T E S I S
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JULI 2012
NPM : 1006755872
Tanda Tangan :
Tanggal : 03 J u l i 2012
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada
Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : J a k a r t a.
Tanggal : 03 Juli 2012
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
segala berkat, rahmat dan penyertaan yang dari pada-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua”.
Dengan demikian, dalam tesis ini akan membahas tentang penegakan hukum
terhadap tindak pidana kehutanan berdasarkan peraturan daerah khusus (Perdasus) nomor
21 tahun 2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Berdasarkan
fakta dalam lingkungan masyarakat adat di provinsi Papua selaku pengguna hak ulayat
memberikan petunjuk bahwa pengeloaan hutan secara umum dilakukan oleh Negara untuk
kemakmuran seluruh warga Negara Indonesia, di samping itu pula secara khusus
pengeloaan hutan secara adat (hutan adat) di kelola juga oleh masyarakat adat khususnya di
Provinsi Papua, demi kepentingan dan kemakmurannya sendiri yang diamanatkan dalam
Otonomi Khusus. Penegakan hukum dalam pengelolaan hutan khususnya hutan adat yang
berbasis berkelanjutan pada prinsipnya sangat memerlukan suatu bentuk aturan hukum adat
untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di suatu wilayah
adat, sehingga dengan demikian Pemerintah Daerah Provinsi Papua menganggap sangat
perlu untuk membentuk suatu peraturan yang secara khusus dapat melindungi dan
mengakomodir semua hak-hak masyarakat adat di Provinsi Papua pengelolaan hutan
adatnya masing-masing, seperti pengelolaan hutan berkelanjutan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan pihak-pihak lain, tesis ini
tidak mungkin terwujud, oleh karena itu pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis
menghanturkan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pimpinan Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang telah memberikan ijin dan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Fakultas Hukum Program
Pascasarjana di Universitas Indonesia;
3. Ketua Progran Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rosa
Agustina, S.H., MH., dan Kepala Sub Program Magister Ilmu Hukum Dr. Nurul
Elmiyah, S.H., MH.;
4. Prof. H. Marjono Reksodiputro, S.H., MA., selaku Ketua Konsentrasi Hukum dan
Sistem Peradilan Pidana, dan Dr. Ignatius Sriyanto, S.H.,M.H, selaku Dosen
Pembimbing Utama yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan tesis ini, serta Ibu Dr. Surastini Fitrasih, S.H.,M.H, selaku penguji yang
dengan sabar telah menguji tesis ini.
6. Seluruh Staf Administrasi pada Program Ilmu Hukum dan Staf Hukum Sekretariat
Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, serta Staf Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, yang telah mendukung kelancaran selama proses belajar
mengajar;
7. Kedua Orang Tua penulis, yaitu Bapak Dominggus Nilla dan Ibu Maria Magdalena
Maniagasi, kemudian kepada (Alm) Bapak Mertua ku dan Ibu Mertua ku Yohana Ruru
Mangera dan kepada Istri Ku yang tercinta Dian Novita Bualangi, SE, beserta kedua
Mutiara ku tersayang Mardo Alesandro Nilla Mahuse, Marsya Agnesia Nilla Mahuse,
dan Calon Mutiara ku yang akan dilahirkan, terima kasih yang tak terhingga atas segala
kasih sayang, perhatian, semangat, dan kepercayaannya, karena berkat Doa dan
dukungan kalian semua, penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi S.2 ini pada
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
8. Saudara dan sahabat ku seperjuangan Jhon Ilef Malamassam, Dede Hendra, Sigid,
Devid, Abdi Reza, dan Hajar, serta semua rekan-rekan sesama Mahasiswa Program
Pascasarjana Universitas Indonesia tahun angkatan 2010 yang tidak sempat penulis
sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang, bahu membahu dalam rangka
menyelesaikan proses perkuliahan ini, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya
selama ini semoga tidak terlupakan dan semoga sukses untuk kalian semua, serta kepada
semua pihak yang telah membantu, baik secara moriil dan materiil kepada penulis dalam
penyelesaian studi ini, kiranya Allah Bapa, Allah Anak dan Perantaraan Roh Kudus
yang empunya hidup ini memberkati kita semua.
Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pihak-
pihak yang telah banyak membantu, yang tidak disebutkan pada penulisan ini karena
keterbatasan penulis.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi
pihak-pihak yang meluangkan waktunya untuk membaca tesis ini dan semoga tesis ini dapat
pula memberikan tambahan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum Kehutanan,
khususnya dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
Ini :
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Jakarta.
Pada tanggal : 03 Juli 2012
Yang Menyatakan
Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya
masyarakat hukum adat Papua selaku pengguna hak ulayat. Sejak berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia
mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat Papua atas sumber daya alam,
termasuk di dalamnya sumber daya hutan. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan dengan
keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Papua yang dilakukan melalui jalinan
kerjasama setara dan adil, dengan tetap perpegang pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan dan
pemerataan. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yaitu jenis penelitian yang didasarkan
pada pemikiran bahwa telaah terhadap permasalahan yang nampak dalam fenomena masyarakat hukum adat
di Provinsi Papua yang menggunakan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua sebagai dasar dalam pengelolaan hutan
berkelanjutan dengan dikeluarkanya Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA,
kemudian untuk mengumpulkan data penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara
terhadap para ahli hukum dan petugas penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, instansi pemerintah
serta Akademisi. Sedangkan Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konsep (conceptual
approach). Pendekatan Undang-undang dilakukan untuk meneliti pasal-pasal yang berkaitan dengan
Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2008, sedangkan pendekatan konsep digunakan untuk
memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan Kehutanan, serta mencari kejelasan mengenai persepsi
(pandangan) masyarakat Papua dan aparat penagak hukum di Papua tentang Peraturan Daerah Khusus
Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, maka di peroleh beberapa kesimpulan bahwa Penerapan Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan di Provinsi Papua sebagai implementasi Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 telah
diberlakukan di Papua. Dalam penerapannya, fakta membenarkan bahwa adanya perdasus kehutan tersebut
telah di terima oleh masyarakat Papua khususnya hampir sebagian besar masyarakat adat di Papua, namun
penerapannya belum efektif secara menyeluruh. Hal ini akan menjadi dilema ketika masyarakat hukum adat
diperhadapkan dalam dua kondisi aturan yang bertentangan atau tidak sejalan, maka sangat diperlukan
regulasi yang bisa membatasi dan memperjelas kedudukan kedua jenis hukum tersebut, dengan kata lain
adanya singkronisasi dan harmonisasi aturan Perdasus kehutanan Papua dan aturan-aturan dari menteri
kehutanan, dimana apabila hukum adat masih diakui keberadaannya, maka penting bagi negara untuk
memberikan ruang bagi pemberlakuan hukum-hukum adat sepanjang dapat menjamin kemakmuran bagi
warga Negara dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.
Kata Kunci : Eksistensi, Implementasi, Regulasi, Sinkronisasi, Harmonisasi, Peraturan Daerah Khusus
Nomor 21 Tahun 2008 tantang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
Forest management in Papua province has so far not improve the welfare of the Papuan people, especially the
indigenous people of Papua as users of customary rights, and not strengthen the fiscal capacity of government
in the province of Papua. Forests in Papua province is a creation and gift of Almighty God, must be used wisely
for the welfare of mankind, both current generation and future. Since the enactment of the Law of the Republic
of Indonesia Number 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province, the state and people of Indonesia
recognize, honor and respect the rights of Papuan indigenous people over natural resources, including forest
resources. Forest management in Papua province is done by partisanship, protection and empowerment of
indigenous people of Papua, in order to achieve prosperity and independence in the Republic of Indonesia.
Forest management in Papua province through the fabric of equal and fair cooperation, while perpegang on the
principles of environmental sustainability, fairness, equity and human rights.The method used is the Judicial
Normative, the type of research that is based on the notion that the examination of the problems evident in the
phenomenon of indigenous people in Papua province that uses the Papua Special Local Regulation
(Perdasus) No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua Province as the basis of sustainable
forest management by the Governor Regulation No. 13 of 2010 on IUPHHK-MHA, and then to collect data on
field research carried out using interview techniques to legal experts and law enforcement officers in this case
the police, prosecutors, judges, government agencies and academics. While the research approach used in
this study is to use the approach of legislation (Statute approach) as well as the approach to the concept
(conceptual approach). The law approach taken to examine the articles associated with the Papua Special
Local Regulation No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua province, while the concept of
the approach used to understand the concepts related to forestry, as well as seek clarity on the perception the
law of Papua and Papua enforcement officials on the Papua Special Local Regulation No. 21 of 2008 on
Sustainable Forest Management in Papua Province.Based on the results of research that has been done, then
obtained a conclusion that the implementation of Sustainable Forest Management in Papua province as the
implementation of the Special Local Regulation No. 21 of 2008 has been enacted in Papua. In practice, a fact
confirmed that the Special Local Regulation No. 21 of 2008 has been accepted by the people of Papua in
particular most of the indigenous people in Papua, but its application has not been effective as a whole. This
will be a dilemma when confronted indigenous peoples in the two conditions of a rule that contradicts or is
inconsistent, it is necessary regulations that could restrict and clarify the legal status of both types, in other
words, the synchronization and harmonization of rules Special Local Regulation No. 21 of 2008 and rules
minister of forestry, which if customary law is recognized, it is important for countries to make room for the
application of customary laws to ensure prosperity for all citizens in sustainable forest management.
Keywords : Existence, implementation, regulation, synchronizing, Harmonization, Special Local Regulation No.
21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua province.
Tabel 3.1 Perdasus Papua Mengatur Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat dalam
Pengelolaan Hutan …………………………………………………………………............................... 96
Tabel 3.2 Prosedur Perizinan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum
Adat (IUPHHK-MHA) …………………………………………………………….................................. 99
Tabel 3.3 Rangkuman Jenis Izin dan Bentuk Usaha pada Hutan Produksi ………………….......... 100
Gambar 3.1 Peta Suku Wilayah Adat Provinsi Papua dan Papua Barat ……………………............. 95
Sumber daya hutan merupakan salah satu ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang
memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini.
Sebab di dalam hutan telah diciptakan segala makhluk hidup baik besar, kecil, maupun
yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di samping itu, di dalamnya juga hidup sejumlah
tumbuhan yang menjadi hamparan, yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal ini menjadi
sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik, yang dipergunakan untuk membangun
bangsa dan negara. Oleh karena itu, aset yang terdapat di dalam hutan sangat dibutuhkan
untuk menambah pendapatan negara dan pendapatan daerah, sehingga dengan adanya
pengelolaan hutan tersebut dapat pula menopang pendapatan masyarakat yang bermukim di
sekitar hutan.
1
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010).
2
Dalam landasan filosofis dijelaskan bahwa pembangunan kehutanan raerupakan suatu bagian dari
pembangunan nasional maka harus mampu pula menunjukkan rangkaian usaha yang mancarminkan pengamalan Pancastla,
terutama sila kelima Pancasila. Dengan berpegang teguh pada Pancasila, maka bangsa Indonesia dalam membangun
kehutanan akan tetap terjaga dan selalu berada dalam rangkuman kiprah pembangunan nasional.
3
Landasan konstitusional pembangunan kehutanan diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa hutan sebagai salah satu kekayaan alam dengan
keanekaragaman fungsinya, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
samping ketiga landasan tersebut menjadi dasar pembangunan kehutanan, maka landasan yang
bersifat teknis operasional juga menjadi landasan dalam pelaksanaan pembangunan
kehutanan. 5
Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar
untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi yang sangat besar
tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang
memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia, setelah Saire dan Brasil. Hutan
di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropis dataran rendah dan
dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau
(mangrove), selain itu negara Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan
terluas di dunia. Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta hektar,
Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar. 6
Beranjak dari hal di atas, untuk mengembangkan sumber daya hutan sebagai
pemasok dana pembangunan, diperlukan suatu data base sumber daya hutan yang dimiliki
oleh Indonesia. Namun demikian, untuk mengetahui secara pasti berapa luas hutan di
Indonesia, sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh
beberapa alasan: Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang
4
Landasan operasional dalam pembangunan kehutanan antara lain adalah : Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Ho.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan pembangunan hutan dan kehutanan.
5
Salim, Dasar-Dasar Kehutanan, (Jakarta Sinar Grafika) 1997, hal., 1.
6
Ibid.
7
Ibid.
Kini kawasan hutan Indonesia tercatat seluas 104.876.635 atau sekitar 54,6% dari
keseluruhan total luas daratan. Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan 18.154.507 hektar (339)
unit. Kawasan hutan tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, kawasan suaka alam
yang terdiri atas cagar alam 2.283.142 hektar (168) unit dan suaka margasatwa 3.612.323
hektar (42) unit. Sementara kawasan hutan pelestarian alam meliputi Taman Wisata
299.117 hektar (75) unit, Taman Bum 248.932 hektar (13) unit, Taman Nasional
11.458.993 hektar (30) unit dan Taman Hutan Raya 252.089 hektar (11) unit. Selain
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga
terdiri atas hutan lindung seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472 Daerah Aliran
Sungai (DAS). 62 DAS di antaranya termasuk DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan
176 DAS prioritas III. Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi
Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 28.675.811 hektar
dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.717.786 hektar. 9
8
Ibid.,hal. 2
9
Ibid.., hal. 5
Fakta bahwa di Papua terdapat sekitar 250 suku atau marga yang mempunyai
bahasa berbeda dan dalam satu komunitas yang relatif kccil, di sisi lain menguasai areal
hutan masyarakat hukum adat yang cukup besar. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
masyarakat hukum adat sangat tergantung pada hutan, namun dalam pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan selama ini masyarakat hukum adat belum banyak dilibatkan.
10
Pemerintah Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Peraturan Pelaksanaannya, (Dinas Kehutanan dan
Konservasi Provinsi Papua, (Provinsi Papua, 2011)
11
Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua”, http://mrpapua.wordpress.com/Blog Majelis Rakyat
Papua, diunduh 08 Mei 2012.
12
Lihat Penjelasan Atas Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Op.cit., hal. 2
13
Hadi Setia Tunggal, Himpunan Peraturan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintah Aceh
dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cet. 1, (Jakarta : Harvarindo, 2011).
14
Ibid., hal. 28
15
Ibid.
Bentuk konkrit hak masyarakat Papua dituangkan dalam dua peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah dan peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi
Papua.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2005 luas hutan Provinsi Papua
40.803.131,95 Ha, banyak pihak diantaranya lembaga internasional dan pemerintah daerah
Papua melihat potensi hutan Papua sebagai satu lokasi penting untuk pengembangan
proyek penyerapan dan penyimpanan karbon dalam skema REDD (Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation). Namun pertanyaan pentingnya adalah
bagaimana mengamankan hak-hak masyarakat adat/masyarakat hukum adat papua
berdasarkan kondisi kebijakan yang ada, baik kebijakan nasional maupun kebijakan lokal
dalam kerangka Otonomi Khusus Papua.
Perdasus Papua tidak seperti UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang
berikan pengertian hutan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan biologis dan pendekatan
politis. Perdasus kehutanan Papua hanya memakai pengertian hutan secara biologis yaitu
hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati
yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
16
Ibid., hal. 43
17
“Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat dalam Otonomi Khusus di papua”
http://www.docstoc.com/docs/33395264/Politik Hukum Pengakuan hak Masyarakat Adat dalam Otonomi-Khusus,
diunduh 12 Desember 2011.
Carut marut dan konflik sumberdaya lahan hutan di Indonesia adalah ranah
sosiologi politik negara yang menzalimi properti lahan yang seharusnya menjadi domain
rakyat. Ketika negara menyatakan bahwa semua sumberdaya alam dikuasai negara, maka
rakyat pasti melakukan perlawanan untuk memperoleh hybrid tenure baru dalam kehidupan
mereka… dan itu artinya “konflik” akan segera berlangsung dan berkepanjangan. Semua
kegiatan yang berlabel HKM (Hutan Kemasyarakatan), Hutan adat, Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Desa, kemitraan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di
Jawa, Kemitraan pada Hutan Tanaman Industri MHBM (Manajemen Hutan Berbasis
Masyarakat), semuanya mencerminkan hybrid tenure yang sesungguhnya dapat dibaca
sebagai langkah peredam konflik, dan dapat juga dibaca sebagai tindakan rejim politik
kapitalis yang anti pada etnositas, karena memang ciri kapitalisme adalah “anti etnositas”
tersebut. Tidak banyak orang mengerti teori-teori sosial yang dalam, tetapi mereka sudah
berani bicara sosial, sehingga seringkali bicara sosial kemasyarakatan sektor sumberdaya
alam, termasuk tenure bagai orang meraba-raba tanpa tau apa yang diraba, maksud hati
ingin membela kepentingan masyarakat, tetapi justru diperalat oleh (negara) kapitalis yang
anti etnik tersebut untuk lebih menyesengsarakan rakyat. 19
18
http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/tong-pu-tanah/2406-perdasus kehutanan-dan-kph-di-
papua--keberpihakan-setengah-hati di unduh tangga 11 Desember 2011.
19
Hak Masyarakat dalam pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan, www.wg-tenure.org,
diunduh tanggal 12 Desember 2011
20
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi MAnusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 84
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Jakarta : Penerbit P.T. Alumni,
2005), hal 197.
22
Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, http : / / www . legalitas .org /incl-php /buka.php ? d
= art+4&f = penegakan%20hukum%20Oka .htm ), di unduh tanggal 09 Desember 2011
23
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia, (Jakarta, Oktober
2006), hal. 193-194
Penegakan hukum tidak hanya didasarkan pada pendekatan yuridis saja tetapi
juga dilengkapi dengan pendekatan sosio politis dan sosio kultur sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muladi. 24 Sedangkan Soerjono Soekanto menyatakan secara
konsepsional, “inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, pemeliharaan, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut
dikatakannya keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor ini mempunyai hubungan yang saling berkaitan
dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Faktor-faktor tersebut adalah : 25
1. Hukum (Undang-undang)
2. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.
5. Dan factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
“To begin with, the lega system has the structure of a legal system consist of
elements of the kind : the number and size of courts; their jurisdiction...structure
24
Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, Undip, Semarang, 1995, hal. 21.
25
Soerjono Sukanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
(Jakarta : 1983), hlm. 5.
Struktur hukum (legal stucture) terdiri jumlah (jenjang) pengadilan dan ukuran
(yuridiksi) dari pengadilan, bagaimana lembaga pembentuk undang-undang dilaksanakan,
prosedur apa yang harus diikuti dan dijalankan oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi
struktur hukum terdiri dari lembaga yang dimaksudkan untuk menjalankan perangkat
hukum yang ada. Di indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum
Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 27
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual
rules,norms,and behavioural patterns of people inside the system...the stress here
is on living law, not just rules in law books”. 28
Yang dimaksudkan substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum (legal substance) menyangkut
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan
menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Intinya ialah bukan saja aturan tertulis
dalam bentuk peraturan perundang-undangan tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat.
Sedangkan mengenai budaya hukum (legal culture), Friedman berpendapat :
“the third component of a legal system, of legal culture. By this we mean people’s
attitudes towards law and legal system their belief...in other words,is the
eliminate of social though and social force wich determines how law is used
avanded and afused”. 29
Budaya hukum (legal culture) yang merupakan sikap manusia termasuk budaya
hukum aparat penegak hukumnya terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun
penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapka dan sebaik
apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-
26
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York : W.W. Norton and Company,1984) hal. 5-6
27
Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal.8.
28
Lawrence M. Friedman, American Law, Ibid
29
Ibid.
Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika salah satu saja
unsur tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan penegakan hukum di masyarakat
menjadi lemah. Penegakan hukum yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni
sistem peradilan pidana (SPP) yang terdiri dari 4 komponen (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Muladi mengatakan bahwa dalam Sistem
Peradilan Pidana juga diperlukan adanya keterpaduan dan sinkronisasi antar sub sistem.
Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural (structural syncronization),
sinkronisasi substansial (substansial syncronization) dan sinkronisasi kultural (cultural
syncronization). 30
30
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., h.1-2
31
Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum dalam Mensukseskan Pembanguan, (Bandung: Alumni,
1977), hal.80.
32
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia….. Op. cit., hal. 78-79
Ada pula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata
tanggung jawab aparat penegak hukum. Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh
masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat
bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi masyarakat berperan dalam penegakan
hukum. Masyarakat yang tidak membuang sampah di sungai sudah ikut menegakkan hukum,
karena membuang sampah di sungai adalah pelanggaran.33
Selanjutnya, Andi Hamzah rnenyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalam Bahasa
Indonesia, selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa
penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini
diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu polisi,
jaksa dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup
yang lebih luas. 35
Pendapat lain dikemukakan Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa para penegak
hukum ada kemungkinan dihadapkan pada halangan-halangan, baik yang berasal dari diri sendiri
maupun lingkungan. Halangan-halangan yang dimaksud adalah :
1. Keterbatasan kemampuan untuk menenpatkan diri dalam peranan pihak lain dengan
siapa dia berintefaksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga sulit sekali untuk membuat
suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan materil.
33
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, Cet. II Edisi I, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press), Hal. 375-376.
34
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 181.
35
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995) hal. 61.
2. Masalah yang kedua adalah berhubungan soal lingkungan dari penegakan hukum
tersebut. Masalah lingkungan ini dapat dikaitkan dengan manusianya secara individu,
serta dengan penegakan hukum sebagai lembaga. 37 Dalam lingkup pekerjaan hukum
dalam masyarakat, Robert. B. Seidmen, 38 mengajukan tiga komponen inti yang
mendukung bekerjanya hukum dalam masyarakat (termasuk aspek penegakannya).
Ketiga unsur dimaksud adalah : (a) lembaga pembuat peraturan; (b) lembaga penerap
peraturan; (c) pemegang peran itu sendiri.
Ketiga unsur pendukung penegakan hukum yang diajukan Robert. B. Seidman itu
didasarkan pada empat dalil sebagai berikut :
36
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1986,
hal. 24.
37
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Sinar Baru, (tanpa
tahun), hal. 22.
38
Ibid, hal. 5.
Khusus mengenai substansi suatu undang-undang hal yang perlu dicermati adalah
persoalan mengenai "cacat" yang terdapat dalam undang-undang antara lain seperti
kepentingan-kepentingan yang ada di balik undang-undang, siapa atau kelompok
masyarakat adat mana yang akan memperoleh keuntungan lebih besar melalui peraturan
itu, apakah undang-undang tersebut cukup adil dan manusiawi.
Dimensi pelanggar hukum yang perlu diperhatikan adalah hal yang menyangkut
pandangan atau persepsi mereka terhadap undang-undang dan peraturan daerah,
korban/masyarakat, dan aparat penegak hukum, serta pandangan pelanggar hukum
terhadap bekerjanya hukum. Sedangkan faktor korban berhubungan dengan persepsi
mereka tentang apa yang dianggap sebagai kejahatan dan penegak hukum, kepentingan-
kepentingan yang ada, kesadaran dan sikap korban terhadap hak-hak yang diatur dalam
ketentuan hukum.
Faktor aparat penegak hukum merupakan faktor yang menempati posisi strategis,
bahkan menempati posisi kunci dalam menegakkan hukum. Untuk itu hal yang perlu diberi
perhatian khusus adalah yang berhubungan dengan "kepentingan-kepentingan" dan hal-hal
yang melatarbelakangi tindakan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai organisasi dalam
berinteraksi dengan pelanggar, korban dan masyarakat pada umumnya41. Dalam berbagai kajian
39
Ibid, hal. 27.
40
I.S. Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Dalam masalah-masalah Hukum Nomor 9,
tahun 1992, hal. 17.
41
Ibid, hal. 17.
Penegakan hukum yang baik akan tercermin pada cara kerja komponen dalam
Sistem Peradilan Pidana (SPP), yakni Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai
penuntut umum, Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang berwenang mengadili, dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai lembaga perubahan perilaku. Komponen sistem peradilan pidana
tersebut secara empiris mempunyai tugas yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama
dalam menegakkan hukum 43. Keberhasilan kerja dalam mencapai tujuan penegakan hukum
harus dilihat secara integratif. Artinya keberhasilan komponen yang satu merupakan
keberhasilan komponen yang lain atau kegagalan komponen yang satu merupakan
kegagalan komponen lainnya. Oleh karena itu, kebersamaan dan kerjasama yang baik antar
komponen dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana sangat diperlukan dalam
mencapai tujuan penegakan hukum pidana. Dalam lingkup penyelenggaraan peradilan
pidana, Romli Atmasasmita menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan sistem peradilan
pidana seharusnya lebih diutamakan pandangan yang mengangkat kebersamaan dan
semangat bekerjasama yang tulus dan ikhlas serta positif diantara aparatur penegak hukum
dan mengemban tugas menegakkan keadilan hukum (legal justice). 44
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana harus sesuai dengan cita-cita
penegakan hukum, serta mempertimbangkan dinamika dan perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu penegakan hukum yang hanya melalui pendekatan yuridis semata-mata
sudah tidak memadai lagi, sehingga penegakan hukum perlu dilengkapi dengan pendekatan
sosio politis dan sosio kultural. 45
Mengenai Sisten peradilan pidana Mardjono Reksodiputro memberikan
pengertian sisten peradilan pidana sebagai :
42
Lihat dalam Anto Tabah, "Polri dan Penegakan Hukum di Indonesia", Dalam Kunarto (penyunting),
Merenungi Kritik Terhadap Polri (buku 2), Jakarta, Cipta Manunggal, 2005, hal. 83.; Bandingkan pula dengan
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1986.
43
Tujuan penegakan hukum melalui penyelenggaraan peradilan pidana adalah "the prevention of crime
and treatment of offenders (pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum)".
44
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung, Bina Cipta, 1986, hal. 26.
45
Sukarton Marmosudjono, Menegakkan Hukum Di Negara Pancasila, Ceramah Jaksa Agung RI di
Universitas Bengkulu, 1988, hal. 26.
Sementara itu, menurut Barda Nawawi sistem peradilan pidana pada hakekatnya
identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem "penegakan hukum" pada dasarnya
merupakan "sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan. hukum''. Kekuasaan/kewenangan
menegakkan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah "kekuasaan kehakinan".
Oleh karena itu, sisten peradilan pidana atau sistem penegakan hukun pidana pada hakekatnya juga
identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana”.47 Sistem peradilan
pidana yang pada hakekatnya merupakan “sistem kekuasaan penegakkan hukum pidana” atau
“
sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”, diwujudkan atau diimplementasikan dalam
empat subsistem, yaitu :
Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana
dipandang sebagai masalah sosial. Ada empat pertimbangan yang melandasi pemikiran
Hulsman yaitu :
Selama ini menurut Hulsman telah terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan
kejahatan atau penjahat, bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat
46
Mardjono Reksodiputro, Op.,cit, hal. 93
47
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 39-40.
48
Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 40.
49
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, op.
cit., hal. 98
50
Ibid
51
Remington dan Ohlin, dalam Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 14. Lihat juga Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 2.
52
Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, Fifth Edition, London: Blackstone, 1999, hal. 2.
53
Ibid
54
Norval Morris, “Intruduction”, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated Approach,
UNAFEI, 1982, hal. 5 sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam
Sistem Peradila Pidana (Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan, Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia, 2007, hal 140.
55
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UniversitasDiponegoro,
1995, hal. 4.
56
Freda Adler, Gerhard O.W. Mueller dan Willian S. Laufer, Criminology, New York : McGraw Hill,
1991, hal 343.
57
Mardjono Reksodiputro, “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana
(Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua,
Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
2007, hal 140.
3. Pendekatan sosial, sistem yang digunakan adalah sistem sosial yang memandang
keempat aparatur penegak hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
58
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, op. cit.,
hal. 16. Lihat juga Sanford Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, vol. 2, The Free Press, 1983, hal. 450. dan
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta: Kencana,
2010, hal. 5.
59
Ibid., hlm. 125
1. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya
disebut IUPHHK-MHA adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan
produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, pengolahan,
penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan kayu yang diberikan
kepada masyarakat hukum adat pemilik hak ulayat pada areal hutan milik adatnya.
2. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu
atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang
meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
3. Faktur Angkutan Kayu Olahan Rakyat selanjutnya disebut FAKO Rakyat adalah
dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FAKO Rakyat dipergunakan dalam
pengangkutan hasil hutan berupa kayu olahan dari tempat penampungan kayu olahan
dari tempat penampungan kayu olahan didalam areal IUPHHK-MHA.
4. Penerbit FAKO Rakyat adalah petugas dari Dinas Kabupaten/Kota setempat yang
berkualifikasi Pengawas Tenaga Teknis (WASGANIS) yang diangkat dan diberi
wewenang untuk menerbitkan FAKO Rakyat.
60
Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 17. Lihat juga pendapat Romli dalam Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 7.
61
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), Hal. 133
62
Ibid.
1. Jenis Penelitian
2. Pendekatan Masalah
1) Data Primer :
2) Data Sekunder :
5. Analisa Data
6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua adalah
merupakan salah satu kabupaten dari 5 (lima) Kabupaten di Provinsi Papua, sebagai
Kabupaten percontohan untuk di sosialisasikannya Peraturan Daerah Khusus
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
Oleh karena itu, teknik penentuan sampel lokasi termasuk multi stage sampling
area. Artinya dalam meneliti persepsi (pandangan) masyarakat asli Papua dan
persepsi (pandangan) aparat penegak hukum di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua
terhadap keberadaan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008, secara
khusus perkara Tindak Pidana Kehutanan di Papua, dianggap representative untuk
mewakili ke 4 (empat) Kabupaten lain yang termasuk dalam program pensosialisasi
Perdasus tersebut dan Kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Papua.
63
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indah, 1999), hal. 63.
Secara sistematis penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab, yang mana
pada tiap bab berisi hal-hal yang didapat dijelaskan sebagai berikut :
BAB 1 : Pendahuluan.
Bab ini akan menguraikan tinjauan umum mengenai hutan dan hasil hutan,
Instrumen Perizinan Kehutanan, Sumber Hukum Kehutanan di Indonesia,
serta uraian secara umum tentang hutan dan hasil hutan, jenis-jenis tindak
pidana dibidang kehutanan dan instrumen Undang-Undang Kehutanan.
Dalam bab 2 ini akan diuraikan pemahaman umum tentang hal-hal yang mendasar
sehubungan dengan tindak pidana kehutanan yang terdiri dari tinjauan umum hutan dan hasil
hutan, jenis-jenis tindak pidana kehutanan serta sumber hukum tindak pidana kehutanan di
Indonesia. Hal ini menurut peneliti penting agar diperoleh batasan-batasan terhadap tindak
pidana kehutanan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 1999 serta.
28
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
"Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya
melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir maupun erosi dan
sebagainya, serta ekosistem penyangga dan pendukung kehidupan bagi
banyak makhluk," 66
"Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga
suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan
lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan / pepohonan
baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup
rapat (horizontal dan vertikal). 68
Menurut Pasal 1 huruf b UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
didefinisikan sebagai :
66
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1980), Hal. 6.
67
Muctar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. 196.
68
Sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I, (Yogyakarta :
Universitas Admajaya, 2005), Hal. 12.
69
Idris Sarong Al Mar, dalam Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997),
hal. 6.
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
73
Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup (Jakarta : 1996), hlm. 13
Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam
pembangiman bangsa dan negara, keterlibatan negara dalam penataan dan
pembinaan serta pengurusannya sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh hutan
merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
74
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya,
serta ckonomi.
75
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara
sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam
pemberian wcwenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktik monopoli,
monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
76
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara
sinergi antara masyarakat setcmpat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan
usaha kecil, menengah, dan koperasi.
77
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan
penyelenggaraan kehutanan mengikut sertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
78
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan
kehutanan diJakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, scktor lain, dan masyarakat
setempat.
Jenis hutan ini sangat penting berkenaan dengan hasil kayunya. Ini
meliputi sekitar 65% dari seluruh hutan alam Indonesia. Di Sulawesi,
Kalimantan dan Sumatra hutan didominasi oleh suku Dipterocarpaceae, jenis
kayu terpenting di Indonesia. Di Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya yang
bersifat lebih kering, jenis-jenis penting adalah Pomtia spp., Palaqium spp.,
Instia palembanica dan Octomeles.
79
Rachel Wrangham, Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat, 1960-1999,
dalam, Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Piece Colter, Ke mana Harus Melangkah?,
Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia,(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003),
him. 33.
80
Fungsi konservasi yaitu yang berkaitan dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
81
Fungsi lindung berkaitan dengan fungsi hutan sebagai peiiindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah
82
Fungsi produk berkaitan dengan fungsi pokok sebagai memproduksi hasil hutan.
c. Savana atau Hutan Bambu atau Hutan Luruh dan atau Hutan Musim
Pegunungan.
Hutan ini tidak luas wilayahnya. Padang rumput savana alami terdapat
di Irian Jaya, berasosiasi dengan Eucaplyphis spp, di Maluku berasosiasi dengan
Melaulea dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan Eucalyptus alba. Hutan
Luruh terdapat pada ketinggian sekitar 100 meter, memiliki genera yang tidak
ada di hutan seperti Acacia, Albizzia, dan Eucalyptus hutan di Nusa Tenggara.
Hutan jati di Jawa dibangun hamper 100 tahun yang lalu. Hutan musim
pegunungan terdapat pada ketinggian di atas100 meter.
Luasnya sekitar 5,6 juta ha, terdapat di pesisir Timur Sumatra, pesisir
Kalimantan dan di beberapa wilayah di Irian Jaya. Generanya sama dengan
hutan hujan bukan rawa. Di Irian Jaya rumpun pada hutan jenis ini didominasi
oleh sagu.
Dalam rangka pengelolaan hutan yang selama ini dicanangkan oleh peme-
rintah secara konseptual telah mendekati suatu fakta bahwa, pengelolaan hutan telah
melalui mekanisme yang benar. Namun demikian, pada satu sisi pemerintah
seringkali mengabaikan pendekatan hutan secara fisik dan nonfisik apabila akan
melakukan pengelolaan hutan. Sebab tanpa membedakan dan memisahkan kedua
pendekatan secara filosofi tersebut, inilah biang keladi kegagalan dalam melakukan
perencanaan dan pengelolaan hutan selama ini. Menurut Hariadi Kartodihardjo83
pemisahan antara hutan sebagai bentuk fisik yang dapat dimliki secara ekslusif dan
hutan yang memiliki fungsi tertentu dan tidak dapat dimiliki secara eksklusif. Hutan
secara fisik dapat ditentukan batas-batasnya secara eksklusif yang kemudian dapat
dibagi-bagi luasnyadan dapat dialihkan hak pengusahaannya kepada pihak lain.
Pihak yang menerima hak dapat memanfaatkan hutan seperti kayu, rotan, getah, dan
Iain-lain. Sebaliknya, manfaat hutan tidak langsung seperti pengendalian erosi,
penjagaan kesuburan tanah, penyerap karbon, dan Iain-lain akan terus berlangsung
tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan pengelolaan hutan. Manfaat tidak langsung
dari hutan tersebut senantiasa keluar dari batas-batas fisik hutan, dan manfaat inilah
yang juga diinginkan keberlanjutannya oleh masyarakat luas, dalam hal ini yaitu
pihak-pihak yang tidak mendapat hak pengelolaan ataupun izin pemanfaatan hasil
hutan.
83
Hariadi Kartodihardjo, Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Kritis Lanjut
Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan, Penerbit, Institute for Development Economics of Agriculture and
Rural Areas (Ideals), Gedung Alumni IPB Lantai 2, Bogor, 2006, hlm. 8.
84
Ibid.
85
Agung Nugraha, Menyongsong Perubahan Menuju Revilalisasi Sektor Kehutanan, (Jakarta
: Aksara, 2004), hlm. 105-106.
Bertitik tolak dari pendapat di atas, salah satu cara untuk menghindari
jangan sampai timbul konflik kepentingan terhadap kawasan hutan tersebut, perlu
dilakukan upaya meredamnya. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan upaya
dengan memasukan pengelolaan kawasan hutan pada UU Nomor 41 Tahun 1999,
dengan mengaturnya dalam Pasal 21 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi
: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d)
perlindungan hutan dan konservasi alam.
Hutan merupakan sumber daya alam dan memihki potensi yang dapat
dikembangkan untuk keperluan masyarakat, baik secara individu maupun secara
berkelompok. Selain itu, hutan juga mempunyai nilai sangat berharga bagi suatu
daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Karena penyebaran
wilayah hutan sangat luas, dan kadangkala melintasi batas wilayah antara
kabupaten dan provinsi, untuk mencegah terjadinya ketidakjelasan kewenangan
antara daerah tersebut perlu diatur secara konkret. Dalam Pasal 17 UU Nomor 41
Tahun 1999 dinyatakan bahwa, pembentukan wilayah pengelolaan hutan
dilaksanakan untuk tingkat : (a) provinsi 86; (b) kabupaten/kota; 87 dan unit
pengelolaan ayat (l) 88.
86
Pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi yang dapat
dikelola secara lestari.
87
Pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah
kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
88
Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan
perantukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesaman Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
(KPHK), Kesaman Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (KPDAS).
89
Optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi secara lestari.
90
Intensif pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi dan kondisi
masing-masing kawasan.
91
Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang
optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.
92
Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaanhutan; (b)
pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d) rehabilitasi dan reklamasi hutan; serta (c) perlindungan hutan
dan konservasi alam. Pcngaturan mengenai pengguaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta
perlindungan hutan dan konservasi alam, diaur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Hutan yang merupakan hamparan yang luas, berbukit, landai, dan segala
masalah yang terdapat di dalamnya memerlukan suatu penanganan yang khusus
agar lebih fokus, sehingga memudahkan untuk menanganinya apabila terjadi
masalah-masalah yang berkaitan dengan hutan tersebut. Keberadaan lembaga ini
merupakan perpanjangan tangan pemerintah di bidang kehutanan, yang diharapkan
dapat mengurus segala masalah yang berkaitan dengan kehutanan, lembaga tersebut
yang lazim disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dalam Pasal 5 PP Nomor 6 Tahun
2007 dinyatakan bahwa, Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi : (a) Kesatuan Pengelolaan Hutan konservasi
(KPHK); (b) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL); dan (c) Kesatuan
Penegelolaan Hutan Produksi (KPHP). Oleh karena itu, tugas Kesatuan Pengelolaan
Hutan disesuaikan dengan fungsi hutan yang ada, hal ini sesuai ketentuan dalam
Pasal 6 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Kesatuan Pengelolaan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok
hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan
ayat (1). Dalam hal satu kesatuan pengelolaan hutan dapat terdiri lebih dari satu
fungsi pokok hutan, dan penetapan kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan fungsi yang luasnya dominan 94 ayat (2).
93
Termasuk dalam kewenangan publik antara lain, adalah: (a) penunjukan dan penetapan
kawasan hutan; (b) pengukuhan kawasan hutan; (c) pinjam pakai kawasan hutan; (dl tukar-menukar
kawasan hutan; (e) perubahan status dan fungsi kawasan hutan; (f) proses dan pembuatan berita acara
tukar-menukar, pinjam pakai kawasan hutan; (g) pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga
atas pengelolaan hutan yang ada di wilayah kerjanya; (h) kegiatan yang berkaitan dengan Penyidik
Pcgawai Negeri Sipil Kehutanan.
94
Fungsi yang luasnya dominan adalah apabila dalam satu wilayah KPH terdiri lebih dari satu
fungsi hutan, misalnya terdiri atas hutan yang berfungsi produksi dan hutan yang berfungsi lindung, dan
jika areal dari salah satu fungsi hutan, misalnya fungsi produksi, lebih luas atau mendominasi areal yang
berfungsi lindung, maka KPH tersbeut dinamakan KPH produksi. Penentuan KPH berdasarkan funsi yang
luasnya iominan adalah untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaannya.
95
Kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati yang menyebabkan
hutan tersebut atau tidak dapat berperan dengan fungsinya.
96
Mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat
izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perdagangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lain.
97
Menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin
dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, pengembalaan, perkemahan. atau penggunaan
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
98
Menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa membangun tempat
permukiman, gedung, dan bangunan lainnya.
99
Merambah hutan adalah, melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari
pejabat yang berwenang.
100
Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas
diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan
satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang.
101
Penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan,
perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan
tanda-tanda adanya bahan galian.
102
Eksplorasi adalah segala penyelidikan gcologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti
dan lebih saksama adanya bahan galian dan sifat letaknya.
103
Eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan
memanfaatkannya.
104
Dilengkapi bersama-sama adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau
pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang
sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama
dengan keadaan fisik, baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak
mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
105
Alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck,
trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.
106
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti
parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah
setempat.
Salah satu kekayaan alam yang terkandung dalam sumber daya hutan
adalah hasil berupa rotan dan hasil pemanfaatan hutan ini yang dapat
diperdagangkan ke luar negeri. Menurut Hariadi Kartodihardjo yang mengutip
pendapat Berge bahwa, karakteristik sumber daya yang dapat diperdagangkan atau
diekspor baik berupa hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif
dari sumber daya alam, serta jasa lingkungan adalah : (a) secara umum jenis sumber
daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifat substractable,yaitu apabila
dimanfaatkan pihak tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (Private atau common
pool goods); (b) dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk
memanfaatkan jenis-jenis sumber daya dalam pengertian tradisional (ikan, kayu,
bahan tambang, dan Iain-lain) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini
bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasai sumber
daya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak untuk memanfaatkan jasa
ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap
ekosistem tersebut; (c) secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari
sumber daya tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (private atau common pool
goods).
107
Op. cit., hlm. 12-13
108
Termasuk dalam potensi jasa lingkungan pada hutan lindung adalah dapat berupa : (a) pengatur tata
air; (b) penyedia keindahan alam; (c) penyedia sumber keanekaragaman hayati; atau (d) penyerap dan
penyimpan karbon.
109
"Unsur-unsur lingkungan" adalah unsur hayati seperti dinamika populasi flora-flora,
phytogeografi dan unsur nonhayati seperti sifat fisik dan kimia tanah, bebatuan, hydrografi, suhu dan
kelembaban.
110
Kompensasi dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan
air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air. Dana kompensasi yang
berasal dari pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
111
Termasuk yang diatur dalam peraturan menteri, antara lain, adalah kriteria, pedoman, tata
cara pemanfaatan jasa lingkungan dan pengenaan serta pemungutan dan kompensasi.
Oleh karena itu, perlu solusi agar hutan produksi tetap terjaga luasnya
sehingga ke depan dapat diandalkan untuk menghasilkan devisa negara dan
pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Hariadi Kartodihardjo
mengatakan bahwa, secara teknis, kerusakan hutan alam produksi disebabkan
oleh penebangan kayu melebihi pertumbuhan hutan, yang pada gilirannya
membawa dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan. Namun keputusan
teknis tersebut sangat tergantung pada aspek-aspek finansial, sosial, maupun
institusional. Masalah-masalah institusional dapat mempengaruhi aspek
finansial dalam hal ini pengaruh langsung terhadap penambahan biaya produksi.
Untuk menghindari biaya produksi per m3 yang tinggi, salah saru cara yang
ditempuh adalah menambah produksi kayu bulat. Jika kondisi demikian terjadi,
Dari tahun 1998 sampai April 2004, jumlah hak penguasaan hutan
(HPH) yang tidak beroperasi per tahun rata-rata 35 perusahaan. Namun
demikian, kebangkrutan tersebut tidak dapat dilihat sebagai fenomena lima
tahun belakangan ini. Perhitungan untuk mengetahui produksi kayu bulat yang
tidak dilaporkan dari tahun 1977 sampai tahun 1998 menunjukkan bahwa
selama periode tersebut rata-rata produksi kayu bulat dari hak penguasaan hutan
HPH) yang tidak dilaporkan sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Realitas tersebut
menunjukkan bahwa pengusaha hak penguasaan hutan (HPH) sendiri juga
melakukan pengurasan sumber daya hutan melebihi jatah tebangan yang
112
Hariadi Kartodihardjo, op.cit., him. 141-142.
113
Hariadi Kartodihardjo, Masalah Struktural dalam Implemenlasi Kebijakan Baru
Kehutanan, dalam Ida Ayu Pradnya Reksosudarmo, op.cit., 178
114
Dodik Ridho Nurrochmat, Strategi Pengelolaan Hutan ..., op.cit., hlm. 90-91.
115
Ibid., him. 178-179.
116
Hariadi Kartodihardjo,…..op. cit., hlm. 151.
117
Nurrochmat, Op. cit.,hlm. 133-134
Menurut penulis, salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perusakan hutan
adalah penggunaan instrumen perizinan. Dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun
1999 menyatakan bahwa, setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan
kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan 118. Untuk mengefektifkan mengenai
pelaksanaan izin usaha yang berkaitan dengan pengelolaan atau pengusahaan hutan
tersebut, maka diperlukan suatu pelarangan-pelarangan. Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 juga secara tegas telah mengatur jenis-jenis sanksi pidana yang diterapkan bagi para
pelaku tindak pidana kehutanan antara lain :
118
Kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati yang menyebabkan
hutan tersebut atau tidak dapat berperan dengan fungsinya.
119
Penerapan tindak pidana dalam Pasal 50 ayat 1 haruslah memenuhi unsur-unsur : Barang
siapa; Dengan sengaja; Merusak; Prasarana dan sarana perlindungan hutan. Yang dimaksud dengan : 1)
barang siapa adalah sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (1) UU No. 41 Tahun
1999 adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha; 2) dengan sengaja
adalah ketentuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh
Undang-Undang; 3) Merusak adalah menjadikan sesuatu tidak sebagaimana bentuk semula. 4) Sarana
perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda tangan dan alat angkut, sedangkan prasarana
perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, menara pengawas dan jalan pemeriksaan.
Pasal 78 ayat (14) 00 No.41 Tahun 1999 menyebutkan, apabila tindak pidana
sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 ayat (1) UU Tahun 1999 tersebut dilakukan oleh
dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dimana
terhadap mereka dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Demikian pula halnya, apabila tindak pidana dalam Pasal 50 ayat (2) UU
No. 41 Tahun 1999 ini dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik
sendiri-sendlri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
Sebagaimana tindak lanjut dari Pasal 50 ayat (2) di atas, menurut penulis
diperlukan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
pengawasan atau tindakan represif kepada pelanggar ketentuan tersebut.
Jika dilihat isi dari Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 ini tindak
pidana tersebut dilakukan oleh para pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan
atau yang ada kaitan usahanya dengan hutan, seperti pemegang Hak Pengusahaan
Hutan (HPH), jasa lingkungan, dan Iain-lain.
Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan
dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah".
Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tersebut
yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam
kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk
perdadangan, untuk pertanian atau untuk usaha lainnya. 120
Apabila tindak pidana dalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 ini
dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, maka tuntutan
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dimana terhadap mereka dikenakan pidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14) UU No. 41 Tahun 1999).
120
Ibid : Penerapan ketentuaa tersebut diyakini banyak menghadapi kendala, misalnya jika
dikaitkan dengan kawasan yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai hak ulayat hukum adat, yang
sampai saat ini memang belum terselesaikan, Departemen Kehutanan.
5. Melakukan Penebangan Pohon Dalam Kawasan Hutan Dengan Radius Atau Jarak
Tertentu.
Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf c UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
Jika diperhatikan isi Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b , dan huruf c
tersebut , kiranya hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja saja yang dapat
6. Membakar Hutan
Larangan bagi setiap orang membakar hutan diatur di dalam Pasal 50 ayat
(3) huruf d UU No. 41 tahun 1999.69 Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang
namun pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan akan tetapi hanya untuk
tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain untuk
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama penyakit, serta pembinaan
habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus
mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf d UU No. 41
Tahun 1999 ini jika melakukan perbuatan dengan sengaja, maka dikenakan Pasal 78
ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 dimana diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000,000.000,- (lima
milyar rupiah).
Sedangkan apabila perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian, maka
dikenakan Pasal 78 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 dengan ancaman pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,-
(satu milyar lima ratus juta rupiah).
Dengan demikian pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf. d UU No.
41 tahun 1999 ini dapat terjadi karena perbuatan yang dilakukan karena
kesengajaan maupun karena kelalaian.
7. Menebang Pohon Atau Memanen Atau Memungut Hasil Hutan Tanpa Hak Atau
Izin.
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki
izin dari pejabat yang berwenang diatur di dalam Pasal 50 ayat(3) huruf e UU No.
41 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang".
121
Untuk dapat raengetahui terjadinya suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (3) huruf h 00 So. 41 Tahun 1999, niaka pemguasaan wekanisme perdagangan hasil hutan sangat
diperlakan. PPK5 Kehutanan mempunyai peranan panting dalam m«lakukan penyidtkan ini. Selain itu,
diperlukan pula peran saksi ahli.
10. Mengangkut, Menguasai, Atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi
Bersama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan.
11. Menggembalakan Ternak Di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Ditunjuk Secara
Khusus.
Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang menggembalakan ternak di dalam
kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat
yang berwenang".
l2. Membawa Alat-Alat Berat Dan Atau Alat-Alat Lainnya Yang Lazia Atau Patut
Diduga Akan Dipergunakan Untuk Mangangkut Hasil Hutan Di Dalam Kawasan
Hutan Tanpa Izin.
Jika Pasal 50 ayat (3) huruf j UU No. 41 Tahun 1999 dipadukan dengan Pasal 78
ayat (9) UU No. 41 Tahun 1999 dapat dirumuskan sebagai berikut : “Barang siapa dengan
sengaja membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang, diancara dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)".
Berdasarkan Pasal 18 ayat (13) UU NO. 41 tahun 1999 tindak pidana sebagaintana
dimaksud pada Pasal 50 ayat (3) huruf j ini adalah pelanggaran.
13. Membawa Alat-Alat Yang Lazim Digunakan Untuk Menebang, Memotong Atau
Membelah Pohon Di Dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin.
Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k UU No. 41 Tahun 1999 yang
menyebutkan : "Setiap orang dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang".
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal tersebut di atas diancam dalam Pasal 78 ayat
(12) UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Dari ulasan instrument izin tindak pidana di bidang kehutanan di atas, bila
dikaitkan dengan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor : 21 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, maka akan
terjadinya tumpang tindih antara kedua aturan yang ada.
Pada kesempatan ini, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertian sumber
hukum sebelum membahas sumber yang dijadikan dasar berlakun hukum kehutanan di
122
Willem Zevenbergen, dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum : Suat
Pengantar, Pen Liberty, (Yogyakarta : 1996), h 6, dalam Muh Jufri Dewa, ibid., hlm. 66.
123
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukuh dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
1989, dalam Muh Jufri Dewa, ibid., hlm. 67.
124
Algra dikutip oleh Sudikno Martokusumo, hlm. 70, dalam Muh Jufri Dewa, ibid.
125
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia,op. cit., hal. 7
Sumber hukum dalam arti formal kenyataannya dapat didekati dari bentuk
dan prosedur pembentukannya menjadi hukum positif oleh pengembangan
kewenangan hukum yang berwenang. Sumber hukum dalam arti formal (hukum
positif) Indonesia sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut, sumber hukum
positif Indonesia adalah UUD1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, sedangkan dalam praktik masih
dikenal adanya Instruksi Menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri, selain itu,
dalam ilmu hukum dikenal juga perjanjian antarnegara, kebiasaan, yurisprudensi,
dan doktrin sebagai sumber hukum formal. 128 Namun demikian, TAP MPRS NO.
XX Tahun 1966 tersebut, tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
126
Muh. Jufri Dewa, op.cit., hlm. 68.Sudikno Mertokusumo, dalam Muh. Jufri Dewa, ibid.
127
Sudikno Mertokusumo, dalam Muh. Jufri Dewa, ibid.
128
Ibid, hlm. 68-69.
129
Ibid,. hlm 70.
3.1 Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua Pasca Dikeluarkan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
88
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pemerataan dan hak-hak asasi manusia. Berdasarkan pertimbangan di atas dipandang perlu
menetapkan Peraturan Daerah Khusus tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di
Provinsi Papua. 130
1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk perairan yang meliputi
fungsi produksi, fungsi lindung dan fungsi konservasi untuk mencapai fungsi sosial,
budaya, dan ekonomi yang seimbang;
3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS);
4. Mendorong peran serta masyarakat; dan
5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
131
Op.,cit
Kendali yang tetap dipegang pemerintah adalah pada penetapan siapa Masyarakat
Hukum Adat yang berhak mengelola hutan, penetapan fungsi-fungsi hutan berupa
konservasi, lindung dan produksi serta kendali perizinan pemanfaatan hasil hutan maupun
kawasan tersebut. Perdasus Kehutanan Papua memberikan bab khusus untuk pengaturan
mengenai Masyarakat Hukum Adat Papua dan hubungannya dengan kehutanan, yaitu bab
III tentang Masyarakat Hukum Adat. Pengaturan ini dimulai dengan pernyataan normatif
tentang hak Masyarakat Hukum Adat untuk memiliki hak atas hutan alam dengan batas-
batas wilayah adatnya masing-masing dan untuk itu pemerintah daerah mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam.
Pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat atas hutan ini memberikan penegasan
bahwa hak hanya diakui atas hutan alam, sehingga kegiatan-kegiatan kehutanan
Masyarakat Hukum Adat yang tidak berbasiskan pada pengelolaan hutan alam, misalnya
berupa hutan tanaman, tidak termasuk pada ruang lingkup perlindungan yang dimaksudkan
oleh Perdasus Kehutanan Papua.
132
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
1. Siapa Masyarakat Hukum Adat yang dapat mengelola hutan adat Aktor Masyarakat
Hukum Adat yang dapat mengelola hutan alam ini harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan bata-batas tertentu yang diakui
oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya.
b. Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat.
c. Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya.
Kriteria Masyarakat Hukum Adat yang berhak mengelola hutan alam baru
bisa dilakukan jika telah ada identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 Perdasus 21 tahun 2008. Pasal ini menyatakan
hal-hal sebagai berikut :
Titik kunci dari operasionalisasi hak ulayat yang melingkupi hutan alam
adalah dokumen hasil identifikasi yang disetujui bersama antara Masyarakat Hukum
Adat dan pemerintah kabupaten. Disinilah posisi rawan yang akan menimbulkan
konflik antara Masyarakat Hukum Adat dan pemerintah. Menurut penulis, Pada bagian
bab penyelesaian sengketa, tidak dinyatakan bahwa perbedaan pendapat antara
masyarakat hukum adat dan pemerintah sebagai bagian dari sengketa kehutanan yang
dapat ditangani melalui jalur-jalur mekanisme penyelesaian sengketa alternatif.
Lokasi dan luas hutan adat yang dikongkritkan dalam bentuk Pemetaan hutan-
hutan alam yang akan dikelolah oleh Masyarakat Hukum Adat harus di dukung dan
difasilitasi oleh pemerintah daerah, meskipun dibuka peluang sumber dana dari pihak
ketiga. Pemetaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan 1) daya dukung lahan, 2)
fungsi hutan, 3) administrasi pemerintahan, 4) rencana tata ruang wilayah, 5)
penggunaan lahan saat ini. Posisi krusial terletak pada pengakuan peta hutan yang telah
dihasilkan, Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai kewenangannya, memiliki hak untuk
menetapkan peta tersebut. Barulah peta ini menjadi operasional dan sah secara hukum.
Peta tersebut memuat informasi mengenai :
a. Batas-batas luar yang disepakati oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat
hukum adat disekitarnya.
b. Lahan dan hutan yang dikelola dan dimanfaatkan masyarakat hukum adat.
Gambar 3.1
Peta Suku Wilayah Adat Provinsi Papua dan Papua Barat
Hak Kewajiban
Hutan Dikelola Masyarakat Hutan Dikelola Pihak III
Hukum Adat
Pada posisi pengelolaan hutan oleh pihak ketiga, Perdasus Kehutanan Papua
memangkas satu tahapan penting yang menghubungkan antara pihak ketiga dengan
masyarakat hukum adat, proses tersebut adalah proses negosiasi yang berisi setuju atau
tidak setujunya masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan oleh pihak ketiga
tersebut.
Akan tetapi kalau dikaji lebih dalam, merupakan dampak langsung dari model
perlindungan hak masyarakat adat yang diamandatkan oleh UU No. 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya pada Bab XI tentang perlindungan Hak-
Hak Masyarakat Adat, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi
Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
133
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua, Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, PERDA No.
LN No. 21 tahun 2008, ps. 1 angka 13.
134
Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41, LN No. 167, tahun 1999, ps. 1 huruf f.
Tabel 3.2
Prosedur Perizinan IUPHHK-MHA
GUBERNUR
PERSYARATAN LOKASI
Hutan Produksi (HP)
HPK
APL/ KBNK
PERTIMBANGAN
KADISHUTPROV TEKNIS
BATASAN IZIN
3.1.2. Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Peraturan
Daerah Khusus Papua
Tabel 3.3
Rangkuman Jenis Izin dan Bentuk Usaha pada Hutan Produksi
Luas Maks.
No. Jenis Izin Bentuk Usaha dan Jangka Ketentuan
Waktu
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Pemanfaatan Usaha Budi Daya: a. 50 hektar. Tidak mengganggu fungsi
Kawasan. a. Tanaman Obat; b. 5 tahun. pokok kawasan.
b. Tanaman Hias;
c. Tanaman Pangan di bawah tegakan;
d. Jamur;
e. Perlebahan;
f. Penangkapan Satwa;
g. Satwa Burung Walet.
2. Pemanfaatan Jasa Usaha : a. hektar. Tidak merusak bentang
Lingkungan. a. Wisata Alam; b.10 tahun. alam dan lingkungan.
b. Olah raga tantangan;
c. Pemanfaatan air;
d. Perdagangan karbon fcarboii trade);
e. Penyelamatan hutan dan lingkungan.
3. Pemanfaatan Usaha : a.Usaha peraanfaatan Izin pemanfaatan hasil
Hasil Hutan. a.Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam kayu hutan kayu/bukan
hutan alam (meliputi kegiatan 55 tahun. kayu pada hutan
penebangan,pengangkutan, penanaman, produksi tidak boleh
Pemeliharaan pengamanan, dan Diberikan pada areal
pengolahan, serta pemasaran hasil). yang telah dibebani izin
usaha pemanfaatan hasil
b.Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu b.Usaha hutan dan bukan
pada hutan alam, berupa : pemanfaatan kayu/izin pemungutan
- Rotan, sagu,nipah, dan bambu. Hutan Alam hasil hutan kayu. -
- Getah kulit kayu, daun, buah atau biji. bukan kayu 10 Dipindah tangankan
tahun. tanpa
persetujuan tertulis dari
c. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau c.Usaha pemberi izin.
bukan kayu pada hutan tanaman pemanfaatan -Dijadikan jaminan
(meliputi kegiatan penyiapan lahan Hutan kayu dan atau di jaminkan kepada
pembibitan,penanaman,pemeliharaan, bukan kayu pada kepada pihak lain.
pengamanan, pemanenan atau hutan tanaman Izin Pemanfaatan
penebangan hasil,pengolahan dan 100 tahun. hasil hutan kayu dan
pemasaran). bukan kayu
pada hutan Produksi
Sumber : Pasal 28 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 32 sampai dengan Pasal 59 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007.
Pengaturan perizinan dalam Perdasus di atur dalam Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Tata
cara pemberian izin dan pelimpahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur
dengan Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2010, dalam Pasal 2 Peraturan Gubernur
dinyatakan, “Gubernur mencadangkan dan menunjuk areal hutan untuk kepentingan
perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-
MHA) atas dasar usulan dari Bupati/Walikota. Dalam Peraturan Gubernur Pasal 4 ayat (1)
dinyatakan bahwa, “luas areal IUPHHK-MHA adalah 2.000 Ha samapai 5.000 Ha untuk
setiap izin dan berada dalam wilayah yang kompak, selanjutnya Pasal 10 huruf (b)
Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2010, menyatakan bahwa “melaksanakan kegiatan
pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran atas hasil hutan kayu sebagaimana
dimaksud pada huruf asesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedangkan dalam UU No. 41
tahun 1999 Pasal 37 yang diatur dalam PP No. 6 tahun 2007 dalam Pasal 45 ayat (2) serta
Peraturan Menteri Kehutanan Pasal 7 ayat (1) Nomor : P. 46/Menhut-II/2009,
“pengumutan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi sebagimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf (g) diberikan untuk memenuhi kebutuhan individu,
dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk setiap keluarga dan
tidak diperdagangkan”. Hal ini menurut penulis ada perbedaan pengaturan pengelolaan
hutan antara UU 41 tahun 1999 dengan Perdasus 21 tahun 2008, dari kata tidak dapat
diperdagangkan penulis mengartikan dengan tidak dapat diperjual belikan.
Selama masa desentralisasi, Provinsi Papua pada saat ini telah terbagi menjadi
dua provinsi yaitu Irian Jaya Barat dan Papua yang telah menerapkan ketentuan
pelaksanaan hak-hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat tersebut. Hal ini
merupakan perbedaan yang nyata antara desentralisasi kebijakan kehutanan di Papua dan di
provinsi lain. Kebijakan dari Pemerintah Pusat yang mengatur tentang hak-hak
pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat cenderung kontradiktif satu sama lain.
Contohnya adalah ketika SK Menteri mengenai HPHH-MA hanya merujuk pada kegiatan-
kegiatan pemungutan non komersial, SK Dirjen sebagai landasan untuk aturan
3.2 Hak dan Kewajiban Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Masyarakat Hukum Adat
Misalnya, insentif apa yang diberikan kepada pemegang ijin yang mematuhi
aturan dan sanksi apa yang akan diberikan kepada mereka yang melanggarnya?. Pada
sebagian masyarakat adat di Papua, pola penguasaan lahan awalnya dilakukan berdasarkan
siapa yang pertama kali membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum dikuasai oleh
orang lain. Pada sebagian yang lain, awal penguasaan wilayah oleh suatu marga didasarkan
pada lokasi yang dijelajahinya pertama kali pada saat berburu binatang di areal hutan yang
belum dikuasai marga lain. Begitu areal belum bertuan tersebut dikerjakan oleh suatu
kelompok marga, maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang bersangkutan
(hak ulayat) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada keturunannya, terutama
keturunan laki-laki (hak waris). Hak ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat
diperjualbelikan, hanya boleh dipinjampakaikan antara sesama warga yang masih dalam
satu rumpun adat (suku).
Hak dan kewajiban IUPHHK-MHA yang diatur oleh Perdasus Papua mempunyai
hak (a) melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; (b)
melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran atas hasil hutan
kayu sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (c)
mendapatkan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten/Kota; (d) mendapatkan
pembinaan penyuluhan; (e) melakukan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan
persetujuan Gubernur. Selain hak maka ada kewajiban yang harus dipatuhi diantaranya
penatausahan hasil hutan sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berlaku. Pada
prinsipnya Perdasus Papua menjamin kelestarian hutan dan perdagangan kayu dalam
bentuk gergajian atau setengah jadi, bukan berupa kayu bulat serta para pemegang
3.3 Pengaturan Sanksi Dalam Perdasus 21 Tahun 2008 Tentang Pengeloaan Hutan
Berkelanjutan
Pelanggaran terhadap ketentuan yang di atur dalam Perdasus 21 tahun 2008 dan
Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2010, maka dikenakan sanksi berupa pelanggaran
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah), sedangkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku jika merusak, memindahkan tanda batas serta merusak
sarana dan prasarana perlindungan hutan, menggunakan peralatan berat, melakukan
penebangan sebelum dikeluarkannya IUPHHK-MHA, memindahtangankan IUPHHK-
MHA kepada pihak lain, menyebabkan kebakaran hutan, serta melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak yang telah ditentukan. Selain itu
untuk membatasi kerusakan hutan akibat kegiatan usaha pemanfaatan hutan, pemegang
IUPHHK-MHA tidak dibenarkan menggunakan peralatan yang tidak sesuai dengan kondisi
lahan dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan
lahan dan tegakan.
Sebelum dikeluarkannya Perdasus 21 Tahun 2008, Pengelolaan hutan di Provinsi
Papua selama ini dilaksanakan dalam bentuk HPH dan sejak tahun 1999 Pemerintah
memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya masyarakat pemilik hak ulayat
dalam pengelolaan hutan. Dalam rangka desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan di
Papua, Pemerintah Daerah telah menempuh langkah awal dengan memberikan
IHPHHMHA (Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat) kepada
Kopermas dengan luas 250 hektar, dimana masa berlaku dari ijin ini hanya 1(satu) tahun.
Dasarnya adalah dengan diterbitkannya SK Menhut No. 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei
1999 tentang HPHHMHA pada Areal Hutan Produksi. Sebagai tindak lanjut SK
Menhutbun tersebut, Gubernur Provinsi Papua menerbitkan surat Nomor : 522.2/
3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh
Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk IPKMA dengan petunjuk pelaksanaannya sesuai
Alasan pemberian ijin kepada Kopermas dengan pertimbangan bahwa areal yang
dimohon merupakan wilayah hak ulayat masyarakat setempat; selama ini hutan disekitar
wilayah adat masyarakat hanya dinikmati oleh para pengusaha HPH dan IPK; untuk lebih
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan untuk meredam gejolak sosial akibat
tuntutan masyarakat.
3.4 Kendala Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Kehutan di Provinsi Papua
Lebih lanjut Kadis, mengatakan soal sinkron atau tidak dengan UU No. 41
Tahun 1999, maka didalam perdasus kehutanan pemerintah upayakan seluruh
mekanisme tata usaha kayu secara nasional di adopsi seratus persen didalam
Perdasus kehutanan Papua, yang beda adalah spesifikasi lokal Papua dengan
pertimbangan geografi dan lain-lain, sehingga ada penjabaran-penjabaran lebih
lanjut, misalnya di daerah luar Papua kapal biasa sandar langsung ke dermaga
sedangkan di Papua harus melewati sungai pindah ke tongkang besar-tongkang
kecil untuk mengangkut kayu.
Wawancara dengan Rico Purba selaku Kasat Serse Polresta Jayapura, Hutan kita
yang luas pada umumnya di sekelilingnya terdapat kehidupan masyarakat adat Papua.
Kehidupan masyarakat adat Papua yang tinggal di pinggiran hutan menggantungkan
kehidupan dari memungut hasil hutan. Kebiasaan tersebut sudah turun temurun dari
kehidupan nenek moyangnya, sehingga mereka sudah mengkapling wilayah-
wilayah tertentu sebagai hutan adat. Pada kenyataan tersebut apabila ada pihak-pihak
139
Marthen Kayoi, dalam wawancara dengan peneliti di Jayapura pada tanggal 10 April 2012, pukul
15.00 Wit.
Dengan adanya kemudahan proses keluarnya kayu dari daerah karena dilindungi
berbagai peraturan daerah maka tindak pidana kehutan tidak akan mudah dihentikan. Kondisi
tersebut akan lebih diperparah lagi dengan permintaan kayu pasar dunia semakin besar dan
hutan-hutan di berbagai negara sudah habis, seperti kawasan Asia yaitu cina, Jepang, dan
negara-negara Eropa, hutan mereka sudah habis tetapi kebutuhan kayu meningkat. Supplay
(penawaran) dan demand (permintaan) menjadi suatu kenyataan 141.
140
Rico Purba, selaku Kasat Serse Polresta Jayapura, dalam wawancara dengan peneliti di Jayapura
pada tanggal 18 Mey 2012, pukul 10.00 Wit
141
Cahayo, Kepala Satuan Sumber Daya Lingkungan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya,
dalam wawancara dengan peneliti di Jakarta pada tanggal 21 Mey 2012, pukul 16.00 Wib.
142
Benony Adrian Kombado, dalam wawancara dengan peneliti di Jakarta pada tanggal 07 Maret 2012,
pukul 21.00 Wib.
Berkenaan dengan adanya tumpang tindih antara aturan hukum, maka berdasarkan teori
sistem hukum yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, terdapat suatu kondisi dimana seluruh
sistem bekerja di dalam ruang dan setting yang berada di dalam satu pekerjaan utama. Hal
tersebut karena dipengaruhi oleh aspek substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum. Berkaitan dengan masalah instrumen hukum yang menjadi kendala dalam
penegakan hukum tindak pidana kehutanan, maka hal ini menandakan tidak adanya
sinkronisasi instrumen hukum atau sinkronisasi substansial.
Oleh karena itu diperlukan analisis yang kuat terhadap tuduhan yang
didakwakan dan pemahaman terhadap ketentuan Pasal-Pasal yang menjadi kunci
utama. Dakwaan jaksa sangat berpengaruh terhadap tuntutan yang akan diputuskan
oleh hakim, sehingga seorang jaksa perlu memahami dakwaan yang dibuatnya.
Dalam persidangan, jaksa harus menampilkan keahlian dan keyakinannya bahwa
apa yang didakwakan adalah tepat dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Begitu
pula analisa dakwaan telah diuraikan secara jelas mengenai unsur-unsur perbuatan
pidana yang telah dilakukan terdakwa. Meskipun hakim mempunyai kemandirian
dalam memutus suatu perkara pidana, namun hakim tidak bisa mengesampingkan
hal-hal yang terjadi dalam persidangan dan fakta-fakta hukum yang ditampilkan para
pihak.
Ketentuan pidana dalam kasus tindak pidana kehutanan perlu diperberat lagi
agar pelaku tindak pidana kehutanan jera. Walaupun dalam beberapa Undang-Undang sudah
cukup diatur, tetapi implementasinya sering tidak membuat efek jera bagi pelakunya.
Menurut penulis para penegak hukum dalam memproses pelaku tindak pidana
kehutanan hanya masyarakat miskin selaku pekerja, sedangkan para aktor dibalik
Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 yang memiliki sanksi
pidana ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana kehutanan.
Ancaman hukuman penjara 15 tahun bagi yang membakar hutan dan paling berat 10 tahun
bagi yang melakukan Illegal logging. Pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang-Undang ini tidak mengatur rumusan
sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera
bagi pelaku.
143
Kejaksaa Republik Indonesia, Pemetaan Illegal Logging dari Prespektif Kejaksaan, (Kejaksaan Agung
R.I., 2007)
144
Ibid., hal 55
Berkaitan dengan teori hukum yang telah penulis uraikan di atas, maka sanksi pidana
yang tidak memberikan pidana minimum sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelakunya
merupakan masalah instrumen hukum yang menjadi kendala dalam penegakan hukum
tindak pidana perdagangan kayu ilegal. Instrumen hukum dalam sistem hukum
berkaitan dengan substansi hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.5 Analisa Putusan Pengadilan Kasus Tindak Pidana Kehutanan di Provinsi Papua.
Dalam penelitian ini, perkara tindak pidana kehutanan yang digunakan sebagai
obyek penelitian telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Perkara yang akan
peniliti analisa adalah perkara atas nama H. Romzan.
145
Yunus Husein, Strategi Memberantas Pembalakan Liar
http://www.docstoc.com/docs/2959625/STRATEGI-MEMBERANTAS-PEMBALAK-LIAR-Dr-Yunus-Husein-SH-
LLM Dalam.diunduh 10 Februari 2012
Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 20 Juli 2005 yang isinya adalah sebagai
berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. Romzan bersalah melakukan tindak pidana Mengangkut,
menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
78 ayat (7) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara
ditambah dengan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 5
(lima) bulan kurungan dengan perintah segera ditahan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
1. Kapal MV. Fitria Perdana ;
2. Kayu log sebanyak 895 picis/batang jenis merbau ;
3. Dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ;
Dirampas untuk negara ;
Putusan Mahkamah Agung RI No. 246 K/Pid/2006 tanggal 17 Mei 2006 yang
amar lengkapnya sebagai berikut :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Jayapura tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura No. 59/Pid.B/2005/-PN.JPR. tanggal 30
Agustus 2005 ;
Dari kasus tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana kehutanan
yang dilakukan oleh H. Romzan dengan menggunakan izin IPKMA di Papua, tidak
digunakan sebagaimana mestinya dengan kata lain dalam melakukan pengangkutan kayu
melebihi kubikasi yang ditentukan oleh Instansi terkait dalam hal ini Dinas Kehutan
Provinsi Papua. Penulis berpendapat bahwa Pemerintah Provinsi Papua tetap
mempertimbangan UU No. 41 Tahun 1999 dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua.
Berbeda dengan tujuh perkara yang di putus bebas oleh Mahkamah Agung di
bawah ini, dimana para pelaku melakukan pengangkutan kayu berdasarkan izin yang
ditentukan oleh Pemerintah setempat, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tertera di
bawah ini.
a. Putusan Mahkamah Agung RI No. 2815 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Ir. Marthen Kayoi, MM. ;
b. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1662 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Rudi Wijaya ;
c. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1664 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Agustian ;
d. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1663 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Agustian, dkk ;
e. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1048 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Tan Eng Kwee, dkk ;
f. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1661 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama
Terdakwa Aliyono ;
g. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Andi
Selle Paralangi ;
146
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b08432e7aad2fba247b6a9a317ad2d5/pdf
Bahwa dalam konsep ilmu hukum, bila terjadi pertentangan beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur materi muatan yang sama, maka harus
dikembalikan pada asas-asas hukum umum (algemene rechtsbeginselen). Dalam kaitan
ini, maka asas hukum yang terkait dengan kasus ini adalah asas yang menyatakan
bahwa aturan-aturan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan-aturan yang
bersifat umum (Lex Specialis Derogate Legi Generali). Dan Undang-Undang Otsus
Di dalam doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu
untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana
yang bersifat khusus ataupun bukan.
Menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap
sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabilaketentuan pidana tersebut
disamping memuat unsure-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan
pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan
secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu logische specialiteit
atau sebagai suatu kekhususan yang logis.
Menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana
itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap
dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas
dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk
memberlakukan ketentu pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat
khusus.
Menurut pendapat saya, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang
bersifat khusus, suatu ketentuan pidana itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari
suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. 147
Lebih lanjut Jan Remmelink, menyatakan hakim dalam hal ini harus
memperhatikan ratio logis (dasar atau alasan pembentukan aturan), sejarah dan sistem
dalam mana aturan tersebut di fungsikan. Ia sekaligus harus memperhatikan logika,
147
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. 3, (Bandung : PT. Citra Aditya
Bhakti, 1997), hlm. 714-715
Lex Specialis Derogate Legi Generali merupakan asas penting bagi hukum
pidana bahkan kata Utrecht, sangat penting untuk seluruh hukum. Van Hattum
menyebutnya sebagai Logische Specialiteit atau bahasa indonesianya kekhususan yang
logis (ada juga yang memakai spesialitas yang logis). 149
Penegak hukum, dalam hal ini Penuntut Umum, yang melakukan penuntutan dan
hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara pidana sebagai bagian dari struktur
hukum (legal structure), yang dalam melakukan penelitian berkas perkara, tidak
memperhatikan atau mempertimbangkan aturan hukum yang ada di daerah tersebut (Legal
Substance). Hal ini menunjukkan budaya hukum (Legal Culture) dari penegak hukum
sehingga memicu suatu kondisi tidak berjalannya sistem hukum pidana dengan baik. Fakta
yang demikian dengan mengutip pendapat dari Ahmad Ali, merupakan sesuatu yang
menyedihkan, mengingat unsur-unsur sistem hukum di Indonesia, memang masih belum
berjalan secara harmonis antara satu dengan yang lain. 150
148
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitan Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 576.
149
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT. Yarsif Watampone, 2010),
hlm. 539
150
Ahmad Ali, Menguak Realitas Hukum (Rampai Kolam & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum), cet.
2., (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 11.
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
133
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
3) Jika pemerintah secara formal (melalui Perdasus) telah menetapkan masyarakat hukum
adat, maka juga diperlukan legalitas yang mengatur batas-batas wilayah definitif
pengelolaan hutan untuk menguatkan klaim penguasaan sumber daya alam oleh
masyarakat hukum adat dan memberikan ruang bagi penegakan hukum-hukum adat.
Dalam kaitannya dengan wacana untuk menciptakan Otsus di Provinsi Papua, negara
perlu menyerasikan dan mengharmonisasikan antara aturan-aturan pemerintah pusat
dan aturan-aturan pemerintah daerah sehingga tidak terjadi disharmonisasi. Dari hasil
penelitian di daerah Papua terhadap para penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim),
ternyata para penegak hukum tetap berfikir secara normative yaitu berpegang teguh
pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam menghadapi tindak Pidana
kehutanan di Provinsi Papua, ditarik kesimpulan bahwa para penegak hukum tidak
memahami kekhusuan yang diberikan oleh Provinsi Papua dengan menyamaratakan
aturan kehutanan yang berlaku, baik untuk OTDA dan OTSUS, dengan kata lain
lemahnya pengetahuan asas-asas hukum pidana dikalangan pera penegak hukum, yang
tidak mempertimbangkan aturan-aturan yang berlaku serta tidak mempertimbangkan
yurisprudensi dalam perkara sebelumnya.
4.2 Saran-Saran
1. Untuk mewujudkan sinkronisasi baik secara substansi hukum, struktur hukum maupun
budaya hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan, maka saran
penulis adalah perlu koordinasi antara penegak hukum secara terpadu dan
menghilangkan sifat eksklusivisme dari masing-masing lembaga penegak hukum.
Menghilangkan sifat eksklusivisme dapat dilakukan dengan cara melakukan pertemuan
secara berkala untuk membicarakan jalan keluar dalam menangani tindak pidana
Kehutanan khususnya di Provinsi Papua, sehingga tidak terbentur dengan apa yang
diberikan kekhususan bagi Provinsi Papua.
3. Jika terjadi pertentangan antara peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dengan
Undang-Undang Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 maka yang berwenang
menyelesaiakan adalah Mahkamah Angung.
I. BUKU
Abidin A.Z., dan Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT. Yarsif Watampone,
2010.
Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta :
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996.
Agung, Nugraha. Menyongsong Perubahan Menuju Revilalisasi Sektor Kehutanan. Jakarta :
Aksara, 2004.
Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP). Panduan Hukum Adat (Dewan Adat Suku Jouw
Warry, Demta, Jayapura. Papua, 2008
Anto, Tabah. "Polri dan Penegakan Hukum di Indonesia". Dalam Kunarto (penyunting),
Merenungi Kritik Terhadap Polri (buku 2), Jakarta : Cipta Manunggal, 2005.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana. Bandung : Bina Cipta, 1986
------. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta :
Kencana, 2010.
Gerner B.A, Black’s Law dictionary. Seventh Edition, Texas : West Group, Dallas,
Hamzah, Andi. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995
------. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Penerbit Yarsif Watampone Indonesia, 2010
Hardja Soemantri, Koesnadi. Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Cet. II Edisi I, Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Haeruman J.S., Herman. Hutan Sebagai Lingkungan. Jakarta : Kantor Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1980.
Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Piece Colter, Ke mana Harus Melangkah,
Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2003.
J. Allen, Michael. Text book on Criminal Law, Fifth Edition, London : Blackstone, 1999.
Kadish, Sanford. Encyclopedia of Crime and Justice. vol. 2, The Free Press, 1983.
Kartodihardjo, Hariadi. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Kritis Lanjut
Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Penerbit, Institute for Development Economics
of Agriculture and Rural Areas (Ideals), Gedung Alumni IPB Lantai 2, Bogor, 2006.
Lokakarya Pemerintah Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan
Peraturan Pelaksanaannya, (Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua,
(Provinsi Papua, 2011)
Rancangan Paper Academic Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), Jayapura, 2005.
Semiloka dan FGD, tanggal 22-23 Nopember 2005, antara : Polda-Uncen, Ermashita
Jayapura.
Hak Masyarakat dalam pengelolaan dan Pemenfaatan Sumber Daya Hutan. www.wg-
tenure.org, diunduh tanggal 12 Desember 2011.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b08432e7aad2fba247b6a9a317a
d2d5/pdf di unduh tanggal 8 Desember 2011.
http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/tong-pu-tanah/2406-perdasus kehutanan-
dan-kph-di-papua--keberpihakan-setengah-hati. di unduh tangga 11 Desember
2011
Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua, http://mrpapua.wordpress.com/Blog Majelis
Rakyat Papua. diunduh 08 Mei 2012.
Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat dalam Otonomi Khusus di Provinsi Papua
http://www.docstoc.com/docs/33395264/Politik Hukum Pengakuan hak
Masyarakat Adat dalam Otonomi-Khusus, diunduh 12 Desember 2011.
Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, http : / / www . legalitas .org /incl-php
/buka.php ? d = art+4&f = penegakan%20hukum%20Oka .htm ), di unduh
tanggal 09 Desember 2011