin Suryo-hadikusumo menjadi
Menteri Kehutanan pada tahun 1993, proses perhatian terhadap masyarakat hukum
adat semakin nyata dan diimplementasikan dalam bentuk kebijakan. Pada tahun
1995 Menteri Kehutanan mengeluarkan Program Bina Desa dengan SK No.
691/1991 diperluas dengan program baru, yakni Pembinaan Masyarakat Desa
Hutan (PMDH) melalui SK No. 69/1995. Dalam ketentuan tersebut, diatur bahwa
setiap pemilik HPH (Hak Penguasaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri)
diwajibkan mengadakan Pembinaan Masyarakat Hutan Desa (PMDH) di desa-desa
sekitar atau di dalam kawasan konsesi hutan mereka guna mengurangi sebagian
dampak negatif dari operasi mereka. Program Bina Desa, PMDH memasukkan
hutan kemasyarakatan dalam serangkaian proyek sosial mulai dari pemberian
beasiswa, pelayanan kesehatan sampai pinjaman lunak. Keberadaan kedua konsep

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


ini, menurut Rachel Wrangham 79 bahwa, hutan kemasyarakatan di sini sering kali
hanyalah perkebunan skala kecil, yang dikerjakan oleh masyarakat desa yang
sebenarnya adalah buruh kontrak dan menerima upah untuk pekerjaan yang
dilakukan. Hampir semua kajian menyimpulkan bahwa dampak positif dari
program ini kemungkinan bersifat jangka pendek karena hanya meningkatkan
penghasilan sesaat dalam bentuk uang tunai.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999


di atas, kaitan terhadap status hutan sangat berhubungan pula dengan fungsi hutan
itu sendiri. Fungsi hutan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 dinyatakan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: (a) fungsi
konservasi 80; (b) fungsi lindung 81; dan (c) fungsi produk 82.

Berdasarkan status hutan sebagaimana yang diatur Pasal 5 Undang-


Undang Nomor 41 Tahun 1999 di atas, secara teoretis FAO dan pemerintah RI
mengelompokannya menjadi enam tipe berdasarkan potensi pengelolaannya sebagai
berikut :

a. Hutan Pegunungan Campuran (Mixed Hill Forests).

Jenis hutan ini sangat penting berkenaan dengan hasil kayunya. Ini
meliputi sekitar 65% dari seluruh hutan alam Indonesia. Di Sulawesi,
Kalimantan dan Sumatra hutan didominasi oleh suku Dipterocarpaceae, jenis
kayu terpenting di Indonesia. Di Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya yang
bersifat lebih kering, jenis-jenis penting adalah Pomtia spp., Palaqium spp.,
Instia palembanica dan Octomeles.

b. Hutan Submontana, Montana, dan Pegunungan.

79
Rachel Wrangham, Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat, 1960-1999,
dalam, Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Piece Colter, Ke mana Harus Melangkah?,
Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia,(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003),
him. 33.
80
Fungsi konservasi yaitu yang berkaitan dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
81
Fungsi lindung berkaitan dengan fungsi hutan sebagai peiiindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah
82
Fungsi produk berkaitan dengan fungsi pokok sebagai memproduksi hasil hutan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Hutan ini terdapat di daerah-daerah Indonesia dengan ketinggian
antara 1.300 sampai 2.500 meter di atas permukaan laut di mana spesies
Dipterocarpus jumlahnya lebih sedikit. Suku yang dominan adalah Lauraceae
dan Fagaceae.

c. Savana atau Hutan Bambu atau Hutan Luruh dan atau Hutan Musim
Pegunungan.

Hutan ini tidak luas wilayahnya. Padang rumput savana alami terdapat
di Irian Jaya, berasosiasi dengan Eucaplyphis spp, di Maluku berasosiasi dengan
Melaulea dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan Eucalyptus alba. Hutan
Luruh terdapat pada ketinggian sekitar 100 meter, memiliki genera yang tidak
ada di hutan seperti Acacia, Albizzia, dan Eucalyptus hutan di Nusa Tenggara.
Hutan jati di Jawa dibangun hamper 100 tahun yang lalu. Hutan musim
pegunungan terdapat pada ketinggian di atas100 meter.

d. Hutan Rawa Gambut.

Terdapat hanya di daerah-daerah yang iklimnya selalu basah


khususnya di Sumatra, Kalimantan, dan Irian Jaya yang mencakup luas 13 juta
ha atau 10% dari luas seluruh hutan. Spesies yang terpenting adalah Gonystylus
di Kalimantan dan Camnosperma macrophylum di Sumatra.

e. Hutan Rawa Air Tawar

Luasnya sekitar 5,6 juta ha, terdapat di pesisir Timur Sumatra, pesisir
Kalimantan dan di beberapa wilayah di Irian Jaya. Generanya sama dengan
hutan hujan bukan rawa. Di Irian Jaya rumpun pada hutan jenis ini didominasi
oleh sagu.

f. Hutan Pasang Surut.

Hutan bakau (mangrove) adalah bagian yang penting dari hutan


pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta ha. Hutan bakau terutama terdapat di
Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya dan Kepulauan Aru, dan sedikit di Sulawesi
bagian selatan serta Jawa bagian utara. Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan
Cerioops adalah genera utamanya.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


2.1.3 Pengelolaan Hutan

pengelolaan hutan ini sangat penting dilaksanakan untuk mengetahui


sejauhmana pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan tersebut. Selain itu, tujuan
pengelolaan hutan ini, sasarannya agar menghindari terjadunya konflik kepentingan
dalam pengelolaan hutan, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat,
khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, dan konflik yang terjadi
antara pemegang hak pengusaha hutan (HPH) dengan masyarakat, terutama pada
kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

Dalam rangka pengelolaan hutan yang selama ini dicanangkan oleh peme-
rintah secara konseptual telah mendekati suatu fakta bahwa, pengelolaan hutan telah
melalui mekanisme yang benar. Namun demikian, pada satu sisi pemerintah
seringkali mengabaikan pendekatan hutan secara fisik dan nonfisik apabila akan
melakukan pengelolaan hutan. Sebab tanpa membedakan dan memisahkan kedua
pendekatan secara filosofi tersebut, inilah biang keladi kegagalan dalam melakukan
perencanaan dan pengelolaan hutan selama ini. Menurut Hariadi Kartodihardjo83
pemisahan antara hutan sebagai bentuk fisik yang dapat dimliki secara ekslusif dan
hutan yang memiliki fungsi tertentu dan tidak dapat dimiliki secara eksklusif. Hutan
secara fisik dapat ditentukan batas-batasnya secara eksklusif yang kemudian dapat
dibagi-bagi luasnyadan dapat dialihkan hak pengusahaannya kepada pihak lain.
Pihak yang menerima hak dapat memanfaatkan hutan seperti kayu, rotan, getah, dan
Iain-lain. Sebaliknya, manfaat hutan tidak langsung seperti pengendalian erosi,
penjagaan kesuburan tanah, penyerap karbon, dan Iain-lain akan terus berlangsung
tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan pengelolaan hutan. Manfaat tidak langsung
dari hutan tersebut senantiasa keluar dari batas-batas fisik hutan, dan manfaat inilah
yang juga diinginkan keberlanjutannya oleh masyarakat luas, dalam hal ini yaitu
pihak-pihak yang tidak mendapat hak pengelolaan ataupun izin pemanfaatan hasil
hutan.

83
Hariadi Kartodihardjo, Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Kritis Lanjut
Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan, Penerbit, Institute for Development Economics of Agriculture and
Rural Areas (Ideals), Gedung Alumni IPB Lantai 2, Bogor, 2006, hlm. 8.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Menelusuri pendapat Hariadi Kartodihardjo di atas, memberikan
pemahaman bahwa, selama ini pemerintah dalam melakukan suatu perencanaan
yang kemudian tiba pada tahap implementasi berupa pengelolaan maka yang lebih
dominan untuk dibahas dalam perencanaan dan pengelolaan tersebut, hanya
berkisar pada fungsi hutan yang bersifat fisik. Sementara itu, sangat mengabaikan
sifat dan fungsi hutan pada fungsi tidak langsung, sehingga yang terjadi adalah
kerusakan hutan secara fisik yang berdampak pada fungsi hutan secara tidak
langsung. Oleh karena itu, Hariadi Kartodihardjo 84 mengatakan bahwa, tidak keliru
apabila ada yang mengatakan hutan adalah milik umum atau publik (public
property). Namun, perlu lebih spesifik, bahwa yang menjadi milik publik dari hutan
adalah manfaat tidak langsung atau fungsi hutan tidak langsung, sedangkan manfaat
langsungnya dapat dimiliki secara eksklusif oleh para pemegang hak atau izin atau
para pemilik hutan hak, pengelola hutan rakyat, atau pengelola hutan adat.
Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan referensi ilmu institusi dikatakan bahwa
terdapat suatu barang, dalam hal ini hutan, dapat membangkitkan interdependensi
atau ketergantungan antara pihak. Karena keberadaan manfaat tidak langsung dari
hutan tersebut, masyarakat luas mempunyai ketergantungan dengan para pemegang
hak atau izin pemanfaatan hasil hutan atau para pemilik hutan atas kegagalan atau
keberhasilan pengelolaan hutan.

Beranjak dari pemikiran yang dikemukakan oleh Hariadi Kartodihardjo di


atas, dalam kenyataannya apabila dalam melakukan pengelolaan hutan tidak
memahami dengan baik terhadap pembagian fungsi hutan secara fisik dan nonfisik,
di sinilah awal mula timbulnya konflik kepentingan antara pemegang hak atau izin
dan masyarakat pada umumnya. Menurut Agung Nugraha 85 bahwa, secara umum
konflik yang terjadi di kawasanhutan dewasa ini merefleksikan kondisi para pihak
yang berupaya merevitalisasi dan mereposisi perannya dalam pengelolaan sumber
daya hutan serta pola interaksinya para pihak di sektor kehutanan. Dalam perspektif
sosial politik, konflik di kawasan hutan mencerminkan perubahan sistem politik

84
Ibid.
85
Agung Nugraha, Menyongsong Perubahan Menuju Revilalisasi Sektor Kehutanan, (Jakarta
: Aksara, 2004), hlm. 105-106.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


(pemilikan dan penguasaan) terhadap hak politik berupa kewenangan dalam
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Sementara dalam
perspektif sosial ekonomi, konflik yang kirti berkembang merefleksikan tuntutan
terhadap redistribusi aset dan manfaat kelola hutan berkaitan dengan redistribusi
rente ekonomi pengelolaan hutan adil dan profesional. Dari perspektif sosial
budaya, terdapat perubahan paradigma sistem dan tata nilai pengelolaan sumber
daya hutan yang berbasis tradisi dan kearifan lokal.

Bertitik tolak dari pendapat di atas, salah satu cara untuk menghindari
jangan sampai timbul konflik kepentingan terhadap kawasan hutan tersebut, perlu
dilakukan upaya meredamnya. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan upaya
dengan memasukan pengelolaan kawasan hutan pada UU Nomor 41 Tahun 1999,
dengan mengaturnya dalam Pasal 21 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi
: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d)
perlindungan hutan dan konservasi alam.

Dalam penjelasan UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan


merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan
dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Menurut Penulis dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pe-
ngelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan
persepsi masyarakat adat, serta memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat
yang kenyataannya masih ada serta pertimbangan pemerintah pusat pada Provinsi
yang diberikan Otonomi Khusus. Oleh karena itu, pengelolaan hutan pada dasarnya
menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Salah satu sasaran
yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan adalah terjadinya peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan khususnya masyarakat adat yang
bermukim di sekitar hutan, maka dalam pengelolaannya harus dilaksanakan secara
profesional. Keprofesionalan pengelolaan ini, harus diutamakan, karena mengingat
berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan
kemampuan pengelolaan secara khusus.

Hutan merupakan sumber daya alam dan memihki potensi yang dapat
dikembangkan untuk keperluan masyarakat, baik secara individu maupun secara
berkelompok. Selain itu, hutan juga mempunyai nilai sangat berharga bagi suatu
daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Karena penyebaran
wilayah hutan sangat luas, dan kadangkala melintasi batas wilayah antara
kabupaten dan provinsi, untuk mencegah terjadinya ketidakjelasan kewenangan
antara daerah tersebut perlu diatur secara konkret. Dalam Pasal 17 UU Nomor 41
Tahun 1999 dinyatakan bahwa, pembentukan wilayah pengelolaan hutan
dilaksanakan untuk tingkat : (a) provinsi 86; (b) kabupaten/kota; 87 dan unit
pengelolaan ayat (l) 88.

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan hutan


dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi
hutan, kondisi aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat
setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan
ayat (2). Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi
pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur
secara khusus oleh Menteri ayat (3).

Sementara itu, dalam pembentukan wilayah pengelolaan hutan maka yang


Perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan, hal ini sesuai Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan
hutan dan enutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna

86
Pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi yang dapat
dikelola secara lestari.
87
Pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah
kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
88
Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan
perantukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesaman Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
(KPHK), Kesaman Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (KPDAS).

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


optimalisasi 89 manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi
masyarakat setempat ayat (1). Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas
daratan daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional ayat
(2). Hutan memiliki fungsi yang begitu penting bagi masyarakat dan lingkungan,
sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah dalam melakukan tindakan penutupan
terhadap hutan dari kegiatan manusia. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU
Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penutupan hutan (forest coverage) adalah
penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga
dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa
sebagai satu ekosistem hutan. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU
Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa dengan mempertimbangkan bahwa
Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar merupakan curah dan
intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang
bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan
tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas
kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal
30% dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan luas kawasan hutan
untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim,
penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi provinsi dan


kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30%, tidak boleh secara bebas
mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu,
luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada,
melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas
masyarakat. Sebaliknya, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan
hutannya kurang dari 30%, perlu menambah luas hutannya.

89
Optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi secara lestari.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Sejalan dengan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, suatu hal yang
sangat perlu mendapatkan perhatian adalah adanya kegiatan penyusunan rencana
kehutanan. Hal ini sesuai ketentaun dalam Pasal 20 UU Nomor 41 Tahun 1999
dinyatakan bahwa berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi
sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan. Rencana kehutanan
dimaksud disesuaikan dengan mempertimbangkan jangka waktu perencanaan, skala
geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan. Sehubungan dengan
pengelolaan hutan, maka salah satu hal yang sangat berkaitan dengan pengelolaan
hutan adalah tata hutan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 22 UU Nomor 41 Tahun
1999 dinyatakan bahwa tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan hutan
yang lebih intensif 90 untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal 91 dan lestari.
Tata hutan meliputi pembagian kawasan pada blok-blok berdasarkan ekosistem,
tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan ayat (2). Blok-blok tersebut dibagi lagi
ke dalam petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan ayat (3).
Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu ayat (4). Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan peraturan pemerintah ayat (5).

Implementasi dari ketentuan Pasal 22 UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut,


Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, peraturan ini
merupakan PP menggantikan PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Terjadinya pembahan PP Nomor 34
Tahun 2002 ke PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan dalam diktum pertimbangan
PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, dalam rangka meningkatkan laju
pertumbuhan pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan beberapa langkah
strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan

90
Intensif pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi dan kondisi
masing-masing kawasan.
91
Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang
optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian
nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui
deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan
pengelolaan hutan lestari. Dalam Pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan
bahwa, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan 92 serta pemanfaatan
hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. Oleh karena iru, tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan merupakan suatu kegiatan yang sangat
penting, maka kewenangan untuk melakukan penataan hutan merupakan tanggung
jawab pemerintah, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 PP Nomor 6 Tahun 2007
dinyatakan bahwa, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta
pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan pemerintah
dan pemerintah daerah ayat (1). Seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri 3 (tiga) fungsi pokok hutan, yaitu: (a) hutan konservasi; (b)
hutan lindung; dan (c) hutan produksi ayat (2). Kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang
menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ayat (3).

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu usaha yang padat


modal dan memerlukan teknologi tinggi, sementara itu, pemerintah tidak memiliki
modal yang cukup untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan. Oleh karena itu,
pemerintah diperkenankan untuk menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan
kepada pihak swasta nasional, yakni Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hal ini
sesuai ketentuan dalam Pasal 4 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa,
pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 kepada badan usaha milik negara (BUMN) bidang
kehutanan ayat (1). Direksi BUMN bidang kehutanan yang mendapat pelimpahan
penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

92
Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaanhutan; (b)
pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d) rehabilitasi dan reklamasi hutan; serta (c) perlindungan hutan
dan konservasi alam. Pcngaturan mengenai pengguaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta
perlindungan hutan dan konservasi alam, diaur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


membentuk organisasi kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dan menunjuk kepala
kesatuan pengelolaan hutan (KPH) ayat (2). Penyelenggaraan pengelolaan hutan
oleh badan usaha milik negara (BUMN), tidak termasuk kewenangan publik 93 ayat
(3). Penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh badan usaha milik negara (BUMN)
bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
pemerintah tersendiri ayat (4).

Hutan yang merupakan hamparan yang luas, berbukit, landai, dan segala
masalah yang terdapat di dalamnya memerlukan suatu penanganan yang khusus
agar lebih fokus, sehingga memudahkan untuk menanganinya apabila terjadi
masalah-masalah yang berkaitan dengan hutan tersebut. Keberadaan lembaga ini
merupakan perpanjangan tangan pemerintah di bidang kehutanan, yang diharapkan
dapat mengurus segala masalah yang berkaitan dengan kehutanan, lembaga tersebut
yang lazim disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dalam Pasal 5 PP Nomor 6 Tahun
2007 dinyatakan bahwa, Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi : (a) Kesatuan Pengelolaan Hutan konservasi
(KPHK); (b) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL); dan (c) Kesatuan
Penegelolaan Hutan Produksi (KPHP). Oleh karena itu, tugas Kesatuan Pengelolaan
Hutan disesuaikan dengan fungsi hutan yang ada, hal ini sesuai ketentuan dalam
Pasal 6 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Kesatuan Pengelolaan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok
hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan
ayat (1). Dalam hal satu kesatuan pengelolaan hutan dapat terdiri lebih dari satu
fungsi pokok hutan, dan penetapan kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan fungsi yang luasnya dominan 94 ayat (2).

93
Termasuk dalam kewenangan publik antara lain, adalah: (a) penunjukan dan penetapan
kawasan hutan; (b) pengukuhan kawasan hutan; (c) pinjam pakai kawasan hutan; (dl tukar-menukar
kawasan hutan; (e) perubahan status dan fungsi kawasan hutan; (f) proses dan pembuatan berita acara
tukar-menukar, pinjam pakai kawasan hutan; (g) pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga
atas pengelolaan hutan yang ada di wilayah kerjanya; (h) kegiatan yang berkaitan dengan Penyidik
Pcgawai Negeri Sipil Kehutanan.
94
Fungsi yang luasnya dominan adalah apabila dalam satu wilayah KPH terdiri lebih dari satu
fungsi hutan, misalnya terdiri atas hutan yang berfungsi produksi dan hutan yang berfungsi lindung, dan
jika areal dari salah satu fungsi hutan, misalnya fungsi produksi, lebih luas atau mendominasi areal yang

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 6 di atas,
penentuan luas wilayah kerja dari kesatuan pengelolaan hutan ditentukan oIeh
Menteri, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan
bahwa, Menteri menetapkan luas wilayah kerja kesatuan pengelolaan hutan dengan
memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah
daerah aliran sungai (DAS) atau satu satu kesatuan wilayah ekosistem ayat (1).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas satu kesatuan pengelolaan
hutan (KPH) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri
ayat (2). Ketentuan mengenai pembentukan dan tata cara penetapan kesatuan
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur berdasarkan
ketentuan paraturan Perundang-undangan ayat (3).

Sementara itu, menyangkut mengenai bagaimana sistem organisasi dari


kesatuan pengelolaan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah, baik provinsi
dan pemerintah kabupaten, hal ini diatur dalam Pasal 8 PP 6 Tahun 2007
dinyatakan bahwa, pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota, sesuai kewenangannya menetapkan organisasi kesatuan
pengelolaan hutan : (a) kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); atau (b)
kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan
produksi (KPHP) yang wilayah kerjanya lintas provinsi ayat (2). Organisasi
kesatuan pengelolaan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi organisasi kesatuan pengelolaan hutan lindung
(KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP lintas kabupaten/kota
ayat (3)). Organisasi kesatuan pengelolaan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi organisasi kesatuan
pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan produksi
(KPHP) dalam wilayah kabupaten/kota ayat (4). Pembentukan organisasi kesatuan
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
didasarkan pada pedoman, kriteria dan standar ayat (5). Ketentuan lebih lanjut
mengenai pedoman, kriteria dan standar pembentukan organisasi kesatuan

berfungsi lindung, maka KPH tersbeut dinamakan KPH produksi. Penentuan KPH berdasarkan funsi yang
luasnya iominan adalah untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaannya.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan
peraturan menteri ayat (6).

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 8 di atas, kesatuan pengelolaan


hutan dalam menjalankan kegiatannya dilengkapi pula dengan tugas dan fungsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa,
organisasi kesatuan pengelolaan hutan mempunyai tugas dan fungsi : (a)
menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi : (1) tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan; (2) pemanfaatan hutan; (3) penggunaan kawasan hutan;
(4) rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan (5) perlindungan hutan dan konservasi
alam; (b) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan
kabupaten/kotabidang kehutanan untuk diimplementasikan; (c) melaksanakan
kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; (d)
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan
hutan di wilayahnya; (e) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya
tujuan pengelolaan hutan ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi
organisasi kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesiahuruf a angka 1 dan angka
2 diatur dengan peraturan Menteri berdasarkan reraturan pemerintah ini ayat (2).

Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi organisasi kesatuan


pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka : angka 4,
dan angka 5 diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah yang lain ayat (3). Oleh
karena itu, dalam menjalankan roda organisasi kesatuan rengelolaan hutan ini,
tentuny a membutuhkan infrastrukturnya, hal ini diatur dalam Pasal 10 PP Nomor 6
Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan
kesatuan pengelolaan hutan dan infrastrukturnya ayat (1). Dana bagi pembangunan
kesatuan pengelolaan hutan bersumber dari : (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN); (b) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD); dan/atau
(c) dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
ayat (2).

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan
hutan. Oleh karena kegiatan tata hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan
kawasan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk unit atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan. Dalam Pasal 11 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa,
tata hutan sebagaimana dimaksud ialam Pasal 2 dilaksanakan pada setiap kesatuan
pengelolaan hutan disemua kawasan hutan ayat (1). Pada areal tertentu dalam
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dapat ditetapkan oleh
pemerintah sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa atau kawasan
hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) ayat (2). Dalam kegiatan tata hutan,
Kesatuan Pengelolan Hutan harus memperhatikan areal terrtentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3). Sementara itu, dalam kenyataannya kegiatan yang
dilakukan dalam rangka kegiatan tata hutan merupakan rangkaian yang
berhubungan dengan tata batas, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 12 PP Nomor 6
Tahun 2007 dinyatakan bahwa, kegiatan tata hutan di kesatuan pengelolaan hutan
terdiri atas : (a) tata batas; (b) inventarisasi hutan; (c) pembagian ke dalam blok atau
zona; (d) penbagian petak dan anak petak; dan (e) pemetaan ayat (1). Hasil kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa inventarisasi penataan hutan yang
disusun dalam bentuk buku dan peta penataan Kesatuan Pengelolaan Hutan ayat
(2). Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh organisasi
Kesatuan Pengelolaan Hutan ayat (3).

Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 12 di atas, salah


satu tugas kesatuan pengelolaan hutan, yakni menyusun program kerja yang terkait
dengan tugas dan tanggung jawabnya, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 13 PP
Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, kepala kesatuan pengelolaan hutan,
menyusun rencana pengelolaan hutan berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dengan mengacu pada rencana kehutanan
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dan dengan memperhatikan aspirasi,
nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan (ayat (1)). Rencana
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : (a) rencana
pengelolaan hutan jangka panjang; dan (b) rencana pengelolaan hutan jangka

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pendek ayat (2). Rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a disusun oleh kepala kesatuan pengelolaan hutan ayat (3).
Rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
memuat unsur-unsur sebagai berikut : (a) tujuan yang akan dicapai Kesatuan
Pengelolaan Hutan; (b) kondisi yang dihadapi; dan (c) strategi serta kelayakan
pengembangan pengelolaan hutan, yang meliputi tata hutan, pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan
hutan dan konservasi alam ayat (4). Rencana pengelolaan hutan jangka pendek,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun oleh pejabat yang ditunjuk
oleh kepala kesatuan pengelolaan hutan ayat (5). Rencana pengelolaan jangka
pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (5), memuat unsur-unsur sebagai berikut :
(a) tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala kesatuan pengelolaan hutan yang
bersangkutan; (b) evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya; (c) target yang
dicapai; (d) basis data dan informasi; (e) kegiatan yang akan dilaksanakan; (f) status
neraca sumber daya hutan; (g) pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan;
dan (h) partisipasi para pihak ayat (6). Rencana pengelolaan hutan jangka pendek
disusun berdasarkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang ayat (7).

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 13 di atas, rencana yang telah


disusun oleh kesatuan pengelolaan hutan tidak akan sah sepanjang belum disahkan
oleh pejabat yang berwenang. Hal ini diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 6 Tahun
2007 dinyatakan bahwa, Menteri, gubernur atau bupati/ walikota atau pejabat yang
ditunjuk sesuai kewenangannya, mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka
panjang yang disusun oleh kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) ayat (1). Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan
mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka pendek yang disusun oleh pejabat
yang ditunjuk oleh kepala kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (5). Oleh karena itu, rencana jangka panjang telah
disusun oleh kepala Kesatuan Pengelola Hutan khususnya jangka panjang disahkan
oleh Menteri dengan limit waktu tertentu, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 15
PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, rencana pengelolaan hutan jangka
panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus disahkan oleh

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Menteri paling lambat 5 (lima) tahun, sejak organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan
ditetapkan ayat (1). Dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang telah
memiliki rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan dengan izin pemanfaatan hutan
ayat (2). Dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang dalam jangka waktu 5
tahun belum memiliki rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kegiatan pemanfaatan hutan dapat dilaksanakan
berdasarkan pada rencana kehutanan tingkat nasional ayat (3). Ketentuan lebih
lanjut mengenai rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan menteri ayat (4). Dengan demikian, bagi wilayah kehutanan
yang belum mempunyai rencana pengelolaan jangka panjang, maka Menteri dapat
menunjuk instansi menyusunnya, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 16 PP Nomor
6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Menteri menunjuk instansi kehutanan untuk
menyusun rencana pengelolaan dan kegiatan pengelolaan hutan dalam wilayah
kesatuan pengelolaan hutan yang belum terbentuk organisasi Kesatuan Pengelolaan
Hutan.

2.1.4 Perizinan Kehutanan Dan Perlindungan Hutan

Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perusakan hutan adalah


penggunaan instrumen perizinan. Dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun
1999 menyatakan bahwa, setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan 95. Untuk
mengefektifkan mengenai pelaksanaan izin usaha yang berkaitan dengan
pengelolaan atau pengusahaan hutan tersebut, maka diperlukan suatu pelarangan-
pelarangan.

Untuk lebih mengefektifkan mengenai pelarangan terhadap perusakan.


hutan tanpa izin, maka diatur mengenai beberapa larangan yang berkaitan

95
Kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati yang menyebabkan
hutan tersebut atau tidak dapat berperan dengan fungsinya.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


perlindungan hutan tersebut. Hal ini sesuai Pasal 50 ayat (2) yang dinyatakar.
sebagai berikut : (a) mengerjakan 96 dan atau menggunakan 97 dan atau menduduki98
kawasan hutan secara tidak sah; (b) merambah kawasan hutan 99 (c) melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2) 200 (dua ratus) meter dari
tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa: 3) 100 (seratus) meter dari kiri
kanan tepi sungai; 4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5) 2
(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 5) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih
pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. (b) membakar hutan 100; (c)
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (d) menerima, membeli atau
menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan
atau yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah; (e) melakukan kegiatan penyelidikan umum 101 atau
eksplorasi 102 atau eksploitasi 103 bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
menteri; (f) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak

96
Mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat
izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perdagangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lain.
97
Menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin
dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, pengembalaan, perkemahan. atau penggunaan
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
98
Menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa membangun tempat
permukiman, gedung, dan bangunan lainnya.
99
Merambah hutan adalah, melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari
pejabat yang berwenang.
100
Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas
diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan
satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang.
101
Penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan,
perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan
tanda-tanda adanya bahan galian.
102
Eksplorasi adalah segala penyelidikan gcologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti
dan lebih saksama adanya bahan galian dan sifat letaknya.
103
Eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan
memanfaatkannya.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dilengkapi bersama-sama 104 dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (g)
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus
untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; (h) membawa alat-alat
berat 105 dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan
untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang; (i) membawa alat-alat yang lazim 106 digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang; (j) membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke
dalam kawasan hutan; dan (k) mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-
tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 50 di atas, diperlukan sebuah


lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengawasan atau
tindakan represif kepada pelanggar ketentuan tersebut. Hal ini diatur Pasal 51 yang
dinyatakan bahwa, untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka
kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan
wewenang kepolisian. Kewenangan yang diberikan kepada pejabat kehutanan
tersebut adalah sebagai berikut: (a) mengadakan patroli/di dalam kawasan hutan
atau wilayah hukumnya; (b) memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan
dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
(c) menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; (d) mencari keterangan dan barang bukti

104
Dilengkapi bersama-sama adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau
pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang
sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama
dengan keadaan fisik, baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak
mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
105
Alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck,
trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.
106
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti
parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah
setempat.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan (e)
dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada
yang berwenang; dan (f) membuat laporan dan menandatangani laporan tentang
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran mengenai apa dari bagaimana tujuan
diadakannya peraturan khusus mengenai perlindungan hutan, sebagai suatu
kegiatan yang sangat menentukan akan diuraikan dibawah ini.

Kegiatan perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan suatu


kegiatan yang sangat penting dan utama karena fakta menunjukkan bahwa,
kerusakan hutan di Indonesia telah masuk pada skala yang sangat
mengkhawatirkan, dan karenanya sangat pantas apabila pemerintah sangat menaruh
perhatiannya terhadap perlindungan hutan. Menindaklanjuti menyangkut
perlindungan hutan tersebut, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan mengganti PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Per-
lindungan Hutan. Kegiatan perlindungan hutan merupakan bagian yang hendak
terpisahkan dari pengelolaan hutan, hal ini pada Pasal 2 PP Nomor 45 Tahun 2004
dinyatakan bahwa, perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan
hutan ayat (1). Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK), dan Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP) ayat (2).

Dengan demikian, pelaksanaan dan pengawasan perlindungan hutan


merupakan kewenangan dari pemerintah, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 PP
Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, perlindungan hutan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 menjadi kewenangan Pemerintah dan atau pemerintah
daerah ayat (1). Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
di wilayah dan untuk kegiatan tertentu dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kehutanan ayat (2).

Sementara itu, pemerintah (pusat) sebagai sistem pemerintahan yang


berada di ibu kota negara dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya tidak

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


akan mampu untuk mengontrol segala kegiatan yang ada kaitannya dengan roda
pembangunan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat menyerahkan
pelaksanaan kewenangan di bidang tertentu kepada daerah untuk melakukan
pengawasan dan pengurusan terhadap bidang pembangunan, termasuk pula dalam
bidang kehutanan. Dalam Pasal 3 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa,
perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 menjadi kewenangan
pemerintah dan atau pemerintah daerah ayat (1). Kegiatan perlindungan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di wilayah dan untuk kegiatan tertentu, dapat
dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bergerak di bidang kehutanan ayat (2).

Namun demikian, pada sisi lain Menteri Kehutanan dapat mengeluarkan


ketentuan khusus untuk melindungi hutan dari adanya kegiatan yang berkaitan
dengan pengembangan penelitian, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 PP Nomor
45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, dalam rangka kepentingan penelitian,
pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, religi dan budaya, Menteri
menetapkan perlindungan hutan dengan tujuan khusus ayat (1). Perlindungan hutan
pada kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk kegiatan : (a) penelitian dan pengembangan dapat diberikan kepada lembaga
yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan; (b) pendidikan dan
pelatihan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan pendidikan
dan pelatihan; (c) religi dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang
melaksanakan kegiatan keagamaan dan kebudayaan ayat (2). Perlindungan hutan
dengar tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
ayat (3). Ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri ayat (4).

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 4 di atas, tujuan dan prinsip-prinsip


perlindungan hutan salah satu di antaranya bagaimana agar hutan yang
menghasilkan aneka ragam kekayaannya dapat dimaksimalkan hasilnya. Dalam
Pasal 5 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan
perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


tercapai secara optimal dan lestari. Sementara itu, prinsip-prinsip yang akan dicapai
dari adanya perlindungan hutan di antaranya adalah mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 6 PP Nomor 45 Tahun 2004
dinyatakana bahwa, prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi : (a) mencegah dan
membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; (b)
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi, serta perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan.

2.1.5 Pemanfaatan Hutan.

Pemanfaatan hutan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam


mengelola hutan secara berkelanjutan. Sebab pemanfaatan hutan yang keliru dan
salah dampaknya terhadap pengelolaan hutan sangat berpengaruh secara signifikan.
Dalam kenyataannva sering pemanfaatan hutan ini oleh sebagian kalangan dianggap
persoalan yang kecil, sehingga merasa tidak perlu melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan kebijakan pemanfaatan, misalnya pembukaan hutan untuk
kegiatan penanaman tanaman cokelat (kakao) yang luasnya lebih kurang satu
hektar. Padahal dengan adanya pemanfaatan hutan yang skalanya kecil tersebut,
pemerintah seringkali menganggapnya tidak perlu dengan izin dari pejabat yang
berwenang.

Sementara itu, pemanfaatan hutan mempunyai tujuan untuk memperoleh


manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Dalam Pasal 17 PP alum 2006 dinyatakan
bahwa, pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa
hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat ayat (1).
Pemanfaatan hutan sebagaimarta dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan : (a) pemanfaatan kawasan; (b) pemanfaatan jasa lingkungan; (c)
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (d) pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu ayat (2). Pemanfaatan hutan dilaksanakan rencana

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan
Pasal 16, ayat (3).

Salah satu kekayaan alam yang terkandung dalam sumber daya hutan
adalah hasil berupa rotan dan hasil pemanfaatan hutan ini yang dapat
diperdagangkan ke luar negeri. Menurut Hariadi Kartodihardjo yang mengutip
pendapat Berge bahwa, karakteristik sumber daya yang dapat diperdagangkan atau
diekspor baik berupa hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif
dari sumber daya alam, serta jasa lingkungan adalah : (a) secara umum jenis sumber
daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifat substractable,yaitu apabila
dimanfaatkan pihak tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (Private atau common
pool goods); (b) dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk
memanfaatkan jenis-jenis sumber daya dalam pengertian tradisional (ikan, kayu,
bahan tambang, dan Iain-lain) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini
bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasai sumber
daya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak untuk memanfaatkan jasa
ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap
ekosistem tersebut; (c) secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari
sumber daya tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (private atau common pool
goods).

Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan


jenis-jenis sumber daya dalam pengertian tradisonal bersifat independen satu
dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara
keseluruhan menguasai sumber daya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak
untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan
oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut; (d) masalah keadilan pemanfaatan
sumber daya ini maupun masalah kelestarian fungsinya adalah masalah manajemen
pengelolaan sumber daya tersebut. 107

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 15 PP Nomor 6 Tahun 2007, salah


satu upaya yang mendukung rencana pengelolaan hutan dan merupakan

107
Op. cit., hlm. 12-13

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


implementasi dari rencana pengelolaan hutan adalah pemanfaatan hutan itu sendiri.
Dalam Pasal 17 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan
bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan
lestari bagi kesejahteraan masyarakat ayat (1). Pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan : (a) pemanfaatan
kawasan hutan; (b) pemanfaatan jasa lingkungan; (c) pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu; dan (d) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu ayat(2).
Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 ayat
(3).Oleh karena itu, pemanfaatan hutan dapat dilakukan di seluruh kawasan hutan,
hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 18 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa,
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada
seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu
kawasan; (a) hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti
dalam taman nasional; (b) hutan lindung; dan (c) hutan produksi.

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 18 di atas, pemanfaatan hutan


tetap wajib memiliki perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Dalam Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, dalam setiap kegiatan
pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang meliputi : (a) izin usaha
pemanfaatan kawasan (IUPK); (b) izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL)
(c) izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK); (d) izin pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu (IPHHBK); (e) izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
(IUPHHK); dan (f) izin usaha pemafaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK).
Sementara itu, usaha pemanfaatan hutan yang telah memiliki izin dan demi
pertimbangan upaya untuk merealisir tujuan pemberian izin, maka pemegang izin
tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Dalam Pasal 20 PP Nomor 6
Tahun 2007 dinyatakan bahwa, izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dapat dipindahtangankan setelah mendapat persetujuan tertulis dari
pemberi izin ayat (1). Areal izin pemanfaatan hutan tidak dapat dijadikan jaminan,
agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain ayat (2).

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


2.1.6 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi

Hutan pada umumnya memiliki peran yang amat penting dalam


menyeimbangkan kondisi alam yang telah mengalami pergeseran ke pemanasan
global. Oleh karena itu, dalam mengeksploitasi hutan, baik pada kawasan hutan
lindung maupun hutan produksi memerlukan suatu pendekatan yang bijak agar
hutan tetap berada pada posisinya sebagai penyeimbang lingkungan tersebut. Pada
umumnya hutan memiliki fungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi yang
nantinya dapat dimanfaatkan dan dikelola dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
secara keseluruhan. Selain itu, dalam pemanfaatan hutan baik hutan lindung
maupun hutan produksi maka di dalam pengelolaannya tetap mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada selama ini, dan
karenanya pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut pasti akan menimbulkan dampak sosial
bagi masyarakat dan pembangunan itu sendiri.

a). Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung

Penentuan pemanfaatan hutan lindung merupakan suatu kegiatan yang


mendapat perhatian khusus, sebab sering terjadi perambahan hutan lindung
akibat ketidaktahuan masyarakat akan tata batas hutan lindung tersebut. Oleh
karena itu, untuk meminimalisasi terjadinya perambahan hutan lindung, dalam
Pasal 23 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan pada
hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan melalui
kegiatan; (a) pemanfaatan kawasan; (b) pemanfaatan jasa lingkungan; atau (c)
pemungutan hasil hutan bukan kayu ayat (1). Dalam blok perlindungan pada
hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2).

Selain pemanfaatan hutan lindung sebagai upaya memenuhi kebutuhan


masyarakat akan hasil hutan kayu, juga perlu memperhatikan memanfaatkan
pula kawasan lindung, hal mi sesuai ketentuan dalam Pasal 24 PP Nomor 6
Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan kawasan pada hutan lindung

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), huruf a, dilakukan, antara lain,
melalui kegiatan usaha: (a) budi daya tanaman obat; (b) budi daya tanaman hias;
(c) budi daya jamur; (d) budi daya lebah; (e) penangkaran satwa liar; (f)
rehabilitasi satwa; atau (g) budi daya hijauan makanan ternak ayat (1). Kegiatan
usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ketentuan : (a) tidak mengurangi, mengubah atau
menghilangkan fungsi utamanya; (b) pengolahan tanah terbatas; (c) tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; (d) tidak
menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau (e) tidak membangun
sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam ayat (2). Ketentuan lebih
lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri ayat (3).

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 24 di atas, di dalam hutan


lindung terdapat aneka satwa dan aneka fauna yang memiliki nilai estetika dan
nilai intrinsik yang perlu dilindungi. Dalam Pasal 25 PP Nomor 6 Tahun 2007
dinyatakan bahwa, pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan, antara lain
melalui kegiatan usaha : (a) pemanfaatan jasa aliran air; (b) pemanfaatan air; (c)
wisata alam; (d) perlindungan keanekaragaman hayati; (e) penyelamatan dan
perlindungan lingkungan; atau (f) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
ayat (1). Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung, 108
dilakukan dengan ketentuan tidak : (a) mengurangi, mengubah,atau
menghilangkan fungsi utamanya; (b) mengubah bentang alam; dan (c) merusak
keseimbangan unsur-unsur lingkungan 109 ayat (2). Pemegang izin, dalam
melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada

108
Termasuk dalam potensi jasa lingkungan pada hutan lindung adalah dapat berupa : (a) pengatur tata
air; (b) penyedia keindahan alam; (c) penyedia sumber keanekaragaman hayati; atau (d) penyerap dan
penyimpan karbon.
109
"Unsur-unsur lingkungan" adalah unsur hayati seperti dinamika populasi flora-flora,
phytogeografi dan unsur nonhayati seperti sifat fisik dan kimia tanah, bebatuan, hydrografi, suhu dan
kelembaban.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


hutan lindung, harus membayar kompensasi 110 kepada pemerintah ayat (3).
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan
pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan peraturan menteri 111 ayat (4).

Selain pemanfaatan jasa lingkungan sebagai bagian terpenting dari ha-


sil aset yang terkandung dalam hutan lindung, maka dalam hutan lindung juga
memiliki hasil hutan baik jasa maupun hasil bukan kayu yang dapat
dimanfaatkan. Dalam Pasal 26 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa,
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, antara lain berupa: (a) rotan; (b) madu; (c)
getah; (d) buah; (e) jamur; atau (f) sarang burung walet ayat (1). Pemungutan
hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : (a)
hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami' (b)
tidak merusak lingkungan; dan (c) tidak mengurangi, mengubah, atau
menghilangkan fungsi utamanya ayat (2). Pemungutan hasil hutan bukan kayu
pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan ayat
(3). Pada hutan lindung, dilarang: (a) memungut hasil hutan bukan kayu yang
banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya; (b) memungut
beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang ayat (4).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan peraturan Menteri ayat (5).

Sementara itu dalam pemanfaatan hutan pada hutan lindung tetap


mempergunakan prosedur perizinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27
PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, dalam suatu izin pemanfaatan
kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)

110
Kompensasi dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan
air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air. Dana kompensasi yang
berasal dari pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
111
Termasuk yang diatur dalam peraturan menteri, antara lain, adalah kriteria, pedoman, tata
cara pemanfaatan jasa lingkungan dan pengenaan serta pemungutan dan kompensasi.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


huruf a dapat meliputi beberapa izin kegiatan usaha budi daya tanaman obat,
tanaman hias, jamur dan lebah ayat (1). Pemberi izin, dilarang me-ngeluarkan
izin pada areal pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan pada hutan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dapat dikeluarkan
dengan komoditas yang berbeda ayat (2).

Berkaitan dengan pemberian izin pemanfaatan hutan pada hutan


lindung, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 di atas, sebagai konsekuensi dari
adanya pemberian izin, akan terjadi pembatasan waktu berlakukunya perizinan
tersebut, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 28 PP Nomor 6 Tahun 2007
dinyatakan bahwa, jangka waktu izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK) pada
hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, sesuai
dengan jenis usahanya, diberikan paling lama 10 (sepuluh) tahun ayat (1). IUPK
pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjangberdasarkan evaluasi yang diberikan secara berkala setiap 1 (satu)
tahun oleh pemberi izin ayat (2). IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan ketentuan: (a) paling luas 50 (lima puluh) hektar untuk setiap
izin; (b) paling banyak 2 (dua) izin untuk setiap perorangan atau koperasi dalam
setiap kabupaten/kota ayat (3). Sementara itu, pembatasan jangka waktu berlaku
juga untuk pemberian jasa pada hutan lindung, hal ini sesuai ketentuan dalam
Pasal 29 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, jangka waktu izin usaha
pengelolaan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf b, diberikan sesuai dengan kegiatan usahanya, yaitu
untuk izin : (a) pemanfaatan jasa aliran air diberikan untuk jangka waktu paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun; (b) pemanfaatan air diberikan untuk jangka
waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan volume paling banyak 20% (dua
puluh perseratus) dari debit; (c) wisata alam diberikan untuk jangka waktu
paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dengan luas paling banyak 10% (sepuluh
perseratus) dari luas blok pemanfaatan; (d) perlindungan keanekaragaman
hayati diberikan untuk jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun dengan
luas sesuai kebutuhan investasi; (e) penyelamatan dan perlindungan lingkungan
diberikan untuk jangka waktu dan luas sesuai kebutuhan investasi; dan (f)

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


penyerapan dan/atau penyimpanan karbon diberikan untuk jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) tahun dengan luas sesuai kebutuhan investasi ayat (1).
IUPJL pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf f dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan secara
berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin ayat (2).

Sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 29 PP Nomor 6


Tahun 2007 di atas, khusus untuk jangka waktu izin usaha pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu pada hutan lindung diatur dalam Pasal 30 PP Nomor 6 Tahun
2007 dinyatakan bahwa, jangka waktu izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
(IPHHBK) pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf c, sesuai dengan lokasi, jumlah, dan jenis hasil hutan bukan kayu yang
dipungut, diberikan paling lama 1 (satu) tahun, kecuali untuk pemungutan
sarang burung walet, diberikan paling lama 5 (lima) tahun ayat (1). IPHHBK
pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang,
berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan, kecuali untuk
pemungutan sarang burung walet, dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun
oleh pemberi izin ayat (2).

b). Pemanfaatan Hutan Produksi

Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang secara hukum dapat


dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional dan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian, pemanfaatan
hutan produksi ini perlu tetap berpedoman pada prinsip-prinsip pengelolaan
hutan yang lestari dan berkesinambungan. Dalam Pasal 31 PP Nomor 6 Tahun
2007 dinyatakan bahwa, pada hutan produksi, pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya ayat (1).
Pemanfaatan hutan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan antara lain, melalui kegiatan : (a) usaha pemanfaatan kawasan; (b)
usaha pemanfaatan jasa lingkungan; (c) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dalam hutan alam; (d) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


tanaman; (e) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; (f)
usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman; (g)
pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam; (h) pemungutan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan tanaman ayat (2).

Sementara itu, pemanfaatan hutan produksi juga dapat dilaksanakan di


kawasan hutan produksi, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 32 PP Nomor 6
Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan kawasan pada hutan produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a, dilakukan antara lain,
melalui kegiatan usaha : (a) budi daya tanaman obat; (b) budi daya tanaman
hias; (c) budi daya jamur; (d) budi daya lebah; (e) penangkaran satwa; dan (f)
budi daya sarang burung walet ayat (1). Pemanfaatan kawasan pada hutan
produksi sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak bersifat limitatif dan dapat
diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan : (a) luas areal
pengelolaan dibatasi; (b) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik
dan sosial ekonomi; (c) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat;
dan (d) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam
ayat (2). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan kawasan pada hutan
produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan menteri ayat (3).

Oleh karena itu, perlu solusi agar hutan produksi tetap terjaga luasnya
sehingga ke depan dapat diandalkan untuk menghasilkan devisa negara dan
pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Hariadi Kartodihardjo
mengatakan bahwa, secara teknis, kerusakan hutan alam produksi disebabkan
oleh penebangan kayu melebihi pertumbuhan hutan, yang pada gilirannya
membawa dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan. Namun keputusan
teknis tersebut sangat tergantung pada aspek-aspek finansial, sosial, maupun
institusional. Masalah-masalah institusional dapat mempengaruhi aspek
finansial dalam hal ini pengaruh langsung terhadap penambahan biaya produksi.
Untuk menghindari biaya produksi per m3 yang tinggi, salah saru cara yang
ditempuh adalah menambah produksi kayu bulat. Jika kondisi demikian terjadi,

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


maka penerapan kebijakan teknis dan manajemen hutan untuk mengatur
pelestarian pasti tidak berjalan.

Kondisi di lapangan berikut menunjukkan buruknya situasi


instihisional pemerintahan yang menunjukkan bahwa berbagai kebijakan teknis
tidak lagi mampu mendorong perubahan. Pertama, hubungan institusional
pemerintahan saat ini belum mampu mewujudkan kesamaan langkah bagaimana
hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya. Angka-angka
menunjukkan secara nasional produksi kayu yang dikonsumsi industri
perkayuan lebih dari 40% berasal dari izin-izin Bupati serta lelang dari
penangkapan illegal logging, yang mana kedua sumber ini sebenarnya tidak
dapat dikontrol Departemen Kehutanan. Di lapangan juga, produksi dapat
diambil dari kawasan hutan yang masih dikelola oleh hak penguasaan hutan
(HPH), bahkan dilakukan di hutan lindung maupun kawasan konservasi. Kedua,
usaha kehutanan telah lama bergelut dengan ekonomi biaya tinggi yang
terhitung sebagai biaya transaksi sebesar 12%-13% dari biaya total produksi per
m3. Di samping itu, pungutan resmi yang dibayar juga ditambah dengan
pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda) dan
masyarakat, sehingga mengambil porsi antara 37%-46% dari total biaya
produksi per m3. Ketiga, implikasi dari ketidakpastian kebijakan pengelolaan
hutan serta tingginya biaya transaksi yang harus ditanggung oleh usaha
kehutanan, telah mengakibatkan bangkrutnya usaha hak penguasaan hutan
(HPH).

Dari tahun 1998 sampai April 2004, jumlah hak penguasaan hutan
(HPH) yang tidak beroperasi per tahun rata-rata 35 perusahaan. Namun
demikian, kebangkrutan tersebut tidak dapat dilihat sebagai fenomena lima
tahun belakangan ini. Perhitungan untuk mengetahui produksi kayu bulat yang
tidak dilaporkan dari tahun 1977 sampai tahun 1998 menunjukkan bahwa
selama periode tersebut rata-rata produksi kayu bulat dari hak penguasaan hutan
HPH) yang tidak dilaporkan sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Realitas tersebut
menunjukkan bahwa pengusaha hak penguasaan hutan (HPH) sendiri juga
melakukan pengurasan sumber daya hutan melebihi jatah tebangan yang

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


ditetapkan pemerintah cukup lama, sehingga menyebabkan kebangkrutan saat
ini. 112

Menyimak dengan seksama terhadap pengaturan pemanfaatan hutan


produksi dimaksudkan agar pengelolaannya tetap mengacu pada pengelolaan
hutan produksi secara lestari. Dalam artian pengelolaan hutan produksi dengan
baik diharapkan akan dapat memberikan kontribusi pembangunan ekonomi
yang pada akhirnya akan menambah pendapatan negara dan daerah melalui
retribusi, provisi sumber daya hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). Namun
demikian, ternyata bahwa, pemanfaatan dan pengelolaan hutan produksi sebagai
penyedia bahan baku kayu mengalami suatu perkembangan yang sangat tidak
menggembirakan, karena terdapat permainan yang curang atau tidak jujur dari
pengusaha yang bergerak di bidang pengelolaan hutan (HPH), khususnya yang
mengelola hutan produksi.

Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Hariadi


Kartodihardjo 113 bahwa, data produksi log (kayu gelondongan/kayu bulat) oleh
hak pengusahaan hutan yang dilaporkan Dephutbun selama tahun 1977-1998
ternyata hanya sekitar 51% dari perkiraan produksi log riilnya. Apabila jumlah
produksi log nasional yang dilaporkan Dephutbun tersebut dibagi dengan luas
hutan produktif yang diperhitungkan dalam setiap Rencana Kerja Tahunan,
maka produktivitas hutan alam produksi sangat kecil, yaitu hanya sebesar antara
28 m3/ha sampai 11,3 m3/ha. Perkiraan produksi riil dapat diperhitungkan dari
besarnya produktivitas hutan berdasarkan angka konservatif nasional, yaitu
sebesar antara 45 m3/ha pada tahun 1977 dan berkurang menjadi 30 m3/ha pada
tahun 1998 (FAO and GOI, 1990 dan Dephutbun 1999). Berdasarkan simulasi
perhitungan produksi log riil tersebut, selama periode tahun 1977 sampai tahun
1998 jumlah log yang tidak dilaporkan diperkirakan sebesar 477,4 juta m3 atau
rata-rata sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Dari perkiraan angka-angka tersebut,
dapat diperhitungkan bahwa kerugian ekonomi bagi negara sangat besar.

112
Hariadi Kartodihardjo, op.cit., him. 141-142.
113
Hariadi Kartodihardjo, Masalah Struktural dalam Implemenlasi Kebijakan Baru
Kehutanan, dalam Ida Ayu Pradnya Reksosudarmo, op.cit., 178

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Apabila rata-rata harga log diperhitungkan sebesar US$ 90 per m3 sebagai nilai
saat ini, maka kerugian materiil selama periode 22 tahun tersebut sebesar US$
25,3 miliar atau rata-rata US$ 1,3 miliar per tahun. Berdasarkan nilai ini pula,
negara juga sudah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar sekitar US$ 239 juta per tahun dan
Dana Reboisasi (DR) sekitar US$ 11 juta per tahun.

Bertitik tolak dari pandangan Hariadi Kartodihardjo tersebut, pada


prinsipnya dana yang diambil dari pemanfaatan hasil hutan berupa proyisi
sumber daya hutan (PSDH) maupun Dana Reboisasi (DR) merupakan suatu
dana yang mampu menggerakkan pembangunan dalam rangka peningkatkan
pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar dan di
dalam hutan. Namun demikian, penggunaan dana provisi sumber daya hutan
dan dana reboisasi ini penggunaannya tidak transparan, sehingga menimbulkan
berbagai tanggapan, baik tanggapan dari masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat maupun kalangan anggota DPR itu sendiri. Malahan yang terjadi
sampai pada persoalan apakah dana reboisasi masuk Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) atau bukan. Namun yang pasti dana reboisasi dan
provisi sumber daya hutan termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNPB).

Dengan demikian, polemik masuk tidaknya Dana Reboisasi (DR)


dalam APBN, menimbulkan dua pendapat yang pro dan kontra. Hal ini sesuai
pendapat yang dikemukakan oleh Dodik Ridho Nurrochmat, bahwa semua
penerimaan negara (termasuk Dana Reboisasi) idealnya memang masuk APBN
(dan sekarang sudah masuk APBN), sehingga penggunaan dana dapat dilihat
cara transparan oleh rakyat melalui wakilnya di DPR. Namun demikian, bukan
berarti apabila Dana Reboisasi dimasukkan dalam APBN lantas bermasalah,
karena pertama, Dana Reboisasi sesungguhnya bukan merupakan pendapatan
negara dan alokasi penggunaannya sudah ditentukan dengan jelas dalam
peraturan perundang-undangan. Dana Reboisasi adalah dana dari pengusaha
hutan untuk reboisasi. Jika Dana Reboisasi masuk APBN dan dimanfaatkan
untuk kepentingan bujet (budget), hal ini sama dengan meminjam dari
masyarakat, yang pemerintah menerapkan sistem defisit bujet. Kedua, yang

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


perlu menjadi bahan pertimbangan adalah masalah efisiensi penggunaan dana.
Banyak pihak terutama dari kalangan rimbawan mengkhawatirkan apabila Dana
Reboisasi dimasukkan dalam APBN, dana tidak dapat turun dengan cepat dan
sangat berpotensi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan nonreboisasi.
Kekhawatiran seperti ini sangat beralasan karena APBN adalah anggaran milik
"umum" dengan proses pengalokasian dana yang lebih panjang rantai
birokrasinya. Adapun dengan dana yang "tinggal diambil" seperti sekarang saja,
dirasakan masih terlalu lambat untuk mengimbangi laju pembalakan yang mau
tidak mau, atas nama kepentingan ekonomi nasional, harus dilakukan. Apalagi
kalau Dana Reboisasi harus melewati proses birokrasi yang lebih panjang,
upaya mempercepat laju penanaman bisa jadi makin tersendat. Sebenarnya,
tanpa masuk anggaran rendapatan dan belanja negara (APBN) pun, peraturan
yang ada saat ini sudah cukup memadai untuk mengatur penggunaan Dana
Reboisasi secara baik, asalkan mekanismenya dilakukan transparan. Sesuai
dengan aturan yang ada, pengusahaan Dana Reboisasi dilaksanakan berdasarkan
rencana kegiatan yang telah memperoleh persetujuan Presiden, yang
mekanismenya diatur bersama oleh Menteri Kehutanan.

Sekarang masalahnya tinggal apakah dimungkinkan Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) memperoleh keterangan yang terperinci dan
transparan dari Menteri Kehutanan (Menhut) dan Menteri Keuangan (Menkeu)
tentang penggunaan Dana Reboisasi sebagaimana rencana kegiatan yang telah
disusun. Apabila jawabannya mungkin, maka Dana Reboisasi masuk anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) ataupun tidak, menjadi tidak terlalu
penting. 114

Sementara itu menurut Hariadi Kartodihardjo bahwa, apabila


"sekadar" ada produksi yang tidak dilaporkan, tetapi jumlah produksi itu tetap
berpegang pada kemampuan hutan, dan perlindungan hutan dilaksanakan
dengan baik, maka kerusakan hutan tidak terjadi. Namun, berdasarkan data
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) (1999) diungkapkan

114
Dodik Ridho Nurrochmat, Strategi Pengelolaan Hutan ..., op.cit., hlm. 90-91.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


bahwa dalam kawasan hutan alam produksi yang sedang diusahakan saat ini
sampai akhir tahun 1998, telah mengalami kerusakan sekitar 16,6 juta ha. Hal
ini menunjukkan bahwa di samping produksi yang tidak dilaporkan, dalam
pengusahaan hutan juga terjadi penebangan melebihi jatah produksi dan berada
di luar blok tebangan yang telah ditetapkan. Perkiraan nilai kerugian baru
diperhitungkan terhadap apa yang terjadi dalam pengusahaan hutan alam, yang
dilakukan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kerugian
lainnya yang lebih sulit untuk prediksi nilainya adalah kerugian dari banyaknya
pencurian kayu yang terkoordinasi, yang dilakukan baik di dalam kawasan
hutan produksi maupun kawasan hutan lainnya. 115

c). Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melestarikan hutan


selalu mendorong kepada pengusaha yang menanam modalnya di sektor
kehutanan agar melakukan penanaman kembali hutan yang telah ditebang atau
hutan yang tidak produktif lagi. Untuk merealisasikan program tersebut
pemerintah, memberikan kemudahan pendanaan dalam bentuk kredit perbankan
dengan bunga yang rendah. Dalam Pasal 37 PP Nomor 6 Tahun 2007
dinyatakan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada
hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d dapat
dilakukan pada : (a) Hutan Tanaman Industri (HTT); (b) Hutan Tanaman
Rakyat (HTR); atau (c) Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR). Sementara
itu, pemanfaatar. hasil hutan tanaman industri kegiatan yang berkaitan dengan
upaya sistem silvikultur, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 38 PP Nomor 6
Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan
kayu pada hutan tanaman industri (HTI) dalam hutan tanaman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem
silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya
ayat (2). Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI),

115
Ibid., him. 178-179.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif ayat (5). Tanaman yang
dihasilkan dari izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (UPHHK) pada hutan
tanaman industri (HTI) merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat
dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku ayat (4)). Tanaman
yang dihasilkan dari izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada
hutan tanaman industri rakyat (HTIR) merupakan aset pemegang izin usaha, dan
dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku ayat (5).
Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan rerundang-undangan, membentuk
lembaga keuangan untuk mendukung hutan tanaman rakyat (HTR) (ayat (6).
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan tanaman rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dengan peraturan menteri ayat (7).

Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 38 di atas, pemanfaatan


hutan produksi yang berasal dari hutan tanaman industri (HTI) perlu dilakukan
dengan sebaik-baiknya agar tujuan dan sasaran program hutan tanaman industri
(HTI) mencapai hasil yang maksimal. Dalam Pasal 39 PP Nomor 6 tahun 2007
dinyatakan bahwa, pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan tanaman industri (HTI) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dapat berupa : (a) tanaman sejenis; dan (b) tanaman berbagai
jenis ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai tanaman sejenis dan berbagai
jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan remerintah
ayat (2). Oleh karena itu, yang menentukan pengalokasian areal hutan tanaman
adalah Menteri, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 40 PP Nomor 6 Tahun
2007 dinyatakan bahwa, menteri, dalam hutan tanaman rada hutan produksi,
mengalokasikan dan menetapkan areal tertentu untuk membangun hutan
tanaman rakyat (HTR), berdasarkan usulan kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
atau pejabat yang ditunjuk ayat (1).

Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan


tanaman rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 huruf b dapat dilakukan dengan atau lebih sistem silvikultur sesuai
dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya ayat (2).

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR) dalam hutan
tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan penyiapan
lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran ayat
(3). pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR) dalam
hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
menteri ayat (3).

Menurut Hariadi Kartodihardjo, bahwa pertengahan tahun 1980 an,


pemerintah dihadapkan pada kondisi yang saling kontradiktif. Pertama, banyak
hak penguasaan hutan (HPH) yang hutannya rusak dan tidak diperpanjang serta
pengelolaannya dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
sehingga pemerintah harus melaksanakan mekanisme baru dalam upaya
116
rehabilitasi hutan alam. Kedua, penerimaan devisa melalui ekspor kayu
olahan, khususnya kayu lapis, serta daya serap tenaga kerja oleh hak
pengelolaan hutan (HPH) dan industri perkayuan harus dipertahankan.
Menghadapi kenyataan demikian, pembangunan hutan tanaman industri (HTI)
dianggap sebagai suatu solusi untuk meningkatkan produktivitas hutan
produksi, sehingga insentif pembangunan hutan tanaman industri (HTI)
diwujudkan, dan kenyataannya sangat menarik swasta, terutama adanya subsidi
dari Dana Reboisasi. Namun demikian, karena pasokan kayu dari hutan alam
terus melimpah karena juga dipasok dari kayu ilegal yang menyebabkan harga
kayu hutan tanaman industri (HTI) sangat murah, maka perusahaan hutan
tanaman industri (HTI) tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika
ia mandiri. Kebijakan pemerintah tersebut telah dimanfaatkan oleh sejumlah
investor nakal untuk mendapatkan fasilitas pembangunan hutan tanaman
industri (HTI) yang tujuannya memperoleh kayu dari hutan alam yang dijadikan
lokasi hutan tanaman industri (HTI) serta memperoleh subsidi dari dana
reboisasi.

Pelajaran yang dapat diambil dari adanya hambatan dalam rangka


pembangunan hutan tanaman industri merupakan suatu masalah yang perlu

116
Hariadi Kartodihardjo,…..op. cit., hlm. 151.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


segera diatasi, jika pemerintah mempunyai keinginan untuk menjadikan hutan
tanaman industri (HTI) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan kehutanan di Indonesia di masa yang akan datang. Sebab karena
negara-negara lain pun telah melakukan pembangunan hutan tanaman industri
(HTI) dalam rangka mengatasi kebutuhan baku kayu untuk industri mereka.

Lebih jauh Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan bahwa, artinya,


ketiadaan upaya-upaya yang nyata dalam menangani perambahan hutan dan
kayu ilegal yang marak dewasa ini, sekitar sepuluh tahun mendatang sudah
tidak ada yang dapat diharapkan dari hutan produksi untu pasok kayu bulat
domestik. Dari sisi pemasaran ekspor, defisit kayu bula untuk permintaan
ekspor juga cenderung semakin membesar hingga mencapai lebih dari 5 juta m3
pada tahun 2010. Defisit penawaran (ekses permintaan) kayu gergajian untuk
kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 768.000 m3 satu dekade mendatang.
Ekses permintaan ekspor kayu gergajian diperkirakan juga terus defisit
penawaran mencapai hampir 900.000 m3 per tahun. Satu dekade mendatang
(tahun 2010), ekses permintaan domestik terhadap produk kayu lapis
diperkirakan hampir mencapai setengah juta m3 per tahun. Demikian juga
dengan pemasaran ekspor kayu lapis, semakin lama defisit supply akan semakin
membesar dan gap penawaran-permintaan ekspor kayu lapis diperkirakan
mencapai sekitar 6 juta m3 pada tahun 2010. Apabila masalah bahan baku tidak
terpecahkan, maka sepuluh tahun yang akan datang defisit penawaran domestik
untuk wood furniture diperkirakan mencapai lebih dari 200 m3 per tahun.
Adapun defisit penawaran ekspor wood furniture akan mencapai lebih kurang
86 ribu m3 pada tahun 2010. Untuk produk pulp dan kertas, defisit penawaran
pulp dan kertas domestik diperkirakan mencapai lebih 300 ribu m3 per tahun
pada tahun 2010, sedangkan ekses permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia
diperkirakan mencapai 765 ribu ton pada tahun 2010, dengan asumsi
permintaan-penawaran pada tahun dasar dalam kondisi equilibrium. 117

117
Nurrochmat, Op. cit.,hlm. 133-134

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Dodik Ridho
Nurrochmat di atas, memberikan suatu gambaran bahwa, salah satu usaha untuk
mengembangkan industri perkayuan dalam negeri, jalan satu-satunya
memberikan peluang kepada pengusaha dalam negeri untuk mengambil peran
secara aktif menanamkan modalnya di bidang pembangunan hutan tanaman
industri yang diharapkan mampu menghasilkan pulp dan kertas.

2.2. Instrumen Perizinan Tindak Pidana Kehutanan

Menurut penulis, salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perusakan hutan
adalah penggunaan instrumen perizinan. Dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun
1999 menyatakan bahwa, setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan
kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan 118. Untuk mengefektifkan mengenai
pelaksanaan izin usaha yang berkaitan dengan pengelolaan atau pengusahaan hutan
tersebut, maka diperlukan suatu pelarangan-pelarangan. Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 juga secara tegas telah mengatur jenis-jenis sanksi pidana yang diterapkan bagi para
pelaku tindak pidana kehutanan antara lain :

1. Merusak Prasarana Dan Sarana Perlindungan Hutan

Pasal 50 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : “Setiap orang


dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan”. 119 Jika dihubungkan
antara Pasal 50 ayat (1) dengan Pasal 78 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 maka
Pasal 78 ayat (1) merupakan ancaman pidananya. Pasal 78 ayat (1) UU No. 41

118
Kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati yang menyebabkan
hutan tersebut atau tidak dapat berperan dengan fungsinya.
119
Penerapan tindak pidana dalam Pasal 50 ayat 1 haruslah memenuhi unsur-unsur : Barang
siapa; Dengan sengaja; Merusak; Prasarana dan sarana perlindungan hutan. Yang dimaksud dengan : 1)
barang siapa adalah sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (1) UU No. 41 Tahun
1999 adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha; 2) dengan sengaja
adalah ketentuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh
Undang-Undang; 3) Merusak adalah menjadikan sesuatu tidak sebagaimana bentuk semula. 4) Sarana
perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda tangan dan alat angkut, sedangkan prasarana
perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, menara pengawas dan jalan pemeriksaan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut : "Barang siapa dengan sengaja merusak
sarana dan prasarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 5,000.000.000,- (lima milyar
rupiah).

Pasal 78 ayat (14) 00 No.41 Tahun 1999 menyebutkan, apabila tindak pidana
sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 ayat (1) UU Tahun 1999 tersebut dilakukan oleh
dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dimana
terhadap mereka dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

2. Melakukan Kegiatan Yang Menimbulkan Kerusakan Hutan

Hal larangan melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan hutan


diatur di dalam Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 yang menjelaskan :
"Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 yang


dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik,
atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat
berperan sesuai dengan fungsinya.
Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50
UU No. 41 tahun 1999 diancam dengan pidana penjara paling lana 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Demikian pula halnya, apabila tindak pidana dalam Pasal 50 ayat (2) UU
No. 41 Tahun 1999 ini dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik
sendiri-sendlri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pidana masing-maasing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan, (Pasal 78 ayat 14 UU No. 41 tahun 1999).

Sebagaimana tindak lanjut dari Pasal 50 ayat (2) di atas, menurut penulis
diperlukan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
pengawasan atau tindakan represif kepada pelanggar ketentuan tersebut.

Jika dilihat isi dari Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 ini tindak
pidana tersebut dilakukan oleh para pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan
atau yang ada kaitan usahanya dengan hutan, seperti pemegang Hak Pengusahaan
Hutan (HPH), jasa lingkungan, dan Iain-lain.

3. Mengerjakan dan/atau Menggunakan dan/atau Menduduki Kawasan Hutan Secara


Tidak Sah.

Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan
dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah".

Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tersebut
yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam
kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk
perdadangan, untuk pertanian atau untuk usaha lainnya. 120

Apabila tindak pidana dalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 ini
dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, maka tuntutan
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dimana terhadap mereka dikenakan pidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14) UU No. 41 Tahun 1999).

4. Merambah Kawasan Hutan.

120
Ibid : Penerapan ketentuaa tersebut diyakini banyak menghadapi kendala, misalnya jika
dikaitkan dengan kawasan yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai hak ulayat hukum adat, yang
sampai saat ini memang belum terselesaikan, Departemen Kehutanan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b UU No. 41 Tahun 1999
dimana dijelaskan bahwa “Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan".
Ancaman pidana untuk tindak pidana merambah hutan menurut Pasal 78 ayat (2)
UU No. 41 Tahun 1999 adalah “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000,000.000,00 (lima milyar rupiah)".

5. Melakukan Penebangan Pohon Dalam Kawasan Hutan Dengan Radius Atau Jarak
Tertentu.

Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf c UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :

a) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;


b) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
c) 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
d) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anaksungai;
e) 2 (dua) kali kedalaman jurang tepi jurang;
f) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai.

Batasan jarak tersebut secara umum sudah cukup baik untuk


mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan
tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat.

Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50


ayat (3) huruf a, b, dan c UU No. 41 Tahun 1999 tercantum dalam Pasal 78 ayat (2)
UU No. 41 Tahun 1999 yang berbunyi : "Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a huruf b, atau huruf c,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Jika diperhatikan isi Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b , dan huruf c
tersebut , kiranya hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja saja yang dapat

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dikenakan ancaman hukuman Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, sedangkan
terhadap perbuatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaiant
tidak dapat dikenakan ancaman Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tersebut.

6. Membakar Hutan

Larangan bagi setiap orang membakar hutan diatur di dalam Pasal 50 ayat
(3) huruf d UU No. 41 tahun 1999.69 Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang
namun pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan akan tetapi hanya untuk
tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain untuk
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama penyakit, serta pembinaan
habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus
mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf d UU No. 41
Tahun 1999 ini jika melakukan perbuatan dengan sengaja, maka dikenakan Pasal 78
ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 dimana diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000,000.000,- (lima
milyar rupiah).
Sedangkan apabila perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian, maka
dikenakan Pasal 78 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 dengan ancaman pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,-
(satu milyar lima ratus juta rupiah).
Dengan demikian pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf. d UU No.
41 tahun 1999 ini dapat terjadi karena perbuatan yang dilakukan karena
kesengajaan maupun karena kelalaian.

7. Menebang Pohon Atau Memanen Atau Memungut Hasil Hutan Tanpa Hak Atau
Izin.
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki
izin dari pejabat yang berwenang diatur di dalam Pasal 50 ayat(3) huruf e UU No.
41 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang".

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Pejabat yang berwenang disini adalah pejabat pusat atau daerah yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin.
Pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41
Tahun 1999 ini, sesuai dengan Pasal 78 ayat (5) UU. No. 41 Tahun 1999 dikenakan
ancaman hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000,000.000,- (lima milyar rupiah).

8. Menerima, Membeli Atau Menjual, Menerima Tukar, Menerima Titipan,


Menyimpan Atau Memiliki Hasil Hutan Yag Diketahui Atau Patut Diduga
Barasal Dari Kawasan Hutan Yang Diambil Atau Dipungut Secara Tidak Sah.

Dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan


bahwa : “Setiap orang dilarang menerima , membeli atau menjual, menerima
tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau
patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak
sah”. 121

Terhad ap pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf f UU


No. 41 Tahun 1999 ini, ancaman hukumannya sama dengan pelaku yang melanggar
Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999, yaitu dikenakan ancaman
hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.00 0.000,- (lima milyar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (5)
UU No. 41 Tahun 1999.

9. Melakukan Kegiatan Penyelidikan Umum Atau Ekaplorasi Atau Eksploitasi Bahan


Tambang Di Dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin.

Larangan melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau


eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri diatur di
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g UU No. 41 Tahun 1999.

121
Untuk dapat raengetahui terjadinya suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (3) huruf h 00 So. 41 Tahun 1999, niaka pemguasaan wekanisme perdagangan hasil hutan sangat
diperlakan. PPK5 Kehutanan mempunyai peranan panting dalam m«lakukan penyidtkan ini. Selain itu,
diperlukan pula peran saksi ahli.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU No. 41
Tahun 1999 ini dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan deada paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) sesuai dengan
ketentuan Pasal 78 ayat (6) OU No. 41 Tahun 1999.

10. Mengangkut, Menguasai, Atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi
Bersama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan.

Pasal 50 ayat (3) huruf h UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : "Setiap


orang dilarang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilangkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan".
Selanjutnya Pasal 78 ayat (7) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan :

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh railyar rupiah).

11. Menggembalakan Ternak Di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Ditunjuk Secara
Khusus.

Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang menggembalakan ternak di dalam
kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat
yang berwenang".

Pasal 78 ayat (8) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : “Barang siapa


melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i,
diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.
10.000,000,- (sepuluh juta rupiah) .
Dengan demikian tidak sembarang tempat dalam kawasan hutan dapat
digunakan untuk menggembalakan ternak melainkan tampat-tempat yang khusus
untuk kegiatan dimaksud ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

l2. Membawa Alat-Alat Berat Dan Atau Alat-Alat Lainnya Yang Lazia Atau Patut
Diduga Akan Dipergunakan Untuk Mangangkut Hasil Hutan Di Dalam Kawasan
Hutan Tanpa Izin.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan atau alat-
alat lainnya yang lasim atau patut diduga akan dipergunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang".

Jika Pasal 50 ayat (3) huruf j UU No. 41 Tahun 1999 dipadukan dengan Pasal 78
ayat (9) UU No. 41 Tahun 1999 dapat dirumuskan sebagai berikut : “Barang siapa dengan
sengaja membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang, diancara dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)".
Berdasarkan Pasal 18 ayat (13) UU NO. 41 tahun 1999 tindak pidana sebagaintana
dimaksud pada Pasal 50 ayat (3) huruf j ini adalah pelanggaran.

13. Membawa Alat-Alat Yang Lazim Digunakan Untuk Menebang, Memotong Atau
Membelah Pohon Di Dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin.

Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k UU No. 41 Tahun 1999 yang
menyebutkan : "Setiap orang dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang".

Ancaman hukuman bagi pelanggar ketentuan tersebut sebagaimana diatur


di dalam Pasal 78 ayat (10) UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k,
diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000,000.000,- (satu milyar rupiah)",
Dalam pengertian tersebut tidak termasuk masyarakat yang membawa alat-
alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya sesuai dengan tradisi
budaya serta karakteristik daerah setenpat.

14. Membuang Benda-Benda Yang Dapat Menyebabkan Kebakaran Dan Kerusakan


Serta Membahayakan Keberadaan Atau Kelangsungan Fungsi Hutan Ke Dalam
Kawasan Butan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i UU No. 41 Tahun
1999 yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang membuang benda-benda yang
dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan
fungsi hutan ke dalam kawasan hutan".

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan ancaman hukuman pidana penjara


paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
sebagaimana tercantum dalam Pasal 78 ayat (11) UU No. 41 Tahun 1999.
15. Mengeluarkan, Membawa Dan Mengangkut Tumbuhan Dan Atau Satwa Yang Tidak
Dilindungi Undang-Undang Yang Berasal Dari Kawasan Hutan Tanpa Izin.

Ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf m UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan :


“Setiap orang dilarang mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuhan dan atau satwa
yang tidak dilindungi udang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang”.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal tersebut di atas diancam dalam Pasal 78 ayat
(12) UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 78 ayat (13) UU No. 41 tahun 1999 tindak pidana


sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (13) huruf m ini adalah pelanggaran.
Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuhan dan atau
satwa yang dilindungi lebih lanjut diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dari ulasan instrument izin tindak pidana di bidang kehutanan di atas, bila
dikaitkan dengan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor : 21 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, maka akan
terjadinya tumpang tindih antara kedua aturan yang ada.

2.3. Sumber Hukum Kehutanan Di Indonesia

Pada kesempatan ini, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertian sumber
hukum sebelum membahas sumber yang dijadikan dasar berlakun hukum kehutanan di

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Indonesia ini. Menurut Willem Zevenbergen, sumber hukum adalah tempat untuk
menemukan atau menggali hukumnya. Sumber dari mana kita dapat mengenal hukum,
seperti dokumen, undang-undang lontara, dan batu tulis. 122 Sementara itu, C.S.T. Kansil
mengemukakan bahwa sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kala
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 123 Di samping kedua pendapat
tersebut, menurut Algra, sumber hukum ada dua, yaitu sumbe hukum materiil dan sumber
hukum formal. 124

1. Sumber Hukum Materiil


Sumber hukum materiil memiliki kandungan atau isi dari sebuah peraturan
perundang-undangan. Pada dasarnya sumber hukum materiil memiliki kandungan
atau cakupan yang sangat luas, bisa berasal dari pendekatan sosiologis dan
sebagainya. Menurut L.J. Van Apeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh Supriadi,
membedakan sumber hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi (teleologis),
dalam arti filosofis, dan dalam arti formal. 125 Sumber hukum dalam arti sejarah,
yaitu tempat kita dapat menemukan hukum dalam sejarah atau dari aspek historis.
Aspek sejarah sumber hukum dapat dilihat dari dua sumber, yaitu (1) tempat di
mana kita menemukan hukum atau dikenal hukum secara historis, seperti dokumen-
dokumen, lontara, dan lainnya, dan (2) sumber hukum yang merupakan tempat
pembentuk undang-undang mengambil bahannya. Jadi, dari aspek sejarah
merupakan sumber bahan hukum yang akan mempengaruhi hukum prespektif.
Sementara itu, sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor
yang menentukan isi hukum positif, seperti pandangan agamis, pandangan
ekonomi, dan pandangan psikologis. Jadi, dari aspek sosiologis menyoroti lembaga-

122
Willem Zevenbergen, dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum : Suat
Pengantar, Pen Liberty, (Yogyakarta : 1996), h 6, dalam Muh Jufri Dewa, ibid., hlm. 66.
123
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukuh dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
1989, dalam Muh Jufri Dewa, ibid., hlm. 67.
124
Algra dikutip oleh Sudikno Martokusumo, hlm. 70, dalam Muh Jufri Dewa, ibid.
125
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia,op. cit., hal. 7

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


lembaga sosial hingga dapat diketahui apa yang dirasakan sebagai hukum oleh
lembaga-lembaga itu. 126
Sumber hukum dalam arti filosofis, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1)
sumber isi hukum, mengenai hal ini ada tiga pandangan, seperti pandangan
Theokratis, bahwa isi hukum berasal dari Tuhan; pandangan hukum kodrat, bahwa
isi hukum berasal dari akal manusia; dan pandangan mazhab historis, bahwa isi
hukum berasal dari kesadaran hukum, dan (2) sumber kekuatan mengikat hukum.
Hal ini mempersoalkan mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat dan
mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan
semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena
kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan. 127

2. Sumber Hukum Formal

Sumber hukum dalam arti formal kenyataannya dapat didekati dari bentuk
dan prosedur pembentukannya menjadi hukum positif oleh pengembangan
kewenangan hukum yang berwenang. Sumber hukum dalam arti formal (hukum
positif) Indonesia sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut, sumber hukum
positif Indonesia adalah UUD1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, sedangkan dalam praktik masih
dikenal adanya Instruksi Menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri, selain itu,
dalam ilmu hukum dikenal juga perjanjian antarnegara, kebiasaan, yurisprudensi,
dan doktrin sebagai sumber hukum formal. 128 Namun demikian, TAP MPRS NO.
XX Tahun 1966 tersebut, tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

126
Muh. Jufri Dewa, op.cit., hlm. 68.Sudikno Mertokusumo, dalam Muh. Jufri Dewa, ibid.
127
Sudikno Mertokusumo, dalam Muh. Jufri Dewa, ibid.
128
Ibid, hlm. 68-69.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


adalah : (a) Undang-Undangn Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c) Peraturan
Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah.

Berkaitan dengan uraian di atas, Muh. Jufri Dewa menyimpulkan bahwa,


sumber hukum kehutanan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu sumber hukum materiil
(isi) dan sumber hukum formal (bentuk). Sumber materiil hukum kehutanan, dilihat
dari aspek sejarah, aspek sosiologis, dan aspek filosofis. Dari aspek sejarah, sumber
hukum kehutanan berupa dokumen-dokumen yang pernah berlaku dan memuat
ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan hutan, seperti: Reglement Hutan 1865,
Reglement 1874, Reglement Hutan 1879, Reglement Hutan 1913, dan Reglement
Hutan 1927. Ketentuan-ketentuan hukum positif di bidang kehutanan. Aspek
sosiologis, yaitu aturan hukum (tidak tertulis) yang mengatur hubungan masyarakat
adat atau kelompok masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan dalam
melakukan interaksinya sejak turun-temurun. Dari aspek filosofis, yaitu suatu
aturan hukum untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya belum diatur, dengan
tujuan supaya ada tatanan hukum kehutanan, ada keteraturan dalam pengelolaan
hutan, dan ada sesuatu yang dapat diharapkan berlaku adil dalam pemanfaatan hasil
hutan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. 129
Selanjutnya pada uraian di bawah ini, akan membahas sumber formal
hukum kehutanan berdasarkan hukum positif sebagaimana yang diungkap di atas,
sebagai berikut :
a). Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hukum Tata Negara, posisi Undang-Undang Dasar 1945
merupakan sumber hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Dalam artian Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber segala
peraturan perundang-undangan, karena dari sanalah semua hukum positif
merupakan penjabaran yang lebih rinci dari peraturan yang bersifat umum yang
terdapat dalam UUD 1945. Keterkaitan antara UUD 1945 sebagai sumber
hukum kehutanan dapat dilihat atau termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) yang

129
Ibid,. hlm 70.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dinyatakan bahwa, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) ini dapat disimpulkan
(1) memberikan "hak penguasaan" kepada negara atas seluruh sumber daya
alam di Indonesia; (2) kewajiban kepada negara untuk mengelola sumber daya
alam tersebut untuk kemakmuran sebesar-besarnya seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, secara konseptual ketentuan yang tercantum pada Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan filosofi dan landasan ekonomi
pembentukan peraturan hukum kehutanan, dan yang akan dijabarkan lebih
lanjut dengan peraturan hukum positif dan peraturan pelaksanaan lainnya.
b). Undang-Undang dan Peraturan Pengganti UU (Perpu)
Keberadaan Undang-Undang dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945 dan merupakan produk
hukum yang sangat strategis karena kehadirannya disetujui oleh eksekutif
(Presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Selain itu, undang-undang
atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) merupakan
peraturan perundang-undangan yang sifatnya implementatif, yakni peraturan
yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga
masyarakat, masalah yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan dan Iain-
lain. Dasar hukum keberadaan undang-undang sebagai hasil persetujuan antara
Presiden dengan Dewan Pewakilan Rakyat diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sejalan dengan perjalanan waktu, di mana UUD 1945 tersebut perlu
dilakukan penyesuaian-penyesuaian, sehingga sesuai dengan perkembangan
zaman, pada tahun 1999 dilakukan perubahan pertama terhadap UUD 1945
dengan melakukan penambahan ketentuan Pasal-Pasal yang terdapat di
dalamnya, termasuk Pasal 5 ayat (1) ditambah dengan kalimat Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (ayat
(1)). Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang
merupakan dasar pijakan Presiden dan Dewan Perwakilan dalam membentuk

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


undang-undang, maka dalam Pasal 20 ayat (1) merupakan landasan kedua
setelah Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) di-
nyatakan bahwa, tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat per-
setujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tidak boleh dimajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (ayat (2)).
Mencermati ketentuan yang tertera dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2) tersebut mengalami perubahan setelah dilakukan perubahan pada
Tahun 1999 ketentuan selengkapnya dinyatakan: Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang (ayat (1)). Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan (ayat (2)). Jika rancangan undang-undang itu tidak
mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (ayat (3)).
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang (ayat (4)). Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam zuaktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan (ayat (5)).
Berkaitan dengan ketentuan yang termuat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1) sampai dengan ayat (5) di atas yang merupakan rujukan dalam
mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, baik
peraturan perundang-undangan yang bersentuhan langsung dengan kehutanan
maupun yang tidak berkaitan langsung. Adapun peraturan perundang-undangan
yang bersentuhan langsung dengan hukum kehutanan, : (1) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Hayati (UUKH). Sementara itu, undang-undang yang
berhubungan tidak langsung dengan hukum kehutanan, yaitu: (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; (3) Undang-

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (3) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah
diubah dengan UU Nomor 26 Tahun 2007; (5) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dalam perjalanannya mengalami perubahan dengan adanya protes
dari beberapa perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin
pengelolaan dari pemerintah, khususnya perusahaan pertambangan yang
mendapatkan konsesi di kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan
lindung. Menyikapi masalah ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4374).
c). Peraturan Pemerintah (PP).

Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang kewenangan


sepenuhnya dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tertinggi
dalam pengelolaan Negara Republik Indonesia. Keberadaan Peraturan
Pemerintah diadakan sebagai peraturan pelaksanaan dari sebuah undang-
undang, sehingga keberadaannya bersifat implementatif dan masih perlu
ditindaklanjuti oleh peraturan yang lebih rendah, misalnya Keputusan Presiden
maupun Keputusan Menteri maupun Peraturan Daerah. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan pengaturan kebijaksanaan di bidang hukum kehutanan yang
diatur oleh Peraturan Pemerintah dapat dilihat sebagai berikut: (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan
Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan (5) Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

d). Peraturan Presiden (Pepres).

Dalam Peraturan Presiden pada kenyataannya atau praktiknya terdapat


dua muatan, yakni Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden. Presiden
mengeluarkan Keputusan Presiden kalau muatannya berkaitan dengan
pengangkatan seorang pejabat, misalnya pengangkatan menteri, gubernur,
rektor, dan Iain-lain. Sementara itu, jika Presiden akan mengeluarkan Peraturan
Presiden, maka muatannya berkaitan dengan peraturan yang lebih rinci yang
menjelaskan suatu masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat
dan pembangunan, misalnya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan. Oleh karena itu,
pembahasan sumber hukum yang berhubungan dengan Peraturan Presiden akan
dibahas dengan menggunakan dua muatan tersebut.

Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah merupakan peraturan


yang kewenangan sepenuhnya di tangan Presiden. Antara Keputusan Presiden
dan Peraturan Pemerintah walaupun kedua-duanya merupakan kewenangan
Presiden, tetapi mengalami perbedaan. Peraturan Pemerintah dikeluarkan oleh
Presiden untuk mengatur hal-hal yang bersifat umum, misalnya Peraturan
Pemerintah tentang Perlindungan Hutan (bersifat umum), yang akan
ditindaklanjuti oleh peraturan yang lebih rinci misalnya Peraturan Menteri, dan
sebagainya. Sementara itu, Keputusan Presiden adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden untuk mengatur yang bersifat khusus atau tertentu,
misalnya Keputusan Presiden untuk mengangkat Pejabat Negara.
Berkaitan dengan pengaturan hukum kehutanan yang diatur dengan
Keputusan Presiden, di antaranya: (1) Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung; (2) Keppres Nomor 40 Tahun 1993 tentang
Dana Reboisasi; (3) Keppres Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pe-ngenaan,
Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan; (4) Keppres Nomor 25 Tahun

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Hutan; dan (5) Keppres Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau
Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. Namun
pada dasarnya kalau mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Keputusan Menteri tidak
dikenal, tetapi Keputusan Menteri ini, dapat dikategorikan ke dalam peraturan
pemerintahan, bukan dalam artian ajar dengan Pr, tetapi Keputusan Menteri ini
merupakan peraturan pemerintah sebagai pelaksana teknis kebijakan di bidang
pembangunan masing-masing sektor yang di bidangi oleh Menteri.
e). Keputusan Menteri Kehutanan.
Menteri sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan tugasnya
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugasnya yang lazim disebut Keputusan Menteri. Dalam
kait-annya dengan pengaturan bidang kehutanan yang diatur dengan Keputusan
Menteri Kehutanan dapat dikemukakan, di antaranya: (1) Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 6884/KPTS-II/2002 tanggal 12 Juli 2002 tentang Kriteria
dan Tata Cara Evaluasi terhadap Industri Primer Hasil Hutan Kayu; (2) Ke-
putusan Menteri Kehutanan Nomor: 6885/Kpts-II/2002 tanggal 12 Juli 2002
tentang Tata Cara Persyaratan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan; (3) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 178/Kpts-II/2003 tanggal 12
Juli 2003 tentang Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman
Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari; (4)
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.279/Menhut-II/2004 tentang
Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126/ KPTS-
II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan tanggal 2 Agustus 2004; (5)
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 tanggal 16
Agustus 2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak; (6) Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: P. 20/Menhut-II/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang
Kerja Sama Operasi (KSO) pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman; (7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P. 03/Menhut-
II/2005 tanggal 18 Januari 2005 tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan atau pada Hutan
Tanaman yang Diterbitkan Oleh Gubernur atau Bupati/Walikota; dan (8)
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P. 18/Menhut-II/2005 tanggal 13 Juli
2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
126/KPTS-II/2003 tentang Penataan Hasil Hutan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


BAB 3
EKSISTENSI, IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG
KEHUTANAN

Setelah sebelumnya membahas tentang pengelolaan hutan, perizinan kehutanan


berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, serta sumber hukum kehutanan nasional,
selanjutnya penulis akan mebahas mengenai keberadaan pengelolaan hutan berkelanjutan di
Provinsi Papua berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Provinsi Papua Nomor 21
Tahun 2008 serta implementasi dari peraturan daerah tersebut. Peneliti juga akan membahas
megenai upaya penmerinta Provinsi Papua dalam mewujudkan hak-hak masyarakat hukum adat
Papua dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang mana, dalam 10 tahun terakhir ini,
pertanyaan mengenai legalitas di Indonesia telah menjadi inti dari perdebatan pengelolaan hutan
lestari dan penegakan hukum kehutanan.

3.1 Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua Pasca Dikeluarkan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan


kesejahteraan rakyat Papua, khususnya masyarakat hukum adat Papua, dan belum
memperkuat kemampuan fiskal pemerintah di Provinsi Papua. Hutan di Provinsi Papua
adalah ciptaan dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, wajib dimanfaatkan secara bijaksana
bagi kesejahteraan umat manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Sejak
berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui, menghormati dan
menghargai hak-hak masyarakat hukum adat Papua atas sumber daya alam, termasuk di
dalamnya sumber daya hutan. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan dengan
keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Papua guna
mencapai kesejahteraan dan kemandirian di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan melalui kerjasama kemitraan yang setara
dan adil, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan,

88
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pemerataan dan hak-hak asasi manusia. Berdasarkan pertimbangan di atas dipandang perlu
menetapkan Peraturan Daerah Khusus tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di
Provinsi Papua. 130

Kebijakan pembangunan kehutanan pada era desentralisasi diarahkan pada


pencapaian tujuan pembangunan kehutanan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yaitu :

1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk perairan yang meliputi
fungsi produksi, fungsi lindung dan fungsi konservasi untuk mencapai fungsi sosial,
budaya, dan ekonomi yang seimbang;
3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS);
4. Mendorong peran serta masyarakat; dan
5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu arah dan kebijakan


pembangunan yang lebih operasional dan dituangkan dalam suatu sistem perencanaan yang
utuh, terpadu dan menyeluruh. Sesuai dengan sistem perencanaan kehutanan yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2004 tentang perencanaan
kehutanan.

Departemen Kehutanan telah menetapkan lima kebijakan prioritas yang menjadi


acuan untuk mecapai target sukses pembangunan kehutanan nasional. Lima kebijakan
prioritas yang merupakan target sukses Departemen Kehutanan yang dijadikan acuan, yaitu

1. Pemberantasan pencurian kayu dan perdagangan kayu illegal;


2. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan;
3. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan;
5. Pemantapan kawasan hutan.

Kelima kebijakan tersebut, selanjutnya disinkronisasikan dengan amanat Undang


Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan komitmen
130
Penjelasan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang pengeloaan
hutan berkelanjutan di provinsi papua, lembaran provinsi papua Tahun 2008 Nomor 21.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyelenggarakan Pengelolaan Hutan
Lestari Berbasis Masyarakat sebagaimana dirincikan berikut :

1. Mengakui, menghormati dan mengembangkan hak masyarakat adat atas sumberdaya


hutan;
2. Menyelesaikan konflik dengan menjamin akses masyarakat adat terhadap hutan;
3. Melarang pengiriman kayu dalam bentuk log ke luar Papua;
4. Mempercepat pembangunan industri sektor kehutanan skala rumah tangga dan program
pengelolaan hutan berbasis masyarakat;
5. Mencabut izin perusahaan pemegang HPH/IUPHHK bermasalah;
6. Meningkatkan penegakan hukum sengketa kehutanan melalui pencukupan kebutuhan
dan pemberdayaan polisi kehutanan;
7. Mengembangkan industri ramah lingkungan berbasis kehutanan secara hati-hati dan
bijaksana bagi pemerataan kesejahteraan masyarakat;
8. Mengembangkan proyek uji coba untuk pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat
paling sedikit seluas 500.000 ha;
9. Mengalokasikan areal hutan konversi sampai seluas 5 juta hektar untuk perdagangan
karbon;

10. Mempercepat pembentukan Model Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi


Papua dan Papua Barat. 131

Perdasus kehutanan Papua mengemban sebuah maksud yang luhur untuk


perbaikan kondisi kehutanan di Papua. Perdasus ini menempatkan penghormatan terhadap
hak masyarakat hukum adat sebagai suatu azas yang terkandung ke dalam perdasus, dengan
tujuan untuk :

a. Mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat hukum adat


Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya.
b. Mewujudkan peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya masyarakat
hukum adat Papua.
c. Menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan berusaha dan meningkatkan
pendapatan daerah.

131
Op.,cit

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


d. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan.
e. Menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi.
f. Mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman hayati.
g. Mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan iklim global.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan itu, perdasus ini mengatur tentang :
a. Keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
b. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan.
c. Batasan, prinsip,criteria dan indikator pengelolaan hutan lestari
d. Perizinan.
e. Perencanaan hutan
f. Kelembagaan pengelolaan hutan.
g. Peredaran dan pengelolaan hasil hutan
h. Bagi hasil penerimaan kehutanan
i. Pengawasan dan pengendalian
j. Penyelesaian sengketa
k. Sanksi.

Perdasus Hutan Papua tidak seperti Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999


tentang Kehutanan yang memberikan pengertian hutan dalam dua pendekatan, yaitu
pendekatan biologis dan pendekatan politis. Perdasus Kehutanan Papua hanya memakai
pengertian hutan secara biologis yaitu hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan
berisi sumberdaya alam hayati yang di dominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Pilihan pengertian hutan dalam pendekatan biologis tanpa menyinggung


sedikitpun adanya kawasan hutan yang memiliki bobot politik penguasaan ini, secara
normative telah menyelesaikan masalah klaim politik tanah-tanah masyarakat oleh
kehutanan atas nama kawasan hutan di Papua. Kelihatannya dengan pilihan demikian,
maka Papua telah memotong satu sumber masalah yang sering menghadapkan Masyarakat
Hukum Adat dengan para penegak hukum dan begitupula instansi kehutanan. Pada
akhirnya, jika instansi kehutanan Papua hanya mengatur tentang komoditas dan manajemen
pengelolaan kehutanan, dan tidak lagi mengatur hak pemilikan dan penguasaan atas
kawasan hutan, maka besar peluang Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Papua untuk

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


menerbitkan sertifikat-sertifikat hak atas tanah di hutan-hutan Papua dengan mengacu pada
penguasaan tanah kawasan hutan, namun sayangnya peluang itu kemudian dimentahkan
sendiri dengan pengaturan yang diatur dalam Perdasus No. 23 Tahun 2008 (Perdasus
Masyarakat Hukum Adat Papua).

Perdasus Kehutanan Papua menentukan bahwa hutan masyarakat adat adalah


hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pengertian hutan
masyarakat adat di Perdasus ini membuat perubahan substantive terhadap pengertian hutan
adat yang dianut oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa
hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Penegasan substantive itu memisahkan hutan adat dengan hutan Negara, bahkan lebih jauh,
Perdasus kehutanan Papua ini tidak menegaskan adanya penguasaan kawasan hutan
berbasiskan hak lain diluar hutan Masyarakat Hukum Adat.

Kendali yang tetap dipegang pemerintah adalah pada penetapan siapa Masyarakat
Hukum Adat yang berhak mengelola hutan, penetapan fungsi-fungsi hutan berupa
konservasi, lindung dan produksi serta kendali perizinan pemanfaatan hasil hutan maupun
kawasan tersebut. Perdasus Kehutanan Papua memberikan bab khusus untuk pengaturan
mengenai Masyarakat Hukum Adat Papua dan hubungannya dengan kehutanan, yaitu bab
III tentang Masyarakat Hukum Adat. Pengaturan ini dimulai dengan pernyataan normatif
tentang hak Masyarakat Hukum Adat untuk memiliki hak atas hutan alam dengan batas-
batas wilayah adatnya masing-masing dan untuk itu pemerintah daerah mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam.

Pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat atas hutan ini memberikan penegasan
bahwa hak hanya diakui atas hutan alam, sehingga kegiatan-kegiatan kehutanan
Masyarakat Hukum Adat yang tidak berbasiskan pada pengelolaan hutan alam, misalnya
berupa hutan tanaman, tidak termasuk pada ruang lingkup perlindungan yang dimaksudkan
oleh Perdasus Kehutanan Papua.

Meskipun berdasarkan Perdasus Masyarakat Hukum Adat Papua, memasukkan


hutan termasuk kedalam ruang lingkup hak ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua132,

132
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


tetapi untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat tetap harus mengikuti prosedur yang
ditentukan dalam Perdasus Kehutanan yang intinya mengatur dua hal yaitu :

1. Siapa Masyarakat Hukum Adat yang dapat mengelola hutan adat Aktor Masyarakat
Hukum Adat yang dapat mengelola hutan alam ini harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :

a. Memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan bata-batas tertentu yang diakui
oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya.
b. Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat.
c. Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya.

Kriteria Masyarakat Hukum Adat yang berhak mengelola hutan alam baru
bisa dilakukan jika telah ada identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 Perdasus 21 tahun 2008. Pasal ini menyatakan
hal-hal sebagai berikut :

a. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan identifikasi masyarakat hukum adat yang


perlu disiapkan sebagai pengelola hutan dan pemanfaatan hasil hutan.
b. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup kepemilikan, struktur sosial, dan bentuk ketergantungan pada
sumberdaya hutan
c. Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk dokumen yang
disetujui bersama oleh pemerintah kabupaten dan masyarakat hukum adat.
d. Kriteria dan tata cara identifikasi masyarakat hukum adat ditetapkan dengan
peraturan Gubernur.

Titik kunci dari operasionalisasi hak ulayat yang melingkupi hutan alam
adalah dokumen hasil identifikasi yang disetujui bersama antara Masyarakat Hukum
Adat dan pemerintah kabupaten. Disinilah posisi rawan yang akan menimbulkan
konflik antara Masyarakat Hukum Adat dan pemerintah. Menurut penulis, Pada bagian
bab penyelesaian sengketa, tidak dinyatakan bahwa perbedaan pendapat antara
masyarakat hukum adat dan pemerintah sebagai bagian dari sengketa kehutanan yang
dapat ditangani melalui jalur-jalur mekanisme penyelesaian sengketa alternatif.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Akibatnya, jalur yang tersedia bagi masyarakat hukum adat untuk menggugat masalah
ini adalah jalur peradilan tata usaha Negara.

Lokasi dan luas hutan adat yang dikongkritkan dalam bentuk Pemetaan hutan-
hutan alam yang akan dikelolah oleh Masyarakat Hukum Adat harus di dukung dan
difasilitasi oleh pemerintah daerah, meskipun dibuka peluang sumber dana dari pihak
ketiga. Pemetaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan 1) daya dukung lahan, 2)
fungsi hutan, 3) administrasi pemerintahan, 4) rencana tata ruang wilayah, 5)
penggunaan lahan saat ini. Posisi krusial terletak pada pengakuan peta hutan yang telah
dihasilkan, Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai kewenangannya, memiliki hak untuk
menetapkan peta tersebut. Barulah peta ini menjadi operasional dan sah secara hukum.
Peta tersebut memuat informasi mengenai :

a. Batas-batas luar yang disepakati oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat
hukum adat disekitarnya.
b. Lahan dan hutan yang dikelola dan dimanfaatkan masyarakat hukum adat.

Gambar 3.1
Peta Suku Wilayah Adat Provinsi Papua dan Papua Barat

Sumber : Majelis Rakyat Papua

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Tabel 3.1
Perdasus Papua Mengatur Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan
Hutan seperti terdapat pada tabel di bawah ini

Hak Kewajiban
Hutan Dikelola Masyarakat Hutan Dikelola Pihak III
Hukum Adat

1. Mengelola dan 1. Mengetahui rencana 1. Mengelola hutan secara


memanfaatkan hutan peruntukan hutan, lestari;
yang berada di dalam pemanfaatan hasil hutan 2. Memanfaatkan hutan sesuai
wilayah hukum dan informasi dengan fungsi pokoknya;
adatnya; kehutanan; 3. Melakukan rehabilitasi dan
2. Menggunakan 2. Memberi informasi, reklamasi hutan sesuai
pengetahuan, saran, serta peraturan perundangan;
teknologi dan pertimbangan dalam 4. Melakukan perlindungan
kearifan lokal; pemanfaatan hutan; hutan dan konservasi alam;
3. Memperoleh 3. Memperoleh 5. Membayar kewajiban kepada
pendampingan dan kompensasi karena Negara;
fasilitasi pemerintah hilangnya akses dengan 6. Mendistribusikan manfaat
Provinsi dan hutan dan tanah secara adil dan proposional di
Kabupaten/Kota; miliknya akibat dalam kelompok masyarakat
4. Berpatisipasi dalam pemanfaatan kawasan. hukum adatnya;
perencanaan, 4. Memperoleh manfaat 7. Menyisihkan sebagian
pengawasan dan social dan ekonomi; pendapatannya untuk generasi
pengendalian; 5. Menikmati lingkungan akan dating.
5. Bermitra dengan yang berkualitas dari
pihak lain. kawasan hutan.

Sumber : Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008.

Pada posisi pengelolaan hutan oleh pihak ketiga, Perdasus Kehutanan Papua
memangkas satu tahapan penting yang menghubungkan antara pihak ketiga dengan
masyarakat hukum adat, proses tersebut adalah proses negosiasi yang berisi setuju atau
tidak setujunya masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan oleh pihak ketiga
tersebut.

Akan tetapi kalau dikaji lebih dalam, merupakan dampak langsung dari model
perlindungan hak masyarakat adat yang diamandatkan oleh UU No. 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya pada Bab XI tentang perlindungan Hak-
Hak Masyarakat Adat, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi
Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan hukum yang berlaku.

3.1.1 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi


Papua.

Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun


2008 dalam ketentuan umum, Pasal (1) angka (13) dinyatakan bahwa, “Hutan
masyarakat hukum adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat”, Sedangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dalam ketentuan
umum Pasal (1) huruf (f) dinyatakan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang
berada dalam dalam wilayah masyarakat hukum adat. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999. 133 Menurut penulis jika melihat Pasal tersebut diatas maka
menggambarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua mengakui hutan
masyarakat hukum adat sebagai hutan hak.

Kriteria Masyarakat adat berdasarkan Pasal (7) Undang-Undang Nomor


41 Tahun 1999 tentang kehutanan Kehutan, penjelasan Pasal 67 ayat (1) menyakan
masyarakat hukum adat di akui keberadaannya, jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :

1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);


2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan
6. Kebutuhan hidup sehari-hari. 134

Kriteria keberadaan masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 7


dinyatakan, keberadaan masyarakat adat wajib memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :

133
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua, Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, PERDA No.
LN No. 21 tahun 2008, ps. 1 angka 13.
134
Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41, LN No. 167, tahun 1999, ps. 1 huruf f.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


1. Memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan batas-batas tertentu yang
diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya.
2. Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat.
3. Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Penetapan KPH dalam Pasal 7 ayat (1)
dinyatakan bahwa, “Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan
efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai
(DAS) atau satu kesatuan wilayah ekosistem”. Sedangkan dalam Pasal 8 dinyatakan
bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota, sesuai kewenangannya, menetapkan organisasi KPH. Organisasi
KPH yang ditetapkan oleh Pemerintah, meliputi organisasi : (a) KPHK; (b) atau
KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi. Sedangkan Organisasi
KPH yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi, meliputi organisasi KPHL dan
KPHP lintas kabupaten/kota dan Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten/kota, meliputi organisasi KPHL dan KPHP dalam wilayah
kabupaten/kota. PERDASUS Papua dalam Pasal (19) ayat (2) perdasus ini
menyatakan bahwa, “Pemerintah provinsi dan kabupaten/Kota menyususn Rancang
Bangun KPH dalam wilayahnya. Sedangkan ketika KPH mencakup lebih lebih dari
satu kabupaten/kota, penyusunan rancang bangunnya dilakukan bersama dibawah
pemerintah provinsi”. Ayat (3) KPH ditetapkan dengan keputusan Gubernur dan
disampaikan kepada Menteri untuk diketahui. Kelembagaan KPH PP No. 6 Tahun
2007 Jo to PP No. 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah ini menunjuk sebuah aturan
setingkat aturan menteri dan peraturan pemerintah tersendiri untuk mengatur tugas
dan fungsi KPH. Perdasus Papua, Pasal 20 mengatur secara lebih rinci mengenai
kelembagaan KPH. Bentuk dan struktur organisasi KPH, ini akan diatur lebih lanjut
oleh Gubernur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 tahun 2010 tentang Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua,
yang mengatur Gubernur juga berwenang memberikan izin pemanfaatan hutan
dalam KPH. Izin Penggunaan Kawasan Hutan & Pemanfaatan Hasil Hutan.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan PP No. 6
Tahun 2007 tentang perubahan atas PP No. 3 Tahun 2008, diatur secara rinci pada
bagian kelima, yang membagi kewenangan pemberian izin secara tegas antara
Menteri, Gubernur dan Bupati. Perdasus Papua dalam Pasal 33 ayat (1) menyatakan
bahwa penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan
komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dilakukan
setelah memperoleh izin Gubernur. Menurut Penulis ini merupakan contoh
DISHARMONI dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.

Tabel 3.2
Prosedur Perizinan IUPHHK-MHA

PROSEDUR PERIZINAN IUPHHK MHA

GUBERNUR

PERSYARATAN LOKASI
Hutan Produksi (HP)
HPK
APL/ KBNK
PERTIMBANGAN
KADISHUTPROV TEKNIS
BATASAN IZIN

Sumber : Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008

3.1.2. Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Peraturan
Daerah Khusus Papua

Pengaturan perizinan dalam Perdasus di atur dala Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3.


Tata cara pemberian izin dan pelimpahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan 2 diatur dengan Pergub No. 13 Tahun 2010, dalam Pasal 2 Peraturan Gubernur

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


dinyatakan, “Gubernur mencadangkan dan menunjuk areal hutan untuk kepentingan
perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat (IUPHH-
KMA) atas dasar usulan dari Bupati/Walikota.

Tabel 3.3
Rangkuman Jenis Izin dan Bentuk Usaha pada Hutan Produksi

Luas Maks.
No. Jenis Izin Bentuk Usaha dan Jangka Ketentuan
Waktu
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Pemanfaatan Usaha Budi Daya: a. 50 hektar. Tidak mengganggu fungsi
Kawasan. a. Tanaman Obat; b. 5 tahun. pokok kawasan.
b. Tanaman Hias;
c. Tanaman Pangan di bawah tegakan;
d. Jamur;
e. Perlebahan;
f. Penangkapan Satwa;
g. Satwa Burung Walet.
2. Pemanfaatan Jasa Usaha : a. hektar. Tidak merusak bentang
Lingkungan. a. Wisata Alam; b.10 tahun. alam dan lingkungan.
b. Olah raga tantangan;
c. Pemanfaatan air;
d. Perdagangan karbon fcarboii trade);
e. Penyelamatan hutan dan lingkungan.
3. Pemanfaatan Usaha : a.Usaha peraanfaatan Izin pemanfaatan hasil
Hasil Hutan. a.Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam kayu hutan kayu/bukan
hutan alam (meliputi kegiatan 55 tahun. kayu pada hutan
penebangan,pengangkutan, penanaman, produksi tidak boleh
Pemeliharaan pengamanan, dan Diberikan pada areal
pengolahan, serta pemasaran hasil). yang telah dibebani izin
usaha pemanfaatan hasil
b.Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu b.Usaha hutan dan bukan
pada hutan alam, berupa : pemanfaatan kayu/izin pemungutan
- Rotan, sagu,nipah, dan bambu. Hutan Alam hasil hutan kayu. -
- Getah kulit kayu, daun, buah atau biji. bukan kayu 10 Dipindah tangankan
tahun. tanpa
persetujuan tertulis dari
c. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau c.Usaha pemberi izin.
bukan kayu pada hutan tanaman pemanfaatan -Dijadikan jaminan
(meliputi kegiatan penyiapan lahan Hutan kayu dan atau di jaminkan kepada
pembibitan,penanaman,pemeliharaan, bukan kayu pada kepada pihak lain.
pengamanan, pemanenan atau hutan tanaman Izin Pemanfaatan
penebangan hasil,pengolahan dan 100 tahun. hasil hutan kayu dan
pemasaran). bukan kayu
pada hutan Produksi

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Tidak merupakan hak
kepemilikan atas kawasan
d.Pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau hutan.
bukan kayu pada hutan anaman, dapat
berupa :
- Tanaman sejenis dan
- Tanaman berbagai jenis.
4 Pemungutan Usaha : a. 20 m3. a.Berasal dari hasil
Hasil Hutan. a.Pemungutan hasil hutan kayu. b. 1 tahun. langsung penebangan
b.Hanya untuk
memenuhi kebutuhan
individu dan atau
fasllitas umum
penduduk sekitar
hutan.
c.Tidak untuk
diperdagangkan.
a.Dapat untuk
diperdagangkan.
b. Pengumutan hasil hutan bukan kayu, a. 20 m³. b.Khusus untuk
antara lain rotan, madu, getah, buah atau b. 1 tahun tumbuhan dan satwa
biji, daun, tumbuhan liar diatur peruu-an
dibawahtangankan. yang berlaku.

Sumber : Pasal 28 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 32 sampai dengan Pasal 59 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007.

Pemberian izin kepada pengelola kayu baik kepada perorangan/badan


hukum dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu yang dahulu dikenal dengan istilah Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Pada posisi pengelolaan hutan oleh pihak ketiga, Perdasus Kehutanan Papua
memangkas satu tahapan penting yang menghubungkan antara pihak ketiga dengan
masyarakat hukum adat, prose tersebut adalah proses negosiasi yang berisi setuju
atau tidak setujunya masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan oleh pihak
ketiga tersebut. Tetapi kalau dikaji lebih dalam, merupakan dampak langsung dari
model perlindungan hak masyarakat adat yang diamandatkan oleh UU No. 21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya pada Bab XI tentang perlindungan
Hak-Hak Masyarakat Adat, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah
Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan hukum yang berlaku.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun
2008 dalam ketentuan umum, Pasal (1) angka (13) dinyatakan bahwa : “Hutan
masyarakat hukum adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat”, 135 sedangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dalam
ketentuan umum Pasal (1) huruf (f) dinyatakan hutan adat adalah hutan Negara
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Menurut penulis jika melihat
Pasal tersebut di atas maka menggambarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi
Papua mengakui hutan masyarakat hukum adat sebagai hutan hak.

Kriteria Masyarakat adat berdasarkan Pasal (7) Undang-Undang Nomor


41 Tahun 1999 tentang kehutanan Kehutan, penjelasan Pasal 67 ayat (1) menyakan
masyarakat hukum adat di akui keberadaannya, jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 136

Kriteria keberadaan masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 7


dinyatakan, “Keberadaan masyarakat adat wajib memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
a) memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan batas-batas tertentu yang diakui
oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya.
b) Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat.
c) Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Penetapan KPH dalam Pasal 7 ayat (1)
dinyatakan bahwa, “Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan
135
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua, Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, PERDA
No. LN No. 21 tahun 2008, ps. 1 angka 13.
136
Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41, LN No. 167, tahun 1999, ps. 1 huruf f.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai
(DAS) atau satu kesatuan wilayah ekosistem”.

Sedangkan dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa Pemerintah dan/atau


pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangannya,
menetapkan organisasi KPH. Organisasi KPH yang ditetapkan oleh Pemerintah,
meliputi organisasi : (a) KPHK; (b) atau KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya
lintas provinsi. Sedangkan Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah
provinsi, meliputi organisasi KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota dan
Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota, meliputi
organisasi KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota. PERDASUS Papua
dalam Pasal (19) ayat (2) dinyatakan bahwa, “Pemerintah provinsi dan
kabupaten/Kota menyusun Rancang Bangun KPH dalam wilayahnya. Sedangkan
ketika KPH mencakup lebih dari satu kabupaten/kota, penyusunan rancang
bangunnya dilakukan bersama dibawah Pemerintah Provinsi”. Ayat (3) KPH
ditetapkan dengan keputusan Gubernur dan disampaikan kepada Menteri untuk
diketahui. Kelembagaan KPH PP No. 6 Tahun 2007 Jo to PP No. 3 Tahun 2008,
Peraturan Pemerintah ini menunjuk sebuah aturan setingkat aturan menteri dan
peraturan pemerintah tersendiri untuk mengatur tugas dan fungsi KPH. Perdasus
Papua, Pasal 20 mengatur secara lebih rinci mengenai kelembagaan KPH. Bentuk
dan struktur organisasi KPH, ini akan diatur lebih lanjut oleh Gubernur dalam
Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua. Gubernur juga
berwenang memberikan izin pemanfaatan hutan dalam KPH. Izin Penggunaan
Kawasan Hutan & Pemanfaatan Hasil Hutan.

Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan PP No. 6


Tahun 2007 tentang perubahan atas PP No. 3 Tahun 2008 diatur secara rinci pada
Bagian Kelima, yang membagi kewenangan pemberian izin secara tegas antara
Menteri, Gubernur dan Bupati. Perdasus Papua dalam Pasal 33 ayat (1) menyatakan
bahwa penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan
komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dilakukan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


setelah memperoleh izin Gubernur. Menurut Penulis ini merupakan contoh
disharmoni dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pengaturan perizinan dalam Perdasus di atur dalam Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Tata
cara pemberian izin dan pelimpahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur
dengan Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2010, dalam Pasal 2 Peraturan Gubernur
dinyatakan, “Gubernur mencadangkan dan menunjuk areal hutan untuk kepentingan
perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-
MHA) atas dasar usulan dari Bupati/Walikota. Dalam Peraturan Gubernur Pasal 4 ayat (1)
dinyatakan bahwa, “luas areal IUPHHK-MHA adalah 2.000 Ha samapai 5.000 Ha untuk
setiap izin dan berada dalam wilayah yang kompak, selanjutnya Pasal 10 huruf (b)
Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2010, menyatakan bahwa “melaksanakan kegiatan
pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran atas hasil hutan kayu sebagaimana
dimaksud pada huruf asesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedangkan dalam UU No. 41
tahun 1999 Pasal 37 yang diatur dalam PP No. 6 tahun 2007 dalam Pasal 45 ayat (2) serta
Peraturan Menteri Kehutanan Pasal 7 ayat (1) Nomor : P. 46/Menhut-II/2009,
“pengumutan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi sebagimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf (g) diberikan untuk memenuhi kebutuhan individu,
dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk setiap keluarga dan
tidak diperdagangkan”. Hal ini menurut penulis ada perbedaan pengaturan pengelolaan
hutan antara UU 41 tahun 1999 dengan Perdasus 21 tahun 2008, dari kata tidak dapat
diperdagangkan penulis mengartikan dengan tidak dapat diperjual belikan.

Sebelum berlakunya Perdasus 21 Tahun 2008, pada tahun 2002 telah


diberlakukan SK Gubernur Papua No. No. 522.2/3386/SET/2002 tentang Pengaturan
Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat (IPKMA) dan serta Surat Keputusan
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor KEP-522.1/2174 tentang Ijin Pemungutan
Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IPKMA) kepada Masyarakat Adat Papua,
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 317/Kpts-II/1999
yang merupakan dasar pertimbangan dikeluarkannya IPKMA dan kemudian dicabut pada
tanggal 29 Maret 2005 dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.07/Menhut.II/2005.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Dalam pelaksanaan peraturan Gubernur tersebut, Undang-undang Otonomi
Khusus kemudian lebih jauh mendukung hak masyarakat adat Papua untuk memperoleh
manfaat dari sumberdaya alam di sekitar mereka. Pedoman pelaksanaan Undang-Undang
tersebut dijelaskan secara lebih rinci dalam dua Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan mengenai hak-hak masyarakat akan sumberdaya hutan. Keputusan Menteri ini
digunakan sebagai dasar hukum oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Papua untuk
membuat kebijakan-kebijakan daerah yang bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat
dengan mewajibkan pemegang konsesi untuk memberikan sejumlah kompensasi tertentu
kepada masyarakat lokal karena telah memanfaatkan tanah masyarakat tersebut.

Dengan demikian masyarakat memiliki landasan hukum yang jelas untuk


mengelola dan memperoleh manfaat dari hutan ulayat mereka. Kebijakan-kebijakan di
Papua tersebut bahkan juga mengatur mengenai hak-hak masyarakat lokal terhadap hutan
adat yang berada di areal konsesi HPH besar, yang mana ijin operasionalnya telah terlebih
dahulu diterbitkan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua merespon
positif pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang ditawarkan oleh sistem
desentralisasi ini dengan mengeluarkan SK Gubernur Provinsi Papua tentang Pengaturan
Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat, atau yang lebih dikenal dengan IPK-
MA (Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat) dan pedoman operasionalnya. Ketentuan ini
mengatur pemberian ijin HPHH-MA/IPK-MA yang secara tegas menyebutkan bahwa
untuk dapat memperoleh ijin pengelolaan hutan adat tersebut, kelompok masyarakat adat
harus mendapatkan pengakuan formal dari pemerintahan lokal setempat dalam bentuk
Lembaga Masyarakat Hukum Adat (LMHA), atau harus tergabung dalam suatu lembaga
berbadan hukum seperti koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dibentuklah
Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas), yaitu koperasi yang bergerak di sektor
kehutanan. Melalui Kopermas ini, masyarakat adat dapat memperoleh ijin IPKMA yang
memungkinkan mereka untuk mendapat manfaat langsung dari sumberdaya alam di
sekitarnya.

Tujuan dibentuknya Kopermas adalah agar masyarakat lokal dapat memperoleh


hak-hak mereka dan mengelola manfaat yang diterimanya melalui suatu organisasi
ekonomi yang independen, namun masih terkait erat dengan sistem kelembagaan
tradisional mereka. Melalui Kopermas, masyarakat hukum adat dapat mengajukan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


permohonan untuk memperoleh ijin IPK-MA dari pemerintah Provinsi Papua. Ijin tersebut
memberikan hak untuk melakukan kegiatan penebangan di areal Hutan Produksi dengan
luas antara 250 ha sampai 1000 ha (baik yang berada di dalam ataupun di luar areal konsesi
HPH yang ada saat ini). Ijin IPK-MA yang diterbitkan dari provinsi ini hanya berlaku
untuk satu tahun saja.

Dalam kerangka desentralisasi, Menteri Kehutanan mengeluarkan dua keputusan


yang mengatur mengenai hak-hak masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat dari
hasil hutan. Kedua Keputusan Menteri (Kepmen) ini menjadi dasar aturan pelaksanaan bagi
pengelolaan hutan adat maupun hutan Negara di daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut,
kelompok-kelompok masyarakat yang telah memperoleh pengakuan resmi seperti koperasi
masyarakat atau kelompok lainnya, dan/atau perusahaan swasta dapat memperoleh hak
pengelolaan hutan skala kecil dalam bentuk HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) atau
HPHH-MA (Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk Masyarakat Adat). Kepmen pertama
yang mengatur mengenai HPHH yang pada saat sekarang sudah tidak berlaku lagi, yang
mana memberikan peluang pada masyarakat lokal untuk dapat memperoleh manfaat
langsung dari hutan, melalui izin konsesi seluas 100 ha selama satu tahun. Sebagian besar
pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia menjadikan ketentuan ini sebagai acuan untuk
menetapkan kebijakan mengenai pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat di daerahnya
masing-masing. Sementara itu, Kepmen yang kedua mengenai (HPHH-MA) mengatur
kegiatan-kegiatan yang bersifat non komersial. Aturan ini masih berlaku dan
memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan baik di dalam maupun di luar
hutan negara dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Selama masa desentralisasi, Provinsi Papua pada saat ini telah terbagi menjadi
dua provinsi yaitu Irian Jaya Barat dan Papua yang telah menerapkan ketentuan
pelaksanaan hak-hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat tersebut. Hal ini
merupakan perbedaan yang nyata antara desentralisasi kebijakan kehutanan di Papua dan di
provinsi lain. Kebijakan dari Pemerintah Pusat yang mengatur tentang hak-hak
pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat cenderung kontradiktif satu sama lain.
Contohnya adalah ketika SK Menteri mengenai HPHH-MA hanya merujuk pada kegiatan-
kegiatan pemungutan non komersial, SK Dirjen sebagai landasan untuk aturan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pelaksanaannya malah cenderung merujuk pada kegiatan-kegiatan pemungutan hasil hutan
untuk tujuan komersial.

Padahal kebijakan menteri tersebut menjelaskan bahwa kegiatan pemungutan


hasil hutan oleh masyarakat adat diperbolehkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan
dan mencakup daerah yang juga tidak disebutkan luasan maksimumnya. Ketentuan seperti
ini tentunya dapat menimbulkan masalah jika diterapkan untuk tujuan komersial. Contoh
lain dari ketidakkonsistenan kebijakan mengenai pengelolaan hutan adalah SK Menteri
yang menetapkan bahwa Bupati diberi kewenangan untuk mengeluarkan Perijinan untuk
pengelolaan hutan oleh masyarakat, sementara keputusan pelaksanaannya (SK Dirjen)
membebankan tanggung jawab ini kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, yang
mensyaratkan adanya persetujuan dari Gubernur.

Adanya kesimpangsiuran seperti ini telah menyebabkan perbedaan dalam


pengalokasian areal konsesi dan jangka waktu untuk perijinan pengelolaan hutan yang
dikeluarkan oleh provinsi dan kabupaten di Papua. Pada kenyataannya, pemerintah provinsi
dan kabupaten cenderung memilih dan memilah sendiri kebijakan mana yang akan mereka
ikuti atau yang lebih menguntungkan. Di Papua, pemerintah provinsi telah merancang
kebijakan yang memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengeluarkan Perijinan
pemungutan hasil hutan kayu berbasis masyarakat, sedangkan kebijakan yang dibuat oleh
kabupaten malah memberikan kewenangan ini kepada Kepala Dinas Kehutanan.

Hal yang menarik dengan diberlakukannya Peraturan Gubernur sebelum


dikeluarkannya Perdasus 21 tahun 2008 adalah terjadinya penangkapan, penahanan dan
diajukan ke depan meja hijau, bukan itu saja malahan sampai ke tingkat KASASI terhadap
para pengusaha kayu yang melakukan pengelolaan hutan dengan menggunakan peraturan
Gubernur Provinsi Papua. Dari beberapa para terdakwa hanya seseorang yang di jerat
dengan UU 41 Tahun 1999, sedangkan lainnya dinyatakan bebas.

3.2 Hak dan Kewajiban Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Masyarakat Hukum Adat

Sebelum diberlakukannya Perdasus 21 tahun 2008, terdapat tiga cara bagi


masyarakat adat untuk memperoleh akses atas sumberdaya hutan. Pertama, mereka dapat

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


mengajukan permohonan atau bernegosiasi dengan pemilik konsesi HPH untuk
memperoleh kompensasi finansial. Kedua, mereka dapat mengajukan permohonan kepada
pemerintah kabupaten untuk mendapatkan IHPHA (Izin Hak Pengelolaan Hutan Adat).
Ketiga, mereka dapat mengajukan permohonan pada pemerintah provinsi untuk
mendapatkan IPK-MA (Izin Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat).

Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah provinsi dapat


mengeluarkan IPK-MA kepada perorangan, perusahaan swasta yang bermitra dengan
masyarakat adat, organisasi masyarakat adat seperti Lembaga Masyarakat Hukum Adat
(LMHA) atau koperasi masyarakat (Kopermas). Namun dalam prakteknya, Pemerintah
Provinsi Papua hanya mengeluarkan Perijinan tersebut kepada masyarakat yang secara
resmi membentuk lembaga ekonomi masyarakat atau koperasi yang dikenal sebagai
‘Kopermas’. Analisis terhadap hasil temuan di lapangan mengenai kebijakan sektor
kehutanan Papua dan kaitannya dengan akses masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan serta perolehan manfaat dari hasil hutan di era desentralisasi, menunjukkan hal-
hal penting sebagai berikut : (1) Seiring berjalannya otonomi khusus di Papua, selain
konsesi-konsesi HPH skala besar yang ada dan masih terus beroperasi, pemerintah pusat
juga masih mengeluarkan Perijinan HPH baru di provinsi tersebut. Dengan kewenangan
barunya, pemerintah provinsi menyikapi hal tersebut dengan mengeluarkan kebijakan yang
mewajibkan pemilik HPH untuk memberikan ganti rugi atas kayu yang mereka tebang
kepada masyarakat pemilik hak ulayat. (2) Sejak tahun 2002, masyarakat lokal memiliki
akses lebih besar terhadap sumberdaya hutan melalui pengajuan permohonan ijin IPK-MA
kepada pemerintah provinsi. Ijin tersebut berlaku selama satu tahun untuk luasan areal 250-
1000 ha. (3) Pada bulan April 2004, Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan
kebijakan mengenai IHPHA yang memberikan kesempatan kepada Kopermas untuk
mengelola hutan seluas 2000 ha, dalam kurun waktu dua puluh tahun. Proses dan dampak
IPK-MA yang dikeluarkan pemerintah provinsi. Apabila sebuah Kopermas telah terbentuk
dan diakui secara legal, IPKMA dapat dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi.

Pada prakteknya, kebanyakan pemohon ijin baru mengajukan IPK-MA kepada


Kepala Dinas Provinsi untuk luasan 1000 ha. Ijin perpanjangan IPK-MA dapat dikeluarkan
oleh Bupati untuk luasan 250 ha. Tergantung kesepakatan yang dibuat sebelumnya antara
Kopermas dan investor atau mitra bisnis, kebanyakan investor memilih untuk membayar

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) setelah kayu dikapalkan.
Secara teoritis, pembentukan Kopermas seharusnya merupakan inisiatif dari pemilik ulayat.
Demikian pula halnya dengan pengurusan ijin IPK-MA yang seharusnya dilakukan oleh
Kopermas, sedangkan pelaksanaannya seharusnya melibatkan anggota ulayatnya secara
aktif. dilibatkan dalam proses pembentukan Kopermas sampai dengan persetujuan kontrak
kerja dengan pihak investor.

Namun demikian, masih muncul berbagai permasalahan mengenai kebijakan-


kebijakan baru setelah era reformasi ini yang perlu mendapat perhatian. Satu pertanyaan
penting adalah seberapa jauh kebijakan ini telah mengakomodasi pandangan dan kebutuhan
masyarakat lokal, dan bagaimana pemerintah provinsi dan kabupaten berencana untuk
mengevaluasi kinerja kebijakan mereka. Selain itu masih perlu dilakukan pengkajian
mendalam mengenai bagaimana pemerintah provinsi dan kabupaten berencana untuk
mensosialisasikan kebijakan mereka agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat lokal
akan hak-hak baru mereka. Bagaimana pula dengan upaya pemerintah daerah untuk
melibatkan masyarakat dalam mengevaluasi dan mengadaptasikan kebijakan tersebut
dengan kondisi lokal di masa mendatang. Selain untuk menjamin adanya keterlibatan yang
demokratis, pemerintah kabupaten dan provinsi juga perlu mempertimbangkan dengan
serius tentang siapa yang akan bertanggungjawab dalam mengimplementasikan peraturan-
peraturan baru tersebut dan bagaimana penegakan hukumnya.

Misalnya, insentif apa yang diberikan kepada pemegang ijin yang mematuhi
aturan dan sanksi apa yang akan diberikan kepada mereka yang melanggarnya?. Pada
sebagian masyarakat adat di Papua, pola penguasaan lahan awalnya dilakukan berdasarkan
siapa yang pertama kali membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum dikuasai oleh
orang lain. Pada sebagian yang lain, awal penguasaan wilayah oleh suatu marga didasarkan
pada lokasi yang dijelajahinya pertama kali pada saat berburu binatang di areal hutan yang
belum dikuasai marga lain. Begitu areal belum bertuan tersebut dikerjakan oleh suatu
kelompok marga, maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang bersangkutan
(hak ulayat) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada keturunannya, terutama
keturunan laki-laki (hak waris). Hak ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat
diperjualbelikan, hanya boleh dipinjampakaikan antara sesama warga yang masih dalam
satu rumpun adat (suku).

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini, secara informal masyarakat
Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di daerah tersebut merupakan hak
ulayat kelompok-kelompok masyarakat hukum adat (marga) tertentu, dimana ketentuan-
ketentuan penggunaannya di antara anggota marga diatur oleh norma hukum adat yang
berlaku di masing-masing marga. Adapun penggunaannya oleh pihak luar (pemerintah,
HPH maupun pemilik modal swasta lainnya) harus atas sepengetahuan ketua marga dan
mendapat persetujuan dari pemilik ulayat. Ijin yang diberikan pada pihak luar terbatas pada
penggunaan sumberdaya hasil hutannya saja, sedangkan untuk lahan hutan itu sendiri
sepenuhnya masih menjadi hak pemilik ulayat. Kecuali untuk lahan yang diperuntukkan
untuk pembangunan (gedung perkantoran, sarana umum, dll.), harus dilakukan upacara
pelepasan hak ulayat dengan pembayaran sejumlah kompensasi bagi masyarakat adat
sesuai kesepakatan. Kondisi seperti ini telah ada sejak lama di Papua, namun kembali
berlaku secara kuat dan menyeluruh di Papua paska reformasi, setelah sebelumnya
keberadaan masyarakat adat tidak mendapat tempat dalam sistem pengelolaan hutan
sentralistik.

Besarnya kompensasi yang harus dibayarkan pihak HPH kepada masyarakat


hukum adat diatur berdasarkan SK Gubernur No. 13/2000 dan SK Gubernur No. 50/2001,
dimana HPH diwajibkan memberi kompensasi produksi per meter kubiknya bervariasi
tergantung pada hasil kesepakatan antara investor dengan masyarakat/Kopermas. Pada
beberapa kasus tertentu, kompensasi yang dibayarkan tergantung pada volume kayu yang
dipanen. Nilai kompensasi bervariasi antara Rp. 30.000/m³ - Rp. 100.000/m³ bahkan ada
yang mencapai rata-rata Rp. 200.000/m³, jika mereka bermitra dengan investor non-HPH.
Adapun jika Kopermas bermitra dengan HPH, besarnya kompensasi yang mampu
dibayarkan maksimal Rp. 50.000/m³ (untuk jenis kayu komersial). Oleh karenanya tidaklah
mengherankan jika masyarakat adat lebih senang bermitra dengan perusahaan non-HPH
karena mereka mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan HPH.
Desentralisasi pengelolaan hutan diharapkan dapat dikelola sedemikian rupa
sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pemberdayaan pemerintah
daerah dalam merancang dan menerapkan kebijakan serta model pengelolaan yang sesuai
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Dengan kata lain, desentralisasi dalam
pengelolaan hutan merupakan upaya untuk lebih memberdayakan (meningkatkan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


perikehidupan dan kesejahteraan) masyarakat lokal melalui pemanfaatan sumberdaya hutan
yang dimilikinya dan mempertahankan kesinambungan usahanya tersebut dengan menjaga
dan meningkatkan kualitas hutannya.
Dalam prakteknya, peranan pemerintah daerah masih terbatas pada penerbitan
peraturan namun implementasinya di lapangan belum terkontrol dengan baik. Hal ini
terlihat pada peranan pemerintah dalam pelaksanaan IPKMA yang masih berorientasi pada
penerbitan ijin dan penetapan besarnya kompensasi yang harus diterima oleh masyarakat
pemilik hak ulayat. Belum ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk memonitor dan
mengevaluasi dampak dari kebijakan tersebut atau untuk memastikan bahwa kebijakan
tersebut dipatuhi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama pengelolaan
hutan ulayat. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumberdaya dalam pemerintahan daerah
dan ditunjang oleh garis akuntabilitas yang sangat tidak jelas. Saat ini, bergabung dalam
Kopermas adalah satu-satunya jalan bagi masyarakat hukum adat di Jayapura untuk dapat
memiliki hak formal atas manfaat dari sumberdaya hutan di wilayah mereka. Walaupun
model Kopermas tersebut belum efektif seperti yang seharusnya, model Kopermas telah
meningkatkan posisi tawar masyarakat hukum adat terhadap pihak luar (pemegang konsesi
HPH atau investor swasta) di areal dimana mereka memiliki hak ulayat.

Otonomi Khusus di Papua telah memberikan peluang-peluang positif bagi


pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) serta masyarakat adat untuk lebih berperan
serta dalam pembangunan kehutanan Papua. Peraturan perundang-undangan pusat yang
mengatur pengusahaan hutan berbasis masyarakat semula bertujuan untuk mendorong
terjadinya proses pemberdayaan masyarakat. Namun, pelaksanaan peraturan perundang-
undangan tersebut belum sepenuhnya berhasil karena tidak mempertimbangkan kondisi
sosial ekonomi dan ekologi di Papua, maupun juga karakteristik hukum adat yang ada di
wilayah tersebut saat ini. Kebijakan dan peraturan pemerintah pusat yang mengatur
mengenai pembangunan kehutanan berbasis masyarakat cenderung tidak jelas dan tidak
konsisten, baik dalam susunannya maupun pedoman implementasinya.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemerintah daerah di Papua, baik di tingkat


kabupaten maupun provinsi, memiliki kesempatan untuk mencoba menyusun peraturan
daerah yang mempertimbangkan unsur perpaduan antara hukum adat dan hukum formal
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan hak ulayat. Sehingga kebijakan dan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


peraturan yang diberlakukan dapat mengakomodir kepentingan stakeholder secara
seimbang. Dibandingkan dengan IPK-MA, ketentuan-ketentuan dalam IHPHA relative
berhasil mengakomodir unsur-unsur lokal dan mengatasi masalah-masalah pada sistem
perijinan yang diterbitkan oleh provinsi. Akan tetapi masih perlu dikaji lebih lanjut
efektivitas pelaksanaannya di lapangan. Melalui ijin-ijin konsesi kecil tersebut, masyarakat
adat dapat terlibat langsung dalam kegiatan pengusahaan hutan. Walaupun demikian, masih
diperlukan banyak upaya pemberdayaan lembaga maupun masyarakat adat untuk mampu
menuju kemandirian dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayah ulayat Papua.

Kopermas diharapkan dapat menjadi sarana legal untuk mengaktualisasikan


aspirasi masyarakat dalam pengusahaan hutan ulayat mereka. Namun pada kenyataannya,
Kopermas lebih banyak digunakan oleh mitra kerja (investor) baik HPH maupun non-HPH
sebagai prasyarat legalitas untuk mengeksploitasi hasil hutan kayu di Papua. Faktor utama
yang menyebabkan belum terwujudnya pemberdayaan masyarakat adat dalam mengelola
hak ulayatnya adalah rendahnya pengetahuan, kemampuan dan fasilitas yang dimiliki
masyarakat adat di dalam pengusahaan hutan. Faktor lain yang juga berpengaruh dalam
menjamin adanya manfaat bagi masyarakat lokal dalam masa desentralisasi ini adalah
pengakuan dan dukungan pemerintah atas sistem-sistem hak ulayat yang berlaku di Papua.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, pemerintah provinsi Papua
mengeluarkan suatu kebijakan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dalam rangka
mewujudkan serta meperdayakan masyarakat hukum adat selaku pemilik hak ulayat
dengan mengeluarkan IUPHHK-MHA sebagai jawaban atas permasalahan tersebut.

Hak dan kewajiban IUPHHK-MHA yang diatur oleh Perdasus Papua mempunyai
hak (a) melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; (b)
melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran atas hasil hutan
kayu sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (c)
mendapatkan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten/Kota; (d) mendapatkan
pembinaan penyuluhan; (e) melakukan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan
persetujuan Gubernur. Selain hak maka ada kewajiban yang harus dipatuhi diantaranya
penatausahan hasil hutan sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berlaku. Pada
prinsipnya Perdasus Papua menjamin kelestarian hutan dan perdagangan kayu dalam
bentuk gergajian atau setengah jadi, bukan berupa kayu bulat serta para pemegang

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


IUHHK-MHA wajib membayar PSDR dan DR kepada Negara sesuai dengan Perundang-
Undangan yang berlaku.

3.3 Pengaturan Sanksi Dalam Perdasus 21 Tahun 2008 Tentang Pengeloaan Hutan
Berkelanjutan

Pelanggaran terhadap ketentuan yang di atur dalam Perdasus 21 tahun 2008 dan
Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2010, maka dikenakan sanksi berupa pelanggaran
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah), sedangkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku jika merusak, memindahkan tanda batas serta merusak
sarana dan prasarana perlindungan hutan, menggunakan peralatan berat, melakukan
penebangan sebelum dikeluarkannya IUPHHK-MHA, memindahtangankan IUPHHK-
MHA kepada pihak lain, menyebabkan kebakaran hutan, serta melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak yang telah ditentukan. Selain itu
untuk membatasi kerusakan hutan akibat kegiatan usaha pemanfaatan hutan, pemegang
IUPHHK-MHA tidak dibenarkan menggunakan peralatan yang tidak sesuai dengan kondisi
lahan dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan
lahan dan tegakan.
Sebelum dikeluarkannya Perdasus 21 Tahun 2008, Pengelolaan hutan di Provinsi
Papua selama ini dilaksanakan dalam bentuk HPH dan sejak tahun 1999 Pemerintah
memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya masyarakat pemilik hak ulayat
dalam pengelolaan hutan. Dalam rangka desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan di
Papua, Pemerintah Daerah telah menempuh langkah awal dengan memberikan
IHPHHMHA (Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat) kepada
Kopermas dengan luas 250 hektar, dimana masa berlaku dari ijin ini hanya 1(satu) tahun.
Dasarnya adalah dengan diterbitkannya SK Menhut No. 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei
1999 tentang HPHHMHA pada Areal Hutan Produksi. Sebagai tindak lanjut SK
Menhutbun tersebut, Gubernur Provinsi Papua menerbitkan surat Nomor : 522.2/
3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh
Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk IPKMA dengan petunjuk pelaksanaannya sesuai

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/1648
tanggal 22 Agustus 2002. Secara lengkap, dasar pemberian IPKMA adalah
1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 37 dan 67;
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,
Pasal 38 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1;
3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 317/ Kpts-II/1999 tanggal
7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal
Hutan Produksi;
4. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Nomor :
199/KPTS.IV/SET/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan HPHH-MHA pada Areal Hutan
Produksi;
5. Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor : 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002
tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat;

6. Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/1648


tanggal 22 Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan
Kayu Masyarakat Hukum Adat/Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA);

Alasan pemberian ijin kepada Kopermas dengan pertimbangan bahwa areal yang
dimohon merupakan wilayah hak ulayat masyarakat setempat; selama ini hutan disekitar
wilayah adat masyarakat hanya dinikmati oleh para pengusaha HPH dan IPK; untuk lebih
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan untuk meredam gejolak sosial akibat
tuntutan masyarakat.

Bagi kelompok-kelompok masyarakat adat (Papua) melalui wadah Koperasi


(KOPERMAS), setelah mengantongi IHPHHMHA, dapat melaksanakan aktivitas mereka
tetapi tetap di dalam kawasan hutan adatnya. Bila lokasi yang diajukan sebagai areal yang
dikelola tersebut berada dalam areal HPH maka dalam ketentuannya Kopermas itu harus
mengajukan permohonan kepada HPH yang bersangkutan untuk mendapatkan surat tidak
berkeberatan dari HPH yang bersangkutan untuk mengelola areal tersebut. Hal ini
dilakukan sebab secara hukum HPH ini yang mendapat ijin dari negara untuk mengelola
hutan. Bila tidak, maka Kopermas tersebut tidak dapat melaksanakan aktivitas loggingnya
di daerah tersebut. Hal ini menjadi kendala sebab akan terjadi konflik antara Kopermas

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


tersebut dengan HPH yang bersangkutan. Di satu sisi, HPH sudah mendapat ijin dari
negara tetapi di sisi lain Masyarakat adat adalah pemilik sah atas hutan-hutan dan atau
tanah adat dimana areal yang sedang di kelola oleh perusahaan HPH.

Bila memperhatikan kebijakan ini, seharusnya yang menikmati keuntungan dari


ijin tersebut adalah masyarakat adat karena masyarakat dapat langsung menjual kayunya
sendiri kepada pembeli dan dapat menerima keuntungan dalam jumlah besar. Kondisi riil
saat ini menunjukkan bahwa telah ada kebijakan yang memihak kepada masyarakat dan ini
merupakan peluang bagi masyarakat untuk mengelola hutan-hutan adatnya. Akan tetapi
yang menjadi kendala adalah bahwa masyarakat belum siap mengelola hutannya secara
bijaksana dan lestari, masyarakat masih memerlukan pendampingan namun saat ini ijin
masyarakat yang didapat oleh masyarakat dimanfaatkan oleh para cukong dari luar seperti
dari Malaysia, Singapura atau dari Cina. Dari semua proses pengurusan ijin sampai dengan
kegiatan logging, masyarakat adat hanya mendapkan “Fee” yang tidak sebanding dengan
nilai hutan yang dirusak, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang terjadi.

Dengan memperhatikan kondisi di atas maka hendaknya dicari suatu pola


pengelolaan hutan yang benar-benar dapat mendorong terjadinya kelestarian hutan dan
kelestarian produksi pada hutan-hutan adat masyarakat yang dikelola secara baik. Bila
meneropong ke masa yang akan datang, konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan
menjadi sangat penting. Kegiatan kehutanan di setiap kawasan hutan menurut fungsi
pokoknya tetap memperhatikan keberlangsungan kelestarian fungsi ekonomi, lingkungan
dan sosial secara proporsional. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan merupakan
serangkaian tujuan, kegiatan dan hasil yang bertumpu pada usaha mempertahankan atau
meningkatkan integritas ekosistem hutan dan kesejahteraan rakyat baik sekarang maupun
di masa yang akan datang.

3.4 Kendala Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Kehutan di Provinsi Papua

Dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak Pidana Kehutanan dalam


sistem peradilan pidana, prakteknya tidak semudah apa yang dibayangkan. Hal ini karena
terdapat masalah dalam instrumen hukum yang menjadi kendala dalam penegakan hukum
tindak pidana kehutanan. Di bawah ini penulis menguraikan beberapa kendala dalam
instrumen hukum yang menghambat penegakan hukum tindak pidana kehutanan. Adapun

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


yang menjadi uraian kendala-kendala di bawah ini adalah dari literatur dan hasil wawancara
penulis dengan beberapa informan.

3.4.1 Tumpang Tindih Aturan Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kita gunakan saat ini


meskipun belum direvisi telah mengalami perkembangan yang dirumuskan dalam
berbagai undang-undang tindak pidana di luar KUHP. Sejalan dengan
perkembangan undang-undang, peraturan-peraturan di daerah TK I dan II di
berbagai wilayah Indonesia mengalami perkembangan. Khusus terhadap
perkembangan peraturan daerah yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan
hasil hutan seperti Ijin pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) oleh Bupati
terdapat tumpang tindih dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 137. Perda
tersebut dibuat umumnya lebih mengutamakan kepentingan daerah untuk
peningkatan pendapatan daerah. Hasil pungutan hasil hutan yang didasari Perda
setempat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pembangunan di daerah. Dengan
demikian Pemda lebih mengutamakan pelaksanaan Perda dari pada harus
melaksanakan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999. 138

Kewenangan daerah untuk menentukan perizinan Hak Pengusahaan Hutan


(HPH) dan Izin Pemanfaatan Hutan (IPK) tersentralisasi di tangan bupati / walikota
dapat dijadikan sumber legitimasi dalam mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Demi peningkatan PAD, permerintah daerah mengeluarkan izin pengelolaan hutan
137
Prasetyo H.M., “Problematika Penuntutan Perkara Penebangan Liar”, Makalah Seminar
Pemberantasan Illegal Logging Melalui Penerapan Undang-Undang Tentang Tindak Pidanan Pencucian Uang”
(Jakarta : 2005), hlm. 7
138
Tumpang tindihnya kewenangan disektor kehutanan Undang-undang Otonomi dan Undang-Undang
kehutanan sendiri konflik satu sama lain dalam menentukan legal tidak legalnya sebuah operasi kehutanan, Menurut
UU No. Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati berhak mengeluarkan ijin-ijin IPK, IPHH, dan berbagai
macam ijin sah lainnya di tingkat kabupaten yang dipakai untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan, dimana di sisi
lain pemerintah pusat meradang akibatnya dan mengklaim bahwa seluruh ijin resmi tersebut bertentangan dengan
UU Kehutanan, Bahkan saat ini beberapa kabupaten telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan tentang
Hutan dan Kehutanan yang memperbolehkan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Bapati
dengan luasan hingga 50.000 hektar serta adanya SK Bupati untuk pemanfaatan kayu dengan alas an pembukaan
areal untuk perkebunan serta pemberian ijin konsesi skala kecil. Hal ini diperparah dengan begitu mudahnya
dikeluarkannya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) oleh Dinas Kehutanan, bahkan ada pihak yang
mampu melakukan pemalsuan dokurmen demi tujuan pengekstraksian kayu dihutan lantas, untuk menentukan legal
atau tidak legal sebuah kayu dari sebuah operasi kehutanan, misalnya, hukum mana yang andapakai?
(http://timpakul.or.id/anak/node/28, "Tersentuh Hukum",Submitted by timpakul on Tue, 28/09/2004-17:57. alam
nyata,diakses tanggal 08 Mey 2012.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


atau kayu kepada pemodal. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau
Izin Pemanfaatan Hutan (IPK) secara besar-besaran ini dapat mengakibatkan
kerusakan hutan.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua,


Marthen Kayoi, menyangkut Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21
Tahun 2008, menyatakan, hubungannya dengan menyandingkan antara UU No. 41
Tahun 1999 dengan Otsus maka Pemerintah Provinsi Papua merujuk pada Pasal 38
ayat (2) UU 21 Tahun 2001, merupakan suatu pintu masuk untuk mengeluarkan
Perdasus kehutanan, salah satu sumber daya alam adalah hutan maka perlu
pemerintah Provinsi mengatur hak ulayat masyarakat Papua untuk mengola hutan
tersebut.

Di dalam Perdsus kehutanan Papua ada substansi inti yang berada di


dalam Perdasus, masyarakat yang tadinya dalam UU Kehutanan tidak sebagai
pelaku, didalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua, pemerintah
memasukkan masyarakat adat sebagai pelaku utama, contohnya industri kayu
rakyat, tanaman rakyat, bagaimana dapat melibatkan masyarakat adat Papua
sebagai pelaku, namun kenyataannya dalam pengelolaan hutan HPH industri-
industri ekonomi skala besar, dengan isu-isu penguatan tenurial masyarakat adat
dalam penguasaan hutan maka pemerintah dengan dinas terkait dapat mengelolah
kondisi hak tenurial masyarakat adat dengan kearifan lokal dapat mengakomodir
dalam suatu manajemen pengelolaan hutan yang lebih baik dengan memberikan
ruang kelola kepada masyarakat adat pengguna hak ulayat.

Lebih lanjut Kadis, mengatakan soal sinkron atau tidak dengan UU No. 41
Tahun 1999, maka didalam perdasus kehutanan pemerintah upayakan seluruh
mekanisme tata usaha kayu secara nasional di adopsi seratus persen didalam
Perdasus kehutanan Papua, yang beda adalah spesifikasi lokal Papua dengan
pertimbangan geografi dan lain-lain, sehingga ada penjabaran-penjabaran lebih
lanjut, misalnya di daerah luar Papua kapal biasa sandar langsung ke dermaga
sedangkan di Papua harus melewati sungai pindah ke tongkang besar-tongkang
kecil untuk mengangkut kayu.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Kemudian kepala Dinas Kehutanan menyatakan asal usul kayu kalau di
luar Papua jelas adanya, kalau di Papua aksesbilitas sudah tidak tersedia, tingkat
adaptasi terhadap inovasi masyarakat tata pengelolaan hutan belum berkembang
dengan baik, maka peraturan menteri kehutanan tentang asal usul kayu belum dapat
diterapkan di Papua. Pemerintah Provinsi Papua sedang berusaha untuk membuat
suatu sistim pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku
melalui industri kayu rakyat. Dengan industri ini memberi ruang untuk pemerintah
melakukan tata usaha kayu lokal, yang sesungguhnya bukan bertentangan tetapi
tidak sejalan misalnya UU 41 Tahun1999, menyatakan tebang, angkut, bawa ke
kapal dan seterusnya, di Papua tidak seperti begitu, tebang, tarik dan seterusnya.

Lebih lanjut Kadis menyatakan bahwa pemerintah Papua mengupayakan


sinkronisasi dan harmonisasi peraturan antara perdasus kehutanan dan aturan-aturan
dari Menteri Kehutanan, misalnya tentang Hutan Tanaman Rakyat. Menurut UU 41
Tahun 1999, HTR hanya boleh ada di hutan produksi, tetapi konteks Papua berada
di semua fungsi hutan, oleh sebab itu harus disinkronisasi dengan peraturan yang di
atur dalam UU No. 41 Tahun 1999. Dimana kita mengetahui bahwa sejarah
pembuatan UU No. 41 Tahun 1999 dan peraturan menteri, nuansa pada waktu itu
berbeda dengan nuansa hari ini. Oleh sebab itu harus pemerintah jembatani dengan
sinkronisasi dan harmonisasi terhadap UU kehutanan dengan pola pikir hutan kita
jaga dan masyarakat mendapat manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan. Dalam
Otsus mengamanatkan keberpihakan dan pemberdayaan. Pemberdayaan kepada
siapa? Adalah kepada masyarakat Papua. Pepohonan yang tumbuh di atas tanah hak
ulayatnya yang menurut pemerintah Papua untuk mengatur pengelolaannya.

Beranjak dari pengalaman silam mengenai IPKMA, kata Kepala Dinas


Kehutanan Provinsi Papua saya juga pernah sebagai terdakwa, numun pada tingkat
kasasi dinyatakan bebas dengan pertimbangan kebijakan pemerintah daerah dan
surat yang diterbitkan oleh menteri kehutan bukan berdasarkan hukum, hanya
berbentuk surat yang mengatakan IPKMA itu legal semenatara menteri kehutanan
bukan lembaga hukum, dan yang harus menyatakan legal dan illegal adalah
lembaga hukum. Perdasus Kehutanan saat ini saya jamin tidak akan seperti masa
yang lalu, karna IPKMA tidak ada dasar hukum daerah yang menjamin, kalau

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


sekarang ini sudah ada UU Otsus, Perdasus, Peraturan Gubernur serta peraturan
kepala dinas kehutanan, maka jamin legalitas dari pengelolaan hutan berkelanjutan
di Provinsi Papua. Mengenai sumber daya manusia kami pemerintah Provinsi
Papua akan melakukan pelatihan-pelatihan di bidang pengelolaan hutan dengan
alokasi dana dari pemerintah Papua.

Mengenai cara pemasaran hasil hutan rakyat tidak seperti IPKMA,


pengelolaannya berupa kayu setengah jadi atau kayu gergajian yang di pasarkan
baik untuk keperluan lokal, nasional regional maupun regional. Disini pemerintah
harus intervensi dalam pengelolaan hutan dengan memberikan dana talangan
kepada koperasi-koperasi yang sudah mempunyai manajemen baik. Sekali lagi
Kepala Dinas Kehutan Provinsi Papua menyatakan bahwa tidak usah hawatir
masalah perbedaan hukum, karna pemerintah sudah mempunyai aturan-aturan
tentang pengelolaan hutan, yang mana kami pemerintah provinsi Papua sudah
publikasikan kepada para penegak hukum di Provinsi Papua, sedangkan para
pengusaha kayu yang masih munggunakan HPH selama masih berlaku tetap di akui
oleh pemerintah Papua. Mengenai hutan Negara, jika berpegang dengan hutan
Negara maka di Papua tidak akan ada titik temunya. Akhirnya harus kelola
lingkungan dengan lestari dan rama lingkungan. Menurut Kadis alternative yang
baik atau yang bisa pemerintah Papua laksanakan adalah hormonisasi dan
sinkronisasi, dan sandingkan atara perdasus dengan peraturan menteri kehutanan.
Kalau tidak apa artinya sebuah peraturan kehutanan kalau tidak mempunyai
kemanfaatan nilai ekonomi, sedangkan rakyat Papua adalah bagian dari rakyat
Indoneisa 139.

Wawancara dengan Rico Purba selaku Kasat Serse Polresta Jayapura, Hutan kita
yang luas pada umumnya di sekelilingnya terdapat kehidupan masyarakat adat Papua.
Kehidupan masyarakat adat Papua yang tinggal di pinggiran hutan menggantungkan
kehidupan dari memungut hasil hutan. Kebiasaan tersebut sudah turun temurun dari
kehidupan nenek moyangnya, sehingga mereka sudah mengkapling wilayah-
wilayah tertentu sebagai hutan adat. Pada kenyataan tersebut apabila ada pihak-pihak

139
Marthen Kayoi, dalam wawancara dengan peneliti di Jayapura pada tanggal 10 April 2012, pukul
15.00 Wit.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


tertentu yang akan menguasai atau mangambil hasil hutan akan menimbulkan konflik, Pihak
tertentu yang sudah berbekal surat ijin dari pemerintah pusat harus menghadapi berbagai
tuntutan dari masyarakat adat. Hukum dan aturan nasional yang harus mengadopsi hukum
adatpun dapat dilanggar. Dengan bermodalkan uang yang tebal, para cukong kayu akan
mudah mempengaruhi masyarakat, akhirnya hutan adatpun dieksploitasi semaksimal
mungkin untuk mencari keuntungan pribadi para cukong kayu 140.

Hasil wawancara dengan Cahayo, Kepala Satuan Sumber Daya


Lingkungan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Sampai sejauh ini aturan
hukura tentang kehutanan antara produk kepentingan pusat dan daerah masih tetap berlaku dan
terus diperdebatkan khususnya oleh para penegak hukum di lapangan dengan pejabat di
daerah. Idealnya adalah seharusnya para penegak hukum tetap mengutamakan hukum
nasional yang sering diklaim oleh daerah lebih mengutamakan kepentingan pusat.

Dengan adanya kemudahan proses keluarnya kayu dari daerah karena dilindungi
berbagai peraturan daerah maka tindak pidana kehutan tidak akan mudah dihentikan. Kondisi
tersebut akan lebih diperparah lagi dengan permintaan kayu pasar dunia semakin besar dan
hutan-hutan di berbagai negara sudah habis, seperti kawasan Asia yaitu cina, Jepang, dan
negara-negara Eropa, hutan mereka sudah habis tetapi kebutuhan kayu meningkat. Supplay
(penawaran) dan demand (permintaan) menjadi suatu kenyataan 141.

Dari hasil wawancara dengan Jaksa Benony Adrian Kombado, yang


pernah menangani kasus tindak pidana kehutan di Kabupaten Serui-Papua
menyatakan, walaupun telah diberlakukannya Perdasus 21 Tahun 2008 di Papua,
tidak dapat mengakomodir seluruh hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan
hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Pada prinsipnya dalam pengelolaan hutan
masyarakat adat masih berpatokan kepada UU No. 41 Tahun 1999 khususnya
dalam Pasal 67. 142

140
Rico Purba, selaku Kasat Serse Polresta Jayapura, dalam wawancara dengan peneliti di Jayapura
pada tanggal 18 Mey 2012, pukul 10.00 Wit
141
Cahayo, Kepala Satuan Sumber Daya Lingkungan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya,
dalam wawancara dengan peneliti di Jakarta pada tanggal 21 Mey 2012, pukul 16.00 Wib.
142
Benony Adrian Kombado, dalam wawancara dengan peneliti di Jakarta pada tanggal 07 Maret 2012,
pukul 21.00 Wib.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Diharapkan ke depan para pelaku tindak pidana kehutanan dapat diproses
dengan tidak ada keraguan tentang interpretasi aturan dan diberikan hukuman yang berat jika
melanggar ketentuan yang di atur di dalam UU Kehutan, bagaimana pertimbangan dengan daerah
yang diberikan Otonomi yang seluas-luasnya, itu adalah tantangan dari para penegak hukum dalam
memberantas tindak pidana kehutanan.

Berkenaan dengan adanya tumpang tindih antara aturan hukum, maka berdasarkan teori
sistem hukum yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, terdapat suatu kondisi dimana seluruh
sistem bekerja di dalam ruang dan setting yang berada di dalam satu pekerjaan utama. Hal
tersebut karena dipengaruhi oleh aspek substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum. Berkaitan dengan masalah instrumen hukum yang menjadi kendala dalam
penegakan hukum tindak pidana kehutanan, maka hal ini menandakan tidak adanya
sinkronisasi instrumen hukum atau sinkronisasi substansial.

Dalam penegakan hukum perlu ada sinkronisasi substansial (substansial


synchronisasi) yang mencakup sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Sistem Peradilan Pidana yaitu mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum.
Kendala dalam substansi hukum, adalah prosedur apa yang seharusnya diikuti oleh lembaga
hukum yang ada yaitu kepolisian, Kejaksaan maupun PPNS Kehutanan dalam menjalankan
perangkat hukum yang ada, dalam hal ini adalah UU No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan
Daerah tingkat I dan II serta daerah-daerah yang diberikan Otonomi Khusus. Hal ini sangat
dilematis karena hukum tetap harus ditegakkan, tetapi di sisi lain hukum harus berhadapan
dengan kebijakan pemerintah daerah yang diberikan Otonomi Khusus berwenang
mengelola hutan secara lestari, sehingga peraturan perundang-undangan kurang
berorientasi pada penyelarasan hubungan antara lembaga-lembaga penegak hukum.

3.4.2 Sanksi Pidana Terhadap Pelaku

Untuk menyelamatkan hutan, adalah dengan memberikan sanksi pidana


yang seberat-beratnya kepada para pelaku tindak pidana di bidang kehutanan dengan
dasar hukum yang saat ini telah dirasa cukup memadai. Sebagai dukungan moral
agar para penegak hukum tidak ragu dalam menerapkan sanksi pidana, maka
diperlukan pemahaman pengetahuan hukum pidana khususnya yang berkaitan
dengan kegiatan kehutanan. Kajian efektifitas penerapan sanksi pidana kehutanan

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


yang dimulai dengan telaah terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur
sanksi pidana kehutanan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan
sangat diperlukan. Penerapan sanksi pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 memang
masih banyak kelemahan, namun dengan didukung oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem serta UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kekurangan dalam UU No.
41 Tahun 1999 akan dapat ditutupi.

Sebagai contoh, apabila seseorang dituduh melakukan tindak pidana Pasal


50 ayat (3) UO No. 41 Tahun 1999, maka orang tersebut akan mengajukan
bantahan-bantahan menyangkut status, kepemilikan dan penguasaan hutan serta siapa
yang berwenang memberikan ijinnya dan sebagainya. Untuk menjawabnya, dapat
diterapkan Pasal-Pasal yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang
menekankan dampak kerusakan akibat pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU
No. 41 Tahun 1999.

Oleh karena itu diperlukan analisis yang kuat terhadap tuduhan yang
didakwakan dan pemahaman terhadap ketentuan Pasal-Pasal yang menjadi kunci
utama. Dakwaan jaksa sangat berpengaruh terhadap tuntutan yang akan diputuskan
oleh hakim, sehingga seorang jaksa perlu memahami dakwaan yang dibuatnya.
Dalam persidangan, jaksa harus menampilkan keahlian dan keyakinannya bahwa
apa yang didakwakan adalah tepat dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Begitu
pula analisa dakwaan telah diuraikan secara jelas mengenai unsur-unsur perbuatan
pidana yang telah dilakukan terdakwa. Meskipun hakim mempunyai kemandirian
dalam memutus suatu perkara pidana, namun hakim tidak bisa mengesampingkan
hal-hal yang terjadi dalam persidangan dan fakta-fakta hukum yang ditampilkan para
pihak.

Ketentuan pidana dalam kasus tindak pidana kehutanan perlu diperberat lagi
agar pelaku tindak pidana kehutanan jera. Walaupun dalam beberapa Undang-Undang sudah
cukup diatur, tetapi implementasinya sering tidak membuat efek jera bagi pelakunya.
Menurut penulis para penegak hukum dalam memproses pelaku tindak pidana
kehutanan hanya masyarakat miskin selaku pekerja, sedangkan para aktor dibalik

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pembalakkan liar tersebut tidak sama sekali disentuh oleh hukum, mengapa
demikian, karna para penegak hukum terlibat langsung dalam jaringan illegal
logging tersebut.

Wakil Sekjen PBB Achim Steiner, menyatakan, “Illegal Logging


menghancurkan kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya
hutan, sekaligus menguras kekayaan sumber daya alam Indonesia melalui praktek-
praktek yang tidak berkelanjutan. Pembalakan hutanpada skala sebesasar ini tidak
mungkin dilakukan oleh perorangan yang telah termiskinkan, melainkan oleh
jaringan komersil terorganisir yang sangat sistematis dan licin”.143

Nampaknya tidak berlebihan jika pelaku illegal logging kelas kakap


disebut sebagai “mafia hutan”, karena bentuk dan sifatnya sebagai jaringan
komersil terorganisir yang sangat sistematis dan licin sebagaimana yang
disampaikan oleh wakil sekretaris jendral PBB, Achim Steiner. Kejahatan
Kehutanan di Indonesia melibatkan hubungan yang kompleks antara aktor, mulai
dari cukong kayu, aparat militer dan polisi, pejabat pemerintah dan politisi yang
korup, mafia peradilan, sampai sindikat penyelundupan internasional. 144

Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 yang memiliki sanksi
pidana ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana kehutanan.
Ancaman hukuman penjara 15 tahun bagi yang membakar hutan dan paling berat 10 tahun
bagi yang melakukan Illegal logging. Pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang-Undang ini tidak mengatur rumusan
sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera
bagi pelaku.

Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang


(UU TPPU) diatur bahwa tindak pidana di bidang kehutanan merupakan salah satu
dari tindak pidana asal yang menghasilkan harta kekayaan yang dapat dituntut
dengan menggunakan UU TPPU. Pendekatan anti pencucian uang merupakan
paradigma baru dalam upaya memberantas kejahatan.

143
Kejaksaa Republik Indonesia, Pemetaan Illegal Logging dari Prespektif Kejaksaan, (Kejaksaan Agung
R.I., 2007)
144
Ibid., hal 55

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Dengan menggunakan paradigma baru ini pemberantasan kejahatan lebih
difokuskan pada pengejaran hasil kejahatan melalui metode deteksi dan
penelusuran aliran dana (follow the money). Pendekatan ini di banyak negara diakui
lebih menjanjikan keberhasilannya ketimbang mengejar pelaku kejahatan yang
biasanya memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan 145.

Berkaitan dengan teori hukum yang telah penulis uraikan di atas, maka sanksi pidana
yang tidak memberikan pidana minimum sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelakunya
merupakan masalah instrumen hukum yang menjadi kendala dalam penegakan hukum
tindak pidana perdagangan kayu ilegal. Instrumen hukum dalam sistem hukum
berkaitan dengan substansi hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas, telah dijelaskan tentang hukum positif yang


mengatur tentang aturan-aturan hukum kehutanan dan penanganan tindak pidana
melalui sistem peradilan pidana dalam menegakan hukum. Dalam pelaksanaannya,
ketentuan-ketentuan hukum dalam UU No. 41 Tahun 1999 telah dilanggar khususnya
adalah adanya tindak pidana Kehutanan.

3.5 Analisa Putusan Pengadilan Kasus Tindak Pidana Kehutanan di Provinsi Papua.

Dalam penelitian ini, perkara tindak pidana kehutanan yang digunakan sebagai
obyek penelitian telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Perkara yang akan
peniliti analisa adalah perkara atas nama H. Romzan.

H. Romzan pada hari Senin tanggal 15 November 2004, bertempat di


Holtekamp di Jayapura telah mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang
tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan); yang mana
H. Romza selaku Nakhoda Kapal MV. Fitria Perdana telah melakukan pemuatan
kayu milik Ketua Kopermas Yasrabayan Andi Selle Paralangi di Pelabuhan
Holtekamp Jayapura yang berdasarkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan jumlah
kayu adalah 860 (delapan ratus enam puluh) batang, sedangkan Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan oleh Kasirah dibuat tanpa melakukan pengecekan fisik kayu

145
Yunus Husein, Strategi Memberantas Pembalakan Liar
http://www.docstoc.com/docs/2959625/STRATEGI-MEMBERANTAS-PEMBALAK-LIAR-Dr-Yunus-Husein-SH-
LLM Dalam.diunduh 10 Februari 2012

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


terlebih dahulu, selanjutnya pada waktu pemuatan tidak melakukan pengecekan
jumlah kayu, kemudian pada saat membawa kayu tersebut ke Surabaya kapal yang
dinakhodai Terdakwa ditangkap oleh petugas POL AIRUD Polda Papua dan pada
waktu dilakukan pembongkaran ternyata jumlah kayu tidak sesuai dengan SKSHH
(Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yaitu sebanyak 896 (delapan ratus sembilan
puluh enam) batang dengan jumlah volume 3.580,86 M³ ;

Penuntut Umum dalam perkara ini berdasarkan Surat Dakwaan, mendakwa H.


Romzan dengan dakwaan yang disusun secara tunggal, melanggar Pasal 78 ayat (7) jo.
Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Dalam pembuktian tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh H. Romzan


tersebut, berdasarkan fakta-fakta dipersidangan selanjutnya surat tuntutan menyatakan
bahwa perbuatan yang dilakukan oleh H Romzan terbukti melanggar Pasal 78 ayat (7) jo.
Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Dengan tuntutan
sebagai berikut :

Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 20 Juli 2005 yang isinya adalah sebagai
berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. Romzan bersalah melakukan tindak pidana Mengangkut,
menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
78 ayat (7) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara
ditambah dengan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 5
(lima) bulan kurungan dengan perintah segera ditahan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
1. Kapal MV. Fitria Perdana ;
2. Kayu log sebanyak 895 picis/batang jenis merbau ;
3. Dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ;
Dirampas untuk negara ;

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


4. SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) Nomor Seri DE 0198566 ;
5. DHH (Daftar Hasil Hutan) kayu bulat Nomor : 01/Kop-B/X/2004 ;
6. Surat Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Fitria Antarnusa Samudera dengan PT.
Rimba Kayu Jaya ;
Tetap terlampir dalam berkas perkara ;
7. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah) ;

Putusan Pengadilan Negeri Jayapura No. 59/Pid.B/2005/ PN.JPR. tanggal 30


Agustus 2005 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. Romzan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ”Mengangkut, menguasai atau memiliki
hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan)” ;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan ;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya seperti sedia kala (rehabilitasi) ;
4. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) buah Kapal MV. Fitria Perdana ;
b. Dokumen-dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ;
c. Surat Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Fitria Antar Nusa Samudera dengan PT.
Rimba Kayu Jaya ;
Dikembalikan kepada Capt. H. Soehariyo ;
d. Kayu log sebanyak 895 (delapan ratus sembilan puluh lima) picis/batang jenis
merbau dan ;
e. DHH kayu bulat No. 01/Kop-B/X/2004 tanggal 27 Oktober 2004 atas nama Kopermas
Yasrabayan ;
Dikembalikan kepada Terdakwa Andi Selle Paralangi ;
f. 2 (dua) lembar asli SKSHH Nomor Seri DE. 0198566 tanggal 15 November 2004
atas nama Kopermas Yasrabayan ;
Masing-masing dikembalikan kepada Dinas Kehutanan Kota Jayapura;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara Republik Indonesia ;

Putusan Mahkamah Agung RI No. 246 K/Pid/2006 tanggal 17 Mei 2006 yang
amar lengkapnya sebagai berikut :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Jayapura tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura No. 59/Pid.B/2005/-PN.JPR. tanggal 30
Agustus 2005 ;

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Menyatakan Terdakwa H. ROMZAN tersebut di atas terbukti secara sah dan
meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana ”MENGANGKUT HASIL HUTAN
TANPA DILENGKAPI DENGAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN
(SKSHH)” ;
Menghukum oleh karena itu Terdakwa dengan pidana penjara selama 9
(sembilan) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
dengan keterangan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana
kurungan selama 5 (lima) bulan ;
Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dengan pidana
yang dijatuhkan ;
Menetapkan barang bukti berupa :
- Kapal MV. Fitria Perdana ;
- Kayu log sebanyak 895 picis/batang jenis Merbau ;
- Dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ;
- SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) Nomor Seri DE 0198566 ;
- DHH (Daftar Hasil Hutan) kayu bulat Nomor : 01/Kop-B/X/2004 ;
- Surat Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Fitria Antarnusa Samuderadengan PT. Rimba
Kayu Jaya ;

Dirampas untuk negara ;

Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon


Peninjauan Kembali H. ROMZAN tersebut dan menetapkan bahwa putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku.

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada


hari Rabu tanggal 17 Maret 2010 oleh Djoko Sarwoko, SH.MH. Ketua Muda Mahkamah
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, I Made Tara,
SH. dan Prof. DR. Komariah E. Sapardjaja, SH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota,
dan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh Rahayuningsih, SH.MH.
Panitera Pengganti. 146

Dari kasus tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana kehutanan
yang dilakukan oleh H. Romzan dengan menggunakan izin IPKMA di Papua, tidak
digunakan sebagaimana mestinya dengan kata lain dalam melakukan pengangkutan kayu
melebihi kubikasi yang ditentukan oleh Instansi terkait dalam hal ini Dinas Kehutan
Provinsi Papua. Penulis berpendapat bahwa Pemerintah Provinsi Papua tetap
mempertimbangan UU No. 41 Tahun 1999 dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua.

Berbeda dengan tujuh perkara yang di putus bebas oleh Mahkamah Agung di
bawah ini, dimana para pelaku melakukan pengangkutan kayu berdasarkan izin yang
ditentukan oleh Pemerintah setempat, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tertera di
bawah ini.
a. Putusan Mahkamah Agung RI No. 2815 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Ir. Marthen Kayoi, MM. ;
b. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1662 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Rudi Wijaya ;
c. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1664 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Agustian ;
d. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1663 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Agustian, dkk ;
e. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1048 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Tan Eng Kwee, dkk ;
f. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1661 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Aliyono ;
g. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Andi
Selle Paralangi ;

Dengan pertimbangan Perbuatan ketujuhTerdakwa/Pemohon Kasasi pidana


tersebut hanya bertindak sebagai pengangkut hasil hutan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 317/Kpts-II/1999 yang merupakan dasar

146
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b08432e7aad2fba247b6a9a317ad2d5/pdf

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


pertimbangan dikeluarkannya IPKMA dan kemudian dicabut pada tanggal 29 Maret
2005 dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.07/Menhut.II/2005. Surat
Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/2174 tentang
Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IPKMA) kepada
Masyarakat Adat Papua tidak bertentang dengan ketentuan perundang-undangan
dan/atau tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, bahwa
Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Ir. Marthen Kayoi,MM., bertindak
dalam kapasitas sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan Keputusan IPKMA kepada Kopermas-Kopermas masyarakat adat di
Papua, di mana atribusi kewenangan tersebut bersumber ketentuan Pasal 38 ayat (2)
dan Pasal 39 Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Pasal 38 ayat (2) :
"Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam
dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan
pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus)". Lebih lanjut Pasal 39 : "Pengolahan lanjutan dalam rangka
pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan di
Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat,
efisien, dan kompetitif". Penjelasan Pasal 39. Yang dimaksud dengan pengolahan
lanjutan dalam undang-undang ini adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari
pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya : sektor migas, pertambangan umum,
kehutanan, perikanan laut, serta hasil-hasil pertanian pada umumnya. Berdasarkan
kedua Pasal tersebut di atas, maka telah jelas bahwa wewenang menerbitkan IPKMA
termasuk wewenang terikat (gebonden bevoegheid), karena bersumber pada hukum
tertulis, yaitu Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 39 UU Otsus.

Bahwa dalam konsep ilmu hukum, bila terjadi pertentangan beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur materi muatan yang sama, maka harus
dikembalikan pada asas-asas hukum umum (algemene rechtsbeginselen). Dalam kaitan
ini, maka asas hukum yang terkait dengan kasus ini adalah asas yang menyatakan
bahwa aturan-aturan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan-aturan yang
bersifat umum (Lex Specialis Derogate Legi Generali). Dan Undang-Undang Otsus

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


merupakan pengaturan yang bersifat khusus, sedangkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, merupakan pengaturan yang bersifat umum, oleh karena itu
terhadap materi muatan yang mengatur tentang kewenangan menerbitkan IPKMA
harus diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Papua sebagai ketentuan hukum yang bersifat khusus. Dengan demikian,
penggunakan Undang-Undang Otsus sebagai dasar wewenang bagi Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Papua untuk menerbitkan IPKMA adalah tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum, dan karenanya tindakan hukum Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi Papua menerbitkan IPKMA kepada Kopermas harus dinyatakan sah
(rechtmatig).

Untuk dapat mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana itu sebenarnya


merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, sebenarnya tidak terdapat suatu
kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman.

Dari permasalahan kasus tersebut di atas maka penulis dapat menyimpulkan, H.


Romzan dalam mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu melebihi kubikasi
yang telah ditentukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua, sehingga terdakwa terbukti
telah melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana yang di atur dalam Pasal 78 ayat 7
jo Pasal 50 ayat 3 huruf h UU No. 41 Tahun 1999, sedangkan ke tujuh para terdakwa yang
terdapat dalam putusan pengadilan ini dinyatakan tidak bersalah karena mengangkut,
menguasai hasil hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan kata lain bebas demi
hukum. Oleh karena itu Pemerintah Pusat konsisten dalam mengimplementasikan UU
Otsus 21 Tahun 2001 tehadap Provinsi Papua sebagaimana di atur dalam Pasal 38 dan 39.

Di dalam doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu
untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana
yang bersifat khusus ataupun bukan.

Cara-cara tersebut adalah :

1. Cara memandang secara logis ataupun yang juga disebut logische


beschouwing

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


2. Cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga
disebut juridische- atau systematische beschouwing.

Menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap
sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabilaketentuan pidana tersebut
disamping memuat unsure-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan
pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan
secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu logische specialiteit
atau sebagai suatu kekhususan yang logis.

Menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana
itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap
dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas
dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk
memberlakukan ketentu pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat
khusus.

Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara yuridis atau


secara sistematis seperti itu, didalam doktrin juga disebut suatu juridische specialiteit atau
suatu systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara
sistematis.

Menurut pendapat saya, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang
bersifat khusus, suatu ketentuan pidana itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari
suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. 147

Lebih lanjut Jan Remmelink, menyatakan hakim dalam hal ini harus
memperhatikan ratio logis (dasar atau alasan pembentukan aturan), sejarah dan sistem
dalam mana aturan tersebut di fungsikan. Ia sekaligus harus memperhatikan logika,

147
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. 3, (Bandung : PT. Citra Aditya
Bhakti, 1997), hlm. 714-715

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


sekalipun asas Lex Specialis Derogate Legi Generali tidak serta merta dapat
diaplikasikan. 148

Lex Specialis Derogate Legi Generali merupakan asas penting bagi hukum
pidana bahkan kata Utrecht, sangat penting untuk seluruh hukum. Van Hattum
menyebutnya sebagai Logische Specialiteit atau bahasa indonesianya kekhususan yang
logis (ada juga yang memakai spesialitas yang logis). 149

Selanjutnya berdasarkan perkara tindak pidana kehutan yang terjadi di Provinsi


Papua dan didukung oleh wawancara, terjadi ketidak harmonisan di dalam sistem hukum
Indonesia, dengan melandaskan pada pemikiran Lawrence M. Friedman tentang sistem
hukum, terlihat adanya unsur-unsur dari sistem hukum yang tidak bekerja dengan baik,
khususnya terkait dengan substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal
culture).

Penegak hukum, dalam hal ini Penuntut Umum, yang melakukan penuntutan dan
hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara pidana sebagai bagian dari struktur
hukum (legal structure), yang dalam melakukan penelitian berkas perkara, tidak
memperhatikan atau mempertimbangkan aturan hukum yang ada di daerah tersebut (Legal
Substance). Hal ini menunjukkan budaya hukum (Legal Culture) dari penegak hukum
sehingga memicu suatu kondisi tidak berjalannya sistem hukum pidana dengan baik. Fakta
yang demikian dengan mengutip pendapat dari Ahmad Ali, merupakan sesuatu yang
menyedihkan, mengingat unsur-unsur sistem hukum di Indonesia, memang masih belum
berjalan secara harmonis antara satu dengan yang lain. 150

148
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitan Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 576.
149
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT. Yarsif Watampone, 2010),
hlm. 539
150
Ahmad Ali, Menguak Realitas Hukum (Rampai Kolam & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum), cet.
2., (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 11.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1) Penerapan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua sebagai implementasi


Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 telah diberlakukan di Papua. Hal ini
membuat suatu pertanyaan apakah sah tetapi kata yang tepat adalah apakah sejalan
dengan UU No. 41 Tahun 1999, hal ini merupkan implementasi dari Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus itu sendiri. Dalam penerapannya, fakta
membenarkan bahwa adanya perdasus kehutan tersebut telah diterima oleh masyarakat
Papua khususnya hampir sebagian besar masyarakat adat di Papua, namun
penerapannya belum efektif karena bagi para aparat penegak hukum walaupun telah
mengetahui keberlakuan perdasus kehutanan Papua tersebut lebih cenderung untuk
menyelesaikan perkara kehutanan dengan tidak mempertimbangkan ketentuan
peraturan daerah yang diberi kekhususan, sehingga penerapannya belum berjalan
dengan baik sekalipun telah disosialisasikan dan diakui eksistensinya dalam
kekhususan suatu perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2001.

2) Terjadi disharmonisasi antara Peraturan Daerah Khusus Papua dengan Peraturan


Pemerintah Pusat dalam hal pengelolaan hutan adat, yang memberikan izin kepada
masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan dibatasi dan tidak dapat
diperdagangkan dengan kata lain tidak dapat diperjual belikan. Dalam kondisi
masyarakat hukum adat yang diberikan kekhususan dihadapkan pada hukum dualistik
(Perdasus dan hukum formal), diperlukan regulasi yang bisa membatasi dan
memperjelas kedudukan kedua jenis hukum tersebut. Jika hukum adat masih diakui
keberadaannya dan Otsus diberikan sepenuh hati, maka penting bagi negara untuk
memberikan ruang bagi pemberlakuan di atas teritorial kekhususan dalam definisi yang
lebih jelas.

133
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
3) Jika pemerintah secara formal (melalui Perdasus) telah menetapkan masyarakat hukum
adat, maka juga diperlukan legalitas yang mengatur batas-batas wilayah definitif
pengelolaan hutan untuk menguatkan klaim penguasaan sumber daya alam oleh
masyarakat hukum adat dan memberikan ruang bagi penegakan hukum-hukum adat.
Dalam kaitannya dengan wacana untuk menciptakan Otsus di Provinsi Papua, negara
perlu menyerasikan dan mengharmonisasikan antara aturan-aturan pemerintah pusat
dan aturan-aturan pemerintah daerah sehingga tidak terjadi disharmonisasi. Dari hasil
penelitian di daerah Papua terhadap para penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim),
ternyata para penegak hukum tetap berfikir secara normative yaitu berpegang teguh
pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam menghadapi tindak Pidana
kehutanan di Provinsi Papua, ditarik kesimpulan bahwa para penegak hukum tidak
memahami kekhusuan yang diberikan oleh Provinsi Papua dengan menyamaratakan
aturan kehutanan yang berlaku, baik untuk OTDA dan OTSUS, dengan kata lain
lemahnya pengetahuan asas-asas hukum pidana dikalangan pera penegak hukum, yang
tidak mempertimbangkan aturan-aturan yang berlaku serta tidak mempertimbangkan
yurisprudensi dalam perkara sebelumnya.

4.2 Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka dalam menangani


perkara tindak pidana kehutanan, para penegak hukum khususnya Jaksa dan Hakim
memiliki kecenderungan menggunakan UU. No. 41 Tahun 1999 dalam menjerat tindak
pidana kehutanan di Provinsi Papua, untuk itu dapat diajukan saran-saran sebagai berikut :

1. Untuk mewujudkan sinkronisasi baik secara substansi hukum, struktur hukum maupun
budaya hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan, maka saran
penulis adalah perlu koordinasi antara penegak hukum secara terpadu dan
menghilangkan sifat eksklusivisme dari masing-masing lembaga penegak hukum.
Menghilangkan sifat eksklusivisme dapat dilakukan dengan cara melakukan pertemuan
secara berkala untuk membicarakan jalan keluar dalam menangani tindak pidana
Kehutanan khususnya di Provinsi Papua, sehingga tidak terbentur dengan apa yang
diberikan kekhususan bagi Provinsi Papua.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


2. Benteng dari pembuat Perundang-undangan adalah Legislator, bagaimana masyarakat
adat selaku pemilik hak ulayat melalui LSM, kelompok-kelompok lingkungan hidup,
maupun kelompok-kelompok HAM dapat membawa perkara tindak pidana kehutanan
samapai ke Mahkamah Agung untuk memutuskan perkara tersebut dengan ketentuan
Mahkamah Agung memuat pendapat-pendapat hukumnya mengenai kewenangan
masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, sehingga ditetapkan
sebagai suatu yurisprudensi. Hal ini yang dilakukan oleh negara-negara demokrat.

3. Jika terjadi pertentangan antara peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dengan
Undang-Undang Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 maka yang berwenang
menyelesaiakan adalah Mahkamah Angung.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Abidin A.Z., dan Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT. Yarsif Watampone,
2010.
Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta :
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996.
Agung, Nugraha. Menyongsong Perubahan Menuju Revilalisasi Sektor Kehutanan. Jakarta :
Aksara, 2004.
Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP). Panduan Hukum Adat (Dewan Adat Suku Jouw
Warry, Demta, Jayapura. Papua, 2008
Anto, Tabah. "Polri dan Penegakan Hukum di Indonesia". Dalam Kunarto (penyunting),
Merenungi Kritik Terhadap Polri (buku 2), Jakarta : Cipta Manunggal, 2005.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana. Bandung : Bina Cipta, 1986
------. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta :
Kencana, 2010.
Gerner B.A, Black’s Law dictionary. Seventh Edition, Texas : West Group, Dallas,
Hamzah, Andi. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995
------. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Penerbit Yarsif Watampone Indonesia, 2010
Hardja Soemantri, Koesnadi. Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Cet. II Edisi I, Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Haeruman J.S., Herman. Hutan Sebagai Lingkungan. Jakarta : Kantor Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1980.
Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Piece Colter, Ke mana Harus Melangkah,
Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2003.
J. Allen, Michael. Text book on Criminal Law, Fifth Edition, London : Blackstone, 1999.
Kadish, Sanford. Encyclopedia of Crime and Justice. vol. 2, The Free Press, 1983.
Kartodihardjo, Hariadi. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Kritis Lanjut
Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Penerbit, Institute for Development Economics
of Agriculture and Rural Areas (Ideals), Gedung Alumni IPB Lantai 2, Bogor, 2006.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Kartodihardjo, Hariadi. Masalah Struktural dalam Implemenlasi Kebijakan Baru Kehutanan.
Yogyakarta : Willem Pen Liberty, 1996.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukuh dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka,
1989.
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. cet. 3, Bandung : PT. Citra Aditya
Bhakti, 1997.
Lubis, Muctar. Menuju Kelestarian Hutan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988.
M. Friedman, Lawrence. American Law. (New York : W.W. Norton and Company), 1984
Marmosudjono, Sukarton. Menegakkan Hukum Di Negara Pancasila. Ceramah Jaksa Agung RI
di Universitas Bengkulu, 1988.
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa. cet. I, Jakarta :
Erlangga, 1995.
Morris, Norval. “Intruduction”, dalam Criminal Justice in Asia. The Quest for An Integrated
Approach, UNAFEI, 1982.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995.
Muladi dan Nawawi Arief, Barda. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Jakarta : Penerbit P.T.
Alumni, 2005.
Nazir, M., Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indah,1999.
Ohlin, Remington. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Edisi Pertama, Cetakan Kesatu,
Jakarta : Kencana, 2010.
Purbacaraka, Purnadi. Penegakan Hukum dalam Mensukseskan Pembanguan. Bandung :
Alumni, 1977.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1996.
-------. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung : Sinar Baru.
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi MAnusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
(d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007.
------. “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradila Pidana (Suatu
Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan
Karangan, Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
(d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Salim. Dasar-Dasar Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997
Sarong Al Mar, Idris. dalam Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta : Sinar Grafika,
1997.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Setia Tunggal, Hadi. Himpunan Peraturan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cet. 1, Harvarindo, Jakarta,
2011.
Simarmata, Rikardo. Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia. Jakarta :
Harvarindo, 2006.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : CV.
Rajawali, 1986.
-------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2008.
Sukardi. Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua). Cet. I, Yogyakarta
: Universitas Admajaya, 2005.
Supriadi. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia. Cet. 1, Jakarta : Sinar
Grafika, 2010.
Susanto, I.S., Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Dalam masalah-masalah Hukum.
Jakarta : Citra Aditya Bakti.
Wrangham, Rachel. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat. Bandung :
Bina Cipta, 1960-1999

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Undang-Undand Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyususnan
Pengeloaan Hutan serta Pemanfaatan hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Dana Reboisasi
Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Hutan Masyarakat adat.
Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaah Hutan Berkelanjutan
di Provinsi Papua.
Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua

III. JURNAL/MAJALAH ILMIAH DAN PAPER

Lokakarya Pemerintah Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan
Peraturan Pelaksanaannya, (Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua,
(Provinsi Papua, 2011)
Rancangan Paper Academic Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), Jayapura, 2005.
Semiloka dan FGD, tanggal 22-23 Nopember 2005, antara : Polda-Uncen, Ermashita
Jayapura.

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012


Suparman Marzuki, Hukum Modern dan Institusi Sosial. Artikel dalam jurnal hukum No. 7
Vol. 4, Citra Aditya Bakti, 1997
Varia Peradilan. Majalah Hukum Tahun Ke-XX No. 239 Agustus 2005, Jakarta : CV.
Angkasa, 2005.
Yulfita, Raharjo. Proseding Seminar Membangun Masyarakat Irian Jaya, Jakarta : PPT-
LIPI, 1995.

IV. SITUS INTERNET

Hak Masyarakat dalam pengelolaan dan Pemenfaatan Sumber Daya Hutan. www.wg-
tenure.org, diunduh tanggal 12 Desember 2011.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b08432e7aad2fba247b6a9a317a
d2d5/pdf di unduh tanggal 8 Desember 2011.
http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/tong-pu-tanah/2406-perdasus kehutanan-
dan-kph-di-papua--keberpihakan-setengah-hati. di unduh tangga 11 Desember
2011
Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua, http://mrpapua.wordpress.com/Blog Majelis
Rakyat Papua. diunduh 08 Mei 2012.
Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat dalam Otonomi Khusus di Provinsi Papua
http://www.docstoc.com/docs/33395264/Politik Hukum Pengakuan hak
Masyarakat Adat dalam Otonomi-Khusus, diunduh 12 Desember 2011.
Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, http : / / www . legalitas .org /incl-php
/buka.php ? d = art+4&f = penegakan%20hukum%20Oka .htm ), di unduh
tanggal 09 Desember 2011

Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai