Anda di halaman 1dari 28

Etika: Masih Penting?

Yusuf Siswantara

LEMBAGA PENGEMBANGAN HUMANIORA


UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
Bab 5.MEMAHAMI SUARA HATI

1. Kasus, Opening Mind


Pertama-tama, kita harus memahami bahwa setiap
manusia mempunyai pengalaman hati nurani baik sadar atau
tidak sadar. Dan, inilah wilayah yang paling jelas menunjukkan
kaitan moralitas dan kenyataan. Untuk lebih jelas, baiklah kita
lihat kasus berikut.
Seorang mahasiswi berumur 19 tahun, telah menyadari
terlambat haid 2 bulan. Dalam hati, ia sudah tahu: hamil.
Menyadari situasi dirinya, ia mengatakan kepada pacarnya.
Setelah tahu, si cowok marah dan minta bayi itu digugurkan.
Dalam situasi ini, ia bingung dan gelisah: memilih
menyelamatkan atau membunuh bayi. Kalau dia membunuh,
mungkin persoalan ‘selesai’.Jika sebaliknya, ia berhadapan
dengan persoalan baru: bagaimana kuliahnya, menjelaskan ke
orang tua, merawat bayi, status ayah bayi (karena pacarnya
tidak mau bertanggung jawab).
Ia bingung akan memutuskan apa. Jika menggugurkan
kandungan, ia ‘tidak’ menghadapi masalah-masalah lain.
Tetapi, ia akan merasa bersalah seumur hidup. Jika
memelihara kandungan, ia ‘lebih tenteram’, tetapi akan
menghadapi banyak ‘masalah’ lagi.
Silahkan Anda cermati! Contoh kisah di atas menunjukkan
gerak hati nurani dalam diri pelaku.

2
2. Pengertian: Kesadaran & Hati Nurani
Bagian ini akan membahas pemahaman hati nurani sebagai
kesadaran. Maksud hati nurani adalah penghayatan tentang
yang baik dan yang buruk berhubungan dengan tingkah laku
konkret, bukan yang umum. Pembahasan akan dibagi tiga
tahap: 1) arti pengenalan, 2) arti penyadaran, 3) suara hati.
Pemahaman hati nurani berkaitan erat dengan
pemahaman kesadaran. Artinya, hati nurani berkaitan erat
dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran.
Apa yang dimaksud dengan kesadaran? Untuk memahami
kesadaran, mari kita pisahkan antara ‘kesadaran’ dengan
‘pengenalan’.
a) Manusia bisa mengenali.
Pada saat menggunakan panca indra, kita melakukan
pengenalan. Kita melihat benda, mendengar suara,
merasakan halus lembutnya benda, dan sebagainya. Dengan
cara itu, kita mengenal sesuatu (suara, bau, fisik, cahaya, dll).
Dalam hal ini, pengenalan bisa dilakukan oleh manusia dan
binantang. Dalam perbandingan dengan binatang, boleh
dikata, manusia berada dibawa dalam pengenalan indrawi
terhadap sesuatu. Panca indera biatang lebih tajam dan lebih
berkembang pesat pada tahap pertumbuhannya. Lalu, dimana
keunggulan manusia yang sekaligus membedakannya dengan
binatang?

3
b) Manusia bisa menyadari.
Conscientia (Latin)dipakai untuk menyebut kesadaran.
Conscientia berasal dari kata Con (bersama dengan, turut) +
Scire (mengetahui). Secara bersama-sama, kata-kata tersebut
berarti ‘turut mengetahui’.
Kesadaran adalah kemampuan untuk mengenal dirinya
sendiri dan berefleksi tentang dirinya sendiri. Contohnya, (a)
Antok melihat bintang dan menyadari bahwa dirinya melihat
bintang. (b) Binatang melihat makanan seperti halnya
manusia tetapi tidak menyadari bahwa dirinya melihat
makanan.
Dengan mengetahui arti kata ini, kita dapat mengatakan: 1)
‘Saya melihat bunga’ dan 2) ‘Saya turut mengetahui bahwa
saya melihat bunga’. Sambil atau pada saat melihat, saya
menyadari bahwa saya sendirilah (bukan orang lain, Budi,
Veronika, atau lainnya) yang melihat.
Hanya manusia yang mampu menyadari tentang dirinya
yang sedang .... Boleh dikatakan bahwa manusia mampu
membuat ‘pengenalan ganda’.1 Ia bisa menempatkan dirinya
sebagai sobjek yang melakukan sesuatu dan menempatkan
dirinya sebagai objek yang dikenalinya. Ia berperan ganda,
sebagai sobjek dan objek sekaligus.

(3) Suara Hati.

1
Bdk. K. Bertens, ETIKA, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2000. hlm. 52-53.

4
Bagaimana kaitan kesadaran dan hati nurani? Untuk hal ini,
mari kita ingat terminologi kesadaran, yaitu conscientia yang
bisa berarti kesadaran tetapi berarti pula suara hati.2 Dengan
demikian, proses dan mekanisme kesadaran terjadi juga
dalam ‘suara hati’. Dalam suara hati, bukan saja, manusia
melakukan perbuatan-perbuatan moral, tetapi juga ada yang
‘turut mengetahui’ tentang perbuatan-perbuatan moral kita
itu. Hati nurani menjadi semacam ‘saksi mata’ tentang
perbuatan moral kita. Ia akan menilai dan menuntut sesuatu.
Dalam kasus 1, hati nurani membuat si wanita bingung dan
resah. Di satu sisi, ia ingin menyelesaikan ‘masalah tanpa
masalah’; tetapi, hati nuraninya menolak, memberontak, dan
protes terhadap kemungkinan ini. Di sisi lain, ia ingin
menyelamatkan bayi. Hati nuraninya ‘lebih menyetujui’ dan
mengatakan bahwa hal itu baik dan merupakan sikap
bertanggungjawab; tetapi, jika diambil, kemungkinan ini akan
membawa masalah baru lagi.

3. Jenis-Jenis Suara Hati


a) Personal & Adi-Personal
Suara hati dapat dilihat dari sudut pandang suara hati
personal dan suara hati Adi-personal. Mari kita lihat satu per
satu.

2
Conscience (Inggris) = ‘Suara Hati’

5
[1] Suara Hati Personal. Suara hati (seperti sudah kita
ketahui) berhubungan dengan pribadi yang mengalami atau
melakukan perbuatan. Beberapa alasan atau pemikirannya
adalah [a] Nilai-nilai dan norma-norma melekat dalam diri kita
dan akan tampak dalam ucapan atau teguran hati nurani kita.
[b] Suara hati berkaitan erat dengan kepribadian. [c]
Perkembangan pribadi akan mempunyai pengaruh terhadap
kualitas suara hati. [d] Suara hati hanya berbicara atas nama
saya. Hati nurani hanya menilai atas perbuatan saya pribadi.
[e] Suara hati adalah conscience. Artinya, dia mampu berbuat
dan menyadari perbuatannya sekaligus, yaitu: saya yang
melakukan dan sekaligus yang menyadarinya. Ciri-ciri
kesadaran inilah yang menjadikan suara hati bersifat personal.
[2] Suara Hati Adi-Personal. Hal ini diangkat mengingat
kita sering mendengar: Amanat Suara Hati Rakyat, Suara Hati
Bangsa. Pertanyaannya adalah apakah benar ada suara hati
adi-personal (komunitas)?
Hati Nur-ani adalah hati yang diterangi (Nur adalah
Cahaya). Seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi
hati kita. Aspek adi-personal ini rupanya sangat mengesankan
bahwa kita adalah pendengar dari suara hati. Kita seakan-akan
membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Dalam
kalangan agama, suara hati dianggap sebagai suara Tuhan

6
(suara sang Cahaya).3 Bagi kaum beragama, hati nurani
memang memiliki satu dimensi religius. Kalau Ia berkeputusan
berdasarkan hati nurani, berarti ia mengambil keputusan ‘di
hadapan Tuhan’. Kalau ia menolak hati nurani, berarti ia
mengkhianati diri sendiri dan melanggar kehendak Tuhan.
Persoalannya adalah apakah hati nurani sama dengan
suara Tuhan? Harus ditegaskan bahwa keduanya berbeda.
Dalam kaca mata agama, boleh saja suara Tuhan berperan
dalam suara hati; tetapi, suara hati tidak boleh disamakan
dengan suara Tuhan.
Pemahaman ini harus dimengerti dengan sungguh-
sungguh sebab bisa sangat berbahaya. Letak bahayanya
adalah bahwa orang bisa saja menyamakan suara hati dengan
perintah Tuhan. Kalau demikian, bagaimana dengan
kekerasan yang terjadi atas nama perintah Tuhan? Apakah
sesuai dengan hati nurani? TIDAK!
Beberapa alasan yang mendukung adalah sebagai
berikut.
1. Suara hati menuntut sikap kritis supaya kita bisa
mempertanggungjawabkan keputusan.
2. Muncul pertanyaan: bagaimana dengan orang yang tidak
beragama? Apakah suara hati hanya menjadi monopoli
kaum beragama? Kenyataannya tidak! Kaum-tak-beragama

3
KUBI Puoerwadarminta maupun KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 1988
menjelaskan bahwa ‘hati nurani’ berarti ‘hati yang telah mendapat cahaya
Tuhan.

7
juga mempunyai suara hati dan melakukan tindakan
berdasarkan suara hati. Kenyataan bahwa setiap manusia
berhati nurani, tidak disebabkan oleh faktor agama
(beragama atau tidak), tetapi oleh kemanusiaannya (yaitu
bahwa mereka adalah manusia yang bisa menyadari atas
perbuatannya).
Kesimpulan: memang selain bersifat personal, hati nurani
menunjukkan sifat adipersonal. [a] Suara hati (seolah-olah)
berada di atas manusia, melebihi pribadi kita. [b] Suara hati
merupakan otoritas di luar diri kita, dimana kita menjadi
‘pendengar’. [c] Walaupun demikian, paham ini harus terus
dicermati dan disadari supaya tidak salah tangkap dan
menjadi berbahaya atau kontraproduktif dalam etika.

b) Restrospeksi (Consientia Consequens)& Prospeksi (Consientia


Antecedents).
Suara hati juga bisa dipilah dalam dua jenis: Restrospeksi
&Prospeksi. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
prospektif adalah suara hati yang berbicara sebelum sesuatu
terjadi atau dilakukan. Ia menilai perbuatan-perbuatan di
masa depan atau yang akan dilakukan. Ia akan menyatakan
penilaian seandainya perbuatan itu menjadi kenyataan.
Contoh 1 adalah gadis yang mengandung di luar nikah
dalam masalah dilematis: menggugurkan atau meneruskan
kandungannya. Kasus ini menunjukkan suara hati prospektif.
Si wanita memikirkan tindakan yang akan dilakukan dan suara

8
hati memberi penilaian jika perbuatan itu menjadi kenyataan.
Contoh ketiga juga menunjukkan sebuah keputusan yang
diambil karena penilaian suara hati yang terjadi dalam diri
Arjuna.
Sementara itu, restrospektif adalah suara hati yang
berbicara setelah sesuatu terjadi atau dilakukan. Ia memberi
penilaian atas perbuatan di masa lampau; apakah perbuatan
itu baik atau tidak baik secara moral. Atas penilaian itu,
restrospektif akan mencela jika perbuatan buruk, dan akan
memuji jika perbuatan baik. Di sini, hati nurani seumpama
peradilan yang mengadili perbuatan kita.
Contoh 2 adalah para napi di penjara. Dalam kasus ini
mereka menyadari kesalahan atau kejahatannya setelah
kejadian. Hati nurani mereka ‘mengusik’ hatinya. Suara hati
(restrospektif) menilai perbuatannya sendiri.

Catatan:
a) Secara umum, suara hati akan bekerja dengan pola:
perbuatan dilakukan  suara hati menilai  pribadi
memutuskan. Pola ini rasanya berlaku untuk prospektif dan
retrospektif. Khusus untuk prospektif yang menilai perbuatan
yang belum dilakukan, suara hati akan memandang bahwa
perbuatan itu seolah-olah terjadi (padahal saat ini belum
terjadi).
b) Suara hati (prospektif dan restrospektif) seolah-olah
hanya bergerak dalam wilayah masa lampau dan masa depan.

9
Harus disadari bahwa justru di masa kinlah suara hati itu
bekerja. Alasannya: Hati nurani dalam arti yang sebenarnya
justru menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan
di sini. Hati nurani adalah conscience (“turut mengetahui”).
Saat perbuatan itu dilakukan, si pelaku sudah mengalami
bahwa perbuatan itu baik atau buruk.
c) Hasil penilaian suara hati (apapun jenisnya) berwujud
dua bentuk (sebagai alternatif), yaitu mencela/menghakimi (-)
atau memuji (+).
Di antara dua bentuk itu, suara hati biasanya lebih terasa,
mudah dirasakan, dan dikenali dalam bentuk negatif:
‘celaanpenghakiman’. Bentuk negatif (celaan) lebih jelas dari
bentuk positif (pujian).4

3. Sifat-Sifat Hati
Untuk lebih memahami ‘sosok’ suara hati, kita akan
melihat sifat-sifat suara hati: Subjektif-objektif, Rasional,
Mutlak, Universal. Pemahaman sifat ini bisa jadi tumbang
tindik. Selain itu, ada permasalahan dari sifat-sifat suara hati
itu sendiri yang mengakibatkan kita sendiri harus berani
mengambil sikap. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak
paparan berikut.

4
Bdk K. Bertens, ETIKA, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2000. hlm. 55

10
a) Mutlak.5
Suara hati itu bersifat mutlak. Maksudnya?
Kita belajar dari Immanuel Kant. Dia membagi perintah
menjadi dua: imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. A)
Perintah bersyarat (imperatif hipotetis) adalah perintah
yang hanya berlaku apabila orang menghendaki apa yang
menjadi syaratnya.
“Jangan merokok” adalah perintah jika orang menerima
syaratnya: “Jika ingin sehat”. Jika orang menolak, perintah
itu kehilangan artinya. B) Sementara itu, perintah tak
bersyarat (imperatif kategoris) adalah perintah yang berlaku
begitu saja, selalu, tanpa perkecualian. Perintah itu mutlak.
Kata ‘Mutlak’ berarti ‘tidak bersyarat, begitu saja, tidak
dapat ditawar dengan kepentingan saya’. Mutlak berarti
‘harus’, tidak peduli untung atau rugi, enak atau tidak, dipuji
atau dicela. Kewajiban moral bersifat mutlak, yang tidak
tertawar lagi. Tetapi, kemutlakan ini tidak berarti suara hati
selalu benar. Karena, suara hati hanya berdasarkan
penilaian kita, dimana penilaian dipengaruhi oleh akal,
pemahaman, dan pengertian yang sifatnya terbatas (kita
tidak mengetahui segala hal). Kalau pengertiannya salah,
suara hati akan menuntut kita kepada tindakan yang secara
objektif salah.

5
Tim Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan (Diktat).
Bdk. Magnis-Suseno, Dr. Franz, 1987. hlm. 56

11
Jadi, sifat mutlak dari hati nurani adalah sifat tuntutan
untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang kita sadari
sebagai kewajiban moral (walaupun kita tahu bahwa
kebenaran apa yang kita sadari sebagai kewajiban tidak
selalu jelas). Sifat mutlak berarti bahwa tuntutannya tidak
dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan-pertimbangan
apapun.
Contoh: “Jangan membunuh!” Perintah itu mutlak
dalam arti: tidak bisa dihilangkan atau diabaikan atas dasar
apapunsampai perintah itu dituruti atau dilaksanakan.
Melanggar perintah itu kita nilai salah. Dan, penilaian ini
tidak bisa buat pembenaran dengan cara apapun.

b) Universal6
Sifat suara hati lainnya adalah universalitas. Yang
dimaksud bukanlah bersifat umum dalam arti: berlaku
umum dan dimana-mana tanpa ada ketentuan.
Universalitas suara hati terletak pada: “Dalam kondisi,
situasi, keadaan yang sama, suara hati dari masing-masing
orang pasti akan menilai sama”. Sifat univesal ini boleh
disejajarkan dengan universalitas fisika: dalam kondisi sama,
hasilnya sama.
Contoh 1 bercerita tentang perempuan hamil pra-nikah.
Dalam kondisi sama, Anda pasti akan mengalami

6
Magnis-Suseno, Dr. Franz, 1987. hlm. 66

12
kebingungan atau kegalauan. Itulah universalitas suara hati.
Dengan lain kata, Sifat universal ini ‘meniru’ universalitas
laboratorium.
Catatan:
Kalau pengertian universalitas suara hati seperti di atas,
bukankah hal itu menunjukkan ‘kelokalan’ dari suara hati?
Artinya, suara hati itu unik dan khas. Setiap orang
mempunyai suara hati yang berbicara dalam konteks yang
khusus. Akibatnya, untuk mendapatkan penilaian yang
sama, kita harus menempati konteks yang khusus itu.
Artinya, kalau saya menilai perbuatan A itu salah, maka
penilaian itu hanya berlaku untuk perbuatan A dalan
konteks (kondisi & situasi) yang aku alami (bukan Anda atau
orang lain). Konsekuensinya, perbuatan A bisa jadi akan
dinilai baik dalam konteks orang lain atau Anda (bukan
saya).
Maka lihatlah! Dalam suara hati, titik tumpunya terletak
pada sobjek (orang yang menilai) dan bukan pertama-tama
pada objek (tindakan) itu sendiri. Sangat mudah untuk
dimengerti (dan ditelaah untuk didiskusikan), suara hati
adalah penilaianKU (pribadi) atas suatu perbuatan konkret:
apakah menurut aku dan dalam konteksku, perbuatan itu
baik atau tidak. Silahkan Anda diskusikan jika Anda sudah
mengerti betul maksud universalitas suara hati di atas!

13
c) Rasional
Ada filsuf yang meyakini suara hati dalam wilayah
perasaan, yaitu Hume.7 Hume memandang etika dalam
pandangan empirisme: ‘bertumpu pada pengalaman dan
pengamatan’. 1) Hume (sejalan dengan Lock) mengkritik
habis Metafisika. “Tidak ada segala (kesadaran) sesuatu
yang murni berasal dari rasionalitas (pikiran manusia
melulu). Menurut Hume, “Segala kesadaran berasal dari
pengalaman indrawi”. 2) Hume menolak etika yang tidak
berdasarkan fakta dan pengamatan-pengalaman empiris.
“Tidak ada nilai yang bernilai dari dalam dirinya sendiri, nilai
absolut, objektif, lepas dari perasaan kita”. “Nilai tidak
mendahului tindakan kita”. Bagi Hume, karena kita
mendekatinya, maka sesuatu itu bernilai. Bukan karena
sesuatu itu bernilai, maka kita mendekat!
3) Hume menolak ‘keharusan moral’. Baginya, yang ada
adalah perasaan dimana isinya bisa berupa: rasa jijik, muak,
malu, gembira, syukur, dll. Jadi, Hume melihat moralitas dan
Suara Hati dalam konteks Rasa.
Oleh karena itu, tuntutan moral (untuk berbuat baik)
keluar dari perasaan (pengalaman konkret dalam hidup
manusia). Contoh: Segala hal yang tidak enak harus kita
tolak; segala yang menggembirakan harus kita lakukan.
Inilah fakta perasaan yang mendorong kita untuk mengikuti

7
Magnis-Suseno, Dr. Franz, 13 TOKOH ETIKA, Kanisius: Yogyakarta, 1997. hlm.
123 -129.

14
atau menjauhi suatu perbuatan. 4) Jadi, menurut Hume,
hati nurani pun bersifat subjektif (Karena tidak enak, saya
menolak).
Walaupun demikian, arus kuat filsafat meyakini bahwa
suara hati condong berada di wilayah rasio.8 Mengapa?
Sebab, suara hati membuat sebuah penilaian. Artinya, ada
unsur keputusan (judgment). Mempertimbangkan sesuatu
dan membuatputusan merupakan salah satu aktivitas atau
fungsi rasio.9

d) Spontan & Intuitif


Walaupun suara hati bersifat rasional, tidak berarti
mengemukakan penalaran logis. Suara hati bersifat intuitif:
langsung, sekali tembak, tidak ditunda.

8
Rasio bisa dipilah menjadi dua: rasio praktis [RP] dan rasio teoretis [RT]. RT
memberi jawaban atas apa yang saya tahu. RP memberi jawaban atas apa
apa yang harus saya perbuat. RT bersifat abstrak; RP bersifat konkret. Di sini,
Hati nurani (yang bersifat rasional) mengungkapkan RP (wilayah konkret).
Hati memberi tahu apa yang harus kita lakukan kini dan di sini. RT berisi
segala konsep da prinsip moral yang kita pegang dan nilai yang kita hayati;
tetapi, RT tidak siap pakai. Hati nurani menjadi ‘jembatan’ bagi RT
(pengetahuan umum) untuk menyentuh wilayah konkret (perilaku nyata).
Putusan hati ‘mengkonkretkan’ pengetahuan etis kita.
9
Anda yang sudah mempelajari Logika akan mengerti bahwa kegiatan II akal
budi adalah judgment (keputusan). Keputusan dibuat menyangkut dua hal
yang berbeda tetapi dikaitkan satu sama lain, entak dalam penolakan
ataupun dalam penerimaan. Inilah dasar kuat yang mengarahkan suara hati
yang berkeputusan adalah bersifat rasional.

15
e) Norma Terakhir

Dari sudut personal, hati nurani mempunyai kedudukan


kuat dalam hidup moral kita. Hati nurani bisa dipandang
menjadi norma terakhir untuk perbuatan kita. Atau, putusan
suara hati adalah norma moral subjektif bagi tingkah laku
kita.
Namun, harus diingat bahwa suara hati menunjukkan
perbuatan baik atau bahkan wajib dilakukan, tetapi secara
objektif tidak benar. Contohnya adalah pembunuhan atas
nama hati nurani (sebagai perbuatan yang benar).
Maka, perlu dicatat beberapa persoalan berikut ini.
[1] Hati nurani memang membimbing kita dan menjadi
patokan untuk perilaku kita. Tetapi, yang sebenarnya
diungkapkan oleh hati nurani adalah rasa bersalah-atau-
tidaknya si pelaku, dan bukanbaik-buruknya perbuatan itu
sendiri. Bila suatu perbuatan secara obyektif baik (sifat baik
itu sudah melekat dalam perbuatan itu sendiri), tetapi suara
hati menyatakan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan
melakukannya si pelaku tersebut salah secara moral.10
Dan, sebaliknya, jika secara objektif tidak baik (tidak
baik) tetapi suara hati menilainya sebagai baik, maka
dengan melakukannya si pelaku tidak bersalah. Sebab, suara
hatinya menyangka bahwa hal itu baik dan ‘harus’

10
Mengapa salah secara moral? Karena si pelaku melakukan suatu perbuatan
dengan hati “TIDAK RELA” (hatinya tidak menyetujui perbuatan itu).

16
dilakukan. Jadi, hati nurani adalah norma perbuatan kita,
pertama-tama, menyangkut soal kebersalahan yang
(perasaan bersalah atau tidak bersalah) dan bukan soal
benar atau tidak benar.
[2] Kita tidak pernah boleh menentang suara hati. Hati
nurani harus selalu diikuti walau secara objektif ia bisa sesat
atau salah.11 Nah, karena ada celah kesesatan ini, kita
wajibmengembangkan suara hati dan seluruh
kepribadiannya sampai matang dan seimbang. Sampai pada
tahap kematangan dan kedewasaan yang sungguh-sungguh,
keputusan suara hati akan sesuai dengan pandangan
objektif.
[3] Sampai di sini, ada baiknya kita kembali
menghubungkan dengan sifat rasional dan perasaan. Sangat
jelas (a) bahwa suara hati menunjuk atau berkaitan erat
pada perasaan bersalah atau tidak bersalah. Jadi, hati
nurani erat berkaitan dengan soal rasa (“Aku merasa...). (b)
Dalam melihat suara hati, kita juga menyadari bahwa suara
hati secara objektif bisa salah (karena titik fokusnya: saya
menilai... bukan perbuatan itu baik dalam dirinya sendiri).

11
Lalu, atas dasar apa kita harus mengikuti suara hati jika suara hati bisa
salah? Memang suara hati bisa salah. Tetapi, pegangan yang paling pribadi
akhirnya jatuh pada hati nurani. Itulah keyakinan terakhir dan paling dasar
tentang apa yang kita yakini benar. Itulah dasar keputusan yang pasti tidak
bertentangan dengan diri kita. Hati kita mengatakan A benar, maka kita
harus melakukan A sebagai keyakinan kebenaran.

17
Itu berarti bahwa unsur objektivitas bermain dalam menilai
suara hati.
Dan akhirnya (c) bahwa pendewasaan dan kematangan
menjadi sebuah tolok ukur keseimbangan atas kebenaran
suara hati dalam pengertian subjektif (atau perasaan) dan
pengertian objektif (atau rasio). Polanya “Semakin orang
sungguh-sungguh dewasa dan matang, maka penilaian
suara hati akan semakin benar (mendekati benar) secara
objektif (nilai benar dalam perbuatan itu sendiri). Untuk itu,
dibutuhkan [d] bimbingan dan pembinaan terhadap suara
hati supaya suara hati nurani yang diyakini benar sebagai
sebuah keyakinan dan subjektif, berarti benar pula dalam
telaah rasional dan penilaian objektif.

f) Subjektif-Objektif12
Sifat subjektif & objektif dari hati nurani memang
menimbulkan banyak perdebatan. Ada yang pro dan ada
yang kontra.13 Harus disadari bahwa kita tidak bisa lagi

12
Catt: Dari struktur penulisan, Universalitas dan Mutlak merupakan bagian
dari pembahasan Rasionalitas Suara Hati. Konsekuensi pemahamannya
adalah universalitas dalam konteks rasionalitas. Bdk:
K. Bertens, ETIKA, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2000, hlm. 59
Magnis-Suseno, Dr. Franz, ETIKA DASAR, Kanisius, Yogyakarta: 1987. hlm. 63
13
Perasaan berhubungan dengan ‘selera’ dan rasio berhubungan dengan
‘pertimbangan’. Keduanya jelas jauh berbeda. Dimanakah suara hati?
‘Selera’ berhubungan dengan mood, suka dan tidak-suka. ‘Pertimbangan’
berhubungan dengan mana yang baik dan argumentatif. Melihat tarikan ini,
saya condong untuk melihat suara hati dalam konteks rasio. Konsekuensi

18
memisakan dan membenturkan sisi kemanusiaan kita, entah
itu perasaan, pikiran, atau kehendak. Demikian pula dalam
konteks pembahasan suara hati. Untuk itu, kita akan melihat
peta permasalahan dari sudut subjektif dan objektif sebuah
suara hati.
Ada dua kubu: yang menerima dan yang menyangkal
objektifitas suara hati. Penolak objektivitas berpendapat
bahwa suara hati hanyalah urusan perasaan atau emosi.
Demikian pula, penilaian moral hanyalah ungkapan emosi.
Oleh karena itu penilaian emosi tidak bisa dipertanggung-
jawabkan. Contohnya: durian itu manis. Ini soal selera/rasa.
Yang suka akan durian; yang tidak tidak mau makan durian.
Pendukung objektivitas akan menekankan bahwa yang
dilihat, dinilai serta penilaiannya bersifat objektif; bisa
dimintai pertanggung-jawabannya.
Banyak pihak berpendapat bahwa suara hati menduduki
sifat objektif. Artinya, bahwa suara hati menggunakan dasar
objektif dalam melakukan menilaian tingkah laku. Kita tidak
bisa menilai dengan prinsip ‘semau gue’, tetapi berdasarkan
pertimbangan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Catatan:

sifat rasional ini adalah bahwa penilaian hati nurani (semoga) bersifat
objektif, boleh diperdebatkan, dituntut argumentasinya, dinilai benar-
salahnya.

19
[1] Kita sudah membahas bahwa hati nurani bersifat
rasional. Efek penolakan hati nurani adalah rasa bersalah
(unsur emosi-subjektif). Sebagai penjelasan lebih lanjut,
Bertens mengemukakan bahwa “Biarpun putusan hati
nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia
mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning)”.
Dikatakan pula bahwa putusan hati nurani bersifat intuitif:
sekali tembak, spontan, langsung menyatakan ini baik atau
buruk. Walaupun sebelumnya sudah dipikirkan (hati nurani
prospektif), sifat intuitif itu tetap ada. Dengan demikian, ada
unsur subjektif dalam putusan hati nurani. Oleh karenanya,
bisa saja hati nurani menyatakan benar atau baik, tetapi
setelah dikaji lebih lanjut secara objekif, tindakan itu tidak
benar atau tidak baik. Hati nurani bisa salah.
[2] Dari sisi subjektif, suara hati tetap merupakan norma
terakhir yang harus dianut, walau secara objektif bisa salah.
Akan tetapi, manusia wajib mengembangkan suara hati dan
seluruh pribadi etisnya sampai seimbang. Titik seimbangnya
terletak atau terindikasi pada: semakin hari keputusan suara
hati semakin benar baik secara subjektif-intuitif maupun
secara objektif-telaah rasional.

4. Pembinaan Suara Hati


Suara hati yang mempunyai sifat subjektif menjadi
perhatian besar bagi para filsuf. Mereka, karena pengeruh
ilmu pengetahuan empiris, mempunyai tendensi untuk meng-

20
objektif-kan, dan melepaskan diri dari setiap unsur subjektif.
Bagi mereka subjektivitas tidak bisa dijadikan pedoman karena
bisa sesat atau salah. Dalam situasi ini, suara hati bisa
dimanipulasi sehingga bisa membuat orang berbuat jahat
(demi suara hati).
Memang, supaya mendapat kepastian ilmiah dan obyektif
tentang prinsip moral, etika tetap meneliti dengan seksama
berbagai prinsip norma moral. Tetapi, prinsip moral itu
bergerak dalam ranah teoritis dan sekali lagi, suara hati
menjadi ‘penterjemah’ atau ‘jembatan’ teoritis ke ranah
konkret. Karena itu, hati nurani selalu dibutuhkan.
Hati nurani mempunyai beberapa tipe: yang halus dan
tajam, yang longgar dan kurang akurat, yang tumpul.
Perbedaan atau tipe ini terjadi karena faktor pendidikan. Anak
yang dididik dalam keluarga pencuri, misalnya, hampir tidak
mungkin akan mempunyai putusan hati nurani yang baik
tentang hak milik. Yang paling tumpul adalah yang menderita
moral insanity (sakit tidak mempunyai suara hati).
Supaya hati nurani halus dan tajam, kita perlu mendidik
atau membinanya. Pembinaan ini penting karena suara hati
kita sangat dipengaruhi oleh perasaan moral kita yang
terbentuk oleh pengaruh pendidikan informal dan formal yang
telah kita peroleh. Artinya, pandangan dan kebijaksanaan di
dalam lingkungan kita.
[1] Lingkungan pertama adalah keluarga. Dalam proses
pendidikan, hati nurani dididik dalam keluarga. Inilah tempat

21
yang serasi untuk mendidikan moral. Pendidikan dibuat
sedemikian rupa sehingga anak menyadari kemandirian dan
otonomi anak, demikian juga dalam moral. Peran orang tua
atau pengasuh sangat penting dalam proses ini. Orang tua
tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi lebih lagi, yaitu
teladan hidup. Dari sana, anak akan belajar bagaimana hidup
secara bermoral. Demikian pula, anak belajar menjalankan
kewajibannya karena keyakinan dan bukan karena paksaan.
Patokannya adalah “Pendidikan hati nurani seolah-olah
berjalan dengan sendirinya, bilamana si anak diliputi oleh
suasana yang sehat serta luhur dan ia melihat bahwa orang di
sekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan seksama
dan mempraktekkan keutamaan yang mereka ajarkan.14
[2] Lingkungan yang lainnya adalah sekolah dan
masyarakat. Di sini, anak pun belajar moralitas dan tingkatan
moral.
Mendidik suara hati berarti
kita terus menerus bersikap terbuka, mau belajar, mau
mengerti seluk-beluk masalah yang kita hadapi,
mau memahami pertimbangan etis yang tepat dan
sekiranya memperbaharui pandangan kita.

14
Tim Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan (Diktat tidak terbit), hlm.
76-77

22
23
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewantara, S.S., M. Hum, Dr. Agustinus W., Filsafat


Moral, Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia,
Kanisius: Yogyakarta, 2017
2. Albert R. Jonsen, A Short History of Medical Ethics,
Oxford University Press, 2000.
3. Amitava Krishna Dutt, Economics and Ethics, Palgrave
Macmillan: 2010.
4. Artikel: Creating a Climate for Long-term Ecological and
organizational Sustainable, oleh A. Arnoud &
D.L.Rhoades, dalam: Eddi N. Laboy dkk (Ed),
Environmental Management, Sustainable Development
and Human Health, CRC Press., London, UK, 2009.
5. Artikel: Etika Ekonomi (Bisnis) dalam Menghadapi Pasar
Bebas, dalam Jurnal Ekonomi dan Manajemen Vol 8.
Nomor 2, Juni 2007.
6. Bertens, K, ETIKA, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
2000
7. Charles Foster, Choosing Life, Choosing Death, The
Tyranny of Autonomy in Medical Ethics and Law, Oxford
and Portland, Oregon, 2009.
8. Charles Foster, Choosing Life, Choosing Death, The
Tyranny of Autonomy in Medical Ethics and Law, Oxford
and Portland, Oregon: 2009, terkhusus pada Bab 3:
Whose Autonomy?hlm. 21-30.

24
9. Charles M. Culver & K. Danner Clouser, Bioethics A
Return to Fundamentals, Oxford University Press, New
York, 1997.
10. Christine Overall,Why Have Children? The Ethical
Debate, Massachusetts Institute of Technology (MIT)
Press, 2012.
11. Christopher Dowrich & Lucy Frith, General Practice and
Ethics, Routledge, London, 1999.
12. Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan, Seri Etika
No. 1, 2005 (Diktat tidak terpublikasi)
13. Eddie N. Laboy-Nieves, cs., Environmental Management,
Sustainable Development and Human Health, CRC Press,
2009.
14. Gabriel moens & Peter Gillies, International Trade and
Business: Law, Policy and Ethics, Cavendis Publishing,
London, 1998
15. Gert, Bernard dkk, 1997, Bioethics: A Return to
Fundamentals, Oxford University Press, New York.
16. Guillermo de la Dehesa, Winners and Losers in
Globalization, Blackwell Publishing Ltd, hlm. 1
17. Jack C. Richards & Richard Schmidt, Longman Dictionary
of Language Teaching & Applied Linguistics (Third
Edition), Pearson Education Limited, 2002.
18. Jeremy Bentham, Introduction to the principles of
Morals and Legislation, Batoche Books, 2000.

25
19. Jhn R. Searle, The Construction of Social Realiry,New
York, Oxford Press, 1995
20. K. Bertens, ETIKA BIOMEDIS, Yogyakarta, Kanisius, 2011
21. K. Bertens,ETIKA, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2000
22. Karl Homann, cs (Ed), Globalisation and Business Ethics,
Ashgate, 2007
23. Keraf, Dr. A. Sonny, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta,
1998, hlm.187-188
24. Kerry Lynn Macistosh, Illegal Beings Human Clones and
The Law, Cambridge University Press, 2005.
25. Lawrence C. Becker and Charlotte B. Becker, A History of
Western Ethics, New York, Routledge, 2003
26. Lawrence C. Becker., A History of Western Ethics,
Routledge, 2003.
27. Leon R. Kas & James Q. Wilson, The Ethics of Human
Cloning, The EAI Press, Washington. D.C: 1998.
28. Magnis-Suseno, Dr. Franz, 13 TOKOH ETIKA,Kanisius,
Yogyakarta, 1997
29. Magnis-Suseno, Dr. Franz, ETIKA DASAR,Kanisius,
Yogyakarta, 1987.
30. Mary Warnock (ed), Utilitarianisme and On Liberty,
Blackwell Publishing, 2003.
31. Mike Harrison, an introduction to business and
management ethics, Palgrave Macmillan, New York,
2005

26
32. Mikhel Dua, Filsafat Etkonomi, Upaya Mencari
Kesejahteraan Bersama,Kanisius, Yogyakarta 2008.
33. MUKADIMAH UUD’45.
34. R. Edward Freeman, cs., Managing for Stakeholders,
Yale University Press, New Haven & London, 2007
35. R. Edwards, Andes., With Respect For Nature Living As
Part Of The Natural World Suny Series in Environmental
Philosophy and Ethics, New Society Publishers, Canada,
2005.
36. Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of
Philosophy (second edition), Cambridge University Press,
1999.
37. Sara T. Fry, Robert M. Veatch, Carol Taylor, Case Studies
in Nursing Ethics Fourth Edition, Jones & Bartlett
Learning, 2011.
38. Stephen Darwall, Philosophical Ethics, Westview Press,
1998
39. Sugono, Dendy (Pimpinan Tim Redaksi), Kamus Bahasa
Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 1988
40. Tim Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta, Pusat Bahasa, 2008.
41. Tony Schirato & Jen Webb, Understanding Globalization,
SAGE Publication, 2003
42. Velasquez, Manuel G., Etika Bisnis., Yogyakarta, ANDI,
2005.

27
43. William M. Kurtines & Jacob L. Gerwitz, Morality, Moral
Behavior and Moral Development, John Wiley & Sons,
1985 (diterjemahkan dalam Moralitas, Perilaku Moral,
dan Perkembangan Moral, UI Press, 1992)

28

Anda mungkin juga menyukai